01 makalah ruu kuhp dengan sistem hukum anglo saxon

30
MAKALAH PERBANDINGAN SISTEM HUKUM ANGLO SAXON DENGAN KUHP DAN RUU KUHP INDONESIA DALAM HAL PIDANA DAN PEMIDANAAN DOSEN PENGASUH : INDANG SULASTRI, S.H., LL.M Oleh: NAMA : ERIK SOSANTO NIM : EAA 110 039 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM 2013

Upload: erik-sosanto

Post on 20-Oct-2015

420 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

i

MAKALAH

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM ANGLO SAXON DENGAN KUHP DAN

RUU KUHP INDONESIA DALAM HAL PIDANA DAN PEMIDANAAN

DOSEN PENGASUH : INDANG SULASTRI, S.H., LL.M

Oleh:

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

2013

i

LEMBAR PENGESAHAAN

DISUSUN OLEH :

NAMA NIM TTD

ERIK SOSANTO EAA 110 039 . . . . . . . . . . . .

ii

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya

dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan

kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas

dan pedoman yang berjudul Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan

KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan.

Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber

buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Perbandingan Sistem

Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana

dan Pemidanaan yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman

dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali

kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat

dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan

benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis

miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk

penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut.

Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini

dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

iii

iii

Palangka Raya, 7 Januari 2014

Penulis,

ERIK SOSANTO

EAA 110 039

iv

iv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 3

1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3

1.4. Metode Penulisan ......................................................................................... 4

1.5. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 4

1.6. Sistematika penulisan ................................................................................... 4

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon .................... 6

2.2 Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan

RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan ........................ 8

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 23

3.2. Saran ............................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA

v

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembaharuan hukum pidana nasional (criminal law reform) yang sudah

dimulai sejak tahun 1963 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu

KUHP yang “tambal sulam” (baik dengan pendekatan evolusioner, global maupun

kompromi antara keduanya), melainkan diharapkan terbentuknya KUHP nasional

yang berkepribadian Indonesia yang sangat menghormati nilai-nilai agamis dan adat,

bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standard dan asas serta

kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia.

Dalam perkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses

pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk menggantikan

karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan “copy” dari KUHP Belanda 1886,

namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti luas yang

ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural, suprastruktural,

kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa,

pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara sistematis melalui asas

konkordansi, doktrin, text-book dan jurisprudensi pengadilan Belanda. Sepanjang

berkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal ini bisa berbentuk standard, asas

maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih bersifat “soft law” pada tahap-tahap

“enunctiative, declarative and prescriptive” maupun dalam bentuk “hard law” pada

tahap-tahap “enforcement and criminalization”.

1

2

Usaha pembaharuan KUHP, di samping ditujukan terhadap pembaharuan dan

peninjauan kembali terhadap 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana, yaitu

perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act), perumusan pertanggungjawaban

pidana (criminal responsibility) dan perumusan sanksi baik berupa pidana

(punishment) maupun tindakan (treatment), juga berusaha secara maksimal

memberikan landasan filosofis terhadap hakikat KUHP, sehingga lebih bermakna dari

sisi nilai-nilai kemanusiaan (humanitarian values) baik yang berkaitan dengan pelaku

tindak pidana (offender) maupun korban (victim).

Salah satu substansi muatan dalam Usaha pembaharuan KUHP juga banyak

mengakomodir dari Sistem hukum anglo-saxon yaitu sutau sistem hukum yang di

dasarkan pada hukum yang tidak tertulis dan yurisprudensi, yakni keputusan-

keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim

dikemudian.

Berdasarkan uraian singakt diatas tadi, maka penulis mencoba untuk sedikit

menguraikan beberapa substansi muatan dalam pembaharuan KUHP yang

mengakomodir dari Sistem hukum anglo-saxon, Dengan judul “PERBANDINGAN

SISTEM HUKUM ANGLO SAXON DENGAN KUHP DAN RUU KUHP

INDONESIA DALAM HAL PIDANA DAN PEMIDANAAN”.

3

1.2 Perumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu

hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1) Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon ?.

2) Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP

Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan ?.

Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan

dengan mengacu pada perspektif kajian Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon

dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan.

1.3 Tujuan Penulisan

Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia

dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari

suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis

hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang

ingin dicapai yaitu sebagi berikut :

1) Mengetahui dan memahami Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum

Anglo Saxon

2) Mengetahui dan memahami Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan

KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan.

4

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :

1) Sebagai media untuk menambah wawasan.

2) Bahan referensi aktual .

3) Bahan bacaan dan pengetahuan

1.5 Metode Penulisan

Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada

buku-buku referensi yang berhubungan dengan Hukum Pidana dan Perbandingan

Hukum Pidana dalam pembaruannya dan situs internet yang langsung mengangkat

permasalahan-permasalahan tentang perspektif kajian Perbandingan Sistem Hukum

Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan

Pemidanaan.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis

besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk

dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman bersifat

komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

5

BAB II PEMBAHASAN

Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang

ditujukan untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal)

permasalahan yang dirumuskan pada bab I yaitu :

1) Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon ?.

2) Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU

KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan ?.

BAB III PENUTUP

Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah

dideskripsikan pada BAB I-BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan

dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.

6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon

Sistem hukum anglo-saxon adalah sutau sistem hukum yang didasarkan pada

yurisprudensi, yakni berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang

kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. sistem hukum ini

diterapakan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada

(dengan nama KUHP : Criminal Code Of Canada) kecuali provinsi quebec)

Philipina (dengan nama KUHP : Revised Penal Code), Malasiya (dengan nama

KUHP : Penal Code Of Malaysia) dan Amerika Serikat (dengan nama KUHP :

United America Criminal Code / U.S Code) walaupun negara bagian louisiana

mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum eropa

kontinental napoleon. Selain negara-negara tersebut beberapoa negara lain juga

menerapkan Sitem Hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan (dengan nama

KUHP : Islamic Republic of Pakistan Penal Code), India (dengan nama KUHP :

Indian Penal Code), dan Nigeria (dengan nama KUHP : Nigerian Criminal Code)

yangh menerapkan sebagian besar sistem hukum anglo-saxon, namun juga

memberlakukan hukum adat dan hukum agama. sistem hukum anglo-saxon,

sebenarnya penerapanya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara

berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman. pendapat para ahli dan

praktisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan perkara.

7

Di inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan dilselesaikan oleh benc dan bar

dari pengadilan bench dan bar ini sangat di hormati oleh rakyat inggris, oleh karena

mampu mewakili rasa keadilan dari masyarakat sekalipun bench dan bar merupakan

pegawai pemerintah selama periode revolusi industri, para hakim dan penasehat

hukum yang merupakan penjabaran dari hobeas, corpus, centorari dan madamus tetap

tidak memihak selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru

mendukung kekauatan-kekauatan sosial politik yang menghendaki perubahan dari

masyarakat agraris ke masayarakat industri.

Dengan demikian di inggris pada masa revolusi lembaga-lembaga hukum

tetap berada di tangan pengadilan yang berwibawa di negara-negara common law

hukum kebiasaan berkembang ketika pemikiran manusia tentang hukum masih

bersifat kaku. tugas menciptaka hukum kebiasaan semula di tangani oleh the court of

chancery, the court of chancery ini digunakan oleh raja untuk menhadapai

kekauasaan dari pengadilan. perkembangan tersebut kemudian menghasilakan

perbedaan antara apa yang disebut dengan "law" dan "equity" di lain pihak. secara

historis equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law dan merupakan reaksi

terhadap ketidakmampuan hukum kebasaan yang dikembangkan pengadilan dalam

mengatasi adanya kerugian-kerugian yang di timbulkan oleh suatu pelanggaran

hukum.

Di negara-negara yang menganut system common law hukum kebiasaan yang

di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak

dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum publik dan hukum privat.

8

2.2.Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan RUU KUHP Indonesia

dalam Hal Pidana dan Pemidanaan

Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan

pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan sistem

hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun sebagai negara

kepulauan yang memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, di Indonesia juga

berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum

Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai konsekuensi penduduknya yang

mayoritas muslim. Sehingga di beberapa daerah hukum adat turut pula dipengaruhi

oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Sifat keberlakuan hukum adat di Indonesia sendiri cukup kuat, karena tumbuh

dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari masyarakat adat dan telah

dikonstituir oleh pengetua adat, yang jika dilanggar maka akan mendapat akibat

hukum berupa kecaman atau dikucilkan dari kehidupan bersama, dibuang ke daerah

lain, terputusnya komunikasi dengan sanak keluarga, hingga hukuman fisik berupa

kerja berat atau denda berupa penggantian sejumlah harta miliknya.

Asas konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Indonesia

tidak lepas dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan

tahun lamanya. Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum yang

mengadopsi Codex Napoleon yang bersumber dari hukum Romawi. Karena sistem ini

yang berkembang kali pertama adalah hukum perdatanya yang mengatur hubungan

individu semua anggota masyarakat, maka sistem hukum Eropa Kontinental

9

sebagaimana diadopsi Belanda dan berlaku di Indonesia disebut sebagai civil law

system.

Ada beberapa catatan penting tenatng Perbandingan KUHP dengan RUU

KUHP indonesia yang sekarang, yaitu sebagai berikut :

1. KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan

tetapi didalam RUU KUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal

54 ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide

Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.

2. RUU KUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan

yang tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat

membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu

hukumman atau pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51

ayat (1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2)

10

mengatur mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan

mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam

pemidanaan wajib dipertimbangkan sebagai berikut :

a. kesalahan pembuat tindak pidana;

b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

c. sikap batin pembuat tindak pidana;

d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;

e. cara melakukan tindak pidana;

f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;

h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

l. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu

dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar

pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan

dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

3. Pada pasal 56 RUU KUHP mengatur tentang Culpa in Causa, yaitu dimana

seseorang patut untuk dicela apabila dia dengan sengaja memasukkan diri ke

dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa in Causa, hal ini tidak 56,

sebagai berikut : seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari

11

pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang

tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat

menjadi alasan peniadaan pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka

mengenai perubahan dan penyesuaian pidana , namun RUU KUHP mengatur

akan hal itu yang terdapat pada pasal 57 ayat (1)-(6) tentang perubahan dan

penyesuaian pidana. Dengan memperhatikan sakah satu tujuan pemidanaan yang

berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, yang mana

dimungkinkan untuk adanya suatu remisi.

4. Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara

dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RUU KUHP mengatur

tentang hal itu yang terdapat dalam pasal 58 ayat (1) -(4). Pasal ini dicantumkan

bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk

menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa,

yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat

tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana

penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RUU KUHP juga mengatur

tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan

Alternatif.

5. Lain-lain ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi diatur

didalam pasal 61 dan 62 RUU KUHP yang mengatur tentang pelaksanaan

putusan (penintensier). RUU KUHP pada pasal 63 ayat (1)-(3) mengatur tentang

12

ketentuan waktu permohonan pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam

KUHP.

6. Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I

pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini

berbeda dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RUU

KUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana

tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial. Dan pada

pasal 65 ayat (2) mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menentukan berat

ringannya pidana. Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk

menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus yang

merupakan jenis pidana yang paling berat. Seperti yang tercantum di dalam pasal

66 RUU KUHP. Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya

memberikan penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak

menempatkannya pada pasal yang tersendiri. Mengenai pidana tambahan

sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b, yang terdiri dari

perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan

pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana

telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RUU KUHP, yaitu : pembayaran ganti

kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut

hukum yang hidup dalam masyarakat.

7. Pasal 67 ayat (2)-(5) RUU KUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan pidana

tambahan, yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai

13

pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana

tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat

setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau

pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak

tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan untuk percobaan

dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat

dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.

8. KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RUU KUHP

menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3) yaitu:

mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan;

terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang

patut dihormati. Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan

pada KUHP akan tetapi dijelaskan dalam RUU KUHP pada pasal 77-79, yaitu:

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun

untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun; mengingat keadaan pribadi dan

perbuatannya. Dengan syarat-syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak

pidana; terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana

pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh

tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan

14

atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan

beragama dan kemerdekaan berpolitik.

9. Pengaturan mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di dalam

KUHP pasal 30 akan tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana

ada pembaharuan nominal denda dan adanya nominal minimum dan minimum

khusus. Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib

dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan

minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu

rupiah). Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a.

kategori I Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II Rp 30.000.000,00

(tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta

rupiah); d. kategori IV Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V

Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratusjuta rupiah); dan f. kategori VI

Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Masih terkait dengan pidana

denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RUU KUHP mengatur tentang

kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang juga

termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2)

tidak mengurangi minimum khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak

mengatur tentang pidana pengganti denda untuk korporasi, namun hal ini

dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RUU KUHP, pidana pengganti berupa

pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.

15

10. Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini

terdapat di dalam RUU KUHP pasal 86 ayat (1)-(7) , hal ini terkait dengan

perumusan alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir

dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial seperti

yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1)-(7) RUU KUHP. Pidana mati yang

penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di dalam pasal 87 RUU KUHP,

sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati secara alternatif dijatuhkan

sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan pidana mati

sebenarnya sudah diatur dan dijelaskan dalam KUHP pada pasal 11, akan tetapi

hanya sebatas tata cara terpidana dihukum mati, sedangkan pada hal yang sama

yang diatur dalam pasal 88 RUU KUHP ada hal-hal yanag baru yang dijelaskan

terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak terpidana sampai mati oleh

regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum, terhadap wanita hamil atau

orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang

sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah

permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

11. Pada pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RUU KUHP mengatur mengenai

penundaan pidana mati dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda

dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika reaksi masyarakat

terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana menunjukkan rasa menyesal dan

ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak

pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana

16

selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka

pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara

paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi

manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada

harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah

Jaksa Agung.

12. Pada pasal 91 RUU KUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri

dari 2 ayat. Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait

dengan pasal 91 ayat 1 tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal

35 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk Pasal 91 ayat 2 RUU KUHP, ini merupakan

hal baru yang tidak diatur di dalam KUHP yang mengatur mengenai pencabutan

hak atas Korporasi. Terkait dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di

dalam KUHP pasal 39-42 , akan tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan

penjatuhan pidana perampasan seperti yang diatur di dalam pasal 95 RKUHP

yaitu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap

tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana

perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika

terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan

milik terpidana tidak dapat dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik

akan terganggu. Memang di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan

17

pengumuman putusan hakim, akan tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman

pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian kepada korban, seperti yang

disebutkan dan dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan (2) RUU KUHP.

13. Pada pasal 100 RUU KUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti kepada

masyarakat atau adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP.

KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut

sistem Double Track System, berbeda dengan RUU KUHP yang menganut

sistem ini. Double Track System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak

pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang

tertuang pada pasal 101-112 RUU KUHP, yang menjelaskan secara terbuka

mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan

tata cara pelaksanaannya. Pada pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan

2 RUU KUHP mengatur bahwa sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak

pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 115 RUU

KUHP, yang mengatakan bahwa pemberatan pidana pada pengulangan tindak

pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan. Pasal 116 mengatakan

bahwa Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi anak yang

dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana pokok bagi anak terdiri atas:

a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal 117) : pidana peringatan;

atau pidana teguran keras;

b. Pidana dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal 118) : pidana pembinaan

di luar lembaga(diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja

18

sosial (diatur lebih lanjut dalam pasal 120); ataupidana pengawasan (diatur

lebih lanjut dalam pasal 121) ;

c. Pidana denda (diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau

d. Pidana pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 124): pidana

pembinaan di dalam lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 125) ; pidana

penjara (diatur lebih lanjut dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan

tidak dapat dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati;

atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut dalam pasal 127).

Pidana tambahan terdiri atas:

a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan;

b. pembayaran ganti kerugian; atau

c. pemenuhan kewajiban adat.

14. Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan dan

memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum

umur 16 tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang,

perintah jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera kebangsaan dan tentang

percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada bab faktor yang

memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur pada pasal 132-136

RUU KUHP. Pasal 132-133 RUU KUHP mengatur tentang hal yang

memperingan pidana dan hal-hal yang meringankan pidana dengan

ditetapkannya maksimum pidana yang dapat dijatuhkan. Faktor yang

memperingan pidana meliputi:

19

a. percobaan melakukan tindak pidana;

b. pembantuan terjadinya tindak pidana;

c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelahmelakukan

tindak pidana;

d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;

e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara

sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan;

f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat;

g.tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 39; atau

g. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk

tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup,

maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun.

Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan

jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan. Sedangkan

pada pasal 134-135 mengatur tentang pemberatan pidana dan terdapat hal-hal

yang memperberat pidana dengan ditetapkannya maksimum ancaman pidana

ditambah 1/3 (satu per tiga). Sebagai berikut :

a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana

atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan

kepadanya karena jabatan;

20

b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara

Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;

c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana;

d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di

bawah umur 18 (delapan belas) tahun;

e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-sama, dengan

kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana;

f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana

alam;

g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;

h. pengulangan tindak pidana; atau

i. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. .

Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur tentang

faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama dan

ayat yang ke 2 mengatur tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat

(1). Sebagai berikut :

1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan

memperberat pidana secara bersama-sama maka maksimum ancaman pidana

diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3

(satu per tiga).

21

2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan

ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

Terhadap RUU KUHP Indonesia ada beberapa sistem hukum pidana

indonesia yang dipengaruhi oleh sistem hukum anglo saxon, yaitu :

1) Pasal 32 ayat (1) menegaskan berlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen

straf zonder schuld) atau asas “mens rea” sebagai syarat pemidanaan; Pada ayat

(2) pasal yang sama diatur asas “vicarious liability”, sedangkan ayat (3)

mengatur asas “strict liability” apabila ditentukan oleh undang-undang;

(Penjelasan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) terbalik); Pemisahan antara alasan

pembenar dan alasan pemaaf penting karena alasan pembenar menghapuskan

sifat melawan hukumnya perbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan

kesalahan. Dengan demikian terdapat penegasan berlakunya pendekatan

dualistis, sebagaimana yang terjadi pada system Anglo Saxon yang membedakan

“actus reus”dan “mens rea”. Catatan Tentang RUU KUHP Oleh : Prof. Dr.

Muladi, Sh. (Ketua Panitia Penyusunan RUU KUHP).

2) Dimungkinkan pula untuk mengubah pidana (atau tindakan) dengan melihat pada

perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan [Pasal 53 ayat (1)], yang tidak

boleh menjadi lebih berat dan memerlukan persetujuan narapidana. Perubahan ini

dilakukan dengan putusan pengadilan dan mengingatkan kita pada model

“indeterminate sentence” di Amerika serikat (pendekatan kriminologi).

22

3) Lembaga pembebasan bersyarat bagi narapidana (Pasal 67) telah diberi “baju

baru”, sehingga lebih merupakan lembaga “parole” di Amerika Serikat.

Narapidana sekarang menjadi “klien pemasyarakatan” Dengan Harapan Bahwa

Falsafah/Konsepsi Pemasyarakatan Dapat Lebih Baik Dilaksanakan. Catatan

Tentang RUU KUHP Oleh : Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro, SH. MH.

23

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kita memahami bahwa tujuan pembaharuan KUHP nasional adalah untuk

mewujudkan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945, selain untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di

samping itu, tujuan pembaruan KUHP adalah untuk menyesuaikan materi hukum

pidana nasional dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan

berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Dan sekarang, perkembangan kehidupan

kita bernegara, sedang bergerak tertatih-tatih menuju demokrasi. Pembaruan hukum

pidana dengan demikian harus diletakkan dalam kerangka perkembangan tersebut,

yaitu memperkuat landasan bagi kehidupan bernegara secara demokratis.

3.2 Saran

a. RUU KUHP ini harus ini harus diletakkan ke dalam bagian proyek besar

Reformasi saat ini. Seharusnya inilah yang menjadi politik hukum pidana

(criminal law politics) RUU ini. Revisi dalam konteks criminal law politics

inilah yang lebih diperlukan, ketimbang revisi pada persoalan semantik dan tetek

bengek lainnya. Sebab politik hukum pidana inilah yang menentukan jaminan

terhadap civil liberties dan fundamental freedom warga negara.

24

b. Revisi RUU KUHP ini harus ditempatkan pula dalam rangka mengfungsikan

hukum pidana dalam tatanan negara demokratis, bukan sebaliknya menjadi

instrumen “penekan” bagi rezim yang berkuasa. Makanya, penyusunan RUU ini

harus sedapat mungkin mendekatkan KUHP yang baru itu pada standar baku

hukum pidana modern, yang pada akhirnya membuat kita dapat “berdiri sama

tegak” dan “duduk sama rendah” di tengah pergaulan antar bangsa.

c. Berkaitan dengan poin rekomendasi di atas, maka kriminalisasi yang dirumuskan

dalam RUU ini harus menghindari jebakan „overcriminalization‟, dan karena itu

kriminalisasi yang mengarah kepada „victimless crime‟ dalam RUU ini harus

ditinjau kembali.

Tetapi semua ini tergantung pada kita semua. Nasib RUU KUHP ini terletak

pada itikad dan kemauan kita untuk membawanya kemana : ke arah demokrasi atau

tidak?

25

DAFTAR PUSTAKA

http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes. Di Akses 11 Desember

2012

http://freepages.genealogy.rootsweb.ancestry.com/~irishancestors/Law/Codification.h

tml . di akses 11 Desember 2012

http://thezmoonstr.blogspot.com/2013/01/perbandigan-kuhp-indonesia-dengan.html .

di akses 11 Desember 2012

http://united-america.org/code_criminal/article_0000.htm. . di akses 11 Desember

2012