bab i pendahuluan a. latar belakang...

46
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat dilepaskan dari kepolisian. Tugas Pokok Polri itu sendiri sendiri menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 1 Tujuan tersebut di atas tentunya tidak akan terwujud apabila tidak dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin serta profesionalisme dari para anggota Polri itu sendiri untuk berusaha melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik dan bertanggung jawab. Bertolak dari arti pentingnya kedisiplinan bagi anggota Polri sebagai penegak hukum, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2 Polri sebagai sub sistem dari pemerintah secara responsif telah berupaya memberi kontribusi mewujudkan prinsip Good Governance dan Clean Government baik dalam pelaksanaan tugas pokok memelihara 1 Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2 Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian (Catatan Kontras Terhadap Kepolisian), Kontras, 2007, Hal.4 Universitas Sumatera Utara

Upload: truongbao

Post on 06-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak dapat

dilepaskan dari kepolisian. Tugas Pokok Polri itu sendiri sendiri menurut

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.1

Tujuan tersebut di atas tentunya tidak akan terwujud apabila tidak

dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin serta profesionalisme dari para anggota

Polri itu sendiri untuk berusaha melakukan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya dengan baik dan bertanggung jawab. Bertolak dari arti

pentingnya kedisiplinan bagi anggota Polri sebagai penegak hukum,

pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang khusus

mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor

2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

2

Polri sebagai sub sistem dari pemerintah secara responsif telah

berupaya memberi kontribusi mewujudkan prinsip Good Governance dan

Clean Government baik dalam pelaksanaan tugas pokok memelihara

1 Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2 Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian (Catatan Kontras Terhadap Kepolisian), Kontras, 2007, Hal.4

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Kamtib mas, menegakkan hukum dan melindungi, mengayomi serta

melayani masyarakat maupun di kalangan internal Polri sendiri sebagaimana

dicanangkan dalam grand strategi Polri berupa Trust Building (membangun

kepercayaan).3

Kompleksitas tantangan tugas Polri pada era reformasi dalam

perjalanannya selain telah memberi manfaat bagi Polri dengan berbagai

kemajuan yang signifikan baik di bidang pembangunan kekuatan, pembinaan

maupun operasional. Namun di sisi lain diakui secara jujur terdapat akses negatif

dari penyelenggaraan tugas pokoknya berupa penyimpangan perilaku anggota

Polri seperti penyalahgunaan kekuasaan / wewenang (abuse of power),

kualitas penyajian layanan yang tercela dari sudut moral dan hukum antara lain

diskriminasi, permintaan layanan / penegakan hukum alasan kepentingan pribadi,

diskresi melampaui batas, mempersulit, arogan, lamban, tidak sopan manusiawi

dan perilaku negatif.

4

Terlepas benar atau tidak, setidaknya statement tersebut semakin

memberi justifikasi bahwa memang benar di dalam Polri banyak terjadi

penyimpangan khususnya dalam penyimpangan kode etik profesi Polri.

Bahkan beberapa waktu yang lalu terdapat suatu statement

dari sebuah LSM yang mengatakan Polri sebagai organisasi nomor satu paling

korup di Indonesia.

5

Kode etik profesi adalah suatu tuntutan, bimbingan atau pedoman

moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu atau merupakan daftar

3 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melayani Publik, Gadjah Mada University, Yogyakarta , 2006, Hal. 3.

4 Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, Hal. 42.

5 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggota

profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam praktik. Dengan demikian

maka kode etik profesi berisi nilai-nilai etis yang ditetapakan sebagai saran

pembimbing dan pengendali bagaimana seharusnya atau seyogyanya

pemegang profesi bertindak atau berperilaku atau berbuat dalam

menjalankan profesinya.

Demikian pula pada profesi kepolisian, mempunyai kode etik yang

berlaku bagi Polisi dan pemegang fungsi kepolisian. Kode etik bagi profesi

kepolisian tidak hanya didasarkan pada kebutuhan profesionalisme, tetapi

juga telah diatur secara normative dalam UU

No. 2 tahun 2002 tentang Polri yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kapolri No.

Pol. : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Peraturan Kapolri

No. Pol : 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi

Kode Etik Profesi Polri, sehingga Kode Etik Profesi Polri berlaku mengikat

bagi setiap anggota anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

atau di singkat (Polri).6

Di beritakan di Media Kompas bahwa Komisi Kode Etik Polri

menghasilkan 204 putusan yang mencakup 169 pemberhentian tidak dengan

hormat (PTDH). Sebanyak 169 polisi diberhentikan tidak dengan hormat selama

Januari-Mei 2009. Secara keseluruhan, Komisi Kode Etik Polri menghasilkan 204

putusan yang mencakup 169 pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Keputusan lain yang diambil adalah tercela (2 kasus), permintaan maaf (6 kasus),

6 Pudi Rahardi , Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri), LaksBang Mediatama, Surabaya, 2007, hal. 6

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

tour of area (TOA) atau pindah daerah tugas sebanyak 17 kasus, tour of duty

(TOD) atau pindah bagian sebanyak 15 kasus, dan pemberhentian dengan hormat

(PDH) sebanyak 3 kasus. Jumlah pelanggaran terbesar dilakukan bintara dengan

1.060 kasus tahun 2008 dan 488 kasus di antara Januari-Mei 2009. Pelanggaran

yang terjadi bervariasi, seperti kasus narkoba, kejahatan lain, dan mangkir dari

tugas (desersi). Sementara di tingkat perwira pertama (Inspektur Dua hingga Ajun

Komisaris) tercatat 81 kasus tahun 2008 dan 33 kasus pada semester I tahun 2009.

Di tingkat perwira menengah (Komisaris hingga Komisaris Besar) terdapat 16

pelanggar tahun 2008 dan 3 pelanggar pada Januari-Juni 2009. Secara

keseluruhan, ujar Sulistyo, jumlah pelanggaran pidana pada 2008 mencapai 1.164

kasus dan semester pertama 2009 sebanyak 525 kasus. Sekretaris Komisi

Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adnan Pandupraja mengatakan, pihaknya

menerima 774 keluhan masyarakat terhadap polisi selama Januari-Juni 2009.

”Keluhan terbesar dialamatkan kepada satuan reserse sebanyak 723 laporan.

Laporan terbanyak atas kinerja polisi di Polri Metro Jaya 166 aduan. Keluhan

yang sudah dijawab Polri sebanyak 250 kasus.7

Setiap personel penegak hukum Polri pasti diikat oleh aturan atau undang-

undang sebagai acuan dalam bertindak. Aturan-aturan yang mengikat Polri

diantaranya adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia serta Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Selain itu pada tahun lalu (2010)

tercatat beberapa petinggi Polri diajukan pada sidang kode etik, antara lain

Kompol Arafat, Williardi W, dan Susno Duadji.

7 Jamil Mubarok, Sebanyak 169 Polisi Dipecat, kompa.com. (8 Februari 2011)

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Akan tetapi banyaknya

aturan yang mengikat Polri tersebut tidak menjamin tumbuhnya jiwa profesional

dalam diri sebagian anggotanya.

Berkaca dari berbagai kasus yang timbul, seharusnya Polri perlu memulai

langkah baru dengan menghindarkan diri dari kesan menerapkan asas imunitas

untuk melindungi sesama anggota korps dalam berbagai penyelewengan. Selama

ini Polri sering dituding melindungi anggotanya yang tidak serius menangani

kasus-kasus korupsi, ham, illegal logging, narkoba, perjudian, dan lainnya.

Keanehan proses hukum kasus-kasus berskala besar yang menjadi perhatian

publik di tubuh Polri, bukan lagi sekadar menyangkut oknum, melainkan Polri

sebagai institusi. Untuk itu, Kepala Polri harus memulai ''tradisi baru'' untuk

memihak dan menghargai anggota Polri yang bekerja sungguh-sungguh, jujur,

dan berotak cemerlang.

Masyarakat sebenarnya berharap agar pengungkapan berbagai kasus yang

menimpa anggota atau petinggi Polri, tidak hanya seperti selama ini. Bila tidak

lagi dikontrol publik atau pers, kasusnya akan “menguap”. Pengungkapan untuk

kasus-kasus besar terkesan melambat, bahkan hilang begitu saja, manakala suatu

kasus terbentur pada polisi berpangkat tinggi. Berkaca pada pengalaman

sebelumnya, masih minim keseriusan untuk betul-betul mengungkap berbagai

kasus dan penyelewengan di tubuh Polri. Sinyalemen yang berkembang adanya

semangat membela institusi (esprit de corps) yang terkesan sebagai ''kultur''

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

belum bisa dihilangkan sama sekali. Padahal, kultur tersebut merugikan reputasi

Polri sebagai institusi penegak hukum.8

B. Permasalahan

1. Bagaimana Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam Penyelesaian

Penyelewengan Kode Etik Polri Pada Kepolisian Resor Kota Besar Medan

2. Bagaimanakah upaya Polri dalam peningkatan profesionalisme dan citra Polri

dalam hal penegakan kode etik Polri ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk Mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan Kode Etik Polri Dalam

Penyelesaian Penyelewengan Kode Etik Polri Pada Kepolisian Resor Kota

Besar Medan

2. Untuk mengetahui bagaimanakah upaya Polri dalam peningkatan

profesionalisme dan citra Polri dalam hal penegakan kode etik Polri

Sedangkan Manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Kegunaan teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana,

khususnya mengenai penanganan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak

8Marwan Mas, Menyoroti Korupsi Korps Baju Coklat, Makalah Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makasar, 9 Nopember 2005, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

pidana. Selain itu juga untuk memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai

pelaksanaan kode etik kepolisan Republik Indonesia

2. Kegunaan praktis

a. Bagi Penulis : Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang

penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan dilapangan, serta

menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang penanganan terhadap

anggota Polri yang melakukan tindak pidana.

b. Bagi Kepolisian : Khususnya bagi Kepolisian Daerah Jawa Timur,

penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal

penanganan terhadap anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana

sehingga dapat lebih meningkatkan profesionalisme para anggotanya.

c. Bagi Masyarakat : Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan

masyarakat tentang upaya yang dilakukan oleh Polri Jawa Timur dalam

penanganan terhadap anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana,

sehingga masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam penanganan terhadap

anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas

masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang IMPLEMENTASI

PERATURAN KODE ETIK POLRI DALAM PENANGANAN

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELANGGAR KETENTUAN

PIDANA (Studi di Kepolisian RESOR Kota Besar Medan), belum pernah

diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada

permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa

penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari

ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Kajian Pustaka

1. Kedudukan Polri

a. Kedudukan Polri sebelum berlakunya UU No.2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia

Sejak diundangkannya UU No. 13 Tahun 1961, bersamaan dengan

integrasi Kepolisian Negara Republik Indonesia ke dalam Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia, maka pengaturan penyelanggaraan fungsi

Kepolisian dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang

terintegrasi dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, kecuali dalam

hal proses pidana yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Paradigm Polri pada

masa berlakunya UU NO.13 Tahun 1961 adalah paradigma militer, karena

polisi merupakan bagian dari ABRI dengan doktrin militer yang bersifat

destructif dan represif.9

9 H. Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2007, hal. 33.

Institusi Polri pada masa orde baru sering kali

mendapatkan intervensi dari kekuasaan ekstra yudisial dalam menjalankan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

tugas dan fungsinya. Selain itu juga, Polri merupakan sub ordinat

kekuasaan, sehingga sering dijadikan sarana untuk memelihara dan

melanggengkan kekuasaan dari ancaman internal dan eksternal. Banyaknya

kasus pelanggaran hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

dapat dikatakan sangat banyak yang melibatkan institusi Polri dan matra

militer (TNI) yang lain. Hal ini memungkinkan terjadi karena kondisi

pemerintahan dan regulasi sedemikian rupa, sehingga institusi Polri tidak

dapat bersikap mandiri dan independent dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya.10

Setelah UU No.13 Tahun 1961 berlaku selama 36 tahun, maka

digantilah Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang yang baru

yaitu UU No.28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia (Lembaran Negara tahun 1997 No. 81, tambahan lembaran

Negara No.3710). Pada masa berlakunya UU No. 28 Tahun 1997, kondisi

dan situasi saat itu masih erat hubungannya dengan orde pemerintahan pada

saat itu, yakni penyelenggaraan fungsi kepolisian pada periode tersebut

berjalan dengan nuansa dan karakteristik tersendiri sesuai dengan pada masa

tersebut.

11

10 Ibid, hal. 34.

Meskipun UU No.28 Tahun 1997 lebih baik disbanding UU

No.13 Tahun 1961, namun masih menempatkan Polri sebagai bagian dari

institusi TNI/ABRI. Oleh karena itulah kondisi dan situasi Polri pada masa

berlakunya UU No.28 Tahun 1997 tidak banyak berbeda dengan ketika

diberlakukannya UU No. 13 Tahun 1961.

11 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Rumusan ketentuan yang tercantum di dalam UU No. 28 Tahun

1997 masih mengacu pada UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 1988 dan UU No. 2

Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,

sehingga watak militernya masih sangat dominan yang pada gilirannya

berpengaruh pula terhadap sikap dan perilaku aparat/pejabat Kepolisian

dalam pelaksanaan tugasnya dilapangan. Tuntutan ke arah perubahan UU

Kepolisian No. 28 Tahun 1997, semakin merebak sejalan dengan maraknya

tuntutan reformasi kearah perwujudan supremasi hukum, Kepolisian yang

mandiri dan profesional, demokratisasi dan perlindungan Hak Asasi

Manusia sehingga mendukung terwujudnya perubahan undang-undang yang

memuat paradigma baru pemolisian dan diharapkan dapat memberikan

penegasan watak Polri sebagaimana yang dinyatakan dalam Tri Brata dan

Catur Prasetya sebagai sumber nilai Kode Etikka Kepolisian yang mengalir

dari falsafah Pancasila.12

Pada periode tahun 1997-2002, era reformasi telah melahirkan

kondisi ketatanegaraan dan pemerintahan kondusif sehingga mendukung

terwujudnya perubahan undang-undang yang memuat paradigma baru

pemolisian dan diharapkan dapat memberikan penegasan watak Polri

sebagaimana yang dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai

12 Ibid. Hal 36

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

sumber nilai Kode Etika Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila.13

Ditetapkannya perubahan kedua UUD 1945 Bab XII tentang

Pertahanan dan Keamanan Negara, yang kemudian disusul dengan adanya

Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.

VIII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan

paradigma yang menegaskan adanya rumusan tentang tugas, fungsi, dan

peran Kepolisian Negara Republik Indonesia pada era reformasi serta

pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peran

dan fungsi masing-masing. Sehingga dapat dikatakan bahwa tugas pokok

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta

melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Sedangkan TNI, sebagai

alat pertahanan untuk menghadapi ancaman dari luar. Maka selanjutnya, UU

No. 28 Tahun 1997 diubah dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Kedudukan Polri setelah berlakunya UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisan Republik Indonesia

Kelahiran UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 telah memisahkan

institusi Polri dari TNI, sehingga diharapkan dengan adanya undang-undang

tersebut dapat terciptanya kemandirian dan profesionalisme Polri. Dalam

UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002 diatur pembinaan profesi dan ketentuan

mengenai Kode Etik Profesi Polri agar setiap tindakan anggota/pejabat Polri

13 Ibid, hal 36.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun teknik profesi dan

terutama berdasarkan hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu dalam

undang-undang tersebut diatur mengenai hak dan kewajiban serta tanggung

jawab anggota Polri yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum, bukan

lagi tunduk pada peradilan militer. Dengan kata lain setiap terjadi

permasalahan pidana bagi anggota Kepolisian, akann diselesaikan pada

peradilan umum dimana proses penyidikannya dilakukan oleh aparatur

Polri. Hal ini merupakan konsekuensi lepasnya institusi Polri dari institusi

TNI yang tunduk pada peradilan militer dan juga hal yang sangat mendasar

dalam UU No. 2 Tahun 2002.

Perubahan perilaku militeristik Polri tersebut menjadi sangat penting,

karena eksistensi Polri sebagai penegak hukum dengan mendekatkan sudut

legalistik organisasi dan mekanisme kerja Organisasi Kepolisian, Polri

adalah sebagai agensi pelaksana ”the rule of criminal procedure” (RCP)

yang diberi kekuasaan oleh undang-undang untuk mempertahankan dan

memelihara ketertiban dan keamanan sebagaimana yang diatur dalam “the

rule of the criminal code” (RCC), yang secara umum berlaku “Code of

Conduct For Law Enforcement Officials” dan “Basic Principle On The Use

of Force And Firearmas by Law Enforcement Officials”, yang telah

ditetapkan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-VII dan ke-VIII

tentang “The Prevention of Crimme and The Treatment of Offenders”.

Sehingga bila ditinjau dari sisi penegakan hukum, sifat universal Kepolisian

dimana sebagian terbesar Negara di dunia menempatkan Organisasi

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Kepolisian bebas dari dan tidak tunduk pada Organisasi Angkatan

Bersenjata (militer). Karena dengan watak perilaku militer, maka visi misi

Kepolisian bukan lagi pada “How to Combat Crimes” akan tetapi menitik

beratkkan pada “How to Combat The Enemy”. Selain itu besarnya tugas

Polri yang lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayani, juga menjadi

pertimbangan sosiologis untuk dibentuknya Undang-undang Kepolisian.14

Dengan demikian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 telah jelas

bahwa Polri tidak lagi sebagai militer dan produk-produk adminitrasi

Kepolisian tidak lagi tunduk pada tata usaha militer sebagaimana diatur

dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, tetapi masuk dalam

lingkup Pejabat Tata Usaha Negara yang tunduk pada UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengingat produk administrasi

Kepolisian sebagai produk Tata Usaha Negara, apabila berupa keputusan,

maka masuk pada kategori sebagai keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Oleh karena itu, apabila terjadi sengketa atas keputusan Pejabat

Kepolisian yang bersifat konkrit, individual, dan final, peradilan yang

memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa dimaksud adalah

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diubah dengan UU No. 9

Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku secara

efektif sejak ditetapkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dan

keluarnya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian

14 Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2005, hal 137.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Anggota Polri, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan

Disiplin Anggota Polri dan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003 tentang

Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi anggota Polri.

2. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia

a. Pengertian Polisi Secara Umum

Untuk menyamakan persepsi tentang pengertian kepolisian republik

indonesia, terlebih dahulu dikemukaakan pengertian polisi. Istilah polisi pada

mulanya berasal dari bahasa Yunani, "politea" yang berarti pemerintahan negara

Yunani terdiri dari kota-kota yang disebut dengan "polis", pada waktu itu

pengertian polisi menyangkut segala urusan pemerintahan termasuk urusan agama

atau dengan kata lain pengertian polisi adalah urusan pemerintahan. Pengertian

polisi tersebut pada waktu urusan pemerintahan masih sederhana dan belum

seperti sekarang ini. Dari istilah politea dan polis kemudian timbul istilah lapoli,

police (Inggris), polzei (Jerman), dan polisi (Indonesia). Charles Reith dalam

bukunnya yang berjudul The Blind Eye of History mengemukakan pengertian

polisi dalam bahasa Inggris: ”Police Indonesia the English Language came to

mean of planning for improving ordering communal existence”15

15 Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia. Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005, hal 5.

yaitu sebagai

tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau susunan kehidupan masyarakat.

Pengertian ini berpanggkal tolak dari pemikiran, bahwa manusia adalah mahluk

sosial, hidup berkelompok, membuat aturan-aturan` yang disepakati bersama.

Ternyata diantara kelompok itu ada yang tidak mau mematuhi aturan bersam

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan

menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Dari pemikiran ini

kemudian timbul Polisi, baik organnya maupun tugasnya untuk memperbaiki dan

menugaskan tatasusunan kehidupan masyarakat tersebut.16

Pada abad ke-14 dan 15 oleh karena perkembangan zaman, urusan dan

kegiatan keagamaan menjadi semakin banyak, sehingga perlu diselenggarakan

secara khusus. Akhirnya urusan agama dikeluarkan dari usaha politea, maka

dengan istilah politea atau polisi tinggal meliputi usaha dan urusan keduniaan

saja.

Dari arti kata polisi yang telah diketengahkan, kalau didalami lebih jauh,

akan memberikan berbagai pengertian. Para cendikiawan dibidang Kepolisian

sampai pada kesimpulan bahwa dalam kata polisi terdapat tiga pengertian yang

dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk dan melahirkan berbagai

konotasi. Tiga arti kata polisi adalah ; (1). Polisi sebagai fungsi, (2). Polisi sebagai

organ Kenegaraan dan, (3). Polisi sebagai pejabat atau petugas.17

Yang banyak disebut sehari-hari memang polisi dalam arti petugas atau

pejabat. Karena merekalah yang sehari-hari berkiprah dan berhadapan langsung

dengan masyarakat. Pada mulanya dulu polisi itu berarti orang yang kuat dan

dapat menjaga keselamatan dan ketemtraman kelompoknya. Namun dalam bentuk

polis atau negara kota, polisi sudah harus dibedakan dengan masyarakat biasa,

agar rakyat jelas bahwa pada merekalahlah rakyat minta perlindungan, dapatb

mengadukan keluhannya dan seterusnya dengan diberi atribut tertentu. Tersirat

16 Ibid 17 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

juga maksud bahwa dengan atribut-atribut khusus dapat segera terlihat bahwa

polisi punya kewewnangan menegakkan aturan dan melindungi masyarakat.

Pembedaan atribut dengan segala maknanya itu, berkembang terus,

sehingga dikemudian hari melahirkan bayak variasi. Setiap negara memberikan

atribut yang berbeda-beda sesuai dengan budaya dan estetika yang mereka

kehendaki. Atribut itu secara phisik berbentuk seragam baju, kelengkapan dan

tanda-tanda atau simbul-simbul yang merupakan tanda pengenal mereka.

Beberapa negara bahkan memberikan atribut yang berbeda-beda bagi setiap

daerah atau negara bagian.18

Seiring perkembangan zaman dengan demikian pengertian polisi juga

mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan keadaan.

Waulaupun mengalami perkembangan mengenai polisi, namun ide dasar

keberadaan polisi tidak berubah yaitu urusan mengenai pemeliharaan

pemerintahan.

Perkembangan jaman di Eropa Barat (terutama sejak abad ke-14 dan

ke-15) menuntut adanya pemisahan agama dan negara sehingga dikenal istilah-

istilah police di Perancis dan polizei di Jerman yang keduanya telah

mengecualikan urusan keduniawian saja24 atau hanya mengurusi keseluruhan

pemerintahan negara, istilah polizei tersebut masih dipakai sampai dengan akhir

abad pertengahan, kemudian berkembang dengan munculnya teori Catur Praja dari

Van Voenhoven yang membagi pemerintahan dalam empat bagian, yaitu:19

1) Bestuur : Hukum Tata Pemerintahan

18 Ibid., hal. 5 19 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta ,2000, hal. 337.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

2) Politie : Hukum Kepolisian

3) Justitie : Hukum Acara Peradilan

4) Regeling : Hukum Perundang-undangan.

Dalam teori tersebut dapat dilihat bahwa polisi tidak lagi merupakan

keseluruhan pemerintahan negara akan tetapi merupakan organ yang berdiri sendiri,

yang mempunyai wewenang dan kewajiban menjalankan pengawasan bahkan bila

perlu dengan paksaan yang diperintah melakukan suatu perbuatan atau tidak

melakukan suatu perbuatan sesuai dengan kewajibannya masing-masing.

b. Pengertian ‘Polisi’ menurut UU Kepolisian

‘Kepolisian’ dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan

sebagai segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.Anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia

sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum

kepolisian.

Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan

menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

3. Asas, Tugas dan Wewenang POLRI

a. Asas-asas dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Kepolisian.

Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas yakni:20

1) asas legalitas

2) asas plichmatigheid

3) asas subsidiaritas

Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan polisi harus didasarkan

kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan. Bilamana tidak didasarkan

kepada undang-undang / peraturan perundang-undangan maka dikatakan bahwa

tindakan polisi itu melawan hukum (onrechtmatig).

Asas plichmatigheid ialah asas di mana polisi sudah dianggap sah

berdasarkan / sumber kepada kekuasaan atau kewenangan umum. Dengan

demikian bilamana memang sudah ada kewajiban bagi polisi untuk memelihara

keamanan dan ketertiban umum, asas ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan

tindakan. Polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk memelihara

keamanan dan ketertiban umum.

Asas subsidiaritas adalah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana

seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Sebagai Abdi penegak hukum yang

langsung terjun pada masyarakat sudah selayaknyalah polri juga sebisa mungkin

menggunakan cara persuasif terlebih dahulu dalam menangani persoalan

masyarakat terutama terkait masalah masalah yang bisa mengakibatkan konflik

horisontal. Sedangkan penegakan melalui pidana adalah langkah akhir jika cara

20 Kelana Momo, Hukum Kepolisian (edisi ketiga cetakan keempat), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 1984, hal. 98.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

persuasif gagal.

b. Tugas dan Wewenang Polri Menurut UU Kepolisian

Undang-undang Kepolisian menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian

Negara Repubik Indonesia adalah:21

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Penjelasan tersebut menyebutkan bahwa rumusan tersebut tidak

didasarkan pada suatu urutan prioritas, artinya ketiga-tiganya sama penting.

Dalam pelaksanaannya pun tugas pokok yang akan dikedepankan sangat

tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada

dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat

dikombinasikan.

Dalam UU kepolisian, keamanan dan ketertiban masyarakat diartikan

sebagai:

“suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.”22

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepolisian Negara

Republik Indonesia bertugas:23

21 UU Kepolisian, Pasal 13.

22 Ibid., Pasal 1 butir 5. 23 Ibid., Pasal 14.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjami kemanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap sema tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselaatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelu ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tugas utama polisi untuk menegakkan hukum berhubungan dengan

peran polisi sebagai salah satu bagian dari system peradilan pidana Indonesia.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, polisi berwenang untuk:24

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

24 Ibid., Pasal 16 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam

keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

‘Tindakan lain” yang dimaksud adalah tindakan penyelidikan dan

penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:25

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.

Selain tugas dan wewenang yang disebutkan di dalam UU Kepolisian

ini, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk kepentingan umum,

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri. Tindakan menurut penilaian sendiri ini hanya data dilakukan

dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-

undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.26

c. Tugas dan Wewenang Polri Menurut KUHAP

1) Wewenang Sebagai Penyidik

Upaya paksa merupakan kegiatan polisi dalam menjalankan tugasnya

sebagai penegak hukum dalam system peradilan pidana Indonesia. Upaya paksa

25 Ibid., Pasal 16 ayat (2). 26 Ibid., Pasal 18.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

meliputi kegiatankegiatan: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara

eksplisit menjelaskan pengertian dari upaya paksa namun di dalamnya

disebutkan mengenai tugas dan wewenang polisi sebagai penyidik. Menurut

ketentuan dalam Pasal 6 KUHAP:

(1). Penyidik adalah: a. pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; b. pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh UU.

Sedangkan wewenang yang dimiliki oleh penyidik diatur di dalam pasal

7 KUHAP yang berbunyi:

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal

diri tersangka; d. melakuan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakuakan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dari pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud adlam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

2) Penangkapan

Mengenai penangkapan disebutkan bahwa baik untuk kepentingan

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

penyelidikan maupun penyidikan, penyidik memiliki wewenang untuk

memerintahkan atau untuk melakukan penangkapan.27 Penangkapan (atau

perintah penangkapan) dilakukan terhadap seorang yang diduga keras

melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.28

Tata cara pelaksanaan penangkapan adalh dengan memperlihatkan

surat tugas petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia serta memberikan

kepada tersangka surat perintah pengkapan yang mencantumka identitas

tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara

kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat

perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah

penangkapan dilakukan.

29

Apabila penangkapan dilakukan segera pada saat terjadi suatu kejahatan

atau dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,

dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap

beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu

terdekat.

30

3) Penahanan

Penahanan dapat dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu atas

perintah penyidik untuk kepentingan suatu penyidikan. Penahanan dapat

juga dilakukan oleh Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan maupun

27 KUHAP, Pasal 16. 28 Ibid., Pasal 17. 29 Ibid., Pasal 18 ayat (1) dan (3). 30 Ibid., Pasal 18 ayat (2).

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

oleh Hakim itu sendiri di sidang Pengadilan dengan penetapannya.31

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan bilamana

terdapat kekhawatiran seorang tersangka atau terdakwa yang melakukan

tindak pidana akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti

dan atau mengulangi tindak pidana.

32

KUHAP menyebutkan bahwa suatu penahanan hanya dapat dikenakan

terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidan dan atau

percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam

hal:

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana pernjara lima tahun atau lebih;

b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 25 dan pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad tahun 1931 nomor 471), pasal 1, pasal 2 dan pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 nomor 8), pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48 Undang-undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara nomor 3086). 33

Menurut ketentuan pasal 22, jenis penahanan dapat berupa:

a) Penahanan Rumah Tahanan Negara; b) Penahanan rumah c) Penahanan kota.

4) Penggeledahan

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan

31 Ibid., Pasal 18 ayat (1) dan (3). 32 Ibid., Pasal 21 ayat (1). 33 Ibid., Pasal 21 ayat (4).

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan

menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP.34

Pasal 37 KUHAP menyebutkan:

“(1) Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang

menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.

(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.”

5) Penyitaan

KUHAP mendefinisikan penyitaan sebagai serangkaian tindakan penyidik

untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda

bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepnetingan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.35

Suatu penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin

Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun demikian, dalam keadaan yang

sangat perlu dan mendesak yakni bila penyidik harus segera bertindak dan tidak

mungkin untuk mendapatkan izin terlebih dahulu, penyidik tersebut dapat

melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak.

36

Hal-hal yang menjadi obyek penyitaan adalah:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

34 Ibid., Pasal 32. 35 Ibid., Pasal 32. 36 Ibid., Pasal 38.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak

pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan.37

4. Kewajiban dan Larangan Bagi Anggota Polri

a) Kewajiban Anggota Polri

Kewajiban bagi anggota Polri dalam PP No. 2 Tahun 2003 dibagi

menjadi 2 (dua), yaitu kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka

kehidupann bernegara dan bermasyarakat, dan kewajiban yang harus dilakukan

dalam pelaksanaan tugas. Kewajiban bagi anggota Polri dalam rangka kehidupan

bernegara dan bermasyarakat diatur dalam Pasal 3 PP No. 2 Tahun 2003, yang

berbunyi :

dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib :

a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara dan Pemerintah;

b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan Negara;

c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

d. Menyimpan rahasia Negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;

e. Hormat-menghormati antar pemeluk agama; f. Menjunjung tinggi hak asasi manusia; g. Menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang

berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;

h. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan Negara/pemerintah;

i. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat; j. Berpakain rapi dan pantas. Sedangkan kewajiban bagi anggota Polri dalam pelaksanaan tugas, diatur

37 Ibid., Pasal 39 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

dalam Pasal 4 PP No. 2 Tahun 2003 yang berbunyi: “Dalam pelaksanaan tugas,

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib:

a. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;

b. Memperhatikan dan menyelasaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;

c. Mentaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab;

e. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

f. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;

g. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;

h. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas; i. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya; j. Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja; k. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan

karier; l. Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang; m. Menaati ketentuan jam kerja; n. Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-

baiknya; o. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

b. Larangan Anggota Polri

Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat,

terdapat larangan bagi anggota Polri yang diatur dalam Pasal 5 PP No. 2 Tahun

2003. Adapun larangan tersebut adalah:

a. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. Melakukan kegiatan politik praktis; c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; d. Bekrjasama dengan orang lain didalam atau diluar lingkungan kerja

dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan Negara;

e. Bertindak selaku perantara bagi penngusaha ataau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;

f. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaanya;

g. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;

h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang mempunyai utang;

i. Menjadi perantara/makelar perkara; j. Menelantarkan keluarga. Selanjutnya dalam pasal 6 PP No. 2 Tahun 2003 diatur mengenai larangan

bagi anggota Polri dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas yaitu dilarang:

a. Membocorkan rahasia operasi Kepolisian; b. Meninggalkan wilayah tugas tanpa ijin pimpinan; c. Menghindarkan tanggung jawab dinas; d. Menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi; e. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya; f. Mengontrakkan/menyewakan rumah dinas; g. Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit; h. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak; i. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi; j. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani; k. Memanipulasi perkara; l. Membuat opini negative tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau

kesatuan; m. Mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas ddengan

pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

n. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materiil perkara;

o. Menlakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya; p. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau

mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;

q. Menyalahgunakan wewenang; r. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan; s. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya; t. Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas; u. Memiliki, memjual, membeli, menggadaikan, menyewakan,

meminjamkan, atau menghilangkan baraang, dokumen, atau surat

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

berharga milik dinas secara tidak sah; v. Memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia kecuali karena tugasnya.; w. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk

kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain; x. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5. Kode Etik Profesi Polri

Etika berasal dari bahasa yunani kuno Ethos, yang dalam bentuk

tunggal berarti adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari Ethos

adalah Ta etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah

etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukan filsafat

moral. Berdasarkan asal usul kata ini, maka etika berarti ilmu tentang apa yang

biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.38

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Etika dirumuskan dalam tiga arti,

yaitu:

39

1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau

masyarakat.

Bertens mengemukakan bahwa urutan ketiga arti tersebut kurang

tepat, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar dari

pada arti pertama, dan urutannya bisa dipertajam lagi. Dengan demikian,

menurutnya tiga arti etika dapat dirumuskan sebagai berikut:40

38 Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal. 4.

39 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1998.

40 Bertens., Op.cit., Hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

1. Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi

pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah

lakunya. Arti ini disebut juga sebagai sistem nilai dalam hidup manusia

perseorangan atau hidup bermasayarakat.

2. Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud

disini adalah kode etik, Misalnya Kode etik Kepolisian, Kode Etik

Advokat Indonesia.

3. Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika

disini sama dengan filsafat moral.

Menurut sumaryono, Etika mempunyai arti adat isitiadat dan kebiasaan

yang baik. Bertolak dari pengertian ini kemudian etika berkembang menjadi

studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan

waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan

pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang

kebenaran dan ketidak benaran manusia. Berdasarkan kodrat manusia yang

diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi,

etika dapat dibedakan menjadi etika perangai dan etika moral.41

Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata

yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap

anggota kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan

keneagaraan, selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Pencurahan perhatian yang sangat serius dilakukan

41 Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius, Yogyakarta, 1995, Hal. 12.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

dalam menyusun etika Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai

landasan etika Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata

memberikan identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam

rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.42

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia untuk pertama kali

ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol :

Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud

terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia

beserta pedoman pengamalannya. Dengan berlakunya Undang-undang

Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001

diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia dengan

Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk

Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia

dengan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/04/III/2001.

Perkembangan selanjutnya dengan Ketetapan MPR-RI Nomor.

VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI Nomor.

VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian

Negara Republik Indonesia, dan amanar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam

42 Ibid., hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

pasal 31 sampai dengan pasal 35, maka diperlukan perumusan kembali Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan

tugas kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang

mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa keadilan.43

Implementasi dari UU No. 2 Tahun 2002 tersebut adalah dikeluarkannya

Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri. Pengertian

Kode etik profesi Polri disebutkan secara jalas dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan

Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyebutkan

bahwa : “Kode etik profesi Polri adalah norma-norma atau aturan-aturan yang

merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku

maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak patut

dilakukan oleh anggota Polri.”

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi

dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada

pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika profesi kepolisian

terdiri dari :

a. Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan

pelayan masyarakat.

43 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

b. Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah

pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua

insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

c. Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral,

mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam

rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.44

Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

memuat norma perilaku dan moral lahir dari kesepakatan bersama serta dijadikan

pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan

rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik

Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang

membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua

tingkat organisasi yang selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa

pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia

memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama serta dijadikan

pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian

44 Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Negara Republik Indonesia sehingga menjadi pendorong semangat dan rambu-

rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi kepolisian guna

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik

Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang

membentuk Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia di semua

tingkat organisasi, selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa

pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik

Profesi Kepolisian Negara Indonesia.

6. Pengertian Pidana

Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan

unsur yang terpenting dalam hukum pidana. Sedangkan Perbuatan pidana adalah

suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana. Hukum pidana sendiri adalah

hukum yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-

kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman

yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.45

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit terdiri dari tiga kata yakni straf,

Dari definisi tersebut ditarik

suatu pengertian bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang

mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya mengatur tentang

pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum

yang mengenai kepentingan umum.

45 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1986, hal.257.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

baar, feit, yang mana straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, sedang

perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan kata feit

diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.46

Apabila diartikan, maka kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat

dan boleh, sedangkan kata feit memang untuk diterjemahkan dengan perbuatan

yang untuk mewujudkannya diperlukan/ diisyaratkan adanya suatu gerakan atau

perbuatan aktif tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal

362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP), sedangkan perbuatan pasif artinya

suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh

karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban

hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan

membiarkan (pasal 304 KUHP).

Tindak pidana atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Hal ini sebagaimana pendapat

Moeljatno yang menyatakan47

Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

:

J.E. Jonkers memberi rumusan tentang tindak pidana, bahwa tindak pidana

adalah “Perbuatan yang melanggar hukum (wedderechttelijk) yang berhubung

46 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 67.

47Ibid., hal. 71.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

dengan kesengajaan atau kesalahan yang dapat dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.”

Sedangkan menurut H.J. Van Schravendijk merumuskan tindak pidana

sebagai perbuatan yang boleh dihukum, maksudnya adalah “kelakuan orang yang

begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam

dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat

dipersalahkan.”

Kemudian menurut Simons merumuskan tindak pidana “sebagai suatu

tindakan melanggar hukum yang telah sengaja dilakukan oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat

dihukum.”48

Dari empat rumusan tersebut menunjukkan bahwa didalam membicarakan

perihal tindak pidana selalu diidentikkan bahwa didalamnya telah ada orang yang

melakukan dan oleh karenanya ada orang-orang yang dipidana, memandang

tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika

perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/ terjadi, baru melihat pada

orangnya, jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan

karenanya perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka

kepadanya dijatuhi pidana.

Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan

terhadap perbuatan pidana (dader) jika melakukan perbuatan kejahatan atau

pelanggaran atas delik. Menurut Smidt menyatakan sebagai berikut :

48 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Kejahatan adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht ataus sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.49

Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi

semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika

orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai

pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan

hukum.

Dalam buku Hukum Pidana edisi I karya Sudarto, disebutkan ada dua

golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan

dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan

tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan dualistis/

dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus

disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang

berbuat.50

Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah

51

1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.

:

2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

49 Moeljatno, Asas-asasHukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal.71. 50Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990,

hal 45. 51 Ibid., hal. 164.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

1) Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.

Penjelasan :

Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan

melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap

melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut

tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus

dilepas dari segala tuntutan (onslag van recht-vervolging). Menurut Vos,

perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak

diperbolehkan.52

Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat dalam KUHP

merumuskan delik tersebut secara tertulis dan tidak tertulis. Jika rumusan delik

tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana,

maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika

pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum

tersebut.

53

2) Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna

memenuhi suatu pertanggungjawaban perbuatan pidana. Yang menjadi dasar

adanya kemampuan bertanggung jawab menurut adalah54

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

:

52 Ibid., hal. 134. 53 Ibid., 54 Ibid.., hal. 165.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

b. Kemampuan untuk melakukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik

dan buruknya perbuatan tadi.

Sedangkan batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak

mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah :

“Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” (pasal 44

ayat (1) KUHP)

Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan

pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan

perbuatan pidana.

3). Mempunyai suatu bentuk kesalahan.

Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari

unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam

pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Orang

dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan

pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu kenapa

melakukan perbuatan yang merugikan masyarakan padahal mampu untuk

mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus

menghindari perbuatan yang sedemikian itu.

Sedangkan menurut Simons, kesalahan adalah : “Keadaan psikis yang

tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan

antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya sedemikian rupa,

hingga orang itu dapat tercela karena perbuatannya itu.”

Universitas Sumatera Utara

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan

mengandung dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu

kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa). Menurut Willems dan Werens, yang

dimaksud perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang

dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari

kesengajaan menurut teori ini terdiri dari tiga corak, yaitu 55

a. Kesengajaan sebagai maksud (Dolus Derictus)

:

b. Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan.

c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus Eventualis).

Menurut pendapat Simons mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi

kealpaan adalah diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi

menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat yaitu56

a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum.

:

b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana menurut hukum.

Sedangkan kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-

kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu57

a. Pembuat membuat lain daripada seharusnya ia berbuat menurut hukum

terrtulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum.

:

b. Selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berpikir, lengah.

c. Akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa ia dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berpikir,

dan lengah.

55 Ibid. 56 Ibid., hal. 170. 57 Schafmeister, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 112.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

4) Tidak adanya alasan pemaaf

Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana

dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf. Yang dimaksud alasan

pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapuskan kesalahan. Kalau

ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih

ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana (tidak dapat

dipertanggungjawabkan).58

Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan

tidak dipidananya seseorang adalah

Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf

yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan

yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan

hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada

kesalahan.

59

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak dalam

orang itu (inwendig), misalnya hilangnya akal, dll.

:

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar

orang itu (uitwendig), misalnya adanya kealpaan, dll.

Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada

ketentuan KUHP adalah sebagai berikut :

1. Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.

2. Pasal 48 mengenai daya memaksa

3. Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa

58 Moeljatno, Op.Cit., hal.137. 59 Ibid..

Universitas Sumatera Utara

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

4. Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan peritah jabatan yang tidak sah.

Jika memenuhi salah satu dari ketentuan tersebut diatas, maka perbuatan

yang dilakukan merupakan tindak pidana akan tetapi harus dibebaskan dari segala

tuntutan hukum atau tidak dimintai pertanggungjawaban pidana.

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode

pendekatan Yuridis Sosiologis yaitu penelitian dan pembahasan yang

didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu

Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2006 tanggal 1 Juli

Tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dikaitkan

dengan teori hukum serta dengan melihat realita di masyarakat mengenai

Proses Persidangan Pelanggar Kode Etik Profesi Terhadap Anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang melanggar ketentuan hukum Pidana

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini alasan memilih dan menentukan lokasi penelitian ini

merupakan yang sifatnya ilmiah, dalam hal ini penulis memilih lokasi

penelitian di KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR MEDAN yang beralamat

di Jalan HM Said Medan.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan diambil didalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang berhubungan

dengan permasalahan yang dikaji tentang implementasi kode etik Polri bagi

anggota Polri yang melanggar hukum pidana. Informan itu terdiri dari :

1. AKP. Benno P. Sidabutar

2. IPTU Tony Simanjuntak

3. IPTU Subeno, SH

b. Data Sekunder

Data kepustakaan yang mendukung data primer yang merupakan pedoman

dalam melanjutkan penelitian terhadap data primer yang ada dilapangan. Data

sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan melakukan pengumpulan

data dari berbagai sumber dan literatur selain itu juga dokumen yang berkaitan

dengan kode etik Polri.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Untuk data primer dilakukan dengan cara wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh

keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu60

60 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta , 2001 Hal 95

. Wawancara ini dilakukan

sebagai upaya mendapatkan data yang lebih lengkap dengan cara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan secara lisan yang berhubungan dengan permasalahan. Jenis

Universitas Sumatera Utara

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

wawncara yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan data adalah dengan cara

wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu

pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan masih dimungkinkan didalamnya

ada variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.

b. Untuk data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka

Studi pustaka adalah mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti

sebelumnya dimana ada hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan dan

informasi lain yang bersifat umum61

. Studi pustaka ini dilakukan dengan

mengumpulkan data melalui penelusuran bahan pustaka yang dipelajari dan

dikutip dari data sumber yang ada, berupa catatan literatur yang berhubungan

dengan kode etik Polri.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis

dengan memperlihatkan kualitas dari data yang diperoleh. Penulis melakukan

analisis dari semua data yang dianggap relevan diperoleh dilapangan, dan

kemudian data tersebut dipaparkan sesuai dengan realitasnya. Kemudian

berdasarkan data yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk membuat suatu

kesimpulan dan dapat memberikan suatu pemecahan dari masalah yang dikaji.

61 Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Hal 55

Universitas Sumatera Utara

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab ini diuraikan mengenai latar belakang pemilihan judul,

perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,

keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,

sistematika penulisan.

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang Tugas dan Fungsi

Polrestabes Medan serta Struktur Organisasi Polrestabes Medan

BAB II IMPLEMENTASI PERATURAN KODE ETIK POLRI

DALAM PENYELESAIAN PENYELEWENGAN KODE

ETIK POLRI PADA KEPOLISIAN RESOR KOTA BESAR

MEDAN

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang Tugas dan Fungsi

Polrestabes Medan serta Struktur Organisasi Polrestabes Medan.

Bab ini juga membahas mengenai Mekanisme Sidang Kode Etik

bagi Anggota Polri yang terjerat Tindak Pidana, Kendala yang

dihadapi Polrestabes Medan dalam menerapkan kode etik profesi

Polri terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana,dan

bahasan terakhir mengenai Upaya Polrestabes Medan untuk

mengatasi kendala kode etik profesi Polri terhadap anggota Polri

yang melakukan tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26332/4/Chapter I.pdf · mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, ... seperti kasus narkoba,

BAB III UPAYA POLRI DALAM PENINGKATAN

PROFESIONALISME DAN CITRA POLRI DALAM HAL

PENEGAKAN KODE ETIK POLRI

Dalam Bab ini diuraikan tentang Strategi Pembinaan Kode Etik

pada setiap Anggota Polri sebagai upaya Polrestabes Medan

menciptakan Profesionalisme POLRI, Implementasi pengetahuan

Anggota Polri mengenai kode etik Polri, Jenis Pelanggaran Pidana

yang dilakukan anggota Polri

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran yang memuat uraian tentang kesimpulan dan

saran berdasarkan pembahasan dari permasalahan yang ada dan

alternatif pemecahan masalah.

Universitas Sumatera Utara