bab i pendahuluan a. latar...

15
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Secara umum proses peradilan di pengadilan baik pidana, perdata maupun tata usaha negara dikenal istilah upaya hukum. upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu melawan putusan hakim. Dalam teori dan praktek kita mengenal ada dua macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Salah satu masalah hukum yang akhir-akhir ini menjadi problem adalah masalah upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali yang selanjutnya disebut (PK) khususnya perkara pidana yang sampai sekarang ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam prakteknya sehingga menimbulkan kebingungan didalam berpraktek hukum acara pidana. PK adalah suatu upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan PK kepada Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut (MA) dengan memperhatikan pasal 263 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut (KUHAP). 1 1 Yahya Harahap. 2006. Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan PK) Edisi Kedua. Jakarta. Sinar Grafika.Hal. 614.

Upload: duonghanh

Post on 11-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Secara umum proses peradilan di pengadilan baik pidana, perdata maupun

tata usaha negara dikenal istilah upaya hukum. upaya hukum adalah upaya

yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seseorang atau badan hukum

untuk hal tertentu melawan putusan hakim. Dalam teori dan praktek kita

mengenal ada dua macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya

hukum luar biasa.

Salah satu masalah hukum yang akhir-akhir ini menjadi problem adalah

masalah upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali yang selanjutnya

disebut (PK) khususnya perkara pidana yang sampai sekarang ini dinilai oleh

berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam prakteknya

sehingga menimbulkan kebingungan didalam berpraktek hukum acara pidana.

PK adalah suatu upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat

mengajukan permintaan PK kepada Mahkamah Agung yang selanjutnya

disebut (MA) dengan memperhatikan pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut (KUHAP).1

1Yahya Harahap. 2006. Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan PK) Edisi Kedua. Jakarta. Sinar

Grafika.Hal. 614.

2

2

Putusan pengadilan yang disebut mempunyai kekuatan hukum tetap ialah

putusan pengadilan negeri yang tidak diajukan upaya banding, putusan

pengadilan tinggi yang tidak diajukan kasasi (upaya hukum di tingkat MA),

atau putusan kasasi MA.

Pasal 263 ayat (2) KUHAP berbunyi : PK dapat diajukan terhadap

putusan kasasi MA apabila terdapat keadaan baru atau bukti baru (Novum)

yang menimbulkan dugaan kuat, apabila dalam berbagai putusan terdapat

pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, apabila putusan itu memperlihatkan

suatu kekhilafan hakim atau sesuatu kekeliruan yang nyata. Peninjauan

Kembali boleh dilakukan hanya satu kali.2 Dan sifat pengajuannya tidak

menunda pelaksanaan eksekusi.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang

selanjutnya disebut (UUD NRI 1945) menempatkan perlindungan Hak Asasi

Manusia yang selanjutnya disebut (HAM) termasuk warga negara pencari

keadilan. Kepastian hukum dalam peristiwa konkrit berakhir ketika telah

dijatuhkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dan putusan terakhir dan mengikat pada putusan perkara tingkat kasasi.

Putusan MA pada tingkat kasasi wajib segera di eksekusi tanpa

penundaan oleh penuntut umum yang mewakili negara. Pada titik inilah dapat

dikatakan telah dipenuhi citra kepastian hukum karena timbul implikasi

2 JurAndi Hamzah. 2013.Hukum Acara Pidana Indonesia. edisi kedua. Jakarta. Sinar Grafika.

Hal. 305.

3

3

hukum, yaitu perubahan status hukum terdakwa menjadi terpidana, dan

implikasinya baik dibidang sosial, ekonomi, dan politik.

Pembentukan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP sangat

mempertimbangkan sila peri kemanusiaan yang adil dan beradap serta

keadilan sosial bagi warga negaranya termasuk terpidana, yaitu dengan

dimasukkannya upaya hukum PK sebagai upaya hukum luar biasa.

Penempatan PK sebagai salah satu upaya hukum dalam sisten hukum acara

peradilan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan atas

HAM, tanpa mengorbankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang

merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum.3

Hal ini disebabkan suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde) bisa dibatalkan jika terdapat bukti-bukti

baru (novum) yang diakui kebenarannya oleh pengadilan dalam proses PK.

Akan tetapi, proses peradilan yang menggunakan sistem hukum acara,

menggunakan tata cara pemeriksaan prosedural yang ketat dan standar

pembuktian yang diharapkan dapat mewujudkan kebenaran materiil (the

ultimate truth), juga bisa mengalami kesalahan justru karena

proseduralitasnya tersebut.4

Seiring berjalannya waktu Antasari Azhar ketua Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) non aktif mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah

Konstitusi yang selanjutnya disebut (MK) terkait dengan PK hanya dilakukan

3 Adam Chuzawi. 2011. Lembaga PK (PK) Perkara Pidana : Penegakan Hukum Dalam

Penyimpangan Praktik Dan Peradilan Sesat. Cetakan Kedua. Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 108.

4 Ibid, Hal. 109.

4

4

satu kali, Antasari menilai PK sekali saja membatasi keadilan sesorang yang

dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945.5

Keberadaan PK sebagai instrumen upaya hukum luar biasa dalam hukum

acara pidana dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya proses koreksi

jika ditemukan adanya kelemahan dalam proses pembuktian di peradilan yang

dilaksanakan secara hierarki sejak peradilan tingkat pertama, tingkat banding,

hingga kasasi.

Setelah memalui proses panjang akhirnya MK memutuskan dengan

menerbitkan surat putusan MK No 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan bunyi

pasal 268 ayat 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP

bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat lagi, dengan adanya putusan MK No 34/PUU-XI/2013 ini

permintaan PK bisa diajukan lebih dari satu kali bahkan mungkin tidak

terbatas. Oleh karena itu terkait dengan keadilan yang merupakan hak

konstitusional bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain itu karena novum

dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditemukan secara pasti kapan

waktunya.

Sebagai sebuah lembaga peradilan, MK memiliki peran strategis dalam

mengawal dan menjamin terlaksananya prinsip-prinsip dan norma yang

5 Lukman hakim. Politik hukum. Harian kompas 10 april 2013. Hal. 13.

5

5

terkandung dalam konstitusi sebagai norma tertinggi penyelenggaraan hidup

bernegara (the supreme law of the constitution).6

Kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final and binding khusunya menguji Undang-

Undaang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sangketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil

pemilihan umum.7

Akibat putusan MK No.34/PUU-XI/2013, banyak terjadi pro dan kontra

antara MA, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementrian Hukum dan

HAM, MK bukan saja telah menciptakan rechtsvacuum tapi juga merusak

harmonisasi hubungan antara pasal 259 ayat (1) dan pasal 268 ayat (3) UU

No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP yang ujungnya adalah ketidakpastian

hukum atau legal uncertainty.

Dengan mempertimbangkan kan aspek kepastian hukum, menerapkan

pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP,

melaksanakan pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang

MA, serta menjalankan pasal 38 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung

yang selanjutnya disebut (SEMA) No. 07 tahun 2014 yang berisi membatasi

6 Hamdan Zoelva. 2009. Kewenangan MK dalam Constitutional Complaint dan Constitutional

Questio. (MK Republik Indonesia).Hal. 4.

7 Lihat Pasal 24 c ayat (1) UUD NRI 1945

6

6

PK hanya satu kali yang membuat putusan MK No.34/PUU-XI/2013 yang

menyatakan pasal 268 ayat 3 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi menjadi tidak berarti.

Sehingga para hakim yang berada dibawah naungan MA mematuhi

SEMA No 7 tahun 2014 sebagai landasan hukum agar PK dibatasi hanya satu

kali, inilah yang membuat hukum menjadi tidak harmonis antara putusan MK

No.34/PUU-XI/2013 dan keluarnya SEMA No.7 tahun 2014. Realitanya

bahwa Putusan MK No 34/PUU-XI/2013 langsung memperoleh kekuatan

hukum tetap sejak diterbitkan dan tidak ada upaya hukum yang ditempuh

final and binding.8

Dikatakan secara teoritis final bermakna putusan MK berkekuatan hukum

tetap setelah selesai diterbitkan dalam persidangan terbuka untuk umum dan

tidak ada upaya hukum yang ditempuh terhadap putusan itu, sifat mengikat

bermakna putusan MK tidak hanya berlaku para pihak tetapi bagi seluruh

masyarakat indonesia.9

MA berwenang memberikan petunjuk disemua lingkungan peradilan

dalam rangka pelaksanaan ketentuan.10

MA dapat mengatur lebih lanjut hal-

hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila

terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini.11

8 Lihat pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang No 8 tahun 2011 tentang MK.

9 Ahsan Yunus S.H.2011. jurnal konstitusi volume III No 2.November. Akhir Putusan MK.

Yogyakarta. Hal. 13.

10

Lihat pasal 38 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.

11

Lihat pasal 32 Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang MA.

7

7

SEMA berbentuk edaran pimpinan MA keseluruh jajaran peradilan yang

berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat

administratif yang tidak lain ditetapkan pejabat administrasi negara dalam

rangka penyelenggaraan tugas.12

Berbagai pendapat muncul akan terbitnya SEMA No.7 tahun 2014 ini

Aziz Syamsudin ketua komisi III DPR yang khusus membidangi masalah

hukum berkata wacana pembatasan PK layak didukung mengingat bertujuan

memberi kepastian hukum terhadap para terpidana mati. Secara akal sehat ini

demi kepastian hukum. Sehingga eksekusi atau eksekutor dari Kejaksaan

Agung ada kepastian hukumnya, ” ujar Aziz di komplek parlemen, Senayan,

Jakarta.13

Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang MA

menegaskan pengajuan PK hanya diajukan satu kali. sehingga putusan MK

No.34/PUU-XI/2013 menyebabkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP

inkonstitusional tidak otomatis menghapus norma hukum yang diatur dalam

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang MA. SEMA

No 7 Tahun 2014 yang ditandatangani Ketua MA, Hatta Ali pada 31

Desember 2014 tersebut, telah dikirimkan kepada seluruh ketua pengadilan di

seluruh Indonesia untuk dilaksanakan.14

12 Hotman P Sibuea. 2010. Asas Negara Hukumdan Peraturan Kebijakan. Jakarta. Erlangga.

Hal. 101.

13

Sahendra sunarya. Kepastian hukum PK. http:sulaiman.wordpress.com/2015. Diakses

tanggal 20 desember 2015.

14

Bambang sulaiman. Instruksi MA. Jawa pos group. 3 januari 2015. Hal. 7.

8

8

Setiap perkara yang disengketakan, tentunya terdapat keinginan agar

perkara itu dapat diselsaikan secara cepat dan harus ada akhirnya, karena

walau bagaimanapun, proses yang dijalani oleh terdakwa dalam penyelsaian

perkaranya, akan membawa pengaruh pada dirinya sendiri secara psikis,

bahkan mungkin pengaruh psikis tersebut akan berdampak pada keluarga.

Tujuan hukum adalah menyeimbangkan antara keadilan dan kepastian

hukum.15

Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 yang mengatakan bunyi pasal

268 ayat 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan

dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi

tidak lain hanyalah demi memberikan keadilan yang subtansial, PK dapat

diajukan lebih dari sekali jika ditemukan bukti baru (Novum) yang signifikan.

Tak menampik, terkesan putusan MK No.34/PUU-XI/2013 itu tak

memperhatikan asas kepastian hukum. Sedangkan SEMA No.7 tahun 2014

yang dikeluarkan MA demi menjalankan kepastian hukum.

Tak dapat dipungkiri, didalam PK terdapat hukum menjadi tidak

harmonis, tuntutan-tuntutan keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hukum.

Makin banyak hukum memenuhi syarat peraturan tetap yang banyak

meniadakan kepastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu,

makin terdesaklah keadilan.

Persoalan PK lebih dari sekali kini diperdebatkan dari sudut pandang

keadilan dan kepastian hukum keduanya itu merupakan dua hal yang sejak

15 C.S.T. Kansil. S.H. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta. Balai

Pustaka. Hal. 43.

9

9

lama diperdebatkan dalam filsafat hukum. Didalam filsafat hukum di dunia

barat, keadilan dan kepastian hukum sering dianggap dua hal yang

bertentangan, hukum adil, tapi tidak punya kepastian dan hukum pasti, tapi

tidak mengandung keadilan.16

Oleh karena itu maka penulis sangat tertarik untuk mentelaah kedudukan

SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki Perundang-

Undangan dan kemudian menarik kesimpulan dari Implikasi hukum SEMA

No. 7 tahun tentang pembatsan PK. Sehingga penulis mengambil judul

“KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG No. 7

TAHUN 2014 TENTANG PEMBATASAN PENINJAUAN KEMBALI

DALAM HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN”.

B. Permasalahan

1. Bagaimana kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK

dalam hierarki Perundang-Undangan?

2. Apa implikasi hukum SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK ?

C. Tujuan

Tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang

pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan;

16 Soeparman. 2007. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum PK Perkara Pidana Bagi

Korban Kejahatan. Cetakan Pertama. Refika Aditama. Bandung. Hal. 263.

10

10

2. Untuk mengetahui implikasi hokum SEMA No. 7 tahun 2014 tentang

pembatasan PK;

D. Manfaat Penelitian

D.1. Bagi Penulis

Selain sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Strata Satu ilmu

hukum, harapannya penelitian ini juga dapat menambah wawasan dan

ilmu pengetahuan tentang kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang

pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan implikasi

hukum SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK.

D.2. Bagi institusi hukum

Dengan adanya penelitian ini diharapkan institusi pengadilan dapat

terjadi kejelasan terkait kedudukan SEMA No. 7 tahun 2014 tentang

pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan Implikasi

hukum SEMA No. 7 tahun tentang pembatasan PK.

D.3. Bagi Aparatur Penegak Hukum

Sebagai sumbangsih pemikiran penulis untuk kalangan yudikatif,

instansi peradilan dan termasuk aparatur penegak hukum lainnya dalam

rangka menerapkan dan menegakkan kedudukan SEMA No. 7 tahun

2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan

Implikasi hukum SEMA No. 7 tahun tentang pembatasan PK, yang

memiliki relevansi dengan hukum tata negara di indonesia yang

bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan publik.

11

11

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian hukum yang ingin dicapai oleh penulis dari

penelitian ini mencangkup kegunaan akademis dan kegunaan praktis, sebagai

berikut :

E.1. Kegunaan Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran, dan dapat memberikan wawasan atau/ gambaran yang

berguna serta bermanfaat bagi pengembangan disiplin ilmu hukum

E.2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan informatif

yaitu sebagai bahan masukan informasi bagi lembaga yudikatif yaitu

MA dan MK

F. Metode penelitian

F.1. Metode pendekatan yuridis normatif

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau

penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan

sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.17

Penulisan ini

menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis

normatif dilakukan dengan cara mentelaah dan menginterpretasikan

hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut teori SEMA, hierarki

17

Abdulkadir Muhammad.2004.Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti.Hal. 112.

12

12

Perundang-Undangan, upaya hukum luar biasa PK, pembatsan PK, teori

tujuan hukum putusan mk no. 34/puu-XI/2013, dan SEMA no. 7 tahun

2014, yang bertujuan untuk mentelaah kedudukan SEMA No. 7 tahun

2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan dan

kemudian menarik kesimpulan dari Implikasi hukum SEMA No. 7

tahun tentang pembatasan PK. Pendekatan ini dikenal pula dengan

pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari jurnal-jurnal, buku-

buku, Peraturan Perundang-Undangan dan dokumen lain yang

berhubungan dengan penelitian ini.18

F.2. Jenis bahan hukum

a). Bahan hukum primer meliputi19

: SEMANo.7 tahun 2014 dan

Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 serta pembatasan PK, dan

peraturan yang berhubungan dengan ketiganya.

b). Bahan hukum sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh

dari studi pustaka berupa jurnal-jurnal, buku-buku, makalah, atau

sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

c). Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer dan sekunder

18 Soerjono. 1985. Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta. Rajawali Pers. Hal. 52.

19 Bambang Sunggono. 1998. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hal. 116. Bambang mengemukakan bahwa bahan hukum Primer yaitu bahan hukum yang

mengikat yang terdiri dari, 1). Norma atau kaidah dasar pembukaan UUD NRI 1945. 2). Peraturan

dasar , yaitu UUD NRI 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR. 3). Peraturan perundang-undangan.

4). Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat. 5). Yurisprudensi. 5). Traktat. 7).

Bahan hukum dari zaman penjajahan yang kini masih berlaku.

13

13

seperti kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia,

dan lain-lain.

F.3. Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah model

studi kepustakaan (library research). Yang dimaksud adalah pengkajian

informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber

dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian

hukum normatif,20

yakni penulisan yang didasari pada data-data yang

dijadikan obyek penulisan kemudian dikaji dan disusun secara

komprehensif.

F.4. Teknik analisa bahan hukum

Metode analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara

deskriptif kualitatif yakni suatu gambaran dengan cara pengumpulan

data dan informasi yang diperoleh dari data primer dan sekunder secara

jelas, sehingga nantinya dapat ditarik kesimpulan dari Kedudukan

SEMA No.7 tahun 2014 tentang pembatasan PK dalam hierarki

Perundang-Undangan serta Implikasi hukum SEMA No. 7 tahun 2014

tentang pembatasan PK. Data yang dianalisis akan dikemukakan dalam

bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar

jenis data, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar

20

Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang.

Bayumedia. Hal. 392.

14

14

hukumnya dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang

dimaksud dalam penelitian ini.

G. Sistematika penulisan

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam empat

bab dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar

mempermudah pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab, yang memuat alasan atau faktor dorongan yang menjadi

pentingnya dilakukan suatu penelitian berdasarkan permasalahan yang ada.

Rumusan masalah, meliputi pertanyaan yang fokus dan spesifik terhadap

masalah yang dibahas serta merupakan dasar pemilihan judul. Tujuan

penulisan memuat pernyataan singkat tentang apa yang hendak dicapai dalam

penelitian. Manfaat penelitian merupakan uraian mengenani manfaat untuk

subyek-subyek yang terkait, kegunaan untuk objek-objek yang terkait.

metode penulisan, yang menguraikan tentang metode pendekatan yang

digunakan dalam penulisan, jenis bahan hukum yang digunakan, tekhnik

pengumpulan bahan dan teknik analisa serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini penulis akan memaparkan landasan teori atau kajian teori tentang

SEMA, hierarki Perundang-Undangan, upaya hukum luar biasa PK,

pembatsan PK, teori tujuan hukum, putusan mk no. 34/puu-XI/2013, dan

15

15

SEMA no. 7 tahun 2014, pasal-pasal di dalam Undang-Undang yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis yaitu

menyangkut Kedudukan SEMA No.7 tahun 2014 tentang pembatasan PK

dalam hierarki Perundang-Undangan serta Implikasi hokum SEMANo. 7

tahun 2014 tentang pembatasan PK

BAB III PEMBAHASAN

Bab ini penulis akan menjawab, menguraikan, dan menganalisis secara

rinci dan jelas terkait rumusan masalah yang berhubungan dengan objek yang

diteliti yang berkenaan dengan Kedudukan SEMA No.7 tahun 2014 tentang

pembatasan PK dalam hierarki Perundang-Undangan serta Implikasi hukum

SEMA No. 7 tahun 2014 tentang pembatasan PK.

BAB IV PENUTUP

Merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana berisikan

kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisi saran atau

rekomendasi penulis terhadap permasalahan yang diangkat dalam penulisan

hukum ini.