bab i pendahuluan 1.1.latar belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/t1_312014116_bab...

17
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 angka 2 menyebutkan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, baik yang sudah mempunyai pekerjaan (dalam hubungan kerja atau sebagai swapekerja) maupun yang belum/tidak mempunyai pekerjaan. 1 Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan). Upah/imbalan yang dimaksud adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 2 Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian disebut UU Ketenagakerjaan, dibedakan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), cet-1, hlm.1. 2 Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 3 Irsan, Koesparmono dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja: Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 2016), hlm.26.

Upload: trinhngoc

Post on 08-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut

UU No. 13 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 angka 2 menyebutkan, tenaga kerja adalah

setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau

jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, baik yang

sudah mempunyai pekerjaan (dalam hubungan kerja atau sebagai swapekerja)

maupun yang belum/tidak mempunyai pekerjaan.1 Pekerja/buruh adalah setiap

orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal

1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan). Upah/imbalan yang

dimaksud adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk

uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh

yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau

peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan

keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.2

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian

disebut UU Ketenagakerjaan, dibedakan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/ jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1995), cet-1, hlm.1. 2 Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3 Irsan, Koesparmono dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja: Suatu Pengantar, (Jakarta:

Erlangga, 2016), hlm.26.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

2

untuk masyarakat.3 Mereka yang memiliki potensial untuk bekerja, namun bisa saja

berarti bahwa mereka belum bekerja. Sedangkan pekerja/ buruh adalah setiap orang

yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan atau dalam bentuk lain.4 Namun

demikian, ada pekerjaan yang dikerjakan sendiri untuk kepentingan sendiri,

misalnya seorang dokter yang membuka praktek partikelir, seorang pengacara, atau

seorang petani yang mengerjakan sendiri sawahnya yag sering disebut sebagai

pekerja bebas. Kita kenal juga istilah karyawan yang ditujukan untuk orang-orang

yang melakukan karya atau pekerjaan.5

Seorang pekerja/buruh pasti terikat secara hukum dalam suatu hubungan

kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha

dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur

pekerjaan, upah dan perintah.6 Adapun pengertian pengusaha yaitu: (a) orang

perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan

milik sendiri; (b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara

berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan,

persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan

sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah

Indonesia.7 Hal ini berarti bahwa seorang pengusaha dapat menjalankan perusahaan

yang bukan miliknya. Dalam menjalankan perusahaan, pekerja merupakan aktor

sosial yang paling berpengaruh dalam kemajuan perusahaan itu sendiri.

3 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 5 Irsan, Koesparmono dan Armansyah, op.cit., 2016, hlm. 27. 6 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 7 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

3

Sementara itu, pengertian perusahaan ialah: (a) setiap bentuk usaha yang

berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau

milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan

pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; (b) usaha-

usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan

orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.8

Dalam dunia ketenagakerjaan banyak ditemui berbagai konflik antara

pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/penerima kerja. Salah satunya adalah

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang mana hal ini menimbulkan ketakutan

tersendiri bagi para pekerja. Dengan adanya PHK maka pekerja akan kehilangan

mata pencahariannya sementara itu bagi pengusaha juga harus mengeluarkan uang

yang tidak sedikit apabila melakukan PHK terhadap pekerjanya.9 Pasal 151

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa “(1) pekerja dan

pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin menghidari PHK. (2) Dalam hal

segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat

dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh

pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila

pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat

buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-

benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan

hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah adanya penetapan dari Lembaga

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.” Pada dasarnya setiap warga

8 Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan. 9 Agusminah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia-Dinamika & kajian Teori,

(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 21.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

4

negara berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja

serta menjamin kesempatan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 27 ayat (2), “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Permasalahan yang timbul antara pekerja dengan pengusaha atau

perusahaan disebut perselisihan hubungan industrial. Pada ketentuan Pasal 1 Angka

1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

menjelaskan, Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan

pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan

mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja

dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.10 Tidak

selamanya hubungan industrial terjalin dengan harmonis dan dinamis. Pameo

menyatakan, perselisihan hubungan industrial senantiasa akan terjadi sepanjang

masih ada pekerja dan pengusaha. Hal ini dipicu dari adanya perbedaan

kepentingan antara pekerja dan pengusaha yang pada gilirannya menimbulkan

banyak persoalan dalam hubungan industrial11.

Objek perselisihan hubungan industrial antara lain perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan karena pemutusan hubungan kerja, dan

perselisihan antarserikat pekerja dalam suatu perusahaan.12 Dalam hal perselisihan

hak terjadi karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau

10Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial. 11 Saleh Mohammad, Lilik Mulyadi, Seraut Wajah: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

(Perspektif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011),

hlm.11. 12 Ibid., Hlm. 18.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

5

penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak merupakan perselisihan

normatif dikarenakan terjadi perselisihan terhadap hal-hal yang telah ada

pengaturan atau dasar hukumnya. Perselisihan kepentingan timbul karena tidak

adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat

kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama. Sedangkan perselisihan karena pemutusan hubungan kerja timbul

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja

yang dilakukan oleh salah satu pihak. Pada dasarnya perselisihan PHK ini terjadi

karena adanya pertentangan pendapat tentang proses PHK, kapan saat terjadinya

PHK dan kompensasi/hak-hak PHK. Jika pengusaha yang melakukan PHK

memiliki dasar hukum yang kuat maka beban pengusaha untuk memenuhi hak-hak

PHK lebih sedikit dibanding pengusaha yang melakukan PHK dengan sewenang-

wenang. Sedangkan yang disebut sebagai subjek perselisihan industrial ialah

pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan perusahaan.

Pemutusan Hubungan Kerja akan memberikan dampak psikologis dan

finansial bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu PHK dapat dihindari dengan

terjalinnya hubungan kerja yang harmonis di antara para pihak, baik oleh pengusaha

maupun pekerja/buruh. Melihat kenyataan yang terjadi, PHK tidak mungkin

seluruhnya dapat dicegah maka kembali lagi ke ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan

(3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. PHK tidak hanya terjadi atas kemauan

pekerja/buruh tetapi juga atas kemauan pengusaha. PHK oleh pengusaha dapat

disebabkan oleh banyak alasan antara lain, pekerja mangkir, peleburan perusahaan,

berhenti beroperasinya sutau perusahaan, perusahaan pailit, dan mutasi.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

6

Menurut Sastrohadiwiryo, mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang

berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status

ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja

yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat

memberikan prestasi kerja yang semaksimal mungkin kepada organisasi.13 Menurut

Hanggraeni, mutasi adalah pemindahan dari posisi yang baru tapi memiliki

kedudukan, tanggung jawab, dan jumlah remunerasi yang sama.14 Sedangkan

menurut Moekijat, mutasi adalah suatu perubahan dari suatu jabatan dalam suatu

kelas ke suatu jabatan dalam kelas yang lain yang tingkatnya tidak lebih tinggi atau

tidak lebih rendah (yang tingkatnya sama) dalam rencana gaji.15 Berdasarkan

beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mutasi adalah suatu proses

pemindahan posisi/jabatan/pekerjaan seorang karyawan ke

posisi/jabatan/pekerjaan lain yang dianggap setingkat atau sederajat. Mutasi

merupakan kegiatan rutin dari perusahaan untuk melaksanakan prinsip “the right

men on the right place.”

Mutasi atau perpindahan jabatan/pekerjaan merupakan fenomena yang

biasa terjadi pada suatu perusahaan. Perubahan posisi jabatan/pekerjaan di sini

masih dalam level yang sama dan juga tidak diikuti perubahan tingkat wewenang,

tanggung jawab, status, kekuasaan dan pendapatannya, yang berubah dalam mutasi

hanyalah bidang tugasnya. Mutasi seringkali dilakukan atas keinginan/kebutuhan

perusahaan atau atas keinginan karyawan sendiri.16

13 M Kadarsiman, Manajemen Kompensasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 68. 14 Hanggraeni Dewi,Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, 2012), hlm. 80. 15 Moekijat,Manajemen Sumber daya Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hlm. 112. 16 Hasibuan Malayu S.P., Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 105.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

7

Dalam penerapan mutasi, perlu memperhatikan jabatan karyawan yang

dipindahkan harus bersamaan isinya dengan jabatan yang ditinggalkan, metode

melakukan pekerjaan harus sama antara yang satu dengan yang lain, serta pejabat

yang dimutasikan harus mempunyai pengalaman yang memungkinkan mengerti

dasar-dasar pekerjaan baru.

Pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha menjadi isu para

pencari keadilan. Problema demikian sering ditemukan dalam kasus konkrit, seperti

dalam suatu proses acara di pengadilan seorang Terdakwa terhadap Perkara Pidana

atau seorang Tergugat terhadap Perkara Perdata maupun Tergugat pada Perkara

Tata Usaha Negara atau sebaliknya sebagai Penggugat merasa tidak adil terhadap

putusan Majelis Hakim dan sebaliknya Majelis Hakim merasa dengan

keyakinannya putusan itu telah adil karena putusan itu telah didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan

perundang-undangan. Teori pembuktian berasarkan Undang-Undang Positif.17

Secara konkrit hukum adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang

mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat, baik yang merupakan

kekerabatan, kekeluargaan dalam suatu wilayah negara. Dan masyarakat hukum itu

mengatur kehidupannya menurut nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri

(shared value) atau sama-sama mempunyai tujuan tertentu.18

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir

abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The

Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap

17Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 1996), edisi

revisi, hlm. 251. 18 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan

Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 4.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

8

diskursus nilai-nilai keadilan.19 John Rawls yang dipandang sebagai perspektif

“liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah

kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan

tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau

menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.

Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.

Dalam pandangan John Rawls terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama,

di antaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang

bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial,

ekonomi pada diri masing-masing individu.20 Prinsip pertama yang dinyatakan

sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan

beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty),

kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and

expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan

(difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan

(equal oppotunity principle).

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan

bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah

memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan

yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi

19Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, (Bandung: Nusa

Media, 2009), vol. 6 No. 1, hlm. 135. 20 Ibid, hlm. 136.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

9

setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang

terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar

masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal

utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-

orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan

untuk dua hal, pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi

ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi

sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus

meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan

untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

Hal pemutusan secara sepihak karena mutasi oleh pengusaha terhadap

pekerja terjadi dalam Putusan Nomor: 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Pbr dan Putusan

Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tentang diputuskannya perselisihan pemutusan

hubungan kerja antara Erikson Situmorang oleh PT. Inti Komparindo Sejahtera.

Pada kasus ini, Majelis Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial mengabulkan

gugatan Penggugat, yakni Erikson Situmorang, memutuskan Penggugat berhak atas

uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Majelis

Hakim beralasan bahwa Penggugat telah mengajukan bukti dan saksi untuk

memperkuat dalilnya, sementara Tergugat tidak dapat menunjukkan bukti yang

memperkuat dalilnya.

Adapun duduk perkara dalam kasus ini yaitu Penggugat telah bekerja di PT.

Inti Komparindo Sejahtera selama 5 tahun 11 bulan dengan jabatan terakhir

Karyawan Pemanen, dengan jumlah upah Rp. 1.875.000,- (Satu Juta Delapan Ratus

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

10

Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah) per bulan, ditambah tunjangan Tetap berupa

Natura Beras sebesar 31,5 Kg/bulan, dengan harga beras Rp.8000,- /Kg

sebagaimana Peraturan Gubernur Riau No.29 Tahun 2014 tentang Upah Minimum

Sub Sektor Pertanian/Perkebunan Kelapa dan Kelapa Sawit Serta Tanaman Karet

Provinsi Riau Tahun 2014 Jo Kesepakatan Bersama antara Serikat Pekerja

Pertanian dan Perkebunan-SPSI Propinsi Riau dengan BKSPPS dan GAPKI

Cabang Riau.

Kemudian pada tanggal 16 November 2013 Penggugat mendapatkan Surat

dari Tergugat agar yang bersangkutan yang telah di mutasikan dari Afdeling 7.A ke

Afdeling 2.A pindah rumah. Bahwa pada dasarnya Penggugat tidak keberatan

pindah rumah ke Afdeling 2.A tempat Penggugat di mutasikan, namun karena anak

Penggugat kebetulan sudah kelas VI SD yang sebentar lagi akan melaksanakan

Ujian Nasional maka tidak memungkinkan lagi untuk dipindahkan sekolahnya,

maka Penggugat menjumpai Pimpinannya agar untuk sementara waktu sampai

anaknya selesai Ujian Nasional diperbolehkan melaju setiap pagi dari tempat biasa

ke tempat Penggugat dimutasikan, mengingat apabila harus pindah rumah maka

terpaksa anaknya juga harus dipindahkan sekolahnya karena lokasi sekolah di

Afdeling 7.A sudah berbeda dengan Lokasi Sekolah di Afdeling 2.A, dimana

Afdeling 7.A bersekolah ke SD Danau Lancang Kec. Tapung Hulu, Kab. Kampar,

Provinsi Riau. Sedangkan Afdeling 2.A bersekolah ke SD Kota Baso, Kecamatan

baso, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, yang mempunyai jarak + 15 KM,

begitu juga angkutan anak sekolah yang ada dari Afdeling 7.A hanya ke SD Danau

Lancang, sedangkan angkutan anak sekolah dari Afdeling 2.A hanya ke SD Kota

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

11

Baso, namun aspirasi yang disampaikan Penggugat tersebut didak disetujui oleh

Tergugat.

Pada tanggal 12 Desember 2013 dan tanggal 2 Januari 2014 Penggugat

menerima Surat Peringatan I dan II dari Tergugat dengan alasan tidak pindah

rumah, dan atas Surat Peringatan tersebut, maka Penggugat mencoba menjumpai

dan berkonsultasi dengan Wali kelas dan Kepala Sekolah SD Danau Lancang

tempat anaknya bersekolah, namun Wali Kelas dan Guru Kepala Sekolah

menyarankan agar anaknya tidak dipindahkan karena sebentar lagi akan

dilaksanakan Ujian Nasional dimana Nomor Induk Sekolah Nasional (NISN),

Nomor Ujian dan juga lokasi tempat ujian Nasional sudah ditentukan oleh Dinas

Pendidikan.

Penggugat kembali menjumpai Tergugat agar sampai anaknya selesai

melaksanakan Ujian Nasional tetap diperbolehkan menempati rumah yang sedang

ditempati dan berangkat kerja dengan melaju pakai sepeda motornya, namun

permohonan Penggugat tersebut tetap tidak disetujui oleh Tergugat. Kemudian

tepatnya tanggal 8 Januari 2014 Tergugat kembali menyampaikan Surat Peringatan

III kepada Penggugat dimana alasannya tetap karena tidak bersedia pindah rumah,

padahal selama Penggugat bekerja melaju pakai sepeda motornya, tidak pernah

terlambat atau mengganggu pekerjaannya.

Pada tanggal 26 April 2014, Tergugat justru menyampaikan Surat

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat dengan alasan tidak pindah

rumah maka Penggugat dianggap membangkang terhadap pimpinan maka di PHK

terhitung tanggal 28 April 2014.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

12

Bahwa atas permasalahan tersebut, Penggugat dan Tergugat telah

melakukan Perundingan Bipartit, namun tidak menghasilkan suatu kesepakatan,

karena Tergugat tetap tidak mau lagi untuk mengerjakan Penggugat. Atas dasar

bukti dan saksi yang menguatkan dalil Penggugat maka Majelis Hakim pada

Pengadilan Hubungan Industial Pengadilan Negeri Pekanbaru mengabulkan

sebagian gugatan Penggugat. Sementara untuk tuntutan Penggugat mengenai

pembayaran Upah Sebelum Putusan Pengadilan ditetapkan masing-masing

Penggugat sebesar 6 (enam) bulan Upah, Uang Pesangon 2 (dua) ketentuan Pasal

156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja Satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),

dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, secara tunai, seketika dan sekaligus ditangguhkan dan

hanya mewajibkan Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat atas PHK

tersebut sesuai Pasal 164 ayat (3).

Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (untuk selanjutnya

disebut MA). MA berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan

permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. Inti Kamparindo Sejahtera tersebut

dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

Pekanbaru Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr tanggal 30 Maret 2016.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang

pertimbangan hakim dalam putusan PHI Tk. I dan Kasasi dalam judul “Studi Kasus

tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh Pengusaha dalam

Putusan PHI Tingkat I Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi

Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016”.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

13

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diambil

yaitu:

Apakah putusan Majelis Hakim pada Putusan PHI Tingkat I Nomor

05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016

sudah mencerminkan penerapan asas keadilan?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan data serta

informasi yang penulis dapatkan, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui

penerapan asas keadilan dalam Putusan PHI Tingkat I Nomor 05/Pdt.Sus-

PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016 dengan

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

1.4.Manfaat Penelitian

Dalam setiap penelitian, diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan

yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan. Manfaat penelitian ini antara

lain:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam memperkaya wawasan dalam bidang ketenagakerjaan

khususnya mengenai penerapan asas keadilan dalam penyelesaian

perselisihan akibat pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh

pengusaha. Dan juga penelitian ini diharapkan mampu menjadi rujukan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

14

ataupun bahan bantu dalam dunia perkuliahan maupun untuk kepentingan

pribadi.

2. Manfaat Praktisi

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat membantu lembaga

ketenagakerjaan untuk menjadi bahan referensi dalam pertimbangan-

pertimbangan hukum ketenagakerjaan selanjutnya, khususnya terkait

dengan penerapan asas keadilan dalam penyelesaian perselisihan akibat

pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha.

1.5.Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu metode yang digunakan oleh peneliti untuk

mengelola data sesuai dengan tujuan penelitian.

1. Jenis Penelitian

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian normatif,

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum

yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.21 Bahan hukum primer yang meliputi Undang-Undang No

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sedangkan bahan hukum

sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan

21Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia,

2011), Hlm. 57.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

15

memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan

hukum tersebut disusun secara sistematis kemudian didapatkan suatu

kesimpulan yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

Penelitian normatif berusaha untuk mengkaji dan mendalami serta mencari

jawaban tentang apa yang seharusnya dari setiap permasalahan.22

Metode penelitian normatif ini juga biasa disebut dengan penelitian

hukum doktriner atau juga disebut penelitian perpustakaan. Sebab

penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga

penelitian tersebut sangat erat hubungannya pada perpustakaan dikarenakan

hukum normatif ini akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder

pada perpustakaan.

2. Pendekatan Masalah

a. Pendekatan Perundang-Undangan

Penelitian ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-

undangan yang bersangkutpaut dengan permasalahan yang sedang dihadapi.

Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan

mempelajari kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan Undang-

Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang

yang lain, dengan menitikberatkan pada peraturan-peraturan mengenai

ketenagakerjaan dan perselisihan hubungan industrial.

b. Pendekatan Kasus

Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk

mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan

22Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), edisi revisi, hlm. 137.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

16

dalam praktik hukum. Dalam tradisi common law, sebagaimana yang telah

dibahas terdahulu, Edward J. Levy memperkenalkan penalaran dari kasus

ke kasus: “reasoning from the example from case to case”, yaitu jenis

penalaran dari yang khusus ke khusus.23 Dalam menggunakan pendekatan

kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu

alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada

putusan-putusannya.24 Pendekatan kasus (case approach) itu sendiri

digunakan untuk menganalisis apakah putusan hakim dalam PHI Tingkat I

Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi Nomor 667

K/Pdt.Sus-PHI/2016 sudah didasarkan pada pertimbangan hakim yang

tepat.

3. Jenis Data dan Sumber Data

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis data primer dan

sekunder. Data primer yaitu data yang berupa peraturan perundang-

undangan atau catatan-catatan resmi. Bahan hukum primer adalah yang

memiliki otoritas.

1. Pengadilan PHI Pekanbaru, putusan Nomor 05/Pdt.Sus-

PHI/2016/PN.Pbr

2. Pengadilan Tingkat Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016

3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial

23 Ibid., hlm. 321. 24 Ibid., hlm. 158.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16328/1/T1_312014116_BAB I.pdf · 1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja

17

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari

subyek penelitian seperti data dari buku-buku, laporan, arsip, dan data

penunjang lainnya yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dan

perselisihan hubungan industrial.

Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang bersifat

menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan suatu

informasi tentang bahan-bahan sekunder misalnya majalah, surat kabar,

kamus Bahasa Indonesia, kamus hukum, website.