1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut
UU No. 13 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 angka 2 menyebutkan, tenaga kerja adalah
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, baik yang
sudah mempunyai pekerjaan (dalam hubungan kerja atau sebagai swapekerja)
maupun yang belum/tidak mempunyai pekerjaan.1 Pekerja/buruh adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal
1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan). Upah/imbalan yang
dimaksud adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.2
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kemudian
disebut UU Ketenagakerjaan, dibedakan antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/ jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
1 Abdul Rachmat Budiono,Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), cet-1, hlm.1. 2 Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3 Irsan, Koesparmono dan Armansyah, Hukum Tenaga Kerja: Suatu Pengantar, (Jakarta:
Erlangga, 2016), hlm.26.
2
untuk masyarakat.3 Mereka yang memiliki potensial untuk bekerja, namun bisa saja
berarti bahwa mereka belum bekerja. Sedangkan pekerja/ buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan atau dalam bentuk lain.4 Namun
demikian, ada pekerjaan yang dikerjakan sendiri untuk kepentingan sendiri,
misalnya seorang dokter yang membuka praktek partikelir, seorang pengacara, atau
seorang petani yang mengerjakan sendiri sawahnya yag sering disebut sebagai
pekerja bebas. Kita kenal juga istilah karyawan yang ditujukan untuk orang-orang
yang melakukan karya atau pekerjaan.5
Seorang pekerja/buruh pasti terikat secara hukum dalam suatu hubungan
kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah dan perintah.6 Adapun pengertian pengusaha yaitu: (a) orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri; (b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; (c) orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.7 Hal ini berarti bahwa seorang pengusaha dapat menjalankan perusahaan
yang bukan miliknya. Dalam menjalankan perusahaan, pekerja merupakan aktor
sosial yang paling berpengaruh dalam kemajuan perusahaan itu sendiri.
3 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 5 Irsan, Koesparmono dan Armansyah, op.cit., 2016, hlm. 27. 6 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 7 Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3
Sementara itu, pengertian perusahaan ialah: (a) setiap bentuk usaha yang
berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau
milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; (b) usaha-
usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.8
Dalam dunia ketenagakerjaan banyak ditemui berbagai konflik antara
pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/penerima kerja. Salah satunya adalah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang mana hal ini menimbulkan ketakutan
tersendiri bagi para pekerja. Dengan adanya PHK maka pekerja akan kehilangan
mata pencahariannya sementara itu bagi pengusaha juga harus mengeluarkan uang
yang tidak sedikit apabila melakukan PHK terhadap pekerjanya.9 Pasal 151
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa “(1) pekerja dan
pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin menghidari PHK. (2) Dalam hal
segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-
benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah adanya penetapan dari Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.” Pada dasarnya setiap warga
8 Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan. 9 Agusminah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia-Dinamika & kajian Teori,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 21.
4
negara berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja
serta menjamin kesempatan kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 27 ayat (2), “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Permasalahan yang timbul antara pekerja dengan pengusaha atau
perusahaan disebut perselisihan hubungan industrial. Pada ketentuan Pasal 1 Angka
1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menjelaskan, Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.10 Tidak
selamanya hubungan industrial terjalin dengan harmonis dan dinamis. Pameo
menyatakan, perselisihan hubungan industrial senantiasa akan terjadi sepanjang
masih ada pekerja dan pengusaha. Hal ini dipicu dari adanya perbedaan
kepentingan antara pekerja dan pengusaha yang pada gilirannya menimbulkan
banyak persoalan dalam hubungan industrial11.
Objek perselisihan hubungan industrial antara lain perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan karena pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antarserikat pekerja dalam suatu perusahaan.12 Dalam hal perselisihan
hak terjadi karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
10Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. 11 Saleh Mohammad, Lilik Mulyadi, Seraut Wajah: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia
(Perspektif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011),
hlm.11. 12 Ibid., Hlm. 18.
5
penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan hak merupakan perselisihan
normatif dikarenakan terjadi perselisihan terhadap hal-hal yang telah ada
pengaturan atau dasar hukumnya. Perselisihan kepentingan timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat
kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. Sedangkan perselisihan karena pemutusan hubungan kerja timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak. Pada dasarnya perselisihan PHK ini terjadi
karena adanya pertentangan pendapat tentang proses PHK, kapan saat terjadinya
PHK dan kompensasi/hak-hak PHK. Jika pengusaha yang melakukan PHK
memiliki dasar hukum yang kuat maka beban pengusaha untuk memenuhi hak-hak
PHK lebih sedikit dibanding pengusaha yang melakukan PHK dengan sewenang-
wenang. Sedangkan yang disebut sebagai subjek perselisihan industrial ialah
pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan perusahaan.
Pemutusan Hubungan Kerja akan memberikan dampak psikologis dan
finansial bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu PHK dapat dihindari dengan
terjalinnya hubungan kerja yang harmonis di antara para pihak, baik oleh pengusaha
maupun pekerja/buruh. Melihat kenyataan yang terjadi, PHK tidak mungkin
seluruhnya dapat dicegah maka kembali lagi ke ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan
(3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. PHK tidak hanya terjadi atas kemauan
pekerja/buruh tetapi juga atas kemauan pengusaha. PHK oleh pengusaha dapat
disebabkan oleh banyak alasan antara lain, pekerja mangkir, peleburan perusahaan,
berhenti beroperasinya sutau perusahaan, perusahaan pailit, dan mutasi.
6
Menurut Sastrohadiwiryo, mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang
berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status
ketenagakerjaan tenaga kerja ke situasi tertentu dengan tujuan agar tenaga kerja
yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat
memberikan prestasi kerja yang semaksimal mungkin kepada organisasi.13 Menurut
Hanggraeni, mutasi adalah pemindahan dari posisi yang baru tapi memiliki
kedudukan, tanggung jawab, dan jumlah remunerasi yang sama.14 Sedangkan
menurut Moekijat, mutasi adalah suatu perubahan dari suatu jabatan dalam suatu
kelas ke suatu jabatan dalam kelas yang lain yang tingkatnya tidak lebih tinggi atau
tidak lebih rendah (yang tingkatnya sama) dalam rencana gaji.15 Berdasarkan
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mutasi adalah suatu proses
pemindahan posisi/jabatan/pekerjaan seorang karyawan ke
posisi/jabatan/pekerjaan lain yang dianggap setingkat atau sederajat. Mutasi
merupakan kegiatan rutin dari perusahaan untuk melaksanakan prinsip “the right
men on the right place.”
Mutasi atau perpindahan jabatan/pekerjaan merupakan fenomena yang
biasa terjadi pada suatu perusahaan. Perubahan posisi jabatan/pekerjaan di sini
masih dalam level yang sama dan juga tidak diikuti perubahan tingkat wewenang,
tanggung jawab, status, kekuasaan dan pendapatannya, yang berubah dalam mutasi
hanyalah bidang tugasnya. Mutasi seringkali dilakukan atas keinginan/kebutuhan
perusahaan atau atas keinginan karyawan sendiri.16
13 M Kadarsiman, Manajemen Kompensasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 68. 14 Hanggraeni Dewi,Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2012), hlm. 80. 15 Moekijat,Manajemen Sumber daya Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hlm. 112. 16 Hasibuan Malayu S.P., Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 105.
7
Dalam penerapan mutasi, perlu memperhatikan jabatan karyawan yang
dipindahkan harus bersamaan isinya dengan jabatan yang ditinggalkan, metode
melakukan pekerjaan harus sama antara yang satu dengan yang lain, serta pejabat
yang dimutasikan harus mempunyai pengalaman yang memungkinkan mengerti
dasar-dasar pekerjaan baru.
Pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha menjadi isu para
pencari keadilan. Problema demikian sering ditemukan dalam kasus konkrit, seperti
dalam suatu proses acara di pengadilan seorang Terdakwa terhadap Perkara Pidana
atau seorang Tergugat terhadap Perkara Perdata maupun Tergugat pada Perkara
Tata Usaha Negara atau sebaliknya sebagai Penggugat merasa tidak adil terhadap
putusan Majelis Hakim dan sebaliknya Majelis Hakim merasa dengan
keyakinannya putusan itu telah adil karena putusan itu telah didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Teori pembuktian berasarkan Undang-Undang Positif.17
Secara konkrit hukum adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antar manusia dalam masyarakat, baik yang merupakan
kekerabatan, kekeluargaan dalam suatu wilayah negara. Dan masyarakat hukum itu
mengatur kehidupannya menurut nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri
(shared value) atau sama-sama mempunyai tujuan tertentu.18
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir
abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The
Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap
17Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 1996), edisi
revisi, hlm. 251. 18 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 4.
8
diskursus nilai-nilai keadilan.19 John Rawls yang dipandang sebagai perspektif
“liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan
tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.
Dalam pandangan John Rawls terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama,
di antaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang
bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial,
ekonomi pada diri masing-masing individu.20 Prinsip pertama yang dinyatakan
sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan
beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and
expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan
(difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan
(equal oppotunity principle).
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan
bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah
memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi
19Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, (Bandung: Nusa
Media, 2009), vol. 6 No. 1, hlm. 135. 20 Ibid, hlm. 136.
9
setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-
orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal, pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus
meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan
untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
Hal pemutusan secara sepihak karena mutasi oleh pengusaha terhadap
pekerja terjadi dalam Putusan Nomor: 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Pbr dan Putusan
Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tentang diputuskannya perselisihan pemutusan
hubungan kerja antara Erikson Situmorang oleh PT. Inti Komparindo Sejahtera.
Pada kasus ini, Majelis Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial mengabulkan
gugatan Penggugat, yakni Erikson Situmorang, memutuskan Penggugat berhak atas
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Majelis
Hakim beralasan bahwa Penggugat telah mengajukan bukti dan saksi untuk
memperkuat dalilnya, sementara Tergugat tidak dapat menunjukkan bukti yang
memperkuat dalilnya.
Adapun duduk perkara dalam kasus ini yaitu Penggugat telah bekerja di PT.
Inti Komparindo Sejahtera selama 5 tahun 11 bulan dengan jabatan terakhir
Karyawan Pemanen, dengan jumlah upah Rp. 1.875.000,- (Satu Juta Delapan Ratus
10
Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah) per bulan, ditambah tunjangan Tetap berupa
Natura Beras sebesar 31,5 Kg/bulan, dengan harga beras Rp.8000,- /Kg
sebagaimana Peraturan Gubernur Riau No.29 Tahun 2014 tentang Upah Minimum
Sub Sektor Pertanian/Perkebunan Kelapa dan Kelapa Sawit Serta Tanaman Karet
Provinsi Riau Tahun 2014 Jo Kesepakatan Bersama antara Serikat Pekerja
Pertanian dan Perkebunan-SPSI Propinsi Riau dengan BKSPPS dan GAPKI
Cabang Riau.
Kemudian pada tanggal 16 November 2013 Penggugat mendapatkan Surat
dari Tergugat agar yang bersangkutan yang telah di mutasikan dari Afdeling 7.A ke
Afdeling 2.A pindah rumah. Bahwa pada dasarnya Penggugat tidak keberatan
pindah rumah ke Afdeling 2.A tempat Penggugat di mutasikan, namun karena anak
Penggugat kebetulan sudah kelas VI SD yang sebentar lagi akan melaksanakan
Ujian Nasional maka tidak memungkinkan lagi untuk dipindahkan sekolahnya,
maka Penggugat menjumpai Pimpinannya agar untuk sementara waktu sampai
anaknya selesai Ujian Nasional diperbolehkan melaju setiap pagi dari tempat biasa
ke tempat Penggugat dimutasikan, mengingat apabila harus pindah rumah maka
terpaksa anaknya juga harus dipindahkan sekolahnya karena lokasi sekolah di
Afdeling 7.A sudah berbeda dengan Lokasi Sekolah di Afdeling 2.A, dimana
Afdeling 7.A bersekolah ke SD Danau Lancang Kec. Tapung Hulu, Kab. Kampar,
Provinsi Riau. Sedangkan Afdeling 2.A bersekolah ke SD Kota Baso, Kecamatan
baso, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, yang mempunyai jarak + 15 KM,
begitu juga angkutan anak sekolah yang ada dari Afdeling 7.A hanya ke SD Danau
Lancang, sedangkan angkutan anak sekolah dari Afdeling 2.A hanya ke SD Kota
11
Baso, namun aspirasi yang disampaikan Penggugat tersebut didak disetujui oleh
Tergugat.
Pada tanggal 12 Desember 2013 dan tanggal 2 Januari 2014 Penggugat
menerima Surat Peringatan I dan II dari Tergugat dengan alasan tidak pindah
rumah, dan atas Surat Peringatan tersebut, maka Penggugat mencoba menjumpai
dan berkonsultasi dengan Wali kelas dan Kepala Sekolah SD Danau Lancang
tempat anaknya bersekolah, namun Wali Kelas dan Guru Kepala Sekolah
menyarankan agar anaknya tidak dipindahkan karena sebentar lagi akan
dilaksanakan Ujian Nasional dimana Nomor Induk Sekolah Nasional (NISN),
Nomor Ujian dan juga lokasi tempat ujian Nasional sudah ditentukan oleh Dinas
Pendidikan.
Penggugat kembali menjumpai Tergugat agar sampai anaknya selesai
melaksanakan Ujian Nasional tetap diperbolehkan menempati rumah yang sedang
ditempati dan berangkat kerja dengan melaju pakai sepeda motornya, namun
permohonan Penggugat tersebut tetap tidak disetujui oleh Tergugat. Kemudian
tepatnya tanggal 8 Januari 2014 Tergugat kembali menyampaikan Surat Peringatan
III kepada Penggugat dimana alasannya tetap karena tidak bersedia pindah rumah,
padahal selama Penggugat bekerja melaju pakai sepeda motornya, tidak pernah
terlambat atau mengganggu pekerjaannya.
Pada tanggal 26 April 2014, Tergugat justru menyampaikan Surat
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Penggugat dengan alasan tidak pindah
rumah maka Penggugat dianggap membangkang terhadap pimpinan maka di PHK
terhitung tanggal 28 April 2014.
12
Bahwa atas permasalahan tersebut, Penggugat dan Tergugat telah
melakukan Perundingan Bipartit, namun tidak menghasilkan suatu kesepakatan,
karena Tergugat tetap tidak mau lagi untuk mengerjakan Penggugat. Atas dasar
bukti dan saksi yang menguatkan dalil Penggugat maka Majelis Hakim pada
Pengadilan Hubungan Industial Pengadilan Negeri Pekanbaru mengabulkan
sebagian gugatan Penggugat. Sementara untuk tuntutan Penggugat mengenai
pembayaran Upah Sebelum Putusan Pengadilan ditetapkan masing-masing
Penggugat sebesar 6 (enam) bulan Upah, Uang Pesangon 2 (dua) ketentuan Pasal
156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja Satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3),
dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, secara tunai, seketika dan sekaligus ditangguhkan dan
hanya mewajibkan Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat atas PHK
tersebut sesuai Pasal 164 ayat (3).
Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (untuk selanjutnya
disebut MA). MA berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. Inti Kamparindo Sejahtera tersebut
dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Pekanbaru Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr tanggal 30 Maret 2016.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang
pertimbangan hakim dalam putusan PHI Tk. I dan Kasasi dalam judul “Studi Kasus
tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh Pengusaha dalam
Putusan PHI Tingkat I Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi
Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016”.
13
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diambil
yaitu:
Apakah putusan Majelis Hakim pada Putusan PHI Tingkat I Nomor
05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016
sudah mencerminkan penerapan asas keadilan?
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan data serta
informasi yang penulis dapatkan, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui
penerapan asas keadilan dalam Putusan PHI Tingkat I Nomor 05/Pdt.Sus-
PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016 dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
1.4.Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian, diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan
yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan. Manfaat penelitian ini antara
lain:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam memperkaya wawasan dalam bidang ketenagakerjaan
khususnya mengenai penerapan asas keadilan dalam penyelesaian
perselisihan akibat pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh
pengusaha. Dan juga penelitian ini diharapkan mampu menjadi rujukan
14
ataupun bahan bantu dalam dunia perkuliahan maupun untuk kepentingan
pribadi.
2. Manfaat Praktisi
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat membantu lembaga
ketenagakerjaan untuk menjadi bahan referensi dalam pertimbangan-
pertimbangan hukum ketenagakerjaan selanjutnya, khususnya terkait
dengan penerapan asas keadilan dalam penyelesaian perselisihan akibat
pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha.
1.5.Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu metode yang digunakan oleh peneliti untuk
mengelola data sesuai dengan tujuan penelitian.
1. Jenis Penelitian
Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian normatif,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.21 Bahan hukum primer yang meliputi Undang-Undang No
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sedangkan bahan hukum
sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan
21Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia,
2011), Hlm. 57.
15
memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan
hukum tersebut disusun secara sistematis kemudian didapatkan suatu
kesimpulan yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Penelitian normatif berusaha untuk mengkaji dan mendalami serta mencari
jawaban tentang apa yang seharusnya dari setiap permasalahan.22
Metode penelitian normatif ini juga biasa disebut dengan penelitian
hukum doktriner atau juga disebut penelitian perpustakaan. Sebab
penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga
penelitian tersebut sangat erat hubungannya pada perpustakaan dikarenakan
hukum normatif ini akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder
pada perpustakaan.
2. Pendekatan Masalah
a. Pendekatan Perundang-Undangan
Penelitian ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-
undangan yang bersangkutpaut dengan permasalahan yang sedang dihadapi.
Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan
mempelajari kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan Undang-
Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang
yang lain, dengan menitikberatkan pada peraturan-peraturan mengenai
ketenagakerjaan dan perselisihan hubungan industrial.
b. Pendekatan Kasus
Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan
22Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), edisi revisi, hlm. 137.
16
dalam praktik hukum. Dalam tradisi common law, sebagaimana yang telah
dibahas terdahulu, Edward J. Levy memperkenalkan penalaran dari kasus
ke kasus: “reasoning from the example from case to case”, yaitu jenis
penalaran dari yang khusus ke khusus.23 Dalam menggunakan pendekatan
kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu
alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada
putusan-putusannya.24 Pendekatan kasus (case approach) itu sendiri
digunakan untuk menganalisis apakah putusan hakim dalam PHI Tingkat I
Nomor 05/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Pbr dan Putusan Kasasi Nomor 667
K/Pdt.Sus-PHI/2016 sudah didasarkan pada pertimbangan hakim yang
tepat.
3. Jenis Data dan Sumber Data
Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis data primer dan
sekunder. Data primer yaitu data yang berupa peraturan perundang-
undangan atau catatan-catatan resmi. Bahan hukum primer adalah yang
memiliki otoritas.
1. Pengadilan PHI Pekanbaru, putusan Nomor 05/Pdt.Sus-
PHI/2016/PN.Pbr
2. Pengadilan Tingkat Kasasi Nomor 667 K/Pdt.Sus-PHI/2016
3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
23 Ibid., hlm. 321. 24 Ibid., hlm. 158.
17
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari
subyek penelitian seperti data dari buku-buku, laporan, arsip, dan data
penunjang lainnya yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dan
perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang bersifat
menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan suatu
informasi tentang bahan-bahan sekunder misalnya majalah, surat kabar,
kamus Bahasa Indonesia, kamus hukum, website.