bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Secara umum proses peradilan di pengadilan baik pidana, perdata maupun
tata usaha negara dikenal istilah upaya hukum. upaya hukum adalah upaya
yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seseorang atau badan hukum
untuk hal tertentu melawan putusan hakim. Dalam teori dan praktek kita
mengenal ada dua macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa.
Salah satu masalah hukum yang akhir-akhir ini menjadi problem adalah
masalah upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali yang selanjutnya
disebut (PK) khususnya perkara pidana yang sampai sekarang ini dinilai oleh
berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam prakteknya
sehingga menimbulkan kebingungan didalam berpraktek hukum acara pidana.
PK adalah suatu upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan PK kepada Mahkamah Agung yang selanjutnya
disebut (MA) dengan memperhatikan pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut (KUHAP).1
1Yahya Harahap. 2006. Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan PK) Edisi Kedua. Jakarta. Sinar
Grafika.Hal. 614.
2
2
Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap ialah
putusan pengadilan negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan
pengadilan tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat MA),
atau putusan kasasi MA.
Pasal 263 ayat (2) KUHAP berbunyi : PK dapat diajukan terhadap
putusan kasasi MA apabila terdapat keadaan baru atau bukti baru (Novum)
yang menimbulkan dugaan kuat, apabila dalam berbagai putusan terdapat
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, apabila putusan itu memperlihatkan
suatu kekhilafan hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata. Peninjauan
Kembali boleh dilakukan hanya satu kali.2 Dan sifat pengajuannya tidak
menunda pelaksanaan eksekusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
selanjutnya disebut (UUD NRI 1945) menempatkan perlindungan Hak Asasi
Manusia yang selanjutnya disebut (HAM) termasuk warga negara pencari
keadilan. Kepastian hukum dalam peristiwa konkrit berakhir ketika telah
dijatuhkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan putusan terakhir dan mengikat pada putusan perkara tingkat kasasi.
Putusan MA pada tingkat kasasi wajib segera di eksekusi tanpa
penundaan oleh penuntut umum yang mewakili negara. Pada titik inilah dapat
dikatakan telah dipenuhi citra kepastian hukum karena timbul implikasi
2 JurAndi Hamzah. 2013.Hukum Acara Pidana Indonesia. edisi kedua. Jakarta. Sinar Grafika.
Hal. 305.
3
3
hukum, yaitu perubahan status hukum terdakwa menjadi terpidana, dan
implikasinya baik dibidang sosial, ekonomi, dan politik.
Pembentukan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP sangat
mempertimbangkan sila peri kemanusiaan yang adil dan beradap serta
keadilan sosial bagi warga negaranya termasuk terpidana, yaitu dengan
dimasukkannya upaya hukum PK sebagai upaya hukum luar biasa.
Penempatan PK sebagai salah satu upaya hukum dalam sisten hukum acara
peradilan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan atas
HAM, tanpa mengorbankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang
merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum.3
Hal ini disebabkan suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) bisa dibatalkan jika terdapat bukti-bukti
baru (novum) yang diakui kebenarannya oleh pengadilan dalam proses PK.
Akan tetapi, proses peradilan yang menggunakan sistem hukum acara,
menggunakan tata cara pemeriksaan prosedural yang ketat dan standar
pembuktian yang diharapkan dapat mewujudkan kebenaran materiil (the
ultimate truth), juga bisa mengalami kesalahan justru karena
proseduralitasnya tersebut.4
Seiring berjalannya waktu Antasari Azhar ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) non aktif mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah
Konstitusi yang selanjutnya disebut (MK) terkait dengan PK hanya dilakukan
3 Adam Chuzawi. 2011. Lembaga PK (PK) Perkara Pidana : Penegakan Hukum Dalam
Penyimpangan Praktik Dan Peradilan Sesat. Cetakan Kedua. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 108.
4 Ibid, Hal. 109.
4
4
satu kali, Antasari menilai PK sekali saja membatasi keadilan sesorang yang
dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945.5
Keberadaan PK sebagai instrumen upaya hukum luar biasa dalam hukum
acara pidana dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya proses koreksi
jika ditemukan adanya kelemahan dalam proses pembuktian di peradilan yang
dilaksanakan secara hierarki sejak peradilan tingkat pertama, tingkat banding,
hingga kasasi.
Setelah memalui proses panjang akhirnya MK memutuskan dengan
menerbitkan surat putusan MK No 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bunyi
pasal 268 ayat 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat lagi, dengan adanya putusan MK No 34/PUU-XI/2013 ini
permintaan PK bisa diajukan lebih dari satu kali bahkan mungkin tidak
terbatas. Oleh karena itu terkait dengan keadilan yang merupakan hak
konstitusional bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain itu karena novum
dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditemukan secara pasti kapan
waktunya.
Sebagai sebuah lembaga peradilan, MK memiliki peran strategis dalam
mengawal dan menjamin terlaksananya prinsip-prinsip dan norma yang
5 Lukman hakim. Politik hukum. Harian kompas 10 april 2013. Hal. 13.
5
5
terkandung dalam konstitusi sebagai norma tertinggi penyelenggaraan hidup
bernegara (the supreme law of the constitution).6
Kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final and binding khusunya menguji Undang-
Undaang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sangketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil
pemilihan umum.7
Akibat putusan MK No.34/PUU-XI/2013, banyak terjadi pro dan kontra
antara MA, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementrian Hukum dan
HAM, MK bukan saja telah menciptakan rechtsvacuum tapi juga merusak
harmonisasi hubungan antara pasal 259 ayat (1) dan pasal 268 ayat (3) UU
No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP yang ujungnya adalah ketidakpastian
hukum atau legal uncertainty.
Dengan mempertimbangkan kan aspek kepastian hukum, menerapkan
pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP,
melaksanakan pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang
MA, serta menjalankan pasal 38 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
yang selanjutnya disebut (SEMA) No. 07 tahun 2014 yang berisi membatasi
6 Hamdan Zoelva. 2009. Kewenangan MK dalam Constitutional Complaint dan Constitutional
Questio. (MK Republik Indonesia).Hal. 4.
7 Lihat Pasal 24 c ayat (1) UUD NRI 1945
6
6
PK hanya satu kali yang membuat putusan MK No.34/PUU-XI/2013 yang
menyatakan pasal 268 ayat 3 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi menjadi tidak berarti.
Sehingga para hakim yang berada dibawah naungan MA mematuhi
SEMA No 7 tahun 2014 sebagai landasan hukum agar PK dibatasi hanya satu
kali, inilah yang membuat hukum menjadi tidak harmonis antara putusan MK
No.34/PUU-XI/2013 dan keluarnya SEMA No.7 tahun 2014. Realitanya
bahwa Putusan MK No 34/PUU-XI/2013 langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diterbitkan dan tidak ada upaya hukum yang ditempuh
final and binding.8
Dikatakan secara teoritis final bermakna putusan MK berkekuatan hukum
tetap setelah selesai diterbitkan dalam persidangan terbuka untuk umum dan
tidak ada upaya hukum yang ditempuh terhadap putusan itu, sifat mengikat
bermakna putusan MK tidak hanya berlaku para pihak tetapi bagi seluruh
masyarakat indonesia.9
MA berwenang memberikan petunjuk disemua lingkungan peradilan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan.10
MA dapat mengatur lebih lanjut hal-
hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini.11
8 Lihat pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang No 8 tahun 2011 tentang MK.
9 Ahsan Yunus S.H.2011. jurnal konstitusi volume III No 2.November. Akhir Putusan MK.
Yogyakarta. Hal. 13.
10
Lihat pasal 38 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.
11
Lihat pasal 32 Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang MA.
7
7
SEMA berbentuk edaran pimpinan MA keseluruh jajaran peradilan yang
berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat
administratif yang tidak lain ditetapkan pejabat administrasi negara dalam
rangka penyelenggaraan tugas.12
Berbagai pendapat muncul akan terbitnya SEMA No.7 tahun 2014 ini
Aziz Syamsudin ketua komisi III DPR yang khusus membidangi masalah
hukum berkata wacana pembatasan PK layak didukung mengingat bertujuan
memberi kepastian hukum terhadap para terpidana mati. Secara akal sehat ini
demi kepastian hukum. Sehingga eksekusi atau eksekutor dari Kejaksaan
Agung ada kepastian hukumnya, ” ujar Aziz di komplek parlemen, Senayan,
Jakarta.13
Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang MA
menegaskan pengajuan PK hanya diajukan satu kali. sehingga putusan MK
No.34/PUU-XI/2013 menyebabkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP
inkonstitusional tidak otomatis menghapus norma hukum yang diatur dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang MA. SEMA
No 7 Tahun 2014 yang ditandatangani Ketua MA, Hatta Ali pada 31
Desember 2014 tersebut, telah dikirimkan kepada seluruh ketua pengadilan di
seluruh Indonesia untuk dilaksanakan.14
12 Hotman P Sibuea. 2010. Asas Negara Hukumdan Peraturan Kebijakan. Jakarta. Erlangga.
Hal. 101.
13
Sahendra sunarya. Kepastian hukum PK. http:sulaiman.wordpress.com/2015. Diakses
tanggal 20 desember 2015.
14
Bambang sulaiman. Instruksi MA. Jawa pos group. 3 januari 2015. Hal. 7.
8
8
Setiap perkara yang disengketakan, tentunya terdapat keinginan agar
perkara itu dapat diselsaikan secara cepat dan harus ada akhirnya, karena
walau bagaimanapun, proses yang dijalani oleh terdakwa dalam penyelsaian
perkaranya, akan membawa pengaruh pada dirinya sendiri secara psikis,
bahkan mungkin pengaruh psikis tersebut akan berdampak pada keluarga.
Tujuan hukum adalah menyeimbangkan antara keadilan dan kepastian
hukum.15
Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 yang mengatakan bunyi pasal
268 ayat 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan
dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi
tidak lain hanyalah demi memberikan keadilan yang subtansial, PK dapat
diajukan lebih dari sekali jika ditemukan bukti baru (Novum) yang signifikan.
Tak menampik, terkesan putusan MK No.34/PUU-XI/2013 itu tak
memperhatikan asas kepastian hukum. Sedangkan SEMA No.7 tahun 2014
yang dikeluarkan MA demi menjalankan kepastian hukum.
Tak dapat dipungkiri, didalam PK terdapat hukum menjadi tidak
harmonis, tuntutan-tuntutan keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hukum.
Makin banyak hukum memenuhi syarat peraturan tetap yang banyak
meniadakan kepastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu,
makin terdesaklah keadilan.
Persoalan PK lebih dari sekali kini diperdebatkan dari sudut pandang
keadilan dan kepastian hukum keduanya itu merupakan dua hal yang sejak
15 C.S.T. Kansil. S.H. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta. Balai
Pustaka. Hal. 43.
9
9
lama diperdebatkan dalam filsafat hukum. Didalam filsafat hukum di dunia
barat, keadilan dan kepastian hukum sering dianggap dua hal yang
bertentangan, hukum adil, tapi tidak punya kepastian dan hukum pasti, tapi
tidak mengandung keadilan.16
Oleh karena itu maka penulis sangat tertarik untuk mentelaah kedudukan
SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki Perundang-
Undangan dan kemudian menarik kesimpulan dari Implikasi hukum SEMA
No. 7 tahun tentang pembatsan PK. Sehingga penulis mengambil judul
“KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG No. 7
TAHUN 2014 TENTANG PEMBATASAN PENINJAUAN KEMBALI
DALAM HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN”.
B. Permasalahan
1. Bagaimana kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK
dalam hierarki Perundang-Undangan?
2. Apa implikasi hukum SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK ?
C. Tujuan
Tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang
pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan;
16 Soeparman. 2007. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum PK Perkara Pidana Bagi
Korban Kejahatan. Cetakan Pertama. Refika Aditama. Bandung. Hal. 263.
10
10
2. Untuk mengetahui implikasi hokum SEMA No. 7 tahun 2014 tentang
pembatasan PK;
D. Manfaat Penelitian
D.1. Bagi Penulis
Selain sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Strata Satu ilmu
hukum, harapannya penelitian ini juga dapat menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan tentang kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang
pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan implikasi
hukum SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK.
D.2. Bagi institusi hukum
Dengan adanya penelitian ini diharapkan institusi pengadilan dapat
terjadi kejelasan terkait kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang
pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan Implikasi
hukum SEMA No. 7 tahun tentang pembatasan PK.
D.3. Bagi Aparatur Penegak Hukum
Sebagai sumbangsih pemikiran penulis untuk kalangan yudikatif,
instansi peradilan dan termasuk aparatur penegak hukum lainnya dalam
rangka menerapkan dan menegakkan kedudukan SEMA No. 7 tahun
2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan
Implikasi hukum SEMA No. 7 tahun tentang pembatasan PK, yang
memiliki relevansi dengan hukum tata negara di indonesia yang
bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan publik.
11
11
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian hukum yang ingin dicapai oleh penulis dari
penelitian ini mencangkup kegunaan akademis dan kegunaan praktis, sebagai
berikut :
E.1. Kegunaan Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran, dan dapat memberikan wawasan atau/ gambaran yang
berguna serta bermanfaat bagi pengembangan disiplin ilmu hukum
E.2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan informatif
yaitu sebagai bahan masukan informasi bagi lembaga yudikatif yaitu
MA dan MK
F. Metode penelitian
F.1. Metode pendekatan yuridis normatif
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau
penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan
sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.17
Penulisan ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis
normatif dilakukan dengan cara mentelaah dan menginterpretasikan
hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut teori SEMA, hierarki
17
Abdulkadir Muhammad.2004.Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.Hal. 112.
12
12
Perundang-Undangan, upaya hukum luar biasa PK, pembatsan PK, teori
tujuan hukum putusan mk no. 34/puu-XI/2013, dan SEMA no. 7 tahun
2014, yang bertujuan untuk mentelaah kedudukan SEMA No. 7 tahun
2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan
kemudian menarik kesimpulan dari Implikasi hukum SEMA No. 7
tahun tentang pembatasan PK. Pendekatan ini dikenal pula dengan
pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari jurnal-jurnal, buku-
buku, Peraturan Perundang-Undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.18
F.2. Jenis bahan hukum
a). Bahan hukum primer meliputi19
: SEMANo.7 tahun 2014 dan
Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 serta pembatasan PK, dan
peraturan yang berhubungan dengan ketiganya.
b). Bahan hukum sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh
dari studi pustaka berupa jurnal-jurnal, buku-buku, makalah, atau
sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
c). Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer dan sekunder
18 Soerjono. 1985. Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta. Rajawali Pers. Hal. 52.
19 Bambang Sunggono. 1998. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hal. 116. Bambang mengemukakan bahwa bahan hukum Primer yaitu bahan hukum yang
mengikat yang terdiri dari, 1). Norma atau kaidah dasar pembukaan UUD NRI 1945. 2). Peraturan
dasar , yaitu UUD NRI 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR. 3). Peraturan perundang-undangan.
4). Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat. 5). Yurisprudensi. 5). Traktat. 7).
Bahan hukum dari zaman penjajahan yang kini masih berlaku.
13
13
seperti kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia,
dan lain-lain.
F.3. Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah model
studi kepustakaan (library research). Yang dimaksud adalah pengkajian
informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber
dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian
hukum normatif,20
yakni penulisan yang didasari pada data-data yang
dijadikan obyek penulisan kemudian dikaji dan disusun secara
komprehensif.
F.4. Teknik analisa bahan hukum
Metode analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara
deskriptif kualitatif yakni suatu gambaran dengan cara pengumpulan
data dan informasi yang diperoleh dari data primer dan sekunder secara
jelas, sehingga nantinya dapat ditarik kesimpulan dari Kedudukan
SEMA No.7 tahun 2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki
Perundang-Undangan serta Implikasi hukum SEMA No. 7 tahun 2014
tentang pembatasan PK. Data yang dianalisis akan dikemukakan dalam
bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar
jenis data, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar
20
Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang.
Bayumedia. Hal. 392.
14
14
hukumnya dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang
dimaksud dalam penelitian ini.
G. Sistematika penulisan
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam empat
bab dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar
mempermudah pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab, yang memuat alasan atau faktor dorongan yang menjadi
pentingnya dilakukan suatu penelitian berdasarkan permasalahan yang ada.
Rumusan masalah, meliputi pertanyaan yang fokus dan spesifik terhadap
masalah yang dibahas serta merupakan dasar pemilihan judul. Tujuan
penulisan memuat pernyataan singkat tentang apa yang hendak dicapai dalam
penelitian. Manfaat penelitian merupakan uraian mengenani manfaat untuk
subyek-subyek yang terkait, kegunaan untuk objek-objek yang terkait.
metode penulisan, yang menguraikan tentang metode pendekatan yang
digunakan dalam penulisan, jenis bahan hukum yang digunakan, tekhnik
pengumpulan bahan dan teknik analisa serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini penulis akan memaparkan landasan teori atau kajian teori tentang
SEMA, hierarki Perundang-Undangan, upaya hukum luar biasa PK,
pembatsan PK, teori tujuan hukum, putusan mk no. 34/puu-XI/2013, dan
15
15
SEMA no. 7 tahun 2014, pasal-pasal di dalam Undang-Undang yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis yaitu
menyangkut Kedudukan SEMA No.7 tahun 2014 tentang pembatasan PK
dalam hierarki Perundang-Undangan serta Implikasi hokum SEMANo. 7
tahun 2014 tentang pembatasan PK
BAB III PEMBAHASAN
Bab ini penulis akan menjawab, menguraikan, dan menganalisis secara
rinci dan jelas terkait rumusan masalah yang berhubungan dengan objek yang
diteliti yang berkenaan dengan Kedudukan SEMA No.7 tahun 2014 tentang
pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan serta Implikasi hukum
SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK.
BAB IV PENUTUP
Merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana berisikan
kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisi saran atau
rekomendasi penulis terhadap permasalahan yang diangkat dalam penulisan
hukum ini.