bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah... · 1.1 latar belakang masalah media komunikasi...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Media komunikasi digital pada dasarnya ada tiga macam yaitu, tembaga,
udara dan kaca. Tembaga sebagai media komunikasi sejak lama, yang telah
berevolusi dari penghantar listrik menjadi penghantar elektromagnetik yang
membawa pesan, suara, gambar dan data digital. Berkembangnya teknologi
frekuensi radio menambah alternatif lain media komunikasi, yang disebut dengan
nirkabel atau wireless, sebuah komunikasi dengan udara sebagai penghantarnya.
Tahun 1980-an dikenalkan suatu media komunikasi yang sekarang menjadi tulang
punggung komunikasi dunia, yaitu serat optik. Sebuah media yang memanfaatkan
pulsa cahaya dalam sebuah ruang kaca berbentuk kabel (Hendriyana, 2006).
Teknologi penyaluran informasi melalui serat optik memiliki banyak
kelebihan dibandingkan 2 sistem komunikasi di atas. Beberapa kelebihan sistem
komunikasi menggunakan serat optik diantaranya adalah serat optik mampu
membawa arus informasi dalam jumlah besar dengan jarak jauh dengan loss
rendah dan juga sistem komunikasi ini lebih fleksibel, lebar pita frekuensi
( bandwidth ) yang lebar, murah, tidak mudah terbakar, redaman yang rendah,
tidak mengalirkan arus listrik, tidak terganggu gelombang elektromagnet, lebih
tipis dan sinyal degradasi yang kecil. Dari beberapa kelebihan ini, serat optik
menjadi pilihan utama untuk menggantikan media informasi yang lain (Tim
Elektron HME-ITB, 2000).
Serat optik juga mempunyai beberapa kelemahan, beberapa diantaranya
adalah sulitnya membuat terminal pada kabel serat, penyambungan serat harus
menggunakan teknik dan ketelitian yang tinggi. Selain itu, cahaya mengalami
pelebaran dan pelemahan, yang disebabkan karena ketidakmurnian bahan serat,
yang menyerap serta menyebarkan cahaya. Dalam instalasi sebuah sistem
transmisi serat optik, akan ditemui beberapa kesulitan diantaranya adalah pada
saat membagi sinyal yang dibawa dan mempertahankan intensitasnya. Kesulitan
2
pembagian sinar dapat diatasi dengan penggunaan splitter yang biasanya
berbentuk planar waveguide, dengan adanya splitter ini maka satu input akan
menjadi dua atau lebih output. Persoalan mempertahankan intensitas dapat diatasi
dengan pembuatan penguatan pembangkit kabel. Penguatan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu menggunakan perangkat elektronik dan tanpa
menggunakan perangkat elektronik. Penguatan menggunakan perangkat
elektronik harus mengubah gelombang pembawa (laser) menjadi sinyal listrik
kemudian dikuatkan dengan rangkaian penguat elektronik lalu diubah kembali
menjadi laser. Sedangkan penguatan tanpa perangkat elektronik dapat berupa fiber
atau planar waveguide.
Penguat optik berbentuk planar mempunyai ukuran yang lebih kecil
sehigga lebih murah dan efisien. Pada penelitian ini dibuat pemandu gelombang
berbentuk plat (planar waveguide) yang bersifat pasif dengan menggunakan kaca
sode-lime. Pada penelitian ini digunakan kaca soda-lime dikarenakan kaca ini
mudah diperoleh di Indonesia dan harganya relatif murah.
Pemandu gelombang (waveguide) dapat dibuat dengan beberapa cara.
Diantaranya adalah metode sputtering, Chemical vapor deposition, Sol gel
coating, implantasi ion dan pertukaran ion (ion exchange) . Metode yang paling
umum dipakai untuk pembuatan waveguide adalah pertukaran ion. Alasannya
adalah karena metode ini lebih efisien, fleksibel dan mampu diproduksi secara
massal serta teknik ini relatif sederhana dan tidak memerlukan teknologi yang
rumit (Salavcova, 2004). Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode
pertukaran ion K+ dari leburan garam KNO3 dengan ion Na+ yang berada di dalam
kaca soda-lime. Karakterisasi yang dilakukan berupa pengukuran indeks bias kaca
soda-lime sebelum dan sesudah pertukaran ion, besarnya transmitansi, dan
menentukan jumlah mode gelombang yang dapat dijalarkan pada lapisan tipis
yang terbentuk dengan menggunakan metode prisma kopling .
3
1.2 Perumusan Masalah
Penampilan sifat optik waveguide dipengaruhi distribusi indeks bias.
Distribusi indeks bias tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi ion pendifusi dalam
subtratnya. Fabrikasi waveguide ini mengacu pada persamaan:
Dt
xerfcCc
40
(1.1)
Dt
xerfcnnxn s
2.)(
(1.2)
T
CCD 2
1 exp(1.3)
Dalam eksperimen ini diketahui pengaruh parameter fabrikasi (waktu, dan
konsentrasi KNO3 dalam leburan terhadap penampilan optik). Suhu yang dipakai
adalah 3050C untuk konsentrasi 50 % mol KNO3 serta 3350C untuk konsentrasi
70 % mol KNO3. Waktu yang dipakai 25 menit, 100 menit, 225 menit, 400 menit,
625 menit dan 900 menit.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh lapisan tipis hasil pertukaran ion K+ - Na+ sebagai bahan
pemandu gelombang.
2. Mengetahui pengaruh lamanya waktu pendifusian dan konsentrasi
terhadap perubahan indeks bias.
3. Menentukan dan mengetahui pengaruh lamanya waktu pendifusian dan
konsentrasi terhadap transmitansi.
4. Menentukan jumlah mode gelombang yang dapat dijalarkan pada
lapisan tipis yang terbentuk dengan menggunakan metode prisma
kopling.
5. Menentukan kedalaman lapisan tipis akibat pertukaran ion K+-Na+.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang penumbuhan
lapisan tipis dengan metode pertukaran ion (ion exchage).
2. Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai sifat optik dari
lapisan kaca soda-lime yang didifusi dengan KNO3-NaNO3.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kaca
Kaca adalah benda padat amorf yang mempunyai range keteraturan yang
pendek dan saat didinginkan atau dipanaskan menunjukkan adanya gejala kaca
transisi. Leburan material akan menjadi material padat berupa kristal atau kaca
jika leburan tersebut didinginkan (Gambar 2.1). Struktur material yang terbentuk
tergantung pada proses laju pendinginan. Jika leburan material didinginkan
dengan laju pendinginan lambat maka akan terbentuk suatu material dengan
struktur atom yang teratur yang bersifat stabil dan mempunyai volume yang relatif
kecil dan enthalphy yang relatif kecil, yaitu kristal. Namun apabila laju
pendinginan dilakukan secara cepat maka terbentuk material yang struktur
atomnya tidak teratur (Gambar 2.2) yang bersifat metastabil dan mempunyai
volume dan enthalpy yang relatif besar yaitu kaca (Shelby, 1997).
Gambar 2.1 Laju pendinginan Leburan material (Shelby, 1997)
Fast cooled
Slow cooled Phase transition:solid-to-liquid
Crystalline solid
glassSupercooling gradual solidi-fication
Time
temperatur
Tmelt
6
(a) (b)
Gambar 2.2. Contoh perbedaan antara struktur kristal dengan kaca. (a) Struktur
kristal SiO4
(b) Struktur kaca SiO4
(Shelby, 1997).
Proses pembentukan kaca berdasarkan laju pendinginan terbagi menjadi
dua jenis, yaitu laju pendinginan cepat (fast cooled glass) dan laju pendinginan
lambat (slow cooled glass) (Gambar 2.3). Kaca yang terbentuk dengan laju
pendinginan cepat memilki stuktur atom yang sangat tidak teratur dan memiliki
volume atau enthalpy yang besar. Kaca hasil pendinginan lambat akan memiliki
struktur atom yang lebih teratur daripada pendinginan cepat, namun masih bersifat
amorf dan memiliki volume atau entalphy yang lebih kecil.
Gambar 2.3. Pengaruh temperatur terhadap pembentukan kaca .
(a) Pengaruh temperatur tehadap enthalpy kaca (Shelby, 1997).
(b) Pengaruh temperatur terhadap volume kaca(Almeida, 2005).
(a) (b)
Liquidsupercooled
Slow cooled Glass
Temperature
Glass Transformation Range
Fast cooled Glass
Tfslow Tfast Tm
enthalpy
Tfslow Tfast
enthalpy
Liquid
supercooled
Fast cooled
Melting point
TemperatureXm
7
Pembentukan kaca yang terjadi ketika leburan didinginkan menunjukkan
adanya gejala kaca transisi. Kaca transisi merupakan peristiwa perubahan fase
suatu material diantara fase liquid dan padat. Setiap material ketika dipanaskan
memiliki titik lebur (melting point) yang berbeda. Kaca yang dipanaskan sebelum
mencapai titik lebur, terjadi keadaan seperti karet yang disebut dengan rubbery.
Temperatur dimana kaca berubah menjadi keadaan rubbery disebut suhu transisi
kaca (Tg) (Gambar 2.3). Besarnya suhu transisi kaca (Tg) mendekati 2/3 dari suhu
titik leburnya (Tm) (Almeida, 2005).
2.2 Pertukaran Ion (Ion Exchange)
Metode pertukaran ion adalah salah satu metode untuk membuat pandu
gelombang. Prinsip dasar metode pertukaran ion adalah adanya proses difusi ion.
Difusi ion adalah pergerakan secara acak dari ion-ion lincah pada medium
pendifusi dan terdifusi. Pergerakan ini ditujukan untuk mencapai suatu titik
kesetimbangan diantara kedua medium tersebut. Dalam metode pertukaran ion
terlebih dahulu menentukan titik lebur (melting point) dari suatu bahan yang akan
digunakan sehingga pada prose difusi dapat berjalan dengan baik. Gambar (2.4)
menunjukkan titik lebur (melting point) dari KNO3-NaNO3.
Gambar 2.4. Diagram fase KNO3-NaNO3 .
8
Proses pertukaran ion terjadi ketika ion-ion yang mudah bergerak pada
kaca, biasanya Na+ didesak oleh ion-ion yang ukurannya lebih besar atau ion-ion
yang tingkat polarisabilitasnya lebih tinggi. Contoh ion-ion yang
polarisabilitasnya lebih tinggi dari Na+ yaitu Ag+, K+, Cs+, dan Tl+ . Akibatnya,
indeks bias kaca akan meningkat. Perubahan indeks bias ini dapat dimanfaatkan
sebagai pandu gelombang. Pertukaran ion ini merupakan proses yang berkaitan
dengan suhu. Terkadang medan listrik digunakan untuk mempercepat proses
pertukaran ion. Biasanya ion-ion yang dimasukkan ke dalam kaca berasal dari
leburan garam. Tetapi pada pertukaran ion dengan bantuan medan listrik, lapisan
logam juga digunakan sebagai sumber ion (Najafi, 1992). Tabel 2.1 menunjukkan
beberapa garam pendifusi yang digunakan dalam proses pertukaran ion.
Tabel 2.1. Ion-ion yang umumnya digunakan dalam pertukaran ion. rA dan rB
adalah jari-jari ion dengan satuan Anstrom (Ǻ). Polarisability (α)
dengan satuan Ǻ3 (Yliniemi, 2007).
Salt ion
(A)
Glass ion
(B)
rA/rB αA/αB
Li Na 0.69 0.07
K Na 1.35 3.2
Rb K 1.12 1.5
Cs K 1.24 2.5
Tl Na 1.55 12.7
Tl K 1.12 3.9
Ag Na 1.33 5.6
Proses pertukaran ion ini berlangsung sampai fluks dari kedua ion ini akan
identik dan sampai terjadi kesetimbangan kinetik. Kesetimbangan kinetik antara
ion pendiffusi pada leburan garam dengan ion terdifusi pada kaca dapat dijelaskan
pada Persamaan (2.1).
9
BA AB (2.1)
Keterangan:
A+ : ion pendiffususian pada leburan garam
B+ : ion terdifusi pada kaca
Pertukaran ion dapat digunakan untuk membentuk lapisan tipis pada
permukaan kaca. Dimana proses pertukaran ion ini, akan meningkatkan indeks
bias permukaan kaca. Perbedaan indeks bias ini digunakan untuk memandu
cahaya pada planar waveguide. Hasil dari penumbuhan lapisan tipis berbentuk
graded index (Gambar 2.5). Indeks biasnya menurun dari permukaan lapisan tipis
sampai kedalaman tertentu indeks biasnya sama dengan indeks bias substrat
(Gambar 2.6).
Gambar 2.5.a Substrat sebelum pertukaran ion, b. Substrat setelah pertukaran ion
Gambar 2.6. Profil indeks bias dari pemandu gelombang yang terdifusi dengan
garam potassium nitrat pada suhu 4000C selama 2 jam (Najafi, 1992)
Proses pertukaran ion sangat bergantung pada konsentrasi suatu titik dan
lama proses pertukaran ion. Hubungan antara konsentrasi pada suatu titik berubah
hx
a. b.
10
terhadap waktu yang dapat dijelaskan dengan Hukum Fiks II yaitu Persamaan 2.2
(Najafi, 1992):
x
cD
xt
c (2.2)
Bila koefisien difusi tidak tergantung dengan komposisi maka,
2
2
x
cD
t
c
(2.3)
Dengan mengacu pada syarat batas untuk suatu proses difusi,
C(x,0)=0 (2.4)
C(0,t)=C0
Sehingga diperoleh Persamaan 2.5,berikut:
Dt
xerfcCtxC o
2, (2.5)
Dengan error function adalah
dtezerfcz
t
22
(2.6)
Pertukaran ion dapat terjadi apabila terdapat jarak antar ion-ion di dalam
bahan. Oleh karena itu, agar terdapat jarak antar ion maka pertukaran ion ini
dilakukan pada suhu yang tinggi. Pada kaca ion-ion yang mudah bergerak adalah
Na+, sedangkan pada ion pendifusi (biasanya berasal dari garam) harus memiliki
ukuran atom yang lebih besar agar dapat meningkatkan indeks bias pada lapisan
tipis yang dibentuk, misalnya Ag+, K+, Cs+, dan Tl+ . Namun demikian, tidak
semua bahan dapat digunakan sebagai pendifusi. Syarat agar dapat terjadi
pertukaran ion adalah tp TT , dimana Tp adalah titik lebur pendifusi dan Tt
adalah titik lebur terdifusi. Sehingga perlu diperhatikan titik lebur garam yang
akan digunakan untuk mendifusi. Titik lebur dari beberapa garam pendifusi yang
sering digunakan dalam proses pertukaran ion dapat ditunjukkan pada Tabel 2.2.
11
Tabel 2.2. Titik lebur dri beberapa garam dalam proses pertukaran ion
(Najafi, 1992)
Garam Titik Lebur (oC)
AgNO3
AgCl
NaNO3
KNO3
KNO3-AgNO3 (37:63 % mol)
LiSO4-K2SO4
KNO3-NaNO3 (50:50 % mol)
KNO3-Ca(NO3)2 (36:66 % mol)
TlNO3
CsNO3
CsCl
CsNO3-CsCl
RbNO3
212
455
307
334
132
512
220
150
206
414
646
405
310
2.3 Indeks Bias
Indeks bias didefinisikan sebagai perbandingan kecepatan perambatan
cahaya pada ruang hampa terhadap kecepatan perambatan cahaya pada suatu
materi seperti dirumuskan dalam Persamaan 2.7.
n
cv
v
cn (2.7)
Dimana:
c : kecepatan perambatan cahaya pada ruang hampa.
v : Kecepatan perambatan cahaya pada suatu materi.
n : Indeks bias materi yang dilalui berkas cahaya.
Sudut bias bergantung pada laju cahaya pada kedua media dan pada sudut
datang. Hubungan analitis antara sudut datang dan sudut bias dikenal sebagai
Hukum Snell.
12
Bila cahaya datang memasuki medium dengan indeks bias lebih besar
maka berkas cahaya dibelokkan mendekati garis normal. Sebaliknya bila cahaya
datang memasuki medium dengan indeks bias lebih kecil maka berkas cahaya
dibelokkan menjauhi garis normal. Pada sudut datang tertentu, sudut biasnya akan
900. Sudut datang dimana hal ini terjadi disebut sudut kritis, θc. Dari Hukum
Snell, θc dinyatakan dengan:
1
20
1
2 90sin2sinn
n
n
nc (2.8)
Perubahan indeks bias pada pertukaran ion dikarenakan adanya perbedaan
ukuran ion dan perbedaan polarisabilitas ion (Yliniemi, 2007). Hal ini berdasarkan
pada persamaan Lorentz-Lorentz (Persamaan 2.9)
2
1
4
32
2
n
n
N (2.9)
Dimana, α : polarisabilitas bahan
N : jumlah molekul per unit volume
n : indeks bias
Perubahan indeks bias pada lapisan hasil dari proses pertukaran ion
dipengaruhi oleh waktu pendeposisian dapat dijelaskan dari penyelesaian Hukum
Fick kedua (Persamaan 2.10) (Najafi, 1992).
Dt
xerfcnnxn s
2.)( (2.10)
Dimana, n(x) : indeks bias pada kedalaman x
n : perubahan indeks bias
x : kedalaman lapisan tipis
D : koefisien difusi
ns : indeks bias substrat
Erfc : fungsi eror komlemen
Dt2 : ketebalan lapisan tipis
Nilai D dipengaruhi oleh parameter suhu pendifusian (Persamaan 2.11)
(Najafi, 1992).
13
T
CCD 2
1 exp (2.11)
Dimana, C1 : tetapan
C2 : energi aktivasi
T : suhu pendefusian
Indeks bias juga berkaitan dengan panjang gelombang. Bila panjang
gelombang lewat dari suatu material ke dalam material kedua dengan indeks bias
yang lebih besar, sehingga n2>n1, maka laju gelombang akan berkurang. Panjang
gelombang kedua akan lebih pendek daripada panjang gelombang material
pertama. Jika material kedua mempunyai indeks bias yang lebih kecil daripada
material pertama, sehingga n2<n1, maka laju gelombang itu bertambah. Maka
panjang gelombang material kedua akan lebih panjang daripada panjang
gelombang material pertama.
Beberapa hal yang mempengaruhi indeks bias suatu material adalah
sebagai berikut :
a. Kerapatan Material.
Kerapatan material mempunyai peranan untuk mengendalikan
besarnya indeks bias suatu material. Kerapatan suatu material didefinisikan
sebagai perbandingan antara massa (m) dan volume (v) :
v
m (2.12)
Cahaya yang merambat pada medium yang memiliki kerapatan yang tinggi akan
memiliki kecepatan yang lebih kecil dari pada medium yang kerapatannya rendah,
karena pada medium kerapatan tinggi partikel cahaya akan lebih banyak mengenai
tumbukan akibat indeks bias di medium tersebut berbeda.
b. Ekspansi Thermal
Ekspansi thermal suatu material dapat menyebabkan naik turunnya
indeks bias. Kerapatan material akan turun ketika dipanaskan, karena volume dari
bahan akan mengembang sehingga indeks bias gelas akan turun. Polarisabilitas
ion akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu yang akan meningkatkan
indeks bias, yang mungkin sebanding dengan kenaikan kerapatan.
14
c. Kerapatan Elektron dan polarisabilitas
Indeks bias suatu gelas akan ditentukan oleh interaksi antara cahaya
dengan elektron atau polarisabilitas ion akan meningkatkan indeks bias. Oleh
karena itu, sebuah material yang terdiri dari atom dengan jumlah ion sedikit yang
berarti bahwa kerapatan elektron dan polarisabilitas rendah akan memiliki indeks
bias kecil. Karena sebagian besar kandungnan ion pada gelas adalah anion, maka
kontribusi dari anion ini sangatlah penting.
2.4 Pemantulan Internal Total
Jika sinar datang dari medium rapat (n1) dengan membentuk sudut θ1
menuju medium renggang (n2) maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal
membentuk sudut θ2 (Gambar 2.7). Hal ini menjadi dasar persamaan Snellius
yang dinyatakan oleh persamaan (2.13) (Keiser, 2000).
1
2
2
1
sin
sin
n
n
(2.13)
Apabila sinar datang dari medium rapat diperbesar sampai sudut tertentu
sehingga sinar yang dibiaskan membentuk sudut θ2=90 terhadap normal, maka
sudut sinar datangnya disebut sudut kritis θc (Gambar 2.7). Dengan melihat
Persamaan (2.14) maka besarnya sudut kritis θc dinyatakan sebagai berikut :
1
2sinn
nc (2.14)
Jika sudut datang dari medium rapat diperbesar melebihi sudut kritis,
maka sinar akan dipantulkan seluruhnya ke medium yang sama (medium rapat)
(Gambar 2.7). Peristiwa ini disebut pemantulan internal total ( Total Internal
Reflection / TIR ) (Keiser, 2000). Peristiwa pemantulan internal total ini menjadi
prinsip dasar dalam kerja fiber optik.
15
Gambar 2.7. Sinar datang dari medium rapat ke medium renggang
2.5 Transmitansi
Absorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan suatu bentuk interaksi
antara gelombang cahaya (foton) dengan atom/molekul. Energi yang diserap oleh
atom/molekul akan digunakan elektron didalam atom untuk bereksitasi/berpindah
ketingkat energi elektronik yang lebih tinggi. Absorbsi hanya terjadi jika selisih
kedua tingkat energi elektronik tersebut (E = E2 – E1) bersesuaian dengan
energi cahaya yang datang, yakni:
fotonEE (2.15)
Absorbansi terjadi pada saat foton bertumbukan langsung dengan atom-
atom pada suatu material. Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang
diserap oleh suatu lapisan tipis dari total cahaya yang dilewatkan pada lapisan
tipis tersebut. Absorbansi (A) suatu larutan dinyatakan sebagai Persamaan 2.16
OI
ITA 110log10log (2.16)
dengan A adalah absorbansi, T adalah transmitansi, Io adalah berkas cahaya
datang (W.m-2), dan I1 adalah berkas cahaya keluar dari suatu medium (W.m-2)
(Hendayana, 1994).
θ1
θ2
Indeks bias rendah(n2)
Indeks bias tinggi(n1)
Sinar datang
Sinar bias
c
16
Absorbansi lapisan tipis bertambah dengan penguatan energi cahaya/foton.
Bila ketebalan benda atau konsentrasi materi yang melewati cahaya bertambah,
maka cahaya akan lebih banyak diserap. Jadi absorbansi berbanding lurus dengan
ketebalan d dan konsentrasi c. Koefisien absorbansi ( ) merupakan rasio antara
absorbansi (A), dengan ketebalan bahan d yang dilintasi cahaya. Sehingga dapat
ditulis dalam bentuk Persamaan (2.17)
d
A (2.17)
Gambar 2.8. Pengurangan energi radiasi akibat penyerapan
(Hendayana, 1994)
Pada Gambar 2.17 tampak bahwa cahaya dengan intensitas mula-mula (Io)
melewati suatu bahan dengan ketebalan d dan dengan konsentrasi zat penyerap
cahaya c. Cahaya tersebut ada yang diserap, ditransmisikan maupun dipantulkan.
Setelah melewati bahan, intensitas cahaya akan berkurang menjadi (I1).
Besarnya intensitas cahaya setelah melewati bahan dapat dituliskan seperti
Persamaan 2.18.
doeIdI (2.18)
Dimana koefisien absorbsi dapat dituliskan dalam Persamaan 2.19.
oI
IIn
d11 (2.19)
Dimana
(2.20)
17
Jika I1/Io dari Persamaan (2.19) merupakan perbandingan intensitas
cahaya yang diteruskan dengan cahaya yang datang merupakan nilai besarnya
transmitansi (T) seperti yang ditunjukkan pada Persamaan (2.20) maka Persamaan
(2.19) dapat dituliskan sebagai Persamaan (2.21)
InTd
1 (2.21)
Transmitansi larutan T merupakan bagian dari cahaya yang diteruskan
melalui suatu bahan. Transmitansi (T) biasanya dinyatakan dalam persentase
(%T). Dan besarnya Transmitansi bergantung pada bahan dan panjang
gelombang cahaya yang melewati suatu bahan.
2.6 Pemandu Gelombang
Pemandu gelombang merupakan sebuah piranti yang didesain untuk
membawa energi gelombang sepanjang lintasan tertentu. Pemandu gelombang
dapat dibuat dari bahan yang bersifat lossless, isotropis, homogen, dan linier
seperti alumunium, tembaga dan kaca. Pemandu gelombang optik bekerja atas
dasar Hukum Snellius. Pemandu gelombang ini dibentuk dari dua lapisan utama,
yaitu lapisan tipis yang menempel pada substrat dan substrat itu sendiri. Lapisan
tipis mempunyai indeks bias yang lebih tinggi dibandingkan dengan indeks bias
substrat.
Gelombang yang terperangkap dalam lapisan dielektrik, secara perlahan-
lahan akan melemah. Ini karena cahaya terpancar keluar lapisan dielektrik pada
setiap pantulan dari bidang batasnya. Jika sudut datang gelombang di dalam
lapisan memenuhi syarat pantulan total, maka gelombang tersebut tidak akan
merugi melainkan akan merambat sepanjang lintasan dielektrik tersebut.
Gelombang yang demikian terkungkung dalam lapisan, dinamakan gelombang
terpadu dan lapisan dielektrik tersebut dinamakan pandu gelombang. Mekanisme
terjadinya gelombang terpadu dalam pemanduan gelombang dapat dijelaskan
dengan pendekatan sinar optik maupun mode gelombang. Dalam pendekatan sinar
optik, gambaran mengenai mode-mode gelombang terpandu dapat dijelaskan
18
sebagai berkas yang terpandu melalui lintasan zig-zag di dalam film akibat
pemantulan total seperti terlihat dalam gambar 2.9
Gambar 2.9. Mekanisme pemanduan gelombang (Cisco, 2001).
Menurut bentuk geometrinya pemandu gelombang dibagi menjadi dua
yaitu berbentuk serat optik dan planar waveguide. Mekanisme penjalaran cahaya
pada planar waveguide yaitu dengan pemanduan gelombang seperti pada serat
optik, bedanya pada serat optik bersifat simetris. Jenis planar waveguide pun juga
ada dua, yaitu step index dan graded index. Untuk step refraktive index, lapisan
tipis pada plat kaca terlihat dimana bagian dalam dan permukaan lapisan jumlah
ion terdifusinya sama. Sedangkan untuk granded refraktive index lapisan tipis
pada kaca semakin kedalam semakin sedikit ion yang terdifusi.
Dalam planar waveguide, seberkas cahaya yang terpandu akan melalui
suatu lintasan zig-zag di dalam lapisan tipis akibat adanya pemantulan total
(Gambar 2.10). Pemantulan cahaya dalam lapisan tipis didasarkan Hukum
snellius karena perbedaan indeks bias, n1 lebih besar dari n2.
Gambar 2.10. Mekanisme pemandu gelombang pada perambatan cahaya pada plat dielektrik.
n2
Reflected
Clading
Core
n=index of refractionn1>n2 gives total internal reflection
Reflected
n1
19
Material lain merupakan cover yang bahannya bisa sama dengan substrat
atau material yang berbeda dengan substrat. Jika tidak menggunakan cover, maka
material lain yang dimaksud adalah berupa udara.
2.7 Mode Gelombang
Pendekatan cahaya sebagai sinar dapat menerangkan bagaimana arah dari
sebuah gelombang datar merambat di dalam sebuah serat namun tidak meninjau
sifat lain dari gelombang datar. Sifat ini adalah interferensi, dimana gelombang
datar saling berinterferensi sepanjang perambatan. Hal ini mengakibatkan hanya
tipe-tipe gelombang datar tertentu saja yang dapat merambat sepanjang serat.
Sehingga diperlukan tinjauan optik fisis yaitu memandang cahaya sebagai
gelombang elektromagnetik yang disebut teori moda.
Teori mode memandang cahaya sebagai sebuah gelombang datar yang
dinyatakan dalam arah, amplitudo dan panjang gelombang dari perambatannya.
Misal muka gelombang memasuki sebuah pandu gelombang seperti pada Gambar
2.9 maka gelombang akan mengalami perubahan fase sepanjang perambatan di
dalam pandu gelombang. Perubahan fase juga terjadi saat gelombang dipantulkan.
Muka gelombang harus tetap sefase setelah muka gelombang transverse
memantulkan bolak-balik. Jarak transverse ditunjukkan antara titik A dan B pada
Gambar 2.9. Gelombang dipantulkan pada titik A dan B adalah sefase jika total
perubahan fase memenuhi Persamaan 2.22 (Cisco, 2001).
= m 2 (2.22)
dimana m adalah bilangan bulat.
Dalam prakteknya, intensitas gelombang akan menurun karena adanya
penyerapan dan penghamburan (scattering). Penghamburan disebabkan oleh
ketakhomogenan bahan dan ketaksempurnaan batas. Mode-mode yang berorde
tinggi dan bersudut curam merambat pada lintasan zig-zag yang lebih panjang
dari pada yang berorde lebih rendah. Maka mode berorde tinggi menderita rugi
serapan yang lebih besar. Mode-mode yang mendekati putus (cut off) adalah
mode-mode yang berorde lebih tinggi dan sinarnya mendekati sudut kritis. Sinar-
20
sinar ini akan mudah disimpangkan di bawah sudut kritis sehingga medannya
akan menembus dalam ke lapisan luar lapisan tipis. Variasi cahaya pada bidang
yang melintang terhadap sumbu pemandu membentuk pola melintang. Di daerah
ini mode-mode tersebut akan mengalami penyerapan dan penyusutan dengan
cepat. Pola mode melintang di dalam pandu gelombang plat simetris ditunjukkan
pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Pola mode melintang di dalam pemandu gelombang
(Keiser, 2000).
2.8 Gelombang Evanescent
Pemantulan internal total (Total Internal Reflection/TIR) menyebabkan
adanya energi yang terkopel ke medium lain yang cukup rapat. Hali ini
mengakibatkan sebagian energi gelombang cahaya akan hilang, dan disebut
sebagai kegagalan pemantulan Frustrated Total Internal Reflection (FTIR) dan
gelombang cahaya yang terkkopel ke medium lain tersebut disebut dengan
gelombang evanescent. Gelombang yang ditrasmisikan tersebut terjebak dalam
medium antara prisma dengan lapisan tipis. Medium antara prisma dengan lapisan
tipis adalah udara dengan kerapatan sangat kecil (Gambar 2.12).
h
n2
n1
n2
M2 M3 M4M1
21
Persamaan gelombang yang ditrasmisikan saat terjadi pembiasan adalah:
(2.23)
Dimana pada bidang koordinat diperoleh persamaan:
(2.24)
(2.25)
Dimana
(2.26)
Persamaan diatas merupakan persamaan akhir dari Hukum Snellius. Pada sudut
kritis sin = n dan cos =0. Ketika terjadi TIR sin n, maka cos menjadi
imajiner murni dan dapat ditulis:
(2.27)
Jadi factor eksponensialnya adalah:
(2.28)
Pada definisi real, bilangan positifnya adalah
z
h
c
p
n4
c
p
n3
n1
n2
y
x
Gelombang evanescent
Gambar 2.12. Mekanisme pengkoplingan cahaya.
22
(2.29)
Kemudian pada gelombang transmisinya menjadi
(2.30)
Persamaan diatas menunjukkan bahwa amplitudo gelombang akan menurun
secara eksponensial saat gelombang cahaya memasuki medium yang lebih
renggang di arah y. Sedangkan bilangan i merupakan factor eksponensial yang
membentuk gelombang harmonik dengan satuan amplitudo. Saat gelombang
masuk ke dalam medium yang lebih renggang, nilai amplitudo akan menurun
sebesar I/e
(2.31)
Dengan y kedalaman penetrasi(depth penetration)(nm), sudut dasar prisma, n4
indeks bias prisma, dan n3 indeks bias udara(Pedrotti, 1993). Gelombang
Evanescent merupakan gelombang yang ditimbulkan oleh adanya efek Tunneling
di dasar prisma. Energi dari gelombang Evanescent ini kembali ke medium
asalnya, kecuali jika suatu medium yang kedua diperkenalkan masuk ke dalam
daerah dari penetrasi. Kegagalan dari pemantulan total internal (TIR) dapat
diaplikasikan sebagai variabel keluaran dari pengkoplingan, dibuat dari dua
prisma sudut siku-siku yang dipisahkan sepanjang permukaan diagonalnya dapat
secara hati-hati disesuaikan untuk bertukar-tukar antara jumlah gelombang
Evanescent yang terkopel dari prisma satu dengan prisma yang lain. Aplikasi
praktis lain yang melibatkan sebuah prisma yang didekatkan pada permukaan
pandu gelombang optik sehingga gelombang Evanescent muncul dari prisma
dapat dikopel ke dalam pandu gelombang pada sudut (mode) perambatan yang
telah ditentukan. (Pedrotti, 1993).
Seberkas cahaya yang menuju bidang pantul pada sudut θi akan
dipantulkan kembali pada sudut θr sesuai dengan Hukum Pantul yaitu θi = θr,
23
sudut diukur dari normal bidang, akan tetapi jika berkas cahaya menuju ke
permukaan yang tidak memantulkan secara sempurna, berkas cahaya akan
dibelokkan di sekitarnya. Sebenarnya cahaya tidak dibelokkan, tetapi
kecepatannya berubah. Pada pemantulan total internal (dimana ni>nr) semua
cahaya yang datang akan dipantulkan kembali ketika sedut datang lebih besar atau
sama dengan sudut kritis θc. Sementara pada FTIR tidak seluruhnya dipantulkan,
ada pancaran gelombang di sekitar medium yang terjebak yang merupakan bagian
dari sinar datang pada medium.
2.9 Prisma Kopling
Prisma kopling adalah alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi mode
dari planar waveguide. Parameter yang diukur dalam prisma kopling yaitu sudut
datang pada dasar prisma akibat pemanduan gelombang dan jumlah mode
gelombang.
Gambar 2.13. Prinsip kerja prisma kopling (a) pola bright spot terbelah
(b) pola bright spot bulat penuh (Tien, 1969).
Ketika berkas cahaya mengenai prisma maka berkas cahaya dibiaskan ke
dalam prisma. Akibat peristiwa pemantulan internal total maka berkas sinar
tersebut dipantulkan ke dalam prisma dengan arah berbeda (Gambar 2.13). Ada
tidaknya pemanduan gelombang pada lapisan tipis dapat dilihat dari pola bright
(a) (b)
n1
n2
n3
n4
h
n1
n2
n3
n4
h
24
spot. Jika pola bright spot bulat penuh maka tidak terjadi pemanduan gelombang
pada lapisan tipis atau cahaya tidak terkopel (Gambar 2.13.b). Jika pola bright
spot terbelah maka terjadi pemanduan gelombang pada lapisan tipis atau cahaya
terkopel (Gambar 2.13.a).
Peristiwa pemanduan gelombang pada lapisan tipis terjadi secara
berulang-ulang dengan sudut yang berbeda. Hal ini dikenal dengan mode
gelombang. Mode gelombang adalah sudut-sudut yang dibentuk dalam prisma
yang menyebabkan terjadinya pemanduan gelombang pada lapisan tipis. Jumlah
mode gelombang ini untuk menentukan kedalaman lapisan tipis.
Ketika berkas cahaya mengenai prisma dengan sudut tertentu , maka
berkas cahaya tersebut dibiaskan ke dalam prisma (Gambar 2.14). Berkas cahaya
mengenai dasar prisma sebagai sudut datang dalam prisma dipantulkan dengan
besar sudut yang sama. Berkas cahaya ada sebagian yang dibiaskan ke medium
antara prisma dengan lapisan tipis yang dikenal dengan gelombang evanescent.
Gelombang evanescent ini menyebabkan sebagian berkas cahaya masuk ke
lapisan tipis sehingga terjadi peristiwa pemanduan gelombang dalam lapisan tipis.
Gambar 2.14. Mekanisme perambatan cahaya dalam prisma kopling
(Tien, 1969).
Dari Gambar 2.14, sudut datang pada dasar prisma dapat ditentukan dengan
menggunakan Persamaan 2.32 (Tien, 1969).
p
o
n
sinsin45 1 (2.32)
25
Hubungan antara jumlah mode maksimum dengan ketebalan lapisan tipis pada
pandu gelombang step index dirumuskan
(2.33)
Dengan M adalah jumlah mode gelombang, d kedalaman difusi (m), k bilangan
gelombang (m-1), n1 indeks bias lapisan tipis, n2 indeks bias substrat.
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental di
laboratorium. Penelitian ini meliputi penumbuhan lapisan tipis pada kaca soda-
lime dengan metode pertukaran ion K+ - Na+ (ion exchange). Lapisan tipis yang
terbentuk akan digunakan sebagai pandu gelombang. Selanjutnya lapisan tipis
dikarakterisasi dengan cara menentukan indeks bias sebelum dan sesudah terdifusi
dengan menggunakan refraktometer ABBE, menentukan transmitansi lapisan tipis
menggunakan Ultra Violet-Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 601 PC.
Kemudian menentukan jumlah mode gelombang yang dapat dijalarkan pada
lapisan tipis yang terbentuk dengan menggunakan metode prisma kopling.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Optik dan sub Laboratorium
Fisika UPT Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret mulai bulan September
sampai Desember 2009.
3.3 Alat dan Bahan yang Digunakan
1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah:
a. Pemotong Kaca
b. Timbangan
c. Crusible
d. Ultrasonic Cleaner
e. Furnace
f. Refraktometer ABBE
g. Ultra Violet-Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 601 PC
h. Set Alat Prisma Kopling yang terdiri dari:
27
1. Prisma BK dengan indeks bias 1,51509
2. Laser He-Ne dengan λ = 632,8 nm
3. Busur derajat dengan ketelitian 0,10
4. Penggaris berjarum sebagai penunjuk skala
5. Lensa
6. Polarisator
7. Layar
8. Meja sebagai dudukan alat
i. Penggerus
j. Pinset
k. Gelas Beker
l. Amplas
m. Kawat
n. Senter
Gambar alat secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 1
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Kaca Soda-lime
b. Leburan 50 % mol dan 70 % mol KNO3
c. Monobronaftalin
d. Aquades
e. Tissue
Gambar bahan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 2
3.4 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 3.1
28
Gambar 3.1. Diagram Alir Tahap-Tahap Penelitian
Perubahan Indeks BiasTransmitansi Jumlah mode gelombang
Analisa
Pemotongan kaca soda-lime Membuat leburan 50 % mol dan 70 % mol KNO3
Memasukkan kaca ke dalam leburan 50 % mol dan 70 % mol KNO3
Pembersihan substrat dengan ultrasonic cleaner
Karakterisasi
Penyiapan alat dan sampel
Kesimpulan
29
Detail tentang langkah-langkah penelitian di atas dapat dijelaskan pada
keterangan dibawah ini:
1. Penyiapan alat dan bahan
Penyiapan alat dan bahan dilakukan dengan menyiapkan kaca soda-lime
yang digunakan untuk tempat pendeposisian KNO3 dan NaNO3. Kaca ini
dipotong-potong menjadi bagian yang kecil agar dapat dimasukkan ke dalam
crusible tempat proses difusi. Kaca yang telah dipotong kemudian diberi tanda
dengan cara menggosokkan dengan amplas pada tepi kaca sampai tergores sedikit
sehingga dapat dibedakan antara sisi permukaan yang satu dengan permukaan
yang lainnya. Selain daripada itu juga menyiapkan alat-alat seperti Ultrasonic
Cleaner, Furnace, Refraktometer, Ultra Violet-Visible Spectroscopy Double
Beam Shimadzu 601 PC, dan seperangkat alat Prisma Kopling.
2. Karakterisasi awal kaca soda-lime
Pada proses ini, karakterisasi awal berupa pengukuran indeks bias kaca dan
transmitansi kaca soda-lime sebelum dilakukan treatment pertukaran ion K+-Na+.
Indeks bias dapat diukur menggunakan Refraktometer ABBE. Untuk mengukur
indeks bias diperlukan larutan monobromonaftalin. Larutan ini berfungsi untuk
memperbesar nilai Numerical Aperthure (NA) sehingga pengamatan pada
pengukuran menjadi lebih jelas. Transmitansi kaca diukur menggunakan Ultra
Violet-Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 601 PC. Karakterisasi awal
bertujuan untuk membandingkan perubahan indeks bias dan transmitansi sebelum
dan sesudah pertukaran ion (Maryanto, 2008).
3. Fabrikasi kaca dengan variasi waktu dan konsentrasi
Furnace dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu yaitu 3050 C. Setelah
suhu furnace mencapai 3050 C, serbuk 50 % mol KNO3dimasukkan ke dalam
furnace hingga melebur. Setelah serbuk 50 % mol KNO3 melebur kaca
dimasukkan ke dalam larutan 50 % mol KNO3 dengan posisi mendatar. Proses
pencelupan kaca ke dalam larutan ini dilakukan selama 25 menit, 100 menit, 225
menit, 400 menit, 625 menit dan 900 menit.
30
furnace
Setelah proses selesai, kaca waveguide yang terbentuk didinginkan secara
normal, tujuannya adalah agar kaca waveguide tidak retak atau pecah.
Langkah diatas juga digunakan untuk konsentrasi 70 % mol KNO3 yang
menggunakan suhu 3350C. (Zou, 2002). Skema penelitian digambarkan pada
Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Skema Alat pendifusian
4. Pembersihan kaca waveguide
Proses pertukaran ion menyebabkan sebagian permukaan kaca waveguide
yang terbentuk masih kelihatan kotor sehingga perlu dibersihkan. Proses
pembersihan kaca waveguide dilakukan dengan cara dicuci dengan Ultrasonic
Cleaner menggunakan aquades. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kotoran
dan lemak yang menempel pada kaca. (Bahtiar, 2006)
5. Karakterisasi kaca waveguide
Setelah proses pendifusian selesai, kaca kemudian dikarakterstik untuk
mengetahui perubahan sifat pada kaca tersebut. Indeks bias kaca soda-lime
ditentukan dengan menggunakan Refraktometer ABBE (Gambar 3.3). Kaca
diletakkan di dalam Refraktometer ABBE dengan terlebih dahulu diberi larutan
monobromonaftalin agar tidak ada celah udara selain itu juga untuk menaikkan
nilai NA pada kaca. Setelah itu tombol pada Refraktometer ABBE diatur hingga
terlihat pola gelap terang kemudian batas antara gelap dan terang pada pola gelap
terang yang terakhir dipaskan pada tanda silang, kemudian dilihat indeks biasnya
pada skala yang ada pada Refraktometer ABBE. (Maryanto, 2008).
kaca
Leburan KNO3
dan NaNO3
crusible
31
Transmitansi diukur menggunakan Ultra Violet-Visible
Spectroscopy Double Beam Shimadzu 601 PC (Bahtiar, 2006). Sedangkan
jumlah mode pandu gelombang dengan menggunakan metode prisma
kopling ( Gambar 3.4).
5 6
6
3
1
4
2
Lensa untuk melihat skala
Tempat kacasampel
Lensa untuk melihat pola gelap terang
Tombol pemfokus
Gambar 3.3. Refraktometer ABBE
Tempat untuklampu
Tombol pengatur skala
Gambar 3.4. Skema Seperangkat Alat Prisma Coupling.
32
Keterangan :
1. Sinar Laser. 3. Lensa cembung. 5. Kaca substrat.
2. Polarisator. 4. Prisma. 6. Layar .
Dari gambar 3.4 dapat dijelaskan bahwa sumber cahaya berasal dari sinar
laser He-Ne ( = 632,8 nm), dan lapisan tipis diletakkan tepat pada bagian dasar
prisma dengan serapat mungkin. Pada saat sinar laser dipancarkan maka sinar
akan mengenai lensa cembung. Lensa ini berfungsi untuk memfokuskan cahaya
laser agar ketika jatuh pada prisma tidak menyebar. Setelah cahaya laser fokus,
kemudian prisma diputar dengan posisi cahaya laser tetap. Cahaya laser yang
keluar dari prisma dilewatkan pada lensa agar dapat terlihat jelas. Bila berkas
cahaya laser berbentuk bulat maka cahaya belum terkopel (Gambar 3.5b). cahaya
laser akan terkopel bila terdapat garis belahan(Gambar 3.5a). Informasi yang
dapat diperoleh dari karakterisasi ini adalah bagaimana bentuk pola bright spot
dan jumlah mode pandu gelombang (Ulrich, 1973).
(3.5a) (3.5b)
Gambar 3.5 a Pola bentuk bright spot cahaya terkopel, b. Pola bentuk
bright spot cahaya tidak terkopel.
.
6. Analisa dan kesimpulan
Dalam penelitian ini diperoleh data berupa data kuantitatif dan data
kualitatif. Data kuantitatif dianalisa berdasarkan rumus-rumus yang bersesuain.
Sedangkan data kualitatif diinterpretasikan seperlunya.
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, fabrikasi lapisan tipis dilakukan dengan metode
pertukaran ion. Bahan yang digunakan sebagai medium penumbuahn lapisan tipis
adalah kaca soda-lime. Fabrikasi ini dilakukan dengan mencelupkan kaca soda-
lime ke dalam leburan 50 % mol dan 70 % mol KNO3 pada suhu 3050 C,dan 3350
C dengan waktu 25menit, 100 menit, 225 menit, 400 menit, 625 menit, dan 900
menit. Ketika proses pencelupan berlangsung, maka ion Na+ dari kaca soda-lime
akan bertukar dengan ion K+ dari leburan 50 % mol dan 70 % mol KNO3.
Gambaran secara ringkas proses pertukaran ion dapat ditunjukkan pada Gambar
4.1
Gambar 4.1. Proses terjadinya pertukaran ion
Keterangan gambar:
Menunjukkan bahwa difusi dapat terjadi karena adanya kekosongan
susunan atom kaca soda-lime yang disebabkan susunan atom pada kaca tidak
merata. Adanya pemanasan ketika proses fabrikasi lapisan tipis mengakibatkan
atom-atom di dalam kaca bergerak sehingga kekosongan atom tersebut terisi oleh
atom lain (vacancy diffusion). Difusi juga dapat terjadi karena adanya penyusupan
atom lain karena adanya celah di atom-atom penyusun kaca (inersitial atom).
Difusi terjadi karena adanya penyusupan atom lain (K+) yang terjadi
karena adanya perenggangan susunan atom pada kaca soda-lime. Pereganggan ini
terjadi akibat pemanasan yang dilakukan ketika proses pertukaran ion. Ketika
34
terjadi pemanasan sebagian ion Na+ yang tidak terikat kuat akan terlempar keluar
dari susunan atom kaca. Selanjutnya ion K+ akan mengisi kekosongan pada
susunan atom kaca soda-lime. Pada proses difusi terlihat bahwa kaca soda-lime
mengambang ketika dicelupkan ke dalam leburan 50 % mol dan 70 % mol KNO3.
Hal ini karena massa jenis leburan 50 % mol dan 70 % mol KNO3 lebih besar dari
massa jenis kaca soda-lime. Hal tersebut mengakibatkan penumbuhan lapisan tipis
hanya terjadi pada salah satu sisi permukaan kaca saja.
4.1 Indeks Bias Kaca Waveguide
Pengukuran indeks bias dilakukan dengan alat Refraktometer ABBE. Pada
pengukuran ditambahkan larutan monobromonaftalin. Larutan ini berfungsi untuk
memperbesar nilai Numerical Aperthure (NA) sehingga pengamatan pada
pengukuran menjadi lebih jelas. Indeks bias yang diukur dalam penelitian ini
adalah indeks bias sebelum dan sesudah fabrikasi. Pengukuran indeks bias
dilakukan sebelum dan sesudah pertukaran ion, hal ini bertujuan untuk
membandingkan perubahan indeks bias sebelum dan sesudah pertukaran ion. Data
hasil pengukuran indeks bias kaca soda-lime dapat dilihat dalam Tabel 4.1 dan
Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Indeks Bias Kaca Soda-Lime Pada Leburan
50% KNO3 Pada Suhu 3050C
Kaca
Waveguide Waktu Pendeposisian
Indeks Bias Perubahan Indeks
Bias
Sebelum Sesudah
Sampel B1 25 1,5240 1,5250 1,0 x 10-3
Sampel B2 100 1,5240 1,5260 2,0 x 10-3
Sampel B3 225 1,5240 1,5262 2,2 x 10-3
Sampel B4 400 1,5240 1,5264 2,4 x 10-3
Sampel B5 625 1,5240 1,5266 2,6 x 10-3
Sampel B6 900 1,5240 1,5258 1,8 x 10-3
35
Tabel 4.2. Hasil Pengukuran Indeks Bias Kaca Soda-Lime Pada Leburan
70% KNO3 Pada Suhu 3350C
Kaca
Waveguide Waktu Pendeposisian
Indeks Bias Perubahan Indeks
Bias
Sebelum Sesudah
Sampel D1 25 1,5218 1,5230 1,2 x 10-3
Sampel D2 100 1,5218 1,5254 3,6 x 10-3
Sampel D3 225 1,5218 1,5248 3,0 x 10-3
Sampel D4 400 1,5218 1,5250 3,2 x 10-3
Sampel D5 625 1,5218 1,5240 2,2 x 10-3
Sampel D6 900 1,5218 1,5222 0,4 x 10-3
Hubungan antara perubahan indeks bias pada permukaan kaca soda-lime
dengan lamanya waktu pendifusian dapat diperoleh dari Tabel diatas yang
ditunjukkan dalam Gambar 4.2.
150 300 450 600 750 900
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5 B D
peru
baha
n in
deks
bia
s(1
0-3)
t2(menit)
Gambar 4.2. Grafik hubungan antara perubahan indeks bias dengan waktu
pendifusian
36
Dari gambar 4.2 dapat dilihat grafik hubungan antara waktu pendifusian
terhadap perubahan indeks bias yang menunjukkan bahwa indeks bias kaca soda-
lime cenderung mengalami kenaikan, baik semakin lama waktu pendifusian
maupun semakin tinggi konsentrasi ion pendifusi. Hal ini menunjukkan bahwa
indeks bias kaca soda-lime setelah pertukaran ion lebih besar dari indeks bias
sebelum pertukaran ion. Penggantian ion Na+ dengan ion K+, dimana ion K+
memiliki masa, kerapatan elektron, serta polarisabilitas yang lebih besar
menyebabkan susunan atom yang baru didalam kaca akan semakin rapat dan
mengakibatkan naiknya indeks bias dari permukaan kaca yang mengalami
pendifusian. Semakin lama waktunya maka ion K+ yang terdifusi kedalam kaca
menggantikan ion Na+ semakin banyak dan semakin dalam sehingga semakin
menaikkan indeks bias kaca. Begitu juga dengan semakin besar konsentrasi
pendifusi semakin besar pula perubahan indeks biasnya. Hal ini dapat terjadi
karena perubahan indeks bias sebanding dengan konsentrasi ion pendifusi (K+).
Hubungan perubahan indeks bias dengan konsentrasi ion pendifusi dapat dilihat
dalam persamaan berikut (Najafi,1992):
(4.1)
Dimana CK adalah konsentrasi ion K+,Vo dan Ro berturut-turut adalah volume
glass per gram dari atom-atom oksigen dan refraksi per gram dari atom-atom
oksigen dalam komposisi asli, V danR adalah perubahan kuantitas hasil dari
total pergantian ion asli oleh ion dopan dan n0 adalah perubahan indeks bias.
Menurut Hukum Fick Kedua hubungan konsentrasi (C) dengan waktu pendifusian
(t) adalah (Najafi,1992),
(4.2)
Dimana
Dengan x adalah kedalaman difusi dan D adalah koefisien difusi. Karena
indeks bias sebanding dengan konsentrasi (Persamaan 4.1) maka besarnya indeks
bias (n(x)) adalah (Najafi,1992)
37
(4.3)
Dengan ns adalah indeks bias substrat (indeks bias sebelum pendifusian).
Dalam penelitian ini, indeks bias yang terukur adalah indeks bias pada permukaan
kaca (x=0) sehingga berapapun waktu pendifusian, nilai akan sama dengan
nol. Karena nilai efrc(0) adalah satu maka perubahan indeks bias tetap. Bila hal
ini dihubungkan dengan Gambar 4.1 maka pola dari Gambar 4.1 tersebut sesuai
dengan Persamaan 4.3
Untuk sampel B yaitu sampel hasil leburan 50% KNO3 pada waktu 625
menit perubahan indeks bias mencapai nilai tertinggi setelah itu mengalami
penurunan, begitu juga untuk sampel C yaitu sampel hasil leburan 70% KNO3
pada waktu 400 menit, hal ini dikarenakan pada suhu ini tercapai kondisi stabil
atau dikatakan hampir jenuh sehingga proses pendifusian berlebih hampir tidak
terjadi, karena jika terjadi kondisi jenuh dimana tercapai kesetimbangan kinetik
proses pendesakan ion/pendifusian akan berhenti. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian serupa yang dilakukan oleh beberapa peneliti lain (Pereira, Pelli,
Righini dan Horowitz, 2002; K+/Ag+ ion-exchange glass waveguides:
concentration and grand-index profil analysis from EDS, m-line and DNS).
4.2 Transmitansi
Harga transmitansi merupakan perbandingan antara intensitas cahaya yang
keluar dari medium dengan intensitas cahaya yang masuk kedalam suatu medium.
Besarnya intensitas cahaya yang masuk tidak sama dengan intensitas yang keluar
dari medium, hal ini dapat terjadi karena jika cahaya dilewatkan pada suatu
bahan/medium, maka sebagian cahaya akan dipantulkan (reflected), sebagian
diteruskan (transmitted), sebagian akan diserap (absorbed) dan sebagian lagi
akan disebarkan (scattered).
Hasil pengukuran persentase transmitansi dengan menggunakan Ultra
Violet-Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 601 PC dengan panjang
38
gelombang 200 nm -1000 nm dapat dilihat pada Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan
Gambar 4.4
400 500 600 700 800 900 100087
88
89
90
91
92
T25menit T100menit T225menit T400menit T625menit T900menit tanpaperlak
% T
rans
mita
nsi
panjang gelombang(nm)
(a)
200 300 400 500 600 700 800 900 10000
20
40
60
80
100
T25menit T100menit T225menit T400menit T625menit T900menit tanpaperlak
% T
rans
mita
nsi
panjang gelombang(nm)
(b)
Gambar 4.3 Grafik transmitansi hasil pendifusian pada suhu 3050C dengan
konsentrasi 50 % mol KNO3. (a) Transmitansi pada panjang
gelombang 400 nm – 1000 nm (b) Transmitansi pada panjang
gelombang 200 nm – 1000 nm.
400 500 600 700 800 900 100086
87
88
89
90
91
92
T25menit T100menit T225menit T400menit T625menit T900menit Tanpaperlak
(% t
rans
mita
nsi)
panjang gelombang (nm)
(a)
200 300 400 500 600 700 800 900 10000
20
40
60
80
100
T25menit T100menit T225menit T400menit T625menit T900menit Tanpaperlak%
tran
smita
nsi
panjang gelombang (nm)
(b)
Gambar 4.4 Grafik transmitansi hasil pendifusian pada suhu 3350C dengan
konsentrasi 70 % mol KNO3. (a) Transmitansi pada panjang
gelombang 400 nm – 1000 nm (b) Transmitansi pada panjang
gelombang 200 nm – 1000 nm.
39
6 0 0 7 0 0 8 0 0 9 0 0 1 0 0 08 6
8 7
8 8
8 9
9 0
9 1
9 2 B . T 2 5 m e n i t D . T 2 5 m e n i t B . T 9 0 0 m e n i t D . T 9 0 0 m e n i t
% t
rans
mita
nsi
p a n j a n g g e l o m b a n g ( n m )
Gambar 4.5 Grafik perbandingan transmitansi hasil pendifusian pada konsentrasi
50 % mol dan 70 % mol KNO3 dengan waktu 25 menit dan 900 menit.
Hasil pengukuran persen transmitansi dengan menggunakan Ultra Violet-
Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 601 PC dengan panjang gelombang
200 nm -1000 nm menunjukkan kaca yang tidak mengalami perlakuan memiliki
nilai transmitansi yang relatif lebih besar dibandingkan yang mengalami
pendifusian. Sedangkan pada kaca yang mengalami pendifusian memiliki nilai
transmitansi yang relatif lebih kecil, dimana semakin lama waktu pendifusian dan
semakin tinggi konsentrasi ion pendifusi transmitansi semakin mengecil. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya proses pendifusian ion K+ dari leburan garam KNO3
menyebabkan menurunnya nilai transmitansi dari kaca atau dengan kata lain
proses pendifusian menyebabkan berkurangnya nilai intensitas yang keluar dari
kaca. Dan semakin lama waktu pendifusian dan semakin tinggi konsentrasi ion
pendifusi menyebabkan berkurangnya nilai transmitansi. Yang berarti komposisi
kaca telah berubah dengan adanya proses pendifusian. Dan perubahan komposisi
dari kaca inilah yang menyebabkan faktor absorpsi, pantulan, serta hamburan
semakin membesar sehingga menyebabkan intensitas cahaya yang keluar dari
kaca menurun yang menyebabkan menurunnya nilai transmitansi dari kaca.
Pada semua kaca, harga transmitansi pada daerah UV lebih kecil
dibandingkan dengan transmitansi di daerah visible, hal ini terjadi karena absorbsi
40
cahaya yang merupakan transfer energi dari radiasi ke bahan/medium. Begitu juga
pada daerah infra merah nilai transmitansi lebih kecil karena cahaya berinteraksi
dengan partikel dari bahan berupa polarisasi elektronik sehingga cahaya sebagian
dikonversikan menjadi deformasi elastis dan selanjutnya berubah menjadi panas.
4.3 Mode Gelombang
1. Mode Gelombang
Pengamatan mode gelombang dilakukan dengan menggunakan metode
prisma kopling. Dari pengamatan ini data yang diperoleh adalah sudut datang
pada permukaan prisma bagian luar, karena sudut yang dibutuhkan adalah sudut
datang pada dasar prisma maka sudut datang pada dasar prisma diperoleh dari
hubungan antara sudut datang pada permukaan prisma bagian luar dengan indeks
bias prisma (Persamaan 2.32). Peristiwa pemanduan gelombang dapat diamati
dengan adanya pola gelap terang pada bright spot. Ketika terjadi pemanduan
gelombang, maka pada layar akan nampak pola bright spot seperti pada Gambar
4.6.a. Sedangkan pada Gambar 4.6.b. menunjukkan bahwa tidak terjadi
pemanduan gelombang.
(a) (b)
Gambar 4.6.(a) Pola bright spot terbelah; (b) Pola bright spot penuh
41
Munculnya pandu gelombang erat hubungannya dengan medan
evanescent. Medan evanescent menurun secara eksponensial dari medium 1 ke
medium 2 (Gambar 4.7). oleh karena itu ketika menyeting alat prisma kopling
sampel harus melekat erat pada dasar prisma. Pemasangan sampel yang kurang
rapat menyebabkan adanya celah udara antara prisma dengan sampel. Adanya
celah udara ini akan menghamburkan cahaya yang mennuju lapisan tipis.
Penghamburan cahaya ini menyebabkan intensitas cahaya yang diterima oleh
lapisan tipis menjadi melemah bahkan tidak sampai pada lapisan. Hal ini
mengakibatkan tidak teramatinya pemanduan gelombang.
Pemasangan sampel yang sangat rapat mengakibatkan pembiasan cahaya
masuk ke dalam lapisan tipis. Cahaya yang masuk ke dalam lapisan tipis akan
terkungkung di dalamnya sehingga akan merambat di sepanjang lapisan dengan
pola zig-zag. Perambatan ini terjadi akibat adanya perbedaan indeks bias antara
lapisan tipis dengan ruang di sekitarnya.
Gambar 4.7. Medan evanescent menurun secara eksponensial (Moller, 1988).
Fenomena munculnya belahan pada bright spot (mode gelombang)
menunjukkan bahwa telah terjadi pemanduan gelombang cahaya. Syarat agar
dapat terjadi mode gelombang adalah (Pedrotti, 1993):
1. Mempunyai sudut datang pada batas lebih besar dari pada sudut
kritis hingga 900(θc<θd<900), θd= sudut datang; θc= sudut kritis.
jarak antar medium
medium 1
medium 2
Gelombangevanescent
Amplitudo
42
2. Mempunyai pergeseran fase sebesar = m 2 ; m= bilangan
bulat.
2. Jumlah Mode Gelombang
Peristiwa terjadinya pemanduan gelombang ditandai dengan munculnya
pola gelap terang pada bright spot. Adapun pola mode gelombang yang diperoleh
dari penelitian ini adalah ditunjukkan pada Gambar (4.8) dan Gambar (4.9).
sebagai berikut:
3 0 3 5 4 0
2
4
6
8
1 0
1 2
T 2 5 m e n it T 1 0 0 m e n it T 2 2 5 m e n it T 4 0 0 m e n it T 6 2 5 m e n it T 9 0 0 m e n it
pola
brig
ht s
pot
s u d u t d a ta n g ( 0 )
Gambar 4.8. Grafik hubungan sudut datang dengan perubahan pola bright spot
pada layar untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 50 % mol KNO3 pada
suhu 3050C selama 25, 100, 225, 400, 625, dan 900 menit
.
43
3 0 3 5 4 0
2
4
6
8
1 0
1 2
T 2 5 m e n i t T 1 0 0 m e n i t T 2 2 5 m e n i t T 4 0 0 m e n i t T 6 2 5 m e n i t T 9 0 0 m e n i t
pola
bri
ght s
pot
s u d u t d a t a n g ( 0 )
Gambar 4.9. Grafik hubungan sudut datang dengan perubahan pola bright spot
pada layar untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 70 % mol
KNO3 pada suhu 3350C selama 25, 100, 225, 400, 625, dan 900
menit
Pada Gambar (4.8) dan Gambar (4.9) pola bright spot terdiri dari dua pola yaitu
posisi puncak dan lembah. Posisi puncak menunjukkan pola bright spot bulat
penuh dan posisi lembah menunjukkan pola bright spot terbelah. Pada pola bright
spot penuh menunjukkan cahaya tidak terkopel atau tidak terjadi proses
pemanduan gelombang sedangkan untuk pola bright spot lembah menunjukkan
cahaya terkopel atau telah terjadi proses pemanduan gelombang. Gambar 4.7.
menunjukkan bahwa pemanduan gelombang dipengaruhi oleh kedalaman lapisan
tipis. Dimana pada sampel 1, dan 2 menit memiliki kedalaman relatif kecil
dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini terjadi karena proses pendifusian
terjadi dalam rentang waktu yang sangat pendek sehingga menyebabkan jumlah
ion K+ yang terdifusi ke dalam kaca soda-lime sedikit. Sedangkan untuk sampel
dengan waktu pendifusian 900 menit memiliki jumlah mode yang lebih banyak
karena jumlah ion K+ yang terdifusi ke dalam kaca lebih banyak dibandingkan
dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan (Persamaan 2.33) yang menunjukkan
bahwa jumlah mode (M) sebanding dengan kedalaman difusi (d) sehingga
44
semakin besar kedalaman difusi, jumlah gelombang yang dihasilkan semakin
banyak.
3. Kedalaman Difusi
Kedalaman lapisan tipis yang terbentuk dapat ditentukan secara tidak
langsung dengan menggunakan parameter perubahan indeks bias kaca dan jumlah
mode gelombang yang terpadu. Kedalaman difusi untuk sampel dengan
konsentrasi ion pendifusi 50 % mol KNO3 dengan suhu 3050C dan sampel dengan
konsentrasi ion pendifusi 70 % mol KNO3 dengan suhu 3350C dapat ditunjukkan
pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kedalaman difusi untuk sampel dengan konsentrasi ion pendifusi 50 %
mol KNO3 dengan suhu 3050C dan sampel dengan konsentrasi ion
pendifusi 70 % mol KNO3 dengan suhu 3350C
Sampel Kaca t (Menit) M n2 n1 d(μm)
Sampel B1 25 9 1,5240 1,5250 51,57037Sampel B2 100 7 1,5240 1,5260 28,35761Sampel B3 225 13 1,5240 1,5262 50,21163Sampel B4 400 12 1,5240 1,5264 44,37452Sampel B5 625 9 1,5240 1,5266 31,97420Sampel B6 900 21 1,5240 1,5258 89,67757Sampel D1 25 18 1,5218 1,5230 94,21910Sampel D2 100 11 1,5218 1,5254 33,22978Sampel D3 225 11 1,5218 1,5248 36,40498Sampel D4 400 6 1,5218 1,5250 19,22608Sampel D5 625 14 1,5218 1,5240 54,11311Sampel D6 900 12 1,5218 1,5222 108,80910
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada sampel dengan konsentrasi ion
pendifusi baik yang 50 % mol maupaun 70 % mol KNO3 pada waktu 900 menit
menunjukkan kedalaman difusi yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan
yang lainnya. Hal ini terjadi karena proses pendifusian yang cukup lama
dibandingkan dengan yang lainnya sehingga jumlah ion yang terdifusi pada kaca
45
soda-lime semakin banyak sehingga memungkinkan ion pendifusi yang masuk ke
kaca semakin dalam.
4. Perubahan Indeks Bias Terhadap Kedalaman
Kedalaman difusi dapat digunakan untuk menentukan besarnya indeks
bias untuk kedalaman yang berbeda-beda. Persamaan 2.10 menunjukkan
hubungan indeks bias dengan kedalaman difusi. Hubungan kedalaman indeks bias
ditunjukkan pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 sebagai berikut
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
1.5240
1.5245
1.5250
1.5255
1.5260
1.5265 T25menit T100menit t225menit T400menit T625menit T900menit
Inde
ks b
ias
kedalaman difusi (m)
Gambar 4.10. Grafik hubungan indeks bias terhadap perubahan kedalaman difusi
untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 50 % mol KNO3 pada
suhu 3050C
46
0 20 40 60 80 100 120
1.5220
1.5225
1.5230
1.5235
1.5240
1.5245
1.5250
1.5255 T25menit T100menit T225menit T400menit T625menit T900menit
Inde
ks b
ias
kedalaman difusi (m)
Gambar 4.11.Grafik hubungan indeks bias terhadap perubahan kedalaman difusi
untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 70% KNO3 pada suhu
3350C
Dari gambar diatas terlihat bahwa penurunan indeks bias mirip dengan
fungsi khas eksponensial. Hal ini berarti bahwa lapisan tipis yang terbentuk hasil
dari pendifusian K+ dan Na+ berbentuk granded index.
47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam penelitian ini telah dilakukan fabrikasi dan karakterisasi optic
pandu gelombang bidang pada kaca soda-lime hasil pertukaran ion K+ dan Na+.
Hasil-hasil yang diperoleh menunjukkan lapisan tipis sebagai pemandu
gelombang yang terbentuk pada permukaan kaca soda-lime berpola graded index.
Hasil pengukuran indeks bias kaca soda-lime menggunakan Refraktometer ABBE
cenderung mengalami kenaikan, baik semakin lama waktu pendifusian maupun
semakin tinggi konsentrasi ion pendifusi. Sedangkan hasil pengukuran persentase
transmitansi dengan menggunakan Ultra Violet-Visible Spectroscopy Double
Beam Shimadzu 601 PC dengan panjang gelombang 200 nm -1000 nm
memberikan informasi bahwa semakin lama waktu pendifusian dan semakin
tinggi konsentrasi ion pendifusi sehingga menyebabkan berkurangnya nilai
transmitansi. Jumlah mode gelombang yang diperoleh dari hasil lapisan tipis yang
terbentuk dengan menggunakan metode prisma kopling adalah:
Untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 50 % mol KNO3 pada
suhu 3050C
a. Waktu pendifusian 25 menit, jumlah mode gelombang 9 mode.
b. Waktu pendifusian 100 menit, jumlah mode gelombang 7 mode.
c. Waktu pendifusian 225 menit, jumlah mode gelombang 13 mode.
d. Waktu pendifusian 400 menit, jumlah mode gelombang 12 mode.
e. Waktu pendifusian 625 menit, jumlah mode gelombang 9 mode.
f. Waktu pendifusian 900 menit, jumlah mode gelombang 21 mode.
Untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 70 % mol KNO3 pada
suhu 3350C
a. Waktu pendifusian 25 menit, jumlah mode gelombang 18 mode.
b. Waktu pendifusian 100 menit, jumlah mode gelombang 11 mode.
c. Waktu pendifusian 225 menit, jumlah mode gelombang 11 mode.
d. Waktu pendifusian 400 menit, jumlah mode gelombang 6 mode.
48
e. Waktu pendifusian 625 menit, jumlah mode gelombang 14 mode.
f. Waktu pendifusian 900 menit, jumlah mode gelombang12 mode.
Kedalaman difusi yang diperoleh dari hasil penelitian adalah:
Untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 50 % mol KNO3 pada
suhu 3050C
a. Waktu pendifusian 25 menit, kedalaman difusi sebesar 51.570 μm.
b. Waktu pendifusian 100 menit, kedalaman difusi sebesar 28,358 μm.
c. Waktu pendifusian 225 menit, kedalaman difusi sebesar 50,212 μm .
d. Waktu pendifusian 400 menit, kedalaman difusi sebesar 44,375 μm.
e. Waktu pendifusian 625 menit, kedalaman difusi sebesar 31,974 μm .
f. Waktu pendifusian 900 menit, kedalaman difusi sebesar 89,678 μm.
Untuk kaca yang didifusi dengan konsentrasi 70 % mol KNO3 pada
suhu 3350C
a. Waktu pendifusian 25 menit, kedalaman difusi sebesar 94,219 μm.
b. Waktu pendifusian 100 menit, kedalaman difusi sebesar 33,230 μm.
c. Waktu pendifusian 225 menit, kedalaman difusi sebesar 36,405 μm.
d. Waktu pendifusian 400 menit, kedalaman difusi sebesar 19,226 μm.
e. Waktu pendifusian 625 menit, kedalaman difusi sebesar 54,113 μm.
f. Waktu pendifusian 900 menit, kedalaman difusi sebesar 108,809 μm.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk
Melakukan pertukaran ion dengan cara pendifusian selain dari KNO3, perbaikan
pada alat prisma kopling sehingga semua sudut-sudut yang terpandu bias terukur
serta diadakan pengulangan pendifusian untuk setiap perlakuan agar diperoleh
data-data yang lebih akurat.
49
DAFTAR PUSTAKA
Almeida, R.M., 2005, Optical and Photonic Glasses, IMI for New Fuctionality in
Glass, lehigh University, http:/rm1.cc.lehigh.edu:8080/dept/IMI/OPGpdf.
Bahtiar, A., Fitrilawati., Yuliah , Y., Joni, M., 2006, Fabrikasi Dan Karakterisasi
Pandu Gelombang Planar Polimer Terkonjugasi, FMIPA, Universitas
Padjajaran.
Cisco, 2001, Fundamentals of DWDM Technology, http://www. cisco.com/
univercd/ cc/ td/ doc/ product/ mels/ cm 1500/ dwdm dwdm_ovr. htm #
wp1021853
Hendayana, S., 1994, Analitik Instrumen Kimia, IKIP semarang Press: Semarang.
Hendriyana, Y.F., 2006, Mengenal Komunikasi Serat Optik, ISP Terasnet
Wireless Internet. http://yulian.firdaus.or.id/2006/11/21/fiber-optik/,
[akses: 10 Juli 2009].
Keiser, G., 2000, Optical Fiber Communications, Third Edition, The Mc Graw-
Hill Companies Inc., Usa.
Maryanto, J., 2008, Studi Sifat Optic Lapisan Tipis Berpola Graded Index Pada
Kaca Nd:Alumunium Fluoride Yang Dibuat Dengan Metode Pertukaran
Ion, Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Moller, K. D., 1988, Optics, University Science Books, Mill Valley, California,
USA.
Najafi, I. S., 1992, Introduction to Glass Integrated Optics, Artech House Inc.,
Boston London.
Pedrotti, F. L. and Pedrotti, L. S., 1993, Introduction to Opticcs, Second Edition,
Prentice-Hall International Inc., USA.
Pereira, M, B., Pelli, S., Rifhini, G, C., and Horowitz, F., 2002, K+/Ag+ Ion-
Exchanged Glass Waveguides: Concentration And Graded-Index Profile
Analysis From EDS, M-Line And DNS Measurements, Annals Of
Optics.Letters.XXV ENFMC
50
Salavcova, 2004, Planar Optical Waveguide In Newly Developed Er: Silicate
Glasses: A Comparative Study Of K+ And Ag + Ion Exchange, Tcheque
Republique. Letters. Vol.49, N1pp.53-57
Shelby J.E, 1997. Introduction to Glass Science and Technology, The Royal Chemistry, USA.
Tien, P. K., 1969, Modes Propagating Light Waves in Thin Deposited
Semikonductor Films, Applied Physics Letters, Vol. 14, p.291-294
Tim Elektron HME-ITB, 2000, Sistem Komunikasi Serat Optik.
http://www.elektroindonesia.com/elektro/el0400b.html,[akses: 12 Juli
2009]
Ulrich, R., Torge, R., 1973, measurement of thin film parameters with a prisma
coupler, Applied Optic.Letters.Vol.12, 2901
Yliniemi, S., 2007, Studies on passive and active ion-exchanged Glass
waveguides and devices, Department of Electrical and Communications
Engineering Micro and Nanosciences Laboratory, Helsinki
51