bab i manajemen farmasi

27
BAB I PENDAHULUAN Dalam Manajemen Farmasi dikenal beberapa aspek penting yakni, Perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain—pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan—tak akan dapat berjalan. Rencana dapat berupa rencana informal atau rencana formal. Rencana informal adalah rencana yang tidak tertulis dan bukan merupakan tujuan bersama anggota suatu organisasi. Sedangkan rencana formal adalah rencana tertulis yang harus dilaksanakan suatu organisasi dalam jangka waktu tertentu. Rencana formal merupakan rencana bersama anggota korporasi, artinya, setiap anggota harus mengetahui dan menjalankan rencana itu. Rencana formal dibuat untuk mengurangi ambiguitas dan menciptakan kesepahaman tentang apa yang harus dilakukan. Sasaran adalah hal yang ingin dicapai oleh individu, grup, atau seluruh 1

Upload: iro-marquizha

Post on 07-Dec-2015

71 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

MANAJEMEN FARMASI

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I MANAJEMEN FARMASI

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam Manajemen Farmasi dikenal beberapa aspek penting yakni,

Perencanaan adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat strategi

untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi.

Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena

tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain—pengorganisasian, pengarahan, dan

pengontrolan—tak akan dapat berjalan. Rencana dapat berupa rencana informal

atau rencana formal. Rencana informal adalah rencana yang tidak tertulis dan bukan

merupakan tujuan bersama anggota suatu organisasi. Sedangkan rencana formal

adalah rencana tertulis yang harus dilaksanakan suatu organisasi dalam jangka

waktu tertentu. Rencana formal merupakan rencana bersama anggota korporasi,

artinya, setiap anggota harus mengetahui dan menjalankan rencana itu. Rencana

formal dibuat untuk mengurangi ambiguitas dan menciptakan kesepahaman tentang

apa yang harus dilakukan. Sasaran adalah hal yang ingin dicapai oleh individu, grup,

atau seluruh organisasi. Sasaran sering pula disebut tujuan. Sasaran memandu

manajemen membuat keputusan dan membuat kriteria untuk mengukur suatu

pekerjaan.

Sasaran dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sasaran yang dinyatakan

(stated goals) dan sasaran riil. Stated goals adalah sasaran yang dinyatakan

organisasi kepada masyarakat luas. Sasaran seperti ini dapat dilihat di piagam

perusahaan, laporan tahunan, pengumuman humas, atau pernyataan publik yang

1

Page 2: BAB I MANAJEMEN FARMASI

dibuat oleh manajemen. Seringkali stated goals ini bertentangan dengan kenyataan

yang ada dan dibuat hanya untuk memenuhi tuntutan stakeholder. Sedangkan

sasaran riil adalah sasaran yang benar-benar diinginkan.

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam

membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi

masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan

secara sendirisendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara

dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta

memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat.

Selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian dan praktek profesi

apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasiaan. Apotek adalah suatu tempat

tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan

farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

Definisi diatas ditetapkan berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI No.

1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek

pasal 1 ayat (a).

2

Page 3: BAB I MANAJEMEN FARMASI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran

suatu produk karena harga adalah satu dari empat bauran pemasaran / marketing

mix (4P = product, price, place, promotion / produk, harga, distribusi, promosi).

Harga adalah suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan

dalam satuan moneter.

Harga merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu perusahaan karena

harga menentukan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh perusahaan

dari penjualan produknya baik berupa barang maupun jasa.

Menetapkan harga terlalu tinggi akan menyebabkan penjualan akan menurun,

namun jika harga terlalu rendah akan mengurangi keuntungan yang dapat

diperoleh organisasi perusahaan.

B. Tujuan Penetapan Harga

1. Mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya

Dengan menetapkan harga yang kompetitif maka perusahaan akan

mendulang untung yang optimal.

2. Mempertahankan perusahaan

Dari marjin keuntungan yang didapat perusahaan akan digunakan untuk biaya

operasional perusahaan. Contoh : untuk gaji/upah karyawan, untuk bayar

3

Page 4: BAB I MANAJEMEN FARMASI

tagihan listrik, tagihan air bawah tanah, pembelian bahan baku, biaya

transportasi, dan lain sebagainya.

3. Menggapai ROI (Return on Investment)

Perusahaan pasti menginginkan balik modal dari investasi yang ditanam pada

perusahaan sehingga penetapan harga yang tepat akan mempercepat

tercapainya modal kembali / roi.

4. Menguasai Pangsa Pasar

Dengan menetapkan harga rendah dibandingkan produk pesaing, dapat

mengalihkan perhatian konsumen dari produk kompetitor yang ada di

pasaran.

5. Mempertahankan status quo

Ketika perusahaan memiliki pasar tersendiri, maka perlu adanya pengaturan

harga yang tepat agar dapat tetap mempertahankan pangsa pasar yang ada.

C. Cara / Teknik / Metode Penetapan Harga Produk

1. Pendekatan Permintaan dan Penawaran (supply demand approach)

Dari tingkat permintaan dan penawaran yang ada ditentukan harga

keseimbangan (equilibrium price) dengan cara mencari harga yang mampu

dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga terbentuk

jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan.

4

Page 5: BAB I MANAJEMEN FARMASI

2. Pendekatan Biaya (cost oriented approach)

Menentukan harga dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan

produsen dengan tingkat keuntungan yang diinginkan baik dengan markup

pricing dan break even analysis.

3. Pendekatan Pasar (market approach)

Merumuskan harga untuk produk yang dipasarkan dengan cara menghitung

variabel-variabel yang mempengaruhi pasar dan harga seperti situasi dan

kondisi politik, persaingan, sosial budaya, dan lain-lain.

D. Penetapan harga dan pajak Obat di Apotik

1. Apotek Akan membeli Obat di Distributor

Apotek akan mengadakan obat-obatan dari Distributor Obat, PBF atau Sub

distributor Obat (Saya rangkum jadi Distributor saja).  Para Distributor ini

memiliki marketing/sales obat yang datang ke Apotek secara rutin dan

memberikan informasi mengenai Obat baru, Obat daluwarsa dan yang paling

penting nih *diskon* obat yang akan dibeli. Mereka mempunyai daftar harga

dan bersaing mendapatkan Apotek untuk menjual obat-obat yang dijual.

Biasanya sales obat memberikan pelayanan Ekstra misalkan : diskon,

entertainment, dll. Tapi yang penting Apotek bisa mendapatkan obat.

2. Bagaimana Mendapatkan Diskon

Biasanya pihak distributor dan Pabrik obat memberikan diskon tertentu

kepada Apotek karena mereka biasanya di kejar target penjualan. Nah

karena target penjualan ini biasanya ada di akhir bulan, maka untuk itu

5

Page 6: BAB I MANAJEMEN FARMASI

Apotek biasanya  kudu siap-siap setiap tanggal 25-30 untuk menyiapkan obat

apa yang harus kita beli.  Kalau mau membeli obat dengan jumlah besar

biasanya diskonnya juga besar, tapi apotek harus mempertimbangkan

bagaimana posisi keuangannya pada akhit bulan itu, kalau kebablasan beli

biasanya saat tagihan datang kita kudu minta sama sales untuk ditunda dulu

pembayarannya.

3. Mendapatkan Diskon

Jika beruntung distributor akan memberikan diskon sekitar 2,5% sampai 5 %,

biasanya kalau lebih dari itu jarang terjadi, meskipun demikian  beberapa

merek tertentu bisa diberikan dalam bentuk obat misalkan : Beli 10 bonus 1,.

Diskon ini biasanya dilihat juga bagaimana rutinitas Apotek membeli Obat,

karena kelangsungan pembelian obat juga berpengaruh pada pemberian

diskon.  Disamping itu jumlah obat dan lokasi apotek juga berpengaruh

dalam memberikan diskon obat.

4. Pemberian PPN 10%

Setiap obat yang dibeli di distributor akan dijual oleh apotek dengan kenaikan

10% karena PPN yang harus dibayar oleh Apotek. Nilai PPN ini cenderung

tetap dan standar terjadi di setiap apotek, meskipun demikian dapat juga

ditemukan apotek mencantumkan harga jual apotek minus PPN.

6

Page 7: BAB I MANAJEMEN FARMASI

5. Pemberian Harga Jual Apotek

Dari harga yang sudah ditambahkan PPN, maka Apotek akan menambah

harga jual sesuai dengan kebijakan apotek tersebut. Misalkan : 10% sampai

80%. Ini tergantung dari : Jenis Apotek, Daerah/lokasi Apotek, Jenis Obat dll.

Misalkan : Di kota metropolitan keuntungan apotek sangat kecil, berkisar 5%-

15%, namun untuk di daerah Kabupaten di Luar Jawa, keuntungan bisa

mencapai 40%-80%. Namun harus diperhatikan bahwa di kota metropolitan

jumlah pelanggan sangat besar jika dibandingkan daerah terpencil.

6. Pemberian Uang Resep/Jasa

Nilai uang resep ini sangat tergantung dari Apotek yang melayani, misalkan 1

buah resep akan diberikan jasa Rp.300 , maka harga obat akan ditamba

Rp.300. Uang ini biasanya di bagi untuk Apoteker dan Asisten Apoteker di

Apotek, karena mereka harus mempersiapkan obat dan harus menghitung

dosis dengan tepat. Selain itu Apoteker juga dituntut untuk memberikan

komunikasi,informasi dan edukasi.   Uang Jasa dokter juga kadang dilibatkan

juga dalam resep obat, ini tergantung dari dokternya karena tidak semua

dokter mau menerima uang jasa apotek karena harga obatnya biasanya jadi

mahal dan bikin dokter nggak laris.

Jadi obat yang dibeli dengan resep tentu sedikit lebih mahal jika

dibandingkan dengan obat yang dibeli tanpa resep. Oleh sebab itu  Harga

Jual Obat Di Apotek adalah =

[Harga Distributor]  + [PPN 10 %] + [Harga jual Apotek] + [Uang

Resep/Jasa dokter]

7

Page 8: BAB I MANAJEMEN FARMASI

E. Macam-macam pajak yang dikenakan pada Apotik

1. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21

Definisi PPh 21 dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK/2008

menyebutkan bahwa PPh 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk

apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang

dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.

Besarnya PPh 21 dihitung berdasarkan penghasilan netto dikurangi dengan

penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Penghasilan netto adalah penghasilan

setelah dikurangi tunjangan jabatan sebesar 5% dari jumlah penghasilan dan

maksimal Rp. 500.000,00 per bulan. Berdasarkan UU Pajak Penghasilan No.

36 tahun 2008 tentang perubahan keempat UU RI No.7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan pada pasal 7 menjelaskan tentang besarnya PTKP yaitu

seperti pada Tabel 1.

Tabel 1

2. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23

8

Page 9: BAB I MANAJEMEN FARMASI

PPh pasal 23 mengatur pajak bagi apotek yang berbentuk badan bisnis. yaitu

mengatur pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa deviden,

bunga royalti, sewa, hadiah, penghargaan, dan imbalan jasa tertentu.

Besarnya PPh 23 adalah deviden dikenai 15% dari keuntungan yang

dibagikan.

3. Pajak penghasilan (PPh) pasal 25

PPh pasal 25 adalah pembayaran pajak yang berupa cicilan tiap bulan

sebesar 1/12 dari pajak keuntungan bersih tahun sebelumnya, angsuran pajak

yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri dari pajak keuntungan bersih tahun

sebelumnya (dihitung berdasarkan neraca rugi-laba sehingga dapat diketahui

sisa hasil bisnis/SHU atau keuntungan). PPh pasal 25 ini dibayarkan dalam

bentuk SPT Masa dan SSP setiap bulan.

Tarif PPh orang pribadi atau badan berdasarkan UU RI. No 17 tahun 2000

yang kemudian diperbaharui dalam UU RI No. 36 tahun 2008 tentang pajak

penghasilan adalah sebagai berikut :

Pajak pribadi/perorangan

Perhitungan PPh pribadi ada 2 cara, yaitu dengan pembukuan membuat

neraca laba-rugi dan menggunakan norma jika omset kurang dari Rp.

4.800.000.000,00/tahun (menurut UU RI No.36 tahun 2008). Tarif pajak PPh

pribadi dapat dilihat pada Tabel 2.

9

Page 10: BAB I MANAJEMEN FARMASI

Tabel 2

Penghitungan berdasarkan norma dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Menurut wilayah:

10 ibukota provinsi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,

Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, Manado, dan Pontianak)

terkena pajak sebesar 30%; Ibukota provinsi lain terkena pajak sebesar

25%; Kabupaten lainnya terkena pajak sebesar 20%.

2) Menurut jenis usaha:

berdasarkan Dirjen Pajak, Apotek termasuk golongan pedagang eceran

barang-barang industri kimia, bahan bakar minyak dan pelumas, farmasi,

dan kosmetika.

PPh Badan

PPh Badan dilakukan dengan pembukuan (membuat neraca laba-rugi)

dihitung berdasarkan keuntungan bersih dikalikan tarif pajak. Perhitungan

tarif pajak PPh badan dapat dilihat pada Tabel VI. Menurut UU RI No. 36

tahun 2008 pasal 31E ayat (1), wajib pajak badan dalam negeri dengan

peredaran bruto s/d Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)

mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)

10

Page 11: BAB I MANAJEMEN FARMASI

yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto

sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta

rupiah).

4. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 28

Apabila jumlah pajak terutang lebih kecil daripada jumlah kredit pajak maka

setelah dilakukan 

pemeriksaan kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan PPh pasal

28.

5. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29

Apabila jumlah pajak terutang untuk 1 tahun pajak lebih besar dari jumlah

kredit maka harus dilunasi sesuai dengan PPh pasal 29.

6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN merupakan pajak tidak langsung dimana pajak terhutang dihitung atas

pertambahan nilai yang ada. Dalam metode ini, PPN dihitung dari selisih

pajak pengeluaran dan pajak pemasukan. Pajak pertambahan nilai

dikenakan pada saat pembelian obat dari PBF sebesar 10%. Setiap transaksi

PBF menyerahkan faktur pajak kepada apotek sebagai bukti bahwa apotek

telah membayar PPN.

7. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak atas tanah dan bangunan

apotek, besarnya pajak ditentukan oleh luas tanah dan bangunan apotek.

8. Pajak Reklame

11

Page 12: BAB I MANAJEMEN FARMASI

Pajak reklame adalah pajak yang dibebankan pada apotek yang memasang

reklame. Besar pajak reklame tergantung jenis papan reklame, ukuran,

jumlah iklan, dan wilayah pemasangan reklame. Bila iklan apotek < 25% dari

reklame pabrik, Apotek tidak dibebani membayar pajak reklame

(Sutantiningsih, 2005). Pajak ini dibayarkan satu tahun sekali.

9. Pajak Pertambahan Nilai Pedagang Eceran (PPN PE)

Pajak Pertambahan Nilai Pedagang Eceran (PPN PE) dibayarkan sebesar

2% dari omset jika Apotek merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan

penghasilan lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) perbulan

atau lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) pertahun. 

10. Pajak Barang Inventaris

Pajak barang inventaris dikenakan terhadap kendaraan bermotor milik

apotek.

12

Page 13: BAB I MANAJEMEN FARMASI

BAB III

PEMBAHASAN

Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin

melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya

sendiri guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh

sebab itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (komunikasi, informasi dan

edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka

peningkatan pengobatan sendiri. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang

dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas

terbatas (OBT) dan obat bebas (OB).

Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan

melakukan swamedikasi obat keras non OWA. Salah satu yang sering dijual adalah

obat-obatan antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik

merupakan obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun

13

Page 14: BAB I MANAJEMEN FARMASI

tanpa resep dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah jelas terlihat

tanda huruk K dalam lingkaran merah yang menandakkan itu merupakan obat keras

yang tidak boleh diperjualbelikan dengan bebas. Obat keras (dulu disebut obat

daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk

memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah

bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk

dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta

obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dan lain-

lain). Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya

bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.

Hal ini akan menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication

error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan

penggunaannya. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya

berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat

yang digunakan dalam swamedikasi tanpa memperhatikan untung semata.

Dilihat dari segi hukum, pemerintah sudah dengan jelas membuat berbagai

peraturan dimulai dari Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Pemerintah hingga

Undang-undang untuk mengatur penyerahan obat yang dapat diserahkan tanpa

resep. Peraturan Menteri Kesehatan No: 919/MENKES/PER/X/1993 tentang obat

yang dapat diserahkan tanpa resep. Dalam Peraturan tersebut jelas disebutkan

pada pasal 2, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep diantaranya; tidak

dikontraindikasikan penggunaanya pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun

14

Page 15: BAB I MANAJEMEN FARMASI

dan orang tua diatas 65 tahun, pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak

memberikan risiko pada kelanjutan penyakit, penggunaanya tidak memerlukan cara

dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, penggunaanya

diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di indonesia dan obat yang

dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan

untuk pengobatan sendiri.

Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah

juga menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan

membuat beberapa SK diantaranya: SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990

tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut

digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1.

Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan

obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari

daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada

keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan di atas

dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat

keras tanpa resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang diserahkan

merupakan obat keras yang termasuk dalam OWA.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang

pekerjaan kefarmasian merupakan undang-undang terbaru di dunia kefarmasian

yang mengatur pekerjaan kefarmasian yang dibenarkan oleh hukum. Tujuan

pemerintah membuat UU ini salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan

15

Page 16: BAB I MANAJEMEN FARMASI

kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan

farmasi dan jasa kefarmasian. Melihat apa yang terjadi di lapangan tentunya Apotek

telah lalai dalam menerapkan UU ini. Penyerahan obat keras tanpa resep seperti

halnya antibiotik tentunya telah melanggar aturan pemerintah dalam upaya

melindungi pasien dalam memperoleh sediaan kefarmasian.

Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan

obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter

sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan

seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter.

Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk

pelanggaran hukum PP 51 th 2009..

Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun

2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang No 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras

akan bertetangan dengan hukum diatas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek

yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya

swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek.

Lalu kenapa hal ini masih kerap terjadi?. Dalam UU kesehatan terbaru tahun

2009 disebutkan pemrintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan

mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran ssediaan farmasi.

Namun apakah semua itu salah pemrintah?. Sebagai masyarakat sudah hendaknya

16

Page 17: BAB I MANAJEMEN FARMASI

kita lebih cerdas dalam membeli dan menerima sesuatu. Kita hendaknya

mengetahui obat-obatan yang mana yang memang dapat dibeli dengan bebas di

Apotek dan mana yang tidak. Jika memang melanggar hukum, sudah seharusnya

kita melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwenang, misalnya ke BPOM.

Sehingga peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum sangat diperlukan.

Diperlukan landasan hukum yang kuat bagi apoteker dalam pelayanan

praktek swamedikasi, terutama dengan menggunakan obat G. Sebaiknya

apoteker jangan terjebak dengan prescribing dengan ketentuan swamedikasi,

atau OWA. Prescribing atau peresepan adalah kompetensi dokter. Kita hendak

menjungjung tinggi pemisahan pekerjaan kefarmasian dan kedokteran yang

telah dipraktekan oleh si Kembar Damian dan Cosmain, dan sejak raja

Frederick-Hanover di Jerman pekerjaan ini telah dipisahkan berdasarkan

ketentuan UU.

17

Page 18: BAB I MANAJEMEN FARMASI

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tujuan Penetapan Harga : Mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,

Mempertahankan perusahaan, Menggapai ROI (Return on Investment),

Menguasai Pangsa Pasar, dan Mempertahankan status quo.

2. Metode yang biasa digunakan dalam penetapan harga : Pendekatan

Permintaan dan Penawaran (supply demand approach), Pendekatan Biaya

(cost oriented approach), dan Pendekatan Pasar (market approach).

3. Macam-macam pajak yang dikenakan pada Apotik : Pajak Penghasilan (PPh)

pasal 21, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23, Pajak penghasilan (PPh) pasal

25, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 28, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29,

Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak

Reklame, Pajak Pertambahan Nilai Pedagang Eceran (PPN PE), dan Pajak

Barang Inventaris.

4. Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat

18

Page 19: BAB I MANAJEMEN FARMASI

menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas

resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung

pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat

keras dengan resep dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek

dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 th 2009..

B. Saran

Dalam menentukan penetapan Harga harus mendapatkan keuntungan

sebesar-besarnya, mensejahterakan karyawan, dan memperbanyak pelanggan

atau langganan dalam pelayanan obat, baik yang menggunakan resep atau non

resep di Apotik. Untuk usaha Apotik harus berlandaskan pada hukum

perpajakan terutama pada harga obat dan resep. Dalam pelayanan obat

hendaklah melayani dengan baik. Untuk obat yang memakai resep dan non

resep haruslah disamakan pelayanannya, terutama dalam hal pemberian

Swamedikasi. Agar tidak terjadi Medication Eror pada pelayan resep di Apotik.

19