bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i.pdf · 1 juniarso ridwan dan achmad...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi perekonomian yang semakin pesat perlu diwaspadai terutama
yang berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang.1 Hal ini dimaksudkan
agar dalam pembangunan suatu kota dapat tercipta tata kota yang nyaman. Selain
itu penggunaan dan pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara teratur sehingga
tidak menimbulkan tumpang tindih dalam pembangunannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(disingkat UU No.26/2007), pada ketentuan umum angka 1, ruang adalah “wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya”.
Kegiatan masyarakat tidak hanya dapat terjadi di dalam ruangan atau suatu
bangunan, namun terjadi juga di luar bangunan seperti di taman, pantai bahkan
jalan. Dalam melakukan kegiatannya, masyarakat juga menggunakan kendaraan
bermotor dan tidak sedikit pula yang memilih untuk berjalan kaki ketika berada di
ruang jalan ketimbang menggunakan kendaraan. Terkait kegiatan yang dilakukan
di jalan, masyarakat tentu membutuhkan ruang jalan yang luas dan lancar guna
menunjang kegiatannya sehingga hal ini tentu berkaitan dengan lalu lintas.
1 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang Dalam Konsep Kebijakan
Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, h.21.
2
Lalu lintas menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (disingkat UU No.22/2009) pada Pasal 1
angka 2 adalah “gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan”. Dari
ketentuan pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa baik itu kendaraan maupun orang
yang melakukan gerakan atau kegiatan di ruang lalu lintas jalan adalah merupakan
lalu lintas.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 UU No.22/2009, jalan adalah “seluruh
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan
air, kecuali jalan rel dan jalan kabel”.
Pengertian jalan juga diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
38 Tahun 2004 tentang Jalan (disingkat UU No.38/2004) yaitu :
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapan-nya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di
bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali
jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Berkaitan dengan itu, adapun fungsi jalan yang tertuang dalam Pasal 5 UU
No.38/2004 antara lain :
(1) Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting
dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik,
pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(2) Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
(3) Jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan
menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.
3
Di samping itu perlengkapan lalu lintas yang mendukung perlindungan keamanan,
keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan antara lain rambu-rambu lalu lintas,
lampu lalu lintas atau traffic light, dan trotoar.2 Trotoar merupakan perlengkapan
lalu lintas yang diperuntukan bagi masyarakat yang memilih untuk berjalan kaki
ketika berada di ruang jalan agar aman dan nyaman.
Menindaklanjuti beberapa ketentuan undang-undang sebagaimana telah
disebutkan di atas terkait dengan trotoar bagi perlindungan keselamatan dan
kenyamanan pejalan kaki, Pemerintah Kota Denpasar telah menerbitkan Peraturan
Daerah Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Denpasar Tahun 2011 – 2031 (disingkat Perda No.27/2011) yang tersirat dalam
beberapa pasalnya yaitu :
1) Pasal 8 ayat (5) huruf e bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) menyediakan
sistem jaringan jalan bagi pejalan kaki (pedestrian)
2) Pasal 13 ayat (3) huruf c angka 5 yaitu penyediaan dan pemanfaatan
prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki
3) Pasal 20 ayat (2) huruf b yang berbunyi pemberian prioritas keselamatan dan
kenyamanan bagi pengguna jalan khususnya pejalan kaki dan pengendara
sepeda melalui penyediaan jalur khusus
4) Pasal 35 huruf c yang berbunyi penyediaan jalur-jalur untuk penyandang
cacat dan kaum disabel
Dalam hal perlindungan bagi pejalan kaki, maka Pemkot Denpasar
menekankan fungsi trotoar pada Pasal 33 huruf a Perda No.27/2011, yaitu bahwa
2 Lebih lengkap lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
4
“penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan jalan pejalan
kaki...direncanakan dalam bentuk ruang pejalan kaki di sisi jalan berupa trotoar”.
Dari ketentuan tersebut menunjukan bahwa Pemkot Denpasar bertanggungjawab
atas penyediaan trotoar bagi para pejalan kaki di Kota Denpasar serta menyiratkan
bahwa pemanfaatan trotoar diperuntukan bagi keselamatan pejalan kaki dan tidak
untuk kegiatan lain.
Sanksi bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran dalam penggunaan
ruang, sesuai ketentuan Pasal 114 ayat (2) Perda No.27/2011 masyarakat akan
dikenai sanksi administrasi, yaitu :
a. peringatan dan atau teguran;
b. penghentian sementara pelayanan administratif;
c. penghentian sementara kegiatan pembangunan dan atau pemanfaatan
ruang;
d. pencabutan izin yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang;
e. pemulihan fungsi atau rehabilitasi fungsi ruang;
f. pembongkaran bagi bangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang;
g. pelengkapan/pemutihan perizinan;dan
h. pengenaan denda.
Kemudian berdasarkan Pasal 116 ayat (1) Perda juga mengatur terkait
sanksi pidana, yaitu “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam
Pasal 111 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”.
Para pejalan kaki dalam melakukan aktivitasnya di jalan tentu
menginginkan kenyamanan dan keselamatan diri mereka selama berada di ruang
lalu lintas jalan. Trotoar menjadi pemisah antara ruang bagi kendaraan dengan
ruang bagi pejalan kaki ketika sama-sama berada di ruang lalu lintas jalan
sehingga tidak membahayakan para pejalan kaki. Masyarakat kota yang akan
5
melakukan perjalanan dengan berjalan kaki akan menggunakan fasilitas trotoar
untuk mencapai tempat tujuannya. Selain sebagai ruang yang aman bagi pejalan
kaki ketika lalu lalang, trotoar juga sebagai pemicu interaksi sosial antar
masyarakat apabila berfungsi sebagai suatu ruang publik seperti bertemu orang
lain, jogging atau lari dan sekedar untuk berjalan santai.
Interaksi sosial yang terjalin dalam kehidupan masyarakat merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara
orang perorangan, antar kelompok, maupun antara orang dengan kelompok.3
Dalam hal interaksi tersebut memunculkan jaringan tindakan dalam kehidupan
bersama4 dan suatu interaksi sosial menimbulkan adanya jaringan tindakan yang
dapat disebut sebagai proses sosial yang dapat terjadi atau dilakukan di mana saja.
Namun sayangnya tujuan dari keberadaan trotoar yang oleh Perda ini
diperuntukan bagi pejalan kaki tidak sesuai lagi dengan kenyataannya dalam
masyarakat. Kondisi masyarakat yang semakin pesat ditandai dengan geliat
ekonomi yang meningkat, menumbuhkan banyaknya usaha atau kegiatan yang
memanfaatkan trotoar.
Dari sisi fisiknya, keadaan trotoar juga tidak lagi nyaman karena kondisi
trotoar yang berlubang atau rusak. Selain itu, dengan tujuan menciptakan
lingkungan yang sejuk serta melindungi pejalan kaki dari cuaca yang panas, tidak
sedikit pula ruas jalan digunakan pula untuk menanam pohon. Tidak jarang para
pejalan kaki harus turun ke ruang jalan lalu lintas kendaraan karena kondisi
3 Soerjono Soekanto, 1992, Sosiologi Suatu Pengantar, CV.Rajawali, Jakarta (selanjutnya
disebut Soerjono Soekanto I), h.67.
4 Piötr Sztompka, 2010, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Jakarta, h.11.
6
trotoar yang tidak memungkinkan sehingga hal tersebut tentu mengancam
keselamatan para pejalan kaki, karena mereka dapat tersenggol oleh badan
kendaraan yang melintas.
Wilayah Kota Denpasar sebagai pusat administrasi dengan kehidupan
masyarakat yang begitu kompleks dapat dilihat dari tersebarnya kegiatan
masyarakat dalam bidang perdagangan barang maupun jasa, pelayanan kesehatan,
kawasan pendidikan, pariwisata dan permukiman masyarakat. Dengan padatnya
kegiatan masyarakat khususnya di jalan, keamanan dan keselamatan merupakan
hal yang sangat penting. Pengguna jalan yang juga termasuk di dalamnya adalah
pejalan kaki merupakan pihak yang paling lemah yang harus mendapat perhatian
penting dari pengguna jalan lain dalam mendukung keselamatan selama berada
beraktivitas di jalan.
Sebagai contoh di ruas Jalan Waturenggong dan di ruas Jalan Tukad
Pakerisan misalnya keberadaan trotoar terlihat tidak sesuai lagi dengan fungsi dan
tujuan trotoar dan walaupun keadaan jalan telah diperbaiki dengan memberi ruang
trotoar yang layak bagi pejalan kaki, namun pejalan kaki masih sulit menikmati
keberadaan trotoar. Bagi anak-anak sekolah atau orang lanjut usia yang berjalan
kaki tentu merasa tidak aman ketika berada di jalan, selain karena mereka harus
menghadapi kendaraan yang parkir di trotoar, pun pernah terjadi anak-anak yang
jatuh karena kondisi trotoar yang sudah tidak layak. Bagi difabel atau penyandang
cacat yang berjalan kaki, tentu akan sangat berbahaya jika trotoar tidak aman
untuk dilalui.
7
Nilai efektivitas dari keberadaan Perda tersebut tidak nampak dalam
kesadaran hukum masyarakat. Efektif dan tidaknya suatu hukum tidak hanya
dinilai dari banyaknya kasus yang terselesaikan, frekwensi operasi penegakan
hukum oleh aparat namun juga upaya mendekatkan hukum dengan tujuannya.5
Nilai filosofis, yuridis dan sosiologis dari suatu hukum menjadi hal penting pula
dalam menilai suatu produk hukum yang berlaku dalam masyarakatnya.
Nilai filosofis yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi; nilai yuridis yaitu apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang
lebih tingkatannya; dan nilai sosiologis yaitu dapat dipaksakan berlakunya oleh
penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat atau adanya pengakuan
dari masyarakat.6
Menurut peneliti senior Bidang Jalan, Badan Litbang Perhubungan, Prima
Ramadhona, dirinya menemukan beberapa permasalahan seputar trotoar yakni,
permasalahan ruang efektif pejalan kaki sisi jalan dan pertokoan, penempatan
utilitas, penggunaan di luar fungsi trotoar dan aksesibilitas yang masih rendah.7
Gambaran di atas tentu bertentangan dengan bunyi Pasal 106 ayat 2 UU
No.22/2009 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan
Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan
pengendara sepeda.” Ketentuan pasal tersebut jelas telah memberikan prioritas
5 Mulyana W. Kusumah, 1986, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali,
Jakarta,h.60.
6 Zainuddin Ali, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut
Zainuddin Ali I), h.22.
7 Prima Ramadhona, Diskusi Litbang, 2012, “Kondisi Trotoar Saat Ini Sudah Tidak
Nyaman Dilalui Pejalan Kaki”, http://m.dephub.go.id/read/berita/badan-penelitian-dan-
pengembangan / diskusi-litbang-kondisi-trotoar-saat-ini-sudah-tidak-nyaman-dilalui-pejalan-kaki-
15152, Diakses 13 Juli 2014.
8
bagi pejalan kaki untuk mendapatkan perlindungan ketika berada di ruang lalu
lintas jalan. Jadi tidak ada alasan bagi para pengguna kendaraan bermotor untuk
tidak tertib saat berada di jalan karena akan membahayakan selain untuk dirinya
sendiri, pengendara kendaraan lain, dan khususnya pejalan kaki.
Ruang jalan bagi kendaraan yang terbatas sering menimbulkan
kemacetan yang tidak dapat dihindari dan kesemerawutan menjadi gambaran
nyata selanjutnya, sehingga memaksa para pengguna kendaraan bermotor untuk
menggunakan trotoar sebagai perlintasan dan parkir. Hal ini tidak terlepas dari
suatu proses sosial yang terjadi terus menerus dalam masyarakat yang kemudian
membawa masa transisi kehidupan masyarakat Indonesia dari kehidupan yang
tradisional ke arah yang modern.
Efektivikasi hukum dalam masa transisi juga dipengaruhi oleh beberapa
hal, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, yaitu:8
a. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat.
b. Reaksi masyarakat, mungkin menolak atau mematuhi hukum.
c. Jangka waktu penanaman hukum.
Pemerintah daerah penting memberi perhatian lebih terhadap fasilitas
pejalan kaki baik ditinjau dari segi kenyamanan maupun keamanan. Dengan
menerbitkan suatu Perda, perlu adanya tindakan lebih lanjut agar suatu peraturan
tersebut dapat diberlakukan di masyarakat sehingga apa yang menjadi tujuan dari
keberadaan Perda tersebut menjadi perbaikan kehidupan masyarakat dalam hal ini
8 Soerjono Soekanto, 1976, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni,
Bandung (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h.45.
9
berkaitan dengan reaksi masyarakat. Apabila terjadi penolakan di masyarakat
maka akan sia-sia Perda tersebut diterbitkan.
Hukum seharusnya mampu hadir sebagai alat kontrol sosial (social
control) yang bersifat mendidik, mengajak, bahkan memaksa masyarakat yang
diaturnya agar mematuhi kaidah atau sistem yang berlaku.9 Hukum harusnya
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota masyarakat sebagai basis
sosialnya10
khususnya dalam hal ini perlindungan hukum atas hak keselamatan
para pejalan kaki ketika berada di ruang lalu lintas. Hak serta kewajiban timbul
sebagai akibat dari hubungan antarwarga yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum.11
Saling menghormati sesama pengguna jalan perlu ditingkatkan apalagi kepada
pejalan kaki.
Idealnya, setelah adanya peraturan, diperlukan tindakan agar apa yang
diinginkan hukum menjadi kenyataan. Hukum tidak dapat bekerja sendiri tanpa
penegak hukum yang bertindak dan masyarakat yang ikut mendukung keinginan
hukum.12
Keberlakuan dan ketaatan masyarakat akan hukum juga dapat berasal
dari paksaan. Rudolf Stammler dalam buku Pengantar Ilmu Hukum oleh
Soedjono Dirdjosisworo menyebutkan bahwa:13
9 Zainuddin Ali, op.cit, h.22.
10 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut
Satjipto Rahardjo I), h.18.
11 Soerjono Soekanto, 2011, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta
(selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h.3.
12 Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta (Selanjutnya
disebut Satjipto Rahardjo II), h.205.
13 Soedjono Dirdjosisworo, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo, Jakarta, h.93,
dikutip dari Handworterbuch der Staatswissenschaft, 4e Auflage “Recht”.
10
1) Masyarakat hanya mungkin berlangsung oleh hukum
2) Baik dalam hukum maupun dalam kesewenang-wenangan terdapat
pemaksaan
Pemkot kembali lagi menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas
apa yang terjadi dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan substansi peraturan
dan asas-asas yang termuat dalam Perda No.27/2011. Penerapan hukum tidak
terlepas dari substansi hukum, institusi yang akan menerapkan hukum tersebut,
dan personil dari institusi yang meliputi lembaga-lembaga administratif dan
lembaga-lembaga yudisial.14
Suatu aturan atau hukum hanya dapat berjalan
melalui manusia, karena manusia yang menciptakan maka diperlukan campur
tangan manusia dalam pelaksanaannya.15
Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti mengangkat judul
penelitian Tesis ini adalah “Efektivitas Penerapan Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Terkait Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Bagi Pejalan Kaki”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana efektivitas penerapan Pasal 33 huruf a Perda Nomor 27 Tahun
2011 di Kota Denpasar?
14 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,
Bandung, h.165.
15 Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung (selanjutnya
disebut Satjipto Rahardjo III), h.70.
11
2. Bagaimana upaya Pemerintah Kota dalam menerapkan Pasal 33 huruf a Perda
Nomor 27 Tahun 2011 di Kota Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup yang dimaksud pada bagian ini adalah untuk
mengemukakan batas luasnya kajian pembahasan dari penelitian yaitu hanya pada
permasalahan yang sudah ditetapkan.
Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu yang
berkaitan dengan : Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011
tentang RTRW yang dalam hal ini dikhususkan pada keberadaan fasilitas bagi
pejalan kaki yaitu trotoar dan pemanfaatannya. Kondisi trotoar saat ini jauh dari
rasa nyaman dan aman bagi para pejalan kaki, khususnya masyarakat yang
bertempat tinggal atau melakukan aktivitas di ruas jalan di wilayah Kota
Denpasar.
Pada permasalahan pertama dimaksudkan untuk mencari tahu bagaimana
penerapan Perda dalam masyarakat, baik itu faktor penghambat ataupun faktor
pendukung yang dalam penelitian ini dilihat dari substansi aturan itu sendiri,
Pemerintah Kota Denpasar terkait tugas-tugasnya dalam menerapkan Perda dan
faktor masyarakatnya yaitu tingkat kesadaran hukum masyarakat khususnya
dengan adanya Perda Kota Denpasar.
Pada permasalahan kedua untuk mengetahui upaya-upaya dari Pemerintah
Daerah Kota Denpasar yaitu dalam hal ini upaya dinas-dinas terkait untuk
menerapkan Perda khususnya fungsi keberadaan trotoar agar dapat berlaku di
masyarakat di Kota Denpasar.
12
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk :
Sebagai bahan dalam pengembangan ilmu hukum, sehingga bagi orang-orang
yang bergerak di bidang hukum dapat mengetahui perlindungan hukum bagi
pejalan kaki dalam hal penyediaan dan pemanfaatan trotoar.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Pasal 33 huruf a Perda
Nomor 27 Tahun 2011 di Kota Denpasar.
b. Untuk mengkaji dan menganalisis sejauh mana upaya pemerintah Kota
Denpasar dalam menerapkan Pasal 33 huruf a Perda Nomor 27 Tahun 2011
di Kota Denpasar
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya bidang Hukum dan Masyarakat, untuk mengungkap faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan hukum dalam masyarakat.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi pemerintah dan
penegak hukum untuk dapat menerapkan sebuah peraturan atau undang-undang
dengan maksimal sehingga tujuan dari peraturan atau undang-undang tersebut
dapat tercapai.
13
1.6 Orisinalitas Penelitian
Dalam setiap penelitian tentu tidak terlepas dari penelitian – penelitian
sebelumnya, sehingga peneliti menemukan beberapa penelitian yang mendekati
judul penelitian ini, yaitu :
1) Penelitian dari Bima Anggarasena yang dilakukan tahun 2010 dari Universitas
Diponegoro, Semarang. Tesis dengan judul Strategi Penegakan Hukum Dalam
Rangka Meningkatkan Keselamatan Lalu Lintas Dan Mewujudkan
Masyarakat Patuh Hukum.16
Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dari Tesis ini adalah :
a. Bagaimana kondisi keselamatan dan tingkat kepatuhan hukum lalu lintas
masyarakat saat ini ?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi keselamatan dan
tingkat kepatuhan hukum lalu lintas masyarakat ?
c. Bagaimana konsep strategis penegakan hukum yang mampu meningkatkan
keselamatan dan kepatuhan hukum lalu lintas masyarakat ?
Penelitian ini mengkaji pada permasalahan kepatuhan hukum lalu lintas
masyarakat terkait tingkat kecelakaan di jalan. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan yang bersifat yuridis empiris.
2) Penelitian dari Dhanoe Iswanto yang dilakukan tahun 2003 dari Universitas
Diponegoro, Semarang. Tesis dengan Judul Mengkaji Fungsi Keamanan dan
16 Anggarasena, Bima, 2010, “Strategi Penegakan Hukum Dalam Rangka Meningkatkan
Keselamatan Lalu Lintas Dan Mewujudkan Masyarakat Patuh Hukum “, Tesis Universitas
Diponegoro, Semarang, URL: eprints.undip.ac.id/23785/1/BIMA_ANGGARASENA.pdf, Diakses
3 Juli 2014
14
Kenyamanan Bagi Pejalan Kaki Di Jalur Pedestrian (Trotoar) Jalan Ngesrep
Timur V Semarang.17
Adapun rumusan permasalahan dari Tesis ini adalah :
1. Tidak berfungsi sebagaimana seharusnya elemen jalur trotoar yang ada di
kawasan gerbang Undip dan sepanjang jalan Ngesrep Timur V sampai
depan Kampus Undip Tembalang, dapat mengakibatkan kondisi tidak
aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang berkepentingan di sana.
2. Sangat kurangnya fasilitas pendukung perabot jalan di sepanjang jalan
Ngesrep Timur V dari dan menuju kawasan Kampus Undip Tembalang,
berakibat tidak tertibnya dalam sirkulasi dan trafik kendaraan penumpang
umum yang melayani route tersebut.
Dari dua rumusan masalah tersebut terlihat perbedaan bahwa penelitian
tersebut mengkaji masalah fasilitas trotoar yang tidak berfungsi dan fasilitas-
fasilitas lain yang kurang, serta menekankan pada ketersediaan infrastruktur
yang baik bagi pejalan kaki. Pada penelitian ini mengkaji kesesuaian dari hasil
pengamatan di lapangan atau dalam hal ini adalah mengkaji data empiris.
3) Penelitian dari Mujiarjo yang dilakukan tahun 2011 dari Universitas Indonesia,
Depok. Tesis dengan Judul Okupasi Terhadap Ruang Publik Perkotaan. Studi
17 Iswanto, Dhanoe, 2003, “Mengkaji Fungsi Keamanan dan Kenyamanan Bagi Pejalan
Kaki Di Jalur Pedestrian (Trotoar) Jalan Ngesrep Timur V Semarang”, Tesis Universitas
Diponegoro, Semarang, URL : eprints.undip.ac.id/14855/1/2003MTA2955.pdf.,Diakses 13 Juli
2014
15
Kasus: Pedagang Kaki Lima di Jalan Mahakam-Jalan Bulungan, Jakarta
Selatan.18
Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dari Tesis ini adalah :
Apakah sebenarnya pedagang kaki lima itu dalam kaitannya dengan
tindakan okupasi ruang publik?
Isu yang diangkat dari penelitian tersebut adalah tindakan yang dilakukan para
PKL di trotoar dan jalan terkait tindakan okupasi (kegiatan, pekerjaan, atau
proses mengambil kepemilikan suatu tempat atau wilayah).
Tesis ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif yang dikaji dari data
empiris di lapangan.
4) Penelitian dari I Nyoman Budi Sentana yang dilakukan pada tahun 2014 dari
Universitas Udayana, Denpasar. Tesis dengan judul Pelaksanaan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Terkait Dengan Pogram Wajib
Belajar 12 Tahun.
Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu :
a. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali
Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib
belajar 12 tahun di Provinsi Bali?
b. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan
Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan
program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali?
18
Mujiarjo, 2011, “Okupasi Terhadap Ruang Publik Perkotaan. Studi Kasus: Pedagang
Kaki Lima di Jalan Mahakam-Jalan Bulungan”, Tesis Universitas Indonesia Depok, Jakarta
Selatan, URL : lib.ui.ac.id/file?file=digital/20297750-T30085-Mujiarjo.pdf, Diakses 13 Juli 2014
16
Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang mengkaji efektivitas Perda
Nomor 9 Tahun 2009 terkait penyelenggaraan program pendidikan wajib
belajar 12 tahun di Provinsi Bali.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian lainnya adalah
penulis mengkaji penerapan suatu aturan terkait dengan trotoar yang tidak
hanya dilihat dari faktor pedagang kaki lima saja namun semua unsur yang
mempengaruhi penerapan suatu peraturan. Penelitian ini mengkaji faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam penerapan Perda dari faktor substansi, penegak,
fasilitas, kesadaran hukum hingga budaya hukum masyarakat terkait trotoar
yang mana menjadi fasilitas yang penting untuk memberi keselamatan,
keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki, serta mengkaji sejauh mana
upaya Pemkot Denpasar dalam mewujudkan tujuan dari diterbitkannya Perda
RTRW.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.7.1 Landasan Teoritis
Teori sangat penting dalam suatu ilmu pengetahuan, tanpa teori hanya akan ada
serangkaian fakta saja tanpa ada ilmu pengetahuan. Teori dipakai oleh peneliti
sebagai pembatasan kepadanya terhadap fakta-fakta kongkret.19
a) Teori Legal System
Efektivitas hukum tidak dapat dilepaskan dari teori Legal System oleh
Lawrence Friedman, yaitu:20
19 Koentjaraningrat, 1989, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta h.10-
11.
17
1) Structure (struktur): one basic and obvious element of the legal system,
the institutional body of system yaitu dipahami sebagai pihak-pihak
yang terkait dalam suatu peraturan, baik pembentuk peraturan yaitu
kekuasaan legislatif, pelaksana yaitu eksekutif/pemerintah, dan penegak
peraturan yaitu kekuasaan yudikatif/polisi, jaksa dan hakim. Walaupun
oleh Lawrence, structure yang dideskripsikan adalah the structure of a
judicial system, namun bicara soal hukum tidak dapat dilepaskan dari
peran legislatif dan ekskutif.
2) Substance (substansi): the rules, yaitu aturan-aturan atau isi dari suatu
peraturan.
3) Legal Culture (budaya hukum): the element of social attitude and value
yang dimaksud adalah perilaku-perilaku masyarakat dalam memandang
hukum untuk ditaati. Dalam pengertian lain budaya hukum
menggambarkan tanggapan yang sama terhadap hukum yang dihayati
oleh masyarakat yang bersangkutan. Budaya tersebut merupakan
budaya menyeluruh dari masyarakat sebagai suatu kesatuan dan bukan
budaya pribadi.
Dari ketiga komponen di atas menunjukan bahwa efektivitas dari suatu
peraturan untuk dapat bekerja dalam masyarakat yang diaturnya adalah adanya
hubungan kerja sama yang kuat antara struktur, substansi dan budaya dalam
masyarakat.
Dalam pembentukan substansi suatu peraturan harus memperhatikan
aspek kepentingan penguasa (struktur) untuk mengatur dan aspek kepentingan
masyarakat yang diatur melalui aturan tersebut.21
Struktur dalam hukum seperti
pemerintah dan penegak hukum tentu menjalankan tugasnya sesuai dengan
aturan dan menerapkan apa yang telah diatur dalam peraturan tersebut sehingga
apa yang menjadi tujuan dari pembentukan aturan tersebut dapat terwujud serta
20 Lawrence M.Freidman, 1975, The Legal System, Russell Sage Foundation, New York,
h.13-15.
21 Salmon E. Nirahua, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Responsif
terhadap Perkembangan Masyarakat, Kertha Patrika Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Udayana: Volume 34. Nomor 2., Denpasar.
18
budaya masing-masing individu dalam masyarakat dalam menerima dan
menerapkan aturan tersebut.
b) Teori Berlakunya Hukum
Teori yang diperkenalkan oleh Robert Bob Seidman yang dikutip oleh
Satjipto Rahardjo tersebut adalah dengan menggambarkan berlakunya hukum
dalam masyarakat melalui gambar berikut, yaitu:22
norma
aktivitas penerapan norma
Dari bagan tersebut disebut tiga unsur yang saling berkaitan apabila berbicara
mengenai berlakunya hukum dalam masyarakat yang berkaitan pula dengan
efektivitas dari suatu aturan, yaitu:
a. unsur lembaga pembuat peraturan
b. unsur lembaga penerap peraturan, dan
c. unsur masyarakat sebagai pemegang peranan.
22 Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum Dan Masyarakat, h.26-28, dikutip dari Robert B
Seidman, 1972, Law and Development:A General Model,Law and Society Review.
Lembaga Penerapan
Aturan
Lembaga Pembuat
Aturan
Faktor sosial lain Faktor sosial lain
Masyarakat – Pemegang Peranan
Faktor sosial lain
19
Dalam bekerjanya hukum dalam masyarakat faktor-faktor di luar dari unsur-
unsur tersebut turut mempengaruhi, seperti psikologi, pendidikan, budaya,
ekonomi dan lainnya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya dalam pembahasan teori
efektivitas hukum, unsur masyarakat dikaji dari masyarakat akan suatu
aturan/hukum. Krabbe dalam buku Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan
oleh Achmad Ali menyebutkan bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran
manusia akan hukum23
yang berpengaruh terhadap faktor ketaatan seseorang
terhadap suatu aturan.
Pendidikan atau sosialisasi yang berasal dari lembaga pembuat dan
penegak peraturan turut berpengaruh dalam bekerjanya hukum dalam
masyarakat yang tentu saja melalui berawal dari pengetahuan individu akan
aturan tersebut.
c) Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila
seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal
mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya
berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan
tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya suatu produk hukum akan
disoroti dari tujuan yang ingin dicapai apakah telah berhasil atau belum
diterapkan di masyarakat dengan melihat pada indikator-indikator penentu.
23 Achmad Ali, 2013, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta,
h.299.
20
Efektif menurut pakar hukum lain, Abdul Manan, hukum positif akan
memiliki daya berlaku yang efektif dalam masyarakat apabila selaras dengan
kehidupan masyarakat.24
Selain itu Hans Kelsen mengemukakan efektivitas
hukum terletak pada orang-orang diarahkan untuk melakukan perbuatan yang
diharuskan oleh suatu norma.25
Efektivitas hukum merupakan teori di mana orang benar-benar berbuat
sesuai dengan norma norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa
norma norma itu benar benar diterapkan dan dipatuhi. Untuk mengetahui
apakah hukum itu benar-benar diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat maka
harus dipenuhi beberapa faktor yaitu:26
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat itu sendiri
5. Faktor kebudayaan
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum itu, juga merupakan tolok ukur dari efektivitas hukum. Jadi
apabila semua faktor itu telah terpenuhi barulah tujuan hukum dalam
masyarakat dapat dirasakan, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan.
24 Abdul Manan, 2013, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,
h.19.
25 Hans Kelsen, 2014, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara – edisi terjemahan dari buku
General Theory of Law oleh Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung , h.54.
26 Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto IV), h.8.
21
Pada faktor masyarakat mengkaji lebih jauh terkait kesadaran hukum
dalam masyarakat yang meliputi pengetahuan tentang suatu aturan atau hukum,
penghayatan, dan ketaatan atau kepatuhan terhadap suatu aturan.27
Mengambil
pendapat J.J.H. Bruggink yaitu bahwa “de term effectiviteit is dan minder op
zijn plaats, al zal in de praktijk het toepassen en handhaven van rechtsnormen
door de rechtsautoriteiten tot gevolg hebben dat de burgers in een
gemeenschap zich ook naar die rechtsnormen gedragen”28
Istilah efektivitas lebih kecil di atas fungsi tempatnya, walaupun dalam
prakteknya penerapan dan penegakan norma hukum adalah otoritas hukum
yang menyatakan bahwa warga masyarakat berperilaku sesuai dengan aturan
hukum sehingga dapat dipahami bahwa suatu efektivitas dari suatu aturan
adalah bila kekuatan otoritas pembuat undang-undang atau suatu aturan
membentuk masyarakatnya untuk bertindak sesuai dengan aturan yang ada.
Konsep hukum menimbulkan rasa wajib/takut. Konsep hukum ini
dikemukakan oleh Alf Ross. Menurutnya suatu aturan hukum dirasa
mewajibkan karena ada hubungan antara yuridis dan sanksinya.29
Sanksi
hukum dari suatu perbuatan hendaknya tidak hanya menimbulkan rasa takut
namun juga rasa mewajibkan seseorang terhadap dirinya sendiri untuk
bertanggungjawab terhadap setiap aturan yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi baginya, sehingga tidak ada niat atau keinginan untuk
27 Abdul Manan, loc.cit.
28 J.J.H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties:grondbegrippen uit de rechtstheorie, Gegevens
Koninklijke Bibliotheek, Den Haag, h.103.
29 Bernard L. Tanya, et.al., 2013, Teori Hukum – Strategi Terbit Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta,h.154.
22
melanggar. Dengan menyadari hukum sebagai suatu kewajiban maka
efektivitas dari suatu peraturan dalam masyarakat dirasakan dan tujuan dari
pembentukan peraturan tersebut dapat terwujud.
Lebih lanjut menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang
bersifat wajib, melalui empat tahap:30
a. Tahap pertama yaitu situasi masyarakat yang diatur melalui paksaan.
b. Tahap kedua yaitu kondisi masyarakat mulai takut akan suatu paksaan.
c. Tahap ketiga yaitu situasi dimana masyarakat mulai terbiasa dengan
cara hidup yang demikian.
d. Tahap keempat situasi dimana tingkah laku masyarakat ditentukan oleh
instansi-instansi yang berwenang.
Dari keempat tahap tersebut akan dilihat tahapan dimana masyarakat
mulai terbiasa dengan suatu cara hidup yang semula tidak taat hukum akan
berubah ke kebiasaan taat hukum dengan ketentuan yang telah dibentuk dalam
suatu aturan hukum oleh instansi yang berwenang atau secara sederhana
melihat bagaimana institusi yang berwenang menerapkan hukum agar dapat
membentuk kebiasaan yang taat hukum demi ketertiban.
d) Konsep Negara Hukum
Masyarakat tidak dapat dipisahkan dari hukum. Konstitusi merupakan
social contract antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah
(pemerintah).31
Suatu negara terdiri dari unsur wilayah, pemerintah dan
masyarakat. Pemerintah dalam arti luas mencakup kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif.32
30 Bernard L. Tanya, et.al.,op.cit.,h.155.
31 Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD
1945 Sampai Dengan Amandemen Tahun 2002, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.8.
32 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.30.
23
Menurut Epicurus sebuah negara merupakan hasil dari perbuatan
manusia, sehingga kepentingan individulah yang pertama-tama harus
dipenuhi.33
Perlindungan hak dengan pembatasan dimaksudkan untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan untuk
memenuhi rasa adil sesuai dengan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum.34
Hoebel merumuskan empat fungsi hukum dalam masyarakat, yaitu:35
1) Menjelaskan hubungan antar anggota masyarakat dalam hukum.
2) Pengatur kekuasaan baik dari penentuan pelaksana maupun pemilihan
sanksi.
3) Sebagai sarana penyelesaian sengketa.
4) Sebagai media penjelas kembali hubungan antar anggota masyarakat
sesuai dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.
Dari rumusan Hoebel menyiratkan bahwa hukum dimaksudkan untuk mengatur
masyarakat baik yang diperintah maupun yang memerintah. Bagi masyarakat
yang bertindak dengan kewenangannya untuk memerintah maka diperlukan
hukum untuk membentuk suatu kebijakan maupun penentuan sanksi apa yang
tepat bagi pelanggar.
Pada konsep Law As A Tool Of Social Engineering yang dipaparkan
oleh Roscoe Pound menempatkan hukum sebagai alat untuk mengubah atau
membawa pembaharuan dalam masyarakat.36
Pandangan bahwa hukum tidak
33 Soehino, 2001, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, h.31.
34 Jimly Asshiddiqie, 2008, Hukum Tata Negara Darurat, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h.107.
35 HM.Wahyudi Husein dan H.Hufron, 2008, Hukum Politik & Kekuasaan, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta, h.29.
36 I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum – Dimensi Tematis & Historis, Setara
Press, Malang, h.163.
24
hanya berada di awang-awang tapi harus dinyatakan dalam kehidupan sosial
masyarakat adalah dengan menata kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat agar tercapai keseimbangan yang proposional, sehingga tidak ada
kepentingan yang lebih dominan dan tidak ada kepentingan yang
terpinggirkan.
Penjaminan kesejahteraan rakyat serta rasa keadilan yang terpenuhi
merupakan cita-cita dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI) . Konsep Negara Hukum
Indonesia tidak hanya untuk perlindungan hak asasi manusia saja tetapi juga
pada perlindungan kepentingan umum. Menurut Freidrich Julius Stahl unsur-
unsur negara hukum adalah: 37
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan
Menurut Pound kepentingan merupakan permintaan yang ingin
dipenuhi oleh manusia secara pribadi maupun melalui kelompok.38
Contoh
kepentingan pribadi adalah kepentingan untuk hidup, mendapatkan
pendidikan, tidak diperbudak atau mendapatkan perlindungan hukum,
sedangkan kepentingan kelompok contohnya adalah berhak membentuk
partai dan tidak didiskriminasi. Selain dua kepentingan tersebut, kepentingan
37 Ridwan HR, op.cit, h.3.
38 H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2012, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Alumni, Bandung, h.33.
25
lain adalah kepentingan sosial dalam soal keamanan umum yaitu meliputi
kepentingan dalam melindungi ketenangan dan ketertiban, kesehatan dan
keselamatan, dan keamanan atas transaksi dan pendapatan.39
Di Indonesia konsep Negara Hukum tertuang dalam UUD NRI 1945
Konsep Negara Hukum (Rechtstaat), dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1
ayat (3) yang menyatakan,”Negara Indonesia adalah Negara Hukum ”. Dalam
konsep Negara Hukum itu diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima
dalam suatu negara adalah hukum.
Dari pendapat Stahl dan Pound juga rumusan Pasal 3 ayat (1) UUD
1945, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa negara hukum harus
memperhatikan perlindungan hak asasi manusia baik secara pribadi maupun
kelompok, yang tidak hanya perlindungan secara fisik saja namun juga
perlindungan secara psikologis serta sebagai negara hukum apapun yang
berada dalam suatu negara tunduk akan hukum dan dibutuhkan paksaan
kepada semua pihak untuk melaksanakan apa yang telah diatur dalam aturan
tersebut guna mencapai tujuan dari aturan tersebut dibuat.
Pemisahan cabang kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu
yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif40
merupakan struktur dalam negara
hukum yang berperan dalam penerapan suatu peraturan. Kekuasaan negara
39 Bernard L. Tanya, op.cit., h.141.
40 Ridwan HR, op.cit, h.12.
26
selain dimaksudkan untuk membentuk hukum juga sebagai alat untuk
menegakan hukum.41
Dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1) Perda No.27/2011 telah diatur
kewajiban Pemerintah Kota pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang
yaitu:
a. memberikan informasi dan menyediakan akses informasi kepada
masyarakat tentang pengendalian pemanfaatan ruang melalui media
komunikasi
b. melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengendalian
pemanfaatan ruang
c. memberikan tanggapan kepada masyarakat atas masukan mengenai
arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
d. menyediakan sarana yang memudahkan masyarakat dalam
menyampaikan pengaduan atau laporan terhadap dugaan
penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang
melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Sebagai negara hukum, tanggungjawab eksekutif sebagai penyedia
trotoar sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pejalan kaki disertai
pula dengan pelaksanaan penertiban di lapangan. Satuan Polisi Pamong Praja
(disingkat Satpol PP) dalam hal ini menjadi pihak yang paling dekat dengan
masyarakat yang juga menjadi salah satu faktor dalam efektivitas penerapan
Perda. Upaya penegakan Perda yang dilakukan oleh Satpol PP harus
dilakukan sesuai undang-undang, seperti yang telah dituang dalam Pasal 148
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(selanjutnya disebut UU No.32/2004) yang berbunyi “untuk membantu
41 HM.Wahyudi Husein dan H.Hufron, op.cit, h.19-20.
27
kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja”.
Serta dalam Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (disingkat UU No.23/2014) bahwa Satpol PP
dibentuk untuk menegakan Perda dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
Dalam penerapan suatu peraturan haruslah melihat pada kondisi dalam
masyarakat, karena sangat penting bagi negara untuk melindungi seluruh
kepentingan masyarakat artinya hukum tidak lagi kaku terhadap hukum
positif saja namun juga melihat pada realita dalam masyarakat, di mana
hukum tersebut dimaksudkan dengan tetap menjamin hak setiap individu.
1.7.2 Kerangka Berpikir
* Teori Legal
System
*Teori Berlakunya
Hukum
* Teori Efektivitas
Hukum
Latar Belakang :
Ketentuan Pasal 33 huruf a Perda RTRW “penyediaan dan pemanfaatan
prasarana dan sarana jaringan jalan pejalan kaki,,,ruang pejalan kaki di sisi jalan berupa trotoar”.
Kenyataan di masyarakat, fungsi trotoar tidak sesuai dengan fungsi dan
tujuan dalam Perda RTRW
Pejalan kaki tidak dapat menggunakan trotoar dengan aman dan nyaman
karena adanya kegiatan lain serta kondisi trotoar yang kurang mendukung
Hasil
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana efektivitas
penerapan Pasal 33 huruf
a Perda No.27/2011?
2. Bagaimana upaya Pemkot dalam
menerapkan Pasal 33
huruf a Perda Nomor 27
Tahun 2011 di Kota Denpasar?
* Teori Legal
System
*Teori
Berlakunya
Hukum
* Konsep Negara
Hukum
28
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang
mana penelitian ini merupakan penelitian hukum yang memperoleh datanya dari
data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat42
atau lapangan.
Penelitian ini mengkaji bekerjanya hukum dalam masyarakat yakni efektivitas
dari penerapan Perda Kota Denpasar No.27/2011 di ruas jalan Kota Denpasar
terkait ruang bagi pejalan kaki.
1.8.2 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan atau
memberikan pemaparan atas keadaan atau gejala yang terjadi pada individu atau
suatu kelompok serta menganalisis dan memaparkan ada tidaknya hubungan
antara suatu keadaan dengan keadaan lainnya dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini menggambarkan kesenjangan yang terjadi antara das
solen dan das sein. Deskriptif dalam penelitian ini yaitu juga menggambarkan
keadaan masyarakat terkait dengan penerapan Perda No.27/2011 Kota Denpasar
khususnya Pasal 33 huruf a dan bagaimana hubungan antara suatu faktor dengan
faktor lainnya saling berhubungan dalam bekerjanya Perda di masyarakat.
1.8.3 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini tidak terlepas dari pendekatan-pendekatan yang
dilakukan untuk menjawab permasalahan. Adapun pendekatan digunakan yaitu :
42 Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,h.110.
29
a. Pendekatan Fakta (Fact Approach). Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “...
untuk mampu memahami hukum lalu lintas tidak bisa hanya membaca
undang-undang lalu lintas saja, tapi juga harus turun dan mengamati langsung
apa yang terjadi di jalan raya..”,43
dapat dipahami bahwa untuk dapat
menemukan jawaban dari permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya
tidaklah hanya dengan memahami seluruh aturan yang berkaitan dengan
efektivitas dari sebuah Perda dalam masyarakat namun juga turun langsung
ke lapangan untuk melihat kejadian-kejadian apa saja yang telah terjadi atau
fakta yang ada di lapangan. Peneliti menganalisa dan mengklarifikasi fakta-
fakta yang dikumpulkan menurut sistem dan metode ilmiah tertentu dan
mencari korelasi atau hubungan dari fakta-fakta tersebut.44
b. Pendekatan social-legal research pada penelitian ini melihat masalah
efektivitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, dan pengaruh masalah sosial
terhadap aturan hukum.45
Pendekatan ini mengamati tingkah laku masyarakat
apakah telah sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang atau
dalam hal ini Perda, serta mencari tahu segala faktor yang dinilai dapat
mempengaruhi efektivitas dari Perda.
c. Pendekatan konsep, yaitu peneliti merujuk pada prinsip-prinsip hukum.
Prinsip-prinsip ini dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana
ataupun doktrin-doktrin hukum. Walaupun tidak secara nyata, konsep hukum
43 Ibid.,h.33.
44 Koentjaraningrat, op.cit, h.10
45 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h.128.
30
dapat ditemukan dalam undang-undang.46
Dalam penelitian ini peneliti
memahami konsep efektivitas dari pemikiran para sarjana atau dalam
pengertian lain yang menerangkan makna efektivitas.
d. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Pada penelitian ini
tidak dapat dilepaskan dari pendekatan perundang-undangan di mana judul
penelitian ini sendiri berbicara terkait Perda serta beberapa undang-undang
atau peraturan yang berkaitan dengan Perda tersebut.
1.8.4 Data dan Sumber Data
Penelitian hukum empiris menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yang diperoleh
melalui observasi, wawancara terhadap informan maupun responden sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk bahan-bahan hukum.
Yang dimaksud bahan-bahan hukum yaitu :
a. Bahan Hukum Primer yang meliputi : Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945; Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang
Jalan; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 19/Prt/M/2011 Tentang
Persyaratan Teknis Jalan Dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan; Keputusan
46
Ibid., h.178
31
Menteri Perhubungan Nomor: KM 65 Tahun 1993 Tentang Fasilitas
Pendukung Kegiatan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan; Peraturan Daerah
Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar
Tahun 2011-2031; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
:03/PRT/M/2014 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, Dan
Pemanfaatan Prasarana Dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki Di Kawasan
Perkotaan; Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan
dan Ketertiban Umum Di Kota Denpasar.
b. Bahan Hukum Sekunder meliputi : hasil-hasil penelitian, buku-buku hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan pendapat para pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tersier berupa : Kamus Hukum.
1.8.5 Teknik Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian tidak dapat dilakukan di seluruh daerah atau tempat yang
masuk dalam lingkup wilayah Kota Denpasar. Penentuan sampel penelitian
dilakukan dengan menggunakan teknik Non Probability Sampling. Ada beberapa
bentuk Non Probability Sampling yaitu:47
Quota Sampling, Accidental Sampling,
Purposive Sampling, dan Snowball Sampling.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling.
Purposive Sampling adalah dengan menetapkan sendiri sample oleh si peneliti
karena telah memenuhi kriteria dan karakteristik tertentu yang merupakan ciri
utama dari populasinya. Purposive Sample (sampel bertujuan) penelitian ini untuk
47 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Dan Penulisan Tesis Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum, 2013, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h.71.
32
mendapatkan informasi-informasi yang dilakukan terhadap dua atau tiga daerah
kunci (key areas) atau beberapa kelompok kunci (key groups) sehingga tidak
semua daerah, tidak semua kelompok dalam populasi itu diselidiki48
sehingga
hanya tempat atau kelompok yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat
dijadikan sampel dengan juga menetapkan batas dan luas daerah generalisasi dan
penegasan mengenai ciri-ciri khasnya.49
Kota Denpasar memiliki 4 (empat) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan
Denpasar Utara, Kecamatan Denpasar Timur, Kecamatan Denpasar Selatan, dan
Kecamatan Denpasar Barat. Dari keempat wilayah tersebut peneliti memilih 3
(tiga) wilayah yaitu wilayah Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur dan
Denpasar Selatan.
Alasan dipilihnya Kota Denpasar adalah pusat administrasi dari Provinsi
Bali, dan karena masyarakatnya yang kompleks dimana heterogenitas pekerjaan
atau aktivitas masyarakat yang banyak terjadi di jalan. Alasan lain dipilihnya
Denpasar Barat, Denpasar Timur dan Denpasar Selatan karena dinilai memiliki
karakteristik yang sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian di mana di lokasi
tersebut tersebar wilayah perdagangan dan pelayanan jasa, pelayanan kesehatan,
pendidikan yang mana dapat dijumpai adanya trotoar, sehingga dapat diamati
bagaimana pemanfaatan trotoar oleh masyarakat.
Dari kedua wilayah tersebut sampel penelitian dilakukan pada wilayah-
wilayah tertentu, seperti :
48 Kartini Kartono,1986, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, h.133.
49 Ibid., h.46.
33
a) Wilayah perdagangan dan jasa, lokasinya di Jalan Tukad Pakerisan, Jalan
Gajah Mada, Jalan Hassanudin, Pasar Badung, Jalan Sumatra, Jalan
Diponegoro, dan Jalan Surapati.
b) Wilayah pusat perbelanjaan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, lokasinya
di Jalan Soedirman, Jalan Waturenggong – hingga wilayah Rumah Sakit
Sanglah, Jalan Raya Sesetan, Jalan Setia Budi, dan Jalan Gunung Agung.
c) Wilayah perdagangan dan jasa, pendidikan dan olahraga, lokasinya di Jalan
Kamboja dan Jalan Hayam Wuruk.
1.8.6 Teknik Penentuan Informan dan Responden
Dalam penentuan informan dan responden digunakan teknik Purposive
Sampling dan Accidental Sampling. Teknik Accidental Sampling yaitu hanya
unsur-unsur atau individu-individu yang kebetulan dijumpai/ditemui atau yang
dapat dijumpai saja yang dapat diselidiki.50
Individu yang dimaksud adalah
informan dan responden yang dianggap mempunyai hubungan dan yang
mengetahui keadaan wilayah dalam lokasi penelitian.
Dalam penelitian ini informan adalah Pemerintah Kota Denpasar yaitu
Dinas Tata Ruang Dan Perumahan, Dinas Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas
Pekerjaan Umum dan Dinas Perhubungan, sedangkan responden adalah
masyarakat di wilayah yang menjadi lokasi penelitian yaitu seperti para pedagang,
juru parkir, para pengendara kendaraan dan para pejalan kaki.
50
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta
Timur, h.51.
34
1.8.7 Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
observasi, teknik wawancara dan teknik studi dokumen. Teknik pengumpulan data
primer digunakan teknik observasi dan teknik wawancara.
Teknik observasi dilakukan dengan non participant observation atau
observasi tak terlibat. Observasi yang dipakai adalah observasi langsung yaitu
peneliti akan mengamati kegiatan lalu lintas di ruas jalan Kota Denpasar yang
wilayah-wilayahnya telah ditentukan terkait perilaku hukum masyarakat akan
fungsi trotoar, dan observasi tidak langsung yaitu dengan menggunakan data-data
dari surat kabar atau foto-foto yang berkaitan dengan penyalahgunaan fungsi
trotoar.
Teknik wawancara atau interview yaitu dengan berpedoman pada
interview guide atau petunjuk wawancara yang berupa daftar rancangan
pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan masalah penelitian untuk
mendapatkan jawaban-jawaban yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Wawancara ini selain dilakukan dengan mencatat jawaban-jawaban dari informan
dan responden juga dilakukan dengan merekam proses wawancara.
Dalam pengumpulan data sekunder digunakan teknik studi dokumen, yaitu
peneliti akan mengkaji aturan-aturan yang berkenaan dengan tata ruang dan
perlindungan hukum bagi pejalan kaki. Data sekunder dikumpulkan dengan
penelusuran literatur dokumen dengan menggunakan sistem kartu (card system)
yaitu catatan-catatan yang dianggap penting perlu dicatat yang dibuat pada kartu
35
dengan ukuran tertentu dan dengan cara tertentu pula, halmana akan memudahkan
penulis untuk menelusuri kembali data yang telah diperolehnya.51
Menurut Winarno, sistem kartu terbagi atas 3 (tiga) macam yakni:52
a. Kartu ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit, tahun
terbitan, halaman, pokok masalah yang dikutip;
b. Kartu kutipan memuat pokok masalah yang dikutip;dan
c. Kartu analisis memuat ulasan yang bersifat menambah atau menjelaskan
dengan cara mengkritik, menarik kesimpulan, saran maupun komentar.
Sistem kartu yang digunakan adalah kartu kutipan yaitu dengan mencatat atau
mengutip data yang diperoleh beserta sumber dari mana data itu diperoleh seperti
nama pengarang, judul buku dan halaman53
yang diadopsi oleh peneliti dengan
cara yang dianggap lebih mudah membantu peneliti dalam menemukan data
sekunder.
1.8.8 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menyusun data, dikategorisasikan dan
diklasifikasi secara sistematis, sehingga dapat menghubungkan data yang satu
dengan data yang lain atau menghubungkan data primer yang diperoleh di
lapangan dengan data sekunder untuk dapat ditafsirkan dari perspektif peneliti.
Data yang diklasifikasikan menunjang peneliti dan pembaca untuk mudah
menemukan:54
a. Pentingnya fenomena yang dipelajari
51 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT.Grafindo Persada, Jakarta, h.52.
52 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah,Dasar Metode dan Teknik, hal.227.
53 Putu Wiwik Sugiantari, Anak Agung, 2010, “Pengujian Formil Terhadap Undang-
Undang Oleh Mahkamah Konstitusi”, Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
54 Ibid.,h.362.
36
b. Korelasi dengan faktor-faktor lain
Analisis data dari semua hasil penelitian akan disusun secara sistematis
dengan mengelompokkan data kwalitatif dan data kwantitatif yang kemudian
dikorelasikan antara data yang satu dengan yang lain lalu diinterpretasikan
sehingga hasil analisis akan tersaji dalam gambaran deskriptif kwalitatif.
Dalam menentukan tingkat efektivitas dari penerapan Perda akan
dilakukan dengan melihat pada:
a. Unsur substansi hukum
b. Unsur struktur hukum yang terdiri dari lembaga pembuat, lembaga
penegak, dan saran serta prasarana dalam mendukung kegiatan
penegakan hukum,dan
c. Unsur budaya hukum yang terdiri dari kesadaran hukum serta
kebudayaan.
Dari ketiga unsur tersebut kemudian akan ditentukan tingkat tidak efektif, cukup
efektif dan efektif dari penerapan Perda.