bab i pendahuluan a. latar belakang...

27
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Media massa berformat cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid, buletin, atau buku merupakan produk ideologis yang masing-masing memiliki misi berbeda 1 . Setiap perusahaan media, baik media lokal maupun nasional, memiliki sistem kerja yang terangkum dalam proses manajemen medianya masing-masing. Namun, manajemen media dipastikan harus memberikan pengetahuan tentang pengelolaan media dan prinsip-prinsip manajemen dengan seluruh proses manajemennya secara utuh yang meliputi berbagai fungsi manajemen, yaitu planning, organizing, influencing, budgeting, controlling 2 . Semua keterbatasan yang dihadapi institusi media menjadi alasan pentingnya menyusun strategi menajemen yang apik demi tercapainya tujuan institusi media. Hingga kini belum ada satu formula manajemen media yang baku. Masing-masing perusahaan menyusun pola manajemennya berdasarkan visi-misi, situasi, lingkungan, keragaman latar belakang sumber daya yang terlibat, serta perspektif yang mereka anut 3 . Di Indonesia sendiri, kelonggaran kebijakan hukum pers yang diusung melahirkan banyak sekali ragam perusahaan media. Regulasi hukum atau undang-undang tentang kepengurusan pers yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU No. 40/1999 yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, BJ Habibie, pada tanggal 23 September 1999. Pasal 9 ayat (1) menuturkan bahwa setiap orang (WNI) bisa mendirikan perusahaan pers, sementara pasal 9 ayat (2) menukaskan bahwa pers yang didirikan haruslah berbentuk badan hukum Indonesia. Bertolak dari regulasi tersebut, seharusnya batasan akan syarat berdirinya perusahaan media dalam bentuk badan hukum Indonesia cukup jelas. Namun, praktiknya banyak ditemukan media-media independen tanpa kuasa hukum yang resmi, mulai dari media komunitas hingga yang bersifat komersial. Melihat poin ayat ke-2 dari pasal 9 tersebut yang terabaikan, kemudahan dan kebebasan yang ada lantas mendorong munculnya deretan media 1 Totok Djuroto. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 15. 2 Amir Effendi Siregar.”Kajian dan Posisi Manajemen Media serta Peta Media di Indonesia” dalam Diyah Hayu Rahmitasari (ed). 2010. Potret Manajemen Media di Indonesia. Yogyakarta: Total Media. Hal. 5-6. 3 Totok Djuroto. Op.Cit. Hal. 13.

Upload: hadan

Post on 31-Aug-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Media massa berformat cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid, buletin, atau buku

merupakan produk ideologis yang masing-masing memiliki misi berbeda1. Setiap perusahaan

media, baik media lokal maupun nasional, memiliki sistem kerja yang terangkum dalam

proses manajemen medianya masing-masing. Namun, manajemen media dipastikan harus

memberikan pengetahuan tentang pengelolaan media dan prinsip-prinsip manajemen dengan

seluruh proses manajemennya secara utuh yang meliputi berbagai fungsi manajemen, yaitu

planning, organizing, influencing, budgeting, controlling2.

Semua keterbatasan yang dihadapi institusi media menjadi alasan pentingnya

menyusun strategi menajemen yang apik demi tercapainya tujuan institusi media. Hingga kini

belum ada satu formula manajemen media yang baku. Masing-masing perusahaan menyusun

pola manajemennya berdasarkan visi-misi, situasi, lingkungan, keragaman latar belakang

sumber daya yang terlibat, serta perspektif yang mereka anut3.

Di Indonesia sendiri, kelonggaran kebijakan hukum pers yang diusung melahirkan

banyak sekali ragam perusahaan media. Regulasi hukum atau undang-undang tentang

kepengurusan pers yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU No. 40/1999 yang disahkan

oleh Presiden Republik Indonesia, BJ Habibie, pada tanggal 23 September 1999. Pasal 9 ayat

(1) menuturkan bahwa setiap orang (WNI) bisa mendirikan perusahaan pers, sementara

pasal 9 ayat (2) menukaskan bahwa pers yang didirikan haruslah berbentuk badan hukum

Indonesia.

Bertolak dari regulasi tersebut, seharusnya batasan akan syarat berdirinya perusahaan

media dalam bentuk badan hukum Indonesia cukup jelas. Namun, praktiknya banyak

ditemukan media-media independen tanpa kuasa hukum yang resmi, mulai dari media

komunitas hingga yang bersifat komersial. Melihat poin ayat ke-2 dari pasal 9 tersebut yang

terabaikan, kemudahan dan kebebasan yang ada lantas mendorong munculnya deretan media

1 Totok Djuroto. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 15. 2 Amir Effendi Siregar.”Kajian dan Posisi Manajemen Media serta Peta Media di Indonesia” dalam Diyah Hayu

Rahmitasari (ed). 2010. Potret Manajemen Media di Indonesia. Yogyakarta: Total Media. Hal. 5-6. 3 Totok Djuroto. Op.Cit. Hal. 13.

Page 2: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

dengan ragam luas karakter pengorganisasian dan latar belakang sumber daya manusia,

termasuk dari golongan yang rentan dalam profesionalismenya.

Warning Magazine merupakan wujud konkret dari media cetak bersifat komersial

yang sejauh ini mampu menancapkan konsistensi eksistensinya di industri media seiring

dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya memenuhi karakter manajemen media

profesional. Kendati menganut elemen-elemen pokok dalam setiap majalah seperti jadwal

terbit, format majalah, atau target audiens, sejumlah indikator seperti prioritas kerja dan

pendanaan untuk gaji personil belum dapat dipenuhi. Penulis melihat adanya pengelolaan

struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan sistematis layaknya

media-media berbasis bisnis lainnya.

Padahal, sebagai satu-satunya majalah berkonten utama musik yang berasal dari kota

Yogyakarta, majalah Warning Magazine telah menjadi media yang diterima dengan baik oleh

publik, terutama oleh para penikmat musik tanah air dengan jangkauan nasional, baik dari

aspek penjualan hingga konten yang disajikan (nasional dan internasional). Untuk tiap

edisinya, oplah yang dicapai ialah 1000 eksemplar untuk didistribusikan pada 39 titik

penjualan dari 13 kota di Indonesia, serta 1 titik di Negara Singapura. Didirikan dan

dikembangkan dari nol seutuhnya secara mandiri, majalah Warning Magazine bebas dari

sokongan institusi pendidikan dan suntikan modal dari perusahaan atau korporasi. Sejak

meluncur pada bulan Desember tahun 2012, majalah Warning Magazine kini memiliki 26

anggota dari golongan kaum muda dengan rentang usia 20 hingga 24 tahun. .

Menurut Richard Flacks, kaum muda adalah mereka yang melewati usia 16 tahun

namun belum memasuki masa partisipan tenaga kerja4. Kaum muda adalah saat dimana fase

perkembangan anak-anak membutuhkan sebuah periode pemisahan dan persiapan untuk siap

dalam kultur kerja. Masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa itu diisi dengan

sekolah formal untuk mengembangkan kapasitas spesialisasi dan keterampilan demi nantinya

mendapatkan peran di masyarakat dan fungsi dalam industri5. Proses mempersiapkan potensi

kerja yang berkesinambungan itu diantaranya termasuk pendidikan disiplin, literasi, latihan

keterampilan, dan perilaku.

Manajemen media dari majalah Warning Magazine pun menjadi menarik untuk dikaji

lantaran memiliki pola dan karakter unik, yang nampak sangat dipengaruhi oleh status

anggotanya yang seluruhnya ditempati oleh kaum muda. Penelitian ini kemudian hendak

4 Richard Flacks. 1972. Youth and Social Change. Chicago:Markham Publishing Company. Hal. 9. 5 Ibid. Hal. 10.

Page 3: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

mengupas bagaimana majalah Warning Magazine dikembangkan dan dikelola seutuhnya oleh

individu-individu dengan segala keterbatasannya, mulai dari profesionalisme, dana, hingga

prioritas kerja, dimana tak ada satupun dari anggotanya yang menempatkan keterlibatan di

media ini sebagai profesi utama. Bersama sifat kemandirian yang ada, berbagai kendala

seperti tak adanya kontrak kerja, ketiadaan regulasi, jam kerja dan divisi kerja yang jelas,

pengalaman profesi yang minim, hingga proses produksi yang masih harus bersinggungan

dengan kewajiban akademis, menjadi elemen-elemen yang ambil andil membentuk karakter

pengambilan keputusan serta pengelolaan bidang-bidang dalam manajemen majalah Warning

Magazine, misalnya bidang redaksi atau bidang pemasaran. Termasuk juga problema

efektivitas dan efisiensi proses koordinasi dan integrasi kegiatan-kegiatan kerja yang ada.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana manajemen media Warning Magazine dijalankan oleh kaum muda pada bulan

Januari tahun 2014 hingga bulan Maret 2015?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mendeskripsikan manajemen media Warning Magazine pada bulan Januari

tahun 2014 hingga bulan Maret 2015.

Untuk mengidentifikasi kendala dan hambatan dalam profesionalisme pengelolaan

Warning Magazine pada bulan Januari tahun 2014 hingga bulan Maret 2015.

Untuk memahami hubungan dan interaksi setiap bagian atau individu yang

membentuk pola manajemen dalam majalah musik Warning Magazine pada bulan

Januari tahun 2014 hingga bulan Maret 2015.

D. Manfaat Penelitian

Sebagai referensi dan rujukan solusi bagi permasalahan institusi, terutama media yang

eksis dalam pengelolaan kaum muda.

Sebagai sumbangsih bagi kajian ilmu komunikasi terhadap penelitian selanjutnya

yang terkait dengan tema penelitian.

Page 4: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

E. Kerangka Pemikiran

1. Kebebasan Pers di Indonesia

Hampir semua pihak sepakat bahwa kebebasan pers adalah hal yang mesti dijaga

keeksisannya di negara manapun. Berbagai negara pun memberikan jaminan akan hal

tersebut. Amerika Serikat misalnya, menjamin kebebasan pers melalui Amandemen I dengan

tidak memperbolehkan adanya undang-undang yang menghapus atau membatasi kebebasan

pers6. Sementara di Indonesia, kebebasan pers yang sempat dikekang pada era orde baru pun

mendapatkan angin segar lewat undang-undang nomor 40 tahun 1999, yang merupakan

kerangka hukum yang baru dalam menaungi eksistensi perusahaan media di Indonesia.

Secara fundamental, undang-undang nomor 40 tahun 1999 sebagai landasan hukum

pers yang berlaku di Indonesia mendefinisikan pers sebagai lembaga sosial dan wahana

komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,

suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan

menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia7. Yang

paling signifikan, pasal 9 dari undang-undang tersebut menjamin penuh kebebasan

mendirikan suatu perusahaan pers, sekaligus menggeser regulasi SIUUP yang diusung di orde

baru8.

Pasal 9 mengenai kebebasan pers berbunyi :

(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers

(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia

Peran fundamental pers untuk menyebarluaskan informasi secara bertanggungjawab,

adil, dan benar dijamin dalam kebebasan pers. Agar informasi dapat disebarkan dengan

leluasa, setiap orang mempunyai hak untuk mendirikan perusahaan pers yang berbentuk

badan hukum. Dengan demikian, ruang warga negara untuk menyalurkan pendapat dan

informasinya juga semakin terbuka.

Akibat kebebasan tersebut, bisnis penerbitan pers yang sebelumnya serasa dibatasi di

orde baru, kini terbuka lebar. Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers

mengisyaratkan bahwa siapa saja boleh mendirikan media tanpa harus terlebih dahulu

6 Mursito BM. 2006. Memahami Institusi Media : Sebuah Pengantar. Surakarta : SPIKOM. Hal. 196. 7 Krisna Harahap. Op.Cit. Hal. 15. 8 Suroso. Op.Cit. Hal. 205.

Page 5: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

mengajukan dan mendapatkan ijin khusus dari pemerintah. Ini yang kemudian memunculkan

banyak media baru dan memperketat persaingan. Menurut penelitian yang pernah dilakukan

oleh Felix Jibarus9, surat kabar dan majalah tumbuh subur sejak era reformasi, dimana

melonjak 400 persen dari 286 penerbitan di tahun 1997 hingga 1500 penerbitan pada akhir

1998.

Seiring perkembangannya, heterogenitas jenis media yang muncul pun patut disimak.

Perusahaan media, dari jajaran konten, visi-misi, latar belakang dan sumber daya manusia

yang berbeda-beda silih berganti menancapkan eksistensi dengan mudahnya. Media

berformat majalah terutama, sempat menjamur sebelum kini mulai terseok-seok oleh

perkembangan media online, dari majalah-majalah dengan konten segmental yang umum

seperti majalah anak muda, politik, olahraga, hingga majalah yang menyasar pasar alternatif

seperti majalah tato, majalah musik independen, majalah seni visual, majalah sastra, majalah

yang terbit tak rutin, majalah berformat zine, hingga majalah gratis yang diolah bak katalog

iklan. Tak sedikit yang sama sekali tak berbadan hukum atau terdistribusi dengan metode

yang tak lazim, apalagi dikelola oleh individu-individu dengan jenjang pendidikan dan

profesi tertentu.

Namun, berbagai penerbitan media itu ternyata secara perlahan tapi pasti tumbang

satu persatu karena ternyata tidak siap dengan tuntutan dalam bisnis pers, dimana sebagian

lain sukses karena dikelola secara efisien, menghasilkan produk berkualitas dan dijual dengan

harga yang kompetitif. Sementara yang lainnya, dikelola jauh dari profesional, hingga tak

jarang sekedar bertahan kurang dari hitungan tahun. Keran kebebasan yang dibuka ternyata

memang tak ketinggalan mengundang penerbitan-penerbitan yang sembarang. Memang

koran-koran baru, majalah baru, serta penerbitan pers lainnya banyak bermunculan, tetapi

kontinuitas penerbitan mereka cenderung hanya seumur jagung.

2. Sumber Daya Organisasi dalam Media Cetak

Selain peluang mendirikan media, makin terbukanya keran demokrasi dalam industri

pers tanah air juga memberi peluang bagi pengembangan potensi pada pengelolaan konten

maupun teknis internalnya10. Kebebasan itu bersifat koheren dengan perkembangan

keragaman sumber daya yang tersedia bagi organisasi media, lantaran kinerja dan aktivitas

9 Felix Jibarus. http://infomoneter.com/pers-indonesia-dari-tangan-penguasa-ke-pengusaha/. Diakses pada tanggal 20 Januari 2013. 10 Suroso. Op.Cit. Hal. 7.

Page 6: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

media jelas sepenuhnya bergantung dengan apa yang dikelola di dalam organisasi media

tersebut. Sebaliknya, kuantitas dan kualitas sumber daya juga bergantung pada pola

pengelolaannya. Sehingga, untuk bisa mewujudkan pers yang profesional, dibutuhkan

manajemen sumber daya yang profesional pula.

Dalam media cetak, sumber daya yang terlibat secara umum meliputi dana, peralatan

dan personil yang secara strategis tersebar untuk mengumpulkan dan mendistribusikan

konten11. Apapun jenis konten yang coba disajikan oleh media, keputusan akan bagaimana

mereka menyeleksi, mengalokasikan, mengawasi dan mempertahankan sumber dayanya

harus dipertimbangkan.

Misalnya, media cetak dengan sumber daya manusia yang unggul punya kans lebih

tinggi dalam kelangsungan produksi kontennya. Diantaranya pers harus mampu merekrut

sumber daya manusia handal untuk menampilkan penerbitan yang cerdas, jujur, dan

informatif. Karena industri pers merupakan kerja kolektif, pihak manajemen harus mampu

melahirkan wartawan yang memadai, termasuk berpengetahuan luas, memiliki rasa ingin tahu

yang tinggi, kemauan keras untuk mewujudkan apa yang diyakininya benar, adaptif, sehat

jasmani dan rohani, serta mampu menggunakan teknologi alat-alat jurnalistik dalam

menyampaikan gambar dan berita.

Namun, sumber daya manusia atau pegawai bukan satu-satunya sumber daya yang

wajib diperhatikan dalam sebuah organisasi media. Ada juga kondisi finansial suatu media

yang berpengaruh pada perekrutan pegawai, dimana nantinya mereka bekerja memproduksi

konten sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan dana kembali. Dalam hubungan

yang berlangsung koheren dan sistematis antara satu dan yang lainnya, sumber daya

organisasi media dapat dibagi menjadi empat, yakni sumber daya manusia, konten, finansial,

dan teknologi.

a. Sumber Daya Manusia

Sumber daya dalam sebuah organisasi pada garis besarnya dapat dikategorikan dalam

dua golongan yaitu sumber daya manusia dan sumber daya non-manusia. Kedua kategori

tersebut sama pentingnya sesuai fungsi masing-masing, Akan tetapi, sumber daya manusia

adalah faktor yang dominan karena ialah satu-satunya sumber daya yang memiliki akal,

perasaan, keinginan, kebutuhan, pengetahuan, motivasi, keterampilan, dan aktivitasnya 11 John A. Fortunato. 2005. Making Media Content.: The Influence of Constituency Groups On Mass Media.

New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Hal. 74.

Page 7: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

sangat mempengaruhi kinerja organisasi12. Maka dari itu, manajemen sumber daya manusia

yang kredibel adalah salah satu indikator penting dalam tatanan manajemen media

profesional.

Manajemen SDM sendiri didefinisikan sebagai rancangan sistem-sistem formal dalam

sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien

guna mencapai tujuan-tujuan organisasional13. Entah apakah organisasi itu merupakan

perusahaan raksasa atau organisasi nirlaba kecil, mereka mesti direkrut, diseleksi, diatur, dan

dibayar.

Manajemen SDM mengurusi sejumlah aktivitas yang saling berhubungan dalam

konteks organisasi yakni seperti perencanaan dan analisis SDM, kesetaraan dan kesempatan

kerja, pengangkatan pegawai, pengembangan SDM , pemberian kompensasi dan tunjangan

kesehaatan, keselamatan, dan keamanan, serta pengelolaan hubungan karyawan dan

manajemen14.

Tidak setiap organisasi mampu memiliki sebuah departemen SDM15. Semisal di

sebuah perusahaan majalah yang hanya terdiri dari seorang pemilik dan kurang dari selusin

personil, lazimnya pemilik secara langsung turun tangan mengurus persoalan SDM. Akan

tetapi, diantara perbedaan-perbedaan yang nyata antara organisasi besar dan kecil, persoalan

SDM tetap diatur. Organisasi dalam skala personil yang besar biasanya perlu menunjuk

seseorang untuk menaungi wilayah manajemen SDM.

Pada perusahaan media cetak, para personil sebagai SDM itu menempati posisinya

dalam tingkatan-tingkatan berbeda dengan lazimnya dibagi menjadi empat departemen

utama16:

1. Editorial : Departemen yang mengawasi dan menjalankan aktivitas editorial,

merencanakan topik konten, memastikan artikel selesai pada waktunya, memilih

artwork, dan mengganti layout.

2. Produksi : Departemen yang mengurusi percetakan dan pengemasan majalah.

12 Hadriyanus Suharyanto dan Agus Heruanto Hadna. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta :

Media Wacana. Hal. 12 13 Robert L. Mathis dan John H. Jackson. 2004. Human Resource Management : Manajemen Sumber Daya

Manusia. Jakarta : Salemba Empat. Hal. 3. 14 Ibid. Hal. 44. 15 Ibid. Hal. 43. 16 Joseph R. Dominick. 2011. The Dynamics of Mass Communication. New York : McGraw-Hill. Hal 124.

Page 8: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

3. Iklan dan Penjualan : Departemen yang bertanggung jawab atas tingkat penjualan dan

pendapatan perusahaan, baik yang berasal dari iklan atau dari penjualan produk

4. Sirkulasi : Departemen yang bertanggung jawab pada distribusi produk, termasuk

upaya menarik sebanyak mungkin pembaca baru

Belum ada definisi jelas untuk istilah-istilah jabatan seperti editor, managing editor,

editorial director, associate editor, editor in chief, group editor, publisher dan banyak

sebagainya17. Kebanyakan istilah editor diberikan pada individu senior yang berwenang

melancarkan dan membuat keputusan akhir dari layout dan konten. Director of Advertising

biasanya bertanggung jawab akan departemen penjualan dan iklan. Publisher merujuk pada

seseorang yang merupakan pimpinan teratas, namun dapat juga diartikan sebagai individu

yang mengawasi manajemen dari semua departemen selain redaksional.

b. Konten

Tiap majalah atau surat kabar memuat konten yang berbeda-beda, bahkan untuk jenis

media yang sama. Masing-masing menganut pola konsisten dalam menentukan, memilih,

membingkai dan membentuk konten untuk menarik pembaca dan pengiklan. Pola konsisten

itu penting dijaga dan dilestarikan, hingga ketika karakter konten suatu media telah dicerna

oleh audiens, mereka cenderung akan memiliki bayangan dan ekspetasi khusus akan

konsumsinya pada media massa tersebut. Pola itu juga lambat laun mampu membantu proses

pembentukan konten yang kompleks menjadi lebih sederhana.

Pola-pola profesional dalam pembentukan konten itu dikenal dengan istilah rutinitas

media (media routines). Rutinitas media massa selalu menjadi faktor dalam proses

pembuatan konten. Rutinitas media didefinisikan sebagai pola, rutinitas, atau praktik

berulang yang digunakan pekerja media dalam melakukan pekerjaanya18. Rutinitas media

menjadi faktor yang lebih berpengaruh pada proses penentuan konten dibanding faktor

ideologi dan individual yang terlibat dalam proses. Mempertahankan rutinitas juga membantu

media massa menentukan apa yang diterima oleh konsumen dan audiens. Sebab, rutinitas

media umumnya berbasis dari ekspetasi dan perilaku audiens sebelumnya. Media massa

memang selalu mempertimbangkan audiens dalam pembuatan konten. Sekali rutinitas media

terbentuk, perubahan format akan sulit dilakukan.

17Gordon Woolf. 2004. How To Start And Produce A Magazine Or Newsletter. Sidney : Cromarty Press. Hal. 37. 18 John A Fortunato. Op.Cit. Hal. 72

Page 9: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

Selain proses dalam rutinitas media, kepemilikan media juga memiliki kuasa khusus

untuk mempengaruhi konten. Ada tiga cara utama yang mampu dilakukan pemilik media

untuk mempengaruhi pembuatan konten, yakni mengatur total modal dan dana yang

disediakan, merekrut atau memecat pegawai, serta memberikan arahan atau komando untuk

penentuan konten secara langsung19.

Wujud konten dalam media cetak pun semakin bervariasi. Sejumlah penerbit kini

memungkinkan untuk memuat konten berupa persilangan iklan dan editorial yang kerap

disebut advetorial, dimana penulis menyuguhkan teks tertulis dalam konsep promosi produk

atau jasa tertentu dalam bentuk artikel20. Terkadang tak hanya dalam bentuk ulasan produk,

namun juga wawancara dengan pemilik bisnis ataupun tata cara menggunakan produk.

Penerbit media secara hati-hati juga dapat bereksperimen dengan produksi konten

oleh konsumen (reader-generated content). Format tersebut mesti diimbangi dengan kontrol

editor untuk menjaga konten dan meyakinkan tak ada konten ofensif atau tak berisi yang

tertampilkan21. Beberapa penerbit memang menjadikan reader-generated content sebagai

salah satu jalan untuk membangun basis audiens hingga meningkatkan pendapatan iklan.

Yang mesti digarisbawahi dalam konteks sebuah konten pada media cetak adalah

bahwa tak seluruhnya hanya tentang berita atau teks tertulis. Elemen lain seperti layout atau

artwork pun punya peran krusial. Layout menunjukan aspek ide dan kepiawaian fotografer,

desainer grafis, dan editor. Kendati lebih sukar dinilai dibanding teks tertulis, namun, layout

atau artwork dapat dipahami dari fungsinya guna menunjukan teks dan ilustrasi yang

dibutuhkan agar pembaca termotivasi untuk memandang dan membacanya. Layout yang baik

tak boleh gagal mengarahkan pembaca untuk mengikuti alur paragraf yang benar, atau

meninggalkan pembaca kebingungan akan bagian yang harus dibaca selanjutnya22. Layout

juga kehilangan manfaatnya jika terlalu lama diproduksi dan menunda publikasi atau

membutuhkan biaya yang di luar bujet. Pengelolaan konten artinya juga penentuan konsep

penuh visual majalah, ihwal seperti apakah majalah memiliki ilustrasi dalam ukuran besar

atau penuh dengan teks tertulis.

19 Ibid. Hal. 106. 20 Joseph R. Dominick Op.Cit. Hal. 117. 21 Gordon Woolf. Op.Cit. Hal. 45. 22 Ibid. Hal. 106 .

Page 10: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

c. Finansial

Umumnya, membutuhkan modal dan dana yang besar untuk terjun ke bisnis media

massa. Dari titik awal media didirikan hingga proses perjalanannya, setiap kapital memegang

peranan krusial. Ibaratnya, uang menjadi bahan bakar dari daya gerak departemen apa pun,

mulai dari menggaji personil, membeli atau menyewa kantor dan perlengkapan, membiayai

aktivitas produksi, dan sebagainya. Maka dari itu, perusahaan media dengan finansial yang

sehat dan kuat lebih berpeluang untuk bertahan hidup.

Terlebih bagi perusahaan berbasis komersial, kondisi finansial merupakan tataran

yang paling diperhatikan dan menjadi alasan untuk mempertahankan perusahaan. Namun,

pola dan sumber dana yang mengalir begitu beragam pada tiap jenis media massa. Misalnya,

bagi media cetak komersial, tak ada yang bertahan hidup jika tidak dapat menarik dan

menjaga cukup pengiklan untuk membayar seluruh biaya produksi dan laba bagi investor dan

pemilik media23.

Logika bisnis menyetorkan dana dengan ekspetasi mendapatkan timbal balik yang

lebih juga menjadi pakem di media cetak. Keputusan yang bergantung pada ketersediaan

dana dan alokasi sumber daya dapat dipandang sebagai sebuah investasi dalam menarik

audiens24. Maka, tentu diharapkan adanya laba yang datang dari audiens dan pengiklan. Sejak

sebagian besar media cetak adalah perusahaan komersil, mereka berjuang agar produknya

terjual lebih dari biaya produksi yang mesti digelontorkan.

Dalam pengelolaan finansial pada media cetak, beberapa langkah yang paling kerap

diindahkan ialah tentang meminimalisir biaya produksi, diantaranya dengan mengurangi

jumlah personil atau memodifikasi teknologi produksi. Peralihan ke media internet mampu

mengurangi kebutuhan modal awal dan biaya operasi secara cukup signifikan, namun tak

berarti operasi situs tak membutuhkan biaya untuk berkembang.

Serba-serbi finansial juga menjadi perangkat utama untuk pembuatan keputusan

segala jenis konten yang akan disuguhkan ke audiens. Proses menciptakan konten

komunikasi massa tak akan dapat dipahami tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi

media. Pasalnya, selain waktu, dana pun merupakan faktor yang terbatas persediaanya,

hingga konten dari setiap media tak akan memiliki standar yang sama. Bagaimana media

massa mengalokasikan sumber daya keuangannya menunjukan indikasi kuat dari jenis konten

23 Samuel L Becker.1987. Discovering Mass Communication. Illinois:Scott Foresman and Company. Hal.348. 24 John A Fortunato. Op Cit. Hal. 74.

Page 11: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

yang dipandang penting dan menarik audiens25. Misalnya ketika sebuah media berita

memberikan porsi besar dari sumber dana untuk berita dan reporter meliput berita-berita

musik independen, maka dapat disimpulkan bahwa media tersebut melihat jenis berita itulah

yang penting dan cenderung dinantikan pembaca.

d. Teknologi

Media massa dan teknologi tak pernah dapat dipisahkan. Sejatinya seluruh industri

media massa lahir dari sebuah pengembangan inovasi teknologi yang membuat saluran

komunikasi anyar26. Misalnya, tak akan ada industri majalah andai kata seseorang tak

menemukan mesin cetak atau perangkat penjilid kertas. Itu pun tentu diiringi dengan inovasi

pemasaran yang kompeten dengan teknologi tersebut untuk menyajikan pesan dan

membangun audiens.

Pada akhirnya, teknologi komunikasi begitu mempengaruhi lingkungan media,

terutama kesanggupan akan mencari konten yang diinginkan. Perubahan teknologi dalam

bagaimana, kapan, dan dimana audiens dapat mengakses konten yang dibuat mempengaruhi

rutinitas media27. Karena penggunaan surat kabar berbasis online misalnya, editor tentu lebih

mengusung komitmen dan mementingkan penyajian berita secepat dan seaktual mungkin dari

pada editor media tradisional.

Dalam level dialektika teknologi dan media massa berbasis cetak, kemunculan

internet menciptakan gebrakan yang signifikan. Internet membuka pintu bagi kompetitor-

kompetitor media tradisional cetak baru28. Tak hanya media sejenis, media berbasis situs

mulai eksis sebagai perangkat substitusi fungsi dari media tradisional. Iklan baris dari surat

kabar pindah ke situs-situs seperti Craigslist atau Autotrader.com. Belum lagi media sosial

seperti Facebook atau Twitter yang menyedot perhatian dan waktu audiens. Alasan utama

dibalik pertumbuhan kompetisi ini tak lain lantaran internet menurunkan biaya produksi

hingga ke titik dimana hampir semua orang mampu membiayainya. Di masa lampau,

kompetisi media terlindungi dan terbatasi oleh prasyarat biaya dan modal tinggi untuk terjun

di dalamnya.

25 Ibid. Hal. 73. 26 James W. Potter. 2013. Media Literacy. California: Sage Publication. Hal.87. 27 John A Fortunato. Op Cit. Hal. 75. 28 Joseph R. Dominick. Op. Cit. Hal. 11.

Page 12: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

Perlahan tapi pasti, publik menjadi membiasakan diri untuk menerima informasi dan

hiburan secara gratis29. Media cetak tradisional yang menyajikan interaksi pasif tergantikan

oleh partisipasi aktif di media sosial. Orang-orang mulai menghabiskan waktunya untuk

menciptakan konten media, hingga waktu untuk mengonsumsi media pun semakin tergerus.

Tak heran sejumlah organisasi media bangkrut, sementara yang lain berjuang mencari

pasokan pemasukan lain dan sejumlah lainnya lagi total beralih ke era digital dengan

merombak medianya menjadi berbasis online sepenuhnya.

Padahal, dari awal mula internet mendapatkan gaungnya, media cetak memiliki

potensi untuk mengolahnya menjadi sebuah terobosan yang menguntungkan dalam proses

produksi. Mulanya, perusahaan media cetak tradisional seperti majalah masih belum

memahami fungsi pengaplikasian media baru dan malah banyak yang mengunggah konten

secara cuma-cuma di situs mereka sebagai upaya mempromosikan edisi cetaknya. Hal itu

lantas berdampak pada pengurangan jumlah pembaca edisi cetak potensial mereka.

Beberapa potensi eksistensi teknologi internet dalam operasi media cetak diantaranya

adalah kapasitas untuk mendekatkan jarak antara pelanggan dan penerbit. Selain itu, internet

juga mampu memudahkan proses produksi konten, misalnya bagaimana lumrahnya para

wartawan kini untuk mencari dan menciptakan berita hanya berdasarkan dari informasi yang

tersebar melalui dunia maya. Tak ketinggalan pula penggunaan surat elektronik yang makin

efektif dan efisien guna melangsungkan aktivitas komunikasi internal dan eksternal.

Didukung oleh inovasi teknologi yang makin bergerilya, perusahaan media cetak juga

mampu menganekaragamkan jangkauan produk media yang mereka produksi, hingga tak

asing lagi untuk mendengar istilah industri multimedia30.

3. Kaum Muda dan Mahasiswa

Meski peran kaum muda dalam dinamika perubahan sosial dan kesejarahan terbukti

penting, namun menarik untuk melihat bahwa studi akademik mengenai kepemudaan di tanah

air menjadi ranah yang terlantar31. Tak banyak kaum muda dibahas dalam studi akademis,

karena bisa jadi terpaut dengan arah kebijakan orde baru yang secara sistematis melemahkan

pemuda sebagai subjek aktif di ranah sosial-politik dan lebih mengarahkan mereka sebagai

29 Ibid. Hal. 13 30 David Croteau dan William Hoynes. 2001. The Business of Media: Corporate Media and the Public Interest.

California : Pine Forge Press. Hal. 4. 31 Muhammad Najib Azca dan Oki Rahadianto. 2012. “Mengapa Menerbitkan Jurnal Pemuda?” di Jurnal Studi

Pemuda. Vol. 1 No 1. Mei. Hal. 46.

Page 13: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

objek pembangunan, bilangan dalam perayaan konsumsi serta resipien dalam dinamika

kebudayaan.

Sebagai sebuah konsep penting dalam kajian ilmu sosial, kaum muda amat

problematik. Mereka menjadi konsep yang terus mengalami pertumbuhan dengan

merefleksikan nilai-nilai sosial, politik, dan moral pada zamannya. Kaum muda, yang juga

mendapat istilah ‘pemuda’, ‘remaja’, atau youth dalam bahasa inggris, merupakan sebuah

konstruksi sosial dengan aneka pemaknaan yang berbeda dalam tataran yang berlainan dan

acap berubah dan bersalin seiring dinamika dan kurun sejarah.

Pada ranah global, jarang ditemukan konsistensi dalam mengategorikan kaum muda,

baik pada penggunaan sehari-hari maupun dalam kebijakan pemerintahan. Untuk kepentingan

kebijakan, lazim digunakan definisi pemuda yang merujuk pada sekelompok orang yang

berusia tertentu, misalnya Bank Dunia menyematkannya pada tiap individu yang berumur 16

sampai 25 tahun.

Memang usia acapkali menjadi kriteria teratas dalam membangun kategori pemuda.

Hal tersebut juga bertolak dari sejumlah kajian psikologis yang mendefinisikan pemuda atau

remaja sebagai mereka yang berada dalam usia transisional dalam perkembangan

kepribadian, dimana terbagi dalam dua fase, yakni fase adolesensi atau menuju remaja yang

berkisar antara 12 hingga 18 tahun, serta menjadi remaja antara 19 hingga 24 tahun32. Lebih

spesifik, dalam ranah psikologi perkembangan, diuraikan bahwa tatkala orang dewasa

memiliki status primer yang didasarkan pada kemampuan dan usahanya sendiri untuk

mandiri dan mapan, remaja dianggap memiliki status interim sebagai konsekuensi dari

posisinya yang sebagian diberikan orang tua, dan sebagian yang lain diperoleh melalui usaha

sendiri yang kemudian memberikan prestise tersendiri padanya33.

Selain usia, istilah kaum muda juga kerap menemui bentuknya sebagai terminologi

ideologis atau kultural. Dari kacamata sosiologis, Kiem34 melihat pemuda sebagai produk dan

agen perubahan sosial. Di satu sisi mereka adalah produk dari proses sosialisasi dan hanya

dapat dipahami dalam konteks muatan kultural, namun di sisi lain, mereka memiliki ruang

kebebasan tertentu dalam memilih nilai-nilai yang tersedia dalam pluralisme kultural dan

kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam masyarakat. Maka dari itu, kaum muda sebagai

32 F..J. Monks. 1985. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hal. 219. 33 Ibid. Hal. 217. 34 Christian G. Kiem. 1993. Growing Up In Indonesia: Youth and Social Change in a Mollucan Town. Saarbucken:

Veirlag Breitenbach Publisher. Hal. 18.

Page 14: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

agensi memiliki kecenderungan lebih kuat dan kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam

gerakan sosial radikal dibandingkan dengan orang dewasa.

Bagaimana kemudian kaum muda memiliki perangai sosial yang cenderung lebih

bebas dan labil juga disebabkan oleh fase transisi dalam pertumbuhan usia, dimana oleh ahli

psikologi Erik H. Erikson35 disebut lebih rentan mengalami apa yang disebut sebagai krisis

identitas. Konsep krisis identitas menjelaskan proses dan dinamika psikologis individu yang

berada dalam fase transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Disana mereka mengalami

ketidakpastian, termasuk menyangkut identitas diri, sehingga menjadi mudah menerima

kemungkinan ide-ide dan pandangan-pandangan baru.

Kaum muda pun cenderung melihat dan mengekspresikan segala sesuatunya dengan

gaya yang khas dan tipikal. Mulai dari bagaimana kaum muda menjadi bagian tak terpisahkan

dari segala sesuatu yang berbau independen, alternatif, bawah tanah, hingga gerakan sosial

yang bersifat radikal. Gejala radikalisme di kalangan kaum muda di masa pasca orde bisa

dilihat sebagai aksi identitas yang dilakukan dalam rangka merespon dan menjawab krisis

identitas yang mereka alami di tengah perubahan drastis dan dramatis yang terjadi di

Indonesia pada awal fase transisi menuju demokrasi.

Jenjang pendidikan lantas menjadi alur yang begitu lumrah ditempuh oleh kaum muda

melalui jangka usia yang bertahap. Institusi pendidikan formal seperti sekolah dasar, sekolah

menengah, hingga universitas mengiringi perjalanan kaum muda sebagai bagian transisi

menuju usia dewasa. Masa transisi tersebut menjadi ruang bagi kaum muda untuk menerima

pembekalan pengetahuan dan keterampilan hingga memenuhi kualifikasi sebagai kaum

profesional yang siap menghadapi dunia kerja profesional.

Kaum muda sebagai individu mendapatkan status yang lebih istimewa di masyarakat

tatkala menapaki jenjang mahasiswa. Sebagai peserta didik yang terdaftar dan belajar pada

suatu perguruan tinggi baik universitas, institut atau akademi, mahasiswa merupakan insan-

insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan di

harapkan menjadi calon-calon intelektual atau cendekiawan muda. Mahasiswa membawa

ekspetasi untuk nantinya dapat bertindak sebagai pemegang komando masyarakat, daya

penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi, atau setidaknya memasuki dunia kerja

sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional.

35 Erik H. Erikson. 1968. Identity: Youth and Crisis. London: Faber & Faber

Page 15: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

Umumnya, mahasiswa tingkat sarjana berusia antara 19 sampai 28 tahun, atau tepat

dalam jangka usia untuk mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa.

Sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap kenyataan objektif,

sistematik dan rasional. Secara sederhana mahasiswa dapat diklasifikasikan ke dalam 3

kelompok utama36:

a. Golongan pragmatis : Golongan mahasiswa yang menjadikan identitas mahasiswa

sebagai titik mobilitas vertikal yakni tujuan memperbaiki posisi kelasnya. Dengan

selesai studi secara cepat lalu meraih struktur kerja sesuai kalkulasi ekonomi,

b. Golongan hedonis : Golongan mahasiswa yang terlanjur menceburkan diri pada

kubangan ekspresi gaya hidup modern yang kian berkembang dan menemukan

momentumnya paling nyata seiring perubahan ekonomi, di mana pola-pola

kontestansi ekonomi mengemuka dan diwarnai dengan gejala konsumerisme yang

terus menjalar.

c. Golongan aktivis: Golongan mahasiswa yang mengusung teguh idealisme kaum muda

dengan beragam bentuk penyesuaian bersama dinamika yang tengah berlangsung.

Mereka tetap mengekspresikan pemikiran-pemikiran kritis dalam berbagai bentuknya,

baik melalui variasi gerakan yang lebih terbuka ataupun mereka yang tergabung

dalam kelompok studi, organisasi intra dan ekstra kampus. Mereka cenderung

membangun blok-blok politik pada berbagai isu, seperti tema anti korupsi, penegakan

HAM, demokrasi, koalisi pencinta lingkungan dan sebagainya. Cara yang ditempuh

tentu bukan lagi konvensional melainkan menggunakan pola-pola global dengan

diantaranya memanfaatkan jaringan kontemporer atau media-media kreatif.

4. Media Komersial dengan Manajemen Profesional

Di zaman modern, hampir semua negara mengadopsi kultur pers sebagai institusi

komersial dengan menjual informasi, baik berita maupun iklan. Kemajuan teknologi

informasi mampu mendorong perkembangan media massa dengan pesatnya sehingga

memungkinkan dijadikan ajang bisnis37.

Media massa sebagai institusi komersial dinilai sebagai unit yang menyelenggarakan

aktivitas produksi dan distribusi pesan kepada konsumen. Di sini, media dikelola sesuai

36 Muhammad Najib Azca, Dubando Agus Margono dan Lalu Wildan. 2011. Pemuda Pasca Orba. Yogyakarta : Fisipol UGM.

Hal. 42. 37Ibid. Hal. 9.

Page 16: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

dengan peranan dan fungsinya untuk keuntungan komersial38. Dalam melakukan produksi

dan penyebaran pesan, anggaran atau keuangan merupakan salah satu modal utama.

Bagaimana organisasi media mengalokasikan sumber keuangan mereka adalah modal bagi

tipe produk media yang diinginkan atau yang dipercayai dapat menarik perhatian audiens

atau konsumen.

Sebenarnya, antara surat kabar, majalah, dan televisi dalam hal penyampaian

informasi, nyaris tidak ada batasnya sama sekali. Majalah dalam berebut pelanggan tidak

hanya bersaing dengan sesama majalah, tetapi juga dengan surat kabar, televisi, bahkan

internet. Sistem penyampaiannyalah yang berbeda. Masing-masing media harus

menyesuaikan dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan publik sebagai

audiensnya. Dampaknya, kehidupan pers kini makin kokoh ke arah pers industrialis dengan

informasi sebagai komoditi.

Dengan demikian, pers sebagai lembaga, seperti halnya dengan lembaga-lembaga

lainnya dapat dikelola dengan tata laksana dan tata administrasi yang baik melalui

manajemen profesional pada unsur media, sumber daya manusia, teknologi, dan kontennya

untuk dijadikan ajang bisnis, karena memiliki peluang mewujudkan sumber penghasilan39.

Disadari atau tidak, tajamnya persaingan antar perusahaan penerbitan pers mengharuskan tiap

penerbit mengkaji ulang organisasinya. Tak akan mengundang kejut jika perusahaan yang

tidak memposisikan pola manajemen mereka dalam lingkungan yang kompetitif mengalami

penurunan omset penjualan atau kemunculan kendala-kendala teknis pada pola kerja

karyawannya.

Lord Thomson Fleet, seorang tokoh pers dari Inggris, menuturkan bahwa perusahaan

media yang baik adalah yang dapat menciptakan keuntungan40. Kekuatan finansial dan

stabilitas komersial merupakan jaminan terhadap penerbitan pers. Manajemen media yang

baik harus mampu mempergunakan sumber daya yang dimilikinya. Dengan demikian, bisnis

penerbitan pers memang harus dilengkapi dengan penerapan manajemen yang profesional.

Sebelum terjun langsung dalam bisnis pers, pengelola media massa harus dapat

menyesuaikan diri untuk menguasai kepentingan pangsa pasar, karena pasarlah yang

kemudian menjadi pemegang kendali.

38 Amir Effendi Siregar. Op.Cit. Hal. 6. 39 Ibid. Hal. 92. 40 Totok Djuroto. Op.Cit. Hal 97.

Page 17: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

Bagaimana media secara intitusi diorganisasikan dan bagaimana mereka

memproduksi produknya, secara signifikan akan dipengaruhi dan ditentukan oleh relasi

mereka dengan uang dan profit41. Sejumlah perusahaan majalah di Amerika Serikat seperti

The Nation dan National Review mesti beroperasi dalam periode yang panjang dalam

kerugian, hingga mesti diselamatkan oleh tanggungan dana dari individu pemilik medianya.

Kendati sejumlah media meraih dana dari kombinasi jalur berbeda, entah melalui laba

penjualan produk, ataupun subsidi dari sumber pemasukan lain seperti iklan dan donatur,

model bisnis untuk bisnis media tradisional adalah menerima pendapatan dari iklan sebagai

jasa karena mendatangkan audiens yang telah dipikat dengan konten media yang

ditawarkan42. Industri media memang cenderung lebih kompleks dan berbeda dari tipe

industri lain, terutama karena mayoritas terlibat secara simultan dalam dua transaksi

ekonomi, yakni menjual produk ke audien, dan menjual audiens ke iklan. Hampir seluruh

iklan dibuat dengan mengombinasikan empat elemen, yakni headline, ilustrasi, teks iklan,

dan logo43. Dengan kombinasi yang jitu, iklan telah menciptakan deretan pesan terkuat di

dunia. Iklan merupakan wadah multimedia yang kerap dipandang terpisah dari wujud pesan

yang lain.

Terdapat tiga jenis target iklan44. Yang pertama ialah target pasar, yakni area

geografis dan kota dimana iklan akan difokuskan. Lalu ada target kelompok, yaitu tataran

demografi sekelompok orang yang akan dicapai oleh iklan. Ada juga target audiens, dimana

mereka adalah seluruh pihak yang sejatinya mampu diraih iklan dalam media massa. Untuk

dapat bersaing dengan penerbit lain dalam hal memperebutkan kue iklan, diperlukan

peningkatan koordinasi dalam dimensi profesional. Agar sesuai dengan prinsip profesional,

koordinasi pada departemen iklan perlu meletakan dasar yang jitu pada fungsi dan tugas,

serta batas-batas wewenang dan tanggung jawab personil masing-masing.

5. Majalah

41 Lawrence Grossberg, et all. 2006. Media Making : Mass Media In A Popular Culture. London: Sage

Publications. Hal. 95. 42 Lucy Kȕng. 2008. Strategic Management in the Media: From Theory to Practice. London: SAGE Publications.

Hal. 10. 43 Katherine C. McAdams dan Jan Johnson Elliot. 1996. Reaching Audiences. A Guide to Media Writing. London:

Allyn & Bacon. Hal. 330. 44 Larry D. Kelley dan Donald W. Jugenheimer. 2008. Advertising Media Planning: A Brand Management Approach. New

York: M.E. Sharpe. Hal.123.

Page 18: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

Kata ‘majalah’ berasal dari ‘magazine’ yang muncul sejak tahun 1583, dimana berasal

dari bahasa Arab yang berarti gudang atau tempat penyimpanan barang-barang dagangan 45.

Baru semenjak tahun 1731, kata ‘magazine’ mulai bergeser makna sebagai gudang dari

informasi dan hiburan. Penerbitan majalah sendiri dimulai pertama kali di Amerika oleh

Benjamin Franklin bernama General Magazine pada tahun 1741, meski perkembangannya

sendiri baru tampak di sekitar abad 19.

Lantaran keragamannya, majalah mungkin saja merupakan media yang paling rumit

untuk didefinisikan. Keseragaman yang ada pada surat kabar tak ditemukan dalam majalah.

Tak ada majalah yang dapat disebut tipikal46. Artinya, masing-masing memiliki karakter dan

audiensnya sendiri-sendiri. Namun, di era dimana setiap individu sangat dimungkinkan untuk

membangun perusahaan media, majalah merupakan media yang relatif lebih mudah dikelola

dengan struktur organisasi yang cenderung lebih sederhana. Majalah juga lebih potensial

untuk diterbitkan oleh setiap kelompok masyarakat, di mana mereka dapat dengan leluasa

dan luwes menentukan bentuk, jenis dan sasaran khalayaknya47.

Menurut Ashadi Siregar dan Rondang Pasaribu,48 majalah secara fisik menggunakan

kertas HVS atau kertas jenis lain yang lebih baik kualitasnya. Kertas yang digunakan

berukuran A4 atau sedikit lebih besar. Namun, ada pula majalah yang menggunakan ukuran

lebih kecil. Sampul majalah banyak menggunakan kertas yang lebih tebal dan berkualitas

lebih baik ketimbang halaman di dalamnya, Dengan demikian, kualitas cetak sampul bisa

diupayakan lebih baik, agar tampak lebih menarik. Untuk media korporasi, jumlah halaman

minimal 16 hingga 24 halaman. Halaman majalah biasanya dibagi atas 2-4 kolom.

Elemen yang menjadi kontribusi terhadap produksi majalah saat ini sangat bervariasi.

Elemen-elemen seperti jadwal terbit, format majalah, dan target audiens menjadi elemen

pokok yang selalu ada di setiap majalah. Umumnya, majalah yang berfokus pada tema umum

terbit setiap minggu. Sedangkan untuk majalah yang mempunyai fokus pada tema tertentu

biasanya mempunyai frekuensi terbit yang lebih sedikit, misalnya bulanan atau per dua bulan.

Karena majalah diterbitkan lebih jarang dari pada surat kabar, maka majalah dapat menelaah

45 Samuel L Becker. Op. Cit. Hal. 157. 46 Ibid. Hal. 156. 47 Elvinaro Ardianto dan Lukianto Erdinaya dan Komala. 2005. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung:

Remaja Rosdakarya. Hal.123. 48 Ashadi Siregar dan Rondang Pasaribu. 2000. Bagaimana Mengelola Media Korporasi – Organisasi.

Yogyakarta : Kanisius. Hal. 116.

Page 19: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

persoalan-persoalan dan keadaan-keadaan yang terjadi dalam masyarakat secara teliti, luas

dan mendalam49.

Sebagai produk penerbitan berkala, majalah bukan sarana yang dibaca selintas saja

seperti media aktual seperti koran. Majalah dapat disimpan oleh pembaca selama berminggu-

minggu, berbulan-bulan, kadang-kadang bertahun-tahun. Umumnya, penghasilan majalah

bersumber dari perolehan iklan, atau laba penjualan majalah. Konsumen terbesar dari majalah

adalah kaum dewasa yang berusia 18 hingga 44 tahun dan rata-rata memiliki tingkat

pendidikan perkuliahan50.

Di dalam suatu majalah terkandung banyak elemen – elemen grafis seperti gambar,

tipografi, warna, ilustrasi dan elemen lainnya yang dimana hal itu untuk memperkuat konten

majalah dan aspek estetis untuk menarik perhatian pasar. Majalah juga harus memiliki

konsep atau target segmentasi yang jelas dan sesuatu hal yang berbeda dengan majalah

lainnya. Agar dapat terlihat oleh masyarakat memiliki ciri khas serta keunggulan dari majalah

– majalah pesaing.

Media massa cetak berupa majalah berskala nasional kini jauh lebih banyak jumlah

dan macamnya, seperti majalah anak-anak, majalah remaja, atau majalah wanita. Bahkan, tak

terhitung lagi majalah yang dengan warna pemberitaan yang terfokus pada aspek kehidupan

tertentu, seperti majalah kesehatan (Rumah Tangga dan Kesehatan, Bugar), majalah

pertanian (Trubus), majalah keagamaan (Amanah, Hidayah), majalah otomotif, dan termasuk

majalah musik.

Walaupun begitu, semenarik apapun konten dan tata letak pesannya, seperti halnya

produk media cetak lainnya, manajemen produksi majalah memiliki potensi akan

keterbatasan-keterbatasan tertentu,51 yakni:

1. Keterbatasan mekanis, sehubungan dengan sarana produksi.

2. Keterbatasan bahan, sehubungan dengan jenis kertas, tinta, dan sebagainya.

3. Keterbatasan biaya, sehubungan dengan biaya produksi.

4. Keterbatasan fungsi, baik mengingat penggunaan maupun calon pembacanya.

49Elvinaro Ardianto dan Lukianto Erdinaya dan Komala. Op Cit. Hal.113. 50 Helen Katz. 2007. The Media Handbook. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Hal. 83. 51 Dendi Sudiana. 1986. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Remadja Karya. Hal. 43.

Page 20: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

5.Keterbatasan waktu, dan keterbatasan lainnya, misalnya yang berkenaan dengan lingkungan

kerja.

F. Kerangka Konsep

Adanya perubahan dan persaingan dalam lingkungan bermedia tak akan dapat

dihindari, hingga kemudian memantik perlunya antisipasi pada keterbatasan-keterbatasan

dalam beragam aspek di lingkungan internal media. Manajemen media pun adalah wajib

adanya guna mengantisipasi dan meminimalisir keterbatasan – keterbatasan tersebut, yang

diantaranya mencakup keterbatasan waktu dan ruang. Keterbatasan waktu terkait dengan

jadwal penerbitan, yang kemudian bersinggungan langsung dengan penempatan agenda-

agenda redaksional. Sementara keterbatasan ruang mengacu pada kuantitas ruang yang

tersedia untuk konten media, misalnya jumlah dan porsi halaman bagi artikel utama, artikel

khusus, hingga jatah iklan. Semua keterbatasan yang dihadapi institusi media menjadi alasan

pentingnya manajemen untuk membuat strategi demi tercapainya tujuan institusi media.

Sumber daya yang terkumpul dalam sebuah organisasi media pun tak akan berfungsi

dan membangun aktivitas media yang ideal andaikata tak dikelola dengan kompeten. Untuk

itu manajemen media, dengan prinsip-prinsip media yang diusungnya, mesti mampu

menciptakan, memelihara dan menerapkan sistem kerja yang proporsional pada masing-

masing elemen sumber daya yang ada dengan diantaranya menumbuhkembangkan rasa

kebersamaan di antara sesama personil, serta tatanan kerja yang kokoh dalam organisasinya

Dalam menghasilkan produk yang relevan dengan visi-misi perusahaan, proses

manajemen media massa berformat cetak pun melibatkan banyak personil dalam ketiga

bidang, yakni bidang redaksional, percetakan, dan bidang usaha, atau aktivitas pendukung52.

Manajemen redaksional meliputi kegiatan penentuan materi konten, pencarian data,

peliputan, dan penulisan, termasuk layouting dan editing. Kegiatan percetakan meliputi

aktivitas produksi fisik dari produk medianya. Adapun yang dimaksud dengan aktivitas

pendukung ialah beragam langkah promosi, iklan, keuangan, hubungan masyarakat, dan

pengelolaan sumber daya.

Selain diaplikasikan dalam manajemen perusahaan yang berkaitan dengan

pengelolaan ekonomi media, manajemen media memang diterapkan pula dalam konteks

manajemen konten atau redaksional. Contohnya, bagaimana cara mengelola keterbatasan

personil untuk memenuhi target kualitas dan kuantitas dari konten produk media. Manajemen

52 Totok Djuroto. Op.Cit. Hal. 15.

Page 21: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

redaksional tentunya juga dibutuhkan untuk menyaring dan mengelola tingkat kualitas konten

yang disajikan lewat pengambilan keputusan-keputusan redaksional yang tepat.

Adanya beragam faktor itu mendorong pengelolaan media untuk mengusung prinsip-

prinsip manajemen dengan seluruh proses manajemennya secara utuh yang meliputi pelbagai

fungsi manajemen. Pengelolaan media artinya membutuhkan eksistensi manajemen yang

tepat. Secara substansial, salah satu definisi “manajemen” yang banyak dianut banyak orang

adalah definisi dari Henry Fayol yang berbunyi: “Manajemen adalah proses

menginterpretasikan, mengkoordinasikan sumber daya, sumber dana, dan sumber-sumber

lainnya untuk mencapai tujuan dan sasaran melalui tindakan – tindakan perencanaan,

pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan penilaian53.” Fayol pun lantas membaginya

menjadi 14 asas manajemen, yaitu:

1. Pembagian tugas

2. Wewenang dan Tanggung jawab

3. Disiplin

4. Kesatuan perintah

5. Kesatuan pengarahan

6. Ketertiban

7. Keadilan

8. Prakarsa

9. Stabilitas masa jabatan

10. Kesatuan

11. Jenjang Kepangkatan

12. Penggantian pegawai

13. Pemindahan wewenang

14. Pengutamaan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi

Henry Fayol juga meringkas ke-14 asas tersebut menjadi empat poin yang disebut

sebagai fungsi manajemen, yaitu planning, organizing, leading, dan controlling.

a. Planning

Planning atau perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan

tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, serta mengambil langkah-langkah strategis guna

mencapai tujuan tersebut. Fungsi manajemen ini diharapkan mampu memberikan pandangan

53 Totok Djuroto. Op.Cit. Hal. 96.

Page 22: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

dan formula yang jelas akan langkah-langkah selanjutnya dari pengelolaan media yang

bersangkutan.

b. Organizing

Organizing atau pengorganisasian meliputi proses komando, pengalokasian sumber

daya, serta pengaturan kegiatan secara terkoordinir pada setiap individu dan kelompok untuk

menerapkan rencana. Kegiatan-kegiatan yang terlibat dalam pengorganisasian mencakup tiga

kegiatan, yaitu: membagi komponen –komponen kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai

tujuan dan sasaran dalam kelompok-kelompok, membagi tugas kepada manajer dan bawahan

untuk mengadakan pengelompokan tersebut, dan menetapkan wewenang di antara kelompok

organisasi.

c. Leading

Leading atau pengarahan adalah proses untuk memotivasi dalam upaya menumbuhkan

semangat pada individu di dalam institusi media agar lebih optimal dalam bekerja, serta

membimbing mereka dalam melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan yang efektif dan

efisien. Melalui pengarahan yang ideal, seorang manajer mampu mengoptimalkan proses

kinerja yang mendukung tercapainya tujuan perusahaan

d. Controling

Controlling atau pengendalian dimaksudkan untuk menyimak apakah kegiatan organisasi

sudah sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Fungsi pengendalian mencakup empat

kegiatan, yakni menentukan standar prestasi, mengukur prestasi yang telah dicapai sejauh ini,

membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan standar prestasi, dan melakukan

perbaikan jika terdapat penyimpangan dari standar prestasi yang telah ditetapkan.

Keempat poin itu yang lantas ditempatkan sebagai acuan dan indikator dasar demi

menyederhanakan pemikiran dan menuntun peneliti dalam mengkaji manajemen media di

majalah Warning Magazine. Selain menggambarkan fenomena yang diteliti, konsep yang

dijabarkan diharapkan mampu berlaku sebagai indikator penelitian dan kerangka acuan dalam

melakukan penelitian.

No. Kerangka Konsep Operasionalisasi Konsep Teknik Pengambilan Data

1. Perencanaan

(Planning)

- Konsepsi dan identifikasi

media

- Modal keuangan

- Tujuan yang hendak

dicapai

Mengeksplorasi majalah, situs, dan

produk lain Warning Magazine

Mewawancarai pendiri dan

pemimpin redaksi Warning

Magazine

Page 23: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

Melakukan observasi ke lapangan

dan mengikuti jalannya proses

redaksional Warning Magazine

2. Pengorganisasian

(Organizing)

- Struktur organisasi

- Pembagian SDM beserta

tugas dan fungsi

pokoknya

- Rubrikasi media

- Tata visual media

Mengeksplorasi majalah Warning

Magazine

Mewawancarai SDM Warning

Magazine (pendiri, pemimpin

redaksi hingga staf internal

lainnya).

Melakukan observasi ke lapangan

dan mengikuti jalannya proses

redaksional Warning Magazine.

3. Pengarahan

(Leading)

- Manajemen sumber daya

manusia

- Manajemen finansial

- Distribusi dan penjualan

- Infratruktur fisik dan

teknologi

- Pengelolaan relasi

eksternal

Mewawancarai SDM Warning

Magazine (pendiri, pemimpin

redaksi hingga staf internal

lainnya).

Melakukan observasi ke lapangan

dan mengikuti jalannya proses

redaksional Warning Magazine.

4. Pengontrolan

(Controlling)

- Pemantauan dan evaluasi

kinerja

- Apresiasi dan sanksi

Mewawancarai SDM Warning

Magazine (pendiri, pemimpin

redaksi hingga staf internal

lainnya).

Melakukan observasi ke lapangan

dan mengikuti jalannya proses

redaksional Warning Magazine.

Tabel 1.1. Kerangka konsep penelitian.

G. Metode Penelitian

Mengacu pada objek dan rumusan masalahnya, metode penelitian yang akan

digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan metode penelitian

kualitatif yang memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu sebagai suatu kasus.

Lazimnya, studi kasus merupakan metode paling relevan untuk mengupas pokok pertanyaan

suatu penelitian berkenaan dengan how (bagaimana) atau why (mengapa), bila peneliti hanya

memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan

Page 24: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam

konteks kehidupan nyata54.

Penelitian ini pun memusatkan perhatian pada kasus tunggal dari satu institusi, yakni

penerapan tatanan manajemen media majalah Warning Magazine oleh sumber daya manusia

yang sepenuhnya diisi oleh jajaran kaum muda, bersama orientasinya untuk mengejar

keuntungan komersial. Penelitian ini akan berupaya melihat bagaimana proses manajemen

yang dilakukan majalah Warning Magazine dalam mengelola sumber-sumber internal, serta

bagaimana penerapannya terhadap produksi yang dihasilkan. Selain itu juga melihat

bagaimana interaksi yang terjadi antara individu yang terlibat, dan struktur organisasi dalam

manajemennya. Batasan masa obyek penelitian adalah pengelolaan dari bulan Januari 2014

hingga bulan Maret 2015, yang mencakup periode penerbitan lima edisi, mulai dari Warning

Magazine edisi 2 (Februari 2014) hingga Warning Magazine edisi 6 (April 2015).

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan data yang lebih banyak diambil melalui

metode argumentatif terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dengan

tendensi menggunakan logika ilmiah daripada menggunakan data-data berupa angka.

Jawaban akan permasalahan dari penelitian ini pun hendak dianalisis secara deskriptif dimana

peneliti akan memaparkan fenomena masalah atau fenomena yang sedang terjadi, dengan

tujuan melakukan atau mengkonfirmasi, klarifikasi ataupun proses. Dengan metode studi

kasus, maka penelitian dapat dilakukan dengan lebih rinci dan mendalam dengan

menganalisis data-data yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan

yang penelaahannya dilakukan secara mendalam dan mendetail. Sehingga, terdapat

kemungkinan akan melahirkan pernyataan-pernyataan yang bersifat eksplanasi.

1. Teknik Pengumpulan Data:

a. Dokumen dan rekaman arsip: Merupakan teknik pengumpulan data yang

memanfaatkan dokumen-dokumen terkait berupa hasil referensi utama, yang dalam

hal ini segala dokumen dan data media, meliputi :

a. Produk terbitan majalah Warning Magazine dalam enam edisi pertama

b. Penelusuran situs resmi Warning Magazine (www.warningmagz.com)

c. Penelusuran akun jejaring sosial resmi Warning Magazine, yakni akun twitter

(@Warningmagz), Facebook (Warning Magz), dan Instagram (WarningMagz)

d. Notulen rapat internal Warning Magazine.

54 Yin Robert K. 2005. Studi Kasus: Desain & Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 1.

Page 25: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

e. Proposal penawaran iklan majalah Warning Magazine

f. Press Release Warning Magazine dalam penyelenggaraan konser peluncuran edisi

kelima pada bulan Januari 2015.

b. Observasi Partisipan: Merupakan teknik pengumpulan data dengan terjun langsung ke

lapangan, turut terlibat dalam aktivitas obyek sembari melakukan pengamatan di

dalamnya. Data yang didapat nantinya akan terdiri dari perincian kegiatan, perilaku,

tindakan orang-orang, serta juga keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal,

dan proses penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat

diamati55. Penulis sendiri merupakan salah satu anggota tetap dari institusi Warning

Magazine. Hal ini kemudian memunculkan sejumlah keuntungan bagi peneliti,

diantaranya memiliki akses dan pemahaman lebih terhadap obyek penelitian.

observasi pun dilakukan terhadap diantaranya meliputi:

1. Kegiatan manajerial dan operasi produksi yang berlangsung di kantor redaksi

Warning Magazine yang beralamat di Perumahan Aph Seturan A19 Yogyakarta.

2. Kegiatan manajerial dan operasi produksi yang berlangsung di luar kantor redaksi,

seperti di rumah makan, kafe, atau lokasi percetakan.

3. Aktivitas peliputan dari personil redaksi Warning Magazine dalam sebuah konser

musik, konferensi pers, atau pun sesi wawancara dengan narasumber.

c. Wawancara: Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan metode

tanya jawab dengan pihak-pihak terkait secara langsung. Narasumber yang dipilih

umumnya merupakan informan kunci yang diharapkan memiliki kapabilitas untuk

memberikan data yang berharga56. Dalam kasus ini, wawancara dilakukan terhadap

pihak manajemen Warning Magazine, meliputi pimpinan perusahaan, redaksi, dan

bidang lainnya.

No Narasumber Jabatan Tanggal

1 Tomi Wibisono Pendiri dan Editor

In Chief 2014 /

Minggu III Maret 2015

55 Ibid. Hal.186. 56 Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed). 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana. Hal.189.

Page 26: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

Senior Editor

2015

2 Titah Asmaning Editor 2014 /

Editor in Chief

2015

Minggu III Maret 2015

3 Yesa Utomo Editor 2014 /

Associate Editor

2015

Minggu III Maret 2015

4 Maulana Al-Anshory Account

Executive

Minggu III Maret 2015

5 Adya Nisita Reporter Minggu III Maret 2015

6 Faida Rachma Ilustrator Minggu III Maret 2015

Tabel 1.2. Daftar narasumber dan jadwal wawancara.

2. Teknik Analisa Data:

Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh

suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian

aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan bertumpuk-tumpuk bisa

disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan mudah

Data yang terkumpul di lapangan akan dianalisa dengan pengolahan data kualitatif.

Proses analisis dilakukan secara bertahap diawali pengorganisasian data yang mencakup

kategorisasi dan reduksi data untuk memilih poin-poin pokok dengan dibuat gugusan dan

pemisahan. Selanjutnya, data akan disajikan dan diinterpretasikan, serta diidentifikasikan

polanya melalui penelaaahan, pengkajian dan pengklasifikasian yang berbasis dari konsep

yang relevan. Jika pola, tema, hipotesis dari kajian data, dan hubungan persamaan yang dapat

digeneralisasi serta berlaku sintesis telah dipahami, maka tahapan akhirnya ialah perumusan

ikhtisar poin-poin makna untuk dituangkan dalam kesimpulan akhir yang tetap disusul

dengan peninjauan ulang mengenai kebenaran dari penyimpulan itu, khususnya berkaitan

dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan, dan perumusan masalah yang

ada. Selain menganalisis data yang diperoleh, analisis juga akan dilakukan terhadap output

Page 27: BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85903/potongan/S1-2015... · struktur organisasi dan rutinitas media yang kurang terjalin rapi dan

dan produk yang dihasilkan oleh manajemen media (dalam studi kasus ini berarti terbitan

majalah Warning Magazine). Keseluruhan hasil penelitian ini akan dilaporkan dan disajikan

dalam bentuk narasi untuk memudahkan pemahaman alur penelitian.