bab i lapsus bedah
DESCRIPTION
ewewTRANSCRIPT
BAB I
STATUS PENDERITA
A. PENDAHULUAN
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam
tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Pada tahun 1930an
organofosfat digunakan sebagai insektisida, namun pihak militer Jerman
mengembangkan senyawa ini sebagai neurotoksin selama perang dunia kedua.
Sekitar 20.000 kasus intoksikasi organofosfat dilaporkan setiap tahunnya.
American Association of Poison Control Centers melaporkan sebanyak
16.392 jiwa terpapar organofosfat dan 11 jiwa diantaranya mengalami kematian.
Penggunaan organofosfat sebagai agen bunuh diri dan keracunan menyebabkan
200.000 kematian setiap tahunnya di negara berkembang. Sebanyak 11% dari
kasus terjadi pada orang dewasa berusia 22-55 tahun. Penyebab keracunan antara
lain karena kesengajaan (43%), pekerjaan (37%) dan kecelakaan (16%).
Gejalanya meliputi penglihatan kabur, sakit kepala, berkeringat banyak,
kram perut, mual dan muntah. Distres pernapasan, kejang, sianosis, syok atau
koma dapat terjadi. Pemeriksaan fisik biasanya ada miosis, meskipun midriasis
dapat terjadi pada keadaan terminal. Kacau mental dan inkoordinasi otot sering
ditemukan.
B. Identitas Pasien
Nama : Ny S.
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Talun - Kelampok
Pekerjaan : Pemulung
Agama : Islam
Tgl masuk RS : 1 Mei 2013
1
C. Keluhan Utama
Tidak sadar dan mengeluarkan busa dari mulut
D. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD dengan kondisi tidak sadar dan mengeluarkan busa
dari mulut, setelah sebelumnya pasien minum racun tikus, 2 jam SMRS. Busa
warna putih-kekuningan, lendir(+), darah (-). Pasien berkeringat (+). Pasien juga
mengalami inkontinensia urine dan feses, muntah (+). Pasin sebelum tidak sadar
mengeluhkan pusing “cekot-cekot”.
E. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat mondok di RS : disangkal
Riwayat asma/alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
F. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : lemah, GCS 111, status gizi kesan kurang.
2. Tanda Vital :
BB : 38 kg
TB : 150 cm
BMI : 17,48 → kesan underweight
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi :110 x/menit
Pernapasan : 40 x/menit
Suhu : 35,60C
3. Kulit :
warna sawo matang, turgor baik, ikterik (-), sianosis (+), pucat (-),
venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-)
4. Kepala :
luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-), macula (-), papula (-),
nodula (-), atrofi m.temporalis (-), kelainan mimic wajah/Bell’s palsy (-)
5. Mata :
2
Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil pin point (+/+), reflek
kornea (+/+), warna kelopak kecoklatan, radang (-/-)
6. Hidung :
Nafas cuping hidung(-/-), secret(-/-), epistaksis(-/-), deformitas hidung (-/-)
7. Mulut :
Bibir pucat (+), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi
lidah hiperemis (-), tremor (-), gusi berdarah (-)
8. Telinga :
Nyeri tekan mastoid (-/-), secret (-/-), pendengaran menurun (-/-), cuping
telinga dalam batas normal
9. Tenggorokan :
Tonsil membesar (-/-), faring hiperemis (-)
10. Leher :
JVP: (5+2) cmH2O tidak meningkat, trakea:di tengah, pembesaran
kelj.tiroid (-), pembesaran kelj.limfe (-), lesi pada kulit (-)
11. Thoraks :
Bentuk normochest, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider nevi
(-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga membesar (-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II PSL sinistra
Batas kanan atas : ICS II PSL dextra
Batas kiri bawah : ICS V 1 cm MCL sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV PSL dextra
Pinggang jantung : ICS III PSL sinistra (batas jantung
kesan tidak melebar)
auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Statis ( depan dan belakang )
3
- -
- -
- -
- -
Inspeksi : pengmbangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi :
Dinamis ( depan dan belakang )
Inspeksi :pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi :fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi :
12. Abdomen :
Inspeksi: dinding perut sejajar dengan dinding dada
Palpasi: supel,nyeri tekan epigastrium(-),hepar&lien tidak teraba
Perkusi: timpani seluruh lapang perut
Auskultasi: peristaltik (↑) normal
13. Sistem Collumna Vertebralis :
Inspeksi: deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Palpasi: nyeri tekan (-)
Perkusi: nyeri ketok costovertebral (-/-)
14. Ekstremitas :
Palmar eritema (-/-)
Akral Dingin Akral Hangat Oedem
4
++
-
----
+
++
+ +
-
- - - -
+ +
Suara Dasar Vesikuler
Suara Tambahan:
Wheezing Rhonki
-
----
+
++
+ +
-
- - - -
Suara Dasar Vesikuler
Suara Tambahan:
Wheezing Rhonki
N
N
N
N
15. Sistem Genitalia : dalam batas normal
16. Pemeriksaan Neurologi :
Kesadaran : GCS 111
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik :
Fungsi Motorik : dalam batas normal
G. Hasil lab
Jenis Tes Hasil Tes Hasil Tes Normal
DARAH LENGKAP
HEMOGLOBIN 15.1 L:13-17g/dL ; P:11,5-
16g/Dl
HITUNG LEUKOSIT 14.700 4000-11000/CMM
LED 49-78 L:0-15 ; P:0-20
HITUNG JENIS -/-/3/46/46/5 1-2/0-1/3-5/4-62/25-33/3-7
HITUNG ERITROSIT 4.590.000 L 4,5-6,5JT/CMM P 3.0-
6.0JT/CMM
HITUNG TROMBOSIT 484.000 150.000-450.000/cmm
HEMATOKRIT 43.8 L. 40-45 % P.35-47%
MCV/MCH/MCHC 95.6/32.8/34.4 80-97 fL/ 27-31 pg/ 32-36
%
SERUM KREATININ 0.5 (L:0,6-1,3mg.dl; P:0,5-
5
1,2mg/dl)
BUN 11 (4,7-23,4 mg/dl)
ASAM URAT 5.6 (L:3,4-7,0 mg/dl ; P:2,5-6,0
mg/dl)
UREUM 24 15-45 mg/dl
BILRUBIN TOTAL 1.06 s.d. 1,00 mg/dL
BILIRUBIN DIREK 0.36 s.d 0,25 mg/dL
ALKALI
PHOSPATASE/ALP
92 Anak <645 u/L. Dewasa :
100-290
SGOT 34 L: 37 u/L. P:31 u/L
SGPT 13 L: 40 u/L P: 9-37 u/L
GAMMA GT 12 L:11-43 u/L P: 9-37 u/L
ELEKTROLIT
NATRIUM 143 136-145 mmol/L
KALIUM 3.0 3.5-5.1 mmol/L
KLORIDA 105 98-106 ol/L
H. RESUME :
Pasien dibawa ke IGD 01-05-2013 dengan kondisi tidak sadar dan
mengeluarkan busa dari mulut, setelah sebelumnya pasien minum racun tikus,
2 jam SMRS. Busa warna putih-kekuningan, lendir(+), darah (-). Pasien
berkeringat (+). Pasien juga mengalami inkontinensia urine dan feses, muntah
(+). Pasin sebelum tidak sadar mengeluhkan pusing “cekot-cekot”.
6
Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS 111, tensi 120/80 mmHg,
nadi 110x/menit, RR 40x/menit, pupil pin point (+/+), akral dingin, dan status
gizi kesan kurang.
I. PENATALAKSANAAN :
Medikamentosa :
a. Oksigen 4-5 L/menit
b. IVFD : RL 20 tetes/menit
Drip SA 10 amp (2,5 mg)
c. Injeksi Atropine Sulfat setiap 10 menit sampai atropinisasi
(midriasis+mulut kering)
Non-Medikamentosa :
Edukasi :
Edukasi terhadap pasien dan keluarga mengenai :
- Mendekatkan diri kepada Allah SWT, banyak-banyak istighfar,
dan jangan menyelesaikan masalah dengan jalan bunuh diri.
- Menjaga keharmonisan keluarga, saling menyesuaikan diri,
saling memahami, saling mengerti dan mau mengalah dalam
menyelesaikan permasalahan rumah tangga.
- Motivasi keluarga untuk saling komunikasi dan memberi
dukungan agar pasien tidak mengulangi perbuatannya kembali.
Invasif :
1. Kumbah lambung.
J. PROGNOSA :
Dubia et bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta,
jamur dan gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi :
- Insektisida (pembunuh insekta)
- Fungisida ( pembunuh jamur)
- Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu)
Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas
hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga
digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa
dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain pihak pestisida ini secara
nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang
disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena
kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan
(unttuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah
diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat
menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat
toksik pada serangga.
Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis
insektisida banyak digunakan dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak
digunakan dinegara yang sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang
banyak menggunakan pestisida adalah sebagai berikut
- Amerika Serikat 45%
- Eropa Barat 25%
- Jepang 12%
- Negara berkembang lainnya 18%
Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti
Indonesia, penggunaan pestisida masih tergolong rendah. Bila
dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida
8
perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia
ataupun makhluk hidup lainnya.
B. Definisi
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat.
Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain,
fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari
organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon,
fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon).
Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau
parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi.
Struktur umum organofosfat
Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang
tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini
paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah
golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat
digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat,
fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya.
C. Predisposisi
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah
faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-
faktor tersebut adalah :
1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :
9
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup
maka usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka
fungsi metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata
aktivitas kolinesterase darah semakin rendah, sehingga akan
mempermudah terjadinya keracunan pestisida.
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya
tahantubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi
yangburuk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan
enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan
enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang
memilikitingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase
lebihbesar.
c. Jenis kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata
4,4μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan
bahwatiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga
relatifkonstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian
oralsejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam
tubuhuntuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang
konstan.Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase,
jeniskelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin
perempuankarena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim
kolinesterase,meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot
denganmenggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-
ratakolinesterase cenderung turun.
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan
tambahanpengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan
yang lebihtinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya
10
jugalebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang
rendah,sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi
akanlebih baik.
2. Faktor di luar tubuh (eksternal)
a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar
semakinmempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna
pestisida.Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya
keracunanpestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk
dosispenyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis
yangdianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha.
b. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak
denganpestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin
tinggi.Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah karena
keracunanpestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2
minggusetelah melakukan penyemprotan.
c. Tindakan penyemprotan pada arah angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat
melakukanpenyemprotan.Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah
angindengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada
saatmenyemprot melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih
besardibanding dengan petani yang saat menyemprot searah dengan
arahangin.
d. Frekuensi penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi
pularesiko keracunannya.Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai
denganketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan
pestisidamaksimal 5 jam perhari.
11
e. Jumlah jenis pestisida
Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam
waktupenyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar
biladibanding dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya racun
ataukonsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan
efeksamping yang semakin besar
D. Patofisiologi
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate
melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.
12
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara
jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang.
Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian,
tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan
kematian pada orang dewasa.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam
plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya.
Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat
dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin
meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada
system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala
keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.
13
E. Gejala
Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3
bagian: (1) efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek sistem saraf
pusat :
a. Efek muskarinik
Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar
termasuk: diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus),
bronkospasma/bradikardi, mual muntah, peningkatan lakrimasi,
hipersalivasi dan hipotensi.
Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:
1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi
2. Respiratori – bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan
3. Gastrointestinal – hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare,
inkontinensia alvi
4. Genitourinari – Inkontinensia urin
5. Mata – mata kabur, miosis
6. Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan
b. Efek Nikotinik
Efek nikotinik termasuk fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal
diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom
termasuk hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat.
c. Efek sistem saraf pusat
Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah,
bingung, cemas, depresi salur nafas, ataksia, tremors, kejang, dan koma.
F. Diagnosis
1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta
diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian.
2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya
racun dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau
14
parenteral, yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya
reaksi keracunan.
3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien.
Hal ini diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah
diuraikan sebelumnya
4) Diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi.
G. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium klinik
analisa gas darah
darah lengkap
serum elektrolit
pemeriksaan fungsi hati
pemeriksaan fungsi ginjal
sedimen urin
2) EKG
Deteksi gangguan irama jantung
3) Pemeriksaan radiologi
Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui
inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.
H. Penatalaksanaan
a. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan
evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda
dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan
terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan
kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien
harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung.
Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan
15
oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini
harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum.
b. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami
keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera
dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada
ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari
kontaminasi sekunder dari udara.
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi
toksik yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa
digunakan untuk dekontaminasi toksik yang masuk dalam saluran
pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah
kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui
pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksik diperkirakan masih
berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat
dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang
mengalami muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap
toksik yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan
setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami
pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat
berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik.
c. Pemberian Antidotum
a) Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan
skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan
organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah atropin karena
memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang
ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik,
yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea.
16
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap
2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya
0,05mg/kg BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi.
Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan
atropin.
b) Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan
untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi
ini diperlukan karena atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang
ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim
kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif
enzim.
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen
dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), pralidoxime dapat
mengurangi penggunaan atropine total dan mengurangi jumlah
penggunaan ventilator.
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian
pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness,
nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan
fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang
terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai
antidotum keracunan organofosfat.
d. Pemberian anti-kejang
Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah
(dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang
(dosis: sehingga 10-20 mg IV)
Antidotum spesifik untuk keracunan organofosfat adalah Atropine
IV. Dosis 0,05mg/kg diberikan lambat setiap 10 sampai 30 menit dapat
menjamin atropinisasi (mengurangi sekresi bronkus). Untuk orang dewasa, 17
diberikan 2 sampai 5 mg lambat, dan ulangi setiap 10 sampai 30 menit
untuk mempertahan-kan atropinisasi (mengurangi sekresi bronkus). Dosis
total yang sangat besar mungkin diperlukan.
Pralidoksim (Protopam Chloride) diberikan setelah atropin. Obat
ini mengaktifkan kembali kolinesterase. Untuk orang dewasa, berikan 1g
IV (500mg/menit), ulangi setiap 8 sampai 12 jam untuk tiga dosis jika
kelemahan otot masih ada.
I. Komplikasi
gagal nafas
kejang
pneumonia aspirasi
neuropati
kematian
18
BAB III
KESIMPULAN
Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat
menghambat enzim kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi
stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum
yang digunakan adalah atropin dan pralidoxime. Gagal nafas merupakan
penyebab utama kematian pasien.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity.
Medscape eMedicine, 2011. Available on:
http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview. Accessed: 4th May
2011.
2. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I, edisi IV. 2006. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Page 214-16
3. Ooi S, Manning P. Guide to Essentials in Emergency Medicine. Singapore:
McGrawHill, 2004. Page: 369-71
20