bab i pendahuluan a. latar belakang masalah/analisis... · pada negara – negara yang menganut...

67
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem hukum Indonesia mengadopsi sistem hukum peninggalan Belanda, yang merupakan tradisi hukum yang paling umum dianut di hampir seluruh benua Eropa, Amerka Selatan, dan berbagai Negara Asia. Sistem hukum kontinental biasanya dianggap mengandalkan kitab undang- undang. Menurut teorinya, para hakim di negara yang menganut tradisi hukum Kontinental seharusnya hanya menerapkan hukum yang termuat dalam undang-undang atau kitab undang-undang maupun tidak boleh membuat hukum. Berlawanan dengan Hukum Kontinental, Negara dengan sistem hukum Anglo-saxon menganggap Hakim adalah pembuat Undang-Undang. Hakim berhak membuat putusan yang lebih didasarkan pada norma yang berlaku di masyrakat dari pada berpegang pada norma hukum itu sendiri. Namun, perbedaan tersebut semakin lama semakin tidak penting di negara- negara yang telah menerapkan sebagian dari tradisi hukum Anglo-saxon. (http://hukumpedia.ac.id ) Pada negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitan

Upload: nguyenthien

Post on 17-Sep-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem hukum Indonesia mengadopsi sistem hukum peninggalan

Belanda, yang merupakan tradisi hukum yang paling umum dianut di

hampir seluruh benua Eropa, Amerka Selatan, dan berbagai Negara Asia.

Sistem hukum kontinental biasanya dianggap mengandalkan kitab undang-

undang. Menurut teorinya, para hakim di negara yang menganut tradisi

hukum Kontinental seharusnya hanya menerapkan hukum yang termuat

dalam undang-undang atau kitab undang-undang maupun tidak boleh

membuat hukum.

Berlawanan dengan Hukum Kontinental, Negara dengan sistem

hukum Anglo-saxon menganggap Hakim adalah pembuat Undang-Undang.

Hakim berhak membuat putusan yang lebih didasarkan pada norma yang

berlaku di masyrakat dari pada berpegang pada norma hukum itu sendiri.

Namun, perbedaan tersebut semakin lama semakin tidak penting di negara-

negara yang telah menerapkan sebagian dari tradisi hukum Anglo-saxon.

(http://hukumpedia.ac.id)

Pada negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon

seperti Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya

merupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis

tersebut menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara.

Penjelasan Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip

hukum yang mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat

biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya

mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya

hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan tersebut biasanya

kemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitan

2

terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalam

hukum.

Pendapat atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah

Legal Opinion. Legal Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai

pendapat hukum. Pada negara – negara yang menganut Sistem Hukum

Anglo Saxon, Legal Opinion tersebut terdiri dari :

1.Judicial Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau putusan hakim di

dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun pidana;

2.Majority Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas

dari para hakim pengadilan;

3. Dissenting Opinion adalah perbedaan pendapat;

4.Plurality Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu kelompok dari

lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding, dimana

tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh

kelompok mayoritas di pengadilan.

5.Concuring Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa hakim

pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi

menuangkannya dengan cara yang berbeda.

6.Memorandum Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga

peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa

catatan atau memo. ( http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum/

Dissenting_Opinion.pdf )

Lain halnya dengan sistem hukum Kontinental yang bersifat

dogmatis, dimana dalam proses peradilannya tidak menggunakan sistem juri

tetapi segala sesuatunya kembali kepada ketentuan undang-undang,

sehingga yang diperdebatkan oleh para hakim seharusnya adalah peraturan

dalam undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa. Namun,

sebenarnya pada negara – negara yang menganut sitem hukum Eropa

Kontinental seperti Negara Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem

hukum Kontinental, memberikan kekuasaan kepada Hakim sebagai kaki

yang di ibaratkan sebagai terompet undang – undang. Pasal 1 Undang

3

Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman juga mempunyai beberapa asas yang menjadi

dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum.

Asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik

menurut Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari diantaranya meliputi

hal-hal sebagai berikut :

1.Asas Kebebasan Hakim

2.Pemeriksaan Berlangsung Terbuka

3.Hakim Bersifat Aktif

4.Asas Objektivitas

5.Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

6.Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan”

7.Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan

8.Susunan Persidangan Dalam Bentuk Majelis

9.Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat ( Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti

Puspitasari, 2005: 66)

Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Pratek” yang dikeluarkan

oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia tahun 1985, hal 221, putusan

diartikan sebagai berikut “Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat

berbentuk tertulis ataupun lisan” (Leden Marpaung, 1992: 406).

Berdasarkan uraian diatas, apabila putusan hakim dijatuhkan dengan

memenuhi asas – asas tersebut diatas selain menjamin adanya kepastian

hokum, diharapkan juga demi memenuhi rasa keadilan. Sebagaimana

diketahui, bahwa di dalam KUHP dikenal jenis – jenis perkara yaitu

persidangan perkara biasa, perkara singkat, serta perkara cepat. Disamping

4

itu di dalam KUHAP dikenal adanya hal yang baru yakni pemeriksaan

dalam persidangan pra peradilan.

Putusan hakim diambil setelah pemeriksaan ditutup, kemudian

diadakan suatu musyawarah terakhir oleh Majelis Hakim untuk mengambil

keputusan. Dalam Pasal 186 ayat (6) KUHAP menyatakan bahwa sedapat

mungkin musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika

telah diusahakan dengan sungguh-sungguh namun tidak dicapai kesepakatan

bulat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak dari majelis hakim atau

putusan diambil berdasarkan pendapat hakim yang paling menguntungkan,

kemudian pendapat hakim yang berbeda akan dicatat dalam buku himpunan

putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut

sifatnya rahasia.

Jadi, menurut Pasal 77 KUHAP pengadilan negeri dapat

melaksanakan sidang praperadilan untuk menentukan apakah penangkapan

atau penahanan dilakukan secara sah. Pengadilan juga berwenang untuk

memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan. Seringkali dalam sidang pra peradilan Hakim

mengeluarkan Dissenting Opinion dalam memeriksa dan memutus perkara

pra peradilan. Dissenting Opinion itu sendiri lebih sering digunakan di

negaranegara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika

Serikat dan Kerajaan Inggris. Pada Sistem Hukum tersebut Dissenting

Opinion digunakan jika terjadi perbedaan pendapat antara seorang Hakim

dengan Hakim lain yang putusannya bersifat mayoritas. Pendapat Hakim

yang berbeda dengan putusan tersebut akan ikut dilampirkan dalam putusan

dan menjadi Dissenting Opinion. Di Amerika Serikat yang menjadi

perdebatan oleh para hakim adalah kasus yang diperiksa. Hal tersebut

dimaksudkan agar terciptanya suatu hukum baru karena secara prinsip para

hakim tersebut berpegang teguh pada pemikiran Judge Made Law. Dimana

para hakim tersebut dituntut untuk senantiasa dapat menjawab dan

memberikan kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang

timbul dalam masyarakat.

5

Pada awalnya penerapan Dissenting Opinion sangatlah tidak

mungkin diterapkan di Indonesia karena tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan dan juga terdapat ketentuan dalam Buku II MA yang

melarang penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Walaupun demikian

Dissenting Opinion itu sendiri bukan merupakan suatu hal yang baru

khususnya dalam komunitas masyarakat hukum yang secara tatanan

keilmuan telah mempelajari teori – teori maupun aplikasinya dalam bidang

hukum. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori

maupun praktek hukum, namun dirasakan sangatlah perlu untuk diberikan

suatu perspektif yang jelas tentang penggunaan mekanisme Dissenting

Opinion.

Seiring dengan perkembangan zaman, dimana muncul banyak sekali

kasus-kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam

memutuskannya maka di indonesia diterapkan juga penggunaan Dissenting

Opinion tersebut. Selain itu, penerapan Dissenting Opinion tersebut juga

dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa

sebuah putusan itu baru bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa

menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas,

terbuka dan jujur dengan tentunya menggunakan pertimbangan hukum,

sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif.

Kini terminology Dissenting Opinion pun bukan hal yang asing lagi

di kalangan masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi kelompok

masyarakat yang merupakan komunitas hukum yang memang secara tatanan

keilmuan telah mempelajari teori – teori maupun aplikasinya dalam bidang

hukum. Prinsip dari adanya Dissenting Opinion adalah adanya suatu

perbedaan yang terjadi, yang di Indonesia isu ini mengemuka secara

eksklusif di bidang hukum pidana dan acara pidana.

Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori

maupun praktek hukum, Namun topik Dissenting Opinion ini juga

merupakan satu aspek hukum yang juga perlu untuk dikritisi agar tidak

terbentuk suatu opini yang keliru dikalangan masyarakat. Karena

6

masyarakat mulai memiliki suatu persepsi bahwa Dissenting Opinion adalah

suatu rekayasa hukum, yang bukanya berupaya menegakkan supremasi

hukum.

Yang akan disampaikan dalam tulisan ini adalah berkenaan dengan

upaya untuk memberikan suatu perspektif tentang penggunaan maupun

dampak dari penggunaan mekanisme Dissenting Opinion tersebut agar tidak

ada salah pengertian mengenai Disenting Opinion itu sendiri.

Dari uraian tersebut diatas penulis tertarik untuk menggali lebih

dalam dengan menuangkannya dalam suatu penelitian hukum dengan judul :

“ ANALISIS YURIDIS TERJADINYA PERBEDAAN

PENDAPAT (DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM DALAM

MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN

TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN YANG TIDAK SAH

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PUTUSAN (Studi Putusan

Mahkamah Agung RI No. 70 PK/2006) ”

7

B. Perumusan Masalah

Di dalam setiap penelitian diperlukan adanya perumusan masalah

agar penelitian tetap terarah, tidak menimbulkan pengertian yang

menyimpang dari pokok permasalahan.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah bentuk terjadinya Dissenting Opinion diantara para

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang

penghentian penuntutan yang tidak sah?

2. Bagaimanakah implikasi terjadinya perbedaan pendapat Dissenting

Opinion diantara Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra

peradilan tentang penghentian penuntutan terhadap putusan yang

dijatuhkan?

C. Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan

penelitian yang jelas dan sudah pasti, sebagai sasaran yang akan dicapai

untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Maka berdasarkan permasalahan

yang telah dikemukakan oleh penyusun, tujuan penulisan hukum ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui bentuk terjadinya Dissenting Opinion diantara para

Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara pra

peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah.

b. Untuk mengetahui implikasi terjadinya perbedaan pendapat

Dissenting Opinion diantara Hakim dalam memeriksa dan memutus

perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan terhadap

putusan yang dijatuhkan.

8

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar

kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman

aspek hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum

khususnya mengenai penyelesaian suatu perkara pidana .

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh

agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan

masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan penelitian seperti tersebut di atas, penelitian ini

diharapkan dapat memberi hasil guna sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis :

a. Dapat memberikan masukan kepada peneliti di bidang hukum acara

pidana, terutama yang berhubungan dengan putusan hakim yang

berbeda pendapat dissenting opinion.

b. Dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan pendapat

dissenting opinion para Hakim terhadap kasus penghentian

penuntutan.

c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan

pemecahan-pemecahan atas permasalahan dari sudut teori.

d. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk menambah

referensi di bidang karya ilmiah yang tujuannya juga untuk dapat

mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang hukum.

e. Penelitian ini juga merupakan latihan dan pembelajaran dalam

menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah kemampuan,

pengalaman dan dokumentasi ilmiah.

9

2. Manfaat Praktis

a. Dapat menjadi masukan bagi pihak yang berwenang sebagai bahan

untuk menyusun kebijaksanaan khususnya yang berkaitan dengan

dissenting opinion.

b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir

dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penyusun dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh.

c. Dapat memperluas cakrawala berfikir dan pandangan bagi civitas

akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya

mahasiswa Fakultas Hukum yang menerapkan penulisan hukum ini.

d. Dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang sedang terjadi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang

bersifat kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada

daripada kuantitas / banyaknya data (Lexy J. Moleong, 1993:3). Dalam

penelitian hukum normatif, peneliti cukup dengan mengumpulkan data-

data sekunder dan mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil

penelitian. Sifat penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis.

Disebut deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh

gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang

diteliti, yaitu mengenai perbedaan pendapat Dissenting Opinion diantara

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang

penghentian penuntutan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan

menggunakan pendekatan penelitian yang menggunakan metode

penelitian kualitatif sesuai dengan sifat data yang ada.

10

3. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan

oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-

bahan kepustakaan, terdiri dari literature, dokumen-dokumen, peraturan

perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan

sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang

diteliti.

4. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian hukum

normatif adalah sumber data sekunder. Yang dimaksud sumber data

sekunder adalah bahan-hahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen

putusan pengadilan, buku-buku, laporan, arsip dan literatur yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini

meliputi :

a. Bahan Hukum Primer

1) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70 PK /

Pid / 2006;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3) UU No. 81 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP);

4) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;

5) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;

6) Perma No. 2 Tahun 2000 tentang Hakim Ad Hoc.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data

sekunder dari bahan hukum primer yang akan digunakan dalam

11

penelitian ini yakni terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para

ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya

ilmiah, koran, makalah dan majalah.yang terkait dengan masalah

penelitian.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

sesuai dengan jenis dan sumber datanya. Sumber data yang disebut

bahan penelitian ini diperoleh lewat penelitian ini diperoleh lewat

penelitian kepustakaan akan diinventarisasi dan dianalisis.

6. Teknik Analisis Data.

Teknik analisa yang dipakai peneliti adalah teknik analisa

kualitatif dengan model interaktif yaitu komponen reduksi data dan

penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian

setelah data terkumpul maka ketiga komponen tersebut berinteraksi dan

bila kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan

penelitian kembali menyimpulkan data lapangan (H.B. Soetopo,

1999:8). Menurut H. B. Soetopo, ketiga komponen tersebut adalah :

a. Mereduksi data

Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan yang tertulis di lapangan. Kegiatan ini berupa

menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan membuang yang

tidak perlu dan mengorganisasi data.

b. Menyajikan data

Penyajian data sebagai sekumpulan informasi yang

tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif

dalam konfigurasi yang mudah dipakai sehingga memberi

kemungkinan adanya pengambilan keputusan.

12

c. Menarik kesimpulan

Penarikan kesimpulan terhadap data yang sudah tersaji

dengan baik dan terorganisir. Dengan demikian data yang terkumpul

akan berhubungan satu dengan yang lainnya secara sistematis.

Untuk lebih jelas dapat digambarkan pada bagan di bawah ini

mengenai tiga hal yang utama secara siklus dan interaktif yang bergerak

bolak-balik diantara kegiatan tersebut. (H.B. Soetopo, 1999:8)

(Gambar : analisa model interaktif)

Setelah data terkumpul kemudian direduksi, setelah itu kita sajikan

kemudian kita ambil kesimpulan. Tahapan ini harus dilakukan secara

berurutan, seperti misalnya kita memperoleh data tanpa kita reduksi data itu

sudah lengkap langsung kita sajikan. Dan misalnya kita sudah sampai tahap

penyajian data maka kita kesulitan untuk mengambil kesimpulan, karena

data masih kurang lengkap dan kita dapat kembali ke tahap pengumpulan

data lagi atau ke tahap yang lainnya. Jadi antara tahap satu dengan lainnya

saling berhubungan membentuk suatu siklus.

Pengumpulan Data

Data Direduksi Data Display (Penyajian data)

Conclusion drawing (kesimpulan)

13

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatu uraian

mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan

terperinci, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang

apa yang ditulis tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang

tidak dapat dipisahkan. Dalam kerangka ini, penulis menguraikan tentang

hal-hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika

penulisan hukm ini terdiri dari empat bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini Penulis menguraikan pendahuluan yang berisi

latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian dan sistematika skripsi.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan tinjauan umum tentang pengertian

dan pengaturan Dissenting Opinion, tinjauan numum

mengenai pengertian, tujuan dan wewenang pra peradilan,

serta tinjauan umum mengenai pengertian dan alasan tentang

penghentian penuntutan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

Dalam Bab ini Penulis menguraikan analisis yuridis

mengenai terjadinya perbedaan pendapat (Dissenting

Opinion) diantara para Hakim dalam memeriksa dan

memutus perkara pra peradilan tentang penghentian

penuntutan yang tidak sah dan implikasinya terhadap

putusan. Materi-materi dan teori-teori ini merupakan

landasan yang mendasari analisis hasil penelitian yang

diperoleh mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang

telah disebutkan pada Bab I.

14

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini diuraikan kesimpulan dari jawaban

permasalahan–permasalahan yang menjadi obyek

penelitian..

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Dissenting Opinion

a. Pengertian dissenting opinion

Dissenting opinion merupakan hal baru dalam sistem

hukum di Indonesia.

Ada beberapa definisi dissenting opinion, yaitu :

1) Menurut Bagir Manan

Dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan

perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan

(Bagir Manan,2006:11).

2) Menurut Artidjo Alkostar :

Dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat

hakim dengan hakim lain (Artidjo Alkostar,2000:1)

3) Menurut Pontang Moerad :

Dissenting opinion merupakan opini atau pendapat

yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang

tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh

mayoritas anggota majelis hakim (Pontang Moerad, 2005:

111).

Dissenting Opinion merupakan pendapat/Putusan yang

ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan

pendapat mayoritas majelis hakim yang mengadili suatu perkara.

Umumnya ditemukan di negara-negara yang bertradisi common

law di mana lebih dari satu hakim mengadili perkara. Tetapi,

sejumlah negara yang menganut tradisi hukum kontinental telah

memperbolehkan dissenting opinion oleh hakim, terutama di

pengadilan yang lebih tinggi. Di Indonesia, awalnya dissenting

opinion ini diperkenalkan pada pengadilan niaga, namun kini telah

16

diperbolehkan di pengadilan lain, termasuk dalam perkara pidana

.(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Dissenting_Opinion.p

df)

b. Pengaturan dissenting opinion

Pranata dissenting opinion muncul setelah dikeluarkannya

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Dimana dijelaskan dalam Pasal 19 UU no.4 tahun

2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah

bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh

umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5

mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat

dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat

dalam putusan (dissenting opinion).

Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim

yang berbeda dalam putusan juga diatur dalam Undang- Undang

Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal

30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah

pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan

pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang

diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal

musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung

yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi

perbedaan dalam penerapan Dissenting Opinion pada Lembaga-

Lembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model

pencatuman Dissenting Opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut

dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah

Konstitusi :

17

1) Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman Dissenting

Opinion terpisah dari putusan.

2) Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting Opinion merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

3) Sehingga diperlukan penyeragaman model pencatuman

Dissenting Opinion dalam suatu peraturan yang khusus

mengatur tentang Dissenting Opinion tersebut. Namun,

sebelum memasukkan Dissenting Opinion dalam Peraturan

Perundang-Undangan terlebih dahulu harus mengetahui

adakah nilai-nilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh

dari penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Apakah

Dissenting Opinion dapat bermanfaat bagi perkembangan

hukum negara kita. Pada Kenyataanya keinginan memasukan

Dissenting Opinion dalam KUHAP dilatarbelakangi oleh

karena Dissenting Opinion dirasakan mempunyai manfaat dan

nilai-nilai positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk

mengontrol Hakim. Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari

pelaksanaan Dissenting Opinion, yaitu :

a) dapat diketahui pendapat Hakim yang berbobot, dalam

upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi

pertimbangan pendapat Hakim mana dalam majelis tingkat

pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi

tersebut;

b) sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim,

karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam

standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk

mengukur prestasi Hakim tidak hanya dilihat dari segi usia

dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan

penilaian prestasi Hakim berdasarkan kualitas putusan

Hakim;

18

c) sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari

masyarakat terhadap praktek Korupsi,Kolusi dan

Nepotisme (KKN) dan Mafia Peradilan;

d) dengan Dissenting Opinion dapat diketahui apakah putusan

Hakim tersebut sesuai dengan Aspirasi Hukum yang

berkembang dalam masyarakat;

e) Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur

apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan cukup

responsif.

f) Nilai-nilai positif tersebut di atas baru dapat diwujudkan

jika kebijakan untuk memberlakukan Dissenting Opinion

tersebut didukung juga dengan adanya kemudahan bagi

masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan,

karena jika tidak maka Dissenting Opinion tidak dapat

dilaksanakan oleh masyarakat karena masyarakat tidak

dapat mengetahui dan menilai pendapat Hakim yang

berbeda dengan putusan.

Dalam KUHAP diatur mengenai tingkatan pemeriksaan

suatu perkara pidana. Tahapan tingkat pemeriksaan tersebut terdiri

atas tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di

sidang pengadilan. Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai

seperti yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses

persidangan selanjutnya ialah penuntutan , pembelaan, dan

jawaban. Tibalah saatnya hakim ketua mejelis menyatakan “

pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan inilah yang

mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna

menyiapkan putusan yang akan diajukan pengadilan. Sebenarnya,

dari tahap-tahap tingkat pemeriksaan tersebut yang paling

ditunggu-tunggu ialah keluarnya putusan hakim. Putusan

pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam

19

sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang.

Pengambilan putusan dalam perkara pidana diatur dalam

Pasal 182 ayat 4 KUHAP. Untuk menentukan suatu putusan perlu

diadakan musyawarah terlebih dulu oleh majelis hakim, dalam

musyawarah tersebut didasarkan atas surat dakwaan dan segala

sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dalam

musyawarah tersebut, hakim ketua majelis memberi kesempatan

kepada setiap anggota majelis untuk memberikan pendapat disertai

dengan alasannya dan yang memberi pendapat terakhir ialah ketua

majelis(Pasal 182 ayat 5 KUHAP).

Pada asasnya putusan yang dikeluarkan majelis hakim

tersebut merupakan hasil permufakatan bulat. Namun, apabila

setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai

kesepakatan, maka berlaku ketentuan bahwa putusan yang diambil

merupakan putusan yang diambil dengan suara terbanyak, jika

suara terbanyak tidak juga dapat terpenuhi maka putusan yang

dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi

terdakwa (Pasal 182 ayat 6 KUHAP ). Apabila putusan diambil

seperti ketentuan dalam ayat (6) tersebut maka dicatat daam buku

himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan

isi buku tersebut sifatnya rahasia.

Dalam pasal 182 Ayat (6) KUHAP, Hukum Acara (Pidana)

Indonesia masih mengandalkan sistem tertutup dan rahasia

berdasarkan pendekatan konservatif. Adanya suatu putusan harus

dilandasi suatu permufakatan bulat, kecuali apabila dengan

sungguh-sungguh permufakatan bulat tidak dapat dicapai, maka

putusan diambil dengan suara terbanyak dengan tetap

20

memperhatikan prinsip In Dubio Proreo (yang paling

menguntungkan terdakwa), bahkan penjelasan Pasal tersebut

menegaskan bahwa dissenting opinion tersebut dicatat dalam berita

acara sidang majelis yang bersifat rahasia. Seolah, dissenting

opinion yang terbuka dianggap hal yang tabu saja(Indriyanto Seno

Adji, 2001).

Pranata dissenting opinion lebih dahulu dikenal dalam

tradisi hukum common law system yang dianut negara-negara

anglo saxon, sedangkan Indonesia menganut tradisi hukum civil

law system atau lebih dikenal dengan eropa kontinental. Karena,

dissenting opinion dikenal berasal dari negara yang menganut

sistem hukum common law, alangkah baiknya apabila menilik

bagaimana pengadilan di negara Amerika Serikat yang menganut

tradisi common law dalam memutus suatu perkara pidana.

Oleh Karena itu, dipandang sangatlah perlu untuk segera

dirampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang salah satu Pasalnya direncanakan mengatur

tentang Dissenting Opinion. Dengan demikian, diharapkan agar

Dissenting Opinion tersebut dapat diterapkan dengan baik oleh

Para Hakim pada Lembaga-Lembaga Yudikatif, dalam rangka

menegakkan supremasi hukum khususnya dalam menciptakan

transparansi informasi di dunia peradilan di Indonesia.

(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Dissenting_Opinion.p

df)

21

2. Tinjauan tentang Pra Peradilan

a. Pengertian pra peradilan

Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP

”Pra Peradilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda.

Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti ”Pra Peradilan” sama

dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan (Andi Hamzah,

1996:1).

Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah

wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus

menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang sah atau

tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka:

1) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan

keadilan.

2) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya

tidak diajukan ke pengadilan.

b. Tujuan Pra Peradilan

Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya

kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi

kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk

melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,

penyitaan dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang

dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan

pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu

harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan

hukum dan undang-undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa

22

yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang

merupakan perampasan terhadap hak asasi tersangka.

Pra peradilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya

paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap

tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional

dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang

bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya

paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan

hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara

pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada

waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi

dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun.

Lembaga yang memberi wewenang pengawasan terhadap

tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses

pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang dilimpahkan

KUHAP kepada pra peradilan. Kalau begitu, pada prinsipnya

tujuan utama pelembagaan Pra Peradilan dalam KUHAP, untuk

melakukan ”pengawasan horisontal” atas tindakan upaya paksa

yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada di dalam

pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar

tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan

undang-undang ( M. Yahya Harahap, 2000:4 ).

c. Wewenang Pra Peradilan

1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa

Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-

undang kepada pra peradilan. Memeriksa dan memutus sah

atau tidaknya penangkapan dan penahanan. Berarti, seorang

tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan,

23

penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada Pra

Peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang

dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan

pemeriksaan kepada Pra Peradilan, bahwa tindakan penahanan

yang dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan

ketentuan Pasal 21 KUHAP. Atau penahanan yang dikenakan

sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24

KUHAP.

2) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan.

Penyidik maupun penuntut umum berwenang

menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan.

Alasan penghentian penyidikan yaitu hasil pemeriksaan

penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk

meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang

disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan

atau pelanggaran tindak pidana. Mungkin juga penghentian

penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut

umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang

disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang

telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut

umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada

tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut. Oleh

karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau

penuntutan dijumpai unsur kadaluarsa dalam perkara yang

diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan.

Apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan perkara yang

bersangkutan tidak diteruskan ke sidang pengadilan. Tetapi

undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau

24

pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan

pemeriksaan kepada Pra Peradilan tentang sah atau tidaknya

penghentian penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya,

penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat

mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian

penuntutan kepada Pra Peradilan.

3) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi

Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti

kerugian yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat

hukumnya kepada Pra Peradilan. Tuntutan ganti kerugian

diajukan tersangka berdasarkan alasan :

a) karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah

b) atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang

bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang.

c) karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti

ditangkap, ditahan atau diperiksa.

4) Memeriksa permintaan rehabilitasi

Pra Peradilan berwenang memeriksa dan memutus

permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya

atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan

tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Atau

rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang

pengadilan.

5) Pra Peradilan terhadap tindakan penyitaan

Terhadap penggeledahan ataupun penyitaan pun dapat

diajukan ke forum Pra Peradilan, baik yang berkenaan dengan

tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah

atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan :

25

a) dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau

persetujuan Ketua Pengadilan Negeri mutlak menjadi

yurisdiksi Pra Peradilan untuk memeriksa keabsahannya.

b) dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat

izin atau surat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri,

tetap dapat diajukan ke forum Pra Peradilan, dengan

lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni :

- Pra Peradilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau

surat persetujuan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan

Negeri tentang hal itu.

- Yang dapat dinilai oleh Pra Peradilan, terbatas pada

masalah pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan

tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau

melampaui surat izin atau tidak (M. Yahya Harahap,

2004:7-8).

3. Tinjauan tentang Penghentian Penuntutan

a. Pengertian Penghentian Penuntutan

Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata –

kata menutup perkara, penghentian penuntutan, dan

mengenyampingkan perkara. Undang – undang itu sendiri tidak

memberikan penjelasan. Untuk itu sebagaimana layaknya apabila

terdapat kata – kata tidak jelas di dalam perundang – undangan,

maka digunakanlah metode penafsiran yang dapat dibenarkan

untuk dipergunakan dalam rangka menafsirkan perkataan –

perkataan yang kurang atau tidak jelas dalam suatu perundang –

undangan.

Seperti kita ketahui bahwa dalam ilmu hukum (pidana)

dikenal beberapa macam penafsiran, antara lain adalah penafsitran

secara otentik , sistematik logis, dan lain – lain. Dengan melihat

pada penafsiran otentik dari pengertian penuntutan, dapat diketahui

26

bahwa penuntutan merupakan tindakan penuntut umum untuk

melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang

dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan. Dengan demikian agar penuntut umum itu dapat

disebut telah melakukan penuntutan apabila ia telah melakukan

tindakan – tindakan sebagaimana telah disebutkan diatas dan hanya

karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwanya sendiri bukan

merupakan suatu tindak pidana, penuntut umum kemudian

mencabut kembali penuntutanya. Jadi apabila penuntut umum

belum melakukan penuntutan, kita juga belum dapat berbicara

mengenai penghentian penuntutan.

Sedangkan dalam penghentian penuntutan tersebut

penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan

karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata

bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum,

penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

Ketentuan tersebut dicantumkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a

KUHAP. (P.A.F Lamintang, 1984:106)

b. Alasan Penghentian Penuntutan

Menurut Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai

wewenang:

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari

penyidik atau pembantu penyidik;

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3

dan ayat 4 dengan memberi petunjukdalam rangka

menyempurnakan penyidikan dan penyidik.

27

3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan

lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik;

4) Membuat surat dakwan;

5) Melimpahkan perkara kepengadilan;

6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang

ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat

panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk

dating pada sidang yang telah ditentukan;

7) Melakukan penuntutan;

8) Menutup perkara demi kepentingan hokum;

9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang;

10) Melaksanakan penetapan hakim.

Seperti kita ketahui dalam pasal 14 KUHAPmenentukan

bahwa salah satu wewenang penutut umum adalah perbuatan untuk

menutup perkara demi kepentingan hukum. Dalam ketentuan lain

yaitu di dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP menyebutkan pula

perbuatan lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum, yaitu

berupa penghentian penuntutan, sedang dalam Pasal 46 ayat 1

huruf c KUHAP menentukan pula wewenang lain, yaitu tentang

mengesampingkan perkara untuk kepentingan umum.

Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan antara lain dalam

buku 1 KUHP:

1) Bab V, yaitu dalam Pasal-Pasal 61 dan 62 KUHP yang

menentukan bahwabpenerbit dan pencetak itu tidak

dituntuit apabila pada benda – benda yang telah dicetak

atau diterbitkan itu telah mereka cantumkan nama serta

alamat orang yang telah menyuruh mencetak benda – benda

tersebut, atau pada kesempatan pertama setelah ditegur

28

kemudian telah memberitahukan nama dan alamat orang

tersebut;

2) Bab VII , yaitu pada Pasal 72 KUHP dan selanjutnya,

yang menentukan bahwa tidak dapat dilakukan suatu

penuntutan apabila tidak ada pengaduan;

3) Bab VIII , yaitu:

a) Dalam Pasal 82 KUHP yang mengatur batalnya hak

untuk melakukan penuntutan karena adanya suatu

afdoening buiten process atau adanya suatu

penyelesaian tidak melalui proses peradilan, yakni

dengan cara membayar jumlah denda tertinggi secara

sukarela kepada penuntut umum dalam perkara

pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana

denda saja.

b) Dalam Pasal 76 KUHP yang mengingatkan orang

akan berlakunya asas ne bis in idem di dalam hukum

acara pidana yakni dengan menentukan bahwa tidak

seorangpun dapat dituntut untuk kedua kalinya karena

tindak pidana yang sama, apabila karena tindak

pidana tersebut pelakunya telah mendapatkan suatu

putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap.

c) Dalam Pasal 77 KUHP yang menentukan, bahwa hak

untuk melakukan penuntutan itu hapus karena

meninggalnya terdakwa.

d) Dalam Pasal 78 KUHP yang menentukan bahwa hak

untuk melakukan penuntutan itu gugur karena

kadaluarsa atau karena lampau waktu.

29

Dalam KUHP juga masih dapat dijumpai beberapa

ketentua pidana yang secara logis haurs dipandang sebagai dasar-

dasar yang meniadakan penuntutan dan bukan sebagai dasar-dasar

yang meniadakan pidana, yaitu misalnya ketentuan pidana yang

diatur dalam.Pasal 166 KUHP yang berbunyi antara

lain:“…..Ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 164 dan 165

KUHP itu tidak diberlakukan bagi mereka yang dengan

pemberitahuan tersebut dapat mendatangkan bahwa penuntutan

pidana bagi dirinya….”

Pasal 221 ayat 2 KUHP yang berbunyi antara

lain:“….Ketentuan-ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi

mereka yang telah melakukan tindakan-tindakan sperti yang

dimaksudkan di dalamnya dngan maksud untuk mencegah atau

menghindarkan bahaya penuntutan bagi salah seorang saudaranya

yang sedarah….” Pasal 284 ayat 2 KUHP yang berbunyi:“….tidak

ada suatu penuntutan pun akan dilakukan kecuali ada pengaduan

dari suami yang terhina…”

Menurut Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, yang berwenang

mengesampingkansuatu perkara berdasarkan kepentingan umum

itu adalah Jaksa Agung. Wewenang untuk mengesampingkan

perkara berdasarkan kepentingan umum seperti itu,dalam ilmu

pengetahuan hukum pidan juga dikenal sebagai wewenang untuk

mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunias

(opportuniteits beginsel), yakni salah sebuah asas yang semata-

mata terdapat dalam hokum acara pidana dan tidak terdapat dalam

hokum penitensier. (Andi Hamzah, 1987:169).

Menurut Franken wewenang untuk mengesampingakan

perkara berdasarkan asa oprtunitas itu meliputi wewenang:

1) tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan

30

2) membatasi penuntutan atau penuntutan lebih lanjut lebih lanjut

tersebut

3) tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan secara

bersyarat.

Adapun alasan penghentian suatu perkara dalam hukum

pidana formil antara lain:

1) Pertama, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang

diatur dalam Pasal 109 Ayat (2) KUHAP. SP3 dikeluarkan jika

tidak terdapat cukup bukti, peristiwa itu bukan merupakan

tindak pidana, atau dihentikan demi hukum. Merujuk KUHP

dan doktrin yang dimaksudkan dengan ”dihentikan demi

hukum” jika perkara itu terkait seseorang yang tidak dapat

dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara

yang sama, kedaluwarsa, atau terdakwa meninggal dunia.

2) Kedua, penghentian perkara dengan instrumen surat ketetapan

penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan Pasal 140 Ayat

(2) KUHAP. Alasan penghentian penuntutan sama persis

dengan alasan penghentian penyidikan seperti uraian pertama.

3) Ketiga, penghentian perkara oleh Jaksa Agung melalui

mekanisme Pasal 35 Huruf c UU No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI yang berbunyi, ”Jaksa Agung mempunyai tugas

dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan

umum”. Hal ini merupakan asas oportunitas Jaksa Agung untuk

tidak melakukan penuntutan suatu perkara pidana demi

kepentingan umum. Asas ini adalah pengecualian dari asas

legalitas dalam hukum acara pidana yang berarti bahwa setiap

perbuatan pidana harus dituntut. Penjelasan Pasal 35 Huruf c

menyebutkan, kepentingan umum adalah kepentingan bangsa

dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas.

31

4. Tinjuan tentang Peninjauan Kembali

Kata “Peninjauan Kembali” diterjemahkan dari kata

herziening. Mr.M.H.Tirtaamidjaja menjelaskan herziening, sebagai

berikut. “Itu adalah suatu jalan untuk memperbaiki suatu keputusan

yang telah menjadi tetap jadinya tidak dapat diubah lagi dengan

maksud memperbaiki suatu kealpaan Hakim, yang merugikan si

terhukum….Kalau perbaikan itu hendak dilakukan, maka ia harus

memenuhi beberapa syarat, yakni bahwa ada sesuatu keadaan yang

pada pemeriksaan hakim, tidak diketahui oleh hakim itu……jika ia

mengetahui keadaan itu, akan memberikan keputusan lain……..”

Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, Permintaan Peninjauan

Kembali dilakukan atas dasar :

(1) terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat

bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih

berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan

lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum

tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan

ketentuan pidana yang lebih ringan.

(2) dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah

terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan

putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah

bertentangan satu dengan yang lain.

(3) putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan

hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Kemudian, di dalam ayat (3) disebutkan bahwa atas dasar

alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan

itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan

32

tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Menurut penulis, ini hanya

berlaku untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka.

Dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal

Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan Peninjauan

Kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai

berikut :

(1) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung menolak permintaan Peninjauan Kembali

dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan

kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya.

(2) Apapabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,

Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan

Peninjauan Kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat

berupa :

(i) putusan bebas

(ii) putusan lepas dari segala tuntutan hukum

(iii)putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum

(iv) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan.

Suatu ketentuan yang tercantum dalam ayat (3) Pasal 266

KUHAP tersebut yang menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan

dalam putusan Peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang

telah dijatuhkan dalam putusan semula. Dalam ayat (2) Pasal itu yang

disebut di muka, telah jelas putusan yang dapat dijatuhkan limitatif

itu.

33

B. Kerangka Pemikiran

BAB III

Perkara pra peradilan pidana

PUTUSAN PN Surabaya ( sahnya penghentian penuntutan)

PUTUSAN PT Jawa Timur (surat Penetapan penghentian penuntutan tidak sah)

· Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari pemohon

· Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dan Putusan Mahkamah Agung

Kasasi

Terjadi Dissenting Opinion dari Ketua Majelis Hakim

Implikasi terjadinya

perbedaan pendapat

Permohonan Peninjauan Kembali

Banding

Ditolak

Surat Penetapan Penghentian Penuntutan Sah

34

PENJELASAN KERANGKA PEMIKIRAN Pra peradilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang

dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan

itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan

benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan

tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya

paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa

HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa

yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan

yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun.

Dalam Kasus Para Peradilan itu sendiri tidak jarang terjadi Perbedaan

Pendapat antara para Hakim dalam mengambil keputusan yang sering disebut

dengan Dissenting Opinion. Dissenting Opinion merupakan pendapat/Putusan

yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat

mayoritas majelis hakim yang mengadili suatu perkara. Umumnya ditemukan

di negara-negara yang bertradisi common law di mana lebih dari satu hakim

mengadili perkara. Tetapi, sejumlah negara yang menganut tradisi hukum

kontinental telah memperbolehkan dissenting opinion oleh hakim, terutama di

pengadilan yang lebih tinggi. Di Indonesia, awalnya dissenting opinion ini

diperkenalkan pada pengadilan niaga, namun kini telah diperbolehkan di

pengadilan lain, termasuk dalam perkara pidana.

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan mengenai implikasi

dissenting opinion antara para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara

pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah, dimana pada

akhirnya Disenting Opinion tersebut tidak berpengaruh apa – apa terhadap

putusan karena perbedaan (Dissenting Opinion) yang diajukan kalah suara.

Dan tidak berpengaruh terhadap sahnya penghentian penuntutan.

35

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk Terjadinya Dissenting Opinion Diantara Para Hakim

Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus Perkara Pra

Peradilan tentang Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah

1. Deskripsi Kasus

Pada bulan Oktober 2000 Jemmy Tjahyadi menjual 9 bidang

tanah (9 petok D) kepada Pemohon (Ikatan Jual Beli di hadapan

Notaris Soetarto H. Soebroto, S.H.) dan kemudian setelah diumumkan

di BPN, H. Abdullah mengajukan keberatan atas akan di terbitkannya

sertifikat atas nama Jemmy Tjahyadi. Sehubungan dengan tidak

terbitnya sertifikat tersebut, pada tanggal 27 Agustus 2001, Basuki

Rahardjo (Staf BPN Surabaya) meminjamkan warkah permohonan hak

kepada Sri Harjo (Kuasa dari Jemmy Tjahyadi tanggal 23 Agustus

2001).

Akibat pengeluaran warkah tanpa prosedur tersebut, Jemmy

Tjahyadi dengan bantuan Lurah Sutorejo, Drs. Eddy Christijanto telah

merubah petok-petok tersebut menjadi atas nama Tjahyadi Susanto

yang telah meninggal dunia pada tahun 1990, sehingga selanjutnya

Jemmy Tjahyadi dapat menjual kembali tanah tersebut kepada Widodo

Budiarto alias Tio Boen Hwi (Tersangka), (Akte Jual Beli/PPAT Noor

Irawan, S.H.). Jual beli Jemmy Tjahyadi dengan Widodo Budiarto

tersebut sebagai saksinya adalah H. Abdullah, Lurah Sutorejo, Sekdes

Sutorejo, Sri Hardjono dan Benani Samsudin. H. Abdullah mengetahui

dan menyetujui atas peralihan tanah tersebut kepada dirinya sendiri

maupun orang lain bahwa tanah tersebut sesuai putusan

No.599/Pdt.G/1997/PN.Sby., tanggal 4 Maret 1998 tanah yang

diperjual belikan terhitung tanggal 11 Maret 1998 status tanah masih

dalam keadaan sita jaminan (conservatoir beslag) dan menunggu

36

putusan pada tingkat kasasi MARI. Di samping tanah-tanah tersebut

saat ini juga menjadi obyek sita jaminan atas perkara perdata

No.366/Pdt.G/1999/PN.Sby., dalam sengketa antara Boenarto

Tedjoisworo melawan Ahli Waris Tjahyadi Susanto dan H. Abdullah

yang hingga kini masih dalam proses hukum. Dasar jual beli tersebut

dari Kutipan Register Letter C Kelurahan Sutorejo yang riwayat

tanahnya telah diterbitkan lagi oleh Lurah Sutorejo Drs. Eddy

Christijanto atas nama Tjahyadi Susanto yang telah meninggal dunia

tahun 1990, dan sudah diterbitkan keterangan waris atas nama Jemmy

Tjahyadi dan kawan-kawan oleh Notaris Suyanti Subandi, S.H. pada

tanggal 23 Juni 1990. Widodo Budiarto (Tersangka) sebelum beli

tanah tersebut telah diberitahu dan ditunjukkan bukti berupa akta

pengikatan jual beli oleh Pemohon dengan disaksikan M. Anas mantan

Lurah Sutorejo dan H. Abddullah membantu menunjukkan ikatan jual

beli antara Jemmy Tjahyadi dengan H. Abdullah atas tanah tersebut.

Namun diluar dugaaan Pemohon, Termohon pada tanggal 30

September 2002 telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan Perkara (SKP2) Nomor : 1064/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas

Tersangka Widodo Budiarto yang berkas masih dalam proses P-22

untuk dilakukan penyempurnaan berkas antara Penyidik pada Polda

Jatim dengan Termohon. Dan selain mengeluarkan SKP-2 kepada

Tersangka WidodoBudiarto, Termohon juga telah mengeluarkan SKP-

2 Nomor : 1067/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas Tersangka H. Abdullah yang

telah dinyatakan P-21 (berkas sempurna), SKP-2 Nomor :

1065/0.5.9/Ep.2/ 09/2002 atas Tersangka Drs. Eddy Christianto yang

hingga saat ini masih dalam proses P-22 (dalam koordinasi dengan

Penyidik) serta Abdul Rachman, SE. dan Sri Hardjono yang berkasnya

telah dinyatakan P-21 (berkas sempurna) oleh Termohon sendiri.

Maka dengan demikian jelas tindakan Termohon ini telah

bertentangan dengan hukum dan berkesan mengabaikan bukti-bukti

sah yang ada dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 huruf d

37

Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan beserta

penjelasannya dan Pasal 138 ayat 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1981

tentang KUHAP khususnya atas Tersangka Widodo Budiarto alias Tio

Boen Hwi yang masih dalam proses P-22, hal mana hingga sampai

saat SKP-2 dikeluarkan oleh Termohon, Termohon belum pernah

melakukan pemeriksaan tambahan atas Tersangka Widodo Budiarto

yang dikoordinasikan dengan Penyidik di Polda Jawa Timur

sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 huruf d Undang-Undang

No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.

Dengan demikian SKP-2 ini telah cacat hukum serta jauh dari

asas keadilan dan kepastian hukum. Sedangkan alasan Termohon

mengeluarkan dan atau menerbitkan SKP-2 a quo adalah karena

perkara tersebut tidak cukup alat bukti sehingga tidak layak untuk

dilimpahkan ke pengadilan adalah tidak berdasar secara hukum serta

bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang sebenarnya dengan kata

lain Termohon telah bersikap tidak obyektif, tidak hati-hati sehingga

mengabaikan asas keadilan dan kepastian hukum dalam menangani

kasus a quo, dan karenanya telah merugikan Pemohon.

Oleh karena itu pemohon meminta hakim pemeriksa

permohonan praperadilan untuk memanggil termohon untuk datang

dan menjelaskan surat ketetapan yang dibuat oleh termohon. Dimana

pemohon mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa

perkara ini agar membatalkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan

(SKP-2) yang dikeluarkan oleh termohon. Namun dalam hal ini

termohon lalu mengajukan eksepsi dimana eksepsi tersebut

menyatakan bahwa permohonan pemohon telah mencampur adukan

permohonan yang satu dengan permohonan yang lain. Namun eksepsi

termohon tersebut tidak dapat diterima. Itu berarti permintaan banding

pemohon diterima dan pengadilan Tinggi membatalkan putusan

Pengadilan Negeri, mengabulkan permohonan pemohon, menyatakan

38

Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, dan memerintahkan untuk

melanjutkan penuntutan.

Pada tanggal 16 Febuari 2005 Mahkamah Agung memutuskan

bahwa permohonan kasasi oleh pemohon tidak dapat diterima.

Selanjutnya pemohon dengan perantara kuasa hukumnya berdasarkan

surat kuasa khusus tanggal 13 Febuari 2006 mengajukan peninjauan

kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya

pada tanggal 15 Febuari 2006 dengan alasan kepentingan dan

kepastian hukum.

Dalam peninjaauan kembali tersebut Mahkamah Agung

membenarkan alasan alasan peninjauan kembali tersebut dimana

putusan Pengadilan Negri terhadap Praperadilan tentang sahnya

penghentian penuntutan tidak dapat dimintakan banding, ini berarti

dengan membatalkan putusan pengadilan Negeri merupakan suatu

kekeliruan yang nyata dari Pengadilan Tinggi.

Tapi disini terdapat perbedaan pendapat (Dissenting Opinion)

dari Ketua Majelis Harifin A. Tumpa,SH., MH. Yang pada intinya

menyatakan Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dan

berpendapat untuk menolak peninjauan kembali. Karena terjadi

perbedaan pendapat dan tidak tercapai kemufakatan maka keputusan

diambil dari suara terbanyak. Yakni mengabulkan peninjauan kembali,

membatalkan putusan Pengadilan tinggi, dan menyatakan “Surat

Penetapan Penghentian Penuntutan” No. 1064/0.5.9/Ep/09/2002

Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah.

2. Alasan Pengajuan Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan

Mengenai putusan Praperadilan yang dapat dimintakan banding ke

Pengadilan Tinggi, diatur dalam Pasal 83 ayat (2). Disitu ditentukan ,

Putusan Praperadilan yang menetapkan ”tidak sahnya” penghentian

penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan banding. Pasal 83

ayat (2) membedakan antara putusan yang ”mengesahkan” dengan ”tidak

39

mengesahkan” penghentian penyidikan / penuntutan. Oleh karena itu,

tidak terhadap semua putusan Praperadilan yang berkenaan dengan sah

atau tidaknya penghentian penyidikan / penuntutan. Bertitik tolak pada

ketentuan Pasal 83 ayat (2):

a. Terhadap putusan yang menetapkan ”sahnya” penghentian penyidikan

/ penuntutan tidak dapat diajukan banding.

b. Terhadap putusan yang menetapkan ”tidak sahnya” penghentian

penuntutan dapat diajukan banding.

c. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding

tentang tidak sahnya penghentian penyidikan / penuntutan, bertindak

sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus ” dalam tingkat

akhir”. (M. Yahya Harahap, 2002:24)

Sedangkan alasan yang diajukan oleh pemohon untuk

mengajukan permohonan banding dalam kasus ini adalah:

a. Bahwa pada tanggal 21 Pebruari 2002 Pemohon melaporkan Widodo

Budiarto, Cs. ke Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan alasan bahwa

Widodo Budiarto telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat dan

atau memberikan keterangan tidak benar ke dalam akta otentik serta

penadahan, sebagaimana Laporan Polisi

No.LP/68/II/2002/Puskodalops tertanggal 21 Pebruari 2002. Bahwa

dari uraian di atas, maka telah jelas keterlibatan para Tersangka atas

persoalan ini adalah sebagai berikut :

1) H. Abdullah alias H. Tik Abdullah :

Bahwa H. Abdullah sekitar tahun 1997 telah mengajukan

gugatan terhadap Ahli Waris Tjahyadi Susanto yaitu Jemmy

Tjahyadi dan kawan-kawan yang terdaftar dalam register perkara

No.599/Pdt.G/ 1997/PN.Sby., yang telah diputus pada tanggal 4

Maret 1998 yang isinya antara lain mengabulkan gugatan

Penggugat untuk sebagian, menyatakan sah dan berharga sita

jaminan yang dilakukan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Surabaya

40

pada tanggal 11 Maret 1998, daftar No.599/Pdt.G/1997/PN.Sby.,

atas 5 (lima) bidang tanah yang kesemuanya terletak di Desa

Sutorejo, Kecamatan Mulyorejo, Kotamadya Surabaya

sebagaimana termuat dalam berita acara sita jaminan ;

Bahwa selanjutnya atas putusan tersebut dilakukan banding

oleh para pihak sehingga turun putusan Pengadilan Tinggi Jawa

Timur No.986/Pdt/1998/PT.Sby., dan atas putusan ini pun masih

dimintakan kasasi, sehingga dengan demikian sita jaminan yang

diletakkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya tersebut masih

berlaku dan belum diangkat (Vide bukti P-6) ;

Bahwa di samping tanah-tanah tersebut saat ini juga

menjadi obyek sita jaminan atas perkara perdata

No.366/Pdt.G/1999/PN.Sby., dalam sengketa antara Boenarto

Tedjoisworo melawan Ahli Waris Tjahyadi Susanto dan H.

Abdullah yang hingga kini masih dalam proses hukum (Vide bukti

P-7) ;

Bahwa akan tetapi pada tanggal 15 November 2002 saudara

H. Abdullah telah bertindak sebagai saksi dalam jual beli tanah-

tanah tersebut yang dilakukan oleh Widodo Budiarto dengan

Jemmy Tjahyadi yang dilakukan di hadapan Notaris/PPAT Noor

Irawati, S.H. dengan Akta Jual Beli No.1007, 1008, 1009, 1010

dan 1011/ Mulyorejo/2001 tertanggal 15 November 2001 (vide

bukti P-5) ;

Dengan demikian kesaksian H. Abdullah ini seharusnya

tidak perlu dilakukan bahkan seharusnya mencegah terjadinya

transaksi jual beli dimaksud, mengingat H. Abdullah sendiri

sebenarnya tahu kalau tanah-tanah tersebut masih dalam tahap

sengketa di Pengadilan Negeri Surabaya (Perkara Perdata

No.599/Pdt.G/1997/PN.Sby. dan perkara perdata

No.366/Pdt.G/1999/PN.Sby.). Lebih lanjut H. Abdullah sendiri

pada tanggal 26 November 1998 telah dilakukan Ikatan Jual Beli

41

dengan ahli waris Tjahyadi Susanto di hadapan Notaris/PPAT

Sindhunatha, S.H. dan lebih jauh lagi H. Abdullah alias Tik

Abdullah mengetahui kalau tanah-tanah tersebut telah dibeli oleh

Pemohon ;

2) Jemmy Tjahyadi :

Selaku ahli waris almarhum Tjahyadi Susanto, Jemmy

Tjahyadi telah berperan sebagai pihak yang telah melakukan

transaksi lebih dari satu kali atas obyek yang sama yaitu (1)

kepada Pemohon pada tanggal 18 Oktober 2000 di hadapan

Notaris Soetarto Hardjosubroto, S.H. dengan akta No.17, 19,

21, 25 dan 27 atas tanah seluas kurang lebih 1,5 Ha., terletak

di Wilayah Kelurahan Dukuh Sutorejo, Kodya Surabaya,

dengan Kutipan Register Letter “C” No.1152, 1153, 1154,

1155, 1156 dan 1157 dan (2) kepada Widodo Budiarto pada

tanggal 15 November 2001 dan ditandatangani pada tanggal

19 Oktober 2001 (Vide bukti P-2) ; Ia telah memberikan kuasa

pada Sri Hardjono pada tanggal 23 Agustus 2001 untuk

mengambil warkah di BPN, sehingga selanjutnya warkah

tersebut digunakan untuk merubah Petok D atas nama Jemmy

Tjahyadi menjadi Tjahyadi Susanto, yang meninggal tahun

1990 (Vide Bukti P-3 dan P-4) ;

3) Sri Hardjono :

Meminjam berkas warkah tanpa prosedur yang berlaku

di Badan Pertanahan Nasional Surabaya pada tanggal 27

Agustus 2001 untuk digunakan mengganti nama Letter C dari

Jemmy Tjahyadi menjadi Tjahyadi Susanto (Vide Bukti P-4) ;

4) Basuki Rahardjo :

Memberikan pinjaman warkah/berkas yang ada di

BPN pada tanggal 27 Agustus 2001 tanpa prosedur yang

berlaku di BPN (Vide bukti P-3) ;

5) Eddy Christijanto Lurah Sutorejo :

42

Membantu merubah Petok D atau Letter “C” dari

Jemmy Tjahyadi menjadi almarhum Tjahyadi, yang telah

meninggal dunia pada tahun 1990, dari sebelumnya bernomor

: 1152, 1154, 1155, 1156 dan 1157 menjadi 1007, 1008, 1009,

1010 dan 1011/Mulyorejo/2001 ;

Yang bersangkutan telah mengetahui kalau tanah-

tanah atas nama Jemmy Tjahyadi tersebut telah dibeli oleh

Pemohon sebagaimana surat Pemohon tertanggal 24

November 2001 yang telah diterima oleh Tersangka pada

tanggal 26 November 2001. Lebih lanjut Tersangka

seharusnya menolak menjadi saksi dan mencegah transaksi

tersebut pada saat terjadi akta jual beli antara Jemmy Tjahyadi

dengan Widodo Budiarto di hadapan Notaris Noor Irawati,

S.H. karena pengetahuan tersebut ;

6) Widodo Budiarto/Tio Boen Hwi :

Mengetahui kalau petok dari Jemmy Tjahyadi selaku

ahli waris Tjahyadi Susanto telah dibeli oleh Pemohon pada

tanggal 18 Oktober 2000, karena sekitar bulan Mei 2001

Pemohon telah mengajak Sdr. Moch. Anas untuk menemui

Sdr. Widodo Budiarto alias Tio Boen Hwi di rumahnya Jalan

Manyar Kertoarjo Surabaya dimana pada saat itu Pemohon

telah menunjukkan Akta Ikatan Jual Beli antara Pemohon

dengan Sdr. Jemmy Tjahyadi di hadapan Notaris Soetarto

Hardjosoebroto, S.H., selanjutnya pada bulan Oktober 2001,

Sdr. Widodo Budiarto telah pula datang ke tempat kerja

Pemohon di Jalan Kalimantan No.16-B Surabaya untuk

membeli tanah yang telah dibeli oleh Pemohon dari Jemmy

Tjahyadi, tetapi karena ketidak cocokkan soal harga, transaksi

jual beli dimaksud menjadi batal/tidak terjadi ;

43

Akan tetapi ternyata pada tanggal 15 November 2001,

pada tanggal 19 November 2001 Sdr. Widodo Budiarto telah

membeli kembali tanah-tanah tersebut dari Jemmy Tjahyadi

setelah sebelumnya dirubah kembali tahun 1990, dan Widodo

Budiarto diduga telah mengetahui adanya Surat Keterangan

Waris dari almarhum Tjahyadi Susanto

No.004/VI/KWH/SIU/90 tertanggal 23 Juni 1990 (Vide bukti

P-8) ;

b. Bahwa atas laporan a quo selanjutnya Penyidik pada Polda Jawa

Timur melakukan pemeriksaan awal terhadap para pelaku antara

lain H. Tik Abdullah, Widodo Budiarto, H. Basuki Rahardjo (Staf

BPN), SE, Sri Harjono, Dr. Eddy Christijanto (Lurah Sutorejo),

Abdul Rachman, M. Anas (mantan Lurah Sutorejo). Dari

pemeriksaan awal inilah selanjutnya Penyidik pada Polda Jawa

Timur menetapkan Tersangka awal dalam perkara ini adalah H.

Abdullah alias H. Tik Abdullah dengan tidak menutup

kemungkinan akan ada Tersangka lain dalam kasus ini ;

c. Bahwa selanjutnya dari hasil penyidikan tersebut, penyidik

mengkoordinasikan dengan Kejati Jawa Timur selaku Jaksa

Penuntut Umum (Termohon) yang selanjutnya pada tanggal 22

Mei 2002 Termohon telah mengeluarkan P-19 atas perkara dengan

Tersangka H. Abdullah, dengan petunjuk atau arahan agar Polda

Jatim dalam menyidik kasus ini agar segera merubah status saksi-

saksi yang lain menjadi Tersangka, yaitu Sri Harjono, Eddy

Christijanto (Lurah Sutorejo) Basuki Rahardjo (Staf BPN), Abdul

Rachman dan Widodo Budiarto (Pimpinan PT. Griyo Mapan

Sentosa) dengan perintah splitzing atau pemisahan berkas perkara

bagi Widodo Budiarto karena adanya ancaman pidana yang

berbeda yaitu Pasal 480 KUHP (bukti P-9) ;

d. Bahwa pada tanggal 5 Juni 2002 Termohon menyatakan P.21

(berkas sempurna) dengan Tersangka H. Abdullah dengan

44

permintaan agar penyidik segera melimpahkan berkas perkara

beserta Tersangka kepada Termohon, untuk dilakukan penuntutan,

dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya untuk

dilakukan persidangan (bukti P- 10) ;

e. Bahwa selanjutnya khusus Tersangka Widodo Budiarto alias Tio

Boen Hwi pada tanggal 10 September 2002 Termohon (d/h. Kejati

Jatim melalui Aspidum) telah menyatakan P-22 dengan permintaan

untuk melengkapi berkas penyidikan (bukti P-11) ;

f. Bahwa diluar dugaaan Pemohon, Termohon pada tanggal 30

September 2002 telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan Perkara (SKP2) Nomor : 1064/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas

Tersangka Widodo Budiarto yang berkas masih dalam proses P-22

untuk dilakukan penyempurnaan berkas antara Penyidik pada

Polda Jatim dengan Termohon (bukti P-12) ;

g. Bahwa selain mengeluarkan SKP-2 kepada Tersangka

WidodoBudiarto, Termohon juga telah mengeluarkan SKP-2

Nomor : 1067/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas Tersangka H. Abdullah

yang telah dinyatakan P-21 (berkas sempurna), SKP-2 Nomor :

1065/0.5.9/Ep.2/ 09/2002 atas Tersangka Drs. Eddy Christianto

yang hingga saat ini masih dalam proses P-22 (dalam koordinasi

dengan Penyidik) serta Abdul Rachman, SE. dan Sri Hardjono

yang berkasnya telah dinyatakan P-21 (berkas sempurna) oleh

Termohon sendiri (bukti P-13) ;

h. Bahwa dengan demikian jelas tindakan Termohon ini telah

bertentangan dengan hukum dan berkesan mengabaikan bukti-

bukti sah yang ada dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 huruf

d Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan beserta

penjelasannya dan Pasal 138 ayat 2 Undang-Undang No.8 Tahun

1981 tentang KUHAP khususnya atas Tersangka Widodo Budiarto

alias Tio Boen Hwi yang masih dalam proses P-22, hal mana

hingga sampai saat SKP-2 dikeluarkan oleh Termohon, Termohon

45

belum pernah melakukan pemeriksaan tambahan atas Tersangka

Widodo Budiarto yang dikoordinasikan dengan Penyidik di Polda

Jawa Timur sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 huruf d

Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Dengan

demikian SKP-2 ini telah cacat hukum serta jauh dari asas keadilan

dan kepastian hukum ;

i. Bahwa alasan Termohon mengeluarkan dan atau menerbitkan

SKP-2 a quo adalah karena perkara tersebut tidak cukup alat bukti

sehingga tidak layak untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah tidak

berdasar secara hukum serta bertentangan dengan fakta-fakta

hukum yang sebenarnya (Vide bukti P-2 s/d P-11) dengan kata lain

Termohon telah bersikap tidak obyektif, tidak hati-hati sehingga

mengabaikan asas keadilan dan kepastian hukum dalam menangani

kasus a quo, dan karenanya telah merugikan Pemohon;

3. Identitas Pemohon dan Termohon Pra Peradilan

a. Identitas Pemohon

1) Pemohon I

Nama Lengkap : Istrisno Haris, SH.

Tempat Tinggal : Jl. Kasuari No. 1 Surabaya

2) Pemohon II

Nama Lengkap : Darwati, SH.

Tempat Tinggal : Jl. Kasuari No. 1 Surabaya

b. Identitas Termohon

Nama Lengkap : Arief Ridwanto

Tempat Tinggal : Jl. Kali Judan Indah 7/1 Surabaya

4. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor:

40/Pid.Pra.P/2002/PN.Sby. adalah sebagai berikut:

a. Menyatakan eksepsi termohon tidak dapat diterima.

b. Menyatakan “ Surat Penetapan Penghentian Penuntutan” No.

1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah.

46

c. Membebankan biaya perkara kepada pemohon yang ditetapkan nihil.

5. Putusan Pengadilan Tinggi

a. Menerima permintaan banding dari Pemohon Praperadilan ;

b. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor :

40/Pid.Prap/2002/PN.Sby. tanggal 25 November 2002 yang

dimintakan banding tersebut ;

c. Mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan ;

d. Menyatakan eksepsi tidak dapat diterima ;

e. Menyatakan tidak sah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan

Perkara (SKP2) Nomor 1064/0.5.9/Ep.2/09/2002 tanggal 30

September 2002 atas nama Terdakwa WIDODO BUDIARTO alias

TIO BOEN HWI ;

f. Memerintahkan Termohon-Terbanding untuk melanjutkan Penuntutan

terhadap Terdakwa WIDODO BUDIARTO alias TIO BOEN HWI ke

Pengadilan Negeri Surabaya ;

g. Membebankan biaya perkara ini kepada Termohon-Terbanding dalam

kedua tingkat peradilan, yang dalam peradilan tingkat banding sebesar

Nihil ;

6. Putusan Kasasi

a. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi : JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Cq.

KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA

KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut ;

b. Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada

Negara ;

47

7. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

Alasan peninjauan kembali yang diajukan dalam kasus ini:

a. Bahwa demi kepentingan kepastian hukum (legal certainty) dalam

perkara Praperadilan khususnya Pasal 83 ayat (1) dan (2) jo Pasal

80 KUHAP, sehingga nantinya tidak ada lagi kekeliruan atau

kesalahan dalam pelaksanaan hukum mengenai hal tersebut, serta

menghindari timbulnya preseden buruk dalam penegakan hukum

dalam masalah Praperadilan tersebut, maka sesuai Pasal-Pasal

tersebut dapat disimpulkan secara otentik dan tidak dapat

ditafsirkan lain hal-hal sebagai berikut :

1) Bahwa putusan Praperadilan tentang sahnya penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan tidak dapat diajukan

banding, kecuali putusan Praperadilan yang menetapkan

tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan, dapat diajukan permintaan banding ;

2) Bahwa Hakim Pengadilan Tinggi dalam perkara Praperadilan

hanya berwenang memeriksa dan memutus permintaan

banding tentang putusan Pengadilan Negeri yang menetapkan

tidak sahnya penghentian penuntutan dan bukan terhadap

putusan Pengadilan Negeri yang menetapkan sahnya

penghentian penuntutan ;

b. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas telah terbukti nyata

Pengadilan Tinggi Surabaya yang membatalkan putusan

Pengadilan Negeri Surabaya tentang sahnya penghentian

penuntutan, telah melampaui kewenangannya, karena Pegadilan

Tinggi Surabaya tidak berwenang mengadili putusan praperadilan

tersebut ;

Bahwa asal 83 ayat (1) KUHAP merupakan prinsip hukum acara

tentang larangan upaya banding bagi putusan Praperadilan yang

menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan,

48

sedangkan Pasal 83 ayat (2) KUHAP merupakan perkecualian

yang khususnya mengenai putusan tidak sahnya penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan, sehingga putusan

Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut merupakan produk hukum

yang cacat dan keliru serta telah melanggar hukum tentang

lembaga Praperadilan ; Bahwa permohonan peninjauankembali

kami dalam kasus a quo tidak lain dan tidak bukan untuk

menempatkan persoalan Praperadilan agar sesuai dengan koridor

hukum yang telah ada yaitu Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP jo

Pasal 80 KUHAP jo Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang- Undang

No.5 Tahun 2004, sehingga tidak lagi terjadi interprestasi yang

keliru dalam pelaksanaan hukum Pasal tersebut ;

c. Bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung telah menimbulkan

konsekwensi yuridis dan penafsiran hukum sebagai berikut :

1) Menimbulkan kewenangan Pengadilan Tinggi Surabaya untuk

membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya mengenai

Praperadilan yang menetapkan sahnya Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan No.1064/0.5.9/Ep.2/09/2002 tanggal

30 September 2002 terhadap Tersangka Widodo Budiarto,

padahal berdasarkan Pasal 83 ayat (1) jo Pasal 80 KUHAP,

dengan tegas menyatakan Pengadilan Tinggi tidak berwenang

untuk memutuskan tentang sahnya penghentian penuntutan,

karena tidak diperkenankan upaya banding ;

2) Menimbulkan inkosistensi dalam penegakan hukum dan

mengaburkan (obscuur) ketentuan KUHAP khususnya Pasal

83 ayat (1) jo Pasal 80 KUHAP mengenai Parperadilan,

padahal telah jelas terbaca dan sesuai dengan penafsiran

otentik, untuk keputusan Praperadilan yang menetapkan

sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak

diperkenankan upaya banding ;

49

d. Bahwa dengan demikian Mahkamah Agung dalam putusan

kasasinya telah melanggar Pasal 30 Undang-Undang No.5 Tahun

2004 yang memberikan kewenangan untuk mengadili putusan

Pengadilan Tinggi yang melampaui batas kewenangannya tersebut;

Bahwa dalam putusan kasasi Mahkamah Agung nampak jelas

sekali memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 263

ayat (2) huruf c KUHAP, karena :

1) Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam

putusannya halaman 21 alinea terakhir dan berlanjut ke

halaman 22, justru menguatkan pendapat Pemohon

Peninjauankembali/Termohon Praperadilan yang sejak semula

berpendapat bahwa putusan Praperadilan yang menyatakan

penghentian penuntutan kami adalah sah, seharusnya

berdasarkan Pasal 83 ayat (1), putusan Pengadilan Negeri

Surabaya tersebut tidak dapat diajukan banding ; Dengan

pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung mendukung bahwa

putusan Pengadilan Negeri tidak dapat diajukan banding,

namun ternyata dalam amar putusannya justru menyatakan

permohonan kasasi Pemohon Peninjauankembali/Termohon

Praaperadilan tidak dapat diterima ; Seharusnya dengan

pertimbangan hukum yang demikian itu, Mahkamah Agung

mengabulkan permohonan kasasi Pemohon

Peninjauankembali/Termohon Praperadilan, karena nyata-

nyata berdasarkan undang-undang, Pengadilan Tinggi tidak

berwenang dan telah melampaui batas kewenangannya

terhadap putusan Praperadilan tentang sahnya Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan yang sudah diputus oleh Pengadilan

Negeri Surabaya ;

2) Bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung antara pertimbangan

hukum dan amar putusannya saling bertentangan serta tidak

50

dijumpai pertimbangan hukum yang bertalian dengan putusan

Pengadilan Tinggi Surabaya yang di kasasi oleh Penuntut

Umum/Pemohon peninjauankembali/Termohon Praperadilan ;

8. Bentuk Dissenting Opinion dalam Pemeriksaan Peninjauan Kembali

Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat Dissenting Opinion

dari Ketua Majelis, Yaitu Harifin A. Tumpa, S.H., M.H yang berpendapat,

sebagai berikut :

a. Bahwa putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena

berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan

kasasi ;

b. Bahwa memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru,

karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding ;

c. Bahwa untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut, maka

Majelis Peninjauan Kembali terlebih dahulu harus membatalkan

putusan kasasi. Padahal Hakim Kasasi tidak melakukan kekeliruan

yang nyata dan tidak melakukan kesalahan penerapan hukum, karena

berdasarkan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 45 A Undang-Undang No.5

Tahun 2005, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi ;

d. Bahwa dari pertimbangan tersebut di atas, tidak ada jalan untuk

membatalkan putusan kasasi, sehingga tidak mungkin pula untuk

membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, sehingga permohonan

peninjauan kembali harus ditolak ;

9. Amar Putusan Peninjauan Kembali

a. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon

Peninjauankembali : JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Cq.KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA

KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut ;

51

b. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 3 Februari

2003 No.01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby. dan putusan Mahkamah Agung

tanggal 16 Februari 2005 No.978 K/Pid/2003 ;

c. Menyatakan “Surat Penetapan Penghentian Penuntutan”

No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya adalah

sah

d. Membebani Termohon Peninjauankembali untuk membayar biaya

perkara dalam permohonan peninjauankembali ini ditetapkan sebesar

Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;

10. Pembahasan

Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang

berbeda dalam putusan juga diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun

2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang

menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim

Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap

perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal

musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang

berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi perbedaan dalam

penerapan Dissenting Opinion pada Lembaga-Lembaga Yudikatif di negara

kita khususnya dalam hal model pencatuman Dissenting Opinion itu sendiri.

Dalam KUHAP diatur mengenai tingkatan pemeriksaan suatu

perkara pidana. Tahapan tingkat pemeriksaan tersebut terdiri atas tahap

pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.

Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam

Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses persidangan selanjutnya ialah

penuntutan , pembelaan, dan jawaban. Tibalah saatnya hakim ketua mejelis

menyatakan “ pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan inilah yang

mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna menyiapkan

52

putusan yang akan diajukan pengadilan. Sebenarnya, dari tahap-tahap

tingkat pemeriksaan tersebut yang paling ditunggu-tunggu ialah keluarnya

putusan hakim. Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang

diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas

atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang.

Pengambilan putusan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 182

ayat 4 KUHAP. Untuk menentukan suatu putusan perlu diadakan

musyawarah terlebih dulu oleh majelis hakim, dalam musyawarah tersebut

didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam

pemeriksaan di sidang. Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis

memberi kesempatan kepada setiap anggota majelis untuk memberikan

pendapat disertai dengan alasannya dan yang memberi pendapat terakhir

ialah ketua majelis(Pasal 182 ayat 5 KUHAP).

Dalam kasus yang penulis teliti terdapat dissenting opinion atau

perbedaan pendapat yang diajukan oleh ketua majelis Hakim Harifin A.

Tumpa dalam upaya peninjauan kembali terhadap putusan penghentian

penuntutan, upaya hukum luar biasa itu sendiri dicantumkan dalam BAB

XVIII KUHAP. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dan

penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Putusan

pengadilan yang dimohon banding atau kasasi belum merupakan putusan

yang berkekuatan hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua putusan

baik oleh pihak terdakwa maupun penuntut umum. Upaya hukum luar biasa

hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum (Pasal 260

ayat (1) KUHAP) dan terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat (1)

KUHAP).

Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum

peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua putusan instansi

53

pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, asalkan

putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap

putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajukan permintaan peninjauan kembali,

jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan permintaan

kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, sudah melekat sifat

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka

kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Demikian

pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan

kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti

setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu

melekat dalam putusan Mahkamah Agung sifat putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 263 ayat (2) KUHAP memuat alasan yang dapat dijadikan

dasar permintaan peninjauan kembali, yang dituangkan pemohon dalam

surat permintaan peninjauan kembali. Dalam surat permintaan atau

permohonan peninjauan kembali itulah pemohon menyebut secara jelas

dasar alasan permintaan. Alasan-alasan diadakannya peninjauan kembali

tersebut antara lain:

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat

lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada

bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

b.Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bresifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

c. Apabila telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih

daripada yang dituntut.

d.Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya.

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,

atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya

telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain. Apabila dalam

54

suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang

nyata.

Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., menyatakan dalam

pendapatnya, Bahwa putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena

berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi,

Dapat dibenarkan karena Mengenai putusan Praperadilan yang dapat

dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, diatur dalam Pasal 83 ayat (2).

Disitu ditentukan, Putusan Praperadilan yang menetapkan ”tidak sahnya”

penghentian penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan banding.

Pasal 83 ayat (2) membedakan antara putusan yang ”mengesahkan” dengan

”tidak mengesahkan” penghentian penyidikan / penuntutan. Oleh karena itu,

tidak terhadap semua putusan Praperadilan yang berkenaan dengan sah atau

tidaknya penghentian penyidikan / penuntutan. Bertitik tolak pada ketentuan

Pasal 83 ayat (2):

a. Terhadap putusan yang menetapkan ”sahnya” penghentian penyidikan /

penuntutan tidak dapat diajukan banding.

b. Terhadap putusan yang menetapkan ”tidak sahnya” penghentian

penuntutan dapat diajukan banding.

c. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding

tentang tidak sahnya penghentian penyidikan / penuntutan, bertindak

sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus ” dalam tingkat akhir”.

Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., menyatakan dalam

pendapatnya, Bahwa memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut

keliru, karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Tidak

semua putusan pra peradilan dapat diminta banding. Sebaliknya pula, tidak

seluruhnya putusan praperadilan tidak dapat diminta pemeriksaan banding.

Demikian menurut Pasal 83 KUHAP. Dalam Pasal 83 inilah ditentukan

putusan yang menyangkut kasus mana yang dapat disbanding, dan yang tidak

dapat diajukan permintaan banding. Pendapat Ketua Majelis Hakim Harifin

55

A. Tumpa, S.H., M.H., didasarkan pada pra peradilan yang dalam ketentuan

hukum tidak dapat dimintakan banding, wewenang pra peradilan yaitu :

a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa

Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada pra

peradilan. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapa dan

penahanan. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan

penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta

kepada Pra Peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang

dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan

kepada Pra Peradilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan pejabat

penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP. Atau

penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan

Pasal 24 KUHAP.

b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan.

Penyidik maupun penuntut umum berwenang menghentikan

pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan penghentian penyidikan

yaitu hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti

untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang

disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau

pelanggaran tindak pidana. Mungkin juga penghentian penyidikan atau

penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in

idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan

tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan

penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang

disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut.

Oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan

dijumpai unsur kadaluarsa dalam perkara yang diperiksa, wajar penyidikan

atau penuntutan dihentikan. Apabila penyidikan atau penuntutan

dihentikan perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke sidang

56

pengadilan. Tetapi undang-undang memberi hak kepada penuntut umum

atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan

kepada Pra Peradilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan

tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang

berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya

penghentian penuntutan kepada Pra Peradilan.

c. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi

Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang

diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat hukumnya kepada Pra

Peradilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan alasan :

1) karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah atau oleh karena

penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan

hukum dan undang-undang.

2) karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,

ditahan atau diperiksa.

d. Memeriksa permintaan rehabilitasi

Pra Peradilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan

rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat

hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang

ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai

orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke

sidang pengadilan.

e. Pra Peradilan terhadap tindakan penyitaan

Terhadap penggeledahan ataupun penyitaan pun dapat diajukan ke

forum Pra Peradilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian

maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan

penerapan :

1) dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan

Ketua Pengadilan Negeri mutlak menjadi yurisdiksi Pra Peradilan

untuk memeriksa keabsahannya.

57

2) dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau

surat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, tetap dapat diajukan

ke forum Pra Peradilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih

sempit yakni :

a) Pra Peradilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau surat

persetujuan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri tentang

hal itu.

b) Yang dapat dinilai oleh Pra Peradilan, terbatas pada masalah

pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti

apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau

tidak (M. Yahya Harahap, 2004:7-8).

Dimana salah satu wewenang pra peradilan adalah Memeriksa sah

atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,

dimana Penyidik maupun penuntut umum berwenang menghentikan

pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan penghentian penyidikan

yaitu hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti

untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang

disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau

pelanggaran tindak pidana. Mungkin juga penghentian penyidikan atau

penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in

idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan

tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum,

disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat

unsur kadaluarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila dalam

pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kadaluarsa dalam

perkara yang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan.

Apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan perkara yang bersangkutan

tidak diteruskan ke sidang pengadilan. Tetapi undang-undang memberi

58

hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk

mengajukan pemeriksaan kepada Pra Peradilan tentang sah atau tidaknya

penghentian penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik atau

pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau

tidaknya penghentian penuntutan kepada Pra Peradilan.

Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., bersikukuh bahwa

untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut, maka Majelis

Peninjauan Kembali terlebih dahulu harus membatalkan putusan Kasasi.

Padahal Hakim Kasasi tidak melakukan kekeliruan dan tidak melakukan

penerapan hukum yang salah, sehingga Pra Peradilan tidak dapat dapat

dimintakan kasasi. Dan karena tidak dapat dimintakan kasasi sehingga

tidak mungkin pula untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi,

sehingga Permohonan Peninjauan Kembali harus ditolak..

Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., mengajukan

Dissenting Opinion karena memperjuangkan apa yang dianggapnya benar

menurut tata cara peradilan yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini

Harifin A Tumpa,SH., MH., menganggap tidak sesuai dengan tata cara

dan wewenang peradilan yang berlaku.

B. Implikasi Terjadinya Perbedaan Pendapat oleh Hakim Mahkamah

Agung terhadap Putusan yang Dijatuhkan dalam Perkara Pra

Peradilan Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah

Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat

Dissenting Opinion dalam para Anggota Majelis dan telah diusahakan

dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai permufakatan, maka sesuai

Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Majelis setelah bermusyawarah dan diambil

keputusan dengan suara terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan

peninjauankembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauankembali : Jaksa

Agung Republik Indonesia, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Cq.

Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya tersebut ;

59

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali

dikabulkan, maka biaya perkara peninjauankembali dibebankan kepada

Termohon Peninjauankembali ; Memperhatikan Pasal-Pasal yang

bersangkutan dari KUHAP, Pasal 21 Undang-Undang No.4 Tahun 2004,

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 serta

peraturan lain yang bersangkutan ;

Pembahasan

Bahwa putusan Pengadilan Negeri terhadap Praperadilan tentang

sahnya penghentian penuntutan, tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83

ayat (1) dan (2) jo Pasal 80 KUHAP), oleh karena itu putusan Pengadilan

Tinggi yang mengadili di tingkat banding, dengan membatalkan putusan

Pengadilan Negeri merupakan suatu kekeliruan/kekhilafan yang nyata dari

Pengadilan Tinggi. Bahwa sekalipun putusan Pengadilan Tinggi merupakan

putusan dalam tingkat akhir dari Praperadilan, seyogiannya apabila terdapat

penyimpangan, dapat diluruskan dalam tingkat kasasi (pengecualian dalam

rangka membina kepastian hukum dan unifornitas hukum).

Pada prinsipnya semua putusan akhir (eind-vonnis atau final

sentence, final judgement) Pengadilan Negeri dapat diajukan permintaan

banding. Akan tetapi terhadap prinsip ini ada pengecualian, dan

pengecualian itu ditegaskan dalam Pasal 67. Atas pengecualian tersebut,

tidak semua putusan akhir pengadilan tingkat pertama dapat diminta

banding. Ada yang dapat diajukan permintaan banding, dan ada pula

putusan yang tidak dapat diajukan permintaan banding. Pertama – tama kita

akan menginventarisasi putusan akhir yang dapat dimintakan banding.

Adapun putusan akhir pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan

pemeriksaan pada tingkat banding:

a. Putusan pemidanaan dalam acara biasa

b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat

60

c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acara

biasa dan singkat

d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum

e. Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat

f. Putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan.

Ini berarti putusan pra peradilan dapat dimintakan banding, Dalam

kasus ini Pengadilan Tinggi Jawa Timur mengeluarkan putusan yang

menetapkan Surat Ketetapan Penghentian Penutupan Perkara (SKP2)

Nomor 1604/0.5.9/Ep.2/09/2002 dinyatakan tidak sah, dan memerintahkan

termohon untuk melajutkan penuntutan.

Karena keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur tersebut, Jaksa

Agung Republik Indonesia, Cq Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Cq

Kepala Kejaksaan Surabaya mengajukan kasasi, berkenaan dengan hal

tersebut, akan tetapi permohonan kasasi tersebut ditolak. Sudah dijelaskan

ada putusan Praperadilan yang dapat diminta banding, dimana Pengadilan

Tinggi bertindak sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat akhir,

apakah putusan praperadilan dapat dimintakan kasasi atau tidak, masih

terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menyatakan putusan pra peradilan

dapat dimintakan kasasi akan tetapi ada yang menyatakan tidak dapat

dikasasi.

Sampai saat sekarang Mahkamah Agung lebih cenderung pada

pendirian, yakni tidak memperkenankan permintaan kasasi atas putusan

praperadilan yang mana pendirian tersebut berpegang terhadap Pesal 244

KUHAP. Bahwa menurut yurisprudensi tetap terhadap putusan praperadilan

tidak dapat dimintakan kasasi, sehingga permohonan kasasi dari pemohon

kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Ini berarti permintaan kasasi

terhadap putusan pra peradilan tidak dimungkinkan.

Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum

peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua putusan instansi

61

pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, asalkan

putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap

putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajukan permintaan peninjauan kembali,

jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan permintaan

kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, sudah melekat sifat

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka

kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Demikian

pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan

kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti

setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu

melekat dalam putusan Mahkamah Agung sifat putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dissenting opinion dari Ketua Majelis Harifin A Tumpa SH., MH.,

yang diajukan dalam persidangan tersebut tidak dapat digunakan,

dikarenakan suara Majelis yang lain lebih banyak. Maka sesuai Pasal 182

ayat (6) KUHAP, Keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Majelis bermusyawarah dan mengambil keputusan dengan suara

terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa

Agung Republik Indonesia, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Cq.

Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya, selain itu Majelis Kasasi juga

memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi jawa Timur

tanggal 3 Febuari 2003 No. 01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby., yang memutuskan

bahwa penghentian penuntutan tidak sah, dan membatalkan putusan

Mahkamah Agung tanggal 16 Februari 2005 No.978 K/Pid/2003 yang

menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima, memutuskan untuk

mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon

Peninjauankembali : JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Cq.KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA

KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut, Membatalkan putusan

Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 3 Februari 2003

No.01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby. dan putusan Mahkamah Agung tanggal 16

62

Februari 2005 No.978 K/Pid/2003, dan Menyatakan “Surat Penetapan

Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan

Negeri Surabaya adalah sah.

Ini berarti adanya Dissenting Opinion dalam kasus tersebut tidak

merubah putusan dari Majelis, karena perbedaan pendapat Dissenting

Opinion yang disampaikan oleh Harifin A Tumpa SH., MH., tersebut tidak

digunakan karena majelis telah bermusyawarah dan diambil suara terbanyak.

Sedangkan implikasi Dissenting Opinion tersebut terhadap sah atau tidaknya

”Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002

Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya tidak menimbulkan implikasi apa – apa.

Karena Dissenting Opinion tidak akan digunakan apabila Dissenting

Opinion tersebut kalah Suara. Dan pada intinya Dissenting Opinion dalam

kasus ini tidak berpengaruh terhadap sahnya ”Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya.

63

BAB IV

P E N U T U P

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua

masalah pokok di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Bentuk Terjadinya Perbedaan Pendapat oleh Hakim Mahkamah

Agung dalam Memeriksa dan Memutus Perkara Pra Peradilan tentang

Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah

Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat Dissenting

Opinion dari Ketua Majelis, Yaitu Harifin A. Tumpa, S.H., M.H yang

berpendapat, sebagai berikut :

a. Putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena berdasarkan

Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi ;

b. Memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena

putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding ;

c. Untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut, maka

Majelis Peninjauankembali terlebih dahulu harus membatalkan

putusan kasasi. Padahal Hakim Kasasi tidak melakukan kekeliruan

yang nyata dan tidak melakukan kesalahan penerapan hukum,

karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 45 A Undang-

Undang No.5 Tahun 2005, Praperadilan tidak dapat dimintakan

kasasi ;

d. Dari pertimbangan tersebut di atas, tidak ada jalan untuk

membatalkan putusan kasasi, sehingga tidak mungkin pula untuk

membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, sehingga permohonan

peninjauan kembali harus ditolak ;

e. Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., mengajukan

Dissenting Opinion karena memperjuangkan apa yang

dianggapnya benar menurut tata cara peradilan yang berlaku di

Indonesia. Dalam kasus ini Harifin A Tumpa,SH., MH.,

64

menganggap tidak sesuai dengan tata cara dan wewenang peradilan

yang berlaku.

2. Implikasi Terjadinya Perbedaan Pendapat oleh Hakim Mahkamah

Agung terhadap Putusan yang Dijatuhkan dalam Perkara Pra Peradilan

Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah

Terjadinya perbedaan pendapat Dissenting Opinion dalam

Anggota Majelis Hakim yang menimbulkan tidak tercapainya mufakat

untuk mengambil putusan. Akan tetapi dissenting opinion dari Ketua

Majelis Harifin A Tumpa SH., MH., yang diajukan dalam persidangan

tersebut tidak dapat digunakan, dikarenakan suara Majelis yang lain

lebih banyak. Maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Keputusan

diambil dengan suara terbanyak.

Majelis bermusyawarah dan mengambil keputusan dengan

suara terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali

Jaksa Agung Republik Indonesia, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa

Timur, Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya, selain itu Majelis

Kasasi juga memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan

Tinggi jawa Timur tanggal 3 Febuari 2003 No.

01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby., yang memutuskan bahwa penghentian

penuntutan tidak sah, dan membatalkan putusan Mahkamah Agung

tanggal 16 Februari 2005 no.978 K/Pid/2003 yang menyatakan

permohonan kasasi tidak dapat diterima, memutuskan untuk

mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon

Peninjauan kembali : JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Cq.KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA

KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut , Membatalkan

putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 3 Februari 2003

No.01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby. dan putusan Mahkamah Agung

tanggal 16 Februari 2005 No.978 K/Pid/2003 , dan Menyatakan “Surat

Penetapan Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala

Kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah.

65

Ini berarti adanya Dissenting Opinion dalam kasus tersebut

tidak merubah putusan dari Majelis, karena perbedaan pendapat

Dissenting Opinion yang disampaikan oleh Harifin A Tumpa SH.,

MH., tersebut tidak digunakan karena majelis telah bermusyawarah

dan diambil suara terbanyak. Sedangkan implikasi Dissenting Opinion

tersebut terhadap sah atau tidaknya ”Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri

Surabaya tidak menimbulkan implikasi apa – apa. Karena Dissenting

Opinion tidak akan digunakan apabila Dissenting Opinion tersebut

kalah Suara. Dan pada intinya Dissenting Opinion dalam kasus ini

tidak berpengaruh terhadap sahnya ”Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri

Surabaya.

B. Saran-Saran

1. Hakim dalam menggunakan kewenangan dissenting opinion harus

didasarkan kepada pertimbangan yang cermat dan bijaksana, agar tidak

merugikan kepentingan semua pihak.

2. Penggunaan dissenting opinion harus dilakukan sebagai upaya untuk

mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum.

3. Ketentuan mengenai dissenting opinion seyogianya dijabarkan secara

lebih terperinci dalam KUHAP agar memberikan kepastian hukum

dalam penerapannya oleh hakim dalam memutus perkara pidana.

66

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono. 2006. Krisis Lembaga Peradilan Di Indonesia.

Surakarta: UNS Press.

Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika.

Ansorie Sabuan. 1990. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa.

Bagir Manan. 2006. Dissenting Opinion. Jakarta: IKAHI

Bambang Sutiyoso dan Sri hastuti Puspitasari. 2005. Aspek-Aspek

Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta:

UII Press.

Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Lawrence M Friedman. 2001. American Law.Jakarta: Tatanusa.

Nanda Agung Dewantara. 1987. Masalah Kebebasan hakim Dalam

Menangani suatu Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada

Indonesia.

Oemar Seno Adji. 1984. Hukum-Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.

Pontang Moerad. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan

Dalam Perkara pidana. Bandung: PT.Alumni.

Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

----------------------- dan Sri Mahmudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: CV Rajawali.

Subagio Gigih, 2007, Penerapan............................, Skripsi Fakultas hukum

UNS Surakarta

Wirjono Projodikoro. 1962. Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sumur

Bandung.

Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan penerapan

KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi,

Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.

67

Perundang-Undangan :

KUHAP

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Jakarta:

Sinar Grafika.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan pokok

Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 2

Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.

Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang No. 81 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta : Sinar Grafika.

Publikasi Internet : http://www.pemantauperadilan.com diakses tanggal 5 Oktober 2009

http://www.komisiyudisial.go.id/artikel/artidjo.pdf diakses tanggal 5 Oktober

2009

http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Dissenting_Opinion.pdf diakses

tanggal 10 Oktober 2009

http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2003-slametsupr-330 diakses tanggal 15 Oktober 2009 http://en.wikipedia.org/wiki/Opinion diakses tanggal 15 Oktober 2009

http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 10 November 2009

http://www.lawyers.com diakses tanggal 10 November 2009