bab i pendahuluan a. latar belakang...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk mengoptimalkan terapi pengobatan pasien, tanpa mempertimbangkan darimana sumber pengobatan tersebut apakah obat berdasarkan resep dokter, obat tanpa resep, obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk mendapatkan luaran terapi pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling kepada pasien untuk mempersiapkan dan memotivasi pasien untuk mengikuti rejimen terapetik serta memonitoring keberhasilan terapi (American Society of Health-System Pharmacist [ASHP], 1997). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan pentingnya peran farmasis dalam edukasi dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam pemberian edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan efek positif pada kadar A1C, kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National Diabetes education Program [NDEP], 2011). Intervensi oleh farmasis melalui pemberian booklet, wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersama- sama dapat memberikan efek positif luaran terapi pada pasien DM tipe 2

Upload: truonglien

Post on 05-Jul-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Farmasis sebagai praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk

mengoptimalkan terapi pengobatan pasien, tanpa mempertimbangkan darimana

sumber pengobatan tersebut apakah obat berdasarkan resep dokter, obat tanpa

resep, obat alternatif lain atau obat tradisional, untuk mendapatkan luaran terapi

pasien yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Hal ini dapat

terlaksana bila ada kerjasama yang baik antara farmasis dengan pasien dan juga

tenaga kesehatan yang lain (Cipolle et al., 2004). Salah satu kontribusi farmasis

dalam pharmaceutical care adalah melalui pemberian edukasi dan konseling

kepada pasien untuk mempersiapkan dan memotivasi pasien untuk mengikuti

rejimen terapetik serta memonitoring keberhasilan terapi (American Society of

Health-System Pharmacist [ASHP], 1997).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan pentingnya peran

farmasis dalam edukasi dan konseling kepada pasien-pasien dengan penyakit

kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Keterlibatan farmasis dalam

pemberian edukasi dan konseling terbukti dapat memberikan efek positif pada

kadar A1C, kolesterol dan tekanan darah pada pasien DM tipe 2 (National

Diabetes education Program [NDEP], 2011). Intervensi oleh farmasis melalui

pemberian booklet, wadah obat yang khusus dan juga konseling secara bersama-

sama dapat memberikan efek positif luaran terapi pada pasien DM tipe 2

2

(Suppapitiporn et al., 2005). Pemberian program pharmaceutical care selama 12

bulan pada pasien DM tipe 2 juga diketahui dapat menurunkan kadar gula dan

tekanan darah dengan lebih baik (Clifford et al., 2005).

Diabetes Melitus (DM) tipe 2 adalah penyakit kronis yang membutuhkan

pelayanan medis berkelanjutan dan pemberian edukasi dan dukungan bagi pasien

untuk dapat melakukan manajemen diri, mencegah komplikasi akut dan

mengurangi resiko komplikasi jangka panjang (American Diabetic Association

[ADA], 2011). Kegagalan terapi DM disebabkan oleh kurangnya kemampuan

pasien dalam melakukan manajemen diri (self management) termasuk

ketidakpatuhan penggunaan obat (World Health Organization [WHO], 2003).

Menurut Visser dan Snoek (2004), pemberian edukasi sangat penting untuk

meningkatkan kemampuan pasien DM dalam melakukan manajemen diri (self

management).

Beberapa tujuan konseling adalah meningkatkan kesadaran (Kreitler et al.,

2004) dan adherence (kepatuhan) pasien (Kreps et al., 2011). Pengetahuan pasien

merupakan awal untuk meraih tujuan tersebut (Blom dan Krass, 2011). Pasien

yang kurang pengetahuan tentang penyakit dan pengobatan mereka cenderung

kurang patuh terhadap rejimen terapi (Rapoff, 2010). Anggraini (2012) dalam

penelitiannya di Bantul menggambarkan rendahnya kepatuhan pasien DM tipe 2

terhadap penggunaan obat karena pengetahuan pasien yang juga rendah. Masih

pada pasien DM tipe 2, diketahui bahwa pemberian konseling berdampak pada

pengetahuan pasien yang memberikan outcome berupa berkurangnya stres akibat

diabetes dan kontrol kadar glikemik pasien mendekati angka yang diharapkan

3

(Karlsen et al., 2004), serta meningkatnya kualitas hidup dan kebugaran pasien

(Tankova et al., 2004 ; Sarkadi dan Rosenqvist, 2004 ; Karlsen et al., 2004).

Selain itu, penelitian oleh Ramadona (2011) tentang pengaruh konseling yang

diberikan di poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil, Padang telah diketahui dapat

meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien yang akan berpengaruh terhadap

kepatuhannya menggunakan obat antidiabetik (Ramadona, 2011).

Pemberian edukasi dan konseling kepada pasien tidak hanya dapat

dilaksanakan pada saat penyerahan obat kepada pasien, tetapi dapat juga diberikan

sebagai bentuk pelayanan yang terpisah (ASHP, 1997), seperti misalnya melalui

pelayanan kefarmasian di rumah (home care pharmacy) (ASHP, 1999).

Pemberian edukasi dan konseling yang efektif harus mempertimbangkan

lingkungan tempat dilakukannya konseling. Lingkungan tersebut harus kondusif,

aman, mampu menjaga kerahasiaan untuk dapat membuat pasien menerima

dengan baik dan lebih terlibat dalam proses pembelajaran (ASHP, 1997). Salah

satu lingkungan yang kondusif dalam pemberian konseling adalah di rumah.

Dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah yang dikeluarkan oleh

Departemen Kesehatan RI tahun 2008, disebutkan bahwa salah satu peran

farmasis dalam manajemen penyakit kronis adalah memberikan pelayanan farmasi

di rumah untuk melakukan konseling maupun monitoring penggunaan obat

kepada pasien dan keluarga pasien (Depkes RI, 2008).

Dari latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai

perubahan yang terjadi dengan pemberian konseling yang diberikan oleh farmasis

4

di rumah pasien terhadap tingkat pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe 2

akan penyakit yang dideritanya dan dalam menggunakan obat antidiabetes oral.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien penderita

DM tipe 2 setelah diberikan konseling terhadap penyakit yang diderita serta

pengobatan yang diterima?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perubahan pengetahuan dan kepatuhan pasien DM tipe

2 melalui pemberian konseling di rumah.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi rumah sakit: dapat memberikan saran melalui data yang diperoleh

untuk pemberian intervensi konseling yang lebih tepat kepada pasien

menderita DM tipe 2 sehingga meningkatkan pengetahuan pasien akan

penyakit yang diderita, serta terapi yang diperoleh.

2. Bagi peneliti (farmasis): hasil penelitian ini mengeksplorasi

permasalahan-permasalahan di masyarakat yang berkaitan dengan

pemberian konseling terutama untuk penyakit-penyakit kronis

sehingga farmasis dapat menyiapkan solusi baru untuk meningkatkan

pengetahuan dan kepatuhan pasien.

5

3. Bagi pasien dan masyarakat: penelitian ini sekaligus juga memberikan

informasi mengenai penyakit DM tipe 2, terapi farmakologi dan non-

farmakologi yang benar dan terpercaya serta dapat meningkatkan

kepatuhan pasien, dan secara luas dapat meningkatkan derajat

kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus (DM) adalah kondisi dimana tingkat hiperglikemia

meningkatkan resiko kerusakan mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan

neuropati) (WHO, 2006a). Guyton dan Hall dalam Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran (2008) mendefinisi diabetes melitus sebagai sindrom dengan

terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh

berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin.

Klasifikasi diabetes meliputi 4 kelas (ADA, 2011) :

a. Diabetes melitus tipe 1 (terjadi akibat kerusakan sel β dan mengarah kepada

defisiensi insulin)

b. Diabetes melitus tipe 2 (terjadi akibat defek progresif pada sekresi insulin

sehingga terjadi resistensi insulin).

c. Diabetes melitus tipe spesifik lainnya, misalnya defek genetik pada fungsi sel

β, aksi insulin, penyakit pada eksokrin pankreas (misalnya cystic fibrosis), dan

akibat obat atau induksi kimiawi (misalnya pada pengobatan HIV/AIDS atau

setelah transplantasi organ)

6

d. Diabetes Melitus kehamilan (diabetes yang didiagnosa selama kehamilan dan

bukan karena diabetes sebelumnya)

Diabetes melitus kini menjadi ancaman yang serius bagi manusia. WHO

memperkirakan bahwa terdapat 171 juta orang di seluruh dunia menderita

diabetes pada tahun 2000 dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 366 juta

pada tahun 2030. Di Indonesia sendiri, prevalensi diabetes mencapai 8.426.000

pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat hingga 21.257.000 pada tahun

2030 (WHO, 2006a). Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, jumlah pasien

diabetes melitus rawat inap dan rawat jalan menduduki peringkat pertama

penyakit endokrin (Maulana, 2009).

Diabetes sering kali tidak terdiagnosis karena banyak gejala yang tidak

tampak begitu berbahaya. Beberapa tanda dan gejala klasik penyakit diabetes

adalah sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), penurunan berat

badan yang tidak biasa (Dipiro et al., 2009 ; McPhee dan Papadakis, 2011). Pada

tahun 2010, American Diabetes Association (ADA) mengadopsi kriteria dari

International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study

of Diabetes (EASD) untuk menggunakan tes A1C untuk mendiagnosis diabetes,

dengan batas 6,5%. Diagnosis juga dapat dilakukan dengan (ADA, 2011) :

a. Glukosa darah puasa ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l). Puasa artinya tidak ada asupan

kalori selama minimal 8 jam, atau

b. Glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) selama tes

toleransi glukosa oral sesuai panduan dari WHO, atau

7

c. Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/l) pada pasien dengan

gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia.

Beberapa faktor resiko untuk diabetes mellitus adalah sebagai berikut:

Tabel I. Faktor-faktor resiko penyakit DM (Depkes RI, 2005)

Riwayat Diabetes dalam keluarga

Diabetes gestasional

Melahirkan bayi dengan berat badan> 4kg

Kista ovarium

Impaired fasting glukosa (IFG)

Impaired Glucosa Tolerance (IGT)

Obesitas >120 % berat badan total

Umur 20-59 : 8,7 %

>65 tahun :18 %

Hipertensi >140/90 mmHg

Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35 mg/dl

Kadar Lipid darah tinggi >250 mg/dl

Faktor-faktor lain Kurang olah raga

Pola makan rendah serat

Beberapa faktor yang dapat memberikan kontribusi terhadap

perkembangan DM yaitu: a) faktor genetik, yang muncul pada individu dengan

riwayat DM dalam keluarga dan kemungkinan untuk terjadinya DM pada individu

ini adalah 15%; b) berkurangnya fungsi sel beta pankreas yang merupakan

penyebab terjadinya abnormalitas sekresi insulin yang berakibat pada defisensi

insulin; c) defek pada situs periferal yang menyebabkan resistensi insulin akibat

terjadinya insensitivitas jaringan terhadap aktivitas biologis insulin (Shargel,

2001).

8

Luaran yang diinginkan dalam pengobatan diabetes mellitus adalah

mengurangi risiko-risiko penyakit akibat komplikasi makrovaskular dan

mikrovaskular, mengurangi gejala, mengurangi mortalitas, meningkatkan kualitas

hidup pasien (ADA, 2007). Sedangkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk

mencapai luaran yang diinginkan tersebut adalah dengan mengubah gaya hidup /

diet (pengendalian berat badan dan aktifitas fisik) dan menggunakan obat-obatan

antidiabetik maupun insulin (Guyton dan Hall, 2008 ; ADA, 2011). Jika tidak

ditangani dengan baik, komplikasi akibat diabetes dapat terjadi, yaitu komplikasi

mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati terutama pada saraf sensoris seperti

akibat lesi pada kaki, saraf autonom seperti disfungsi seksual dan gastroparesis),

komplikasi makrovaskular (CHD, cerebrovaskular disease, PAD), komplikasi

lainnya (permasalahan psikososial, penyakit gigi) (ADA, 2011).

Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat

jalan perkembangan komplikasi adalah dengan pengendalian kadar gula darah

yang ketat (Depkes RI, 2005). Diabetes melitus dikatakan terkendali baik apabila

kadar glukosa, kadar lipid, dan HbA1c mencapai kadar yang diharapkan,

demikian pula status gizi dan tekanan darah (PERKENI, 2006).

Penatalaksanaan Diabetes Melitus dengan terapi obat juga dapat

menimbulkan masalah terkait obat (drug related problems) yang dialami oleh

penderita. Masalah terkait obat merupakan keadaan terjadinya ketidaksesuaian

dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian obat (Depkes RI, 2005).

Menghadapi tantangan ini, farmasis dapat memainkan penting dalam membantu

pasien mengikuti terapi. Untuk melakukan hal ini secara efektif, farmasis harus

9

mengerti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan

ketidakpatuhan pasien terhadap terapi obat antidiabetes.

Mencermati hal-hal tersebut, maka salah satu upaya penting untuk

meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi adalah konseling dan pemberian

informasi yang lengkap dan akurat tentang terapi tersebut. Di dalam hal ini,

farmasis berada di posisi kunci untuk memberi penjelasan umum maupun khusus

tentang terapi yang dijalani pasien, baik farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi

(Depkes RI, 2005).

2. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2

Tujuan utama secara umum pengobatan pada DM tipe 2 adalah

menurunkan morbiditas dan mortalitas DM. Sedangkan tujuan khususnya adalah

menjaga agar kadar gula darah pada tingkat normal atau mendekati normal,

mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

Tatalaksana terapi paling awal pada penderita DM tipe 2 atau prediabetes adalah

dengan perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat, yang meliputi perubahan pola

makan sesuai status gizi yang ditentukan, menyesuaikan aktivitas fisik dengan

kalori yang masuk, menghindari stress, dan mempertahankan bobot ideal.

Penggunaan obat antidiabetes dipilih apabila dengan cara pengubahan gaya hidup

tidak dapat lagi efektif menurunkan gula darah secara signifikan. Penggunaannya

bisa dengan terapi obat antidiabetes oral (ADO) tunggal atau kombinasi, terapi

insulin atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005).

10

Tabel II. Daftar obat Antidiabetika Oral (ADO) dan penjelasannya (Katzung, et al., 2009)

11

Obat-obatan oral yang tersedia untuk mengobati DM tipe 2 adalah :

a. Metformin (Biguanide)

Metformin merupakan agen hemat insulin, tidak meningkatkan

berat badan atau menyebabkan hipoglikemia, karena itu metformin

menawarkan keuntungan yang melebihi insulin ataupun sulfonilurea pada

pasien tersebut (Katzung, 2009).

Metformin biasanya diberikan 2-3 kali sehari 500 mg. Dosis dapat

ditambahkan jika perlu dengan maksimal dosis 2500 mg per hari

(PERKENI, 2006).

Efek samping yang umum dari metformin adalah kehilangan nafsu

makan, mual atau muntah, kembung perut, atau sakit, gas dan diare. Efek

samping yang jarang namun serius adalah asidosis laktat. Gejalanya

termasuk kelelahan, kelemahan, nyeri otot, pusing dan mengantuk

(Departemen Kesehatan RI, 2005).

Kontraindikasi metformin adalah pasien yang memiliki penyakit

ginjal, hati, infeksi atau trauma berat, dehidrasi dan mereka yang minum

alkohol berlebihan (Sukandar et al., 2008). Selain itu, metformin juga

tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung kongestif dan

wanita hamil (Departemen Kesehatan RI, 2005).

b. Sulfonilurea

Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar

pancreas. Sulfonilurea umumnya digunakan jika metformin tidak cukup

12

mengontrol kadar gula darah bila dikonsumsi sendirian. Sulfunilurea

diminum 15-30 menit sebelum makan (PERKENI, 2006).

Efek samping sulfonilurea adalah dapat menyebabkan gula darah

rendah, yang dikenal sebagai hipoglikemia (PERKENI, 2006). Namun, hal

ini merupakan masalah biasa dan tidak mungkin terjadi jika makan secara

teratur, tidak lewatkan makan, dan tidak minum alkohol terlalu banyak.

Gejala gula darah rendah dapat berupa berkeringat, goncangan, merasa

lapar dan cemas.

Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien yang memiliki gangguan

hati atau fungsi ginjal, wanita hamil, pada pasien usia lanjut karena resiko

hipoglikemik akan meningkat, porfiria, ketoasidosis (Sukandar et al.,

2008).

c. Thiazolidinedion

Dua macam obat dari golongan Thiazolidinedion adalah

rosiglitazone dan pioglitazone (Katzung, 2009). Pioglitazon adalah

alternatif untuk sulfonilurea. Pioglitazone bekerja menurunkan kadar gula

darah dengan cara meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin

dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated

receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan

resistensi insulin (Departemen Kesehatan RI, 2005). Biasanya obat ini

dalam bentuk kombinasi dengan obat lain seperti metformin, sulfonilurea,

atau insulin dan lebih efektif dalam bentuk kombinasi. Obat ini tidak

tergantung dengan jadwal makan (PERKENI, 2006).

13

d. Meglitinide

Repaglinide merupakan salah satu contoh dari golongan

meglitinde. Repaglinida adalah pilihan bagi orang yang tidak dapat

menggunakan sulfonilurea atau lebih memilih untuk menghindari

suntikan. Meglitinide bekerja untuk menurunkan kadar gula darah, mirip

dengan sulfonilurea.

Meglitinide mempunyai efek puncak dan kadar puncak dalam

serum darah dalam waktu 1 jam. Karena masa kerjanya sangat cepat, obat

ini cocok untuk mengendalikan glukosa post-prandial. (Katzung, 2009)

e. Penghambat α-glukosidase

Penghambat α-glukosidase meliputi akarbose dan miglitol, bekerja

dengan mengganggu penyerapan karbohidrat dalam usus. Penghambat α-

glukosidase membantu menurunkan kadar gula darah, tapi mekanisme

aksinya tidak seperti metformin atau sulfonilurea. Efek samping yang

tidak diinginkan dari penggunaan obat ini adalah flatulensi, diare, dan

nyeri abdominal. Pada penggunaan monoterapi tidak terdapat masalah

yang berarti, namun saat dikombinasikan dengan sulfonilurea, dapat

terjadi hipoglikemia. Golongan ini dikontraindikasikan pada pasien

dengan penyakit usus besar kronis atau peradangan usus besar.

Penggunaan akarbose pada penderita penyakit hati perlu diawasi (Katzung,

2009).

14

f. DPP IV Inhibitor

Ada pula langkah dalam pencegahan komplikasi DM, yaitu dengan cara

yang disebut self care. Self care meliputi pemeriksaan kesehatan secara rutin

(general check-up), menghindari rokok, perawatan gigi (penderita DM rentan

infeksi gusi), kesehatan kaki (DM dapat menyerang saraf), pengawasan konsumsi

alkohol (dapat menurunkan kadar gula namun penggunaannya harus dibatasi),

serta menghindari pemicu stress (Anonim, 2011).

3. Pengetahuan dan Pemahaman Masyarakat serta Keterkaitannya Dengan

Kepatuhan Pasien Terhadap Penggunaan Obat

Peran farmasis adalah memastikan pasien mendapat pemahaman,

pengetahuan, dan ketrampilan yang cukup dalam aturan pakai farmakoterapi dan

rencana monitoring (ASHP, 1997). Sering kali aspek-aspek tersebut

(concordance) diidentikkan dengan compliance / kesesuaian (adherence /

kepatuhan) (Hussar, 2000 ; Palaian et al., 2006).

Penyebab dari ketidakpatuhan pasien mungkin disebabkan oleh

pengetahuan pengobatan dan ketrampilan pasien yang tidak memadai. Idealnya,

pasien harus memiliki pemahaman yang baik tentang mengapa pengobatan

mereka sangat penting dan bagaimana menggunakan obat (pengetahuan), serta

kemampuan untuk menggunakan obat (ketrampilan). Minimal pasien harus tahu

tentang dosis, frekuensi dan dasar pemikiran untuk tepat menggunakan obat dan

memiliki kemampuan untuk membaca label obat, membuka botol obat dan

15

membedakan atribut fisik obat mereka seperti warna dan bentuk (Nikolaus et al.,

1996).

Pada penderita penyakit kronis, pemahaman, pengetahuan, dan

ketrampilan dapat meningkatkan kesadaran (kognisi) mengenai penanganan

penyakit (self disease management) sehingga secara tidak langsung menyangkut

peningkatan dari kualitas hidup dari pasien itu sendiri (Lewis et al., 1997 ;

Malathy et al., 2011). Contohnya penyakit diabetes melitus yang telah banyak

studi menyebutkan, tingkat pengetahuan mempengaruhi kontrol penyakit diabetes

(Asha et al., 2004). Beberapa penelitian lain menyebutkan, pada pasien yang telah

diberi edukasi (pengetahuan) memperlihatkan kontrol glikemik yang lebih baik.

Hal tersebut berasosiasi dengan berkurangnya simptom, mood yang lebih baik,

dan kebugaran tubuh, yang pada akhirnya berdampak pada quality of life dan

keuntungan ekonomi bagi pasien (Ferdinad et al., 1996 ; Testa et al., 1998).

4. Kepatuhan Dalam Pengobatan

Kepatuhan (adherence) adalah kepatuhan yang memerlukan persetujuan

pasien yang kemudian menjadi aturan yang telah disepakati antara penyedia

layanan kesehatan dengan pasien, yang didasarkan pada argumen bahwa pasien

harus menjadi mitra aktif dengan tenaga kesehatan yang profesional dalam

perawatan diri mereka sendiri dan terjadi komunikasi yang baik antara pasien dan

tenaga kesehatan adalah suatu keharusan untuk praktek klinis yang efektif.

Sedangkan kesesuaian (compliance) lebih kepada kepatuhan terhadap hal yang

telah disampaikan penyedia layanan kesehatan secara sepihak tanpa persetujuan

16

pasien (WHO, 2003). Namun ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa

adherence dan compliance adalah kata lain dengan makna yang sama (McDonald

et al., 2002).

Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat kepatuhan dalam

pengobatan menurut Rapoff (2010) antara lain:

a. Faktor pasien atau keluarganya, meliputi demografi (seperti umur dan

jenis kelamin), sosial ekonomi, ras (misalnya beberapa kaum minoritas

biasanya memiliki kepatuhan yang rendah), dan pengetahuan. Dalam

pedoman konseling Departemen Kesehatan RI (2006), kepribadian,

motivasi diri, dukungan keluarga, dan komunikasi juga bisa

mempengaruhi.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit, seperti lamanya

menderita penyakit (perbedaan kepatuhan pada penyakit akut dan kronis),

lamanya terapi berlangsung / course therapy (kepatuhan menurun seiring

durasi terapi yang bertambah), gejala atau keparahan penyakit (tingkat

keparahan penyakit yang lebih tinggi cenderung akan lebih patuh terhadap

pengobatan yang diberikan), persepsi pasien tentang tingkat keparahan

penyakit. Faktor yang berhubungan dengan obat, seperti bentuk sediaan

dan kompleksitas penggunaannya, harga, efek samping, efikasi

pengobatan.

Sedangkan dari hasil publikasi McDonald et al. (2002) dapat ditambahkan

faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan dapat ditambahkan beberapa hal,

seperti:

17

a. Faktor fisik dan psikologis. Pasien dengan permasalahan psikiatrik akan

lebih rendah kepatuhannya namun pasien dengan kekurangan fisik yang

terjadi akibat penyakit biasanya akan lebih tinggi kepatuhannya.

b. Faktor penyedia layanan kesehatan. Pasien cenderung melewatkan

appointment dan berhenti dari pengobatan jika terlalu lama menunggu di

penyedia layanan kesehatan atau jarak antar appointment satu dengan

lainnya terlalu jauh. Pemberian informasi yang tepat dan komunikasi yang

baik dari penyedia layanan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan

(Depkes RI, 2006).

Ketidakpatuhan akan berdampak pada kesehatan pasien secara umum,

menurunkan cost effectiveness / efektivitas biaya, serta meningkatkan tingkat

kesulitan dalam pengambilan keputusan klinis (clinical decision) karena

membiaskan penilaian efektivitas pengobatan (Rapoff, 2010). Pada penyakit

kronis, ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengarah pada hasil yang lebih

buruk, tingkat hospitalisasi yang lebih tinggi, dan biaya pengobatan yang lebih

tinggi (Kripalani, 2007).

Sackett mereview dari beberapa literatur bahwa tingkat kepatuhan pasien

dengan terapi jangka panjang hanya 50%. Dari kegagalan ini terlihat bahwa

ketidakpatuhan menjadi salah satu tantangan terapi terbesar bagi para profesional

kesehatan (Suppapitiporn et al., 2005).

Intervensi dibutuhkan untuk meningkatkan edukasi pasien, meningkatkan

perilaku dan kemampuan self-treatment, memfasilitasi indentifikasi dan

pemakaian obat sendiri oleh pasien, dan meningkatkan monitoring penggunaan

18

obatnya. Sebagai tambahan atas intervensi berbasis pasien, peningkatan hal lain

dapat juga memfasilitasi proses pengobatan seperti pendokumentasian kepatuhan

pengobatan pasien dan memperbaiki komunikasi antara pemberi layanan

kesehatan dengan pasien terkait dengan kepatuhan pengobatan. Intervensi yangb

efektif dapat berupa kombinasi pelayanan yang lebih memuaskan, pemberian

informasi, pengingatan kembali, self-monitoring, penguatan kembali tentang

terapi, konseling, terapi keluarga, terapi psikologi, intervensi krisis, follow up

manual dengan telepon, dan pelayanan pendukung (supportive care) (Carey dan

Cryan, 2003).

5. Pelayanan Kefarmasian Di Rumah (Home Care Pharmacy)

Pelayanan kefarmasian di rumah oleh farmasis adalah pendampingan

pasien oleh farmasis dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan

pasien atau keluarganya (Depkes RI, 2008). Pelayanan kefarmasian di rumah

merupakan suatu pelayanan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya

untuk kelompok pasien lanjut usia dan pasien yang menggunakan obat dalam

jangka waktu lama seperti penggunaan obat-obat kardiovaskular, diabetes,

tuberkulosis, asma dan penyakit kronis lainnya, dengan harapan dapat

meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat

(Depkes RI, 2008).

Secara khusus, tujuan dari dilakukannya pelayanan kefarmasian di rumah

oleh farmasis adalah terlaksananya pendampingan pasien oleh farmasis untuk

mendukung efektifitas, keamanan dan kesinambungan pengobatan, terwujudnya

19

komitmen, keterlibatan dan kemandirian pasien dan keluarga dalam penggunaan

obat dan atau alat kesehatan yang tepat, terwujudnya kerjasama profesi kesehatan,

pasien dan keluarga (Depkes RI, 2008). Salah satu tujuan pelayanan kefarmasian

di rumah adalah untuk memastikan keamanan, ketepatan dan efektivitas

penggunaan obat di rumah dan juga memberikan edukasi kepada keluarga pasien

yang seringkali tidak punya pengalaman dalam menggunakan obat sehingga dapat

memberikan dukungan kepada pasien untuk dapat menggunakan obat dengan

tepat (ASHP, 1999).

Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah tidak dapat diberikan pada

semua pasien, mengingat waktu pelayanan yang cukup lama dan

berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan seleksi pasien dengan menentukan

prioritas pasien yang dianggap perlu mendapatkan pelayanan kefarmasian di

rumah. Pasien yang perlu mendapat pelayanan kefarmasian di rumah antara lain :

a. Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus

tentang penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping obat,

b. Pasien dengan terapi jangka panjang misalnya pasien tuberkulosis, HIV/AIDS,

diabetes melitus, dan lain-lain,

c. Pasien dengan risiko adalah pasien dengan usia 65 tahun atau lebih dengan

regimen pengobatan yang kompleks (Depkes RI, 2008).

Edukasi dan konseling akan berlangsung efektif saat dilakukan dalam

ruangan tertutup yang memberikan privasi dan kesempatan bagi pasien dan

farmasis untuk terlibat dalam komunikasi yang bersifat rahasia (ASHP, 1997).

20

Konseling dalam pelayanan kefarmasian di rumah akan mendukung tercapainya

hal tersebut.

6. Konseling Sebagai Sarana Perbaikan Kesehatan Masyarakat

Konseling dari asal katanya didefinisikan sebagai memberi nasihat tetapi

juga melibatkan diskusi yang saling menguntungkan dan adanya pertukaran opini

antara pemberi dan penerima konseling (Rantucci, 2007). Konseling pasien oleh

farmasis merupakan konseling yang melibatkan faktor psikologis sebagai aktivitas

untuk memberikan edukasi kepada pasien sesuai dengan situasi dan kebutuhan

pasien dengan tujuan akhir terjadinya perubahan progresif pasien yang

mempengaruhi pengetahuannya, sikap dan perilaku (Rantucci, 2007).

Konseling secara garis besar memiliki tahap-tahap sebagai berikut :

a. Pembukaan

Farmasis melakukan perkenalan, menanyakan identitas pasien, serta

menanyakan kesediaan dalam partisipasi dan waktu untuk melakukan

konseling.

b. Diskusi

Diskusi dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan identifikasi

masalah. Farmasis dituntut untuk memancing pasien agar menceritakan

penyakit atau keluhannya, bagaimana cara pasien mengatasinya, serta

kondisi mental dan fisikal pasien.

21

c. Pemberian informasi obat

Informasi obat meliputi tujuan pengobatan, dosis dan efektivitas obat, cara

penggunaan, frekuensi dan durasi penggunaan, efek samping, interaksi,

serta cara penyimpanan obat.

d. Verifikasi Akhir dan menutup diskusi

Farmasis memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh.

Farmasis juga menanyakan apakah ada hal-hal yang tidak dimengerti,

mengulang pernyataan-pernyataan penting selama konseling dan

mempertegasnya. Kemudian ditutup dengan salam, ucapan yang

memotivasi pasien dan terima kasih.

e. Follow up, dokumentasi, dan evaluasi

Dilakukan untuk mengukur kemampuan atau efektivitas pelayanan dan

mencari upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan.

(Depkes RI, 2006 dan ASHP. 1997)

Evaluasi terhadap pelayanan klinis farmasis menunjukkan bahwa

konseling terhadap pasien dan dokter dapat memperbaiki luaran yang berupa

kepatuhan pengobatan dan pengetahuan pasien mengenai obatnya (Morrison dan

Wertheimer, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Bouvy et al., (2003),

menunjukkan bahwa program konseling intensif yang dilakukan oleh farmasis

selama 3 bulan meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien gagal jantung dari

61% hingga 93%. Review pengobatan oleh farmasis, konseling pasien, dan tindak

lanjut melalui telepon juga dihubungkan dengan tingkat Adverse Drug Events

22

yang lebih rendah setelah 30 hari sejak pengobatan rawat inap dihentikan

(Schnipper et al., 2006). Rekomendasi farmasis tidak hanya memperbaiki kualitas

hidup pasien namun juga menghemat biaya pengobatan. Farmasis dapat

meningkatkan luaran terapi obat dengan memastikan efikasi, meminimalkan

toksisitas, dan meningkatkan kepatuhan pasien (Oh et al., 2002).

7. Teori Perubahan Perilaku Pasien The Precaution Adoption Process Model

(PAPM)

Komponen utama dalam konseling kepada pasien adalah pertimbangan

psikologi pasien, sehingga keberhasilan dalam mempengaruhi pasien untuk

sampai kepada perubahan perilaku harus memperhatikan teori-teori perilaku

kesehatan pasien (health behavior) terutama teori yang berkaitan dengan

perubahan perilaku (Rantucci, 2007). Salah satu teori perubahan perilaku adalah

teori The Precaution Adoption Process Model (PAPM) yang dikembangkan oleh

Weinstein dan Sandman tahun 1992 (Glanz et al., 2008). Teori PAPM

menjelaskan bagaimana seseorang sampai pada keputusan untuk melakukan aksi

tertentu dan bagaimana orang tersebut mentranslasikan keputusannya menjadi

aksi. Ada 7 langkah perubahan yang dijelaskan dalam teori ini, seperti terlihat

pada gambar 2.

23

8.

9.

10.

Gambar 2. Tahap-tahap yang terjadi dalam Precaution Adoption Process Model (Glanz et al.,

2008)

Dalam proses transisi antar tahap dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang

diterima oleh pasien. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti terlihat pada tabel

III (Glanz et al., 2008).

Tabel III. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses tansisi individu ke tahapan proses

berikutnya dalam model PAPM (Glanz et al., 2008)

Transisi tahap Faktor yang mempengaruhi

Tahap 1 ke tahap 2 Informasi dari media atau informasi lain yang diterima

Tahap 2 ke tahap 3 Informasi dari media atau informasi lain

Komunikasi dengan orang yang dipercaya

Pengalaman pribadi

Tahap 3 ke tahap 4 / 5 Kepercayaan terhadap keparahan

Kepercayaan terhadap kerentanan dirinya

Rekomendasi perubahan perilaku oleh orang lain

Takut dan khawatir

Tahap 5 ke tahap 6 Waktu, usaha dan sumber-sumber yang diperlukan untuk melakukan

tindakan

Informasi detail tentang bagaimana melakukan suatu tindakan

Pengingatan dan faktor lain yang mengingatkan untuk melakukan

tindakan

Bantuan dalam melakukan tindakan yang diharapkan

Tahap 4. Memutuskan untuk tidak melakukan tindakan

Tahap 3. Belum memutuskan

untuk melakukan tindakan

Tahap 1. Tidak peduli terhadap suatu isu/masalah

Tahap 2. Belum

tergerak oleh isu/masalah

Tahap 5. Memutuskan

untuk melakukan tindakan

Tahap 6. Melakukan

tindakan

Tahap 7. Melakukan

tindakan dengan ajeg

24

Konseling yang dilakukan oleh farmasis diharapkan dapat mendeteksi

permasalahan pasien dan kesiapan pasien dalam melakukan perubahan untuk

mencapai hasil yang diharapkan. Konseling yang dilakukan harus disesuaikan

dengan kebutuhan individu masing-masing pasien untuk berproses menuju tahap

berikutnya dengan tujuan akhir sampai pada tahap perubahan perilaku yang

kokoh.

G. Keterangan Empiris

Dari teori perubahan perilaku PAPM tersebut, maka keterangan empiris

yang diharapkan dari penelitian ini adalah peningkatan pengetahuan

(concordance) dan kepatuhan melalui pemberian konseling. Dengan peningkatan

pengetahuan ini diharapkan pasien dapat berproses menuju ke tahap berikutnya

sesuai dengan proses dalam PAPM sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah

kepatuhan pasien dalam menggunakan obat antidiabetes oral.