bab 1 pendahuluan 1.1 latar belakang masalah perkawinan

136
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk. Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) 1 , bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1,TLN 3019). 1

Upload: doanthu

Post on 08-Dec-2016

246 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita

menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik

sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung.

Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya

melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan

yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan

yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama

yang dipeluk.

Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan

perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka

berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut

UU Perkawinan)1, bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan

tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu

                                                                          1Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1,TLN 3019).

1  

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

2  

                                                           

perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama

dan kepercayaan yang dianutnya.2

Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu

dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam-

macam agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian

dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila

yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.3 Pasangan

suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan, pada umumnya ingin memiliki

keturunan dari perkawinan yang telah mereka lakukan, tetapi ada pula pasangan

suami istri yang hidup bersama tanpa keinginan untuk mendapatkan keturunan.

Hal tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri yang telah lanjut usia dan

bisa dikenal dengan istilah In Extremis. Adanya akibat hukum dalam berhubungan

hidup bersama pada suatu perkawinan, maka masyarakat membutuhkan suatu

peraturan tentang perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-syarat untuk peresmian,

pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama ini dalam suatu undang-

undang, dalam hal ini UU Perkawinan.

Sebelum lahirnya UU Perkawinan yang merupakan peraturan perundang-

undangan yang bersifat Nasional, Pemerintah mengadopsi peraturan dari Zaman

Pemerintah Hindia Belanda yang membagi masyarakat kedalam beberapa

  2Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, hal. 9 3Subekti, 2002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT.Intermasa, hal. 1.

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

3  

                                                           

golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di

Indonesia diatur dalam:4

1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum

Agama Islam.

2. Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing-

masing.

3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks

Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut

HOCI.

4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan

cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan

sedikit perubahan. ( Selanjutnya disebut KUHPerdata).

5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia

keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.

Sebelum lahirnya UU Perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya

suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum

agama dan hukum adat masing-masing. Menurut hukum adat, perkawinan adalah

suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk

membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan

melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat.5

  4Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adar, Hukum Agama, Bandung, CV. Mandur Maju, hal. 5. 5Soerjono Wignjodipoere, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung, hal. 55.

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

4  

                                                           

Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari

pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan,

kekerabatan dan harta kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.6

Disamping hal tersebut, pada saat itu dikenal pula yang namanya “perkawinan

campuran” yaitu perkawinan campuran antar golongan, perkawinan campuran

antar tempat dan perkawinan campuran antar agama.7 Saat ini yang dimaksud

perkawinan campuran hanyalah untuk perkawinan internasional.

Setelah berlakunya UU Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam

perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat

erat dengan agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah

berlaku sama terhadap semua warga Negara oleh karena itu, setiap warga negara

harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap UU Perkawinan

yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut

hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan.8

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjelaskan bahwa

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan prinsip perkawinan bangsa

Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2

ayat (1) UU Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama

masing-masing adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah.

  6Hilman Hadikusuma, loc.cit. 7Sudargo Gautama, 1973, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan campuran, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 3. 8K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 3.

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

5  

                                                           

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan :”tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Keabsahan suatu perkawinan menurut UU Perkawinan adalah didasarkan

pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing, sehingga sejak berlakunya

UU Perkawinan ini maka upacara perkawinan menurut hukum agama bersifat

menentukan tentang sah atau tidaknya perkawinan itu. Hal ini berakibat banyak

orang tidak melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil.

Berdasarkan penjelasan umum UU Perkawinan, mengenai pencatatan

perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian merupakan suatu peristiwa

penting bukan suatu peristiwa hukum. Pencatatan perkawinan dalam suatu akta

merupakan akta nikah. Akta nikah adalah bukti tentang perkawinan dan

merupakan alat bukti yang sempurna mengenai adanya perkawinan.

Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum

antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal

yang diakui oleh Negara.9 Menurut Subekti sebagaimana dikutip pada buku

Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.10

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah

hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang

memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum

  9Soetojo Prawirohamidjojo dkk, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Alumni, Bandung, hal 8. 10Ibid.

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

6  

                                                           

perkawinan.11Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan telah

secara jelas menyatakan tentang syarat sahnya suatu perkawinan.

Dalam prakteknya di masyarakat ada pula orang yang hanya melakukan

perkawinan dengan cara keagamaannya saja dan tidak dicatatkan pada kantor

catatan sipil. Disamping itu ada pula yang hanya mencatatakan perkawinannya

tanpa melakukan upacara agama mereka. Tindakan ini jelas bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan serta asas-asas atau prinsip-prinsip dari UU

Perkawinan yakni :

a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.

b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya itu.

c. Perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan.

d. Perkawinan berasas monogami terbuka.

e. Calon suami-istri harus bersatu antara jiwa raganya untuk melangsungkan

perkawinan

f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.

g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan

h. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang

Penjelasan mengenai arti perkawinan sesuai agama dan kepercayaan yang

mana semuanya bertujuan sama yaitu untuk menjadi keluarga yang bahagia dan

menghasilkan keturunan. Mengenai tatacara untuk melangsungkan

perkawinannya, hal ini dijelaskan oleh Mary Welstead, sebagai berikut:

  11Ibid.

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

7  

                                                           

Religious Ceremonies : “Where the parties wish to marry in a religious ceremony, different rules apply to different religious denominations. Each religious denomination has the right to refuse permission to a couple to marry in a particular place of workship”.12 (Upacara keagamaan :”Dimana setiap keinginan untuk melakukan pesta perkawinan atau upacara perkawinan (keagamaan), setiap aturan yang digunakan berbeda-beda dalam setiap golongan, karena masing-masing pasangan tidak sama dalam memeluk agama dan kepercayaannya, hal ini menyatakan bahwa setiap golongan agama memiliki peraturan masing-masing dalam hal untuk memberikan izin melaksanakan Upacara Keagamaannya (perkawinan)”.

Masalah perkawinan merupakan perbuatan suci yang mempunyai hubungan

erat sekali dengan agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur

lahiriah/jasmani tetapi juga unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Hal

ini sesuai dengan UU Perkawinan “Tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga

merupakan perikatan keagamaan”.13

Dalam masyarakat banyak terjadi permasalahan hukum perkawinan ini, ada

yang melakukan perkawinan secara agama saja namun tidak dicatatkan serta ada

pula permasalahan hukum pada perkawinan yang dicatatkan saja namun tidak

dilakukan melalui suatu upacara keagamaan. Hal itu jelas tidak sesuai dengan UU

Perkawinan yang mengatur mengenai sahnya suatu perkawinan.

Tatacara perkawinan diatur dalam Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan

yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam Peraturan Pemerintah ini

mengenai tatacara perkawinan diatur pada Pasal 10 ayat (2) menyebutkan

“Tatacara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”. Pada ayat (3) disebutkan “Dengan mengindahkan tatacara

  12Mary Welstead, dkk, 2006, Family Law, New York : oxford University Press, hal 15. 13Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, hal 7.

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

8  perkawinan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya itu,

perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua

orang saksi”.

Dalam tesis ini akan dibahas mengenai perkawinan yang dilakukan hanya

dengan melakukan pencatatan pada kantor Catatan Sipil saja tanpa didahului

upacara keagamaan, seperti yang pernah terjadi di Kalimantan Timur. Hal ini

tentunya bertentangan dengan UU Perkawinan utamanya mengenai syarat sahnya

suatu perkawinan. Dalam kasus ini terlihat adanya kesenjangan antara

pelaksanaan (das sein) dan pengaturan (das sollen), yang menarik untuk diteliti

dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Perkawinan

Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa melakukan Upacara

Keagamaan”.

Berdasarkan penelusuran yang akan diteliti dari tesis ini, dapat ditunjukkan

bahwa penelitian dengan judul ini tidak ada kesamaan dengan penelitian

sebelumnya sehingga originalitasnya dapat dijamin. Penelusuran kepustakaan

yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan permasalahan UU

Perkawinan yaitu : Tesis dari Abdullah Wasian, pada Universitas Diponegoro

Semarang yang berjudul Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan)

terhadap Kedudukan Istri, Anak dan Harta Kekayaannya Tinjauan Hukum Islam

dan Undang-undang Perkawinan. Rumusan permasalahan dari tesis tersebut

adalah :

1. Bagaimana Konsep Perkawinan siri tidak dicatatkan menurut hukum

Islam dan Undang-Undang Perkawinan?

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

9  

2. Bagaimana akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan istri, anak

dan harta kekayaan?

Tesis dari Alvina Suwasiswahyuni, 0806278512, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia Magister Kenotariatan, dengan judul tesis Keabsahan

Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri Berdasarkan

Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Dan Undang-Undang No

23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dengan pokok permasalahan

yang ditulis:

1. Bagaimana keabsahan pencatatan beda agama sebelum dan sesudah

diberlakukan Undang-Undang no 23 tahun 2006 tentang administrasi

kependudukan?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memberikan penetapan

pengadilan terhadap perkawinan beda agama sebelum dan sesudah

diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 tentang

administrasi kependudukan?

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan mengenai perkawinan di atas, maka penulis

mengambil suatu rumusan permasalahan, sebagai berikut :

1. Apakah akibat hukum suatu perkawinan yang dilakukan hanya melalui

pencatatan perkawinan saja?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan yang

perkawinannya dinyatakan tidak sah?

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

10  1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum

dalam bidang Hukum Perkawinan dan Keluarga. Ilmu sebagai proses, maka ilmu

tidak pernah final dalam penggaliannya, termasuk dalam kaitannya dengan

persoalan perkawinan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum tersebut, pernelitian ini dilaksanakan untuk

mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu:

1. Untuk mengkaji dan menganalisa mengenai sahnya perkawinan dan

mengetahui apakah dengan pencatatan saja tanpa adanya hukum

agamanya perkawinan tersebut sudah sah.

2. untuk mengkaji dan menganalisa tentang perlindungan hukum terhadap

wanita mengenai hak-hak apa sajakah yang berhak ia dapatkan jika

perkawinan yang telah ia lakukan dinyatakan tidak sah.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung

maupun tidak langsung antara lain :

1.4.1. Manfaat secara teoritis

Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah Ilmu Hukum berupa

memberikan masukan atau sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan

Hukum Keluarga. Hukum Keluarga yang dimaksudkan berkaitan dengan hukum

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

11  perkawinan yang didasari atas pencatatan di kantor catatan sipil tanpa melakukan

upacara keagamaan.

1.4.2. Manfaat secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

kepentingan masyarakat dan pemerintah khusunya perkawinan.

1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1 Landasan Teoritis

Landasan teori atas teori, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang

akan digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam proposal

tesis ini. Landasan teoritis berupa teori yang diterapkan dalam analisis

permasalahan tesis ini, yaitu teori keadilan, teori kepastian hukum, serta teori

perlindungan Hukum.

1.5.1.1 Teori Kepastian Hukum

Berkaitan dengan teori kepastian hukum, penulis melihat seberapa

efisienkah peraturan yang terdapat pada UU Perkawinan. Teori kepastian hukum

ini untuk memecahkan masalah pertama, karena pada permasalahan yang

pertama, apakah suatu perkawinan yang sakral dapat dilakukan hanya dengan

dicatatkan saja pada kantor pencatatan sipil, dan bagaimana bisa suatu kantor

pencatatan sipil dapat mencatatkan perkawinan tanpa adanya suatu upacara

keagaman yang dianut masing-masing mempelai.

Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo

mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni :

Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga social dalam masyarakat (dalam arti luas, yang mencakup

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

12  

                                                           

lembaga-lembaga social di bidang politik, social, ekonomi dan kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (bonum commune).14

Selanjutnya dikemukakan : Hukum yang berwibawa itu ditaati, baik oleh

pejabat-pejabat hukum maupun oleh justitiabelen yaitu orang-orang yang harus

menaati hukum itu. Hukum akan bertambah kewibawaannya, jika :

1. Memperoleh dukungan dari value sistem yang berlaku dalam masyarakat.

Hukum salah satu jenis norma dalam value sistem yang berlaku akan

lebih mudah ditopang oleh norma social lain yang berlaku.

2. Hukum dalam pembentukannya ordeningssubject atau pejabat-pejabat

hukum, tidak diisolasikan dari norma-norma sosial lain, bahkan

disambungkan dengan norma-norma yang berlaku.

3. Kesadaran hukum dari para justitiabelen. Wibawa hukum akan bertambah

kuat apabila kesadaran hukum yang baru.

4. Kesadaran hukum pejabat dari pejabat hukum yang dipanggil untuk

memelihara hukum dan untuk menjadi penggembala hukum, pejabat

hukum harus insaf dan mengerti bahwa wibawa hukum itu bertambah

apabila tindakannya itu tertib menurut wewenanganya dan apabila ia

menghormati dan melindungi tata ikatannya (verbandsorde).15

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja berkaitan dengan kepastian, beliau

menyatakan sebagai berikut:

Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat

  14O. Notohamidjojo,1970, Makna Negara Hukum, Jakarta, BPK, hal. 80-82. 15Ibid, hal. 83-84

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

13  

                                                           

sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum, seperti perkawinan, hak milik dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optima dalam masyarakat tempat ia hidup.16

Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa :”sesuatu

yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”17. Jadi, hukum dibuat pun ada

tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia,

tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu: Keadilan Untuk Keseimbangan,

Kepastian Untuk ketetapan, Kemanfaatan untuk kebahagian.

Pemikiran para pakar hukum, bahwa wujud kepastian hukum pada

umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang

mempunyai otoritas. Kepastian hukum sendiri merupakan salah satu asas dalam

tata pemerintahan yang baik, dengan adanya suatu kepastian Hukum maka dengan

sendirinya warga masyarakat akan mendapatkan perlindungan Hukum.

Suatu kepastian hukum mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum

atau kaidah umum yang berlaku secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas

hukum umum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan

keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Hal ini dilakukan agar terciptanya

suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat luas dan ditegakkannya serta

dilaksanakan dengan tegas.18

  16Mochtar Kusumaatmadja, 1970, Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan Nasional, Majalah Pajajaran, Bandung, No 1 jilid III, hal. 6 17Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, PT. Raja Garfindo Persada, hal. 123.  18Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung,Hal. 15.

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

14  

                                                           

1.5.1.2 Teori keadilan

Teori Keadilan ini dipergunakan untuk memecahkan permasalahan yang

berkaitan dengan hak-hak dari perempuan yang perkawinan tidak dilakukan sesuai

dengan UU Perkawinan. Oleh karena itu teori keadilan ini diharapkan dapat

menjawab mengenai rumusan permasalahan kedua.

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang

tidak hanya keadilan, tetapi juga mengenai kepastian hukum dan kemanfaatannya.

Pakar teori keadilan yaitu Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung

lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menuntut hukum, dan apa yang sebanding

yaitu yang semestinya.19

Disini ditunjukan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila

mengambil bagian lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak

menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada

hukum dapat dianggap sebagai adil.20

Thomas Aquinas selanjutnya membedakan keadilan atas dua kelompok

yaitu: keadilan umum (Justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum

adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi

kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar

kesamaan atau proporsionalitas.21

  19Darji Darmadiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Hal.156. 20Ibid. 21Ibid.

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

15  

                                                           

Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran-pemikiran

seperti Jeremy Bentham, J.S. Mill dan Hume. Rawls berpendapat perlu adanya

keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Hukum

menurut Rawls persepsikan sebagai wasit yang memihak dan tidak bersimpati

dengan orang lain melainkan hukum justru harus menjadi penuntut agar orang

dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya.22

Menurut Robert Nozick, keadilan bukan merupakan perhatian utama

Nozick. Robert Nozaick lebih memperdebatkan pembatasan peran Negara bahwa

Negara minimal (minimal state) dan hanya Negara minimal adalah satu-satunya

yang bisa dijustifikasi. Keadilan kemudian muncul karena keadilan distributive

seperti dibayangkan Rawls sering dianggap sebagai rasionalisasi bagi Negara

yang lebih dari minimal, dalam upayanya menunjukkan bahwa keadilan distributif

tidak menyediakan rasionalisasi yang kuat bagi Negara yang lebih dari minimal.23

Jika terjadi hak maka terdapat kewajiban, jadi hak dan kewajiban dapat

terjadi bila diperlukan suatu peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai

suatu akibat. Demikian pula pendapat dari Soedjono Dirdjosisworo bahwa “hak

dan kewajiban timbul bila adanya suatu peristiwa hukum”24. Peristiwa hukum

adalah “semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum,

antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum”.25

  22Ibid, hal. 161-162. 23Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Bandung, Nusa Media, hal 89 24Soedjono Dirdjosisworo, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keenam, Jakarta, hal. 130. 25Ibid.

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

16  

                                                           

Akan tetapi, menurut pandangan yang dinyatakan oleh N.M. Kurkunov

bahwa tidak semua hak terjadi harus diikuti oleh suatu kewajiban dan begitu pula

sebaliknya:

Every right supposes, necessarly, a corresponding obligation. If the obligation does not exist, there will be only a permission and not a right. But an obligation may sometimes exist without a corresponding right. This happens when the interest which constitutes the subject-matter of the corresponding right arises subsequently to it or is temporarily suspended. Thus the obligation not to assail the right of an unborn child  corresponds to no right, since the foetus is not yet a subject of right. The obligation is here created in expectation and by way of protection of the life of the infant to be born.26(Pernyataan N.M. Kurkunov tersebut di atas mengandung pengertian bahwa setiap hak harus diikuti suatu kewajiban. Bila tidak ada kewajiban, maka hak itu tidak ada, yang ada hanyalah suatu permohonan saja. Suatu kewajiban timbul tidak selalu diikuti dengan perolehan hak).

1.5.1.3 Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum bagi warga Negara Indonesia adalah perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip

Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Perlindungan Hukum diberikan

kepada Warga Negara Indonesia sangat diperlukan demi terciptanya peraturan

Umum dan Kaidah Hukum yang berlaku Umum.

Demi terciptanya fungsi hukum sebagai masyarakat yang tertib diperlukan

ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan serta jaminan atas

terwujudnya kaidah hukum dimaksud dalam praktek hukum dengan kata lain

adanya jaminan penegakan hukum yang baik dan adil bagi seluruh rakyat

  26Korkunov, N.M., 1922, General Theory of Law, English Translation by W.G. Hastings, Dean of the law Faculty, University of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company, hal. 211.

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

17  

                                                           

Indonesia tanpa membeda-bedakan suku ras serta kedudukan sosialnya serta tidak

membeda-bedakan gender.27

Teori Perlindungan Hukum juga dimaksudkan memecahkan masalah kedua,

yaitu mengenai perlindungan hukum bagi wanita jika perkawinan yang dilakukan

hanya dicatatkan saja tidak sesuai dengan perundang-undangan Perkawinan.

Perlindungan hukum bagi wanita telah diatur dalam beberapa produk-produk

ukum yang berkaitan dengan wanita. Dalam perlindungan hukum ada 3 (tiga)

unsur yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Mengenai kepastian hukum (Rechtssicherheit).

2. Mengenai Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)

3. Mengenai Keadilannya (Gerechtigkeit).

1.5.2. Kerangka Konseptual

1.5.2.1. Konsep Keabsahan Perkawinan

1.5.2.1.1 Sahnya Perkawinan menurut Hukum Adat

Sahnya Perkawinan menurut Hukum Adat, tergantung pada upacara

perkawinan hukum agama yang dianut masyarakat adat di Indonesia. Apabila

telah dilaksanakan menurut tata cara hukum agama, maka perkawinan itu sudah

sah menurut hukum adat. Upacara perkawinan tujuannya untuk meresmikan

masuknya individu menjadi warga adat merupakan upacara perkawinan adat.

1.5.2.1.2 Sahnya Perkawinan Menurut Perundang-undangan

Dalam Pasal 1 UU Perkawinan dijelaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan  

27Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 1, Bandung, hal. 40.

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

18  tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Kuhperdata Pasal 26 masalah perkawinan

berkaitan dengan hubungan perdata saja.

Pasal 81 Kuhperdata tidak ada upacara keagamaan yang boleh

diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada penjabat agama

mereka bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.

Hal ini jelas bahwa Kuhperdata hanya melihat dari segi keperdataannya saja dan

mengabaikan segi keagamaan yang tidak searah dengan dasar falsafah Negara

Indonesia.

1.5.2.2. Konsep Perlindungan Hukum

Konsep perlindungan hukum ini merupakan konsep yang akan digunakan

untuk menjawab permasalahan kedua. Dalam permasalahan kedua ini membahas

mengenai perlindungan hukum perkawinan tidak sah dan batal demi hukum

karena tidak sesuai dengan syarat sah suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) dan

(2) UU Perkawinan.

1.5.2.3. Konsep Akibat Hukum Perkawinan

Dengan adanya perkawinan, maka akan menimbulkan suatu akibat baik

terhadap istri dan suami, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam

perkawinan tersebut.

1.5.2.4. Konsep Pencatatan Perkawinan

Pencatatan Perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2)

yang mana tiap-tiap perkawinan yang dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dengan kata lain suatu pencatatan perkawinan dilakukan

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

19  

                                                           

apabila sudah melaksanakan perkawinan secara agama. Lembaga Catatan Sipil

dibentuk dengan tujuan untuk mencatat (mendaftar) selengkap dan sejelas-

jelasnya suatu peristiwa hukum, sehingga memberikan kepastian yang sebenar-

benarnya mengenai semua kejadian seperti :

1. Kelahiran.

2. Pengakuan (terhadap kelahiran).

3. Perkawinan dan Perceraian.

4. Kematian.

5. Izin kawin.

Pencatatan sangat penting baik untuk diri seseorang maupun untuk orang

lain oleh karena dengan pencatatan ini orang dapat dengan mudah memperoleh

kepastian akan kejadian-kejadian.

1.5.2.5. Konsep Upacara Pekawinan

Upacara perkawinan adalah upacara yang berkaitan dengan keagamaan,

biasanya dilaksanakan sesuai dengan adat yang diselenggarakan. Pernikahan

sebagai peristiwa penting bagi manusia karena bersifat sakral dan dapat dikenang.

Upacara Perkawinan tradisional dilakukan menurut aturan-aturan adat setempat.

Indonesia memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki tradisi upacara

pernikahan sendiri serta agama yang dipercaya.28

1.5.2.6. Konsep Agama dan Kepercayaan

Seperti yang telah disinggung di atas mengenai agama dan kepercayaan,

bahwa suatu Agama dan Kepercayaan dalam suatu perkawinan mempunyai  

28Id.m.wikipedia.org/wiki/upacara_pernikahan, diakses pada tanggal 26 Mei 2013 pukul 16.46 Wita.

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

20  hubungan yang sangat erat untuk warga Negara Indonesia. Indonesia sendiri

mempunyai adat dan istiadat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Konsep agama dan kepercayaan ini sangat penting bagi suatu perkawinan di

karenakan perkawinan mempunyai tujuan yang berkaitan dengan Tuhan Yang

Maha Esa.

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

21  1.5.3. Bagan pemikiran

1. Apakah akibat hukum perkawinan yang dilakukan hanya melalui pencatatan perkawinan saja?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Perempuan yang perkawinannya dinyatakan tidak sah?

1. Teori keadilan. 2. Teori Kepastian

Hukum. 3. Teori

Perlindungan Hukum

HASIL PENELITIAN

1. Konsep Keabsahan Perkawinan.

2. Konsep Akibat Hukum Perkawinan.

3. Konsep Upacara Perkawinan.

4. Konsep Agama dan Kepercayaan.

PERKAWINAN YANG DICATATKAN PADA KANTOR CATATAN SIPIL TANPA UPACARA

KEAGAMAAN

DAS SEIN.

Dalam pelaksanaannya atau kenyataannya terdapat perkawinan yang hanya dicatatkan, tanpa dilakukannya Upacara Agama dan Kepercayaan

DAS SOLLEN.

Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa Perkawinan yang sah adalah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan dicatatkan pada kantor Pencatatan Sipil

HUKUM PERKAWINAN

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

22   Bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa adanya kewenangan mengatur

mengenai perkawinan di Indonesia, UU Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) dan (2)

menjelaskan sahnya suatu perkawinan didahului dengan agama dan kepercayaan

yang dianut lalu dicatatkan pada kantor pencatatan sipil. Tetapi terjadi

kesenjangan antara UU Perkawinan dengan kenyataannya yang terjadi pada

masyarakat. Banyak masyarakat tidak mengetahui tentang arti perkawinan yang

sah, dalam masyarakat ada yang melakukan perkawinan mereka dengan hanya

sesuai agama dan kepercayaannya. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang hukum

adat maka perkawinan yang mereka lakukan adalah sah. Namun secara Negara

perkawinan tersebut belum sah karena tidak adanya bukti tentang perkawinan dan

ada pula yang melakukan perkawinannya dicatatkan tanpa dilakukan upacara

keagamaan.

Beranjak dari kesenjangan antara das sollen dan das sein, maka dapat

ditentukan satu judul yang mencakup keseluruhan dari inti permasalahan, yaitu

Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa Melakukan

Upacara Keagamaan. Adapun Pokok permasalahannya yang dapat dikaji yaitu

Apakah akibat hukum perkawinan yang dilakukan hanya melalui pencatatan saja

dan Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap

perempuan yang perkawinannya dinyatakan tidak sah.

Untuk permasalahan Pertama dikaji dan dianalisis dengan menggunakan

Teori Kepastian Hukum, hasil pembahasannya adalah untuk mengetahui

perkawinan yang hanya dicatatkan saja sudah dianggap sah dan bagaimana Kantor

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

23  

                                                           

Pencatatan sipil dapat mencatatkan perkawinannya padahal belum melakukan

Upacara keagamaan menurut kepercayaannya masing-masing.

Permasalahan Kedua dikaji dan dianalisis dengan teori keadilan dan teori

perlindungan hukum, upaya perlindungan hukum untuk perempuan jika diketahui

bahwa perkawinan yang dilakukan hanya dengan dicatatkan saja dinyatakan tidak

sah.

1.6. Metode Penelitian

Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan

penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan

menganalisa sampai menyusun laporannya.29

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum Empiris

(yuridis empiris), karena berangkat dari masalah peraturan yang berlaku yaitu UU

Perkawinan da kenyataan dalam masyarakat di Kalimantan Timur. Terkategori

sebagai penelitian hukum empiris, karena penelitian ini secara akademik

melakukan kajian terhadap masalah hukum, terutama terkait dengan problem,

perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil tanpa melakukan upacara

keagamaannya masing-masing.

 

29Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta, hal. 1.

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

24  

                                                           

1.6.2. Sifat Penelitian

Penelitian yang sifatnya Deskriptif Analitis, karena ingin menggambarkan

kenyataan yang ada dalam masyarakat di Kalimantan Timur. Deskriptif artinya

dalam penelitian ini analisis datanya tidak keluar dari lingkup sample yang

bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala,

keadaan atau kelompok dalam masyarakat. Serta analitis artinya dalam penelitian

ini analisis data mengarah menuju ke populasi data.30

1.6.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, terdapat tiga tempat yang

dipilih sebagai lokasi operasional penelitian ini masing-masing, adalah:

a. Pengadilan Negeri di Samarinda

b. Kantor Catatan Sipil di Balikpapan

c. Kantor Urusan Agama di Balikpapan

Ketiga tempat tersebut berada di Propinsi Kalimantan Timur. Pilihan

ketiga tempat menjadi argumentasi dan pertimbangan sebagai berikut :

A. Karena substansi kajian penelitian ini eksis di tiga tempat tersebut.

B. Sisi metodelogi, karena informan sebagai seseorang yang memiliki

informasi (data mengenai objek yang sedang diteliti) baik dari Pengadilan

Negeri, Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama hanya dapat

dengan mudah dijumpai di tiga tempat tersebut.

 

30Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 36.

Page 25: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

25  1.6.3. Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris (yuridis empiris) ada 2

jenis yaitu data primer dan data sekunder.

a) Data primer.

Data primer bersumber dari lapangan yaitu suatu data yang diperoleh

langsung dari instansi (informan) yang terkait pada permasalahan

penelitian ini.

b) Data sekunder.

Data sekunder dari penelitian ini bersumber dari kepustakaan yang terdiri

dari:

1. Bahan hukum primer, Putusan-putusan Pengadilan yang terkait pada

pokok pembahasan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Samarinda

No.161/Pid.S/1990/PN.Sinda, Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda

No.03/Pid.S/1990/PT.KT.Sinda dan Mahkamah Agung Reg. No.

2099k/Pid/1990 serta Undang-undang yang terkait yaitu UU

Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang

Pelaksanaan UU Perkawinan, Undang-undang Kependudukan No 23

tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4674) dan UU No.32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak

dan Rujuk (Lembaran Negara 1954 nomor 98).

2. Bahan Hukum Sekunder, Beberapa buku bacaan/ Literatur yang

berkaitan/ membahas tentang perkawinan, karya ilmiah (makalah,

Page 26: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

26  

                                                           

skripsi,tesis, atau desertasi), serta pendapat para ahli hukum dan

berbagai bahan yang di dapat dari internet akan mendukung

pembahasan yang berkaitan dengan masalah yang ada dalam tesis ini.

1.6.5. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data lapangan digunakan tehnik wawancara dan tehnik

studi dokumen.

1. Tehnik wawancara yaitu tehnik dengan mewawancari informan dengan

memberikan beberapa pertanyaaan secara sistematis dan telah disiapkan

sebelumnya yang berupa pedoman wawancara yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dibahas. Dengan tehnik wawancara akan lebih

memudahkan mendapatkan informasi yang diinginkan, seperti yang

dinyatakan oleh William D. Crano dan Marilyn B. Brewer, bahwa “in

surevey research personal contact will achieve higher response rates than

the more impersonal questionnair approach”31

2. Tehnik studi dokumen melalui kepustakaan yaitu dengan cara

mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan penelitian,

melalui penelusuran literatur-literatur dan melakukan pencatatan bahan-

bahan hukum.

  31Crano, William D and Brewer, Marilyn B, 2002, Principles And Methodes Of Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Pulishers, Mahwah, New Jersey, hal. 223

Page 27: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

27  

                                                           

1.6.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Tehnik yang digunakan adalah purposive sampling dilakukan berdasarkan

tujuan tertentu, yaitu sample dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang

mana penunjukan dan pemilihan sample berdasarkan pertimbangan bahwa sample

telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat tertentu yang merupakan ciri utama dari

populasinya.

1.6.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian yuridis empiris dikenal model-model analisis yaitu analisis data

kualitatif dan analisis data kuantitatif.32 Dalam penelitian ini menggunakan

analisis data kualitatif yang dipergunakan adalah deskriptif analitis.33 Setelah data

terkumpul baik data lapangan dan kepustakaan kemudian di klasifikasikan secara

kualitatif sesuai dengan masalah kemudian dianalisa dengan teori-teori yang

relevan dan disimpulkan untuk menjawab permasalahan, akhirnya dianalisis

dengan deskriptif analitis.

  32Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1990, hal. 5. 33Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.  

Page 28: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah lahirnya Undang-undang Perkawinan

2.1.1. Latar belakang Sejarahnya

Usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu sudah ada

sejak lama, yakni sejak dibentuknya panitia penyelidik peraturan hukum

perkawinan, talak dan rujuk pada tahun 1950. Sebelum Bangsa Indonesia

merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana pendahuluan

Ordonansi Perkawinan yang tercatat pada tahun 1937 yang berlaku bagi orang

Indonesia dan Timur Asing bukan Tionghoa. Namun semua usaha tersebut

mengalami kegagalan, upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru

terwujud pada tahun 1974.34

Terbentuknya Undang-undang Perkawinan 1974 dapat dibagi kedalam tiga

periode yaitu:35

1. Pada Periode Sebelum Kemerdekaan atau masa penjajahan, usaha kearah

terbentuknya peraturan hukum perkawinan baru pada tahap tuntutan

formal yaitu agar segera dibentuk peraturan hukum mengenai perkawinan,

keadaan ini dapat mengakibatkan kaum perempuan lebih banyak

menderita akibat suatu perkawinan dibandingkan kaum laki-laki, sampai

berakhirnya masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil

                                                             34Maria Ulfah Soebadio, 1981, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang Perkawinan, Idayu, Jakarta, hal. 10.   35Ibid. 

28  

Page 29: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

29  

                                                           

membuat Undang-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan

yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.36

2. Periode Kepemimpinan Orde Lama, dalam Masa kepemimpinan orde lama

(1945-1965) untuk keinginan memiliki UU Perkawinan yang berlaku bagi

seluruh bangsa Indonesia ternyata belum juga terwujud, hal ini

dikarenakan bagi golongan Kristen dan warga negara keturunan Eropa dan

Cina telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan maka jarang terjadi

permasalahan yang sulit dalam perkawinan mereka, pada golongan Islam

yang belum memiliki kodifikasi hukum perkawinan, hukum perkawinan

yang dipedomani oleh umat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab

fikih munakahat. Usaha perbaikan perilaku perkawinan terus dilanjutkan

melalui instruksi Menteri Agama No 4 tahun 1974 yang isinya

menganjurkan kepada petugas pencatat Nikah, talak dan rujuk untuk

mencegah perkawinan di bawah umur, menertibkan kembali soal

poligami, talak, dan rujuk agar supaya sesuai dengan ajaran Hukum Islam,

sampai periode kepemimpinan orde lama berakhir undang-undang

perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga

terbentuk.37

3. Periode kepemimpinan Orde Baru, dalam sidang 1967-1971 parlemen

(DPR-GR) membahas kembali mengenai RUU Perkawinan yaitu :

  36Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, pro-kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 100. 37 Ibid, hal. 104. 

Page 30: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

30  

                                                           

a. RUU perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang

diajukan kepada DPR-GR bulan mei 1967

b. RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen

Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968.38

Dalam proses pembentukan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan. Sikap atau pandangan masyarakat terbagi dalam tiga aliran yaitu

aliran yang menginginkan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap istri

dalam hidup berumah tangga, aliran yang menghendaki suatu undang-undang

perkawinan yang menghendaki suatu undang-undang perkawinan yang tidak

bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dan aliran

yang menghendaki adanya pemisahan antara hukum Negara dengan hukum agama

dalam mengatur soal perkawinan.39

2.1.2. Politik Hukum di Indonesia

Hukum adalah sebuah entitas yang sangat komplek meliputi kenyataan

kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.

Politik hukum merupakan satu disiplin hukum yang tergolong paling muda

dibandingkan dengan disiplin-disiplin hukum lain yang lebih klasik.40

Hukum sebagai kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja

namun memerlukan suatu proses pembentukan hukum, yang mana hukum

tersebut berasal dari suatu produk politik dari kristalisasi kehendak-kehendak

politik yang saling berinteraksi serta bersaing. Pengertian politik hukum sebagai  

38Ibid. 39Ibid, hal. 208. 40Imam Syaukani, 2013, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.

Page 31: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

31  

                                                           

ilmu studi (ilmu politik hukum) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar

belakang politik.

Definisi politik hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yaitu

Menurut pendapat Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum

sebagai “suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang

berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang

dibangun”.41Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah “kebijakan

penyelenggara Negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk

maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan

kriteria untuk menghukumkan sesuatu”.42

2.1.2.1. Pada Masa Penjajahan

Terdapat tiga sistem hukum yang berkembang di Indonesia yaitu Hukum

Barat (Belanda), hukum adat serta hukum Islam. Ketiga sistem hukum ini berlaku

pada waktu yang tidak bersamaan antara hukum barat, adat serta Hukum Islam.43

Hukum yang berlaku pada waktu itu adalah sistem hukum Belanda, pada mulanya

hanya berlaku bagi orang Eropa.

Dengan berbagai peraturan dan upaya pada akhirnya dinyatakan berlaku

bagi bangsa Asia termasuk Indonesia yang menundukkan diri pada hukum barat

secara sukarela atau karena ada perbuatan hukum. Menurut Soepomo, dengan

membentuk kitab hukum ini VOC berkehendak memperbaiki kepastian hukum.

  41 Ibid, hal. 27. 42Ibid, hal. 26. 43Yaswirman, 2013, Hukum keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 26. 

Page 32: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

32  

                                                           

Hukum adat adalah bagian dari rekayasa Pemerintah Hindia Belanda.

Terkait dengan politik hukum pada masa penjajahan, adat istiadat pada praktiknya

sebagai pedoman hidup, baik berbentuk ucapan dan tindakan nyata dan bagi yang

melanggarnya akan mendapatkan sangsi sosial dalam bentul bertingkat-tingkat

sesuai dengan pelanggaran yang diperbuat.

Pemerintah jajahan, baik Hindia Belanda Inggris maupun jepang selalu

menempatkan bangsa mereka di Negeri jajahan sebagai orang istimewa dan

pribumi sebagai orang biasa. Pada penggolongan penduduk pemberlakuan sistem

hukum mencampur adukkan hukum adat dengan hukum islam.

2.1.2.2. Pada Masa Kemerdekaan

Setelah masa kemerdekaan, segala kebijakan pemerintahan termasuk bidang

tata hukum bersumber dan bermuara dari UUD 1945. Sistem peradilan masa

penjajahan dilanjutkan oleh Indonesia bahkan disederhanakan, seperti penyatuan

lembaga peradilan tingkat pertama dengan nama Pengadilan Negeri, Pengadilan

Tinggi untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.44

Dengan runtuhnya kekuasaan Jepang di Indonesia karena kekalahan dari

tentara sekutu dalam perang dunia II mengundang Belanda untuk kembali lagi ke

Indonesia karena secara de jure mereka mengaku sebagai penguasa politik satu-

satunya di Nusantara.45 Pluralisme masyarakat dan hukum yang terlanjur ada itu

antara lain karena faktor:

  44Ibid, hal 46. 45Soepomo, 1993, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 122.

Page 33: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

33  

                                                           

a. Kitab undang-undang Hukum Perdata dan hukum Dagang yang berlaku

untuk bangsa Eropa dan sebagian untuk Timur Asing itu juga berlaku

untuk penduduk asli (Bumi Putera)

b. Hukum adat yang diberlakukan untuk bumi putera itu sebagiannya juga

diberlakukan bagi bangsa Cina dan Timur Asing lainnya

c. Hukum Islam diberlakukan bagi penduduk yang beragama Islam, seperti

perkawinan, perceraian, wakaf dan sebagainya

d. Hukum perundang-undangan yang dibuat dan diundangkan secara khusus

diperlakukan bagi orang Indonesia Asli yang beragama Kristen

e. Hukum perundang-undangan yang dibuat dan berlaku untuk semua

golongan, seperti asuransi, hak cipta dan sebagainya.46

Mengenai hukum adat, Badan Pembinaan Hukum Nasional (sebelumnya

bernama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) yang dirintis sejak tahun 1958

dan diaktifkan kembali oleh pemerintah tahun 1961, sejak semula bercita-cita

mewujudkan unifikasi dan kodifikasi dalam sistem hukum nasional. Hukum adat

yang dimaksud tidak harus yang mengatur mengenai kehidupan pedesaan saja

melainkan yang difungsikan untuk kepentingan kehidupan Nasional dan

Internasional yang modern.47

Setelah masa orde baru, pemerintah secara berangsur-angsur berusaha

mengembalikan citra Indonesia sebagai negara hukum. Doktrin kepastian hukum

dan tata hirarki perundang-undangan dipulihkan kembali melalui TAP MPRS

No.XX/15 juli 1966 ditetapkan, bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia  

46Yaswirman, op.cit, hal. 51 47Yaswirman, op.cit, hal. 57.

Page 34: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

34  

                                                           

dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah untuk

menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sumber tertib hukum

menurut ketetapan adalah Pancasila.48

Pada kenyataannya sistem hukum di Indonesia masih mengacu pada sistem

hukum barat (Belanda), sistem hukum Belanda telah mengalami beberapa kali

perubahan dan pembaruan sedikit demi sedikit. Dalam bidang hukum pidana dan

hukum perdata yang masih sering mengacu pada sistem hukum Belanda, hukum

perdata masih terdapat dualisme antara penerapan hukum barat dan hukum

adatnya sendiri tetapi setelah lahirnya UU Perkawinan.49

2.2. Pengertian Perkawinan

Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis

dan kehendak kemanusiaan , yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir bathin antara

seorang pria dan seorang wanita. Dalam UU Perkawinan pada Pasal 1

menyebutkan bahwa Perkawinan ialah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(berumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dalam sila pertama

menyebutkan mengenai “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan yang akan

dilakukan mempunyai kekuatan atau hubungan yang sangat erat dengan agama

dan kerohaniaan, hal ini disebabkan karena suatu perkawinan bukan hanya

  48Yaswirman, loc.cit. 49Yaswirman, loc.cit.

Page 35: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

35  

                                                           

hubungan Jasmaniahnya saja tetapi hubungan Bathiniah (agama dan kerohanian)

mempunyai peran yang sangat penting dalam perkawinan.50

Ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut dapat dirinci dalam beberapa

unsur dari pengertian sebagai berikut:

a) Adanya Ikatan Lahir Batin

Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu persetujuan yang dapat

menimbulkan ikatan, dalam bentuk lahiriah maupun batiniah antara seorang

pria dan wanita, bahkan ikatan batin ini merupakan daripada ikatan lahir.

b) Antara Seorang Pria dan Wanita

Unsur pria dan wanita menunjukkan secara biologis orang akan

melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis kelamin. Hal ini sangat

penting, karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

menghendaki adanya keturunan.

c) Sebagai Suami Istri

Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara yuridis

statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan wanita

berubah statusnya sebagai istri.

d) Adanya Tujuan

Tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal. Seorang pria dan seorang wanita yang telah

mempunyai ikatan lahir batin dengan melangsungkan perkawinan haruslah

menuju pada suatu perkawinan yang kekal, bukan untuk masa tertentu.  

50Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas perkawinan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 7.

Page 36: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

36  

                                                           

e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi Ketuhanan

Yang Maha Esa, memberikan arti bahwa perkawinan itu mempunyai

hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian. Sini dapat di lihat

bahwa peranan agama adalah sangat penting. Masalah perkawinan bukanlah

semata-mata masalah keperdataan saja, melainkan juga masalah agama.

Sehingga di dalam perkawinan tersebut harus diperhatikan unsur-unsur

agama.

Perkawinan adalah suatu proses yang sudah melembaga, yang mana laki-

laki dan perempuan memulai dan memelihara hubungan timbal balik yang

merupakan dasar bagi suatu keluarga. Hal ini akan menimbulkan hak dan

kewajiban baik di antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak yang

kemudian dilahirkan.51

Dalam pengertian perkawinan terdapat 2 azas yaitu azas monogami dan

poligami. Azas poligami terjadi bila sepanjang hukum agama yang dianut

mengizinkannya untuk melakukan poligami dan melalui syarat-syarat yang ketat

dengan izin dari pengadilan dan izin itu pun hanya akan diperoleh jika istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.52

Tujuan dari UU Perkawinan ini tidak hanya dari segi lahiriah, tetapi

sekaligus adanya suatu unsur agama, yang mana dalam unsur agama ini ditujukan

  51I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar, hal. 169. 52Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta, hal. 19.

Page 37: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

37  

                                                           

untuk membina suatu keluarga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan sesuai

dengan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

2.2.1. Syarat sahnya Perkawinan

Syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan.

Menjelaskan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai yang akan

melaksanakan perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua

macam syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat

pada diri masing-masing pihak disebut juga “Syarat-syarat Subjektif”, dan syarat

formal yaitu mengenai tatacara atau prosedur melangsungkan perkawinan

menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga syarat objektif.53

A. Syarat Materiil.

1. Persetujuan kedua calon mempelai

Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, perkawinan

harus didasari atas persetujuan kedua mempelai, artinya kedua calon

mempelai telah sepakat untuk melaksanakan suatu perkawianan tanpa

ada paksaan dari pihak manapun. Persetujuan kedua calon mempelai ini

tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam

Undang-Undang dan tidak pula mengurangi ketentuan yang berlaku

menurut agama masing-masing. Menurut syarat ini meskipun

kesepakatan kedua belah pihak calon mempelai tetapi izin dari keluarga

terutama kedua orang tua masing-masing pihak diperlukan sesuai

dengan Hak Asasi Manusia atas perkawinan dan sesuai pula dengan  

53Abdulkadir muhamad, 2000, Hukum Perdata Undonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 76.

Page 38: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

38  

tujuan perkawinan yang pada intinya untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal.

2. Izin Orang tua/ pengadilan Jika belum berumur 21

Menurut Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan, untuk melangsungkan suatu

perkawinan seorang yang belum berumur mencapai 21 tahun harus

mendapatkan izin dari kedua orang tua. Namun dalam ayat (3)nya

menyebutkan bahwa jika kedua orangtuanya meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka

izin dimaksud ayat (2) UU Perkawinan cukup diperoleh dari orangtua

yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya.

Dalam hal ini anak yang dibawah umur 21 tahun jika ingin melakukan

suatu tindakan hukum dalam hal ini perkawinan maka sebelum

melangsungkan perkawinan harus ada izin dari kedua orang tuanya

tetapi jika kedua orang tuanya tidak ada atau meninggal dunia maka

calon mempelai dapat meminta izin dari wali yang masih mempunyai

hubungan kekerabatan dengan si calon mempelai, mengapa anak yang

dibawah umur 21 tahun harus meminta izin dari kedua orangtuanya ini

disebabkan karena umur 21 tahun dianggap belum dewasa menurut

hukum.

3. Pria sudah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan dapat

diberikan atau diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak

Page 39: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

39  

wanita 16 tahun. Batas umur ini untuk menjaga kesehatan suami istri

dan keturunannya.

Dalam jika pasangan calon masing-masing masih berumur pria 19

tahun dan wanita 16 maka sebelum mereka melakukan perkawinan

harus seizing kedua orangtuanya mereka masing-masing.

4. Tidak terikat dalam suatu perkawinan

Pada Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih terikat tali

perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal

Pasal 3 ayat (2) dan dan Pasal 4 UU Perkawinan. Dalam Pasal 9 ini

menganut asas monogamy. Suatu perkawinan tidak di perbolehkan

untuk kawin lagi, tetapi apabila dalam perkawinan yang terdahulu

terdapat masalah sesuai dengan yang dijelaskan pada Pasal 4 maka laki-

laki tersebut dapat kawin lagi namun sesuai dengan peraturan agama

masing-masing.

5. Tidak melakukan perkawinan atau perceraian untuk kedua kalinya

dengan suami/istri yang sama.

Ketentuan pada Pasal 10 UU Perkawinan, apabila suami-istri yang telah

cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua

kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan

lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena itu UU

Perkawinan mempunyai maksud agar suami-istri dapat membentuk

keluarga yang kekal dan abadi, agar tidak terjadi putusnya

Page 40: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

40  

perkawinannya, jika suatu saat mengakibatkan putusnya suatu

perkawinan harus benar-benar dengan pertimbangan yang matang.

Ketentuan ini mencegah tindakan kawin-cerai dalam masyarakat dan

agar antara pasangan suami-istri dapat menghargai satu dengan yang

lain dan menciptakan keharmonisasian di kalangan keluarga dan

masyarakat umum.

6. Bagi janda

Ketentuan pada Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan, bagi seorang wanita

berlaku jangka waktu tunggu, yang mana di sebutkan pada ayat (2) UU

Perkawinan, tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1)

akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Pada Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan

UU Perkawinan pada Pasal 39 disebutkan bahwa apabila perkawinan

putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga

puluh) hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu

bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak

berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari. Apabila

perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka

waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan dan untuk janda yang

putus karena perceraian sedang antara janda dan bekas suami belum

pernah melakukan hubungan kelamin maka tidak ada waktu tunggu

tetapi jika perkawinan yang putus karena perceraian dan antara mereka

Page 41: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

41  

pernah melakukan hubungan kelamin maka waktu tunggunya dihitung

sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum

yang tetap, sedangkan untuk janda yang perkawinannya putus karena

kematian maka tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian

suaminya. Syarat-syarat ini bersifat kumulatif, jadi harus dipenuhi

semua.

B. Syarat Formal

Syarat formal adalah yang berhubungan dengan formalitas-formalitas

mengenai pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat formal ini dijelaskan

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975

tentang pelaksanaan UU Perkawinan pada Pasal 3,4,5,6,8,9 Peraturan

Pemerintah No. 9 tahun 1975.

2.2.2. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat

Perkawinan menurut Hukum Adat, pada pembahasan yang akan dijelaskan

oleh penulis ialah mengenai tempat kedudukan wanita dan hak wanita menurut

hukum adat untuk melakukan tindakan Hukum. Mengenai tempat kedudukan

wanita dalam hal hukum adat, di Indonesia terdiri dari 3 sistem yaitu sistem

matrilineal, parental serta patrilinial.

Tiga sistem kekeluargaan di masing-masing daerah memiliki perbedaan

tentang pengaturannya. Pada masyarakat dengan sistem matrilineal umumnya baik

istri maupun suami masing-masing tinggal dalam rumah keluarganya sendiri,

tetapi dalam sistem patrilinial umumnya si wanita mengikuti tempat kedudukan

dari si laki-laki dan pada sistem parental pada umumnya tidak ada peraturan yang

Page 42: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

42  

                                                           

tetap mengenai kedudukan dari kedua belah pihak, pada sistem kekeluargaan ini

lebih mengedepankan sistem parental kerena musyawarah terhadap kedua belah

pihak lebih dikedepankan, seringkali istri mengikuti kedudukan suami dan

seringkali pula suami mengikuti kedudukan istri.

Hak wanita untuk melakukan tindakan hukum dalam hukum perkawinan

menurut hukum adat dalam sistem matrilineal kaum wanita yang telah kawin

berhak untuk bertindak sendiri sekedar mengenai barang-barang yang

dimilikinya.54 Dalam sistem patrilinial kaum wanita tidak berhak melakukan

tindakan hukum, dan dalam sistem parental seperti penjelasan sebelumnya, hal ini

menjelaskan mengenai kedudukan wanita atau hak wanita dalam melakukan suatu

tindakan hukumnya, wanita umumnya berhak bertindak mengenai barang-barang

yang dimilikinya, dan mengenai harta yang dimiliki oleh mereka bersama (harta

yang dimiliki pada saat perkawinan dan tidak disertai oleh perjanjian kawin)

merupakan atau dikuasai oleh suaminya, tetapi meskipun di kuasai oleh suami

sebelum melakukan tindakan yang penting, suami umumnya akan

memberitahukan dahulu kepada istrinya sebelum melakukan suatu tindakan dan

kaum wanita sama dengan sistem patrilinial yang dimana dapat menuntut nafkah

dan dapat meminta cerai jika ditinggalkan begitu saja oleh suaminya.

Di samping hukum tertulis, terdapat hukum tidak tertulis yaitu hukum adat

dan senantiasa pula ada hukum yang tidak berasal dari alat-alat perlengkapan lain

  54Nani Soewondo, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 50.

Page 43: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

43  

                                                           

dan dari berbagai golongan dalam masyarakat.55 Perkawinan tidak berimbang

dengan urusan keluarga, urusan rumah tangga, urusan pergaulan masyarakat,

urusan kedudukan dan urusan pribadi.56

Pada umumnya di Indonesia terdiri beragam adat dan istiadat yang

berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal ini mempengaruhi

perkawinan di Indonesia. Melangsungkan perkawinan itu hanyalah subyek hukum

yang dinamakan pribadi kodrati, tetapi tidak setiap pribadi kodrati yang dapat

melangsungkan perkawinan.57

Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah

tangga atau keluarga baru yang nantinya akan menghasilkan keturunan, yang

mana perkawinan ini bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan

dan masalah pewarisan.58 Perkawinan yang dilaksanakan secara adat dengan

melibatkan keluarga besar kedua belah pihak.59

Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan

perdatanya saja tetapi merupakan perikatan adat yang mana suatu ikatan

perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan

keperdataannya saja. Menurut Ter Haar bahwa perkawinan itu adalah urusan  

55Van Dijk, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 5. 56J. Prins, 1982, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 42. 57Soerjono Soekanto, 2011, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 217. 58Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Penerbit Alfabeta, Bandung, hal. 222. 59Soerojo Wignjodipoero, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hal. 55.

Page 44: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

44  

                                                           

kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi

dan menyangkut urusan keagamaan.60

Perkawinan dalam arti adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat

hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan itu terjadi, yang mana yang

dimaksud dengan akibat hukum ini adalah yang akan menimbulkan suatu hak dan

kewajiban orangtua, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat, membina dan

memelihara kerukunan keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak

mereka yang terikat dalam perkawinan.

Dalam perkawinan adat di Indonesia dapat berbentuk dan bersistem

perkawinan jujuran yang mana dalam perkawinan ini dilakukan pelamaran yang

dilakukan oleh laki-laki kepada pihak wanita biasanya perkawinan jujur ini

terdapat pada daerah patrilinial (Batak. Lampung dan Bali). Perkawinan semanda

yang mana dalam bentuk pelamaran yang dilakukan oleh pihak wanita kepada

pihak laki-laki dan setelah perkawinan terjadi pihak laki-laki mengikuti pihak

wanita perkawinan ini terdapat pada daerah matrilineal (Minangkabau, Semendo

sumatera selatan) dan perkawinan bebas yang mana pelamarannya dilakukan oleh

pihak laki-laki kepada pihak wanita, dan untuk tempat kedudukan dan kediaman

mereka bebas untuk memilih, perkawinan seperti ini terdapat pada daerah parental

( jawa, mencar, mentas).61

Perkawinan yang dilakukan antar adat yang berbeda-beda tidak menjadi

masalah seberat perkawinan yang dilangsungkan antar agama. Oleh karena itu  

60 Ibid.  61 Hilman Hadikusuma, op.cit, hal. 8.

Page 45: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

45  

                                                           

perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan masyarakat bukan perbedaan

keyakinan, jadi perkawinan menurut hukum adat lebih luas pengertiannya di

bandingkan dengan perkawinan menurut Perundang-undangan. Perkawinan adat

bersifat :62

1. Patrilokal (pada susunan patrilinial dan matrilineal) seperti suami istri

tinggal pada keluarga si laki-laki (untuk sementara atau selamanya)

2. Matrilokal : suami istri tinggal pada keluarga si perempuan (pada tertib

matrilineal dan parental: pada tertib yang terakhir ini kadang-kadang

berganti-ganti patria tau matrilokal)

3. Pada waktu perkawinan atau beberapa lamanya sesudah itu keluarga yang

baru itu pindah ke rumah sendiri.

Upacara-upacara Perkawinan adat pada sesuatu perkawinan ini adalah

berakar pada adat-istiadat serta kepercayaan, upacara keagamaan dilakukan pada

hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara

nikah. Upacara perkawinan masing-masing daerah berbeda-beda.

2.2.3. Sahnya Perkawinan Menurut Perundang-undangan

Untuk sahnya suatu perkawinan menurut perundang-undangan ini terdapat

perbedaan antara KUHPerdata dengan UU Perkawinan. Dalam Kuhperdata hanya

sebagai perikatan perdatanya saja sedangkan dalam UU Perkawinan tidak hanya

sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan keagamaan sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945.63

  62Van Dijk, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 53. 63 Ibid.

Page 46: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

46  

                                                           

UU Perkawinan untuk sahnya suatu perkawinan harus dilakukan menurut

ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Setelah dilaksanakan

dengan hukum agamanya masing-masing para pasangan suami-istri dapat

mendaftarkan perkawinan mereka pada kantor catatan sipil di daerah mereka

masing-masing untuk mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka lakukan

tidak mempunyai halangan.

2.3. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap

subyek hukun. Dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif yakni

bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk

mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah

mendapat bentuk yang definitive  maupun yang bersifat represif yakni bentuk

perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa, baik

yang tertulis maupun tidak tertulis.

Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi

hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,

kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Beberapa unsur kata Perlindungan:64

1. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/tampak, menjaga,

memelihara, merawat, menyelamatkan.

2. Perlindungan; proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal

(perbuatan), memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan

berlindung).  

64http//www.artikata.com/artiperlindungan.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2013 pukul 22.30 Wita.

Page 47: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

47  

3. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi.

4. Terlindung: tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan.

5. Lindungan : yang dilindungi, cak tempat berlindung, cak perbuatan.

6. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung.

7. Melindungkan: membuat diri terlindungi

2.4. Pengertian tentang Akibat Hukum Perkawinan

Suatu perkawinan mempunyai suatu akibat hukum, baik antara kedua belah

pihak maupun dengan keturunan. Akibat hukum perkawinan menyebabkan

adanya hak dan kewajiban dan dalam hal harta benda. Dalam bab VI UU

Perkawinan pada Pasal 30 berbunyi suami istri memikul kewajiban yang luhur

untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat.

Selain hak dan kewajiban suami-istri ini, jika perkawinannya dikaruniai

anak, kedudukan anak yang diatur pada Pasal 42-44 UU Perkawinan. Dalam Pasal

42 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah, maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban

yang sama yang mana diatur pada Pasal 45 - 49 UU perkawinan kedua orang tua

wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

Akibat dari suatu perkawinan terjadi pada harta benda, yang mana harta ini

merupakan permasalahan yang paling sensitive bagi semua golongan masyarakat.

Harta benda dalam suatu perkawinan terjadi adanya percampuran harta benda

diantara suami dan istri tanpa adanya perjanjian kawin (Pasal 29 UU Perkawinan).

Harta campuran Pasal 35 UU Perkawinan ayat (1) berbunyi Harta Benda yang

Page 48: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

48  

                                                           

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama terkecuali jika harta yang

diperoleh sebagai hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan).

Apabila suami-istri masing-masing membawa harta kedalam

perkawinannya, atau dalam perkawinannya tersebut memperoleh harta karena

hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap dikuasai oleh masing-masing

pihak, kecuali ditentukan untuk dijadikan harta bersama.65 Akibat suatu

perkawinan menyebabkan suatu akibat terhadap hak dan kewajiban para pihak

serta hak dan kewajiban terhadap anak-anak.

2.5. Pengertian Pencatatan Perkawinan

Tahun 1996 telah dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet

No.31/U/In/12/1996 yang antara lain menginstruksikan kepada menteri

kehakiman serta kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan

penggolongan-penggolongan penduduk Indonesia. Berdasarkan pasal 131 dan 163

I.S. pada kantor catatan sipil diseluruh Indonesia serta selanjutnya kantor cacatan

sipil di Indonesia untuk bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya ditentukan

antara Warga Negara Indonesia dan Orang Asing. 66

Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam buku Understanding Family Law

“ Formal Registration Of The Marriage Is Necessary To Enable The Parties To Have Proof Of Their Status. As You Will Realise, Many Rights And Obligations, Both Of The Parties To One Another And Of The State, Are Dependent Upon The Status Of A Married Person. The Marriage Register

  65 Djoko Prakoso, op.cit, hal. 26. 66Soedjito Tjokrowisastro, Pedoman Penyelenggaraan, Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 217.

Page 49: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

49  

                                                           

Must Be Completed And Signed By Witnesses A Copy Of Thisentry In The Marriage Register is Provided To The Couple.”67( Pendaftaran resmi dari pernikahan yang diperlukan untuk memungkinkan para pihak untuk memiliki bukti status mereka. Ketika Anda akan menyadari, banyak hak dan kewajiban, baik dari pihak satu sama lain dan negara, tergantung pada status orang yang sudah menikah. Salinan entri ini dalam akta nikah disediakan untuk pasangan).

Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk

mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju’). Adapun instansi atau lembaga

yang dimaksud adalah:

a. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju’ bagi

orang beragama Islam.

b. Kantor catatan sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk

kepada:

1. Stb 1933 Nomor 75jo Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang Peraturan

Sipil untuk orang Indonesia, Kristen, Jawa, Madura, Minahasa, dan

Ambonia.

2. Stb 1847 Nomor 23 tentang Peraturan Perkawinan dilakukan menurut

ketentuan Stb. 1849 Nomor 25 yaitu tentang Pencatatan Sipil Eropa.

3. Stb 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut

ketentuan Stb. 1917 Nomor 130jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang

Peraturan Pencatatan Sipil Campuran.

4. Pencatatan Sipil untuk Perkawinan Campuran sebagaimana diatur

dalam Stb. 1904 Nomon 279.

  67ME. Rodgers, 2004, Understanding Family Law, Cavendish Publishing Limited, London, hal. 10.

Page 50: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

50  

                                                           

5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang

Kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan

Timur, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur

tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan

perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil

berdasarkan ketentuan Pasal 3 sampai dengan 9 peraturan ini.

Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan

yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan

ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah

satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan

kabinet tentang data NTR.

Di Indonesia banyak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor

catatan sipil. Guna perkawinan dicatatkan adalah untuk suatu pembuktian, jika

perkawinannya tersebut dicatatkan maka perkawinan yang dilakukan mempunyai

kekuatan hukum tetap. Di dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang ini menjelaskan

mengenai adanya pencatatan perkawinan, yang secara rinci diatur bahwa:68

a. Pencatatan perkawinan dari yang akan melangsungkan perkawinannya

menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk.

b. Pencatatan perkawinan dari yang akan melangsungkan perkawinanya

menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan  

68Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 17-21.

Page 51: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

51  

oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana

dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatat

perkawinan.

c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi

tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang

berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan 9 peraturan pemerintah.

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, pencatatan perkawian dilakukan oleh dua

instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor catatan Sipil

atau instansi/pejabat yang membantunya. Sedangkan hal-hal yang berhubungan

dengan tatacara pencatatan perkawian pada dasarnya dilakukan sesuai dengan

ketentuan Pasal 3 dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.

Mengenai ketentuan khusus yang menyangkut tatacara pencatatan

perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi

Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang

waktu antara saat memberitahukan dengan pelaksanaaannya.

a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

b. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10

(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

Page 52: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

52  

c. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan

sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati

Kepala Daerah.

1. Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan di

tentukan bahwa : Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis

oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.

2. Di dalam memberitahukan terdapat beberapa unsur yang harus

disampaikan, yakni :

“Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isterinya atau suaminya terdahulu”. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang menurut penjelasannya dinyatakan bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan”.

3. Pemberitahuan tersebut mengharuskan Pegawai Pencatat untuk

melakukan beberapa hal, yaitu :

a. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak

melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat

perkawianan telah dipenuhi menurut Undang-Undang.

b. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam angka 1

(satu) Pegawai Pencatat meneliti pula kutipan akta kelahiran atau

surat lahir calon mempelai, keterangan mengenai nama,

Page 53: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

53  

agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orangtua calon

mempelai, jika salah satu mempelai belum berumur 21 tahun maka

ia diwajibkan untuk meminta surat izin tertulis/izin pengadilan,

jika calon suami masih mempunyai isteri maka meminta izin dari

pengadilan dan izin dari istri pertamanya, tetapi jika masing-

masing calon mempelai pernah kawin dan perkawinan mereka

yang terdahulu telah putus akibat perceraian atau kematian maka

meminta surat kematian yang diberikan oleh lurah/ kepala desa

yang meliputi wilayah tempat kediaman suami atau istri terdahulu,

untuk calon mempelai Anggota Angkatan Bersenjata meminta izin

tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/

PANGAB, jika nantinya salah seorang calon mempelai atau

keduanya tidak dapat hadir sendiri karena adanya halangan maka

dimohonkan untuk membuat surat dibawah tangan yang disahkan

oleh pegawai pencatat atau surat kuasa otentik, penyelenggaraan

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan

perkawinan oleh pegawai pencatat yang diatur dengan tegas bahwa

setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta

tiada sesuatu halangan perkawinannya itu maka pegawai pencatat

segera menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan

kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan

surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor

Page 54: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

54  

                                                           

pencatat perkawinan pada suatu tenpat yang sudah ditentukan dan

mudah dibaca oleh umum atau masyarakat.

Selain penjelasan diatas dalam buku mengenai pedoman penyelenggaraan

catatan sipil menjelaskan bahwa, apabila seorang hendak melangsungkan

perkawinan maka ia harus:69

a. Memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinanya kepada Pegawai

Pencatata perkawinan ditempat perkawinan akan dilangsungkan Pasal 3

ayat (1) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU

Perkawinan, untuk selanjutnya di dalam pedoman ini pegawai pencatat

perkawinan disebut pegawai pencatat sipil/ pejabat khusus.

b. Yang dimaksud dengan pejabat Khusus adalah seorang pemuka agama

yang diangkat oleh pejabat yang berwenang.

c. Pemberitahuan dilakukan dengan cara lisan atau tertulis, lisan yaitu

apabila datang sendiri ke kantor pencatat dan dalam hal pemberitahuan

secara lisan tidak mungkin, maka dilakukan secara tertulis (Pasal 4

Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU

Perkawinan).

d. Setelah dilakukan pemberitahuan maka pegawai pencatat sipil/pejabat

khusus memberikan 2 (dua) macam formulir, yaitu formulir model 1 dan

formulir model 2. Kedua formulir dapat diisi di Kantor Pencatat

Perkawinan atau dapat di isi di rumah.

  69Soedjito Tjokrowisastro, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 270.

Page 55: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

55  

e. Dalam hal pemberitahuan tidak dilakukan oleh calon mempelai dan

formulir model 1 akan diisi oleh orang yang melakukan pemberitahuan di

Kantor Pencatat Perkawinan, maka formulir dapat ditandatangani oleh

orang yang datang melakukan pemberitahuan tersebut yang bertindak atas

nama kedua calon mempelai. Untuk hal ini pegawai pencatat sipil/pejabat

khusus harus mengetahui adanya surat persetujuan tertulis dari pada calon

mempelai seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan.

f. Formulir model 2 seperti dimaksud dalam nomor 4 diatas adalah formulir

pencatatan perkawinan yang sekurang-kurangnya harus di tanda tangani

oleh salah seorang calon mempelai. Lampiran yang diperlukan seperti di

tentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975

tentang peraturan pelaksanaan UU Perkawinan yaitu:

1. Akte kelahiran bagi mereka yang mempunyai atau bagi mereka yang

pada waktu lahirnya telah diperlakukan peraturan pencatatan sipil.

Bagi yang tidak mempunyai akte kelahiran khususnya warganegara

Indonesia asli dapat menggunakan surat kenal lahir atau surat

keterangan dari kepala desa yang menyatakan tentang umur dan asal-

usul mempelai.

2. Bagi mereka dari anggota ABRI supaya melampirkan surat izin

tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri Hankam/Pangab.

3. Apabila ada calon mempelai yang pernah kawin supaya melampirkan

akte kematian atau akte perceraian. Dan mereka yang masih dalam

ikatan perkawinan supaya melampirkan izin dari pengadilan.

Page 56: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

56  

4. Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus ada izin

orang tua/wali orang yang memelihara/anggota keluarga yang

mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas atau izin

dari pengadilan, mengenai izin orangtua, wali seperti dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) UU Perkawinan dalam formulir

model 4 sudah disediakan tempat untuk tanda tangan orang yang

memberi izin apabila ia datang hadir pada waktu perkawinan

dilangsungkan, akte izin untuk perkawinan ini dibuat oleh orang

yang akan memberi izin di kantor Catatan Sipil dari tempat

kediamannya yang kemudian kutipan dari akte tersebut disampaikan

kepada Pegawai Pencatat Sipil di Kantor Pencatatan sipil dimana

perkawinan akan dilangsungkan.

5. Bagi salah seorang atau kedua mempelai yang tidak dapat hadir

karena suatu alasan penting supaya melampirkan surat kuasa otentik

atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat sipil

6. Bagi calon mempelai yang mengadakan perjanjian perkawinan

supaya melampirkan suatu perjanjian.

7. Dispensasi pengadilan sebagai di maksud Pasal 7 ayat (2) UU

Perkawinan.

g. Apabila calon mempelai yang harus menanda tangani formulir model 2 itu

buta huruf maka ia dapat membubuhi cap jempol kiri yang dilakukan

dihadapan pegawai pencatat sipil/ pejabat khusus.

Page 57: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

57  

h. Setelah formulir diteliti berikut lampiran-lampiran, pegawai pencatat

sipil/pejabat khusus mencatat/menulis kedalam daftar model 3 dalam

rangkap 2, satu helai untuk dilampirkan kedalam daftar akte perkawinan

dan satu helai lagi untuk diumumkan daftar ditanda tangani oleh pencatat

sipil/pejabat khusus (Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975

tentang pelaksanaan UU Perkawinan).

i. Kalau para calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan

berbeda tempat kediamannya, maka pengumuman dilakukan di kantor di

mana perkawinan dilangsungkan dan juga di kantor pencatat sipil dari

tempat kediaman calon mempelai yang lainnya.

j. Apabila tidak ada sanggahan terhadap pengumuman maka pegawai

pencatat sipil/pejabat khusus mengutip formulir untuk pencatatan

perkawinan yang telah diisi kedalam daftar akta perkawinan model no 4

dalam rangka dua beberapa hari sebelum perkawinan dilangsungkan Pasal

8 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU

Perkawinan. Surat-surat keterangan yang dilampirkan pada formulir untuk

pencatatan perkawinan supaya disebutkan pada daftar akta perkawinan.

k. Daftar akta perkawinan harus ditanda tangani oleh para mempelai, orang

tua, para saksi dan pegawai pencatat sipil/pejabat khusus.

l. Kepada mempelai diberikan kutipan akta perkawinan, model no 5 sesaat

sesudah perkawinan dilangsungkan (Pasal 13 ayat (2) Peraturan

Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan).

Page 58: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

58  

m. Bagi para mempelai yang belum mempunyai peraturan pencatatan sipil

mengenai perkawinan (misalnya warga Negara Indonesia asli bukan

nasrani) agar pengisian Staatsblad pada formulir model 4 dan 5 tidak di isi

n. Kalau perkawinan dilangsungkan dihadapan pejabat khusus maka akta

perkawinan ditanda tangani oleh pejabat khusus dan kemudian ditanda

tangani pula oleh pegawai pencatat sipil, sedangkan kutipan akta

perkawinan dari perkawinan tersebut hanya diberikan dan ditanda tangani

oleh Pegawai Pencatat Sipil.

o. Dalam hal mengeluarkan kutipan akta perkawian (formulir model no 5),

maka dibawah perkataan “pencatatan sipil” dimana hatrus diisi dengan

kewarganegaraan mempelai maka supaya disebutkan Negara dari

mempelai pria. Apabila pihak mempelai pria tidak mempunyai

kewarganegaraan atau tanpa kewarganegaraan maka disebutkan dengan

“tanpa kewarganegaraan”.

p. Apabila dalam pedoman ini disebutkan pegawai pencatat sipil, maka hal

ini adalah yang dimaksudkan dengan Pegawai Luar Biasa seperti yang

tercantum pada model-model formulir terlampir.

2.6. Pengertian Upacara Perkawinan

Pernikahan adalah sebuah peristiwa penting bagi setiap manusia yang akan

melanjutkan kejenjang yang lebih baik dari sebelumnya maka dari ini Upacara

perkawinan adalah sebuah kegiatan atau peristiwa yang bersifat sakral dan dapat

dikenang bagi setiap golongan yang akan menikah. Upacara perkawinan adalah

Page 59: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

59  

                                                           

upacara yang berkaitan dengan keagamaan, biasanya dilaksanakan sesuai dengan

adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa perkawinan.

Upacara perkawinan di Indonesia antar satu daerah dengan daerah yang

lainnya berbeda-beda karena di Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat

kebiasaan. Indonesia terdiri dari 6 agama dan kepercayaan yang dianut oleh

masyarakat, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Kong

Hu Cu.

2.6.1. Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam

Dasar agama Islam dimuat dalam ALquran, hukum Islam melarang

perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam keturunan lurus

dan keturunan menyimpang serta orang yang berhubungan semenda dalam

keturunan lurus. Perkawinan dalam bahasa arab adalah “nikah”, arti nikah ada dua

yaitu arti sebenarnya dan arti kiasan.

Nikah pada hakekatnya adalah aqad antara calon suami isteri untuk

membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri, aqad artinya ikatan atau

perjanjian, jadi perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antra seorang

wanita dengan seorang pria.70 Sebelum aqad nikah dilakukan, diadakan terlebih

dahulu peminangan secara resmi dari pihak laki-laki dan wali dari pihak wanita

pemberi persetujuannya.

Aqad Perkawinan yang akan dilangsungkan sebelum dictatakan, agar

secara agama perkawinan tersebut sah. Dengan melakukan ijab Kabul (yaitu

penawaran oleh wali mempelai perempuan dan penerimaan oleh mempelai laki-

  70Asmin, Status Perkawinan Antara Agama, PT.dian Rakyat, Jakarta, hal. 28.

Page 60: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

60  

                                                           

laki) di hadapan sekurang-kurangnya dua saksi laki-laki yang harus beragama

Islam dan berkelakuan baik.71

Perkawinan ialah aqad antara calon suami-isteri untuk memenuhi hajat

jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at.72 Perkawinan menurut Islam ialah

suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang

kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram bahagia dan kekal.73

Agama Islam dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, pertama

berupa pokok-pokok akidah, yaitu hal-hal yang menyangkut kepercayaan,

keimanan dan keyakinan, seperti : percaya kepada Tuhan, malaikat, wahyu, rasul-

rasul, kitab suci, hari kiamat dan sebagainya, yang harus dipercayai, diimani dan

diyakini kebersamaannya sebelum lainnya. Kedua yang berupa pokok-pokok

syari’ah berisi pokok-pokok peraturan amaliah (sikap tindak/perbuatan) manusia

sehubungan dengan hubungannya dengan tuhan, sesama umat seagama, sesama

umat lainnya, hubungannya dengan alam dan mahluk hidup lainnya.

Perkawinan oleh agama islam dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang,

yaitu: Sudut hukum, sosial dan agama. Dari sudut Hukum, perkawinan merupakan

suatu perjanjian yang sangat kuat “mitsaaqaan ghaliizhaan” sebagai disebutkan

dalam qur’an IV:21, dari sudut sosial, perkawinan merupakan sarana untuk

meningkatkan status seorang dalam masyarakat, sedangkan dari sudut agama,  

71Nani Soewondo, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 54. 72H. Mahmud Yunus, 1981, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hildakarya Agung, Cetakan ke 9, Jakarta, hal. 1. 73Idris Ramulyo, 1984, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind.Hill Co, Jakarta, hal. 174.

Page 61: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

61  

                                                           

perkawinan ini diangap sebagai suatu lembaga suci, sebab pasangan suami isteri

itu dihubungkan dengan mempergunakan nama Allah (qur’an IV:1).74

Agama Islam mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu,

antara lain adalah :75

1. Untuk melanjutkan keturunan

2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat

3. Menimbulkan rasa kasih sayang

4. Untuk menghormati sunah, rasul dan,

5. Untuk membersihkan keturunan.

Perkawinan yang sah menurut agama islam adalah perkawinan yang

dilakukan secara hukum islam yaitu melalui aqad nikah karena memenuhi rukun

dan syarat.76 Rukun ialah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur

pelengkap dalam setiap perbuatan hukum, perkawinan sebagai perbuatan hukum

tentunya juga harus memenuhi rukun dan syart-syarat tertentu.77 Agama islam

menentukan sahnya akad nikah kepada tiga macam syarat, yaitu :

1. Dipenuhinya semua rukun nikah

2. Dipenuhinya syarat-syarat nikah

3. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang ditentukan oleh

syariat.

 

74Asmin, loc.cit,. 75Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agma dan Masalahnya, Shantika Dharma, cetakan pertama, Bandung, hal. 22. 76Zuhri Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, ttp:Bina Cipta,hal. 24. 77Asmin, op.cit, hal. 29.

Page 62: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

62   Rukun nikah merupakan bagian dari pada hakekat perkawinan, artinya bila

salah satu dari rukun nikah tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi suatu

perkawinan. Syarat nikah menurut agama Islam diperinci ke dalam syarat-syarat

untuk mempelai wanita dan syarat-syarat untuk mempelai laki-laki. Syarat-syarat

nikah dapat digolongkan kedalam syarat materiil dan harus dipenuhi agar dapat

melangsungkan perkawinan, syarat bagi calon mempelai laki-laki :

1. Beragama islam

2. Terang laki-lakinya (bukan banci)

3. Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri)

4. Tidak beristeri lebih dari empat orang

5. Bukan mahramnya bakal isteri

6. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal isternya

7. Mengetahui bekal isterinya tidak haram dinikahinya

8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah

Selanjutnya mengenai syarat bagi calon mempelai wanita untuk dapat

melangsungka perkawinan, adalah:

1. Beragama islam

2. Terang perempuannya (bukan banci)

3. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahinya

4. Tidak bersuami, dan tidak dalam masa idah

5. Bukan mahram bakal suami

6. Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suaminya

7. Terang orangnya

Page 63: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

63  

                                                           

8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah

Jika tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut diatas maka berakibat batal

atau tidak sahnya nikahnya.

2.6.2. Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik dan Protestan

Timbulnya aliran-aliran dalam agama Kristen, dimulai sekitar abad 16,

yaitu ketika Martin Luther (1527) secara terang-terangan menentang paus sebagai

pimpinan tertinggi gereja Katolik saat itu. Gerakan-gerakan yang mengikari

kekuasaan paus dan menghendaki perubahan dalam tata kehidupan keagamaan

tersebut dikenal dengan gerakan reformasi. Gerakan-gerakan itu timbullah aloran

baru dalam agama Kristen diantaranya adalah aliran agama protestan, yang pada

mulanya mempunyai banyak pengikut di jerman, Denmark, Swedia dan

Norwegia.78

A. Perkawinan menurut agama katolik

Agama katolik menganggap nikah sebagai satu “Sakramen”, gereja Roma

Katolik mendasarkan ajarannya itu pada Efesus 5:25-33. Hukum gereja katolik

merumuskan perkawinan sebagai perjanjian perkawinan. Sifat kodratinya teratah

pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak, oleh

Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat

sakramen.79

Perkawinan Katolik bersifat monogami, kekal dan sakramental, tujuan dari

perkawinan katolik untuk saling melengkapi antar satu dengan yang lain dengan

kata lain untuk saling menyempurnakan dan saling membutuhkan, dan untuk  

78Sundoro, Sejarah umum, jilid 1, PT. Pembangunan Jakarta, Jakarta, hal. 42. 79Asmin, Op,cit, Hal. 34.

Page 64: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

64  

                                                           

menghasilkan keturunannya kelak. Sahnya perkawinan Katolik adalah perkawinan

yang dilakukan, diteguhkan dan diberkati oleh pejabat gereja.

Pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilakukan secara sah ditingkatan

menjadi satu sakramen. Sakramen diberikan oleh suami istri itu sendiri, dengan

mengucapkan janji saling mencintai dan setia satu sama lain dihadapan imam dan

para saksi.80 Syarat-syarat perkawinan katolik :

1. Syarat Materiil.

a. Calon mempelai sudah mengerti makna penerimaan sakramen

perkawinan beserta akibat-akibatnya

b. Tidak berdasarkan paksaan

c. Pria sudah berumur 16 tahun dan wanita 14 tahun

d. Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain

e. Beragama katolik

f. Tidak ada hubungan darah yang terlampau dekat

g. Tidak melnggar larangan perkawinan

2. Syarat Formil

a. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan

maksudnya kepada pastor paroki pihak wanita atau pihak pria bila calon

isteri tidak beragama katolik

b. Pastor paroki akan mengadakan penyelidikan kanonik mengenai ada

atau tidaknya halangan perkawinan, pengertian calon mempelai tentang

makna menerima sakremen perkawinan dengan segala akibatnya

  80 Asmin, loc.cit.

Page 65: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

65  

                                                           

c. Bila tidak ada halangan perkawinan, pastor paroki akan mengumumkan

berturut-turut 3 kali pada misa hari minggu

d. Bila tidak ada pencegahan perkawinan, pernikahan dapat dilangsungkan

pada hari yang ditentukan

e. Pernikahan dilakukan menurut aturan gereja katolik yaitu : harus

dihadapan ordinaries wilayah atau pastor-pastor atau imamdiakon yang

diberi delegasi oleh salah satu dari mereka untuk meneguhkan

perkawinan tersebut, harus di saksikan oleh dua orang saksi

f. Setelah perkawinan menurut hukum agama selesai, pernikahan tersebut

haruslah dicatatkan di kantor Catatan Sipil

B. Perkawinan menurut agama Protestan

Perkawinan menurut agama Protestan hampir sama dengan Katholik.

Pandangan agama Protestan mengenai perkawinan dimulai dengan melihat

perkawinan sebagai suatu peraturan yang ditetapkan oleh tuhan. Dasar utama dari

perkawinan menurut Alkitab adalah kasih yang tulus dari dua orang, sehingga

mereka menentukan untuk hidup bersatu dalam suka atau duka sehinggga

diceraikan oleh kematian.81

Perkawinan menurut pandangan protestan adalah suatu persekutuan hidup

dan percaya yang total, eksklusif dan bersambung. Seorang pria dengan seorang

wanita yan dikuduskan dan diberkati oleh kristus Yesus. Tujuannya adalah supaya

dengan pernikahan itu seorang pria dan seorang wanita dapat saling bantu

membantu, saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya,  

81Soerjono, 1982, Perkawinan Yang Bahagia, edisi ke 8, Yakin, Surabaya, hal. 7.

Page 66: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

66  

                                                           

sehingga akan dapat dicapai kebahagian hidup materiil dan spiritual di dalam

kasih dan rahmat Tuhan.82 Menurut keyakinan Kristen Protestan, pernikahan

mempunyai dua aspek :

1. Aspek sipil, yang mana erat hubungannya dengan masyarakat dan Negara,

karena Negara berhak mengaturnya menurut undang-undang Negara

2. Perkawinan adalah merupakan soal agama, yang harus tunduk kepada

hukum agama

Jadi sahnya perkawinan menurut agama protestan adalah suatu perkawinan

yang harus melalui catatan sipil kemudian agama, hal ini sesuai dengan Pasal 81

Kuhperdata yang mana dalam hal ini di dahulukan terlebih dahulu urusan sipilnya

lalu agamanya karena suatu pernikahan akan lahir keluarga yang merupakan inti

dari suatu bangsa.

2.6.2. Perkawinan menurut agama Hindu dan Budha

a. Perkawinan Menurut Agama Hindu

Dalam agama Hindu suatu perkawinan mempunyai makna dalam sebuah

pengordanan suci (yadnya), dalam konsep Hindu perkawinan disebut Grhasta

yang mempunyai arti masa berumah tangga. Perkawinan agama hindu bertujuan

hidup sejahtera dan bahagia, dalam kitab Manawadharmasastra ada tiga tujuan

yaitu dharmasampatti, praja dan rati.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan dan penpres no 1

tahun 1963 yang diUndangkan menjadi UU No. 5 tahun 1969 menentukan adanya

hukum Hindu untuk di tinjau dalam rangka pelaksanaan UU Perkawinan yang  

82J. Verkuly, 1984, Etika Kristen (seksuil), Gunung Mulia, Cetakan ke 8, Jakarta, hal. 56.

Page 67: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

67  

                                                           

dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.83 Menurut istilahnya

hukum adalah dharma atau dharma adalah hukum.

Sistem perkawinan hindu adalah cara atau bentuk usaha yang dibenarkan

dan yang dapat dilakukan oleh seseorang menurut hukum hindu dalam melegalisir

tata cara perkawinan, sehingga dengan demikian baik formil maupun materiil

dapat dinyatakan sah sebagai suami isteri.84 Berdasarkan Manusmreti

(Manudharmasastra), perkawinan umat Hindu bersifat religious dan obligator

(mengikat), hal ini dihubungkan dengan adanya kewajiban bagi seorang untuk

mempunyai keturunan laki-laki (purusa) agar anak tersebut dapat menyelamatkan

orangtua dari neraka.85

Tetapi jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut

hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah. Dalam Hukum Adat Bali,

perkawinan selain dilandasi oleh UU Perkawinan, juga dilandasi oleh Agama

Hindu. Dalam hukum adat Bali dikenal adanya dua bentuk perkawinan yaitu:

a. Bentuk Biasa, yaitu perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan, dengan si laki-laki berkedudukan sebagai

purusa. Dalam perkawinan seperti ini si laki-laki mengawini si perempuan

dengan menarik perempuan itu masuk rumpun keluarga laki-laki.

Perempuan berkedudukan sebagai predana. Dalam arti juga keturunannya

nanti secara otomatis akan masuk ke dalam rumpun keluarga si laki-laki

sebagi suaminya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan keluarga  

83Gde Pudja, 1984, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta, hal. 18. 84Ibid. 85Ibid.

Page 68: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

68  

                                                           

ibunya. Terjadinya bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat dianutnya

sistem kekeluargaan patrilineal di Bali. Menurut sistem kekeluargaan

patrilineal, anak laki-laki yang memegang peranan yang sangat penting

selaku pelanjut keturunan dalam keluarga, sehingga dalam perkawinan si

istri akan mengikuti suami dan demikian pula berlaku bagi anak-anaknya

nanti akan masuk menjadi anggota keluarga ayahnya.

b. Bentuk Nyentana, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan si perempuan

berkedudukan sebagai “purusa”. Hal ini merupakan kebalikan dari bentuk

perkawinan biasa yang berlaku dan dilaksanakan di Bali. Dalam perkawinan

seperti ini, si perempuan kawin dengan si laki-laki dengan menarik si laki-

laki itu masuk ke rumpun keluarga si perempuan. Si perempuan menjadi

berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki akan berkedudukan

sebagai perempuan. bagi si perempuan akan berlaku hukum kewarisan yang

lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Dalam arti juga keturunannya

nanti secara otomatis akan masuk ke dalam rumpun keluarga si perempuan

sebagai istrinya yang berstatus purusa dan tidak mempunyai hubungan

hukum dengan keluarga ayahnya. Bagi laki-laki yang nyentana,

kedudukannya dalam warisan adalah sebagai perempuan.86

Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya menyangkut

perempuan dan pria yang akan menjadi suami istri saja tetapi juga menyangkut

orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan kerabat lainnya.  

86I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar, hal. 169.

Page 69: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

69  

                                                           

Perkawinan juga bukan hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup

tetapi perkawinan itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta

terbentuk rumah tangga yang sehat dan anak yang lahir dari keturunan yang sah.

Dalam adat bali sebelum melakukan perkawinan antara calon suami atau

calon istri melakukan “kawin lari ” atau “kawin rangkat” dengan maksud Bakal

suami melarikan Bakal istri dengan paksaan. Dalam perkawinan semacam ini

mempelai laki-laki wajib memberi ganti rugi juga kepada pihak yang terhina dan

di samping itu harus pula membayar pengeluaran-pengeluaran perkawinan biasa

lainnya.

Istilah perkawinan di Bali adalah Patukun-luh, Pemberian jujur atau

Patukun-luh oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah sebagai lambang

diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tua, nenek moyang,

saudara-saudara sekandungnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan mengenai

perkawinan rangkat (Gandharwa Wiwaha) yang menurut hukum Hindu formalitas

menurut hukum hindu ia sudah sah sebagai suami istri sejak upacara bea-kaon

(mekala-kalaan), namun karena proses hukum yang dikehendaki untuk

registrasinya maka saat kedua pihak telah melakukan upacara keagamaan agar

mencatatkan perkawinan.87

Perkawinan agama Hindu dikaitkan dengan urusan niskala dan sekala,

bahwa perkawinan merupakan urusan sekala, adanya pengumuman di desa

pakraman dengan awig-awig yang berlaku di banjar atau desa pakraman setempat

  87Gde Pudja, op.cit. hal. 80.

Page 70: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

70  

                                                           

dan adanya akta perkawinan.88 Setelah adanya UU Perkawinan pada Pasal 2 ayat

(2) UU Perkawinan yang mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan sesuai dengan

aturan perundang-undangan yang berlaku akhir dari proses pencatatan perkawinan

adalah dikeluarkannya akta perkawinan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil setelah pemohon memenuhi segala persyaratan yang diperlukan.89

Fungsi pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan seorang, misalnya kelahiran atau kematian

yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang dimuat

dalam daftar pencatatan.90 Akta perkawinan bagi agama Hindu, tidak jauh

berbeda dengan umat non Hindu, akta perkawinan tidak hanya berfungsi untuk

membuktikan bahwa telah dilaksanakan perkawinan secara sah berdasarkan

aturan yang berlaku, juga untuk menjelaskan kedudukan hukum seseorang dalam

keluarga.91

b. Perkawinan Menurut Agama Budha

Doktrin atau pokok ajaran agama Budha disebut Dharma, ajarannya ini

dirumuskan dalam apa yang disebut empat kebenaran yang mulia atau empat

aryasatyani. Aryasatyani terdiri dari empat kata, yaitu: Dukha artinya penderitaan,

samudaya artinya sebab, nirodha artinya pemadaman, dan marga artinya jalan

yaitu jalan kelepasan. 92

  88I ketut Sudantra, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, hal. 16. 89Ibid. 90Ibid, hal. 25. 91Ibid, hal. 52. 92Asmin, Op.cit, hal. 50.

Page 71: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

71  

                                                           

Menurut Budha, hidup adalah penderitaan, dilahirkan, tua, mati, dilahirkan

kembali. Perkawinan sebagai salah satu aspek hidup akan selalu dicengkeram oleh

dukha, dan dalam suatu perkawinan kebahagian yang diperoleh adalah bersifat

kebahagian duniawi (lokiya) sedangkan kebahagian tertinggi adalah nirwana

(nibbana) yang untuk mencapainya diperlukan pemadaman semua kekotoran batin

termasuk nafsu seks.

Perkawinan menurut agama budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang

harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh Budha.

Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin dari dua orang yang berbeda kelamin,

yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama melaksanakan Dharma

Vinaya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan

kehidupan yang akan datang, dikenal 4 macam perkawinan di dalam ajaran agama

budha :93

1. Raksasa (chavo) yang hidup bersama,karena suami isteri adalah pasangan

yang hinadan berkelakuan buruk.

2. Raksasa yang hidup bersama Dewi, karena suami yang berkelakuan buruk

hidup dengan isteri yang berbudi luhur dan berkelakuan baik.

3. Dewa yang hidup bersama Raksesi, karena suami yang berkelakuan baik

hidup dengan isteri yang berkelakuan buruk.

4. Dewa yang hidup bersama Dewi, karena suami isteri merupakan pasangan

yang mulia, yang berkelakuan baik.

  93Asmin, loc.cit.

Page 72: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

72  

                                                           

Tujuan dari perkawinan ini untuk mencapai kebahagian lahir dan bathin,

baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan yang akan datang.

Syarat-syarat perkawinan menurut agama Budha mengatur masalah perkawinan

umatnya, di atas bahwa syarat materiil yang minimal harus dimiliki oleh umat

Budha yang bermaksud akan melangsungkan perkawinan adalah sebagai berikut :

1. Apapun yang mendorong suatu pasangan untuk menikah cinta kasih dan

pengertian yang baik dengan tujuan membahagiakan satu nama lain adalah

hal utama yang harus dikembangkan.

2. Usia kedua calon mempelai tidak terlalu jauh berbeda

3. Kedua calon mempelai haruslah sedharma, mempunyai keyakinan yang

sebanding tata susila yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding dan

kebiksanan yang sebanding pula.

Formalitas atau tatacara perkawinan diatur atau disusun oleh para pemimpin

agama budha, disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan setempat dengan

berpedoman pada ajaran budha. Dengan selesainya upacara keagamaan selesai

pula pelaksanaan perkawinan menurut agama budha, selanjutnya untuk kepastian

hukum perkawinan kedua mempelai tersebut, maka pernikahan yang sudah sah

menurut hukum agama harus dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil sebagai

dikehendaki oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No 1 tahun 1974.94

  94Asmin, op.cit, hal. 56.

Page 73: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

73  

                                                           

2.7. Hukum Tentang orang, Hukum Keluarga Di Belanda dan Di Indonesia

2.7.1. Hukum Tentang Orang dan Hukum Keluarga di Belanda

2.7.1.1.Pasangan Hidup Bersama yang Terdaftar

Pasangan hidup bersama yang terdaftar telah ada sejak tahun 1 Januari

1998. Konsekuensi dari pasangan hidup bersama yang terdaftar sebagian besar

sama dengan perkawinan. Beberapa perbedaan penting antara pasangan hidup

bersama yang terdaftar dan perkawinan adalah sebagai berikut :95

1. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar tidak otomatis

mengakibatkan hubungan keluarga dengan anak-anak yang lahir dalam

pasangan hidup bersama tersebut. Sama seperti pasangan yang tidak

menikah, pasangan hidup bersama yang terdaftar tidak memiliki

konsekuensi hukum dalam hal pewarisan atau hak mewarisi. Namun

pasangan hidup yang terdaftar benar-benar secara otomatis memiliki

kewenangan bersama sebagai orang tua atas anak yang lahir selama

kehidupan bersama yang terdaftar tersebut, jadi dalam kehidupan bersama

yang terdaftar mengenai anak tidak diperlukan untuk mendaftar

kewenangan bersama sebagai orang tua pada pencatatan kewenangan

sebagai orang tua dan pengasuh atau hak asuh.

2. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar dapat dihentikan dengan

persetujuan antara para pihak tanpa intervensi pengadilan. Namun sejak

tanggal 1 Maret 2009 intervensi pengadilan telah menjadi wajib jika para

  95Wilbert D.Kolkman, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Pustaka Larasan, Denpasar, Bali, hal. 38.

Page 74: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

74  

                                                           

pasangan memiliki kewenangan bersama sebagai orang tua atas satu atau

lebih anak.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut ada juga perbedaan dari suatu hakikat

prosedural (yang dibuat pada kantor pencatatan kelahiran, kematian dan

perkawinan). Selain itu pemisahan secara hukum tidak mungkin dalam kasus

pasangan hidup bersama yang terdaftar, pemisahan secara hukum (pemisahan

tempat tinggal dan pangan) masih diperuntukkan bagi pasangan yang sudah

menikah. Mengenai berakhirnya pasangan hidup bersama yang terdaftar

dijelaskan bahwa:96

1. Melalui perkawinan

2. Jika salah satu dari pasangan pergi atau menghilang dan pasangan lainnya

telah menjalin pasangan hidup bersama yang terdaftar yang baru atau telah

menikah

3. Dengan persetujuan bersama melalui pendaftaran oleh pihak pendaftar atau

pencatat kelahiran, kematian dan perkawinan tentang suatu pernyataan

yang ditandatangani dan diberi tanggal oleh kedua pasangan bersangkutan

dan satu atau lebih pengacara atau notaris hukum perdata yang

menyatakan bahwa dan pada waktu kapan para pasangan telah mencapau

kesepakatan mengenai pembubaran kehidupan bersama yang terdaftar

tersebut

4. Melalui pembubaran atas permohonan dari para pasangan atau salah satu

dari pasangan bersangkutan

  96 Ibid, hal. 39.

Page 75: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

75  

                                                           

5. Melalui konversi atau perubahan dari pasangan “hidup bersama yang

terdaftar menjadi sebuah perkawinan”.

Salah satu kelemahan dari pasangan hidup bersama yang terdaftar adalah

kenyataan bahwa hal itu tidak diakui di setiap Negara. Negara-negara Skandinavia

dan di Prancis pasangan hidup bersama semacam ini juga telah diperkenalkan.97

Di Negara Belanda selain perkawinan mengenal istilah pasangan hidup bersama

yang terdaftar, pasangan hidup bersama yang terdaftar biasanya digunakan oleh

pasangan sesama jenis yang akan melakukan suatu ikatan.

Beberapa Negara khususnya di Belanda perkawinan telah dibuka untuk

pasangan berjenis kelamin yang sama pada tanggal 1 april 2001. Alasan dari

adanya pengaturan hukum untuk pasangan hidup bersama yang terdaftar telah ada,

maksudnya adalah untuk mengakomodasi kehidupan bersama pasangan berjenis

kelamin sama dan sebagai akibatnya pasangan hidup bersama yang terdaftar telah

mengambil bentuk kehidupannya sendiri.98

Menyingkirkan pasangan hidup bersama yang terdaftar akan

menyederhanakan undang-undang. Menteri memutuskan untuk mempertahankan

pengaturan mengenai pasangan hidup bersama yang terdaftar, hakikat pasangan

hidup bersama yang terdaftar kurang tradisional dan simbolis dibandingkan

dengan perkawinan.99

  97Ibid. 98Ibid. 99Ibid.

Page 76: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

76  

                                                           

2.7.1.2. Hukum Pekawinan di Belanda

Dalam Kitab Undang-undang hukum Perdata menyebutkan mengenai

perkawinan bagi golongan Eropa. Dalam Kuhperdata yang menganut ajaran

Belanda menjelaskan bahwa suatu perkawinan dilaksanakan oleh kedua orang

yang berbeda jenis kelamin untuk mencapai tujuan hidup, pada Pasal 81

menjelaskan mengenai perkawinan lebih mendominasi kepada peraturan Negara,

jika telah dilaksanakan di depan pencatat perkawinan maka perkawinan tersebut

sah tanpa harus melakukan menurut agama masing-masing.

2.7.2. Beberapa Catatan Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia

2.7.2.1. Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia

Hukum perdata di Indonesia beraneka ragam, hukum perdata di Indonesia

terdiri dari hukum nasional, hukum agama dan hukum adat. Hal ini didasarkan

pada sejarah perkembangan hukum di Indonesia dan sebagai konsekuensi dari

komposisi masyarakat yang beraneka ragam, baik dari segi latar belakang adat-

istiadat dan kebudayaan serta agama.

Di bidang hukum perkawinan, sebelum berlakunya UU Perkawinan berlaku

beberapa ketentuan hukum bagi golongan penduduk di Indonesia.100 Lahirnya UU

Perkawinan dilatar belakangi oleh unifikasi hukum yaitu merupakan upaya

memberlakukan satu ketentuan hukum yang bersifat nasional dan berlaku untuk

semua warga Negara.

  100 Ibid, hal. 129.

Page 77: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

77  

                                                           

Setelah adanya UU Perkawinan, peraturan perundang-undangan yang

lainnya masih tetap berlaku sepanjang belum diatur oleh undang-undang

perkawinan, jika peraturan .101

2.7.2.2. Perkawinan Beda agama

Sebelum adanya undang-undang perkawinan, untuk hal perkawinan

campuran, pengaturannya dapat ditemui dalam HOCI (Huwelijks Ordonnantie

Christen Indonesiers, S. 1933 No.74). Pasal 75 HOCI membolehkan perkawinan

antara seorang wanita beragama Kristen dengan seorang pria beragama bukan

Kristen, GHR juga mengatur mengenai perkawinan campuran (Regeling op de

Gemengde Huwelijken, S. 1898 No.158).

HOCI telah dicabut oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan melalui Pasal 106 sehingga ketentuan tersebut

dinyatakan tidak berlaku lagi. Mengenai perkawinan beda agama di Indonesia,

terdapat ketentuan dalam Undang-undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

Pasal 35 Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan beserta penjelasan disebutkan bahwa untuk perkawinan yang

dilakukan antar umat beda agama ditetapkan oleh pengadilan. Selama pasangan-

pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan, umumnya

dilakukan dengan cara menikah diluar negeri atau jika menikah di Indonesia maka

salah satu dari mereka bersedia menundukkan diri sementara atau permanen agar

perkawinan mereka dapat dilaksanakan.

  101 Ibid.

Page 78: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

78  

                                                           

Berkaitan dengan adanya pasangan beda agama yang ingin melangsungkan

perkawinan dan telah ditetapkan pengadilan untuk dicatatkan pada kantor catatan

sipil berhak untuk dicatatkan pada kantor catatan sipil. Pengaturan mengenai

perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2006, Pasal 35

tentang Administrasi Kependudukan, menjelaskan “pencatatan perkawinan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi, perkawinan yang

ditetapkan oleh pengadilan dan perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan

di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan”.

2.8. Mahkamah Agung dan peranannya dalam pembangunan hukum di

Indonesia

2.8.1. Fungsi Mahkamah Agung sesuai sistematika UU

Peranan fungsi pokok Mahkamah Agung bersifat peradilan, yang mencakup

5 bidang yaitu: 102

1. Peradilan kasasi, perkataan kasasi berasal dari bahasa perancis

Cassation , yang berarti membatalkan atau memecahkan. Peradilan

kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau

penetapan pengadilan-pengadilan, karena dianggap mengandung

kesalahan dalam penerapan hukum. Menurut Oemar Seno Adji,

memaparkan bahwa fungsi peradilan kasasi bertujuan untuk :103

a. Menyatakan satu kesatuan hukum (yang dapat diartikan

menciptakan unifikasi hukum melalui yurisprudensi).  

102Henry Pandapotan Panggabean, 2012, Peranan Mahkamah Agung melalui putusan-putusan Hukum Perikatan, PT. Alumni, Bandung, hal. 33. 103Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan bebas Negara hukum, Erlangga, Jakarta, hal. 262.

Page 79: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

79  

b. Menjaga kesamaan dalam peradilan (yang dapat diartikan

menjamin terlaksananya peradilan secara cepat, dan biaya ringan).

2. Bidang fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili.

Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus sengketa t

tentang kewenangan mengadili (Pasal 28 ayat (1)b UU MA).

Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua

sengketa kewenangan mengadili, mencakup bidang kewenangan :

a. Antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan

pengadilan di lingkungan peradilan yang lain

b. Antara 2 (dua) pengadilan yang ada dalam daerah hukum

pengadilan tingkat banding yang berlainan dalam lingkungan

peradilan yang sama

c. Antara 2 (dua) pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan

yang sama atau antar lingkungan peradilan yang berlainan

3. Bidang fungsi pengadilan untuk sengketa perampasan kapal asing oleh

kapal perang RI

4. Bidang fungsi peradilan untuk permohonan peninjauan kembali (Pasal

28 UU MA).

5. Bidang fungsi peradilan untuk Hak Uji materiil

Hak menguji dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu :

a. Hak menguji formal, yaitu hak untuk meneliti apakah suatu

peraturan telah dibuat menurut prosedur yang telah ditetapkan UU.

Hak ini melekat dalam fungsi hakim melalui proses sidang.

Page 80: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

80  

                                                           

b. Hak menguji materiil, yaitu hak meneliti dan menilai apakah isi

suatu peraturan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Penerapan fakta-fakta termasuk wewenang Judex facti dan di dalam sistem

hukum Indonesia menjadi wewenang pengadilan tingkat pertama dan pengadilan

tingkat terakhir. Dalam praktik ruang lingkup peradilan kasasi mencakup putusan

atau vonis yang diambil dalam suatu perkara atau perselisihan sebagai penutup,

penetapan yang dalam bahasa Belanda disebut Beschikking adalah tindakan-

tindakan pengadilan (hakim) yang tidak merupakan putusan.

Putusan dan penetapan yang dimintakan kasasi itu harus berasal dari

sebuah badan pengadilan atau hakim, jadi suatu putusan pengadilan yang dalam

bahasa belanda disebut rechterlijk beschikking.104 Syarat formal pengajuan

permohonan kasasi (alasan hukum permohonan kasasi) :

1. Di bidang hukum perdata, ketentuan Pasal 30 UU Mahkamah agung

menentukan 3 alasan hukum untuk permohonan kasasi yaitu:

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang

b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku

c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya

putusan yang bersangkutan

2. Di bidang hukum pidana ketentuan Pasal 253 (1) KUHAP menentukan

tiga alasan, disingkat sebagai berikut:

a. Kesalahan penerapan peraturan hukum

  104Henry Pandapotan Panggabean, loc.cit.

Page 81: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

81  

                                                           

b. Kesalahan cara mengadili

c. Judex facti melampaui batas wewenang

Syarat-syarat formal pengajuan permohonan kasasi di kedua bidang hukum,

syarat-syarat formal mana merupakan akses bersifat limitative bagi hakim kasasi

memerikasa dan mengadili permohonan kasasi.

Asas kepastian hukum itu disebut asas ne bis in idem, artinya tidak boleh

terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama.

Ketatnya persyaratan untuk itu adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap

pemberlakuan asas kepastian hukum, putusan hakim adalah karya manusia yang

tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi.105

Fungsi Mahkamah Agung dalam peradilan peninjauan kembali adalah

mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung

ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim. Permohonan peninjauan

kembali merupakan upaya hukum luar biasa karena sebenarnya lembaga ini

bertentangan dengan asas kepastian hukum.106 Prinsip asas kepastian hukum

menentukan bahwa putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak

dapat diubah lagi.

 

105 Ibid. 106 Henry, Op.cit, hal. 41.

Page 82: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

82  

                                                           

2.8.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan Mahkamah Agung

2.8.2.1. Faktor-faktor internal yang menimbulkan kelemahan dalam

pelaksanaan peranan Mahkamah Agung

Faktor kelemahan internal pada dasarnya terletak pada tidak efektif fungsi

pengawasan dan pembinaan di lingkungan peradilan. Fungsi pengawasan di

Mahkamah Agung tidak selalu menerapkan prinsip nilai yaitu pemberian reward

dan punishment bagi para ketua dan hakim judex factie, bahkan penindakan

terhadap pejabat peradilan terkesan ditutup-tutupi sehingga masyarakat luas

kurang menghargai peranan pengawasan dari Mahkamah Agung.107 Kelemahan

Mahkamah Agung bersifat internal, karena disebabkan tidak berjalannya lembaga

devisional system. Lembaga devisional system pada intinya menempatkan tenaga

hakim itu sesuai ilmu hukum yang ditekuninya.108

2.8.2.2. Faktor eksternal yang menimbulkan kelemahan dalam pelaksanaan

peranan Mahkamah Agung

Kelemahan-kelemahan dalam tubuh Mahkamah Agung sebenarnya adalah

juga disebabkan beberapa faktor eksternal, sebagai berikut:

a. Peranan Mahkamah Agung sesuai sistem hukum Indonesia

Salah satu peranan utama Mahkamah Agung adalah menciptakan unifikasi

hukum melalui yurisprudensi. Proses pembentukan hukum melalui

yurisprudensi itu memerlukan 2 tingkatan peradilan, para pembuat UU

  107 Henry, Op.cit, hal. 232. 108 Henry, Op.cit, hal. 235.

Page 83: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

83  

                                                           

sepertinya ada maksud untuk tidak membatasi keinginan pencari keadilan

mengajukan perkara kasasi untuk semua jenis sengketa.109

b. Penerapan asas kemandirian Mahkamah Agung sesuai ketentuan UU No.5

Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Dalam orde baru keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman berada dalam

dualisme kepemimpinan. Program penegakan hukum telah diarahkan

sebagai sarana peningkatan perekonomian sesuai kebijakan pemerintahan.

Penyediaan dana yang terbatas di lingkungan peradilan selama ini adalah

menjadi faktor ekternal utama yang menyebabkan MA harus menerima

kritikan masyarakat. Ketentuan pasal 81 UU No.5 Tahun 2004 tentang

Anggaran MA akan dapat dijadikan tolak ukur kesungguhan Pemerintah

dan DPR mendukung upaya supremasi hukum di Indonesia.110

c. Pembentukan UU Contempt of court

Upaya yuridis menolak putusan hakim dan upaya melaporkan kecurangan

pribadi para hakim dapat ditamping sesuai mekanisme hukum yang

berlaku. Di lingkungan peradilan berlaku suatu doktrin diam itu emas yang

artinya para hakim praktis tidak pernah melakukan counter balik bagi pihak

yang usil, tetapi melanggar ajaran Contempt of Court. UU Contempt of

Court sudah puluhan tahun dirindukan para hakim melalui IKAHI dan juga

dirindukan para praktisi hukum.111

  109 Henry, op.cit, hal. 236. 110 Henry, op.cit, hal. 237. 111 Henty, loc.cit.

Page 84: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

BAB III

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG DILAKUKAN HANYA

MELALUI PENCATATAN PERKAWINAN

3.1. Kondisi geografis Kalimantan Timur

Kalimantan Timur atau yang biasa disingkat Kal-Tim adalah sebuah

provinsi Indonesia di Pulau Kalimantan bagian ujung timur yang berbatasan

dengan Malaysia, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi, luas

total kaltim adalah 129.066.64 km2, luas perairan 10.217 km2 (3.945mil2) 4,2%

dan populasi sebesar 3.6 juta serta kepadatannya 14/km2.

Kalimantan Timur merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk

terendah keempat di Nusantara dengan ibukotanya Samarinda.112 Suku bangsa

yang berada di daerah Kaltim, jawa (29,55%), Bugis (18,26%), Banjar (13,94%),

Dayak (9,91%), Kutai (9,21%), Toraja (1,96%), Sunda (1,59%), Madura (1,24%),

Tionghoa (1,16%) dan lain-lain (13,18%) serta agama yang di anut oleh

masyarakat Kal-Tim adalah islam (82,3%), Kristen protestan dan katolik (16,4%),

hindu (0,58%) dan Budha (0,78%)113.

Sebelum pemekaran provinsi Kalimantan Utara, Kal-Tim merupakan

provinsi terluas kedua di Indonesia dengan luas sekitar satu setengah kali Pulau

jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Wilayah Kalimantan

timur dahulu mayoritas adalah hutan hujan tropis, penduduk aslinya adalah suku

dayak, terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur diantaranya

                                                             112http://www.id.m.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 16.30 Wita. 113http://kaltim.bps.go.id diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 18.30 Wita.

84  

Page 85: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

85  adalah kerajaan kutai yang beragama Hindu, Kesultanan Kutai Kertanegara ing

Martadipura, Kesultanan Pasir dan Kesultanan Bulungan.

Pembentukan provinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan

administrasi juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur

sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun

1956 dengan gubernurnya yang pertama adalah APT Pranoto. Kalimantan Timur

merupakan salah satu kerasidenan dari Provinsi Kalimantan, sesuai dengan

aspirasi rakyat sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga provinsi

yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, tetapi pada

tahun 2012 kembali terjadi pemekaran wilayah yang ditandai dengan

pembentukan provinsi Kalimantan Utara.

Daerah Kabupaten atau Kota di dalam wilayah Kalimantan Timur, dibentuk

berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1956 tentang pembentukan Daerah

Tingkat II di Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1955 No.9). lembaran

Negara No 72 tahun 1959 terdiri atas :

a. Pembentukan 2 kotamadya, yaitu :

1. Kotamadya Samarinda, dengan Kota Samarinda sebagai ibukotanya

dan sekaligus sebagai ibukota provonsi Kalimantan Timur

2. Kotamadya Balikpapan, dengan kota Balikpapan merupakan pintu

gerbang Kalimantan Timur.

b. Pembentukan 4 kabupaten yaitu :

1. Kabupaten Kutai dengan Ibukotanya Tenggarong

2. Kabupaten Paser dengan Ibukotanya Tanah Grogot

Page 86: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

86  

3. Kabuaten Berau dengan Ibukotanya TanjungRedeb

4. Kabupaten Bulungan dengan Ibukotanya Tanjung Selor

Setelah pembentukan provinsi Kalimantan Utara, kini Kalimantan Timur

terbagi menjadi 7 kabupaten dan 3 kota antara lain :

1. Kota Samarinda

2. Kota Balikpapan

3. Kota Bontang

4. Kabupaten Berau

5. Kabupaten Kutai Barat

6. Kabupaten Kutai Kartanegara

7. Kabupaten Kutai Timur

8. Kabupaten Paser

9. Kabupaten Penajam Paser Utara

Hasil utama provinsi ini adalah hasil tambang seperti minyak, gas alam dan

batubara, sektor lain yang kini sedang berkembang adalah agrikultur, pariwisata

dan industri pengolahan. Beberapa daerah seperti Balikpapan dan Bontang mulai

mengembangkan kawasan industri berbagai bidang demi mempercepat

pertumbuhan perekonomian.

3.1.1. Geografis Kota Samarinda

Kota Samarinda adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota

provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan

langsung dengan kabupaten Kutai Kartanegara kota Samarinda dapat dicapai

dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan sungai Mahakam yang membelah

Page 87: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

87  

                                                           

di tengah kota Samarinda yang menjadi gerbang menuju pedalaman Kalimantan

Timur, kota ini memiliki luas wilayah 718 km2 dan penduduk 726,223 Jiwa

menjadikan kota ini berpenduduk terbesar diseluruh Kalimantan, Samarinda

terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat di antara 0”21’81”-1009’16” LS

dan 116015’16”-117024’16” BT.114

3.1.2. Geografis Kota Balikpapan

Kota Balikpapan merupakan salah satu kota di Kalimantan timur, Indonesia,

Balikpapan memiliki penduduk sekitar 656,417jiwa yang merupakan 18% dari

keseluruhan penduduk Kaltim. Balikpapan merupakan kota dengan biaya hidup

termahal se-Indonesia,115 tumbuhnya perekonomian terutama sejak

diberlakukannya otonomi daerah, kota ini terus menerus dibanjiri oleh pendatang

dari berbagai daerah.

Diakhir juni tahun 2013 jumlah penduduk mencapai 656,417 jiwa dengan

jumlah pendatang selama tahun 2012 sebanyak 21,486 jiwa yang merupakan

jumlah tertinggi selama tiga tahun terakhir. Peningkatan jumlah penduduk terjadi

akibat tingginya arus migrasi pendatang serta pertambahan alamiah (kelahiran)

sehingga Balikpapan mulai tahun 2005 hingga saat ini menjadi kota terpadat

penduduk di Kaltim.

Ada lima budaya dasar suku bangsa asal Kalimantan yang disebut Rumpun

Kalimantan, empat diantaranya terdapat di Kalimantan Timur khususnya

Balikpapan yaitu Banjar, kutai, Dayak Dan Paser yang biasa disingkat komunitas

  114http://id.m.wikipedia.org/wiki/kota_samarinda diakses pada tanggal 21 september 2013 pada pukul 20.30 wita. 115Tempo.com diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 15.00 Wita.

Page 88: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

88  

                                                           

BAKUDA atau BAKUDAPA jika dihitung mencapai 31,39% populasi sensus

tahun 2000, Selain empat suku yang ada di Kalimantan terdapat pula suku dari

pulau Sulawesi, Jawa, Sumater, Bali dan pulau lainnya.

Mengenai adat perkawinannya pula penduduk Balikpapan masih sangat

mencintai adat-istiadat dan aturan pernikahan tradisional. Apapun tradisi

pernikahan sering terjadi adalah pernikahan dengan menggunakan adat Kutai,

Dayak, Banjar, Bugis serta Jawa dan sebagian kecil dari adat Manado dan

sebagainya.

Segi perekonomian kota ini bertumpu pada sektor industri yang di dominasi

oleh industri minyak dan gas perdagangan dan jasa, kota ini memiliki bandara

udara berskala internasional yakni bandara sepinggan serta pelabuhan semayang

selain pelabuhan minyak yang dimiliki pertamina. Disektor perdagangan,

pemerintahan kota melindungi pengusaha lokal Balikpapan dengan membentuk

peraturan daerah yang tidak lagi menerbitkan izin kepada toko modern seperti

minimarket dari luar kota untuk beroperasi di Balikpapan.116

3.2. Prosedur Pencatatan Perkawinan

Perkawinan yang sah berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan, wajib dilaporkan oleh individu kepada

instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60

  116Balikpapan Post, www.balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 September 2013 pada pukul 15.45 Wita.

Page 89: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

89  

                                                           

(enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Persyaratan yang harus dipenuhi

dalam pencatatann perkawinan, adalah :117

a. Foto ukuran 4x6 Lima buah bewarna berdampingan.

b. Satu lembar fotokopi KTP dan KK

c. Formulir perkawinan model 1 dan 2

d. Surat keterangan belum pernah kawin dari kepala desa/kelurahan (asli)

e. Akta kelahiran

f. Surat baptis/keterangan jemaat

g. Ganti nama (jika ada)

h. Dokumen imigrasi dan SKLD

i. Passport/Certificate of Embassy

j. Memenuhi syarat umur laki-laki 21 tahun, wanita 21 tahun

k. Ijin orang tua (jika mempelai dibawah 21 tahun)

l. Surat ijin komandan TNI/POLRI dan atasan (PNS)

m. Akta cerai/talak/kematian

n. Waktu tunggu bagi janda mati 130 hari, cerai 90 hari

o. Perkawinan dilangsungkan minimal 10 hari setelah pendaftaran

p. Perkawinan dibawah 10 hari harus ada dispensasi camat an. Bupati

q. Mempelai yang berasal dari luar daerah diumumkan di daerahnya

r. Saksi masing-masing 1 orang berumur minimal 21 tahun (KTP)

s. Surat-surat dilampirkan di fotokopi rangkap 2

t. Akta anak diluar kawin  

117http://www.casip.bandungkab.go.id/akta-perkawinan, diakses pada tanggal 21 Agustus 2013 pukul 15.01 Wita.

Page 90: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

90  

u. Perjanjian kawin

v. Fotokopi surat kawin dari gereja dilegalisir

w. Bagi WNI yang melakukan perkawinan berbeda agama harus ada

surat penetapan dari pengadilan negeri

Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka pencatatan perkawinan

baru dapat dilakukan, Prosedur pelayanan pencatatan perkawinan adalah sebagai

berikut:

a. Permohonan mengisi formulir dengan melampirkan persyaratan

lengkap

b. Petugas melakukan verifikasi dan validasi atas isian formulir dan

persyaratan

c. Kedua mempelai dan 2 orang skasi hadir pada waktu pencatatan

d. Mempelai beserta 2 orang saksi menandatangani dalam buku register

perkawinan

e. Petugas pada instansi pelaksana melakukan proses pencocokan data,

pencatatan, penerbitan dan selanjutnya diteliti dan diparaf oleh

pejabat Teknis pada bidang pencatatan sipil

f. Proses pembuatan akta perkawinan paling lambat 3 hari setelah

tanggal pencatatan perkawinan dilaksanakan

g. Perkawinan bagi penduduk yang beragam islam dicatat oleh Kantor

Urusan Agama kecamatan

h. Penerbitan akta perkawinan bagi penduduk yang beragama islam

dilakukan oleh Departemen Agama

Page 91: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

91  

                                                           

i. Data hasil pencatatan KUA kecamatan atas peristiwa perkawinan

disampaikan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk

direkam ke dalam database kependudukan dan tidak dimaksudkan

untuk penerbitan kutipan akta perkawinan

Dalam hal perkawinan yang akan dicatatkan di luar wilayah NKRI, terdapat

prosedur lain yang harus dilakukan. Pencatatan perkawinan di Luar wilayah NKRI

bagi Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Indonesia dilakukan pada

instansi yang berwenang di Negara setempat. Setelah pencatatan kemudian

dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat

fotokopi :

a. Bukti pencatatan perkawinan/ akta perkawinan dari Negara setempat

b. Paspor Republik Indonesia

c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia

Pada Proses untuk melaksanakan pencatatan perkawinan pada Catatan Sipil

Kota Balikpapan mempunyai syarat-syarat :118

a. Syarat umum

1. Akta Kelahiran (asli dan fotocopy)

2. Surat Baptis/permandian/sidi (fotocopy)

3. Surat kartu keluarga (fotocopy)

4. Surat keterangan untuk kawin dari kelurahan setempat (asli)

5. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bersangkutan (fotocopy)

6. Kartu Tanda Penduduk (KTP) saksi-saksi (fotocopy)  

118Diambil pada papan pengumuman yang tertera pada kantor catatan sipil Balikpapan pada tanggal 20 September 2013.

Page 92: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

92  

7. Surat keterangan ijin untuk menikah dari instansi/perusahan/lembaga

dimana calon mempelai bekerja (asli)

8. Khusus bagi anggota ABRI/POLRI harus ada izin dari komandan

satuannya (asli)

9. Surat kartu imunisasi calon mempelai wanita (fotocopy)

10. Mengisi formulir pemberitahuan akan mencatatkan perkawinan

11. Bukti surat kawin gereja/vihara/pura yang menentukan tanggal

pelaksanaan perkawinan secara agama (asli)

12. Surat keterangan kesediaan dari Gereja/Vihara/Pura yang menentukan

tanggal pelaksanaan secara agama (asli)

13. 4 (empat) lembar pas foto berdampingan ukuran 4x6 berwarna

b. Selain mempunyai ketentuan yang umum, kantor catatan sipil kota

Balikpapan juga mengatur mengenai ketentuan yang khusus:

1. Surat keterangan pindah agama dari DEPAG bagi mempelai yang

berlainan agama

2. Surat ijin dari kedua orangtua calon mempelai yang berumur dibawah

21 (dua puluh satu) tahun (fotocopy)

3. Kalau ada orang tua calon yang telah meninggal dunia dibuktikan

dengan akta kematian atau surat kenal kematian (fotocopy)

4. Bagi yang sudah cerai melampirkan akta perceraian (asli)

5. Bukti akta kematian/surat kenal kematian dari suami/istri terdahulu

6. Akta kelahiran anak yang akan diakui dan disahkan dalam perkawinan

(asli)

Page 93: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

93  

7. Surat keputusan ganti nama (fotocopy) bila ada nama yang berlainan

8. Dispensasi dari camat, pemohon pencatatan kurang dari sepuluh hari

kerja (asli)

9. Bagi yang berlainan wilayah domisili wajib:

a. Membawa pengantar Nikah dari Catatan Sipil setempat (asli)

b. Pencatat Perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari kerja diumumkan

c. Syarat tambahan bagi WNA untuk dapat melakukan perkawinan:

1. Harus memiliki rekomendasi dari kedutaan Besar Negara asal calon

mempelai (asli)

2. Passport (fotocopy)

3. S.T.M.D (fotocopy)

4. Surat Imigrasi Kitas/VISA (fotocopy)

5. Surat bukti pajak bangsa asing (fotocopy)

3.3. Perkawinan yang Tidak Dicatatkan dan yang Dicatatkan Pada Kantor

Catatan sipil

Dalam hal perkawinan, perkawinan dilakukan atau dilaksanakan sesuai

dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing lalu dicatatkan pada

kantor catatan sipil dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2). UU Perkawinan

menempatkan hukum agama pada posisi yang menentukan, namun setelah

melakukan perkawinan secara agama dapat mencatatkan perkawinan.

Ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan jelas menegaskan dari segi materiil dan

formil perkawinan. Aspek materiilnya adalah bertolak pangkal pada hukum

agama dan kepercayaan sebagai penentuan keabsahan suatu perkawinan, aspek

Page 94: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

94  

                                                           

formal terletak pada ketentuan ayat (2)-nya yang menyangkut pencatatan.119

Secara adat dan kepercayaan mengenai keabsahan pernikahan yang

dilangsungkan berbeda dengan aturan hukum yang ada.

Bahwa UU Perkawinan secara hakiki berbeda dari Kuhperdata, yaitu dalam

hal perkawinan yang sah, orang harus kawin di hadapan seorang fungsionaris

keagamaan, baik ia dari agama Islam, Kristen dan Protestan, Hindu dan budha.120

Suatu perkawinan haruslah dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya

masing-masing karena suatu perkawinan didasarkan pada suatu keyakinan yang

ada.

Perkawinan memiliki tujuan yang baik sesuai dengan ajaran agama yang

dianut serta mencatatakan perkawinan tersebut pada kantor catatan sipil untuk

mendapatkan akte perkawinan. Akte perkawinan tersebut akan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan untuk memudahkan suami-istri untuk melakukan

aktifitas keperdataannya terutama dalam hal pengurusan akta kelahiran putra-

putri. (wawancara dengan ibu Isnaniah, Panitra Muda Hukum pada Pengadilan

Negeri Samarinda tanggal 19 September 2013 pukul 11.00 Wita).

Syarat akta kelahiran berdasarkan Perda No. 9 tahun 2011 tentang

Retribusi Jasa Umum dan Perda No. 5 tahun 2012 tentang Administrasi

Kependudukan, persyaratan yang diatur di wilayah kota Balikpapan:121

a. Surat pengantar kelurahan (asli)

  119Herlien Budiono, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9. 120 Ibid, hal. 11. 121Diambil pada kantor Catatan Sipil Kota Balikpapan pada tanggal 20 Septermber 2013.

Page 95: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

95  

b. KK dan KTP orang tua

c. Surat nikah/akta perkawinan

d. Surat keterangan kelahiran dari Dokter, Bidan, Rumah sakit (asli)

e. Menghadirkan 2 orang saksi.

3.3.1. Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil

Perkawinan yang tidak dicatat adalah suatu perkawinan yang tidak

dilakukan dengan pencatatan pada kantor catatan sipil dan hanya dilakukan

dengan perkawinan agama. Dalam hukum Islam perkawinan yang tidak dicatatkan

harus merupakan perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun Islam namun

kebanyakan dalam prakteknya suatu perkawinan yang hanya berlandaskan agama

saja.

Dalam melakukan nikah sirri harus adanya wali nikah, wali nikah ini

hanya bisa dilakukan oleh bapak dari calon wanita. Selain bapak tidak ada yang

dapat menjadi wali nikah, namun jika si bapak meninggal yang menjadi walinya

baru kakeknya, jika kakeknya meninggal dunia barulah buyutnya, jika dari bapak,

kakek dan buyut ini sudah meninggal semua, maka kakak laki-laki dari calon

wanita tersebut yang dapat menjadi wali nikah. (wawancara dengan bapak

Murtafi’in, Kepala Kantor Urusan Agama di Balikpapan selatan pada tanggal 25

September 2013 pada pukul 14.00).

Perkawinan yang dilaksanakan dengan upacara keagamaannya, dianggap

sudah sah secara agama. Akan tetapi secara Negara perkawinan yang

dilaksanakan hanya dengan upacara keagamaan yang disahkan oleh masing-

masing pemuka agama belumlah sah dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.

Page 96: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

96   Suatu perkawinan yang sah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2)

menyebutkan bahwa perkawinan dilakukan secara agama dan dicatatkan pada

kantor catatan sipil, perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak mempunyai

kekuatan hukum dalam hal syarat kelengkapan administrasi. Pencatatan dilakukan

untuk mendapatkan peristiwa hukum suatu perkawinan.

Istilah “tidak dicatat” dengan “tidak dicatatkan” mengandung makna yang

berbeda. Pada perkawinan yang tidak dicatat bermakna perkawinan itu tidak

mengandung unsur dengan sengaja yang mengiri iktikad atau niat seseorang untuk

tidak mencatatkan perkawinannya sedangkan perkawinan yang tidak dicatatkan

mengandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud

perkawinannya memang dengan sengaja tidak dicatatkan.

Pencatatan perkawinan biasanya dilakukan sesudah calon pasangan suami-

istri telah melakukan upacara menurut agama dan kepercayaannya lalu

mencatatkan peristiwa perkawinannya pada kantor catatan sipil. Bagi agama

Islam melakukan perkawinan di KUA sedangkan untuk agama Non Islam

melakukan pencatatan perkawinan mereka pada Kantor Catatan Sipil di Kota

masing-masing.

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang sakral yang dilaksanakan atau

dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang memiliki tujuan untuk

membina suatu keluarga yang kekal dan abadi. Perkawinan yang dilakukan hanya

dengan agama yang diyakinin, tanpa melakukan pencatatan pada kantor catatan

sipil tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap.

Page 97: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

97   Bila perkawinan yang dilaksanakan antara dua orang yang berbeda jenis

kelamin dan memiliki keyakinan yang berbeda pula, sebelum melakukan

perkawinan harus mendapatkan penetapan dari Pengadilan di daerah tempat

tinggal mereka. Jika suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak

mempunyai suatu kekuatan hukum yang tetap dan tidak diakui oleh Negara.

(Wawancara dengan ibu Isnaniah, Panitera Muda Hukum pada Pengadilan Negeri

Samarinda tanggal 19 September 2013 pada pukul 11.00 Wita).

Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maka akan berakibat buruk bagi si

wanita. Akibatnya jika perkawinan kedua orang tuanya tidak dicatatkan namun

dilakukan secara agama, si anak tidak mendapatkan akta kelahiran yang

bertuliskan nama kedua orangtuanya melainkan hanya akta yang bertuliskan nama

ibu. (Wawancara dengan ibu Mulyana Kasi. Perkawinan Dan Perceraian pada

kantor Catatan Sipil Balikpapan, pada tanggal 25 September 2013 pukul 10.00

Wita).

Pada kota Balikpapan, diketahui bahwa warga masyarakat masih ada yang

belum melakukan pencatatan. Hal ini disampaikan oleh ibu Mulyana, menurut

keterangan beliau pada warga di KM 12 yang mana masih banyak yang belum

melakukan pencatatan perkawinan. Entah karena kurangnya informasi tentang

pentingnya suatu pencatatan ataukah karena individu tersebut yang malas untuk

mencatakan perkawinannya.

Pegawai kantor catatan sipil Balikpapan masih terus berusaha mengenalkan

mengenai sahnya suatu perkawinan terhadap warganya dan sekarang hasilnya

sudah mulai ada peningkatan pencatatan perkawinannya pada kantor Catatan Sipil

Page 98: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

98  di Kota Balikpapan. (wawancara dengan Ibu Mulyana, Kasi. Perkawinan Dan

Perceraian pada kantor Catatan Sipil Balikpapan, pada tanggal 25 September 2013

pukul 10.00 WITA). Hal ini dijelaskan pada data atau laporan statistik jumlah akte

perkawinan yang terbit pada periode bulan januari 2012 s/d Desember 2012.

sumber: data Primer, diolah 2013

Laporan statistik jumlah akta perkawinan yang diterbitkan oleh Kantor

Catatan Sipil Kota Balikpapan dijelaskan bahwa pada bulan Januari terdapat

persamaan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh petugas catatan sipil kota

Balikpapan yang dilakukan baik di luar kantor catatan sipil dan di dalam kantor

catatan sipil dengan jumlah 28. Pada bulan Februari, juni dan September

pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar kantor sedikit berkurang di

bandingkan pencatatan yang dilakukan dalam kantor, bulan Maret dan April, juli,

oktober, nopember dan desember pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar

kantor catatan sipil lebih banyak dilakukan dibandingkan pencatatan yang

dilakukan dalam kantor catatan sipil. Pada bulan Mei antara pencatatan di luar

Page 99: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

99  

                                                           

kantor dengan di dalam kantor terdapat persamaan persentasenya dengan jumlah

38.

Persentase jumlah akta perkawinan yang diterbitkan oleh kantor catatan

sipil kota Balikpapan dr bulan Januari sampai dengan bulan Desember pencatatan

yang dilakukan diluar kantor catatan sipil sebesar 198. Jumlah pencatatan yang

dilakukan didalam kantor catatan sipil 158 dengan jumlah persentase ini

dijumlahkan secara keseluruhan sebesar 356 total dari akta yang telah diterbitkan.

3.3.2. Perkawinan yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil

Seperti penjelasan yang telah dijelaskan oleh penulis pada permasalahan

sebelumnya mengenai pencatatan, dalam Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun

2006 (selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan)122 dan Peraturan

Menteri Dalam Negeri tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan

mengenai pencatatan sipil yang mana dalam Pasal 1 ayat 15. Pencatatan sipil

adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register

Pencatatan Sipil pada instansi pelaksanaan.

Perkawinan menurut UU Perkawinan bukan sekedar sebagai perbuatan

agamanya yang mana sah atau tidaknya suatu perkawinan yang akan dilakukan

digantungkan pada hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan yang

dianut rakyat Indonesia pada umumnya. Pada kenyataannya agama yang memiliki

peran atau andil yang cukup penting dalam kehidupan manusia.

  122Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Administrasi Kependudukan (LN 2006, Nomor 124 TL 4674). 

Page 100: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

100  

                                                           

Dalam UU Administrasi Kependudukan Pasal 34 tentang pencatatan

perkawinan di Indonesia pada ayat (1) perkawinan yang sah menurut Peraturan

Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana

di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal

perkawinan. Serta ayat (2) menyatakan berdasarkan laporan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada register Akte

Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akte Perkawinan.

Dalam hal pencatatan suatu peristiwa termasuk peristiwa perkawinan yang

mana jika suatu perkawinan dilakukan dan dicatatkan pada pencatatan sipil maka

perkawinan yang dilakukan memiliki kekuatan hukum yang tetap oleh Hukum.

Perkawinan yang telah dilakukan menurut agama masing-masing sangat penting

untuk dicatatkan karena hal ini akan berakibat terhadap pewarisan dan hal-hal

yang terkait dalam bidang keperdataan.

Selama perkawinan itu belum didaftarkan, perkawinan tersebut masih

belum dapat memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi

perempuan sebagai istri dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait

dengan pencatatan perkawinan Duncan J. Bioy , menyatakan sebagai berikut:

A void marriage is one that will be regarded by every court in any case in which the existence of the marriage is in issue, as never having taken placa and cam be so treated by both parties to it without the necessityof any decree annulling it a voidable marriage is one that will be regarded by every court as a valid subsisting marriage until a decree annulling it has been pronounced by a court of competent jurisdiction123( Keberadaan perkawinan sebagai persoalan kedua belah pihak saling menghormati, untuk mengambil tempat dan perlakuan bersama-sama, perkawinan adalah salah satu yang dianggap oleh setiap pengadilan sebagai pernikahan administrative berlaku sampai keputusan yang

  123Duncan J. Bioy, 1995, Family law, Head of department of law and finance University of Glamorgan, hal. 42.

Page 101: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

101  

                                                           

telah diucapkan atau pengadilan dengan yurisdiksi yang kompeten, jadi kedua calon mempelai harus mencatatkan perkawinannya pada catatan sipil agar mendapat ketetapan dari pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap terhadap perkawinannya. )

Bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinanya

dilakukan oleh P.3 NTR atas dasar ketentuan Undang-undang No 22 tahun 1946

tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagai mana kemudian dengan

Undang-undang No 32 tahun 1954 (LN. 1954 No 98)124 dinyatakan berlaku untuk

seluruh Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang no 22 tahun 1946

nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatatan

nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk

olehnya. Jadi fungsi pegawai pencatat hanyalah mengawasi pernikahan dan

pernikahan tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan Hukum Islam yang tidak

mensyaratkan campur tangan seorang pejabat Negara dalam penentuan sah atau

tidaknya pernikahan.125

Pencatatan perkawinan sebenarnya bukanlah merupakan syarat yang

menentukan sahnya perkawinan, karena perkawinan di Indonesia dianggap sah

bila mana hukum agama dan kepercayaannya sudah menyatakan sah, akan tetapi

karena Negara Indonesia merupakan Negara hukum maka setiap tindakan atau

setiap perbuatan merupakan suatu hubungan hukum dalam hal ini perkawinan

harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum dan nantinya jika perkawinan

  124Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagaimana kemudian dengan Undang-undang No 32 tahun 1954 (LN. 1954 No 98). 125Abdurrahman, op.cit, hal. 13.

Page 102: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

102  antara suami-istri itu putus maka istri memiliki hak atas perkawinannya tersebut

terutama dalam hal pewarisan dan hal sebagainya.

3.4. Akibat Hukum Pegawai Pencatat Nikah Menolak Mancatat Suatu

Perkawinan

Seperti yang telah di singgung mengenai sahnya suatu perkawinan, harus

sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU perkawinan yang mana dalam UU

perkawinan Pasal 2 ini mengatur secara agama dan secara Negara. Secara Negara

perkawinan adalah sah apabila dilakukan pencatatan di hadapan pegawai pencatat

perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat

sipil dan dilangsungkan menurut ketentuan UU Perkawinan.

Kantor catatan sipil mencatat setiap perkawinan yang telah dilakukan secara

agama, kantor catatan sipil mencatat setiap perkawinan yang terjadi pada setiap

yang beragama non muslim. Pencatatan dilakukan untuk mendata setiap

masyarakat yang telah melakukan perkawinan yang nantinya akan mempermudah

setiap individu untuk melakukan urusan-urusan keperdataan, seperti pencatatan

kelahiran putra-putri mereka kelak.

Pegawai pencatat dapat menolak suatu perkawinan yang akan dicatatkan,

tetapi pada saat pasangan suami-istri tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan

yang harus dipenuhi. Akibatnya jika pegawai pencatat menolak mencatatkan

perkawinan, maka para pihak tidak mendapatkan akta nikah, tetapi hal penolakan

yang dilakukan oleh pegawai catatan sipil sangat jarang terjadi meskipun terjadi

pasti dikarena tidak memenuhi persyaratan maka pegawai pencatat sipil tidak

berani untuk mencatatkan perkawinan.

Page 103: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

103   Pegawai pencatat memberi saran agar segera melakukan atau memenuhi

persyaratan, misalnya jika para pihak datang ke catatan sipil, dan pegawai catatan

sipil meminta bukti surat kawin dari gereja/vihara dan pura yang asli. Tetapi jika

para pihak tidak dapat memberikan bukti kawin dari gereja maka pegawai

pencatat tidak akan mencatatkan perkawinan mereka tersebut, karena suatu

perkawinan sudah jelas syarat sahnya dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan

(2) yang mana harus dilaksanakan sesuai hukum agamanya lalu di catatkan pada

catatan sipil agar mendapatkan kekuatan hukum yang tetap untuk perkawinan.

(Wawancara dengan Ibu mulyana, Kasi perkawinan dan perceraian pada kantor

catatan sipil di Balikpapan pada tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 Wita).

Namun setelah penulis melakukan penelusuran mengenai pegawai pencatat

menolak suatu pencatatan perkawinan di media elektronik (internet), penulis

menemukan bahwa Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang

pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha

Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya

nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil

tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Namun pada

kenyataannya hingga saat ini, Kantor Catatan Sipil tidak mau melaksanakan

putusan-putusan tersebut dan Kantor Catatan Sipil menyatakan tunduk pada

keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang Kantor Catatan

Sipil mencatat perkawinan penganut kepercayaan. Bahkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Unsri pada tahun 2009-2010

menemukan bahwa perkawinan yang telah dilakukan oleh masyarakat Palembang

Page 104: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

104  

                                                           

yang menganut Kong Fu Chu juga ditolak pencatatannya oleh Kantor Catatan

Sipil Kota Palembang. Sehingga bagi mereka yang menganut Kong Fu Chu

mengambil jalan keluar dengan mencatatkan perkawinannya dengan merubah

kepercayaannya menjadi pemeluk salah satu agama seperti Budha atau Hindu,

padahal secara hukum Kong Fu Chu ditetapkan sebagai salah satu agama selain

Islam, Katholik, Kristen, Budha dan Hindu.126

Menurut hemat penulis di Indonesia mengenai perkawinan antar umat

beragama masih sangat sulit terjadi, para pegawai pencatat perkawinan juga tidak

mau mengambil resiko untuk melakukan pencatatan diluar peraturan Undang-

Undang yang berlaku. Akan tetapi setiap kehendak perkawinan beda agama tidak

dapat ditolak oleh kantor catatan sipil untuk pencatatan berdasarkan Pasal 21 ayat

(3) tentang Kekuasaan Kehakiman.

3.5. Pencatatan Perkawinan Antar Agama

Perkawinan bukan sekedar masalah pribadi antar dua insan pasangan laki-

laki dan perempuan yang pada akhirnya nanti akan menjadi pasangan suami istri

yang akan membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Perkawinan bukan hanya

sekedar masalah pribadi saja melainkan merupakan salah satu masalah

keagamaannya yang sangat cukup sensitif dan erat sekali hubungannya dengan

kerohanian seseorang.

Berbicara mengenai agama, hampir setiap agama memiliki peraturan

sendiri-sendiri tentang perkawinan, sehingga setiap orang yang akan melakukan

  126Pentingnya pencatatan perkawinan menurut Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Wahyu Ernaningsih, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Di unggah pada tanggal 27 September 2013.

Page 105: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

105  

                                                           

suatu perkawinan harus tunduk pada ketentuan agama yang dianut oleh mereka.

Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukanlah hanya hukum yang

dijumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan yang terbentuk dalam

gereja-gereja Kristen atau dalam kesatuan-kesatuan masyarakat yang

berkepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga semua ketentuan-

ketentuan perundang-undangan.127

Untuk terciptanya hukum perkawinan sebagai yang diidamkan tersebut UU

Perkawinan meletakkan beberapa pengertian dasar tentang hukum perkawinan

Nasional. UU Perkawinan didasarkan pada agama dan tidak membenarkan adanya

penyimpangan terhadap perkawinan, bangsa Indonesia berdasarkan pada

pancasila yang secara tegas mengakui adanya kebebasan beragama, maka

ketentuan telah memberikan otoritas kepada masing-masing pemeluk agama

untuk melaksanakan hukum agamanya atau dengan perkara lain masing-masing

agama berhak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan menurut

ukurannya sendiri yang kenyataannya berbeda antara agama yang satu dengan

yang lainnya.

Polemik beda agama merupakan polemik yang sangat intim untuk suatu

pembahasan, karena merupakan pokok permasalahan yang sangat bersifat pribadi.

Undang-Undang tidak berhak mengubah atau menghapuskan hukum agama dalam

semua agama atau kepercayaan yang Ketuhanan Yang Maha Esa, kecuali jika

hukum agama sedemikian itu nyata berlawanan dengan pancasila, maka dalam hal

  127Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Timtamas Indonesia, Jakarta, hal. 6.

Page 106: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

106  

                                                           

ini bukan dihapuskan atau diubah tetapi atas dasar darurat terpaksa diakui sebagai

non-aktif.128

Masalah pasangan beda agama yang akan melangsungkan perkawinan tidak

serumit apa yang dibayangkan jika salah satu pihak bersedia untuk menundukkan

diri. Masalah perkawinan antar agama bukanlah merupakan suatu permasalahan

yang mudah dipecahkan dengan begitu saja, karena menyangkut dua unsur atau

dua aspek yang mana antara aspek atau unsur perkawinan dengan agama yang

paling penting dalam kehidupan seseorang.

            Pada kasus perkawinan beda agama di Indonesia banyak dilakukan secara

menundukkan diri hal ini bertentangan dengan kebebasan seseorang untuk

memeluk agama. Tetapi ada pula perkawinan beda agama yang meminta

penetapan dari pengadilan daerah domisili calon mempelai, terdapat di daerah

Surakarta pada Putusan MA Nomor : 156/Pdt.P/ 2010 /PN.Ska yang mana para

pemohonnya adalah LISTYANI ASTUTI beragama Kristen dan ACHMAD

JULIANTO beragama Islam selain penetapan pengadilan. Putusan MA Nomor :

237 / Pdt.P / 2012 / PN.Ska yang mana para pemohonnya adalah BETI

HARYUNING DYAH beragama Kristen dan EBNU FAJRI BAYU WORO

beragama Islam, keduanya telah mendapatkan penetapan pengadilan untuk

melaksanakan suatu perkawinan yang mana perkawinan yang mereka lakukan

adalah perkawinan beda agama.

Suatu perkawinan yang dilakukan dengan penetapan pengadilan, menurut

penulis masih tidak sesuai dengan syarat sahnya suatu perkawinan yang mana

  128Ibid, hal. 7.

Page 107: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

107  dalam perkawinan menyebutkan sahnya harus sesuai dengan hukum agamanya

mereka dan dicatatkan pada kantor catatan sipil. Jika suatu penetapan pengadilan

yang mengizinkan perkawinannya dilaksanakan dan dicatatkan pada kantor catat

sipil hal ini yang menjadi rancu, karena dengan adanya sebuah penetapan

pengadilan tanpa pemberkatan maupun upacara agamanya, hal ini tidak sesuai

dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.

Selain permasalahan beda agama yang akan melangsungkan perkawinan,

terdapat kasus yang mana salah satu pihak melakukan perkawinan tidak sesuai

agama yang dianut berdua. Namun perkawinan yang dilakukan dicatatkan pada

kantor catatan sipil hal ini sesuai dengan putusan MA tanggal 24 November 1993

reg. No. 2099 k/pid/1990.

Permasalahan disini yang mana Sony Gozal dan Mirjati Manuaba

melakukan perkawinan di Ujung Pandang, status berdua adalah sama-sama bujang

dan memeluk keyakinan yang sama yang mana Sony Gozal beragama Nasrani

sedangkan Mirjati Manuaba beragama Nasrani. Mereka melakukan perkawinan

tetapi perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum agama. Padahal

diketahui bahwa agama yang dianut sama-sama beragama nasrani.

Diketahui bahwa suatu perkawinan haruslah dilakukan menurut agama

terlebih dahulu meskipun untuk yang berbeda agama, salah satu dari kedua pihak

harus menundukan diri pada salah satu agama yang dianut. Jika para calon telah

melakukan suatu upacara keagamaan barulah mencatatkannya, tetapi pada kasus

ini ditemukan suatu keganjalan yang mendasar yang mana catatan sipil dapat

Page 108: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

108  melakukan pencatatan padahal pasangan calon suami-istri belum melakukan

upacara keagamaan terdahulu.

3.6. Akibat Hukum Perkawinan yang dilakukan dengan Upacara

Perkawinan tanpa Pencatatan

Suatu perkawinan terjadi bila 2 insan laki-laki dan perempuan yang sama-

sama memeluk satu keyakinan maupun berbeda keyakinan dan memiliki tujuan

yang sama untuk membangun suatu keluarga yang harmonis dan kekal sampai ajal

memisahkan. Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyebutkan

perkawinan yang terjadi harus sesuai dengan hukum agamanya masing-masing

lalu di catatkan pada kantor Catatan Sipil, jadi perkawinan yang sah menurut UU

Perkawinan ialah sesuai dengan hukum agama dan dicatatakan.

Indonesia terdiri dari beragam kultur kebudayaan, hal ini sangat

mempengaruhi sahnya perkawinan, yang mana jika suatu perkawinan sudah

dilakukan upacara keagamaan maka perkawinan tersebut sah dan tidak perlu

adanya pencatatan. Hal tersebut benar adanya untuk perkawinan yang telah

dilakukan secara agama dianggap sah karena agama yang menjadi tolak ukur

sahnya atau tidaknya perkawinan tersebut.

Namun di Indonesia ini adalah Negara hukum maka untuk setiap perbuatan

haruslah sesuai dengan peraturan dan Undang-Undang yang berlaku, perkawinan

setelah dilaksanakan menurut agamanya maka dicatatkan pada Catatan Sipil

setempat. Banyak hal yang dapat dirugikan bila suatu perkawinan tidak

dicatatkan, salah satunya jika suatu saat mereka berpisah maka si wanita tidak

mendapatkan hak-haknya serta kepada anaknya kelak.

Page 109: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

109  3.7. Akibat Hukum Perkawinan yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan

Sipil Tanpa Melakukan Upacara Keagamaan

Suatu perkawinan yang sudah dicatatkan pada kantor catatan sipil memiliki

kekuatan hukum yang tetap dan pengakuan Negara atas perkawinan tersebut.

Anak-anak atau keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut akan dengan

mudah mendapatkan status sebagai anak sah. Dalam hal pencatatan kelahiran dari

anak sah tersebut akan memberikan kepastian hukum. Itulah kegunaannya suatu

perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil.

Sebelum melakukan pencatatan perkawinan, pasangan suami istri harus

melakukan perkawinan menurut hukum agama masing-masing. Pasal 2 ayat (1)

dan (2) UU Perkawinan, suatu perkawinan yang sah harus melakukan perkawinan

menurut hukum agama mereka masing-masing serta dicatatkan pada kantor

catatan sipil.

Perkawinan yang dilakukan langsung dicatatkan pada kantor catatan sipil,

hal ini menjadi pertanyaan apakah bisa suatu perkawinan yang tidak dilakukan

secara keagamaan terlebih dahulu dapat dicatatkan hal ini dijawab oleh ibu

Mulyana kasi dari perkawinan dan perceraian di kantor catatan sipil Balikpapan.

Beliau menjawab bahwa jelas tidak ada suatu perkawinan yang dapat dicatatkan

tanpa dilakukan terdahulu prosesi upacara keagamaan jika yang beragama Kristen

ada pemberkatan dari gerejanya serupa juga demikian pada agama Budha dan

Hindu harus ada bukti nikah secara agama yang dikeluarkan oleh masing-masing

dan nantinya bukti kawin ini akan menjadi data di catatan sipil. (wawancara

Page 110: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

110  dengan ibu Mulyana, Kasi Perkawinan dan Perceraian pada Kantor catatan Sipil

Balikpapan, tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 Wita)

Dalam prosedur pencatatan perkawinan persyaratan-persyaratan untuk

melakukan suatu perkawinan harus membawakan bukti surat baptis atau telah

melakukan perkawinan secara agama. Dengan membawa surat bukti yang

ditunjukkan kepada catatan sipil, maka perkawinan tersebut telah didahului sesuai

agama dan pegawai catatan sipil dapat mencatatkan perkawinan.

Pencatatan tersebut akan adanya akta perkawinan yang dipegang oleh

masing-masing pasangan. Tetapi jika perkawinannya belum melakukan upacara

keagamaan maka tidak dapat dicatatkan hal ini sesuai dalam Pasal 2 ayat (1) dan

(2)-nya UU Perkawinan yang menjelaskan perkawinan secara agama dan secara

Negara saling berkaitan.

Suatu perkawinan yang akan dilaksanakan tidak melakukan prosesi

perkawinan secara agama atau kata lain jika perkawinan tersebut tidak

dilaksanakannya upacara keagamaan, maka akibat hukum dari perkawinan

tersebut ialah pada Pasal 22 UU perkawinan yang mana perkawinan tersebut dapat

dibatalkan karena tidak memenuhi syarat-syarat dari sahnya suatu perkawinan.

3.7.1. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 20 Januari 1990

No.16/Pid.S/1990/PN.Sinda

Mengenai kasus suatu perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya upacara

keagamaan namun dapat di catatkan pada kantor catatan sipil. Dalam putusan

Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 20 Januari 1990

Page 111: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

111  No.16/Pid.S/1990/PN.Sinda menyatakan bahwa terdakwa Sony Gozal dinyatakan

bersalah oleh hakim karena telah melakukan perkawinan kedua.

Diketahui bahwa terdakwa Sony Gozal masih terdapat penghalang yang sah

untuk melakukan perkawinan lagi dan disekitar bulan juni 1989, di Kantor

Catatan Sipil Kotamadya Samarinda atau setidak-tidaknya disalah satu tempat

dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Samarinda, terdakwa Sony Gozal

memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal

yang kebenarannya tidak sesuai dengan kebenaran.

Bertujuan untuk pelengkap persyaratan pencatatan perkawinannya,

terdakwa telah mencantumkan keterangan bahwa diri terdakwa belum pernah

kawin. Sehingga berdasarkan keterangan terdakwa maka pegawai pencatatan,

mencatatkan perkawinannya dengan saudari Lusiana dalam akte perkawinan

No.29/1989 tanggal 3 Juni 1989.

Sebelum terdakwa mencatatkan perkawinan keduanya, diketahui bahwa

sesungguhnya terdakwa Sony Gozal telah mencatatkan perkawinanya pertama

dengan Dokter Mirjati Manuaba di Catatan sipil Ujung Pandang tanggal 11

Agustus 1987 dengan akte perkawinan No. 214/B/SC/1987 yang sampai sekarang

belum pernah diceraikannya. Akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi Dokter

Mirjati Manuba selaku istri sah terdakwa merasa dirugikan secara materiil

maupun immaterial.

Dalam putusan Pengadilan Negeri ini menyebutkan bahwa akte

perkawinannya tetap sah, meskipun belum diikuti upacara keagamaan yang

bersangkutan. Namun terdakwa terbukti bersalah karena telah memberikan

Page 112: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

112  keterangan palsu dalam akte perkawinan mengenai identitasnya, keterangan

terdakwa mengenai identitasnya yang mengakibatkan catatan sipil mengeluarkan

akte perkawinan, yang sah hal ini menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

3.7.2. Putusan Pengadilan Tinggi tanggal 19 April 1990

No.03/PID.S/1990/PT.KT. Sinda

Dalam putusan Pengadilan Tinggi Samarinda tanggal 19 April 1990

No.03/PID.S/1990/PT.KT Sinda menguatkan putusan dari Pengadilan Negeri

Samarinda yang menyatakan bahwa terdakwa Sony Gozal dinyatakan bersalah

karena telah melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dan tidak melakukan

perkawinannya sesuai dengan agama yang dianut, dan memberikan keterangan

palsu yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain.

3.7.3. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 24 Nopember 1993 Reg.No. 2099

K/Pid/1990

Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Nopember 1993 Reg.No.

2099 K/Pid/1990 Permohonan kasasi terdakwa dimaksud didasari oleh keberatan-

keberatan, atas dasar pertimbangan akhirnya Majelis membatalkan putusan Judex

Factie dan memutuskan dengan putusan yang menyatakan :

• Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : SG tersebut. • Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Samarinda tanggal 19 April 1990

Nomor : 03/Pid.S/1990/PT. KT. Smda, dan Putusan Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 20 Januari 1990 Nomor : 16/Pid.S/1990/PN.Smda.

• Menyatakan terdakwa SG tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan kesatu, dakwaan kedua primair, subsidair, lebih subsidair.

• Membebaskan terdakwa oleh karena dari segala dakwaan tersebut. • Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

martabatnya. • Memerintahkan barang-barang bukti berupa :

Page 113: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

113  

a. Kutipan Akte Perkawinan no 29/1989 beserta copyan untuk isteri diserahkan kepada saksi LS.

b. KTP. a.n SG di serahkan kepada SG. c. Foto Copy surat keterangan menyatakan belum pernah kawin No.

474.2/31/1005-A a.n LS. d. Foto copy surat kenal lahir a.n LS. e. Foto Copy pengumunan dari catatan sipil Kodya Samarinda a.n SG dan

LS tetap dilampirkan dalam berkas perkara. f. Membebaskan biaya perkara dalam semua tingkt peradilan Kepada

Negara.

Menurut analisa penulis serta dari hasil penelitian mengenai kasus ini yang

mana Sony Gozal yang berprofesi sebagai dokter, awalnya menikah dengan

Mirjati Manuaba yang berprofesi sama dengan Sony Gozal yaitu Dokter. Para

pihak melaksanakan perkawinannya di Ujung Pandang tanpa dilakukan Upacara

Agama terlebih dahulu namun telah dicatatkan pada kantor catatan sipil setempat.

Suatu ketika saudara Sony Gozal pindah tugas ke kota Samarinda. Di kota

Samarinda saudara Sony Gozal menikahi saudari Lusiana Madau, namun

pernikahan yang kedua ini tidak dilaksanakan Upacara keagamaan, sama halnya

dengan perkawinannya yang pertama perkawinannya hanya dilakukan di catatan

Sipil. Saudara Sony Gozal terbukti bersalah karena telah melakukan perkawinan

kedua padahal mengetahui bahwa terdakwa mempunyai penghalang yang sah

untuk melakukan perkawinan lagi.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa saudara Sony Gozal

dinyatakan bersalah karena telah melakukan perkawinan kembali meskipun belum

pernah dilakukan upacara perkawinan tetapi sudah memiliki akta perkawinan.

Akta perkawinan tetap sah, meskipun belum dilaksanakannya upacara perkawinan

serta diketahui bahwa terdapat suatu penghalang yang sah.

Page 114: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

114   Menurut keterangan terdakwa Sony Gozal diketahui bahwa terdakwa

melanggar Pasal 279 ayat (1) KUHP dan terdakwa Sony Gozal terbukti bersalah

karena telah memberikan suatu keterangan palsu mencantumkan keterangan

bahwa diri terdakwa belum pernah kawin (bujang). Berdasarkan keterangan

terdakwa Sony Gozal tersebut Pegawai Pencatatan Sipil telah mencatatkan

perkawinan terdakwa dengan saudari Lusiana dalam akte perkawinan yang telah

dijelaskan diatas dengan keterangan tersebut terdakwa melanggar Pasal 263 ayat

(1) KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP dan Putusan Pengadilan Tinggi

memperkuat putusan Pengadilan Negeri Samarinda tersebut.

Dalam Putusan Mahkamah Agung, majelis melihat sisi formal dari

perkawinan-perkawinan terdakwa. Pertimbangannya adalah pada ketentuan Pasal

2 ayat (1) UU Perkawinan yang mana dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan. Penjelasannya dengan perumusan Pasal 2 ayat (1)

UU Perkawinan, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Perkawinan yang dilakukan baik dengan istri Pertama maupun dengan istri

kedua, walaupun sudah terdaftar di kantor Catatan Sipil, namun tetap saja belum

pernah dilakukan upacara perkawinan menurut agama yang dianut. Dengan dasar

ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disimpulkan bahwa perkawinan-

perkawinan yang dilakukan oleh Sony Gozal baik dengan saudari Mirjati Manuba

maupun saudari Lusiana tidak ada perkawinan yang sah.

Page 115: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

115   Alasan atau argumentasi catatan sipil mencatatkan perkawinan terdakwa

Sony Gozal dengan saudari Lusiana, pada saat pegawai pencatatan meminta

keterangan pelengkap persyaratan perkawinan terdakwa mencantumkan

keterangan bahwa diri terdakwa belum pernah kawin. Pegawai pencatat

mengumumkan perkawinan pada papan pengumuman di kantor catatan sipil

diketahui bahwa tidak ada yang merasa keberatan atas perkawinan terdakwa Sony

Gozal dengan saudari Lusiana.

Atas keterangan yang disampaikan oleh keduanya (Sony Gozal dan

Lusiana), maka pegawai pencatat mencatatakan perkawinan keduanya dan

menerbitkan akta perkawinan yang sah. Namun pegawai pencatatan lalai dalam

mencatatkan perkawinan yang belum didahului dengan hukum agama yang dianut

masing-masing pihak, hal ini berakibat buruk terhadap perkawinan para pihak.

Dalam kasus ini yang mana pegawai pencatat mencatatkan perkawinan

tidak sesuai dengan prosedur pencatatan yang mana tidak ada surat mengenai

perkawinan yang telah dilaksanakan upacara agama. Catatan sipil hanya

mencatatkan perkawinan terdakwa dengan saudari Lusiana sesuai dengan

keterangan yang di terima atau disampaikan oleh keduanya serta alasan catatan

sipil pada saat mengumumkan perkawinan pada papan pengumuman tidak ada

yang keberatan atas perkawinan tersebut.

Akibatnya perkawinan tersebut yang tidak sesuai dengan prosedur serta

syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan atau tidak

sah (Pasal 22 UU Perkawinan) dan mengenai akta perkawinan yang telah

Page 116: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

116  diterbitkan oleh kantor catatan sipil batal demi hukum karena tidak memenuhinya

syarat objektif.

Page 117: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

BAB IV

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN

YANG PERKAWINANNYA DIBATALKAN

4.1. Hak dan Kewajiban sebagai suami istri yang timbul karena perkawinan

serta hak dan kewajiban kepada anak

Dalam UU Perkawinan pasal 1 menjelaskan bahwa “perkawinan ikatan

lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia Dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU

Perkawinan menjelaskan bahwa sahnya suatu perkawinan menurut hukum

agamanya yang dianut serta dicatatkan pada kantor catatan sipil agar mendapatkan

suatu kepastian hukum atau perlindungan hukum dalam suatu perkawian yang

telah dilaksanakan.

Suatu perkawinan telah dilakukan secara sah maka dengan sendirinya akan

menimbulkan hak dan kewajiban antara suami-istri, orangtua ke anak. Dalam

Pasal 30-34 UU Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri.

Pasal 30 UU Perkawinan menjelaskan mengenai suami dan istri memikul

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar

dari susunan masyarakat.

Pasal 34 UU Perkawinan menjelaskan bahwa suami wajib melindungi

istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai

dengan kemampuannya dan dalam ayat (3)-nya jika suami dan istri melalaikan

kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

117  

Page 118: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

118  Bilamana syarat sahnya suatu perkawinan tidak dilaksanakan secara benar adanya,

tidak dilakukan sesuai hukum agama namun dicatatkan pada kantor catatan sipil,

hal ini sangat merugikan salah satu pihak maupun keduanya.

Suatu perkawinan yang hanya dilaksanakan pencatatan saja, perkawinan itu

tidak sah, karena suatu perkawinan bersifat sakral, jadi diharuskan melakukan

pencatatan seperti yang dikatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Jika

suatu perkawinan tidak dilakukan sesuai syarat sahnya perkawinan maka

Perkawinan tersebut tidak dapat perlindungan hukum.

Penjelasan di atas yang sangat sering terjadi di masyarakat banyak hal-hal

yang sering bertolak belakang dengan suatu peraturan perundang-undangan yang

telah mengatur setiap warga negaranya termasuk dalam hal perkawinan. Maka

dari itu perlunya sosialisasi kepada masyarakat agar mendapat suatu perlindungan

hukum.

Berkaitan dengan pokok kasus ini yang mana terdakwa Sony Gozal yang

melaksanakan perkawinannya tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU

Perkawinannya. Perkawinannya hanya dicatatkan pada kantor catatan sipil dan

suatu saat ia kawin lagi dengan wanita lain, Menurut hemat penulis terhadap kasus

ini seorang pria yang ingin melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dengan

wanita lain, maka harus dengan izin dari istri pertamanya dan diketahui bahwa

istri tidak dapat menjalankan kewajibannya (Pasal 4 ayat (1) dan (2)).

Terhadap kasus ini Dalam hal ini suami tidak memenuhi kewajibannya yang

dijelaskan pada Pasal 34 UU perkawinan, menurut keterangan yang diberikan oleh

bapak Murtafi’in seorang suami harus melindungi keluarganya termasuk istri,

Page 119: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

119  karena suatu perkawinan itu bersifat sakral, sebelum melakukan perkawinan

suami sudah berjanji kepada Tuhan bukan lagi berjanji dengan manusia yang

kapan saja bisa di ingkari, jadi kewajiban suami maupun istri sama-sama untuk

menjaga keutuhan rumah tangganya. (Wawancara dengan bapak Murtafi’in,

Kepala Kantor Urusan Agama di Balikpapan selatan tanggal 25 September 2013

pukul 14.00 Wita).

Pria dan wanita melakukan perkawinan mempunyai tujuan yang sangat

diharapkan oleh keduanya yaitu keturunan. Dalam UU Perkawinan mengatur

mengenai hak dan kewajiban orangtua terhadap anak dalam Pasal 45 sampai

dengan Pasal 49, dalam Pasal 45 ayat (1) menyatakan kedua orang tua wajib

memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, ayat (2) kewajiban

orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin

atau dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus meskipun perkawinan antara

kedua orangtuanya putus.

Dalam UU Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban orangtua

dan hak dan kewajiban anak terhadap orangtuanya. Anak adalah seseorang yang

tercipta karena adanya cinta dari kedua orangtuanya, sudah selayaknya orangtua

memperhatikan tumbuh kembang anak mereka dan masa depan anak-anak yang

lahir dari perkawinan tersebut.

Seorang anak yang dilahirkan harus mendapatkan akta kelahiran yang

menandakan jati dirinya. Namun untuk mendapatkan akta kelahiran pegawai

pencatatan sipil meminta akta perkawinan dari kedua orangtuanya tujuannya

Page 120: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

120  

                                                           

untuk melihat apakah perkawinan yang telah dilakukan sah menurut hukum dan

agamanya.

Jika perkawinan kedua orang tuanya tidak sah, tidak dilaksanakannya

sesuai agamanya yang dianut maupun tidak dicatatkan. Dampaknya akan ke anak

yang lahir dari perkawinan tersebut, anak tersebut sudah tidak mendapatkan

haknya untuk mendapatkan akta kelahiran, meskipun anak tetap bisa mendapatkan

akta kelahirannya namun hanya nama ibu.

Akta kelahiran anak yang hanya mencantumkan nama ibu saja, berdampak

negatif ke anak. Oleh karena itu suatu perkawinan yang sah didahulukan secara

agama lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil, maka pentingnya suatu pencatatan

dan agamanya sesuai dengan UU Perkawinanmengatur mengenai syarat sahnya

perkawinan (Pasal 2 ayat (1) dan (2)).

4.2. Perkawinan yang telah berlangsung dan dinyatakan dibatalkan

Hakim dapat melakukan pembatalan untuk perkawinan, namun harus ada

persetujuan dari kedua belah pihak. Suatu perkawinan jika tidak memenuhi syarat-

syarat sahnya yang diharuskan oleh UU Perkawinan maka perkawinan itu

dibatalkan namun jika sudah diajukan gugatan pembatalan dimuka hakim oleh

kedua belah pihak, keluarga garis keturunan lurus ke atas (Pasal 23 UU

Perkawinan).129

Pembatalan perkawinan dengan pencegahan perkawinan terkadang sama,

namun kedua upaya hukum tersebut berbeda pengertiannya yang mana dalam

pencegahan perkawinan yaitu sebelum terjadinya suatu perkawinan berlangsung  

129www.jurnalhukum.com diakses pada tanggal 6 October 2013 pukul 20.40 Wita.

Page 121: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

121  

                                                           

sedangkan untuk pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan

berlangsung, suatu pembatalan perkawinan biasanya terjadi suatu perkawinan

dengan anak yang dibawah umur, seperti contonya perkawinan yang dilakukan

syehfuzi dengan anak di bawah umur perkawinan yang dilaksanakan dibatalkan

karena tidak memenuhi syarat umur atau syarat subyektif.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan keputusan mengenai batalnya

perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap :130

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

2. Suami dan istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta

bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan

lain yang lebih dahulu

3. Pihak ketiga yang memperoleh hak dengan itikad baik sebelum keputusan

tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap

Menurut UU Perkawinan, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 28 UU Perkawinan,

sedangkan hal untuk mengajukan pembatalan perkawinan diatur didalam Pasal 23

UU Perkawinan:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.

b. Suami dan istri.

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan

  130Ibid.

Page 122: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

122  

d. Pejabat yang ditunjuk menurut Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan ini dan

setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24 ditegaskan bahwa “barang siapa karena perkawinan masih terikat

dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya

perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak

mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan”. Di dalam

Pasal 25 mengatur mengenai tempat diajukannya permohonan pembatalan

perkawinan ini, permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan

dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal

kedua suami istri, suami atau istri.

Dalam Pasal 26 UU Perkawinan dijelaskan bahwa pembatalan perkawinan

juga dapat dilakukan oleh wali nikahnya yang mana dalam pasal 26 menjelaskan :

1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan

yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan

tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh

para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami istri, jaksa

dan suami atau istri.

2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam

ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami

istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai

pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus

diperbaharui supaya sah.

Page 123: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

123   Tetapi jika suatu perkawinan yang sudah mencapai lebih dari 6 bulan maka

suatu pembatalan tidak dapat dilakukan mengingat Pasal 26 dan Pasal 27 UU

Perkawinan, menyatakan bahwa jika lebih dari jangka waktu 6 bulan untuk

mengajukan permohonan pembatalan para pihak tidak mengajukan gugatan

pembatan maka hak untuk mengajukan gugatan gugur.

Dalam hukum Islam prosedur pembatalan perkawinan dapat dimohonkan

kepada Pengadilan Agama diwilayah hukum tempat tinggal suami atau isteri atau

tempat perkawinan dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan

Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat

berlangsungnya perkawinan ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 UU Perkawinan

ayat (1) dan (2), pembatalan suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-

anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Menurut penjelasan dari bapak Mutafi’in kepala KUA kota Balikpapan

selatan, pernah terjadi kasus yang mana hampir sama dengan permasalahan ini.

Permasalahan yang di ceritakan oleh bapak Mutafi’in ini mengenai perkawinan

yang dibatalkan, perkawinan yang dilakukan oleh si A yang telah menikah secara

sah agama dan Negara dengan si B. Suatu ketika si A pindah ke Balikpapan dan

berbekal dengan KTP beridentitaskan palsu. Dalam statusnya si A masih bujang si

A menyadari bahwa dirinya telah menikah dan memiliki anak dengan perkawinan

pertamanya dengan si B. Setelah si A pindah ke Balikpapan dengan berbekal

identitas palsu di KTP maka si A menikahi si C (wanita yang bertemu di

Balikpapan) sebelum melakukan pernikahan secara sah, si A dan si C melaporkan

niatnya untuk melakukan perkawinan di KUA Balikpapan.

Page 124: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

124   Pegawai KUA serta Kepala KUA-nya sendiri sebelum mencatatkan

perkawinan, pegawai kua dengan kepala KUA meminta mengenai status

perkawinan sebelumnya. Para pihak menjawab bahwa benar tidak terdapat

penghalang atau dengan kata lain para pihak benar-benar masih bujang dan lajang

sesuai dengan identitas para pihak dan KUA setempay melakukan pencatatan

perkawinan.

Setelah mereka melakukan perkawinan yang sah ternyata suatu ketika si C

mendapati bukti bahwa si A pernah menikah dengan si B. Karena alasan tersebut

inilah si C menggugat si A dan ingin membatalkan perkawinan, tetapi gugatan si

C di tolak oleh pengadilan agama dan kasusnya sampai sekarang masih bergulir.

Menurut keterangan bapak Mutafi’in bahwa tidak seharusnya si C mengajukan

gugatan pembatalan perkawinan dikarenakan akan merugikan dirinya sendiri,

karena di mata tuhan ia bukan lagi sebagai lajang yang belum pernah menikah.

Kelak jika permohonan pembatalannya di putuskan oleh pengadilan dan di setujui

maka akan merugikan dirinya sendiri nantinya, Sebaikanya si wanita meminta

cerai saja dari pada permohonan pembatalan kawin. (Wawancara dengan bapak

Murtafi’in, Kepala KUA Balikpapan Selatan, pada tanggal 25 September 2013,

pukul 14.00 Wita).

4.3. Pelaksanaan Perlindungan Hukum kepada perempuan yang

perkawinannya dinyatakan tidak sah

Apa jadinya jika manusia tidak ada yang menikah, generasi akan punah dan

bumi ini akan sepi, sehingga sungguh hal mulia ketika manusia memutuskan

untuk kawin tujuanya membangun rumah tangga, memiliki keturunan. Suatu

Page 125: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

125  perkawinan yang telah berlangsung antara suami dan istri haruslah didasari oleh

cinta dan kasih.

Perkawinan adalah sebuah kesepakatan yang dibuat antar kedua belah pihak.

Kedua belah pihak dengan Tuhan serta kedua belah pihak untuk masing-masing

keluarga dan perjanjian antar kedua belah pihak dengan keturunannya kelak.

Suatu perkawinan mempunyai syarat sahnya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)

dan (2) serta dalam Bab II tentang syarat-syarat perkawinan dalam UU

Perkawinan.

Dalam UU Perkawinan, mengatur mengenai perkawinan itu terjadi

kesepakatan antara kedua belah pihak. Mengenai umur juga diatur dalam UU

Perkawinan untuk anak umur dibawah 21 tahun harus memiliki izin dari kedua

orang tuanya, sesuai dengan Pasal 7 UU Perkawinan menyatakan izin diberikan

jika pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.

Perkawinan harus didahului hukum agama masing-masing karena hukum

agamalah yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Setelah melakukan

perkawinan dengan hukum agama, kedua mempelai di minta untuk mencatatkan

pada kantor catatan sipil, gunanya mencatatkan perkawinan yang dilakukan secara

administrasi agar kedua mempelai sama-sama memiliki perlindungan hukum

terutama untuk wanita dan anak-anaknya tersebut.

Tujuan perkawinan semuanya adalah untuk membina keluarga yang

sejahtera dan bahagia. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan pada asasnya dalam

suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan begitu

pula sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun

Page 126: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

126  dalam ayat (2)-nya UU Perkawinan mengatur mengenai seorang pria dapat

memiliki lebih dari seorang istri, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan dan telah mendapatkan penetapan dari pengadilan.

Mengenai suatu perlindungan hukum sangat diperlukan oleh setiap

masyarakat atau subyek hukum. Semua masyarakat memerlukan suatu

perlindungan baik pria, wanita maupun anak-anak, karena dimata hukum semua

sama adanya tidak ada yang diistimewakan namun dalam hal ini perlindungan

hukum sangat diperlukan oleh perempuan yang mana perkawinan yang telah ia

lakukan dibatalkan.

Dalam pokok pembahasan ini yang mana telah terjadi perkawinan yang

dilakukan oleh dua orang pasangan laki-laki dengan wanita. Perkawinan yang

mereka lakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mana

perkawinan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka

anut berdua.

Perkawinan tersebut langsung dicatatkan pada kantor catatan sipil di

wilayah tempat tinggal, suatu ketika terdakwa Sony Gozal pindah ke kota

Samarinda dengan berbekal KTP identitas palsu yang mana dalam statusnya

dijelaskan bahwa ia bujangan. Suatu ketika terdakwa Sony Gozal menikah dengan

saudari Lusiana wanita lain di kota Samarinda.

Terdakwa Sony Gozal menyadari bahwa terdapat penghalang yang sah

untuk melakukan perkawinan kedua kalinya. Tetapi terdakwa Sony Gozal tetap

menjalankan niatnya untuk melakukan perkawinan kembali dengan saudari

Page 127: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

127  Lusiana di kantor catatan sipil Samarinda. Pegawai pencatat menjalankan

tugasnya untuk mencatatkan perkawinan Sony Gozal dengan Lusiana.

Alasan pegawai pencatat melakukan pencatatan perkawinan Sony Gozal

dengan Lusiana karena pada KTP keduanya berstatus bujangan dan pada saat

pengumuman berita perkawinan tidak ada yang keberatan atas perkawinan

tersebut maka pegawai pencatat mencatat perkawinan berdua. Setelah beberapa

bulan barulah istri pertama dari terdakwa Sony Gozal tersebut mengetahui berita

bahwa suaminya telah melakukan perkawinan untuk kedua kalinya tanpa adanya

izin atau pemberitahuan terdahulu, maka istri pertamanya melaporkan kepada

polres setempat dan kasus tersebut sampai pada tingkat kasasi.

Pada pembahasan mengenai sahnya perkawinan harus dilaksanakan

menurut ajaran agama lalu dicatatkan. Jika perkawinan tersebut tidak dilakukan

sesuai dengan agama maka perkawinan di mata Tuhan tidak ada meskipun sesuai

administrasi atau menurut hukum perkawinan tersebut sudah dicatatkan namun

pencatatan tersebut tetap tidak sah karena tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU

Perkawinan.

Suatu perkawinan jika tidak sesuai dengan syarat sahnya perkawinan maka

perkawinan tersebut batal, menurut penjelasan dari ibu Mulyana status mengenai

istri-istri dari Sony Gozal dikembalikan seperti semula. (Wawancara dengan ibu

Mulyana Kasi. Perkawinan dan Perceraian pada kantor catatan sipil Balikpapan,

tanggal 25 September 2013, pukul 10.00 Wita). Namun menurut penulis untuk

suatu status memang bisa perbaiki apalagi hanya mengenai status di KTP, namun

Page 128: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

128  bagaimana dengan status pribadinya mereka masing-masing yang mana mereka

sudah tidak lagi lajang.

Upaya perlindungan Hukum yang dapat diterima oleh pihak perempuan,

para pihak yang dirugikan dalam perkawinan ini dapat mengajukan tuntutan. Baik

kepada Sony Gozal maupun catatan sipil, karena dengan catatan sipil menerbitkan

akte perkawinan tersebut, maka dianggap sudah ada perkawinan yang sah sebab

sudah ada bukti perkawinannya.

Catatan sipil telah melanggar ketentuan UU Perkawinan, padahal catatan

sipil mengetahui belum terjadi perkawinan secara agama hal ini yang

menimbulkan suatu permasalahan yang mana akibat dari kelalaian merugikan

pihak lain. Maka dari itu catatan sipil dapat dituntut ganti rugi secara materiil dan

imateriil dan mengembalikan nama baik kedua korban.

Page 129: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari penjelasan atas permasalahan yang telah diuraikan diatas maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Suatu perkawinan dilakukan harus menurut hukum agamanya masing-

masing dan lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil, sebagaimana diatur

pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan. Pada kenyataannya

agamalah yang mempunyai peranan penting untuk membuktikan sah atau

tidaknya suatu perkawinan, dikarenakan agama mempunyai kekuatan

yang sakral yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan

Tuhan Yang Maha Esa, setelah sah menurut hukum agamanya barulah

dicatatkan pada kantor catatan sipil. Akibat jika suatu perkawinan tidak

dilakukan secara agama maka dianggap kumpul kebo, meskipun sudah

mencatatkan perkawinan. Akibat hukum suatu perkawinan yang tidak

dilaksanakan menurut agamanya dan hanya dicatatkan maka

perkawinannya tersebut tidak sah.

2. Perlindungan hukum untuk perempuan yang perkawinannya batal, pihak

perempuan dapat mengajukan gugatan, baik kepada suaminya maupun

catatan sipil, karena dengan diterbitkan akta perkawinan ini maka

perkawinan dianggap sudah ada dan catatan sipil telah melanggar

ketentuan UU Perkawinan. Padahal catatan sipil mengetahui belum

terjadi perkawinan secara agama maka dari itu catatan sipil dapat dituntut

129  

Page 130: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

130  

ganti rugi secara materiil dan imateriil dan mengembalikan nama baik

korban.

B. Saran

Saran-saran yang dapat disampaikan dari uraian pembahasan mengenai

perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil tanpa melakukan upacara

keagamaan di kalimatan timur adalah sebagai berikut ini :

1. Bagi pemerintah

Undang-undang Perkawinan harus secara tegas dalam suatu penerapan

sahnya perkawinan, sehingga tidak terjadi kesimpang siuran untuk

menetapkan sah atau tidaknya suatu perkawinan serta pemerintah

diharapkan dapat melindungi setiap permasalahan yang timbul akibat

suatu perkawinan.

2. Bagi Catatan Sipil

Agar segera memperbaiki diri supaya kejadian seperti ini tidak akan

terulang kembali dan untuk suatu pencatatan yang diajukan oleh pihak

yang terkait agar catatan sipil benar-benar mengetahui mengenai status

pihak tersebut. Catatan sipil menjalankan tugasnya harus sesuai dengan

peraturan yang telah ditetapkan dan tidak melenceng dari peraturan

tersebut, contohnya jika suatu saat ada ditemukan pasangan yang akan

kawin, namun tidak didahului dengan pemberkatan atau upacara

keagamaan maka capil dapat menolak pencatatannya alasannya belum

sesuai dengan UU Perkawinan yang mengharuskan suatu perkawinan

dilaksanakan terlebih dahulu secara hukum agamanya mereka anut.

Page 131: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

131  

Untuk catatan sipil juga agar tidak sembarangan dalam mencatatkan suatu

perkawinan karena dapat merugikan sekali bagi salah satu pihak.

3. Bagi masyarakat

Saran penulis untuk masyarakat khususnya perempuan agar lebih cermat

dalam memilih pasangan hidupnya jangan asal memilih saja agar tidak

rugi dikemudian hari dan untuk perempuan harus benar-benar mengetahui

mengenai suatu syarat sahnya perkawinan tersebut agar tidak tersesat atas

suatu peristiwa yang akan merugikan dirinya sendiri dan masyarakat di

minta untuk mentaati UU Perkawinan sehingga tidak ada keraguan untuk

menetapkan sah atau tidaknya perkawinan.

Page 132: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Buku – Buku

Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung.

Adji, Seno Oemar, 1985, Peradilan bebas Negara hukum, Erlangga, Jakarta.

Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta.

Artadi, I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi

Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar. Bioy, J, Duncan, 1995, Family law, Head of department of law and finance

University of Glamorgan. Budiono, Herlien, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Crano, D. William and Brewer and Marilyn B, 2002, Principles And Methodes Of

Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Pulishers, Mahwah, New Jersey

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia), Gramedia pustaka Utama, Jakarta.

Dijk, Van, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

Dirdjosisworo, Soedjono, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keenam, Jakarta.

Erwin, Muhamad, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, PT. Raja Garfindo Persada.

Fuady, Munir, 2003, Aliran Hukum Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 1, Bandung.

Gautama, Sudargo, 1973, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan campuran, Penerbit Alumni, Bandung.

Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut perundangan hukum adat dan hukum agama, CV. Mandar Maju, Bandung.

132  

Page 133: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

133  Hamid, Zuhri, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang

Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, ttp:Bina Cipta.

Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Timtamas Indonesia, Jakarta.

Kolkman, D, Wilbert, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Pustaka Larasan, Denpasar.

Korkunov, N.M, 1922, General Theory of Law, English Translation by W.G. Hastings, Dean of the law Faculty, University of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company

Kusumaatmadja, Mochtar, 1970, Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan Nasional, Majalah Pajajaran, Bandung.

Lebacqz, Karen, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Bandung, Nusa Media.

Moleong, J, Lexy, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Muhamad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Undonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Narbuko Cholid dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta.

Notohamidjojo, O, 1970, Makna Negara Hukum, Jakarta, BPK

Panggabean, Pendapotan Henry, 2012, Peranan Mahkamah Agung melalui putusan-putusan Hukum Perikatan, PT. Alumni, Bandung.

Prawirohamidjojo, Soetojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Bandung.

Pudja, Gde, 1984, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta.

Prins, J, 1982, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.

Ramulyo, Idris, 1984, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind.Hill Co, Jakarta.

Rodgers, ME, 2004, Understanding Family Law, Cavendish Publishing Limited, London.

Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Shantika Dharma, cetakan pertama, Bandung.

Page 134: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

134  Saleh, K. Wantjik, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta

Timur.

Setiady, Tolib, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Penerbit Alfabeta, Bandung

Soebadio, Ulfah Maria, 1981, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang Perkawinan, Idayu, Jakarta.

Soekanto Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung

______, 2011, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soepomo, 1993, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta

Soerjono, 1982, Perkawinan Yang Bahagia, edisi ke 8, Yakin, Surabaya

Soewondo, Nani, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Subekti, 2002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT.Intermasa.

Sudantra, I Ketut, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar.

Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta

Sundoro, Sejarah umum, jilid 1, PT. Pembangunan Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Syahuri, Taufiqurrohman, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, pro-kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Tjokrowisastro, Soedjito, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Wignjodipoere, Soerjono, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Welstead, Mary dan Susan Edwards, 2006, Family Law, oxford university Press, New York.

Verkuly, J, 1984, Etika Kristen (seksuil), Gunung Mulia, Cetakan ke 8, Jakarta.

Wignjodipoero, Soerojo, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.

Page 135: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

135  Yaswirman, 2013, Hukum keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin islam Dan

Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Yunus, H. Mahmud, 1981, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hildakarya Agung, Cetakan ke 9, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Undang-undang No 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah Talak dan Rujuk (LN. 1954 No 98)

Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).

C. Artikel dan Jurnal

Pentingnya pencatatan perkawinan menurut UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan oleh Wahyu Ernaningsih, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Di unggah pada tanggal 27 September 2013

D. Internet

Id.m.wikipedia.org/wiki/upacara_pernikahan, diakses pada tanggal 26 Mei 2013 pukul 16.46 Wita

http: //www.artikata.com/artiperlindungan.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2013

pukul 22.30WITA http:// www.id.m.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur diakses pada tanggal 21

September 2013 pukul 16.30 Wita http://kaltim.bps.go.id diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 18.30 Wita

http://id.m.wikipedia.org/wiki/kota_samarinda diakses pada tanggal 21 september 2013 pada pukul 20.30 wita

www.Tempo.com diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 15.00 Wita.

Balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 september 2013 pukul 15.06 Wita

Balikpapan:Kaltimpost.co.id diakses pada tanggal 22 September 2013 pada pukul 25.10 Wita

Page 136: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan

    

136  Balikpapan Post, www.balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 September

2013 pada pukul 15.45 Wita http://www.casip.bandungkab.go.id/akta-perkawinan, diakses pada tanggal 21

Agustus 2013 pukul 15.01 Wita http://id.wikipedia.org. diakses pada tanggal 20 agustus 2013 pukul 11.33 WITA  www.jurnalhukum.com diakses pada tanggal 6 October 2013 pukul 20.40 Wita

E. DATA INFORMAN

1. Nama : Isnaniah

Jabatan : Panitra Muda Hukum, Pengadilan Negeri Samarinda.

Pendidikan : Sarjana Hukum

Tempat/ Tanggal Lahir : Samarinda, 28 April 1967

Alamat : Jalan Kapt.Tendean nomor 10 Samarinda

2. Nama : Mulyana

Jabatan : Kasi. Perkawinan dan perceraian Catatan sipil

Balikpapan

Pendidikan : Sarjana Hukum

Tempat/ Tanggal Lahir : Pontianak, 10 Agustus 1974

Alamat : Pondok Karya Agung Blok AA 16

Balikpapan Selatan

3. Nama : Murtafi’in

Jabatan : Kepala KUA Balikpapan Selatan

Pendidikan : Sarjana Agama

Tempat/tanggal Lahir : Gorontalo, 18 Januari 1963

Alamat : Jalan Milono nomor 28, Balikpapan