bab 5 pembahasan -...

22
105 BAB 5 PEMBAHASAN Bab ini memaparkan hasil penelitian yang dikaitkan dengan pembahasan pengembangan sumber daya manusia dan berbagai bidang yang memiliki kontekstual. 5.1 Pembahasan Hipotesis 1 H1: Taktik pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 1 didukung oleh bukti empiris dalam penelitian ini. Bahwa pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan transformasional, memiliki pengaruh lebih baik terhadap strategi taktik pengaruh proaktif dibanding dengan pemimpin yang menggunakan dengan tipe kepemimpinan transaksional. Temuan penelitian menunjukkan subjek dengan pemimpin transformasional mengalami perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan baik, menunjukkan proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan komitmen yang diungkapkan benar-benar dilakukan. Subjek mendapatkan sapaan kata-kata proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki kesan positif terhadap subjek terebut, kondisi ini menyebabkan proses sapaan berjalan dengan baik yaitu subjek memiliki motivasi untuk meningkatkan kinerjanya. Subjek menjawab dengan semangat, hal tersebut terbukti dalam jangka waktu menjawab yaitu memiliki jeda yang pendek. Subjek merespon dengan cepat dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna semangat. Selain itu, subjek juga mengatakan bahwa perusahaan memiliki kepedulian kepada karyawan, merasa lebih diperhatikan, memberi semangat, dan motivasi. Kondisi sebaliknya terjadi pada pemimpin transaksional, temuan penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami tekanan dikarenakan

Upload: truongduong

Post on 04-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

105

BAB 5

PEMBAHASAN

Bab ini memaparkan hasil penelitian yang dikaitkan dengan

pembahasan pengembangan sumber daya manusia dan berbagai bidang yang

memiliki kontekstual.

5.1 Pembahasan Hipotesis 1

H1: Taktik pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan

transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik pengaruh

proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 1 didukung oleh bukti

empiris dalam penelitian ini. Bahwa pemimpin yang memiliki tipe

kepemimpinan transformasional, memiliki pengaruh lebih baik terhadap

strategi taktik pengaruh proaktif dibanding dengan pemimpin yang

menggunakan dengan tipe kepemimpinan transaksional. Temuan penelitian

menunjukkan subjek dengan pemimpin transformasional mengalami

perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan baik,

menunjukkan proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan

komitmen yang diungkapkan benar-benar dilakukan. Subjek mendapatkan

sapaan kata-kata proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki

kesan positif terhadap subjek terebut, kondisi ini menyebabkan proses sapaan

berjalan dengan baik yaitu subjek memiliki motivasi untuk meningkatkan

kinerjanya. Subjek menjawab dengan semangat, hal tersebut terbukti dalam

jangka waktu menjawab yaitu memiliki jeda yang pendek. Subjek merespon

dengan cepat dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna semangat.

Selain itu, subjek juga mengatakan bahwa perusahaan memiliki kepedulian

kepada karyawan, merasa lebih diperhatikan, memberi semangat, dan

motivasi.

Kondisi sebaliknya terjadi pada pemimpin transaksional, temuan

penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami tekanan dikarenakan

106

proses sapaan selalu menekankan hasil yaitu delivery order ataupun surat

pemesanan kendaraan. Tekanan tersebut ditambah dengan tulisan yang

menggunakan huruf kapital. Subjek merasa pemimpin tidak sopan, sedang

dalam kondisi marah, tidak menghargai usahanya, mengajak konfrontatif

sehingga menganggap sapaan ini hanyalah sebagai reminder atau pengingat

bahwa subjek memiliki target, bahkan mendesak untuk menyelesaikan target.

Selain hal itu, subjek merasakan tidak adanya perubahan perilaku yaitu

ketika melakukan keputusan yang berkaitan dengan strategi taktik pengaruh

proaktif dari menggunakan argumen logis dan bukti faktual yang

menunjukkan bahwa permintaan layak dan relevan untuk kepentingan dalam

mencapai tujuan (rational persuasion).

Temuan ini mengkonfirmasi temuan-temuan penelitian bahwa kinerja

yang baik merupakan suatu langkah menuju tercapainya tujuan organisasi

(Hughes et al., 2002; Yukl, 2005:7). Prananta (2008) memberi bukti empiris

bahwa kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

Northouse (2001) mengemukakan salah satu karakteristik perilaku seseorang

pemimpin transformasional yaitu memberdayakan pengikutnya atau

bawahannya untuk melakukan apa yang terbaik bagi kepentingan organisasi.

Sapaan yang dilakukan memberikan pemberdayaan kepada bawahan karena

mendapatkan dukungan, motivasi, dan merasakan adanya kepedulian dari

pimpinan. Produktifitas selalu membedakan antara mereka yang sukses dan

yang tidak. Produktivitas juga menjadi garis pembatas dalam kepemimpinan.

Hal ini juga menjadi garis kualifikasi untuk menjadi pemimpin. Pemimpin

sejati tahu cara untuk menjadi produktif dan mengajarkan cara itu pada

orang-orangnya. Ucapan didukung dengan tindakan. Kepemimpinan

bertahan karena kinerja. Pemimpin yang produktif dan meraih prestasi selalu

memengaruhi orang lain yang bekerja bersama untuk dirinya. Pemimpin

yang produktif adalah contoh bagi orang-orang yang dipimpin dan

produktivitas menjadi standar bagi tim saat seorang pemimpin produktif, dan

orang-orangnya pun akan produktif. Seorang pemimpin menjadi produktif

karena memberikan hasil baik dari diri sendiri maupun dari tim. Pemimpin

107

membuka jalan dan yang lain mengikuti. Pemimpin yang baik terus

mengomunikasikan gambaran akan masa depan organisasi. Pemimpin terus

melakukannya dengan jelas dan kreatif.

Berdasarkan respon dari subjek, maka proses kepemimpinan

transformasional berhasil. Subjek merespon sesuai dengan kalimat yang

diberikan oleh tim ILDC. Ada perbedaan yang signifikan, yaitu pemimpin

dengan tipe kepemimpinan transformasional, para subjeknya menjawab

dengan penjelasan berupa proses dan rencana tindakan. Selain itu, subjek

juga menjelaskan dengan antusias, bahkan menunjukkan action plan-nya,

meskipun jawabannya singkat. Evaluasi yang dipaparkan semua mengatakan

bahwa model pemimpin yang transformasional memberikan manfaat,

mengingatkan, dan menambah semangat melakukan jualan.

Dalam berbagai literatur bahwa tipe kepemimpinan memiliki

pengaruh dalam kepemimpinan. Jika seseorang bisa meningkatkan

pengaruhnya dalam diri orang lain, maka pemimpin bisa memimpin dengan

lebih efektif. Kepemimpinan adalah sebuah proses, bukan jabatan.

Kepemimpinan yang baik bukan mengenai pengembangan diri sendiri,

melainkan mengenai pengembangan tim. Memimpin orang lain dengan baik

dan membantu anggota tim menjadi pemimpin yang efektif, berdampak pada

karier yang sukses.

Praktik kepemimpinan adalah tindakan yang mungkin mendatangkan

hasil dalam keadaan atau kondisi tertentu namun tidak bisa diterapkan dalam

keadaan lain, yang artinya memiliki karakteristik yang situasional. Namun,

prinsip seorang pemimpin adalah kebenaran eksternal yang dapat dipercayai.

Prinsip itu penting karena berfungsi sebagai peta yang membuat seseorang

dapat mengambil keputusan yang bijaksana. Bagaimanapun juga jika

seseorang menerima sebuah prinsip dan menjadikannya sebagai bagian dari

pola pikir dan tindakan, prinsip itu pun akan menjadi bagian dari nilai

seorang pemimpin. Saat pemimpin menyukai orang lain dan memperlakukan

seakan-akan bernilai, maka dapat mulai dikembangkan pengaruh dalam diri

108

orang tersebut. Seorang pemimpin dapat menyukai orang lain tanpa

memimpin, namun pemimpin tidak dapat memimpin orang lain dengan baik

jika pemimpin tidak menyukai orang-orang tersebut. Para pemimpin yang

baik tidak hanya sekedar menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan,

pemimpin bisa menjadi orang yang mendorong terjadinya perubahan. Para

pemimpin menjadi besar bukan karena kekuasaan, melainkan karena

kemampuan memberdayakan orang lain Seseorang yang penuh rasa hormat,

menyenangkan, dan produktif dapat memberikan pengaruh besar dalam diri

orang lain dan memperoleh pengikut dengan sangat mudah. Hal tersebut

sangat tampak dalam relasi antara pemimpin transformasional yang mampu

mendorong suatu perubahan perilaku terhadap timnya meski tidak sebesar

yang diharapkan.

Pemimpin dengan tipe kepemimpinan transaksional memiliki

kecenderungan fokus pada hasil dan hanya sekedar memberi keyakinan

terhadap hasil. Jawaban singkat dan lugas, bahkan pada awalnya tidak

merespon. Orientasi pada angka atau hasil serta jangka pendek. Proses

motivasi hanya dianggap sebagai pengingat untuk mencapai target, bukan

sebagai penggerak untuk perubahan perilaku. Jawaban-jawaban juga

terprovokasi dalam proses email dengan tulisan huruf besar (kapital).

Sebagian menyatakan tidak nyaman tidak sesuai kaidah, dianggap tidak etis

dan seolah-olah sedang dalam kondisi marah. Saat pemimpin yang

mengandalkan jabatannya meminta tambahan usaha atau waktu pada timnya,

biasanya pemimpin tidak memerolehnya. Jabatan adalah satu-satunya

tingkatan yang tidak membutuhkan kemampuan dan usaha untuk meraihnya.

Siapa pun dapat ditunjuk untuk mengisi jabatan.

Hasil dari hipotesis 1 bahwa kepemimpinan transformasional tanpa

executive coaching lebih baik atau efektif dibanding dengan kepemimpinan

transaksional tanpa executive coaching, hal ini secara praktik ditemukan

dalam wajah-wajah pemimpin di tempat penelitian. Para direktur, chief

executive officer, dan kepala divisi yang menggunakan kepemimpinan

109

transformasional dapat dirasakan oleh karyawannya dan bahkan hasilnya

lebih bagus dari sisi target baik profit maupun penjualannya. Para pemimpin

yang menggunakan kepemimpinan transaksional, cenderung para

bawahannya stres, turn over karyawannya lebih tinggi dan hasilnya tidak

maksimal. Bahkan menurut para karyawan “jika bisa, papasan pun

dihindari”. Data yang ada di ILDC bahwa para pimpinan tersebut juga sangat

minim untuk mengikuti pelatihan yang berkesinambungan, dengan suatu

konsep “bahwa pelatihan itu dianggap membuang uang dan waktu”, para

pimpinan tidak melihat sebagai investasi. Demikian pula, para pimpinan

wilayah di salah satu anak perusahaan memiliki kemiripan bahwa yang

menggunakan kepemimpinan transaksional hasilnya paling bawah di antara 4

wilayah lainnya, bahkan dalam kurun 2 tahun berturut-turut mengalami

defisit dan stoknya masih tersisa banyak. Hal ini didukung oleh riset Salma

(2015) yang mengatakan bahwa dalam bidang perdagangan pemimpin yang

menggunakan tipe kepemimpinan transformasional lebih efektif dibanding

dengan tipe kepemimpinan transaksional.

Menurut Becker (1993), kegiatan investasi yang terpenting setelah

pendidikan adalah pelatihan yang merupakan alat utama perusahaan untuk

mengembangkan modal manusia yang dimiliki oleh karyawan berupa

keahlian (skill), pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude) yang

dibutuhkan dalam pekerjaan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan

kompetensi karyawan dengan standar yang sama maka dilakukan dua sistem

pelatihan yaitu pengembangan pribadi dan pengembangan bisnis.

Pengembangan pribadi dengan menggunakan pelatihan yang bersifat

managerial dan leadership yang meliputi personal leadership, coaching for

great performance, business manager leader, dan leading an speed of trust.

Pengembangan bisnis dengan menggunakan dua training yaitu business

model canvas dan the art of execution (The 4DX).

110

5.2 Pembahasan Hipotesis 2

H2: Taktik pengaruh proaktif subjek di bawah tipe kepemimpinan

transformasional dengan menggunakan executive coaching lebih baik

dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa

menggunakan executive coaching.

Hasil hipotesis 2 yaitu tipe kepemimpinan transformasional dengan

executive coaching memiliki dampak terhadap taktik pengaruh proaktif

dalam dimensi rational persuasion, collaboration dan consultatif. Hal ini

menarik karena keselarasan dua keterampilan tersebut tidaklah mudah untuk

dipraktikkan. Dimensi rational persuasion memiliki lonjakan yang sangat

signifikan dari 59.58 (sedang) setelah dilakukan executive coaching menjadi

78.08 (tinggi) hal ini disebabkan bahwa prinsip coaching adalah memberikan

kesempatan kepada coachee memberdayakan diri dan tugas coach menggali

pikiran coachee untuk menemukan alternatif-alternatif baru, sehingga

kemampuan coachee menggunakan argumen yang logis mengalami kenaikan

dari sedang ke tinggi. Coach berhasil mengeksplorasi pikiran coachee

sehingga ide-idenya yang dituangkan dalam action plan benar-benar masuk

akal, relevan dan mampu mencapai tujuan. Dimensi collaboration meski

naik dari 81.25 menjadi 86.63 namun masih dalam range yang sama yaitu

tinggi. Hal ini terjadi karena tipikal seorang pemimpin transformasional

sudah memiliki sikap individualized consideration yang dinyatakan dalam

relasi dengan bawahan sebagai makluk yang dimanusiakan. Pemimpin yang

memerhatikan, mendengarkan, memahami kebutuhan bawahannya,

mengembang-kan potensinya dan membimbing kapada tujuannya.

Sedangkan dimensi Consultation dari 78.33 menjadi 84.13 dalam range

tinggi juga menampakkan kenaikan yang signifikan hal ini dipengaruhi

karakter kepemimpinan transformasional dalam hal intellectual simulation

yaitu pemimpin yang senantiasa menstimulus hadirnya perspektif atau

paradigma yang baru, cara-cara yang baru yang dihasilkan dari diskusi,

sehingga mendorong bawahannya berani menyampaikan ide-ide baru. Jadi

111

ketiga dimensi taktik pengaruh proaktif meningkat karena terintegrasinya

antara peran executive coaching dengan dimensi kepemimpinan

transformasional. Inspiration appeal tidak meningkat meskipun dilakukan

coaching, karena kepala penjualan adalah tipe orang yang sudah memiliki

komitmen untuk mencapai target, karena target adalah kesempatan

mendapatkan bonus, jalan-jalan keluar negeri dan naik pangkat. Hal inilah

yang menyebabkan tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah di coaching.

Executive coaching mengubah perilaku kepala penjualan dari yang

kurang menjadi baik ataupun yang sudah baik menjadi lebih baik dan hal ini

sesuai dengan konsep coaching dari International Coach Federation

(pramudianto, 2015) yaitu menstimulus coachee untuk menemukan

solusinya dengan peran coach yang memberdayakan pikiran dan mengajak

menari dalam paradigma yang baru sehingga mampu mengoptimalkan

kemampuan secara pribadi maupun organisasi. Keterampilan coaching

tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan organisasi khususnya

perusahaan yang diteliti, oleh karena itu, budaya yang telah dibangun sangat

menunjang pelaksanaan tersebut. Nilai pertama yang sangat penting dan

menjadi dasar adalah integritas dan kejujuran yang merupakan keselarasan,

kerendahan hati, dan keberanian. Keselarasan: hidup dengan nilai-nilai dan

keyakinan dan melakukan apa yang dikatakan. Rendah hati: berpegang teguh

pada prinsip, terutama di saat–saat sulit. Lebih mementingkan hal yang benar,

daripada menjadi pihak yang paling benar. Keberanian: bertindak sesuai dengan

prinsip. Anda melakukan hal yang benar, terutama ketika hal itu sangat sulit

dilakukan. Nilai integritas dan kejujuran adalah melakukan kegiatan atau

tindakan dengan penuh komitmen, konsisten, tanggung jawab dan jujur,

meskipun berada dalam keadaan sulit dengan berfokus pada perusahaan sesuai

dengan kebijakan perusahaan yang berlaku.

Temuan riset menunjukkan subjek dengan pemimpin transfor-

masional mengalami perubahan perilaku yaitu mampu melakukan

komunikasi dengan baik, menunjukkan proses yang dilakukan dalam

112

mencapai tujuan dan bahkan komitmen yang diungkapkan benar-benar

dilakukan, hal tersebut sesuai dengan penelitian Bono et al. (2009) yang

memberi bukti empiris bahwa psikologi dalam executive coaching berperan

penting dalam perubahan perilaku manajer sebagai sumber daya manusia di

organisasi. Subjek mendapatkan sapaan dan pertanyaan dengan kata-kata

proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki kesan positif

terhadap subjek tersebut. Kondisi ini menyebabkan proses sapaan/pertanyaan

berfungsi dengan baik yaitu subjek memiliki motivasi, merasa terstimulus,

tertantang untuk mengungkapkan ide-ide dan rencana menjalankan

komitmennya sehingga mampu untuk meningkatkan kinerjanya. Subjek

menjawab dengan semangat, smart dan mengarah pada solusi, hal tersebut

terbukti dalam jangka waktu menjawab memiliki jeda yang pendek. Subjek

merespon dengan cepat dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna

semangat, jelas (tidak multi tafsir atau ambigu) subjek mengatakan bahwa

perusahaan memiliki kepedulian kepada karyawan, merasa lebih

diperhatikan, memberi semangat, dan motivasi. Hal tersebut sejalan dengan

riset dari Gundersen, Hellesoy, dan Raeder (2012) bahwa tipe kepemimpinan

transformasional di lingkungan kerja yang dinamis memberikan dampak

kinerja yang efektif bagi karyawan dan efektivitas bagi organisasi. Kepala

cabang di perusahaan otomotif sangat merasakan hasil dari executive

coaching terhadap para kepala penjualan di Indonesia.

Tujuan perusahaan adalah peningkatan omset dan supaya hal tersebut

tercapai maka perlu meningkatkan promosi. Padahal keberhasilan dan

kegagalan bisnis tidak hanya ditentukan oleh promosi. Promosi memang

penting, tetapi bukan satu-satunya yang akan meningkatkan omset.

Meningkatkan omset bukan hanya promosi yang harus diperbaiki, tetapi

seluruh aspek yang memengaruhi bisnis. Perbaikan bukan hanya strategi,

taktik, sumber daya, tetapi juga harus memperbaiki orang-orang dalam bisnis

tersebut, dan bukan hanya masalah sikap dan keterampilan, tetapi masalah

mental dan energi yang tidak terlihat. Ada hal-hal yang tidak “terlihat” yang

akan menentukan keberhasilan bisnis dalam sebuah perusahaan. Melalui

113

proses executive coaching mampu memberikan kesadaran kepada para

kepala penjualan untuk tidak fokus pada hal-hal yang terlihat saja namun

juga memperhatikan mental dan spiritualnya. Hal itu terbukti para kepala

penjualan semangat untuk mengikuti training-training yang diadakan,

pengembangan knowledge manajemen dan mengadakan kegiatan-kegiatan

kebersamaan diantara mereka dengan para tenaga penjualan.

Statistik 2015 tentang penjualan di Indonesia bahwa 44% dari tenaga

penjualan menyerah setelah satu kali penolakan. Rata-rata salesman hanya

melakukan 2 upaya follow up untuk menghubungi prospek. Sementara rata-

rata untuk menghubungi prospek minimum 5 kali follow up baru akan

terhubung. Setelah pertemuan pertama, 80% dari penjualan memerlukan 5

follow up. Penelitian menunjukkan bahwa 35-50% transaksi diberikan

kepada vendor yang merespon paling cepat. Jika tenaga penjualan

menindaklanjuti permintaan dari website dalam waktu 5 menit, maka 9 kali

lebih memberi kemungkinan closing. Jika 63% dari orang yang meminta

informasi tentang perusahaan maka hari ini tidak akan membeli setidaknya

tiga bulan dan 20% akan mengambil lebih dari 12 bulan untuk membeli. Dari

100% database hanya 25% dari data prospek yang sah, lengkap, dan dapat di

follow up. 50% dari lead, memang berkualitas tetapi belum siap untuk

membeli. Lead yang dipupuk akan melakukan pembelian 47% lebih besar

dari lead yang tidak dipelihara. Dari data tersebut maka ditemukan peluang

bagi pemimpin yang mau belajar dan menerapkan teknik executive coaching

dan hasilnya dalam 6-9 bulan menjadi sangat efektif dalam membantu

perusahaan mengembalikan fokus dan menggali potensi sedalam-dalamnya.

Perusahaan sudah memiliki sumber daya untuk sukses, sayangnya, banyak

yang tidak menyadari. Para ilmuwan, filsuf, ahli-ahli, dan miliarder di dunia

pernah mengatakan segala sesuatu terjadi dua kali, pertama di pikiran, kedua

di dunia nyata. Dalam executive coaching memberikan tools berupa

pertanyaan yang membawa klien merasakan goal itu sudah terwujud

sehingga dapat membantu setiap klien dengan lebih cepat. Hal yang menarik,

ketika mampu membayangkan goal terwujud, berarti dapat

114

memvisualisasikan strategi untuk mencapai goal tersebut. Hal tersebut

sejalan dengan Warrenfeltz (2000) bahwa keberadaan executive coaching

mampu mendorong organisasi untuk lebih efisien dan efektif dalam

pengelolaan sumber daya manusia.

Dalam penelitian ini ditemukan karakteristik perubahan perilaku yang

sangat signifikan, khususnya para coachee memiliki hubungan yang lebih

baik terhadap atasan langsung dan dalam levelnya atasan yang lebih tinggi,

serta hubungan dengan para sales menjadi lebih produktif. Kalimat-kalimat

yang dikeluarkan oleh kepala penjualan pada saat briefing dengan para

tenaga penjualan sangat dirasakan berbeda, khususnya tidak menekankan

target saja lebih ada sikap empati dan kerjasama bahkan tiap pagi dilakukan

renungan dengan belajar dari pengalaman orang-orang sukses ataupun

pengalaman sesama karyawan. Proses yang dilakukan kepala penjualan

memberikan dampak kepercayaan yang tinggi dan hal tersebut tampak

kedisiplinan para tenaga penjualan dalam memberikan laporan harian secara

tepat. Kebiasaan para tenaga penjualan datang terlambat dengan berbagai

alasan demikian juga seringkali sore hari tidak kembali ke kantor padahal

masing-masing tenaga penjualan harus melaporkan aktivitas kesehariannya

dalam mencari prospek. Melalui executive coaching yang dilakukan kepala

cabang kepada kepala penjualan memiliki dampak yang sangat baik dalam

perubahan perilaku para tenaga penjualan. Para kepala cabang belajar

mengubah diri, mengubah paradigma berpikir dan berdampak pada

perubahan kepala penjualan yang akhirnya para tenaga penjualan pun

berubah karena pendekatan para kepala penjualan yang berbeda dan lebih

pada sikap empati, menyetuh perasaan para tenaga penjualan. Seorang

pemimpin menjadi produktif yaitu apa yang diucapkan sama dengan pada

yang dilakuan sehingga seluruh karyawannya memiliki figur yang diteladani.

Pemimpin selalu berani membuka jalan, karyawan lain mengikuti dan

bahkan mampu untuk membuka jalan sendiri untuk mencapai tujuannya.

Seorang pemimpin yang mengunakan teknik executive coaching dan

memiliki tipe kepemimpinan transformasional mampu mengomunikasikan

115

gambaran akan masa depan organisasi dengan jelas dan kreatif hal tersebut

akan membantu perusahaan bergerak lebih dinamis. Berdasarkan respon dari

subjek, maka proses kepemimpinan transformasional berhasil. Subjek

merespon sesuai dengan kalimat yang diberikan oleh coach. Ada perbedaan

yang signifikan, yaitu pemimpin dengan tipe kepemimpinan transfor-

masional, para subjeknya menjawab dengan penjelasan yaitu berupa proses

dan rencana tindakan. Subjek menjelaskan dengan antusias, dan

menunjukkan action plan-nya, bahkan jawabannya rinci, kalaupun singkat

tetapi jelas dan padat. Evaluasi yang dipaparkan semua mengatakan bahwa

model pemimpin yang memiliki tipe transformasional memberikan manfaat

dalam membuka paradigma, alternatif baru, mengingatkan, memberdaya-

kan, mengoptimalkan cara berpikir, bertindak dan menambah semangat

dalam melakukan penjualan.

Dalam berbagai literatur bahwa tipe kepemimpinan memiliki

pengaruh dalam kepemimpinan. Jika seseorang dapat meningkatkan

pengaruhnya dalam diri orang lain, maka dapat memimpin dengan lebih

efektif. Kepemimpinan adalah sebuah proses, bukan jabatan. Kepemimpinan

yang baik bukan mengenai pengembangan diri sendiri, melainkan mengenai

pengembangan tim dan bahkan mampu menciptakan pemimpin baru.

Memimpin orang lain dengan baik dan membantu anggota tim menjadi

pemimpin yang efektif, berdampak pada karier bawahan menjadi sukses.

Praktik kepemimpinan adalah tindakan yang mungkin mendatangkan

hasil dalam keadaan atau kondisi tertentu namun tidak bisa diterapkan dalam

keadaan lain, yang artinya memiliki karakteristik yang situasional. Namun,

prinsip seorang pemimpin adalah kebenaran eksternal yang bisa dipercayai.

Prinsip itu penting karena berfungsi sebagai peta yang mengambil keputusan

yang bijaksana. Bagaimanapun juga jika menerima sebuah prinsip dan

menjadikannya sebagai bagian dari pola pikir dan tindakan, prinsip itu pun

akan menjadi bagian dari nilai seorang pemimpin. Saat pemimpin menyukai

orang lain dan memerlakukan seakan-akan bernilai, pemimpin mulai

116

mengembangkan pengaruh dalam diri orang tersebut. Seorang pemimpin

dapat menyukai orang lain tanpa memimpin, namun pemimpin tidak dapat

memimpin orang lain dengan baik jika pemimpin tidak menyukai orang-

orang tersebut. Para pemimpin yang baik tidak hanya sekedar menciptakan

lingkungan kerja yang menyenangkan, pemimpin bisa menjadi orang yang

mendorong terjadinya perubahan. Para pemimpin menjadi besar bukan

karena kekuasaan, melainkan karena kemampuan memberdayakan orang lain

Seseorang yang penuh rasa hormat, menyenangkan, dan produktif dapat

memberikan pengaruh besar dalam diri orang lain dan memperoleh pengikut

dengan sangat mudah. Hal tersebut sangat nampak dalam relasi antara

pemimpin transformasional yang mampu mendorong suatu perubahan

perilaku terhadap timnya dan semakin besar perubahannya bahkan

melampaui harapan ketika menggunakan teknik executive coaching.

Executive coaching suatu keterampilan dan harus bersinergi dengan

kepemimpinan yang memiliki integritas dalam praktiknya. Budaya yang

terbangun sangatlah memengaruhi praktik executive coaching di perusahaan

yang diteliti membuat sinergi antara executive coaching, kepemimpinan, dan

budaya. Integritas dan kejujuran tidak hanya berkaitan dengan material, namun

juga berkaitan dengan time management. Kerja keras adalah kegiatan yang

dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah atau berhenti sebelum

target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau memerhatikan kepuasan

hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Kerja keras dapat diartikan bekerja

mempunyai sifat yang bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran yang ingin

dicapai. Pemimpin dapat memanfaatkan waktu optimal sehingga kadang-kadang

tidak mengenal waktu, jarak, dan kesulitan yang dihadapainya. Pemimpin sangat

bersemangat dan berusaha keras untuk meraih hasil yang baik dan maksimal.

Pemimpin perusahaan yang mampu menyelaraskan antara executive

coaching, kepemimpinan transformasional, dan budaya organisasi mendapatkan

hasil yang maksimal bahkan mendapatkan penghargaan dari berbagai lembaga.

Hasil yang dirasakan masyarakat yaitu pelayanan yang terbaik dan berdampak

117

pada perbaikan-perbaikan terus menerus, membuahkan inovasi-inovasi baru.

Hubungan antara pimpinan sangat terbuka, dari desain ruangan saja antardireksi

tidak ada sekat, para chief executive officer dan kepala divisi menempati ruang

kaca, dan kapanpun bisa ditemui untuk berdiskusi. Seperti tidak ada jarak antara

karyawan dengan para pimpinan. Kenyataannya budaya coaching mulai

bertumbuh bahkan tidak lagi satu tahun pimpinan menjalankan executive

coaching dua kali, kapan saja karyawan dapat datang untuk mendapatkan

coaching dengan atasannya. Secara perlahan budaya coaching mulai

terimplementasikan dan pimpinan tidak lagi memanggil karyawan untuk

dicoaching, melainkan karyawan aktif minta dicoaching jika mengalami

kesulitan atau ingin meningkatkan performance nya.

Program executive coaching membantu membangun perilaku/ habit

baru di dalam organisasi dan membawa organisasi kepada sustainable

superior performances. Sebagai pemimpin membantu pemimpin lain dalam

memimpin proses yang membuat tim dan organisasi mampu mencapai hasil

yang hebat dan belum pernah dicapai sebelumnya. Executive coaching

membantu mengarahkan dan mengubah cara pemimpin dalam memimpin

untuk mengikut sertakan timnya, supaya mampu meningkatkan hasil yang

dicapai. Sebagai individu mengerti apa yang harus dikerjakan untuk

mencapai tujuan bersama, menjadi karyawan yang lebih produktif dengan

fokus kepada pekerjaan yang mendukung pencapaian tujuan organisasi.

Belajar menggunakan proses dan sistem untuk fokus kepada pencapaian

tujuan, membawa ide baru yang lebih baik kepada tim dan organisasi

sehingga terjadi proses perbaikan secara terus menerus.

5.3 Pembahasan Hipotesis 3

H3 Taktik pengaruh proaktif subjek yang memiliki tipe kepemimpinan

transaksional dengan menggunakan executive coaching lebih baik

dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa

menggunakan executive coaching.

118

Hasil hipotesis 3 yaitu tipe kepemimpinan transaksional dengan

executive coaching memiliki dampak terhadap taktik pengaruh proaktif

dalam dimensi rational persuasion dan inspirational appeal. Hal ini menarik

karena keselarasan dua keterampilan tersebut tidaklah mudah untuk

dipraktikkan. Dimensi rational persuasion memiliki lonjakan yang sangat

signifikan dari 73.96 (tinggi) setelah dilakukan executive coaching menjadi

80.83 (tinggi) hal ini disebabkan bahwa prinsip coaching adalah memberikan

kesempatan kepada coachee memberdayakan diri dan tugas coach menggali

pikiran coachee untuk menemukan alternatif-alternatif baru, sehingga

kemampuan coachee menggunakan argumen yang logis mengalami kenaikan

dari sedang ke tinggi. Coach berhasil mengeksplorasi pikiran coachee

sehingga ide-idenya yang dituangkan dalam action plan benar-benar masuk

akal, relevan dan mampu mencapai tujuan. Seorang pemimpin tipe

transaksional menekankan pada kebutuhan fisik yang terwarnai dalam proses

tawar menawar antara atasan dan bawahan, sehingg sangat logis jika dimensi

ini awalnya sudah tinggi dan dilakukan coaching dengan nuansa tekanan

yang diwujudkan dalam tulisan yang berbentuk kapital. Dimensi

inspirational appeal meski naik dari 72.92 menjadi 80.42 namun masih

dalam range yang sama yaitu tinggi. Hal ini terjadi karena tipikal seorang

pemimpin transaksional menekankan pada bawahan yang mampu

meminimalkan kesalahan sehingga memfokuskan pada membandingkan

nilai–nilai orang tersebut dan cita-cita untuk membangkitkan emosi agar

mendapatkan komitmen untuk mencapai target yang ditentukan. Sedangkan

dimensi consultation dan collaboration tidak berubah meskipun mendapat-

kan executive coaching. Hal ini dimungkinkan karena tuntutan yang tinggi

terhadap capaian target maka sikap untuk saling menawarkan bantuan

sumberdaya yang ada, mendiskusikan prospek sudah tidak terpikirkan, yang

penting masing-masing dapat mengejar targetnya. Sikap individual/

egosentris mewarnai keperilakuan para kepala penjualan dan berdampak

kepada tenaga penjualan

119

Temuan penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami tekanan

dikarenakan proses pertanyaan selalu menekankan hasil yaitu delivery order

ataupun surat pemesanan kendaraan. Tekanan tersebut ditambah dengan

tulisan yang menggunakan huruf kapital. Subjek merasa pemimpin tidak

sopan, sedang dalam kondisi marah, tidak menghargai usahanya, mengajak

konfrontatif sehingga menganggap sapaan ini hanyalah sebagai reminder

atau pengingat bahwa memiliki target, bahkan mendesak untuk

menyelesaikan target. Selain hal itu, subjek merasakan tidak adanya

perubahan perilaku yaitu ketika melakukan keputusan yang berkaitan dengan

strategi taktik pengaruh proaktif dari menggunakan argumen logis dan bukti

faktual yang menunjukkan bahwa permintaan layak dan relevan untuk

kepentingan dalam mencapai tujuan (rational persuasion).

Pemimpin dengan tipe kepemimpinan transaksional memiliki

kecenderungan fokus pada hasil dan hanya sekedar memberi keyakinan dan

menuntut terhadap hasil. Jawaban singkat dan lugas, bahkan pada awalnya

tidak merespon. Orientasi pada angka atau hasil serta jangka pendek. Proses

motivasi hanya dianggap sebagai pengingat untuk mencapai target, bukan

sebagai penggerak untuk perubahan perilaku. Jawaban-jawaban juga

terprovokasi dalam proses email dengan tulisan huruf besar (kapital).

Sebagian menyatakan tidak nyaman tidak sesuai kaidah, dianggap tidak etis

dan seolah-olah sedang dalam kondisi marah. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Sarah, Elizabeth, and Lauren (2005) dalam penelitian menunjukkan

bahwa teks yang semua ditulis dengan format kapital berpengaruh terhadap

waktu membaca yang lebih lambat, lebih banyak kesalahan dalam menjawab

pertanyaan, dan bentuk yang paling tidak disukai karena sulit untuk dibaca,

hal ini ditekankan oleh Hakki (2013) bahwa tulisan dengan huruf kapital

mempersulit pembaca dan memengaruhi dalam menjawab. Karen (1980)

menjelaskan bahwa penulisan dengan huruf kapital menunjukkan

kesombongan diri, kebanggaan diri yang berlebihan, dan kesadaran diri yang

berlebihan. Sedangkan Annete (2013) menegaskan bahwa penulisan huruf

120

kapital ingin menunjukkan apa yang ditulis adalah penting, penulisnya

emosional dan di sisi lain memiliki percaya diri yang kurang.

Penelitian ini diperkuat oleh teori pertukaran nilai yang dikemukan

Molm dan Cook (1992) bahwa seseorang dalam hal transaksional memiliki

tiga atribut yaitu mengenau hubungan kekuasaan dan ketergantungan,

keperilakuan yang didasarkan keuntungan dan kerugian, serta dipengaruhi

oleh perubahan struktur sosial. Sangat wajar menilik teori Homans (1967)

bahwa sikap orang yang melakukan transaksi adalah berdasarkan ganjaran

dan hukuman, sehingga sikap individualisme terus terpupuk dan

keperilakuan konsultasi dan kolaborasi menjadi hilang dan tidak dibutuhkan.

5.4 Pembahasan Hipotesis 4

Hasil pengujian taktik pengaruh proaktif kepala penjualan dengan

tipe kepemimpinan transformasional yang mendapatkan executive coaching

lebih baik dibandingkan taktik pengaruh proaktif kepala penjualan dengan

tipe kepemimpinan transaksional dengan executive coaching melalui

pengujian komparatif dengan Uji Independent Sample t-Test menghasilkan

nilai signifikansi sebesar 0,000 dimana nilai signifikansi tersebut lebih kecil

dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan

trasnformasional dengan executive coaching secara statistik terbukti

memiliki perbedaan dengan tipe kepemimpinan transaksional dengan

executive coaching.

Pada analisis deskriptif diperoleh nilai rerata untuk kepemimpinan

transformasional dengan executive coaching sebesar 79,95 dan

kepemimpinan transaksional dengan executive coaching sebesar 69,88.

Artinya, Executive Coaching lebih efektif bila diberikan pada tipe

kepemimpinan transformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan

transaksional.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 4 didukung oleh bukti

empiris dalam penelitian ini. Coachee yang mendapat coaching dengan tipe

121

kepemimpinan transformasional, memiliki pengaruh lebih baik terhadap

strategi taktik pengaruh proaktif dibanding dengan mendapatkan coaching

dengan tipe kepemimpinan transaksional. Temuan penelitian menunjukkan

coachee yang diberikan coaching dengan pemimpin transformasional

mengalami perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan

baik, nampak melakukan bentuk konsultasi secara intensif dengan pimpinan

untuk mendapatkan solusi.

Coaching bagaikan jembatan yang menghubungkan antara bawahan

dan atasan sehingga saling percaya, saling memiliki keterikatan, serta

mengantar pada satu tujuan. Coachee benar-benar menunjukkan proses yang

dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan komitmen yang diungkapkan

benar-benar dilakukan. Subjek diberikan virtual coaching dengan metode

coaching pemimpin transformasional dengan menggunakan kata-kata

proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki kesan positif

terhadap subjek terebut, kondisi ini menyebabkan proses coaching berjalan

dengan baik yaitu mendapatkan komitmen dari para coachee. Dalam proses

ini terdapat sebuah perubahan dari see (paradigm) yaitu para coachee

melihat dan merasakan atas komunikasi yang diberikan oleh pimpinan,

membuat mereka merubah peta pikiran terhadap pimpinan maupun

pekerjaannya. Perubahan peta pikir itulah membuat do (behavior)-

melakukan suatu tindakan atau perilaku berdasarkan peta pikir yang baru.

Perilaku yang baru yaitu menggunakan model konsultatif untuk mencapai

tujuan sehingga memasuki tahap get (result), yaitu hasil yang diperoleh

menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam konsep ini dipahami bahwa

antara coach dan coachee membutuhkan trust yang singkatannya truth,

responsibility, uniqueness, self control dan time (pramudianto, 2015)

sehingga keduanya saling jujur dalam mengemukakan tujuan yang mau

dicapai, saling bertanggungjawab dalam merespon, coach menempatkan

coachee sebagai pribadi yang unik, mampu mengontrol emosi sehingga

dalam proses coaching tidak berubah peran sebagai konsultan, penasihat dan

yang lain. Kemampuan pemimpin untuk memahami waktu berdasarkan

122

momentum membantu coache menemukan solusi dan action plan dengan

tepat sehingga mempercepat pencapaian dan bahkan capaian melebihi

harapan yang telah ditargetkan.

Hasil dari executive coaching yang memiliki tipe kepemimpinan

transformasional memiliki dampak yang luar biasa karena dari 24 subjek

atau kepala penjualan pada tahun 2015 dan 2016 sebagian besar diangkat

menjadi kepala cabang sisanya pindah pekerjaan dan masih menjadi kepala

penjualan senior. Sedangkan dari 24 subjek atau kepala penjualan tipe

kepemimpinan transaksional pada tahun 2015 dan 2016 akhir hanya sedikit

yang menjadi kepala cabang dan sebagian besar keluar dari pekerjaan.

Hal ini menunjukkan bahwa executive coaching dengan

kepemimpinan transformasional membuka peluang keterbukaan antara

pemimpin dengan bawahannya. Keterbukaan ini membawa dampak

hubungan antara pemimpin dan bawahan lebih harmonis sehingga

meminimalkan pemimpin terlambat mendapatkan informasi dan bahkan

pemimpin mampu melakukan tracking terhadap proses performance anak

buahnya. Trust menjadi sesuatu yang vital dalam proses coaching. Coachee

memiliki trust kepada coach, karena ada dua elemen yang penting yaitu

kompetensi dan karakter.

Kondisi sebaliknya terjadi pada coaching dengan tipe kepemimpinan

transaksional, temuan penelitian menunjukkan bahwa coachee mengalami

tekanan dikarenakan proses coaching selalu menekankan hasil yaitu delivery

order ataupun surat pemesanan kendaraan. Tekanan tersebut ditambah

dengan tulisan yang menggunakan huruf kapital. Coachee merasa coach

tidak sopan, sedang dalam kondisi marah, sehingga menganggap coaching

ini hanyalah sebagai reminder atau pengingat memiliki target. Selain hal itu,

coachee merasakan tidak adanya perubahan perilaku yaitu ketika melakukan

keputusan yang berkaitan dengan strategi taktik pengaruh proaktif dari

menggunakan argumen logis dan bukti faktual yang menunjukkan bahwa

permintaan layak dan relevan untuk kepentingan dalam mencapai tujuan

123

(rational persuasion). Bahkan dalam penilaian coachee terhadap

consultation, yaitu meminta orang untuk memberi saran perbaikan atau

membantu merencanakan kegiatan atau perubahan yang diajukan untuk

mendukung tujuan yang diinginkan menjadi minus (-). Hal ini dapat

disimpulkan bahwa coachee mengalami penurunan kepercayaan kepada

coach atau atasannya yang menggunakan tipe kepemimpinan transaksional.

Bahwa kepercayaan adalah pelumas yang memungkinkan organisasi berjalan

sehingga jika dalam organisasi tidak ada pelumas, maka hubungan satu

dengan yang lain tidak akan terjadi hubungan yang harmonis. Bagaikan

masyarakat yang dikenai pajak, namun tidak tahu pajak itu digunakan untuk

apa. Hubungan pimpinan dan bawahan terjadi hanya karena jabatan, bukan

karena saling percaya dan yang terjadi satu dengan yang lain hanya saling

mencurigai.

Temuan ini mengkonfirmasi temuan-temuan penelitian sebelumnya

Sherman dan Freas (2004), tujuan executive coaching adalah untuk

menghasilkan pembelajaran, perubahan perilaku, pertumbuhan coachee dan

Northouse (2001) menekankan bahwa kepemimpinan transformasional

adalah suatu proses yang mengubah dan menstransformasi individu.

Kepemimpinan transaksional menurut Burns (1978) merupakan hubungan

antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas

tawar menawar antarkeduanya dan memiliki karakteristik contingent reward

dan management by-exception. Hal tersebut tampak dalam percakapan antara

coach dan coachee dengan perbedaan tipe kepemimpinan.

Coachee yang memiliki trust kepada atasannya mampu melakukan

transformasi diri, bagaikan dari ulat, kepompong sampai kupu-kupu yang

mampu terbang dengan keindahannya. Coachee tahu apa yang mesti

dijalankan, mampu membangun motivasi dirinya dan timnya. Ungkapan-

ungkapannya menunjukkan selalu bersama dengan timnya untuk bergerak ke

depan, target bukanlah tujuan, melainkan perubahan perilaku sebagai lead

measure yang diyakini berdampak pada hasil.

124

Egan (2013) menyatakan bahwa riset executive coaching berpotensi

untuk dikembangkan dengan mencermati agenda riset Feldman dan Lankau

(2005) serta Joo (2005) bahwa coachee dapat meningkatkan self-ratings

dalam mencapai tujuan dengan mengembangkan relasi dalam executive

coaching. Media coaching yang selama ini dilakukan dengan tatap muka dan

media telepon memberi hasil peningkatan kinerja (Niemenien et al. 2013;

Kochnowski et al. 2010). Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan

Filsinger et al. (2014) memberi bukti empiris bahwa executive coaching bisa

dilakukan berbantuan perangkat virtual. Pengembangan riset coaching

berbasis elektronik (e-coaching) dengan telepon dilakukan oleh Filsinger et

al. (2014). Pelaksanaan coaching dengan menggunakan perangkat email

merupakan salah satu bagian berbasis elektronik atau virtual coaching.

Seifert et al. (2003) menemukan bahwa umpan balik melalui sebuah

lokakarya meningkatkan penggunaan dua taktik inti (consultation dan

collaboration) oleh manajer dalam upaya memengaruhi dengan bawahan.

Hal tersebut tampak dalam pelaksanaan executive coaching dengan

menggunakan kepemimpinan transformasional meningkatkan penggunaan

taktik konsultasi.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 4 didukung oleh bukti

empiris dalam penelitian ini. Bahwa multisource feedback, keberadaan

executive coaching dengan tipe kepemimpinan transformasional akan

memberikan taktik pengaruh proaktif terbaik. Temuan penelitian

menunjukkan subjek yang dengan pemimpin transformasional mengalami

perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan baik,

menunjukkan proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan

komitmen yang diungkapkan benar-benar dilakukan. Subjek diberikan

sapaan kata-kata proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki

kesan positif terhadap subjek terebut, kondisi ini menyebabkan proses sapaan

berjalan dengan baik yaitu subjek memiliki motivasi untuk meningkatkan

kinerjanya. Subjek menjawab dengan semangat, hal tersebut terbukti dalam

jangka waktu menjawab memiliki jeda yang pendek. Subjek merespon

125

dengan cepat dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna semangat,

subjek mengatakan bahwa perusahaan memiliki kepedulian kepada

karyawan, merasa lebih diperhatikan, memberi semangat dan motivasi.

Subjek memiliki daya kreatif yang lebih karena dengan sapaan tersebut

memberikan ide-ide untuk mencapai tujuan dan bahkan perencanaan yang

telah disusun dengan detail untuk mempermudah dalam menjalankan inisiatif

tersebut. Implementasi yang dilakukan subjek menjadi menarik dan dinamis.

Temuan ini mengkonfirmasi temuan-temuan penelitian sebelumnya

Seifert (2003) bahwa pendekatan executive coaching sangat efektif untuk

meningkatkan kinerja dan sejalan riset dari Nieminen et al (2013) yang

menunjukkan bahwa peratingan kepemimpinan secara rata-rata lebih baik

pada manajer dengan executive coaching daripada manajer tanpa executive

coaching.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa executive coaching

dengan tipe kepemimpinan tertentu merupakan perpaduan teknik

pengembangan sumber daya manusia yang memiliki orientasi ke depan.

Peningkatan performa sumber daya manusia, mampu dimaksimalkan

sehingga kontribusi terhadap perusahaan semakin besar dan berdampak pada

produktivitas menjadi maksimal. Dalam penelitian ini yang memiliki dampak

besar dalam executive coaching adalah pimpinan yang memiliki tipe

kepemimpinan transformasional.

Pada hakikatnya, executive coaching memiliki dampak bagi

pengembangan sumber daya manusia di perusahaan yang diteliti sehingga

menjadi kewajiban seluruh pimpinan menguasai teknik coaching. Dirasakan

banyak manfaatnya maka dikembangkan virtual coaching khususnya untuk

para pimpinan di bidang marketing. Marketing yang tersebar di seluruh kota-

kota di Indonesia sangat terbantu karena tidak mudah memiliki kesempatan

tatap muka dengan para tenaga penjualan, efektif, dan efisien. Penyelarasan

terus diupayakan antara executive coaching, kepemimpinan transformasional

dan budaya perusahaan, karena meyakini bila terbentuk sinergi maka

126

hasilnya sangat luar biasa. Tantangannya adalah para pimpinan di bidang

penjualan sebagian terbiasa dengan kepemimpinan transaksional karena

terbentuk pada kondisi yang tertekan oleh target semasa menjadi tenaga

penjualan. Mengubah paradigma itulah perusahaan melakukan berbagai

pelatihan tentang mindset, change management, dan yang lain.

Hasil penelitian ini mengukuhkan bagi perusahaan terhadap apa yang

dilakukan saat ini benar, bagian sumber daya manusia tinggal melanjutkan

proses dan selalu melakukan perbaikan-perbaikan. Setiap langkah selalu

menggunakan proses Plan Do Check Action, sehingga memudahkan

pelaksanaan tracking setiap kegiatan. Hal ini sudah menjadi siklus

Performance Management Process di perusahaan yang meliputi Planning

(goal setting) – Managing (performance monitoring, cotinuous feedback,

coaching & counseling) – Evaluating (mid year, performance review).