bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah · 2017. 4. 1. · membawa konsekuensi pada perubahan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Hal ini berarti bahwa hukum harus digunakan sebagai
pedoman, ditaati dan dijunjung tinggi, baik oleh warga masyarakat maupun oleh
negara. Pemerintah sebagai penguasa, didalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya harus berpedoman pada hukum dan dapat mempertanggungjawabkan
tugasnya tersebut. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Terwujudnya Peradilan Administrasi atau Peradilan Tata
Usaha Negara, telah terpenuhi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2
Konsep negara hukum, sejalan dengan perkembangan masyarakat telah
berkembang dari konsep negara hukum formal ke negara hukum modern, dan
membawa konsekuensi pada perubahan peran dan fungsi negara. Di dalam negara
yang menganut konsep Negara Hukum Formal negara berfungsi memelihara dan
mempertahankan keamanan dan ketertiban individu dalam masyarakat atau sebagai
“penjaga malam” yang menghasilkan bentuk negara yang liberal. Dalam konsep
Negara Hukum Modern, dengan tipe negara kesejahteraan (welfare state) negara
tidak hanya mempunyai kewajiban menjaga ketertiban saja tetapi jauh lebih luas
daripada itu, yaitu berkewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya di seluruh
lapangan kehidupan, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alenia
keempat yakni mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.1
Pemerintah sebagai subjek hukum yang berarti pula dapat melakukan
perbuatan hukum, maka pemerintah sangat berpotensi melakukan penyimpangan atau
pelanggaran hukum. Mengapa demikian? Menurut James Madison, dalam tulisannya
yakni Federalist Papers menyatakan “if men were angels, no government would be
necessary. If angels were to govern men neither external nor internal controls on
government would be necessary”.2Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan
1KhudzaifahDimyati, 2010, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 221 2Iskatrinah, 2004, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang
3
mempergunakan alat hukum dalam hal ini salah satunya adalah keputusan tata usaha
negara. Dalam proses pembentukan dan pelaksanaan dari keputusan itu pemerintah
harus benar-benar hati-hati dalam bertindak, karena apabila terjadi kesalahan yang
merugikan masyarakat, maka dapat timbul tanggung gugat pemerintah. Ini adalah
suatu upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang merasa dirugikan oleh
tindakan pemerintah. Salah satu tindakan pemerintah dapat berupa keputusan tata
usaha negara.Secara umum kelaziman pelanggaran hukum oleh pemerintah itu
menurut Felix A. Nigro dapat dikategorikan dalam 9 bentuk pelanggaran yaitu:3 (a)
Ketidakjujuran (dishonesty); (b) Berperilaku tidak etis (unetical behavior); (c)
Mengesampingkan hukum (overidding the law); (d) Memperlakukan pegawai secara
tidak patut (unfair treatment of employees); (e) Melanggar prosedur hukum
(violations of procedural due process); (f) Tidak menjalin kerjasama yang baik
dengan pihak legislatif (failure to respect legislative intent); (g) Pemborosan dalam
penggunaan sumber daya (gressinefficency); (h) Menutup-nutupi kesalahan yang
dilakukan oleh aparatur (covering up mistakes); (i) Kegagalan untuk melakukan
inisiatif dan terobosan yang positif (failure to show inisiative).
Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sangat penting terkait dengan
fungsinya untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan yang dalam hal ini berupa
keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Keputusan tata
usaha negara yang merugikan masyarakat (orang/badan hukum perdata) dapat
3 Felix A. Nigro dan Liodg.Nigro, 1973, Modern Public Administration, Harper and Row,
Publisher, Third Edition, page 396-403
4
menjadi objek gugatan ke pengadilan tata usaha negara sebagai sengketa tata usaha
negara sesuai dengan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini dapat
mencegah tindakan pemerintah dalam mengeluarkan keputusan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan dan atau bertentangan dengan asas asas umum
pemerintahan yang baik, dan juga sebagai upaya perlindungan hukum bagi rakyat.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, definisi mengenai Keputusan Tata Usaha
Negara dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan Keputusan Tata
Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam
pembentukan Keputusan Tata Usaha Negara(selanjutnya disebut KTUN) pemerintah
harus memperhatikan syarat–syarat pembentukan suatu keputusan agar keputusan itu
lahir menjadi suatu keputusan yang sah, akan tetapi tentu saja kemungkinan dapat
terjadi suatu kekurangan yuridis dalam proses pembentukannya.
Sebagai negara berkembang bangsa Indonesia saat ini sedang membangun
diberbagai sektor, khususnya sektor perekonomian, sejalan dengan isu globalisasi
dimana kita tidak bisa menutup mata dengan perkembangan ekonomi dunia. Negara
ikut berperan secara aktif dalam perekonomian Indonesia sebagai pelaku ekonomi,
5
dimana terdapat tiga pelaku ekonomi yang berperan secara aktif yakni Badan Usaha
Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN), swasta, dan koperasi dimana ketiganya
memiliki peran yang saling mendukung. Pengaturan tentang BUMN tertuang dalam
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, ditentukan Badan Usaha
Milik Negara(yang selanjutnya disebut BUMN) adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.
Terdapat dua bentuk BUMN, yakni Perusahaan Perseroan (Persero) dan
Perusahaan Umum (Perum). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003, Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas
yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan. Contoh Persero antara lain, PT Permodalan Nasional
Madani (Persero) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero). Adapun Perum adalah
BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang
bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan. Contoh Perum antara lain Perum Perhutani dan Perum Bulog.
Pada era globalisasi saat ini, peran pemerintah di bidang ekonomi baik di
bidang ketenagakerjaan maupun peningkatan peran pasar sudah mulai berkurang,
utamanya bagi perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh pemerintah. Berangkat
6
dari konsep globalisasi tersebut, pembahasan implikasi globalisasi terhadap masalah
hukum ketenagakerjaan menjadi sangat penting dan menarik untuk ditelaah. Hal ini
dikarenakan akhir-akhir ini banyak permasalahan yang timbul terhadap para pekerja
(buruh) baik mengenai tidak sesuainya UMR (upah minimum regional), PHK
(pemutusan hubungan kerja), kurang harmonisnya hubungan serikat pekerja dengan
pengusaha maupun antar serikat pekerja, dan lain sebagainya.
Dalam menghadapi permasalahan hukum yang terjadi di bidang kepegawaian
dalam tubuh BUMN sebelum tahun 2004, pemerintah melakukan upaya tindakan
preventif dengan membentuk lembaga P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah) dan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat)
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, agar masalah ketenagakerjaan/perburuhan dapat
diselesaikan dengan baik dan adil. Disinilah dituntut suatu lembaga penyelesian
sengketa perburuhan yang dapat bekerja optimal menuju suatu keadilan dengan tidak
mengesampingkan independensinya. Akan tetapi lembaga P4D dan P4P
bagaimanapun juga eksistensinya masih dirasakan cukup lemah, karena
keberadaannya dibawah lembaga eksekutif yaitu Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Meskipun demikian, keputusan yang dihasilkan oleh P4D maupun P4P
tidaklah bersifat final melainkan masih dimungkinkannya suatu upaya hukum lagi
bila pihak yang merasa dirugikan belum merasa puas akan hasil penyelesaian
sengketa perburuhan oleh P4D dan P4P.
7
BUMN sebagai badan usaha yang dimiliki oleh negara yang berperan dalam
menjaga aset negara dengan memperoleh keuntungan baik dengan cara menjual
belikan barang maupun jasa sebagai suatu tindakan guna menjaga roda perputaran
perekonomian serta sebagai badan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Sebagai suatu badan usaha yang dimiliki oleh negara kadang kala BUMN juga
memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur internal kegiatannya, baik
Sumberdaya Manusia, pengaturan mengenai aset, serta pengaturan lainnya yang
ditujukan untuk memajukan usaha yang dijalankannya. Dengan adanya aturan
tersebut maka pasti akan menimbulkan berbagai permasalahan hukum mengingat
aturan dibuat tentunya untuk menciptakan keteraturan, akan tetapi ketika keteraturan
tidak terjadi maka akan menimbulkan persoalan. Salah satu persoalan adalah ketika
BUMN tersebut menerbitkan suatu keputusan apakah dapat digolongkan menjadi
KTUN? Ini merupakan pertanyaan yang tentunya harus dijawab agar tidak
menimbulkan suatu kekaburan norma mengenai kedudukan dari BUMN apakah
termasuk Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga keputusan yang dihasilkan
apakah tergolong KTUN, untuk dapat dijadikan obyek sengketa TUN dalam
peradilan tata usaha negara.
Jika dicermati Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009,
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menegaskan
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
8
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. Bertolak dari ketentuan tersebut, terlihat adanya suatu kekaburan
norma pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yakni mengenai
pengertian dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yakni apakah yang menjadi
indikator-indikatornyauntuk dapat mengetahui apakah BUMN sebagai perangkat
negara yang bergerak pada bidang usaha sebagai badan atau pejabat tata usaha negara
sebagaimana yang dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003. Dimana hal tersebut akan dipertegas dengan menganalisa surat keputusan
mengenai pemutusan hubungan kerja yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat BUMN
apakah merupakan KTUN sehingga dapat diajukan sebagai sengketa TUN.Untuk
itulah penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dalam bentuk tesis yang
berjudul : “KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN
BADAN USAHA MILIK NEGARA”.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas berdasarkan pemaparan diatas
adalah:
1. Pengadilan manakah yang berwenang mengadili sengketa kepegawaian pada
BUMN?
2. Apakah yang menjadi pertimbangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
mengadili sengketa kepegawaian pada BUMN?
9
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Adapun ruang lingkup masalah yang dibahas dalam penelitian ini yakni
mengenai Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat BUMN yang akan dikaji
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara serta perubahannya (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.
Berdasarkan kajian terhadap beberapa peraturan perundang-undangan
dharapkan dapat mengetahui pengadilan manakah yang berwenang unuk mengadili
dan memutus sengketa kepegawaian dalam BUMN.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum berupaya untuk mengembangkan ilmu hukum
terkait dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Hubungan Industrial.
10
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisa kewenangan dari suatu badan pengadilan
tertentu dalam mengadili sengketa kepegawaian dalam BUMN
2. Untuk mengetahui dan menganalisa pertimbangan Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam mengadili sengketa kepegawaian dalam BUMN.
3. Untuk memberikan suatu pertimbangan hukum kepada masyarakat khususnya
terkait dengan adanya suatu sengketa kepegawaian pada BUMN, sehingga
masyarakat paham ke Pengadilan manakah harus mengajukan gugatan
tersebut.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini yakni sebagai sumbangan
pemikiran khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum yakni untuk
mengetahui dan menganalisa kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Pengadilan Hubungan Industrial terhadap sengketa kepegawaian dalam BUMN.
1.5.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan bagi pihak
yang berkepentingan terkait penyelesaian sengketa kepegawaian dalam BUMN.
1.6. Originalitas Penelitian
Berkaitan dengan kewenangan mengadili dalam sengketa kepegawaian
BUMN, ada beberapa penelitian lain yang objek penelitiannya juga berkaitan dengan
Keputusan ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi permasalahan yang
11
diteliti dalam tesis ini berbeda dengan penelitian tentang Keputusan ataupun
Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah ada seperti:
1. Tesis dengan judul Eksistensi Klausul Pengaman Dalam Keputusan Gubernur
Bali yang Berkarakter Keputusan Tata Usaha Negara yang ditulis oleh Ni
Gusti Ayu Hendrani Sukma Lestari, dalam tesis ini mengangkat
permasalahan:
a. Apakah klausul pengaman yang ditetapkan pada Keputusan Gubernur Bali
yang berkarakter KTUN memiliki fungsi yuridis formal?
b. Apakah dengan adanya klausul pengaman, suatu Keputusan Gubernur Bali
yang berkarakter KTUN dapat digugat ke lembaga Peradilan Tata Usaha
Negara?
Hal ini tentunya berbeda dengan yang akan penulis teliti, mengingat penulis
berusaha meneliti kewenangan mengadili sengketa kepegawaian dalam BUMN dan
bukan mengenai Klausul pengaman dalam Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Tesis dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Dalam Ketentuan
Eksekusi (Pelaksanaan) Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditulis
oleh Nyoman A. Martana, dalam tesis ini mengangkat permasalahan :
a. Bagaimanakah ketentuan eksekusi (pelaksanaan) putusan peradilan tata
usaha Negara?
b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi rakyat dalam ketentuan eksekusi
(pelaksanaan) putusan peradilan tata usaha Negara?
12
Permasalahan dalam tesis ini tentunya berbeda juga dengan yang akan penulis
teliiti, pada tesis ini menekankan pada perlindungan hokum bagi rakyat terhadap
eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara bukan tentang kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara.
3. Tesis dengan judul Putusan Pengadilan Yang Dapat Dilaksanakan Lebih
Dahulu Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang ditulis oleh
Indah Mayasari, dalam tesis ini mengangkat permasalahan :
a. Penerapan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu dalam
Peradilan Tata Usaha Negara
b. Hambatan yuridis pelaksanaan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih
dahulu dalam sengketa Tata Usaha Negara
Pada tesis ini menekankan pada permasalahan penerapan putusan pengadilan
tata usaha Negara yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu, berbeda dengan yang
akan penulis teliti tentang kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap
sengketa kepegawaian dalam BUMN
1.7. Landasan Teoritis
Untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas pada tesis ini dipergunakan
beberapa teori sebagai pisau analisis untuk mengkaji serta memberikan argumentasi
bahkan memberikan pembenaran berkaitan dengan permasalahan tersebut. Menurut
Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan abstraksi satu sama
lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasikan pengetahuan
13
tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.4 Teori dan konsep yang dipergunakan
untuk membahas permasalahan tersebut adalah:
1.7.1. Teori Negara Hukum
Pengakuan kepada suatu Negara sebagai Negara hukum (government by law)
sangat penting, karena kekuasaan Negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak
absolut). Perlu pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan Negara
dan politik tersebut, untuk menghindari kesewenang-wenangan dari pihak penguasa.5
Dalam negara kesatuan hanya memiliki satu konstitusi sebagai hukum tertinggi yakni
pada pemerintah pusat, dengan demikian semua kekuasaan/kewenangan atas semua
urusan pemerintahan ada pada pemerintah pusat.6 Hal tersebut senada dengan yang
dinyatakan oleh KC Wheare yakni“Constitutions as primarly and almost exclusively
a legal document in which, therefore, there is a place for rules of law but for
practically manifiesto, a confenssion of faith, a statement of charter of the land”.7
Negara hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli hukum Eropa
Kontinental seperti Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyebut dengan
4Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung, h. 19-
22.
5Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, h.1.
6HM. Arief Muljadi, 2005, Landasan Dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, Publisher, h. 61.
7KC. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, p. 32
14
istilah rechtstaat, sedangkan A.V. Dicey yang merupakan ahli hukum Anglo Saxon
menyebut dengan istilah rule of law.8 Unsur dari Rechstaat:
a. Hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan Peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan Rule of Law seperti yang diungkapkan oleh A.V. Dicey unsurnya :
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada kekuasaan
yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya berdasarkan pada
hokum;
b. Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan yang
sama dalam menghadapi hukum (equality before the law);
c. Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu yang merupakan
bagian dari Konstitusi (human rights protection).9
Konsep negara hukum selanjutnya berkembang menjadi dua sistem hukum
yakni, sistem hukum eropa kontinental dengan istilah rechtstaatdan sistem anglo
saxon(rule of law).10Dalam konsep Negara hukum, Pemerintah memiliki fungsi untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan bukan
berarti Pemerintah dapat bertindak sewenang-wenang sebab Negara hukum 8Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik,Erlangga, Jakarta, h. 29
9C.S.T Kansil dan Chistine S.T Kansil, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, h. 14
10Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 162
15
(rechtstaat) sebagaimana yang disebutkan oleh Hamid S. Attamimi dengan mengutip
Burken : “Adalah Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara
dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah
kekuasaan hukum“.11
Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan “Indonesia
adalah Negara Hukum”. Kemudian untuk menindak lanjuti apa yang dimaksudkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka setiap tindakan
harus didasarkan atas hukum. Bila mengkaji Negara Indonesia, maka Negara
Indonesia merupakan Negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Menurut Sri
Soemantri Martosoewignjo, unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, yaitu:
1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
negara;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu
berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupunyang tidak
tertulis;
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang khusus
11Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.21.
16
untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruh-pengaruh
lainnya.12
Teori Negara Hukum ini dipergunakan untuk melihat keterkaitan antara
keputusan yang dibuat oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kepada seseorang
atau badan hukum perdata. Dengan adanya unsur peradilan administrasi negara, maka
apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan suatu KTUN yang
merugikan atau melanggar hak asasi seseorang, badan hukum perdata, maka dapat
diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
1.7.2. Teori Kewenangan
Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari hukum
tata negara dan hukum administrasi negara.13Pemerintahan (administrasi) baru dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan
tindak pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan (legalitietbeginselen).14Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan
atau tindakan pemerintahan. Setiap perbuatan pemerintah harus diisyaratkan harus
bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah seorang
12Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung, h. 277 13 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, h. 23 10Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok HukumAadmiistrasi, LaksbangPresindo,
Yogyakarta. h. 49
17
pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan
pemerintah.15
Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda
pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung Hak dan Kewajiban dalam
suatu hubungan hukum publik. H.D Stout mengatakan bahwa: Bevoegdheid is
eenbegrip uit het bestuurlijkeorganisatierecht, wat kan wordenomschrevenals het
geheel van regels dat betrekkingheeft op de verkrijging en uitoefening van
bestuursrechtelijkebevoegdhedendoorpubliekrechtelijkerechtssubjecten in het
bestuursrechtelijkerechtsverkeer.16 (wewenang merupakan pengertian yang berasal
dari organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai sebagai keseluruhan
aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik).
Pemerintah dalam mengambil suatu tindakan, harus didasarkan pada hukum
yang berlaku, oleh karena itu agar suatu tindakan pemerintah dikatakan sah, maka
hukum memberikan suatu kewenangan kepada pemerintah untuk bertindak maupun
tidak. Menurut Philipus M. Hadjon, Kewenangan membuat keputusan hanya dapat
diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi.17
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
15Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 77 16Ridwan HR, op.cit, h.98 17PhilipusM.Hadjondkk , 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, h.130
18
Kewenangan yang sumbernya dari peraturan perundang-undangan disebut dengan
kewenangan konstitusionalisme yang merupakan sejumlah ketentuan hukum yang
tersusun secara sistematis untuk menata dan mengatur struktur dan fungsi-fungsi
lembaga negara.18 Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah melakukan tindakan
nyata, mengadakan peraturan ataupun mengeluarkan keputusan tata usaha negara
dapat dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan
mandat.19 Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undangkepada organ pemerintahan.
b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya.
c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.20
Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan diperoleh,
yaitu pertama, kekuasaan diperoleh melalui attributie. Setelah itu dilakukan
pelimpahan dan dilakukan dalam dua bentuk yaitu delegatie dan mandaat. Di sisi lain
pelimpahan wewenang pusat kepada daerah didasarkan pada teori kewenangan, yaitu
pertama kekuasaan diperoleh melalui atribusi oleh lembaga negara sebagai akibat dari
18Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka
Publisher. h.11. (Selanjutnya diesebut Jazim Hamidi II) 19I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan Sistem Hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan Untuk Pembangunan berkelanjutan, Cet 1, Pustaka Sutra, Bandung, h. 82. 20Ridwan HR ,op.cit, h. 102.
19
pilihan sistem pemerintahan, setelah menerima kewenangan atribusi berdasarkan
UUD NRI Tahun 1945 untuk kemudian dilakukan pelimpahan yang dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu delegasi dan mandat.
Dalam hal atribusi tanggung jawab wewenang ada pada penerima wewenang
tersebut (atributaris), pada delegasi tanggung jawab wewenang ada pada penerima
wewenang (delegans) dan bukan pada pemberi wewenang (delegataris), sementara
pada mandat tanggung jawab wewenang ada pada pemberi mandat (mandans) bukan
penerima mandat (mandataris). Jika dilihat dari sifatnya wewenang itu dapat
dibedakan menjadi tiga yakni:
a. Wewenang yang sifatnya terikat yakni terjadi apabila telah dirumuskan secara
jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus dilaksanakan serta
telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya diambil.
b. Wewenang fakultatif yakni wewenang tersebut tidak wajib dilaksanakan
karena masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan pada
keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan pada peraturan
dasarnya.
c. Wewenang bebas yakni wewenang yang dapat dilakukan ketika peraturan
dasarnya memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata usaha negara
untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan diambilnya.21
21Ridwan HR, op.ci, h. 197-108.
20
Berkaitan dengan teori kewenangan akan mengkaji apa dasar kewenangan
bagi Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Hubungan Industrial dalam
mengadili sengketa kepegawaian dalam BUMN.
1.7.3. Konsep Hak Asasi Manusia Untuk Bekerja
Hak asasi manusia baru diakui secara universal pada pertengahan abad ke-20,
yakni dengan ditandatanganinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
oleh 48 negara dari 50 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tanggal 10 Desember 1948 di Paris.22 DUHAM terdiri dari 30 Pasal, yang secara
umum dapat digolongkan kedalam dua kelompok hak. Kelompok hak pertama adalah
hak sipil dan politik, yang tercantum dalam Pasal 1-21 DUHAM. Kelompok hak yang
kedua adalah hak ekonomi, sosial dan budaya, yang tercantum dalam Pasal 22-28
DUHAM.
Dilandasi oleh pertimbangan agar DUHAM dapat mengikat secara hukum,
sekitar 18 tahun setelah dideklarasikannya DUHAM tepatnya tanggal 16 Desember
1966, Majelis Umum PBB mengesahkan dua kovenan internasional yang merupakan
penjabaran lebih lanjut dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam DUHAM.
Kedua kovenan tersebut ialah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant
on Economic, Social and Cutural Rights). Kedua kovenan tersebut kemudian menjadi
22 Suryadi Radjab, 2002, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, PBHI Bekerjasama dengan The
Asia Foundation, Jakarta, h.23
21
instrumen yang bersifat dasar dan induk dari pelaksanaan penghormatan dan
perlindungan hak asasi manusia.23 Dalam perkembangan selanjutnya, konsep hak
asasi manusia di-positifisasi kedalam bentuk-bentuk hukum tertulis, baik pada tataran
hukum internasioanl maupun pada tataran hukum nasional setiap negara. Dalam
lingkup hukum tata negara, pengaturan hak-hak asasi dalam hukum positif pada
umumnya dituangkan dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar masing-masing
negara.
Hak Asasi Manusia terkait pekerjaan dalam hukum nasional di Indonesia
terlihat jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah memasukkan banyak
pengaturan tentang hak asasi manusia dalam amandemennya yang keempat, yakni
pada Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”. Selain dalam konstitusi, norma hak pekerja juga terdapat dalam
jenjang hukum yang lebih rendah tingkatannya, yakni Pasal 38 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam
Pasal 38 ayat (2) undang-undang tersebut dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak
dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan yang adil”. Pasal 38 ayat (3) menyatakan “ Setiap orang, baik pria
maupun wanita, yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa
berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama”. Pasal 38 ayat (4)
23 Jayadi Damanik, 2007, Pertanggungjawaban Hukum atas Pelanggaran HAM melalui
Undang-Undang yang diskriminatif di Indonesia Pada Era Soeharto, PT Bayu Media Publishing, Malang, h.75
22
menyatakan “Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan
yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai
dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya”.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka sudah sangat jelas bahwa hak-hak pekerja
telah diakui dan dijamin oleh negara Indonesia, baik dengan mekanisme ratifikasi
terhadap norma-norma hukum internasional maupun yang langsung berasal dari
ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Pengaturan ketenagakerjaan
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan didasari atau berkaitan erat dengan upaya perlindungan hak asasi
pekerja, hal ini nampak dalam banyak pengaturan pasal-pasal dalam undang-undang
tersebut yang diikuti dengan sanksi administrasi bagi pelanggarnya.
Dalam hukum perburuhan tidak saja hanya melibatkan pengusaha dan buruh
saja namun dengan semakin berkembangnya masalah ketenagakerjaan dalam arti
yang luas, maka jangkauan hubungan perburuhan kemudian meluas tidak hanya
menyangkut buruh dan pengusaha, tetapi juga meliputi pemerintah dan masyarakat.
Negara yang dalam hal ini direpresentasikan oleh suatu instansi yang berwenang
harus terlibat atau memiliki keterkaitan dalam masalah perburuhan oleh karena
negara merupakan faktor yang sangat penting dalam hukum perburuhan modern,
seperti adanya keterlibatan pemerintah dalam penyelesaian sengketa atau kasus
ketenagakerjaan melalui lembaga Tripartit. Lembaga Tripartit di tingkat pusat dan
daerah diharapkan dapat menjalankan peranannya untuk mengadakan dialog,
komunikasi dan konsultasi. Atas dasar ini diharapkan dapat merumuskan pemecahan
23
atas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah.
Namun jika tidak terjadi kesepakatan, karyawan yang tidak puas dengan kesepakatan
bersama tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
dalam lingkungan Peradilan Umum, disinilah juga pemerintah memiliki peran dalam
melindungi hak-hak pekerja melalui jalur hukum. Bentuk perlindungan dari
pemerintah tentunya bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan bagi para pekerja
tersebut, sehigga apa yang menjadi hak-hak pekerja seperti halnya pesangon,
pemulihan nama baik, pembatalan suatu keputusan tetap dapat tercapai.
1.7.4. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan administratif merupakan suatu pengertian yang sangat umum dan
abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk keputusan-keputusan yang sangat
berbeda.24 Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sengketa tata usaha
Negara itu selalu merupakan akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara. Oleh karena itu, pengertian tentang apa yang dimaksud dengan Keputusan
Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah sangat
penting untuk dipahami, yakni sesuai dengan Pasal 1 angka 3 yang menentukan
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
24Philipus M.Hadjon, op.cit, h. 124
24
seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian dapat diuraikan unsur-unsur
Keputusan Tata Usaha Negara sebagai berikut:
a. Penetapan tertulis;
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
c. Berisi tindakan hukum tata usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
d. Bersifat konkret, individual dan final;
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata25
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang menentukan bahwa: Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
25R Wiyono, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta,h. 15
25
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.
Dalam menyusun keputusan, secara teoritis Pemerintah terikat kepada tiga
asas hukum, yakni:
1. Asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemerintahan maupun
administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechmatigeoverheidsdaad);
2. Asas legalitas(wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil berdasarkan
ketentuan undang-undang
3. Asas diskresi (discretie, freiesErmessen), artinya, pejabat penguasa tidak
boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya”
dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut
pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas
legalitas tersebut di atas. Ada dua macam diskresi yaitu “diskresi bebas”
bilamana undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan “diskresi
26
terikat” bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk
dipilih salah satu yang oleh pejabat Administrasi dianggap paling dekat.26
1.7.5. Konsep Sengketa Tata Usaha Negara
Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan
sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan pemerintah yang
bersifat sepihak. Keputusan sebagai instrument hukum pemerintah dalam melakukan
tindakan hukum sepihak, dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum
terhadap warga Negara, apalagi dalam Negara hukum modern yang memberikan
kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan warga
Negara, karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga Negara terhadap
tindakan hukum pemerintah. Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu
perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum preventif,
kepada rakyat diberikan kesempatan unuk mengajukan keberatan (inspraak) atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif..
Artinya bahwa perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, sedangkan perlindungan hukum represif adalah sebaliknya yakni untuk
menyelesaikan sengketa. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
26Ni Gusti Ayu Hendrani Sukma Lestari, 2010, Tesis dengan judul Eksistensi Klausul
Pengaman Dalam Keputusan Gubernur Bali Yang Berkarakter Keputusan Tata Usaha Negara, h. 22-23
27
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian tersebut tertulis
dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu :
a. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;
b. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara;
c. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara.
Penjelasan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
menyebutkan bahwa istilah “sengketa” yang dimaksudkan disini mempunyai arti
khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan
pendapat mengenai penerapan hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam
mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan
masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan
mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu, untuk itulah
diberikan kesempatan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Dalam pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa tata usaha
Negara, disebutkan termasuk “sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”, dalam hal ini yang dimaksud sengketa
28
kepegawaian berdasarkan Pasal 129 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara, dalam penjelasannya yakni sengketa yang diajukan oleh
Pegawai ASN terhadap keputusan yang dilakukan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian terhadap seorang pegawai dan diselesaikan melalui upaya administrasi
terdiri dari keberatan dan banding administrasi.
Dengan demikian, berpedoman pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, maka
yang dimaksud dengan sengketa kepegawaian adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang yang menduduki jabatan sebagai Pegawai
Negeri dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di
daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
kepegawaian. Terdapat beberapa hal dari pengertian sengketa kepegawaian yang
perlu mendapat perhatian, yaitu :
a. Sengketa kepegawaian tidak hanya terjadi di lingkungan Pegawai Negeri
Sipil saja, tetapi juga termasuk yang terjadi di lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, karena menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia juga termasuk Pegawai
Negeri.
b. Dalam sengketa kepegawaian tidak termasuk perselisihan perburuhan atau
perselisihan hubungan industrial, karena perselisihan ini adalah sengketa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
29
ketenagakerjaan jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Jadi dengan demikian, jika dikaji antara sengketa kepegawaian sesuai
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dengan sengketa kepegawaian dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, dapat dianalisa bahwa sengketa kepegawaian
dalam BUMN bukalah merupakan sengketa KTUN dan bukan kewenangan dari
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan memutuskannya.
1.7.6. Konsep Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang
memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan
kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum tersebut
dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. Dengan demikian sebagai badan
hukum, Perseroan Terbatas merupakan subjek hukum, yakni sebagai pendukung hak
dan kewajiban. Terkait dengan hal tersebut maka Perseroan Terbatas termasuk
Persero memiliki kekayaan terpisah dari pemegang sahamnya sebagai syarat badan
hukum.27 Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, “Badan Usaha
Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Ketentuan Pasal 1
27Ni Wayan Desi Aryanti, 2013, Tesis dengan Judul Prinsip-Prinsip Kepemilikan Saham
Pemerintah Dalam Perusahaan Milik Negara(Studi Perbandingan antara Indonesia dan Singapura), h. 43-44
30
angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mengatur bahwa “ Perusahaan
Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling
sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” Kemudian ketentuan Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 menyatakan “Modal BUMN
merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” Penjelasan Pasal 4
ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan
kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan
pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat. Hal ini dipertegas pula dalam ketentuan PP No. 33 Tahun
2006 yang menghapus Pasal 19 dan Pasal 20 PP 14 Tahun 2005. Pasal 2 ayat (1)
huruf a PP No. 33 Tahun 2006 menentukan pada saat berlakunya PP ini: Pengurusan
Piutang Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan
Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan tersebut
mempertegas pemisahan kekayaan Negara yang dimasukkan dalam Persero sebagai
kekayaan Persero. Kekayaan negara dalam arti luas dan fleksibel dapat mencakup
semua barang serta kekayaan alam, baik bergerak/tidak bergerak ataupun
berwujud/tidak berwujud yang dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
31
Pemerintah Daerah, dan BUMN/BUMD yang terbatas pada nilai jumlah penyertaan
modal negara. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, kekayaan negara dapat
dipersepsikan sebagai segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki
oleh negara baik di tingkat pusat maupun daerah dan BUMN/BUMD.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya,
kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-
permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.28
Ada beberapa pengertian penelitian hukum yang dikemukakan oleh para ahli
diantaranya: menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu,
dengan jalan menganalisanya.29SoetandyoWignyosoebroto, peneletian hukum adalah
seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer)
dan/atau jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu
28Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.38. 29H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18.
32
permasalahan.30 Apabila hukum dilihat dari aspek yuridis normatif dan yuridis
empiris maka dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu ilmu hukum tentang
kaidah, ilmu hukum tentang segi hukum yang dicita-citakan, dan ilmu hukum tentang
kenyataan yang hidup di masyarakat. Penelitian hukum secara lebih detail
dikemukakan oleh Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, yakni :
Penelitian hukum itu berdasarkan tujuannya terdiri atas pertama; penelitian hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. Kedua; penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang mencakup, penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas hukum.31 Dalam tesis ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Adapun penelitian hukum secara normatif adalah suatu pendekatan masalah yang
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan Peraturan Perundang-
undangan yang digunakan adalah terkait dengan permasalahan yang dibahas yang
kemudian dilakukan pemecahan masalah dengan menganalisa atau mengkaji
pengaturan yang berlaku sebagai dasar dari pemecahan masalah. Menurut Philipus M.
Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu hukum memiliki karakteristik yang khas, ciri
khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif.32
1.8.2. Jenis Pendekatan
Penelitian Hukum Normatif mengenal lima (5) jenis pendekatan yakni:
30ibid. 31Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. h. 153. 32Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan ketiga,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 1. (Selnajutnya disebut Philipus M. Hadjon II).
33
1. Pendekatan Undang-undang(The Statue Approach)
2. Pendekatan kasus (cases approach)
3. Pendekatan Sejarah (historical approach)
4. Pendekatan komparatif (comparatif approach)
5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)33
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan analisis konsep hukum
(Analitical and Conceptual Approach). Berikut ini adalah penjelasan untuk lebih
detailnya:
1. (The Statue Approach) peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus
dari penelitian ini dan karena sifat hukum yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait
anatar satu dengan yang lainnya secara logis.
b. All-inclusive, artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup
mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada
kekosongan hukum.
c. Systematic, yaitu bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang
lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hirarkis.
33Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan keenam, Kencana Prenada
Media Gruop, Jakarta, h. 93. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I).
34
2. Pendekatan kasus yaitu pendekatan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan khususnya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam
pendekatan ini, hukum tidak sematamata dikonsepsikan sebagai norma, tetapi
juga sebagai produk yang terwujud lewat proses judisial dari kasus ke kasus,
yang acap disebut “hukum in concreto” yang kemudian akan ditarik suatu
asas hukum. Kumpulan putusan Hakim yang mengakhiri perkara macam ini
disebut jurisprudentie dalam bahasa belanda dan judge made laws dalam
tradisi hukum di negeri-negeri penganut common law system.34
3. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach).
Pendekatan analitis ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah
hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, dengan begitu
peneliti memperoleh gambaran pengertian atau makna baru dari istilah-istilah
hukum dan menguji penerapan secara praktis dengan menganalisis putusan-
putusan hukum. Pendekatan konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik
tolak atau pendekatan bagi analitis penelitian hukum, karena akan banyak
muncul konsep-konsep bagi suatu fakta hukum.35
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
34 Soetandyo Wignyosoebroto,2008, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan
Metode Penelitiannya, dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, h. 45
35Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad,op.cit, 184-191.
35
Sumber Bahan Hukum terbagi menjadi dua, yaitu bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Penelitian ini ditulis dari dua sumber bahan hukum antara
lain:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.36 Bahan hukum primer
merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat.37 Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari :
a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Peraturan Dasar;
c. Batang tubuh UUD 1945;
d. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
e. Peraturan Perundang-undangan;
f. Keputusan Presiden dan yang setaraf;
g. Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf;
h. Bahan-bahan hukum yang belum dikodifikasikan, hal ini bisa ditemukan di
dalam hukum Islam dan hukum adat;
i. Yurisprudensi, atau keputusan pengadilan;
j. Perjanjian internasional (traktat);
36Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana, Jakarta, h.141.
(Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II). 37Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke 3, Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta, h. 52.
36
k. Bahan hukum yang ada sejak zaman penjajahan Belanda yang sampai saat
ini masih berlaku, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, dan sebagainya.38
Bahan hukum primer dalam penelitian ini yakni peraturan perundang-
undangan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas diantaranya :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha MIlik
Negara
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
f. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
g. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
h. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
i. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
38Zainuddin Ali, op.cit, h.23.
37
j. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap
bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari pakar hukum, dan sebagainya.39 Bahan hukum sekunder juga
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.40
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam hal penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi
pustaka terhadap bahan-bahan hukum dengan cara membaca, melihat, mendengarkan
maupun dengan media internet. Pengumpulan bahan hukum ada juga menggunakan
sistem kartu (card system), artinya peneliti membuat kartu-kartu yang digunakan
untuk mencatat data dari bahan pustaka tersebut. Kartu-kartu ini dibagi menjadi tiga
bagian yakni kartu kutipan, kartu ringakasan dan kartu saduran. Dalam setiap kartu
dicantumkan sumber data pustaka yang bersangkutan mulai dari judul, penulis,
penerbit, tempat terbit, tahun dan halaman. Selain itu pengumpulan bahan hukum ini
menggunakan teknik bola salju (snowbaal method)41. Metode bola salju adalah
39ibid, 40SoerjonoSoekanto, op.cit, h.52. 41 I Made Wahyu Candra, 2013, Tesis : Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem
Peradilan Pidana, h. 35.
38
metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu pada peraturan
perundang-undangan, dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka.
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis menggunakan teknik deskripsi, teknik argumentasi, teknik
sistematisasi dan teknik interpretasi. Teknik analisis secara deskripsi berarti
menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi hukum mengenai kewenangan yang
dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap sengketa kepegawaian BUMN.
Teknik argumentasi berarti penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang
bersifat penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan
rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-
undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.
Bahan hukum sekunder yang telah didapatkan dalam penelitian hukum
normative ini akan dianalisis secara deskriptif analitis. Deskriptif tersebut meliputi isi
dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk
menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijaikan rujukan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi obyek kajian.42
Dalam penelitian ini akan dilakukan pemaparan seta penentuan terhadap
makna dari aturan-aturan hukum terkait dengan kewenangan absolute PTUN dalam
mengadili sengketa kepegawaian BUMN dengan menggunakan teknik interpretasi
dapat dibedakan atas interpretasi gramatikal (tata bahasa), interpretasi autentik
(resmi), interpretasi historis (sejarah), interpretasi nasional, interpretasi sistematis,
42 Zainuddin Ali, Op.Cit, h. 107
39
interpretasi teologis, interpretasi peringkasan (acontrario), dan interpretasi analogis
(memberi tafsir). Adapun teknik interpretasi yang digunakan dalam penelitiam ini
adalah interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis. Pemaparan tersebut
Pemaparan tersebut dilakukan dengan teknik interpretasi :
1. Teknik interpretasi digunakan untuk melakukan penafsiran terhadap
norma-norma yang kabur. Dalam penelitian ini terdapat kekaburan norma
yang diakibatkan dari berbagai penafsiran mengenai pengertian Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara terkait dengan pengertian BUMN apakah
termasuk Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
2. Argumentsi hukum, yaitu melakukan penalaran hukum berupa pemikiran
dengan mnggali konsep (pengertian), proposisi (pernyataan) dan
melakukan penalaran.