bab i ii knf
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di daerah kepala dan leher yang
berada dalam kedudukan lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain bersama
dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker kulit.
Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang
ditemukan di Amerika dan Eropa.1 Sedangkan di bidang THT-KL sendiri, KNF
merupakan tumor terbanyak dan menempati hampir 60% tumor ganas kepala dan
leher yang kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase
yang rendah.1,2
Menurut Departemen Kesehatan Indonesia (DepKes RI), ditemukan
prevalensi KNF sebesar 5,8 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar 7000-8000
kasus pertahun dan diperkirakan akan terus meningkat.1,3,4 Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan (mukosa) nasofaring atau
kelenjar yang terdapat pada nasofaring.1,2 Etiologi pasti terjadinya KNF ini belum
jelas, diduga patogenesisnya merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor, yakni
faktor genetik, lingkungan, serta infeksi virus Epstein-Barr.5,6
Gejala awal tumor ini tidak jelas dan yang sering ditemukan ialah hidung
buntu, perdarahan dari hidung, pendengaran menurun, tinitus dan sakit kepala.
Beberapa pasien juga datang dengan keluhan benjolan atau massa pada leher, ini
terjadi apabila sudah terjadi metastase sel-sel ganas ke kelenjar getah bening regional
sehingga kebanyakan penderita datang sudah pada stadium lanjut dan ini
menyebabkan survival rate 5 tahun KNF rendah dan angka mortalitas yang tinggi.
Hingga saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat
ditentukan oleh stadium penderita.1,2 Dengan mengetahui hal-hal tersebut, sangat
diperlukan pengetahuan mengenai kanker nasofaring sehingga diharapkan dokter
dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari
karsinoma nasofaring ini.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histologi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak di
belakang rongga hidung. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum
molle. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata, dan akan terbuka pada waktu respirasi.
Dinding depan dibentuk oleh koana dan septum nasi bagian belakang. Bagian
belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan otot dinding
faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang berbentuk segitiga, sebagai muara
tuba eustachius dengan batas superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang
disebut torus tubarius. Sedangkan ke arah superior terdapat fossa Rossenmuller atau
resessus lateral. Di daerah ini merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring. 4,5
Gambar 1. Anatomi Nasofaring4
Nasofaring mendapat aliran dari cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal
asenden dan desenden sertacabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari
pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus
pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris
2
yang terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf
trigeminus (N.V2), yang menuju ke anterior nasofaring.4
Gambar 2. Fossa Rosenmuller5
Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang
saling menyilang di bagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak
pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar limfa
disepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang terletak di permukaan superfisial.4
Gambar 3. Kelompok kelenjar limfe leher4
3
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10
tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa
membentuk invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya dengan jaringan limfoid dan
terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering
diinfiltrasi oleh sel radang limfosit dan bisa merusak epitel membentuk reticulated
pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang
terdapat pada rongga hidung.
2.2 Definisi
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas dari epitel permukaaan
nasofaring termasuk epitel kelenjar yang terdapat pada nasofaring.1,2 Pertumbuhan
sel-sel epitel ini cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan
metastasis.1 KNF juga merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak
yang ditemukan di Indonesia namun sulit untuk dilakukan diagnosis dini dikarenakan
letaknya yang tersembunyi serta berhubungan dengan banyak daerah penting di
dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.5
2.3 Epidemologi
Karsinoma nasofaring lebih banyak ditemukan di wilayah Asia daripada
daerah Eropa, terutama pada ras Mongoloid. Ras Mongoloid merupakan faktor
dominan timbulnya KNF, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Penduduk RRC,
khususnya di propinsi Guang Dong mempunyai insiden tertinggi di dunia yaitu 40-50
per 100.000 penduduk pertahun, sedangkan di Indonesia menurut data tahun 1980
didapatkan angka prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk per tahun.1,3 Ditemukan pula
cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair, dan Tunisia,
pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga penyebabnya adalah karena
mereka mengkonsumsi makanan yang diawetkan pada musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet nitrosamin.2Di Eropa dan Amerika Serikat, tumor ini
4
jarang ditemukan, dengan frekuensi morbiditas terhadap jumlah total tumor maligna
kurang dari 0,5%.
Karsinoma nasofaring lebih sering muncul pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan, dimana perbandingan antara laki-laki dan perempuan ini didapatkan 2-
3:1. Puncak frekuensi terletak antara umur 45-55 tahun, tapi tidak jarang juga
terdapat pada orang yang lebih muda.4,5 Di Indonesia, frekuensi penderita ini
hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,
ditemukan lebih dari 100 kasus per tahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata - rata
60 kasus pertahun, Ujung Pandang 25 kasus per tahun, di Denpasar ditemukan
15 kasus per tahun.3,4 Kasus Karsinoma Nasofaring di RSUP Sanglah cenderung
meningkat setiap tahunnya. Pada penelitian retrospektif selama 5 tahun (1998 – 2002)
didapatkan 330 kasus yang terdiri dari 217 laki-laki dan 113 wanita (2 : 1). Usia
tertua adalah 74 tahun, termuda 15 tahun usia terbanyak pada dekade empat dan lima.
Kebanyakan penderita datang pada stadium lanjut (Stadium IV) yaitu sebesar
82,73%. Pada pemeriksaan histopatologi WHO tipe III terbanyak yaitu sebesar
90,61%. Riwayat penyakit yang sama (KNF) dalam keluarga didapatkan 14 kasus
atau 4,24%.7
2.4 Etiologi
penyebab KNF belum dapat dipastikan. Beberapa faktor yang diduga
berperan dalam terjadinya KNF adalah faktor ras, genetik, kontak dengan zat
karsinogenik, infeksi virus dan imunologis.1 Virus Epstein Barr (EBV) diduga
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan terjadinya KNF karena ditemukannya
titer anti virus EBV yang cukup tinggi pada semua pasien KNF. Titer ini lebih tinggi
dari orang sehat maupun tumor ganas kepala leher lainnya.3,7,11
EBV merupakan virus DNA dengan kapsid ikosahedral dan termasuk dalam
famili Herpesviridae. Infeksi EBV berhubungan dengan beberapa penyakit seperti
limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis, dan KNF (EBV-1 dan EBV-2). EBV
dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Namun, dapat pula
menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi klinis. Adanya virus ini
5
tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.Tetapi
virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang diduga
mempengaruhi timbulnya KNF, antara lain :
1. Faktor Genetik: sering tumor ini atau tumor lainnya ditemukan pada beberapa
generasi dari suatu keluarga. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasofaring
sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated immunity.3
Haplotipe yang dihubungkan dengan keganasan ini adalah human leucocyte
antigens (HLA), termasuk HLA-A2, HLA-B46 dan HLA-B58.7
2. Faktor Geografis: terdapat banyak di daerah Cina (bagian Selatan), Asia Tenggara
, Afrika Utara, Eskimo dan Yunani. 2,3,7
3. Zat Kimia: zat kimia tertentu seperti nitrosamin, benzopyran, benzoanthracene
dan beberapa senyawa kimia hidrokarbon lainnya. Zat-zat ini banyak terdapat
pada ikan asin dan sayur-sayuran yang dikeringkan serta defisiensi vitamin C.7
4. Faktor Lingkungan: yang berpengaruh adalah iritasi oleh formaldehid, beberapa
jenis hidrokarbon aromatik, abu sejenis kayu bakar. Kebiasaan hidup seperti
penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) juga
nelayan di pelabuhan Hongkong yang sering makan ikan asin menyebabkan
tingginya karsinoma ini.3,7
5. Sosial Ekonomi: faktor yang mempengaruhi adalah keadaan gizi, polusi udara,
keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup lainnya.3
6. Infeksi yang kronis dari telinga, hidung dan tenggorokan.
7. Faktor iritasi pada mukosa nasofaring menimbulkan perubahan metaplasia dan
karsinoma in situ seperti rhinitis alergika, rhinitis kronis, rhinitis vasomotor dan
sinusitis. 3,4
8. Jenis kelamin: karsinoma nasofaring lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1.
9. Faktor Kebudayaan: kebiasaan pasien seperti merokok, minum alkohol, makan
makanan terlalu panas, cara memasak makanan serta pemakaian berbagai bumbu
masak mempengaruhi tumbuhnya tumor ini.3
6
2.5 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Histopatologi
Makroskopik
Kebanyakan tumor muncul di dinding lateral nasofaring, paling utama muncul
di fossa Rossenmuller. Kebanyakan lesi exophytic (sekitar 75%), dengan beberapa
jenis ulserative (sekitar 10%). Biasanya permukaannya rata dan halus, dan terlihat
seperti nodul yang muncul dari mukosa. Metastasis ke nodul limfe cervical juga
umum ditemukan.10,11
Mikroskopik
Gambaran mikroskopik yang sering ditemukan adalah undifferentiated
epidermoid karsinoma, kemudian non-keratinizing epidermoid karsinoma, dan
karsinoma sel skuamosa. Klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma
nasofaring menjadi tige tipe berdasarkan gambaran mikroskopisnya. Ketiga tipe
tersebut adalah :1,4,5,8
1. Tipe I : Keratinizing Squamous Cell Carcinoma, dikarakterisasikan dengan
keberadaan dari intercelluler bridges dan pembentukan keratin yang
prominen. Diferensiasi baik sampai sedang dan sering tumbuh di permukaan
(eksofilik). Tipe I ini terjadi sekitar 1%-2% kasus pada populasi endemik.
2. Tipe II : Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma, menunjukkan
gambaran dari sel epitel skuamus yang matur namun tidak terdapat
pembentukan keratin. Menyerupai karsinoma transisional. Tipe ini
merupakan tipe yang paline sedikit / jarang terjadi.
3. Tipe III : Undifferentiated carcinoma, terdiri dari berbagai variasi
morfologi sel, yang pada pemeriksaan mikroskopis menunjukkan gambaran
vesicular nuclei, prominent nucleoli, dan syncytia. Tipe III ini merupakan
tipe KNF yang paling sering terjadi, yakni sekitar 75% dari keseluruhan
kasus pada daerah endemik. Selama ini limfoepitelioma, sel transisisonal, sel
spindel, sel clear, dan lain-lain, dimasukkan dalam kelompok
undifferentiated.1 Tipe ini lebih bersifat radiosensitif.4
7
2.6 Pathogenesis Karsinoma Nasofaring
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu,
pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel
yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen
supresor tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel.1,7,8
Patogenesis KNF melibatkan multifaktorial. Di daerah endemik, infeksi EBV
terutama berkaitan dengan KNF subtipe WHO-2 dan WHO-3, sedangkan untuk
subtipe WHO-1 masih menjadi perdebatan.
Gambar 4. Skema pathogenesis KNF
Virus Epstein-Barr yang ditransmisikan melalui saliva yang terinfeksi ke
8
tempat pertama infeksinya, yaitu sel-sel epitel orofaring akan memasuki sel, bersifat
menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (long life). Hal ini
membuat sel yang terinfeksi menjadi immortal melalui induksi transformasi
pertumbuhan yang permanen. Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel
epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel
epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang
lama.2,3,6 Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan kandungan garam tinggi secara terus
menerus mulai dari masa anak-anak, merupakan mediator utama yang dapat
mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
2.7 Manisfestasi klinis
Manifestasi klinik kanker nasofaring bermacam-macam. Pada 70-80 % kasus,
biasanya asimtomatik dan dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe leher pada stadium
lanjut. Di lain pihak, dapat terjadi gejala lokal seperti hidung buntu, sumbatan di
telinga, sinusitis yang berulang, otitis media akut atau kronis khususnya jika
unilateral, otalgia atau epistaksis.1,7
Secara klinis gejala karsinoma nasofaring dibagi menjadi gejala dini dan gejala
lanjut. Biasanya penderita datang dengan gejala-gejala yang sudah lanjut yang
merupakan gejala perluasan tumor yang telah melewati batas-batas nasofaring, seperti
kerusakan saraf kranialis, sindrom neurologi dan diplopia. Hal ini menunjukkan
bahwa kanker sudah ke basis kranii. Metastase jauh dapat terjadi, dimana yang umum
terlibat adalah kelenjar limfe regional, tulang, paru-paru, liver dan otak.1,2
2.7.1 Gejala Dini
Gejala dini tampak bila tumor masih terbatas di rongga nasofaring.4 Gejala
pada telinga dapat berupa oklusi tuba eustachius sehingga pasien mengeluh rasa
penuh di telinga, rasa mendengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinoma
9
nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa
penyebab yang jelas. Selain itu dapat juga terjadi otitis media serosa sampai perforasi
dengan gangguan pendengaran. Gejala pada hidung dapat berupa epistaksis oleh
karena dinding tumor yang rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi
perdarahan. Dapat juga terjadi sumbatan hidung akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga nasofaring.1,3,4,7
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini karena dijumpai pada infeksi biasa , misalnya pilek kronis dan sinusitis.
Namun jika keluhan ini timbul berulangkali tanpa sebab yang jelas maka perlu
dilakukan pemeriksaan rongga nasofaring, kalau perlu dengan nasofaringoskop.
Sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak
karena masih ada di bawah mukosa.3,4 Keluhan tersering ditemukan pada penderita
karsinoma nasofaring adalah adanya massa pada leher (75,8%), gangguan pada
hidung seperti discharge, perdarahan, obstruksi (73,4%), gangguan pada telinga
seperti tinitus, gangguan pendengaran (62,4%), sakit kepala (34,8%), diplopia
(10,7%), mati rasa pada wajah (7,6%), penurunan berat badan (6,9%), trismus
(3,0%), gangguan berbicara (2,4%), keluhan lain akibat metastasis (1,2%), lesi kulit
(0,9%).4
2.7.2 Gejala Lanjut
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe
leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama
agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh.10 Di
dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar
menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping
(limfadenopati servikal). Benjolan ini tidak dirasakan nyeri sehingga sering diabaikan
oleh pasien.7,10 Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus
kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati
servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.10
10
Pada dasarnya gejala-gejala klinik kanker nasofaring dibagi menjadi 5
kelompok :
1. Gejala Hidung
Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi sering salah
diperkirakan sebagai penyakit hidung lainnya seperti rinitis kronis,
nasofaringitis kronis dan sebagainya. Maka dari itu gejala hidung pada kanker
nasofaring lebih ditekankan bila : 1,3,4
a. Penderita pilek-pilek lama lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun, tapi
pada pemeriksaan hidung tidak tampak kelainan.
b. Penderita pilek-pilek, ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila tampak
titik-titik atau garis-garis darah, tanpa tampak adanya kelainan di hidung
dan sinus paranasal.
c. Penderita usia tua, lebih dari 40 tahun, sering mimisan atau keluar darah
dari hidung. Pemeriksaan tekanan darah normal, hidung juga normal.
2. Gejala Telinga
Gangguan pada telinga merupakan gejala yang lebih dulu terjadi karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Tumor
mula-mula tumbuh di fosa Rosenmuller, selanjutnya menyebabkan oklusi
torus tubarius.11 Gejala di sini dapat berupa : kurang pendengaran tipe
konduksi, rasa penuh di telinga, berdengung atau tinitus. Gangguan
pendengaran terjadi bila ada perluasan tumor atau kanker nasofaring secara
merayap ke sekitar tuba sehingga terjadi sumbatan. Meskipun letak tuba
relatif dekat dengan fossa Rossenmuller atau tumor primer, tetapi gejala
telinga relatif jarang dibanding gejala tumor metastase di leher. Bila oklusi
tuba berlangsung lama dapat terjadi otitis media serosa. 3,4,10
3. Gejala Mata
Sebenarnya gejala mata termasuk gejala saraf kranial, karena gejala
mata disebabkan oleh kelumpuhan saraf, yang berhubungan dengan mata
yaitu N. II, III, IV dan VI.9 Juga karena gejala mata ini adalah gejala kranial
11
yang dekat dengan nasofaring. Apabila ada kelumpuhan mengenai N.VI yang
letaknya di atas foramen laserum, yang mengalami lesi akibat perluasan
tumor, maka penderita akan mengeluh kurang penglihatan, yang dimaksud
sebenarnya di sini adalah melihat benda dobel atau diplopia.8,9 Kelumpuhan
N.III dan IV mengakibatkan kelumpuhan mata, disebut juga oftalmoplegia,
serta proptosis bulbi.7,9 Apabila perluasan kanker mengenai kiasma optikus,
maka N.optikus akan lesi, sehingga penderita mengalami penurunan
ketajaman penglihatan.3,10
4. Gejala Tumor Regio Leher
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat
secara limfogenik dari kanker nasofaring, bisa unilateral atau bilateral.
Metastasis jauh dapat sampai ke organ-organ hati, paru, ginjal, limpa, otak,
tulang belakang atau tulang lainnya. Khas tumor leher di sini adalah bila letak
tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam
m.sternokleidomastoid, dimana massa tumor keras, tak sakit dan tidak mudah
bergerak.1,3,9
Gejala tumor leher ini merupakan gejala yang agak lanjut dari kanker
nasofaring, sering masih belum disadari oleh para dokter, sehingga banyak
penderita dengan tumor leher ini bahkan dirujuk ke bagian lain selain THT.
Gejala tumor leher ini cukup besar angkanya, sekitar 70-90 % dari seluruh
penderita karsinoma nasofaring, diperkirakan gejala inilah yang mendorong
penderita datang berobat.3,10
5. Gejala Kranial / Saraf
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranii menyebabkan
kelumpuhan N. II, III, IV, V, VI, akibat kompresi maupun infiltrasi tumor,
disebut sindroma petrosfenoidal, dimana kelainan ini dimasukkan ke dalam
gejala mata, karena berhubungan dengan mata. Kemudian metastasis tumor ke
dalam spatium retroparotideum dapat menyebabkan kompresi N. IX, X, XI,
XII dan nervus servikalis simpatikus.3,4
12
Paresis atau paralisis saraf otak akibat perluasan tumor ke arah
intrakranial melalui foramen laserum, pada N.V menyebabkan parestesi atau
rasa nyeri pada muka, pada N.VI menimbulkan diplopia, strabismus
konvergen, sedangkan pada N.III dan IV menimbulkan ptosis dan
oftalmoplegia. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan
intrakranial.1,4 Paresis atau paralisis saraf otak akibat perluasan tumor ke arah
lateral-belakang, seperti pada N.IX dan X menimbulkan paresis atau paralisis
palatum mole dan faring, pada N.XI menimbulkan gangguan fungsi otot
sternokleido-mastoideus dan otot trapezius, sedangkan pada N.XII
menimbulkan deviasi lidah dan gangguan menelan.1,4,11
2.8 Diagnosis
Diagnosis dari karsinoma nasofaring dapat ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis 1,4,5
- Keluhan penderita ketika tumor masih terbatas di nasofaring antara lain :
pilek-pilek, hidung tersumbat, ingus bercampur dengan darah dan telinga
terasa penuh atau mendenging, tapi gejala ini tidak spesifik.
- Gejala atau keluhan pembesaran kelenjar limfe leher level II, di belakang
angulus mandibula. Gejala ini paling sering dijumpai dan merupakan gejala
metastasis tumor ke kelenjar regional.
- Gejala atau keluhan setelah tumor meluas melewati batas nasofaring antara
lain rongga hidung tersumbat atau tertutup oleh massa tumor dan suara
menjadi bindeng atau sengau. Gejala paresis atau paralisis saraf otak antara
lain parestesia, rasa nyeri pada muka (N.V), diplopia dan strabismus (N.VI),
ptosis dan oftalmoplegia (N.III, IV), paresis atau paralisis palatum molle dan
faring (N.IX, X), gangguan fungsi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
(N.XI), deviasi lidah dan gangguan menelan (NXII).
- Gejala metastasis jauh yaitu batuk-batuk, dahak bercampur darah, sesak nafas
(paru), ikterus dan hepatomegali (hepar), rasa linu dan nyeri tulang.
2. Pemeriksaan Fisik1
13
a. Rhinoskopi anterior untuk menilai keadaan rongga hidung bagian depan.
b. Rhinoskopi posterior dilakukan dengan kaca laring ukuran kecil untuk menilai
mukosa nasofaring.
c. Otoskopi untuk menilai keadaan membran tympani, telinga tengah dan fungsi
tuba eustachius.
d. Memeriksa fungsi saraf otak yaitu N.III, IV, V, VI, IX, X, XI, dan XII. Pada
25 % pasien ditemukan cranial nerve palsy.
e. Palpasi terhadap kelenjar getah bening leher. Pada 80 % pasien ditemukan
adanya pembesaran kelenjar limfe leher dan biasanya pembesaran ini tidak
nyeri dan kenyal. Leher yang terlibat biasanya bilateral, kelenjar limfe yang
umum terlibat adalah jugularis, digastrik dan kelenjar limfe di rantai anterior
leher bagian atas dan tengah.
Diagnosis klinis karsinoma nasofaring juga dapat ditegakkan berdasarkan
formula DIGBY (Tabel 1) :
Tabel 1. Diagnosis Berdasarkan Formula DIGBY
SIMPTOM NILAI
Massa terlihat pada Nasofaring 25
Gejala khas di hidung 15
Gejala khas pendengaran 15
Kepala sakit unilateral atau bilateral 5
Gangguan neurologi saraf otak 5
Eksoftalmus 5
Limfadenopati leher 25
Bila jumlah nilai diatas 50, diagnosis klinis karsinoma nasofaring dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Pemeriksaan laboratorium
Meliputi pemeriksaan tes darah rutin termasuk sel darah lengkap, tes fungsi hati
jika terdapat metastase ke liver, BUN, kreatinin darah apabila terdapat gangguan
kencing. Jika terdapat invasi ke basis kranii, maka pemeriksaan cairan 14
serebrospinal dilakukan untuk mendeteksi penyebaran tumor. Tes serologi virus
Epstein Barr dapat bermanfaat pada beberapa pasien. Fine Needle Aspirasi dan
Enzyme Linked Immunosorbent Assay untuk mengidentifikasi genom virus
Epstein Barr bermanfaat pada pasien dengan adenopati servikal tanpa ada lesi
yang jelas.1,7,8
4. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dilakukan seperti : thorax foto, skull lateral basis kranii,
Waters, CT Scan, USG Abdomen, MRI dan PET.
- Foto toraks PA dilakukan untuk kecurigaan adanya metastasis ke paru.4
- CT scan kepala dan leher dipergunakan untuk evaluasi parafaringeal,
retrofarngeal, mengetahui penyebaran tumor, erosi basis kranii dan
limfadenopati servikal. Dengan pemeriksaan CT Scan daerah kepala-leher,
tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu sulit ditemukan. CT scan
dada dan tulang digunakan untuk mengetahui metastase jauh.2,5,8
- MRI dilakukan jika dicurigai terdapat penyebaran tumor ke intrakranial.5,8
- PET (Positron Emmision Tomography) digunakan jika ditemukan adanya
pembesaran kelenjar limfe yang penyebabnya belum diketahui dengan
pasti.1,3,8
15
Gambar 6. Gambaran CT-Scan Kepala dengan potongan Longitudinal
penderita karsinoma nasofaring tampak massa tumor pada bagian atap
nasofaring.8
5. Pemeriksaan immunologik
Pemeriksaan ini belum banyak dipakai di Indonesia karena mahal. Pemeriksaan
serologi ini dipakai sebagai skrining bagi penderita beresiko, pada Occult primary
tumor, disamping juga untuk mendeteksi kekambuhan. Titer EBV yaitu antibodi
IgA dan IgG terhadap antigen kapsul virus Epstein Barr harus diperiksa.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB telah
menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. 1,8
6. Pemeriksaan Endoskopi
Deteksi adanya lesi atau visualisasi direk pada lesi yang nonpalpabel tetapi
dicurigai keganasan dapat dilakukan dengan nasofaringoskopi indirek atau fiber
optik fleksibel atau endoskopi rigid. Pada nasofaringoskopi dapat dilihat massa
yang tumbuh di nasofaring, biasanya di fossa Rossenmuller.7
7. Biopsi Nasofaring
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi ini dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy) dengan memasukkan
cunam biopsi ke rongga hidung. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan
kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ditarik keluar melalui mulut
dengan klem sehingga palatum mole tertarik ke atas. Biopsi dilakukan dengan
melihat tumor melalui kaca laring atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut sehingga massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.1,3,4 Sekalipun
secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak
dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan
subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.
16
2.9 Stadium Klinik
Penentuan stadium berdasarkan atas kesepakatan UICC 2002, yaitu:2,4
Tumor Primer (T)
o T0 – Tidak ditemukan adanya tumor primer
o Tis - Carcinoma in situ
o T1 - Tumor terbatas pada nasopharynx saja
o T2 - Tumor meluas sampai ke jaringan lunak dari oropharynx dan atau
rongga nasal
T2a – Tanpa penyebaran ke parapharyngeal
T2b – Dengan penyebaran ke parapharyngeal
o T3 - Tumor menyerang struktur tulang dan atau sinus paranasal
o T4 - Tumor dengan penyebaran ke intrakranial dan atau melibatkan CNS,
infratemporal fossa, hypopharynx, atau orbita.
Pembesaran KGB/Regional lymph nodes (N)
o NX – Pembesaran KGB tidak dapat ditentukan
o N0 – Tidak ada pembesaran KGB regional
o N1 – Metastasis unilateral dengan ukuran KGB<6 cm, yang merupakan
ukuran terbesar , terletak di atas fossa supraklavikular
o N2 – Metastasis bilateral dengan ukuran KGB<6 cm, yang merupakan
ukuran terbesar , terletak di atas fossa supraklavikular
o N3 - Metastasis KGB
N3a – Ukuran > 6 cm
N3b – Perluasan ke fossa supraklavikular
Metastasis Jauh (M)
o MX – Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
o M0 – Tidak ada metastasis jauh
o M1 – Ada metastasis jauh.
Tabel 2. Stadium TNM menurut UICC 20022
17
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
2.10 Diagnosis Banding
Adapun diagnosa banding dari karsinoma nasofaring ini adalah : 1,5,9
1. TBC nasofaring
Dapat dibedakan dengan pemeriksaan histopatologi ( PA ).
2. Angiofibroma nasofaring
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai
KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative.
Pada fotopolos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang
berbatas tegas. Prosesdapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma,
walaupun jarang menimbulkandestruksi tulang hanya erosi saja karena
penekanan tumor. Biasanya adapelengkungan ke arah depan dari dinding
18
belakang sinus maksilarisyang dikenalsebagai antral sign. Karena tumor
ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotiseksterna sangat diperlukan
sebab gambaranya sangat karakteristik.
2.11 Penatalaksanaan
Modalitas penatalaksaan dapat dilakukan :
1. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma
nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan cukup
efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan invasi ke
intrakranial. Tetapi jika sudah metastase jauh maka radiasi merupakan
pengobatan yang bersifat paliatif. Dosis untuk radioterapi radikal adalah
6000-7000 rad dengan aplikasi radium dalam 7 hari atau 5000-6000 rad
dengan sinar X dalam waktu 5-6 minggu. Untuk terapi paliatif diberikan
pada nasofaring dan kelenjar limfe servikal kanan dan kiri. Dosisnya adalah
dua pertiga dari dosis radikal. Evaluasi pasca radiasi diadakan setiap bulan
pada tahun pertama, kemudian setiap 3 bulan pada tahun kedua, dan setiap 6
bulan selama 5 tahun.3-5
2. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi adjuvan yang hingga saat ini masih tetap
digunakan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai
saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian adjuvan
kemoterapi Cis-platinum, bloemycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan
di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Obat-obatan sitostatika yang direkomendasikan adalah : 1,2
a. Obat tunggal :
- Methotrexate, dosis 25 mg / minggu per oral
- Cyclophosphamide, dosis 1 gram / minggu intravena
- Bleomycin, dosis 10 mg / m2 luas permukaan tubuh / minggu im
19
- 5 Fluorouracil atau 5FU dan Cisplatin
Cisplatin menghambat sintesis DNA dan proliferasi sel dengan jalan
membuat rantai silang pada DNA dan menyebabkan denaturasi helik
ganda. 5FU akan menghambat sintesis timidilat dan juga mempengaruhi
fungsi dan sintesi RNA, berpengaruh terhadap DNA, dan berguna pada
pengobatan paliatif pada pasien dengan penyakit yang progresif.6
b.Obat-obatan ganda :
COMP :
Hari I : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
5 FU 750 mg intravena
Hari VIII : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
Methotrexate 50 mg intravena
Diulang setiap 4 minggu
Methotrexate-Bleomycin-Cisplatin :
Hari I : Bleomycin 10 mg / m2 intravena
Methotrexate 20 mg / m2 intravena
Diulang setiap 2 minggu sampai 4 kali
Hari II: CispIatin 80 mg / m2 intravena
Diulang setelah 10 minggu
Harus diperhatikan efek samping dengan cara melakukan kontrol yang
baik terhadap fungsi hemopoitik, fungsi ginjal dan sebagainya.Karena
tingginya insiden kerusakan jaringan regional akibat radioterapi dan juga
karena tingginya metastase jauh dari kanker nasofaring, maka kombinasi
modalitas therapy radiasi dan kemotherapi adalah konsep yang cukup
atraktif. Kombinasi ini dapat saling melengkapi atau bahkan sinergis.
Ada beberapa cara untuk kombinasi ini, dimana dapat diberikan secara
neoadjuvan (kemoterapi yang diikuti dengan radiotherapi) atau sebagai
adjuvant therapi (radiotherapi yang diikuti dengan kemoterapi).
20
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral
setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer”
memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total
pasien karsinoma nasofaring.5-6
3. Pembedahan
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada
sisa kelenjar/tidak menghilang pasca radiasi (residu) atau adanya kekambuhan
kelenjar/timbul kembali setelah penyinaran, tetapi dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih, atau sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa atau kambuh
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
2.12 Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan
lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif
daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan
hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir.5,6 Akan tetapi
prognosis juga dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain usia (usia lebih muda,
angka harapan hidupnya lebih baik), jenis kelamin (prognosis pada wanita lebih baik
daripada pria), perluasan dari tumor primer/T (dimana makin kecil T, prognosis
makin baik), ada/tidaknya erosi tulang basis kranial, dan jenis histopatologi (tipe
tidak berdiferensiasi mempunyai prognosis yang lebih baik).6
Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik
karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor
seperti stadium yang lebih lanjut, usia lebih dari 40 tahun, laki-laki, dan ras Cina
daripada ras kulit putih.7 Dari pengalaman yang lalu dalam pengelolaan penderita
KNF, dirasakan bahwa keberhasilan terapi masih sangat rendah meskipun belum ada
angka yang pasti mengenai survival rate penderita KNF. Upaya untuk dapat
menjaring penderita lebih dini merupakan langkah awal yang dapat diharapkan
sedikit membantu memecahkan masalah rendahnya keberhasilan terapi. 7
21
Secara keseluruhan angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45%. Terdapat
perbedaan prognosis yang sangat mencolok dari stadium awal sampai stadium
lanjut karsinoma nasofaring yaitu 76,9 % untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II,
38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV.7
22