bab 2 tinjauan teori dan pengembangan...

28
21 BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Executive Coaching Tobias (1996) menyatakan bahwa executive coaching merupakan istilah di dunia bisnis pada akhir 1980-an, meskipun executive coaching telah ada sejak tahun 1940-an, mereka setuju bahwa itu barulah sebuah permulaan (Kilburg 1996; Olesen, 1996). Kata coaching tersebut digunakan karena lebih tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog berargumen bahwa coaching dianggap hanya pengemasan ulang dalam praktek yang dilakukan di bawah payung konsultasi dan konseling. Sedangkan perkembangan konseling yang dilakukan oleh RHR Internasional sejak tahun 1940-an mendukung penelitian bidang executive coaching (Flory, 1965), dan Kilburg (1996, 2000) berpendapat bahwa dalam perusahaan konsultasi antara bawahan dan atasan dikenal sebagai executive coaching. Hal ini menyatakan bahwa para pimpinan mulai berlatih executive coaching ketika mereka memperoleh akses menjadi pemimpin organisasi. Akses executive coaching di dalam organisasi oleh psikolog telah dianggap sebagai upaya membawa “terapi” kepribadian (psikologis) ke tempat kerja, dan meningkatkan motivasi kerja karyawan (Filipczak, 1998; Tobias, 1996). Judge dan Cowell (1997) menyatakan bahwa adopsi executive coaching dalam kegiatan di perusahaan oleh para konsultan dimulai sekitar tahun 1990, meskipun pendekatan sebelum tahun 1990 telah ada sebagai bentuk intervensi, dan mereka percaya jika executive coaching ini bergerak dari pertumbuhan menuju fase pengembangan karyawan sehingga mampu meningkatkan kinerjanya. Harris (1999) secara singkat menyebutkan tiga fase dalam sejarah perkembangan executive coaching. Fase pertama terjadi antara tahun 19501979 ketika beberapa profesional melakukan pengembangan organisasi

Upload: ngonhi

Post on 18-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

21

BAB 2

TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Executive Coaching

Tobias (1996) menyatakan bahwa executive coaching merupakan

istilah di dunia bisnis pada akhir 1980-an, meskipun executive coaching telah

ada sejak tahun 1940-an, mereka setuju bahwa itu barulah sebuah permulaan

(Kilburg 1996; Olesen, 1996). Kata coaching tersebut digunakan karena lebih

tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog berargumen

bahwa coaching dianggap hanya pengemasan ulang dalam praktek yang

dilakukan di bawah payung konsultasi dan konseling.

Sedangkan perkembangan konseling yang dilakukan oleh RHR

Internasional sejak tahun 1940-an mendukung penelitian bidang executive

coaching (Flory, 1965), dan Kilburg (1996, 2000) berpendapat bahwa dalam

perusahaan konsultasi antara bawahan dan atasan dikenal sebagai executive

coaching. Hal ini menyatakan bahwa para pimpinan mulai berlatih executive

coaching ketika mereka memperoleh akses menjadi pemimpin organisasi.

Akses executive coaching di dalam organisasi oleh psikolog telah dianggap

sebagai upaya membawa “terapi” kepribadian (psikologis) ke tempat kerja,

dan meningkatkan motivasi kerja karyawan (Filipczak, 1998; Tobias, 1996).

Judge dan Cowell (1997) menyatakan bahwa adopsi executive coaching

dalam kegiatan di perusahaan oleh para konsultan dimulai sekitar tahun 1990,

meskipun pendekatan sebelum tahun 1990 telah ada sebagai bentuk

intervensi, dan mereka percaya jika executive coaching ini bergerak dari

pertumbuhan menuju fase pengembangan karyawan sehingga mampu

meningkatkan kinerjanya.

Harris (1999) secara singkat menyebutkan tiga fase dalam sejarah

perkembangan executive coaching. Fase pertama terjadi antara tahun 1950–

1979 ketika beberapa profesional melakukan pengembangan organisasi

Page 2: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

22

dengan teknik-teknik psikologi dan konseling untuk memberi motivasi

peningkatan kinerja karyawan dan melibatkan para executive. Sedangkan

selama periode pertengahan (1980–1994), para ahli mulai meningkatkan

profesionalisme di bidang coaching dengan memberikan standar layanan,

meskipun standarisasi penuh belum terjadi. Periode berjalan (1995–2005)

telah terjadi peningkatan dalam publikasi coaching yang akhirnya terjadi

pembentukan organisasi profesi yaitu The Profesional and Personal Coaches

Association, baru–baru ini dikenal sebagai International Coach Federation

(ICF).

Peterson (1996) menyatakan bahwa coaching melengkapi orang

dengan alat–alat, pengetahuan, dan kesempatan yang mereka butuhkan dalam

mengembangkan diri mereka sendiri untuk menjadi lebih efektif. Sementara

itu, Kampa-Kokesch dan Anderson (2001) mendefinisi coaching sebagai

bentuk intervensi umpan balik yang sistematis yang bertujuan untuk

meningkatkan keterampilan profesional, kesadaran interpersonal, dan

efektivitas pribadi. Orenstein (2002) berpendapat bahwa executive coaching

disebut sebagai tatap muka intervensi dengan manajer senior untuk tujuan

meningkatkan keterampilan manajemen.

McCauley dan Hezlett (2001) memaparkan bahwa executive coaching

melibatkan serangkaian interaksi yaitu tatap muka antara seorang manajer

atau eksekutif dan pihak eksternal. Coach lebih lanjut melakukan

pengembangan manajer yang profesional. Bacon dan Spear (2003)

menjelaskan bahwa coaching dalam konteks bisnis secara umum dapat

didefinisikan sebagai suatu dialog informasi yang tujuannya adalah

memfasilitasi keterampilan baru, wawasan untuk kepentingan pembelajaran

individu dan kemajuan organisasi.

Hall et al. (1999) memaparkan bahwa coaching adalah suatu upaya

untuk mencapai tujuan secara praktis dan berfokus pada pribadi, tatap muka

sebagai bentuk pembelajaran bagi para eksekutif yang sibuk dan dapat

digunakan untuk meningkatkan kinerja atau perilaku eksekutif, meningkatkan

Page 3: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

23

karir, dan menyelesaikan masalah organisasi dan membawa inisiatif

perubahan. Kilburg (1996) menyatakan bahwa executive coaching membantu

terbentuknya hubungan antara klien yang memiliki otoritas manajerial dalam

suatu organisasi dengan konsultan yang menggunakan berbagai teknik

perilaku dan metode untuk membantu klien dalam mencapai satu tujuan. Hal

tersebut mampu meningkatkan kinerja yang professional, kepuasan pribadi,

dan memiliki dampak meningkatkan efektivitas organisasi klien.

International Coach Federation (ICF) 2003, memberi penjelasan

bahwa professional coaching merupakan hubungan profesional yang

berkelanjutan untuk membantu orang menghasilkan hasil yang luar biasa

dalam hidup mereka yaitu, karir, bisnis, atau organisasi. Melalui coaching,

klien memiliki wawasan barau, meningkatkan kinerjanya, dan kualitas

hidupnya. Menurut Sherman dan Freas (2004), tujuan executive coaching

adalah untuk menghasilkan pembelajaran, perubahan perilaku, dan

pertumbuhan coachee untuk memiliki manfaat ekonomi dari klien yang

mempekerjakan coachee tersebut. Meskipun ada sedikit perbedaan, tujuan

umum executive coaching bisa mengubah perilaku, kesadaran diri,

pembelajaran diri, yang akhirnya berupa keberhasilan karir dan kinerja

organisasi. Dengan demikian, executive coaching didefinisi sebagai proses

atas satu hubungan antara eksekutif (coach) dengan staf di bawahnya

(coachee) untuk tujuan meningkatkan perubahan perilaku coachee melalui

kesadaran diri, pembelajaran diri, dan dengan demikian akhirnya untuk

keberhasilan individu dan organisasi. Garman, et, al. (2000) berpendapat

bahwa praktek coaching memiliki perspektif yang luas dalam pengembangan

kinerja karyawan sehingga prakteknya tidak harus dilakukan oleh orang yang

berlatarbelakang psikologi dan konselor. Hal ini sejalan dengan Olivero et al.

(1997) karena coaching berada pada ranah pimpinan atau eksekutif yang

berupaya meningkatkan produktivitas karyawan. Definisi ini akan menjadi

dasar dari kerangka kerja konseptual yang akan disajikan dalam riset ini.

Page 4: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

24

2.2. Multi Source Feedback dan Executive Coaching

Secara umum, perusahaan yang efektif menggunakan program

pelatihan dan pengembangan cenderung memiliki kinerja keuangan yang

lebih baik (Becker dan Gerhart, 1996; Hatch dan Dyer, 2004; Huselid, 1995;

Pfeffer, 2005). Sayangnya, penelitian tentang efektifitas metode

pengembangan manajemen belum sejalan dengan peningkatan penggunaan

metode coaching dalam organisasi (Collins dan Holton, 2004). Pemakaian

multisource feedback untuk penilaian manajer merupakan salah satu metode

populer untuk untuk mengukur kinerjanya. Umpan balik yang akurat sangat

penting untuk belajar bagaimana meningkatkan dan memperbaiki perilaku

(DeNisi dan Kluger, 2000). Umpan balik yang sering dipakai dalam

perusahaan hanya berasal dari atasan saja biasa disebut single feedback,

sedangkan program umpan balik multisource setidaknya memiliki dua

sumber independen, seperti bawahan, rekan kerja, bos, dan orang-orang di

luar organisasi (Lepsinger dan Lucia, 1997). Hal ini memerlengkapi

seseorang dalam peningkatan kinerja.

McCauley and Hezlett (2001) menyatakan bahwa kemawasan diri

dalam hal perubahan perilaku dibutuhkan untuk kebutuhan pengembangan

kepemimpinan. Perubahan dari waktu ke waktu atas perilaku dan keefektifan

kepemimpinan dalam nilai MSF dibandingkan dalam dua kelompok

pemimpin, McCauley and Hezlett (2001). Kelompok pertama terdiri dari

manajer yang belum terlatih dan berpartisipasi dalam feedback workshop

tepat setelah pra-pengukuran dari MSF, sedangkan kelompok kedua

berpartisipasi pada feedback workshop beberapa sesi dengan seorang

executive coach. Hasilnya menunjukkan bahwa manajer dan supervisor pada

kedua kelompok meningkat, demikian juga untuk manajer yang menerima

executive coaching meningkat dalam hal swa-peratingan (self-ratings).

Secara spesifik, intervensi executive coaching memiliki pengaruh positif

terhadap keterlibatan penilaian pribadi pada manajer, yang menunjukkan

Page 5: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

25

konsistensi kinerja dan perilaku kepemimpinan yang berfokus pada misi

perusahaan.

Beberapa hasil penelitian terdahulu atas MSF dan executive coaching

memberikan temuan empiris yang beragam. Hazucha et al. (1993),

melakukan multisource feedback kepada eksekutif memberikan hasil

peningkatan kinerja dengan pengembangan dan dukungan lingkungan.

Sedangkan Rosti (1998) dalam penelitian menunjukkan bahwa grup

eksperimental (group yang diberikan training manajerial) mendapatkan hasil

yang lebih tinggi (lebih baik) dibandingkan dengan kontrol grup (grup yang

hanya diberikan seminar tanpa training). Diendrock (2007) melakukan

penelitian untuk mengetahui pengaruh program umpan balik (feedback,

fairness, integrity, and respec) terhadap perilaku kepemimpinan dan hasilnya

menunjukkan bahwa pada tahun kedua umpan balik menjadi lebih kecil

karena telah terjadi perubahan perilaku dalam organisasi. Hal ini ditunjang

penelitian Luthans dan Peterson (2003) menggunakan pra dan post-test

desain, tetapi tanpa kelompok kontrol dan menggunakan multisource

feedback dikombinasikan dengan coaching mampu meningkatkan kesadaran

diri, pengembangan diri, perubahan tingkah laku dan meningkatkan kinerja

karyawan.

Sedangkan Seifert et al. (2003) menggabungkan pendekatan executive

coaching dengan MSF desain penelitian dengan quasi-experimental pre-post

control group (executive coaching vs no executive coaching). Penelitian ini

memberikan bukti bahwa MSF sangat efektif untuk meningkatkan kinerja.

MSF yang dikolaborasi dengan executive coaching semakin dapat

meningkatkan kinerja.

Feldman dan Lankau (2005) menyelidiki konstruksi executive

coaching dan meneliti bagaimana pelatihan coaches professional dengan

intervensi karakteristik klien, melakukan executive coaching dengan tatap

muka dan MSF. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan bahwa executive

coaching memiliki manfaat positif, dimana profesional yang menggunakan

Page 6: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

26

jasa executive coach dapat membantu para eksekutif untuk mencapai tujuan

pribadi dan perusahaan. Sedangkan, Kochanowski et al., (2010) melakukan

pengujian keefektifan metode behavioral feedback dengan multiple feedback

field experiment dengan pre-post control group dengan partisipan eksekutif

supermarket dan hasilnya para eksekutif yang menerima coaching setelah

lokakarya umpan balik meningkatkan kerjasama dengan bawahan lebih dari

eksekutif yang tidak menerima coaching. Penelitian terkini atas MSF dan

executive coaching oleh Nieminen et al. (2013) yang melakukan pengujian

keefektifan metode behavioral feedback dengan multiplesource feedback dan

executive coaching menunjukkan bahwa peratingan kepemipinan secara rata-

rata lebih baik pada manajer dengan executive coaching daripada manajer

tanpa executive coaching. Metode coaching dilakukan dengan media telepon.

Penelitian tersebut belum mempertimbangkan karakter dan kepemimpinan

dari eksekutif yang melakukan coaching.

Media coaching yang selama ini dilakukan dengan tatap muka dan

media telepon memberi hasil peningkatan kinerja (Nieminen et al., 2013;

Kochanowski et al., 2010). Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan

Filsinger et al. (2014) memberi bukti empiris bahwa executive coaching bisa

dilakukan berbantuan perangkat virtual antara lain skype, teleconference,

surel, short message service (SMS), whats app dan berbagai media virtual

lainnya. Pengembangan riset coaching berbasis elektronik (e-coaching)

dengan telepon dilakukan oleh Filsinger et al. (2014).

2.3. Tipe Kepemimpinan Transformasional

Teori kepemimpinan transformasional, pertama kali dikembangkan

oleh Bass yang dibangun atas gagasan awal Burn (Yukl, 1994; Pawar dan

Eastman, 1997). Burn (1978) mendefinisi kepemimpinan transformasional

sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan bersama antar pemimpin dan

bawahan saling mengangkat satu sama lain ketingkat motivasi dan moralitas

yang lebih tinggi. Sementara itu, Greenberg dan Baron (1995) mendefinisi

Page 7: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

27

kepemimpinan transformasional sebagai suatu perilaku kepemimpinan yang

dengannya seorang pemimpin menggunakan kharismanya untuk

mentransformasi dan merevitalisasi organisasi. Kepemimpinan transfor-

masional juga dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan

perubahan dalam organisasi dan memotivasi para bawahan agar bersedia

bekerja melampaui kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi (Bass,

1995; Burn, 1978; Tichy dan Devanna, 1986).

Northouse (2001) memberi tekanan bahwa kepemimpinan transfor-

masional merupakan suatu proses yang mengubah dan mentransformasi

individu dengan perkataan lain kepemimpinan transformasional adalah

kepemimpinan untuk membuat orang lain mau berubah dan menjadikan

orang lain merasa berharga dalam organisasi tersebut. Bass (1995) memberi

gambaran bahwa kepemimpinan transformasional dapat diukur dalam

hubungannya dengan efek pemimpin terhadap pengikutnya. Para pengikut

seorang pemimpin transformasional merasa ada kepercayaan, kekaguman,

kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka termotivasi

untuk melakukan lebih dari apa yang awalnya diharapkan dari mereka. Bass

(1995) juga menekankan bahwa cara-cara pemimpin untuk mentransformasi

dan memotivasi pengikutnya, yaitu (1) membuat mereka lebih sadar

mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, (2) mendorong mereka

untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan pribadi, (3)

mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.

Kepemimpinan transformasional mempunyai pendekatan yaitu

melakukan usaha mengubah kesadaran, membangkitkan semangat

mengilhami bawahan/anggota organisasi untuk mengeluarkan usaha ekstra

dalam mencapai tujuan organisasi, tanpa adanya perasanaan ditekan atau

tertekan. Kepemimpinan transformasional juga bisa dipahami sebagai

kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan/melalui pihak lain

untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam

rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang

Page 8: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

28

telah ditetapkan. Northouse (2001) menekankan suatu proses yang mengubah

dan menstransformasikan individu. Lebih lanjut ditekankan bahwa

kepemimpinan transformasional lebih bertumpu pada kemampuan untuk

membuat orang lain mau berubah, dan menjadi orang lain merasa berharga

dalam organisasi itu. Pemimpin transformasional mampu menciptakan

perubahan yang mendasar yang sangat diperlukan sekarang meliputi

perubahan tingkah laku, nilai-nilai, motivasi dan kebutuhan. Hal yang sama

pada prinsipnya pemahaman tentang kepemimpinan transformasional

bertumpu pada kemampuan pemimpin untuk memengaruhi nilai, sikap,

keyakinan dan perilaku pengikutnya dalam mencapai tujuan organisasi.

Kepemimpinan transformasional terdapat empat dimensi (Northouse,

2001; Bass, 1990) dan dikenal dengan empat ”i” yaitu: (1) Idealized influence

(pengaruh ideal) atau yang disebut dengan kharisma, yaitu pemimpin menjadi

figur yang diidealkan, yang mampu berdiri tegar di atas terpaan badai

kesulitan yang besar, pemimpin yang menyampaikan keyakinannya atas

nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan, menekankan pentingnya sesuatu

tujuan, komitmen dan konsekuensi etis dari suatu keputusan. Pemimpin

seperti ini disanjung diagungkan sebagai yang pantas diteladani, mampu

membangkitkan rasa bangga dalam diri pengikutnya, loyal, dipercaya, dapat

menjadi teladan dan terpaut pada upaya pencapaian tujuan bersama yang

disepakati; (2) Inspirational motivation (motivasi inspirasional) yang mana

pemimpin mengartikulasikan visi masa depan organisasi, menantang

pengikutnya dengan standar yang tinggi, berbicara secara optimistik dan

penuh entusiasme, memberikan dorongan akan apa yang mesti dikerjakan;

(3) Intellectual stimulation (stimulasi intelektual), dimana pemimpin

mempertanyakan asumsi tradisi-tradisi dan kepercayaan-kepercayaan alam,

menstimulasi hadirnya perspektif dan cara-cara baru menyelesaikan sesuatu

pekerjaan dan mendorong pengikutnya menyampaikan ide-ide dan gagasan –

gagasan baru; (4) Individualized consideration (kepekaan individual),

pemimpin berhubungan dengan pengikutnya atau bawahan sebagai mahkluk

pribadi yang memiliki kebutuhan, kemampuan dan keinginan, mendengarkan

Page 9: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

29

dengan penuh perhatian, mengembangkan potensi dirinya, menasihati dan

membimbingnya.

Northouse (2001) dalam tiga puluh sembilan kajian pustaka tentang

kepemimpinan transformasional menemukan bahwa orang yang mengimple-

mentasikan kepemimpinan transformasional ternyata merupakan pemimpin

yang lebih efektif dengan prestasi yang lebih baik. Hal ini terbukti bagi

pemimpin di semua tingkatan baik itu pemimpin pemerintah ataupun swasta

sangat bermanfaat untuk menerapkan kepemimpinan transformasional di

tempat kerjanya.

2.4. Tipe Kepemimpinan Transaksional

Kepemimpinan transaksional awalnya diperkenalkan dan dikembang-

kan oleh Bass (1985) berasal dari Maslow yang membicarakan tentang

hierarki kebutuhan manusia. Pendapat dari teori hierarki kebutuhan

menyatakan bahwa kebutuhan bawahan lebih rendah, misalnya kebutuhan

fisik, rasa aman dan pengharapan yang dapat terpenuhi melalui penerapan

kepemimpinan transaksional. Sedangkan pada aktualisasi diri, dapat

terpenuhi melalui penerapan kepemimpinan transformasional. Menurut Burns

(1978) pada kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dengan

bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar antar

keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent

reward dan management by-exception.

Menurut pengamatan Bass (1997), kepemimpinan transaksional

menggunakan penghargaan atau hukuman, termasuk tiga komponen, yang

biasanya dibedakan sebagai instrumental dalam pencapaian target pengikut.

Hadiah kontingen seperti yang dinyatakan oleh Bass (1997) adalah mengenai

pemimpin yang melakukan kontrak dengan bawahannya dengan tujuan

penghargaan atas kinerja. Mereka menjelaskan peluang, pertukaran sumber

daya dan jaminan untuk dukungan dari pemimpinnya. Pemimpin

Page 10: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

30

transaksional mengatur kontrak kerja sama dan menyediakannya

penghargaan untuk output yang positif dan kinerja yang sukses.

Manajemen by exception sebagaimana ditegaskan oleh Bass (1997)

berkenaan dengan para pengikut maka pemimpin mengambil tindakan sesuai

kinerjan bawahannya. Mereka menerapkan kebijakan untuk menjauhkan diri

pengikut dari kesalahan. Manajemen by Exception menyebutkan tentang

pemimpin tidak mengambil apapun tindakan sampai masalah serius. Mereka

hanya menyimpannya dan tidak terlibat dalam situasi tersebut, sampai

masalah itu menjadi parah, baru mempertimbangkan untuk mendapatkan

hukuman. (Bass, 1997)

Salma (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa visi

kepemimpinan transaksional didasarkan pada transaksi antara pemimpin dan

pengikut. Bagi pemimpin transaksional, hubungan manusia hanyalah rantai

transaksi. Tipe kepemimpinan ini berakar dari imbalan, hukuman, pertukaran

ekonomi, pertukaran emosional dan "transaksi" lainnya. Untuk memahami

tipe kepemimpinan ini dengan cara yang sederhana, hanya pemimpin dalam

memimpin organisasi memberitahu pengikut apa tugas mereka karena

mereka mendapat gaji untuk itu. Jika pengikut merespon tugas mereka secara

efisien mereka akan mendapatkan imbalan. Kepemimpinan transaksional

diakui sebagai kepemimpinan manajerial, karena pusat perhatian tipe

kepemimpinan ini bertanggung jawab atas kinerja administrasi, organisasi,

dan kelompok. Kepemimpinan transaksional adalah tipe kepemimpinan

dimana pemimpin mendorong ketaatannya kepada pengikut melalui

penghargaan dan hukuman. Pemimpin transaksional memimpin untuk

menegakkan rantai peraturan dan pendekatannya tidak ingin mengubah masa

depan. Pemimpin transaksional berlaku sebuah model pengganti, di mana

penghargaan diberikan untuk hasil yang baik atau hasil positif. Pemimpin

transaksional juga mampu memberikan hukuman atas usaha yang buruk atau

hasil yang tidak terpenuhi (Hargis, 2001)

Salma (2015) menegaskan bahwa seorang pemimpin transaksional

biasanya tidak mencoba untuk mengetahui apa yang dikerjakan bawahannya

Page 11: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

31

dan bahkan tidak memberi pujian untuk pekerjaan yang baik bahkan melebihi

apa yang diharapkan. Sifat pemimpin transaksional memandang bawahan

yang melakukan pekerjaan adalah hanya pertukaran kerja demi uang.

Seorang pemimpin transaksional tidak pernah merasa perlu memberikan

pujian atau pujian bawahannya saat mereka melakukannya dengan baik.

Terkadang penampilannya luar biasapun tidak dilihat dan dihargai oleh

pemimpinnya.

2.5. Taktik Pengaruh Proaktif

Pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu proses

mengembangkan keahlian karyawan untuk dapat bekerja secara profesional.

Pengembangan sumber daya manusia juga berarti memberikan kewenangan

pada karyawan (empowerment), memberi kesempatan pada individu untuk

mengontrol karir mereka serta untuk mengembangkan pola kehidupannya

(perilakunya), sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerja (Price, 2003).

Perilaku para karyawan agar dapat dimonitor dan dievaluasi oleh

pimpinannya sering menggunakan pengukuran taktik pengaruh proaktif.

Pengukuran yang efektif maka seorang manajer harus terampil dalam

pengaruh interpersonal, dan taktik pengaruh proaktif ini dapat digunakan

memengaruhi bawahan, rekan, atau atasan untuk mendukung perubahan yang

diusulkan (Yukl 2010). Dalam pengujian dampak behavioral feedback, satu

tipe perilaku yang dapat digunakan untuk mengukur dampak behavioral

feedback menurut Kochanowski et al (2010), Yukl et al. (2008), Seifert et al.

(2003), Seifert dan Yukl (2005) adalah taktik pengaruh proaktif (proactive

influence tactics). Terdapat empat taktik utama yang berpengaruh menurut

Kochanowski et al. (2010) yaitu rational persuasion, inspirational appeals,

consultation, and collaboration. (1) Rational persuasion yaitu menggunakan

argumen logis dan bukti faktual yang menunjukkan bahwa permintaan layak

dan relevan untuk kepentingan dalam mencapai tujuan. (2) Inspirational

appeals yaitu membandingkan nilai–nilai orang tersebut dan cita-cita untuk

membangkitkan emosi agar mendapatkan komitmen. (3) Consultation yaitu

Page 12: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

32

meminta orang untuk memberi saran perbaikan atau membantu

merencanakan kegiatan atau perubahan yang diajukan untuk mendukung

tujuan yang diinginkan. (4) Collaboration yaitu menawarkan sumber daya

yang relevan atau bantuan jika orang tersebut akan melakukan perubahan.

Dua penelitian sebelumnya meneliti efek dari multisource feedback

pada seorang manajer menggunakan taktik pengaruh proaktif. Seifert et al.

(2003) menemukan bahwa lokakarya umpan balik meningkatkan penggunaan

dua taktik inti (consultation and collaboration) oleh manajer dalam upaya

memengaruhi dengan bawahan. Seifert dan Yukl (2005) menemukan bahwa

lokakarya umpan balik kedua beberapa bulan setelah yang pertama,

meningkatkan penggunaan tiga taktik pengaruh proaktif inti (consultation,

collaboration and inspirational appeals) oleh manajer dalam upaya pengaruh

dari bawahan dan rekan-rekan. Hasil dari dua studi menunjukkan bahwa

taktik pengaruh proaktif memberikan jenis perilaku yang sesuai untuk

meningkatkan efek coaching.

2.6 Virtual Leadership

Kurt (2014) secara tradisional menyatakan bahwa para pemimpin

telah menjadi pusat dari masyarakat, baik itu di perusahaan, gereja, atau

kelompok sosial. Dalam komunitas tersebut pertemuan tatap muka dan

interaksi pribadi merupakan cara pemimpin berinteraksi dengan anggotanya.

Namun, dengan munculnya internet dan sejumlah alat komunikasi yang ada,

maka cara kepemimpinan mereka harus berevolusi untuk memenuhi

perubahan kebutuhan, tuntutan baru dan komunitas yang berbeda. Peran

pemimpin virtual berbeda dari pemimpin tradisional dan pada awal 1990-an

dilakukan penelitian para pimpinan menggunakan teknologi dengan

memberikan arahan, motivasi kepada timnya (Zigurs, 2003) yang hasilnya

terjadi perubahan dinamika kelompok (tim).

Peran pemimpin mengembangkan individu-individu menjadi lebih

baik di unit kerjanya dan terintegrasi sehingga mampu menyediakan

kemampuan bagi tim untuk mengelola diri sendiri. Untuk mencapai hal

Page 13: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

33

tersebut, pemimpin harus membuat orientasi tim, yang meliputi faktor-faktor

motivasi seperti mempromosikan tujuan bersama, menciptakan hal–hal yang

positif agar mampu memengaruhi dan membentuk persepsi. Setelah

lingkungan ini dibuat, ada dua fungsi kepemimpinan yaitu manajemen

kinerja dan pengembangan tim (Hunsaker, 2008). Zaccaro & Bader (2003)

menyatakan bahwa peran pemimpin virtual yaitu (1) Melakukan kontiunitas

dalam berkomunikasi dan mampu memahami lingkungan yang ada; (2)

Memastikan bahwa semua tindakan memiliki tujuan yang sejalan dengan

tujuan keseluruhan tim; (3) Pemimpin virtual harus menjadi koordinator

operasional dan letak perbedaannya dengan pemimpin tradisional pada

komunikasi. Tantangan yang unik bagi pemimpin virtual adalah tentang

pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan di dunia teknologi atau maya

yang memiliki banyak kekayaan informasi yang tersedia (Brake, 2006).

Kompetensi untuk kepemimpinan virtual yaitu kemampuan

komunikasi dan membangun kepercayaan melalui atribut atau karakter diri

(Kurt, 2014). Kemampuan berkomunikasi secara efektif adalah kompetensi

inti untuk setiap pemimpin, terutama untuk kepemimpinan virtual yang

terbatas dalam berkomunikasi tatap muka namun melalui teknologi.

Komunikasi agar menjadi efektif harus terfokus, inklusif, mendukung dan

mendorong kolaborasi (Linkow, 2008). Salah satu aspek dari komunikasi

yang biasa dilupakan tetapi berpotensi dan paling berharga bagi pemimpin

virtual yaitu kemampuan untuk mendengarkan dan mendengar apa yang

tidak bisa dilihat (Hunsaker, 2008). Pemimpin Virtual harus mampu

memanfaatkan teknologi yang tersedia, dan bila perlu mendidik para tim

pada penggunaan teknologi yang tepat. (Zigurs, 2003).

Membangun kepercayaan melalui atribut atau karakter diri

merupakan kompetensi penting bagi kepemimpinan virtual yang meliputi

keterbukaan pikiran, fleksibilitas, minat dan kepekaan terhadap budaya lain,

kemampuan untuk menangani kompleksitas, ketahanan, optimisme, energi,

dan kejujuran (Kramer, 2005). Sifat-sifat tersebut memungkinkan pemimpin

virtual dapat bekerja dalam lingkungan yang kompleks dan unik di mana

perubahan cepat terjadi. Atribut–atribut pribadi juga penting untuk proses

Page 14: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

34

membangun kepercayaan, terutama ketika keragaman dan perbedaan jarak.

Kemampuan untuk membangun kepercayaan sangat penting, khususnya

menggabungkan atribut kejujuran, keterbukaan pikiran, sensitivitas budaya,

dan optimisme, sehingga membantu dalam penciptaan lingkungan yang bisa

saling dipercaya. Kompetensi tambahan untuk pemimpin virtual yang

mendunia harus belajar berurusan dengan kompleksitas logistik yang lebih

besar, koordinasi antar perusahaan, dan juga harus mempelajari perbedaan

budaya antar bangsa (Kramer, 2005).

Ghislaine (2006) mengungkapkan bahwa kinerja melalui dunia maya

menjadi optimal ketika terjadi komunikasi yang jelas (baik di informal dan

tingkat formal), sistem dan proses yang saling dipahami, dan dukungan

teknologi yang baik. Penelitiannya telah menunjukkan bahwa untuk

mengembangkan kepemimpian virtual yang berdampak pada kinerja tim

yang tinggi, maka dibutuhkan tipe kepemimpinan yang menjadi pembangun

hubungan, menjadi fasilitator sosial dan pekerjaan, menjadi pengambil

keputusan yang membangun, menjadi seorang desainer komunikasi yang

mampu menyelaraskan tim, dan kemampuan menggunakan teknologi.

Penelitian kepemimpinan virtual oleh Bell & Kozlowski, 2002;

Gajendran & Joshi, 2012; Huang et al, 2010.; Purvanova & Bono, 2009)

menyatakan bahwa kepemimpinan dalam lingkungan virtual, diistilahkan ''e-

leadership'' (Avolio & Kahai, 2003) yang memiliki 4 (empat) prinsip penting

yaitu fokus pada kepemimpinan yang dikonstruksi secara sosial meliputi

hubungan para pemimpin untuk memfasilitasi komunikasi dengan timnya

(Gajendran & Joshi, 2012; Hart & McLeod, 2003; Malhotra, Majchrzak, &

Rosen, 2007; Saphiere, 1996). Prinsip kedua memahami dampak pengolahan

informasi dengan menggunakan teknologi, misalnya e-mail, telepon, program

berbasis komputer, sehingga pemimpin mengalami percepatan pertukaran

informasi (Hoch dan Kozlowski, 2012). Prinsip ketiga tidak lagi berfokus

pada tatap muka melainkan hubungan melalui dunia maya dan

menyelaraskan lingkungannya (Gajendran & Joshi, 2012; Malhotra et al.,

2007; Saphiere, 1996). Keempat meninggalkan masa lalu beralih dan tumbuh

bersama teknologi komputer dan internet, dengan demikian mereka merasa

Page 15: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

35

sangat nyaman menggunakan alat komunikasi (Bennet, Maton, & Kervin,

2008).

Hoch dan Kozlowski (2012) melakukan penelitian dampak

kepemimpinan transformasional dalam tim virtual yang hasilnya saling

memengaruhi, sedangkan penelitian Hambley, O'Neill, dan Kline (2007) tim

virtual yang memiliki pemimpin transformasional atau transaksional tidak

menemukan signifikan yang berbeda antara kedua kelompok. Purvanova dan

Bono (2009) menemukan hasil yang berbeda bahwa pemimpin yang

memimpin dengan tim virtual dibanding tim tatap muka hasilnya

kepemimpinan transformasional memiliki kinerja tim yang lebih baik.

Kepemimpinan transformasional memiliki perilaku yang berdampak lebih

besar di tim virtual dibandingkan dengan tim tatap muka. Pengaruh

perbedaan pertama pada frekuensi komunikasi dan kedua media komunikasi

(Purvanova dan Bono, 2009) dan yang diteliti perilaku kepemimpinan

transformasional, sementara Hoch dan Kozlowski (2012) meneliti persepsi

keseluruhan kepemimpinan transformasional. Dalam penelitian ditemukan

penggunaan teknologi yang berbeda memiliki dampak besar pada pengaruh

kepemimpinan transformasional dan transaksional (Daft & Lengel, 1986).

Teknologi dan cara komunikasi yang memfasilitasi tim memiliki dampak

pada tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional. Frekuensi

komunikasi dengan pemimpin merupakan salah satu faktor signifikan yang

penting dalam lingkungan tim virtual (Malhotraet al., 2007; Maruping &

Agarwal, 2004).

2.7. Teori

2.7.1 Learning Theory

Teori pembelajaran sering disebut pembelajaran melalui peniruan dan

berdasarkan Bandura (1963) terdapat tiga asumsi, yaitu: (1) Individu

melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya,

terutama perilaku-perilaku orang lain. Perilaku orang lain yang ditiru disebut

sebagai perilaku model atau perilaku contoh. Apabila peniruan itu

Page 16: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

36

memperoleh penguatan, maka perilaku yang ditiru itu akan menjadi perilaku

dirinya; (2) Terdapat hubungan yang erat antara pelajar dengan

lingkungannya. Pembelajaran terjadi dalam keterkaitan antara tiga pihak

yaitu lingkungan, perilaku dan faktor-faktor pribadi; dan (3) Hasil

pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang

diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Proses pembelajaran (Bandura, 1963)

terjadi dalam tiga komponen (unsur) yaitu: perilaku model (contoh),

pengaruh perilaku model, dan proses internal pelajar. Jadi individu

melakukan pembelajaran dengan proses mengenal perilaku model (perilaku

yang akan ditiru), kemudian mempertimbangkan dan memutuskan untuk

meniru sehingga menjadi perilakunya sendiri. Perilaku model ialah berbagai

perilaku yang dikenal di lingkungannya. Apabila bersesuaian dengan keadaan

dirinya (minat, pengalaman, cita-cita, tujuan dan sebagainya) maka perilaku

itu akan ditiru.

2.7.2 Learning Theory dan Executive Coaching

Pendekatan praktik dalam coaching dan pembelajaran orang dewasa

ada beberapa kesamaan, terutama berkaitan dengan lingkungan belajar dan

proses pembelajaran. Untuk memfasilitasi proses pembelajaran, situasi

belajar atau sesi pelatihan, sangatlah penting mengetahui siapa peserta

dewasa, hal ini menyangkut tentang konteks sosial dalam membentuk proses

belajar bagi orang dewasa. Diperlukan beberapa pemahaman yaitu mengapa

orang dewasa terlibat dalam kegiatan belajar, bagaimana orang dewasa

belajar dan bagaimana penuaan memengaruhi kemampuan belajar (Merriam

et al., 2007). Kerangka pembelajaran Cox (2006) yang dibangun berdasarkan

kerangka pembelajaran Knowles (1980) dalam teori andragogi, mengusulkan

bahwa kerangka pembelajaran mencakup praktek coaching, dan

menyarankan bahwa semua intervensi coaching mencakup proses

pengalaman belajar yang luas (Kolb, 1984), serta teori belajar bagi orang

dewasa.

Dengan menekankan integrasi pembelajaran, Cox (2013) melanjutkan

Mezirow (1991) mengakui bahwa pembelajaran transformatif adalah langkah

Page 17: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

37

terakhir dari proses belajar. Selain itu, Askew dan Carnell (2011)

menyimpulkan bahwa pembelajaran reflektif mengarah ke transformasi

perspektif dan mengisi kesenjangan penting dalam teori coaching. Dari teori-

teori belajar Cox (2006) menyebutkan bahwa teori belajar transformatif

merupakan pendekatan yang paling tepat dalam proses coaching. Teori

muncul dari karya Mezirow (1991 dan 2009) menggambarkan bahwa proses

yang diperlukan orang dewasa dalam transformasi pengetahuan

menggunakan pergeseran paradigma. Enam tema umum pengalaman dalam

transformatif pendidikan yaitu pengalaman pribadi, refleksi kritis, dialog,

orientasi holistik, kesadaran konteks, hubungan otentik (Taylor, 2009). Tiga

tema umum yang penting dari teori Mezirow (1991) tentang transformasi

adalah pengalaman, refleksi kritis dan wacana rasional, yang semuanya

dalam struktur transformasi. Namun, seperti pembelajaran transformatif telah

berevolusi dan Taylor (1998) telah menambahkan: orientasi holistik,

kesadaran konteks, dan praktek otentik. Pengalaman peserta dalam proses

pembelajaran adalah titik awal dan materi pelajaran pada pembelajaran

transformatif (Mezirow, 2000). Pembelajaran transformasional didasarkan

atas refleksi kritis. Menurut Mezirow (2000), ciri khas dari pembelajaran bagi

orang dewasa adalah memertanyakan integritas dan keyakinan berdasarkan

pengalaman sebelumnya. Ada tiga bentuk refleksi yaitu (1) Konten

(merenungkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan bertindak); (2) Proses

(merenungkan bagaimana kita melakukan fungsi memahami); dan (3) Premis

(kesadaran mengapa kita melihat).

Secara historis, pembelajaran transformatif telah dikritik karena

banyak penekanan pada wacana rasional dan refleksi kritis dalam proses

pembelajaran transformatif (Taylor, 2007). Menurut Brown (2006) peserta

didik jarang berubah melalui proses rasional (analisis berpikir–ubah). Mereka

lebih mungkin untuk mengubah diurutan melihat, merasakan, melakukan

perubahan. Sedangkan, Mezirow (2000) berpendapat bahwa untuk berhasil

harus menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Untuk

mengembangkan kesadaran konteks dalam pembelajaran coaching

Page 18: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

38

transformatif perlunya mengembangkan lebih dalam apresiasi dan

pemahaman tentang faktor–faktor personal dan sosial budaya yang

berpengaruh dalam proses pembelajaran transformatif. Faktor eksternal dapat

mencakup kondisi sekitarnya saat peristiwa berlangsung, situasi pribadi dan

profesional individu pada pengalaman mereka sebelumnya, dan latar

belakang atau konteks masyarakat yang membentuknya. Cranton (2006),

mendorong pembelajaran transformatif dengan memberi makna antara

konteks dan hubungan terhadap dirinya sendiri.

2.7.3 Leadership Theory

Yukl (2009) memberi definisi kepemimpinan adalah proses untuk

memengaruhi orang lain untuk memahami tugas yang harus dilakukan secara

efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif dalam

mencapai tujuan bersama. Sedangkan, Northouse (Yukl, 2009) mengenai

kepemimpinan memberi penekanan terhadap kemampuan individu untuk

memengaruhi, memotivasi dan membuat orang lain dalam memberikan

kontribusinya demi keefektifan dan keberhasilan organisasi. Sedangkan

Collins (Kasali, 2005), menekankan bahwa leadership bukanlah managerial

leadership seperti yang dimiliki kebanyakaan manajer, namun sebagai

seorang yang punya keberanian menghadapi fakta-fakta brutal dengan

kegigihan, pantang menyerah, memiliki panggilan profesional serta punya

kerendahan hati. Seorang pemimpin yang baik bukanlah pemimpin yang

otoriter, melainkan pemimpin tim yang bekerja habis–habisan untuk

organisasi, dan berani mempertaruhkan jabatan serta kedudukannya.

Pemimpin yang handal bukan pemimpin yang ingin populis, cari aman dan

menghindar dari tekanan yang ada. Kasali (2005) memberikan gambaran

tentang pemimpin yaitu seorang yang mampu memperbaharui/menciptakan

sistem baru, bebas/merdeka, kreatif, berani melakukan kesalahan tetapi tetap

disiplin, berani menghadapi tantangan, memiliki orientasi ke masa depan di

suatu tempat yang berbeda, imaginatif, memiliki karakter, tidak terlalu

Page 19: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

39

memikirkan posisi, lebih pada manfaat, nilai dan tanggung jawab. Perumusan

tentang kepemimpinan bertitik tolak pada tiga hal, yaitu (1) ada yang

memberikan penekanan pada kepribadian, kemampuan dan kesanggupan

pemimpin, (2) ada yang memberikan penekanan kegiatan, kedudukan dan

perilaku pemimpin, (3) ada yang memberikan penekanan kepada proses

interaksi antara pemimpin, bawahan dalam situasi tertentu.

Penekanan Kotter dan House (Robbin, 1996) tentang kepemimpinan

yaitu kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok guna mencapai visi

atau serangkaian tujuan yang diterapkan. Kepemimpinan dipandang dari

setiap tindakan individu atau kelompok untuk mengoordinasikan dan

memberi arah pada orang lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan. Teori tentang kepemimpinan banyak

dikaji oleh para ahli dan terus mengalami perkembangan dan dikelompokkan

ke dalam klasifikasi yang berbeda oleh para pakar organisasi, misalnya

Luthan (2006), Robin (2016); dan Schermerhorn (1997). Schermerhorn

(1997) membagi pemikiran tentang kepemimpinan menjadi empat landasan

teoritik, yaitu teori kepemimpinan sifat (trait theories), teori kepemimpinan

perilaku (behavioural theories), teori kepemimpinan kontigensi (contigency

theories), teori kepemimpinan baru (the new leadership theories).

Teori kepemimpinan baru meliputi kepemimpinan atribut,

kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan transformasional.

Transformasional dari kata to transform yang punya makna mengubah dari

suatu bentuk ke bentuk lain yang berbeda. Konsep awal tentang

kepemimpinan transformasional telah diformulasikan oleh Burns (1978) yang

diterapkan dalam konteks politik. Burns (1978) menekankan bahwa

kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses yang para pemimpin

dan pengikutnya saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi

yang lebih tinggi (Yukl 1994). Selanjutnya konsep ini dikembangkan oleh

Bass (1985) menjadi sebuah teori kepemimpinan transformasional

(transformational leadership) dan diperkenalkan dalam konteks organisasi.

Page 20: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

40

2.7.4 Social Exchange Theory

Teori pertukaran sosial yang dikemukanan Homans (1967) bermula

dari teori ilmu ekonomi yaitu bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat

dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman.

Pertukaran perilaku untuk memperoleh ganjaran adalah prinsip dasar dalam

transaksi ekonomi. Perilaku yang dimaksud dalam pertukaran sosial

merupakan perilaku sosial dan ekonomis. Misalnya pekerjaan tidak hanya

menyediakan ganjaran ekstrinsik berupa upah, tetapi juga menyediakan

ganjaran intrinsik berupa persahabatan, kepuasan, dan mempertinggi harga

diri. Orang yang bertindak dengan cara demikian adalah untuk memperkecil

biaya (hukuman) dan memperbesar keuntungan (ganjaran dikurangi biaya).

Molm dan Cook (1992) melihat tiga faktor mendasar yang

mendorong perkembangan teori pertukaran sosial, yaitu (1) hubungan

kekuasaan dan ketergantungan. Kekuasaan adalah pusat perhatian teori

pertukaran. (2) behaviorisme sebagai basis teori pertukarannya, (3)

menjelaskan struktur dan perubahan sosial. Meskipun Homans (1967)

membahas prinsip psikologis, namun satu hal yang penting dicatat di sini

adalah bahwa ia sama sekali tidak membayangkan individu itu dalam

keadaan terisolasi. Ia mengakui bahwa manusia adalah makhluk sosial dan

menggunakan sebagian besar waktu mereka berinteraksi dengan manusia

lain. Dalam persoalan interaksi ini, Homans membatasi diri pada interaksi

sosial dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sangat jelas ia cukup yakin

bahwa sosiologi yang dibangun berdasarkan prinsip yang dikembangkannya

akhirnya akan mampu menerangkan semua perilaku sosial.

Sedangkan Levi-Strauss (Susan, 1998) menegaskan bahwa tujuan

utama proses pertukaran itu adalah tidak untuk memungkinkan pasangan-

pasangan yang terlibat dalam pertukaran itu untuk memenuhi kebutuhan

individulistisnya. Sebaliknya, arti pertukaran itu adalah bahwa dia

mengungkapkan komitmen moral individu itu pada kelompok. Bentuk

khusus pertukaran itu, apakah langsung atau tidak langsung, bukanlah sebuah

Page 21: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

41

keputusan individu yang dikeluarkan berdasarkan pertimbangan kepentingan

sekarang ini. Bentuk pertukaran itu sendiri dibatasi oleh kebudayaan

keseluruhannya, dan diinstitusionalisasikan dalam struktur sosial itu sendiri,

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang khusus. Levi-Strauss (Susan,

1998) membedakan pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial. Secara tegas

ia menolak penggunaan motif-motif ekonomi atau individualistis untuk

menjelaskan pertukaran-pertukaran sosial.

Russell (2005) memiliki pandangan tentang pertukaran yaitu

serangkaian transaksi saling tergantung yang bisa menghasilkan semacam

interpersonal. Dalam hal tersebut ada dua konseptualisasi hubungan yaitu

transaksi dan hubungan yang keduanya memiliki ketergantungan dan

digambarkan dengan empat kuadran atau sel. Sel 1 (satu) menampilkan

transaksi pertukaran sosial dalam konteks hubungan sosial, sel 2 (dua)

menampilkan pertukaran ekonomi dalam konteks hubungan sosial, dimana

hubungan pertukaran sosial dipasangkan dengan transaksi ekonomi. Keadaan

ini bisa memberikan reward dan resiko. Sel 3 (tiga) para pihak berada dalam

hubungan ekonomi dan terlibat dalam transaksi pertukaran sosial. Sedangkan

sel 4 (empat) menampilkan transaksi pertukaran ekonomi dalam konteks

hubungan pertukaran ekonomi. Russel (2005) kembali menekankan bahwa

teori Homans (1958) mempresentasikan konsep tingkah laku sosial

berdasarkan pertukaran. Intinya, dia memperkenalkan gagasan bahwa

pertukaran tidak terbatas pada barang material tetapi juga mencakup nilai

simbolik, misalnya berupa persetujuan dan prestise. Tulisannya

menjembatani berbagai disiplin ilmu dan memicu teori pertukaran sosial

yang berbeda. Meskipun memiliki inti bahwa pertukaran sosial terdiri dari

tindakan yang bergantung pada reaksi menguntungkan orang lain, dalam

bentuk saling menguntungkan transaksi dan hubungan.

Page 22: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

42

2.8 PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.8.1. Taktik Pengaruh Proaktif Tipe Kepemimpinan Transformasional

dan Tipe Kepemimpinan Transaksional

Tutar et al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa untuk

mencapai kesuksesan setiap organisasi perlu kepemimpinan yang efektif

dengan memiliki soft competency yang kuat. Selain hal tersebut,

kepemimpinan seseorang harus memiliki kemampuan untuk memengaruhi

bawahan dengan bergantung pada kekuatan etis. Ini terkait dengan kejujuran,

kepercayaan, pertimbangan, keadilan dan sebagainya. Hal yang terpenting

bahwa kepemimpinan bergantung pada kekuatan moral. Dalam penelitian

Ghasabeh et al. (2015) belum adanya kesepakatan tentang kriteria tipe

kepemimpinan mana yang paling efektif.

Kepemimpinan memiliki fokus pada proses memengaruhi orang lain

(individu dan kolektif), melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara

efektif, untuk mencapai tujuan organisasi. Dari definisi tersebut bahwa tipe

kepemimpinan apapun jika dilakukan dengan metode yang benar maka akan

memiliki dampak meningkatkan kualitas para pemimpin.

Sehubungan para staf penjualan dalam pekerjaan seharian lebih

dominan bertemu dengan klien, maka sangat dibutuhkan kemampuan

berkomunikasi secara persuasif. Pengukuran kinerja para kepala penjualan

dengan taktik pengaruh proaktif yaitu rational persuation, inspirational

appeals, consultation, dan collaboration sebagai hasil mekanisme tipe

kepemimpinan transformasional yang dimiliki kepala cabang akan meningkat

dibandingkan ketika kepala cabang menggunakan tipe kepemimpinan

transksional. Dengan demikian dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya

peningkatan taktik pengaruh proaktif sebagai bentuk pengukuran kinerja

keperilakuan. Berdasarkan argumentasi dan hasil riset terdahulu maka

hipotesis pertama disajikan sebagai berikut:

Page 23: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

43

H1: Taktik pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan

transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif

subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional

2.8.2 Taktif Pengaruh Proaktif terhadap Tipe Kepemimpinan

Transformasional

Kepemimpinan adalah suatu proses memengaruhi orang lain guna

mencapai tujuan tertentu dan variabel yang bisa dipengaruhi yaitu

pengembangan sumber daya manusia antara lain terhadap kepuasan kerja,

motivasi kerja, burn out dan kinerja karyawan. Kepemimpinan merupakan

salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi kepuasan kerja. Perilaku

dari seorang pemimpin dapat memengaruhi kepuasan dan kinerja dari

bawahan (Yukl, 2005:7; Pierce dan Newstrom, 2006). Penelitian Challagalla

dan Shervani (2006) menemukan bahwa kepemimpinan berpengaruh

signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.

Penelitian Bogler (2001) telah menemukan bahwa kepemimpinan

transformasional meningkatkan motivasi, sedangkan Koh (1990) kepuasan

kerja dan komitmen. Kepemimpinan transformasional muncul menjadi

pendekatan yang sangat efektif dalam proses atau sistem pendidikan

(Leithwood, 1994).

Seorang pemimpin transformasional mampu meningkatkan derajat

kesadaran organisasi tentang tujuan organisasi melalui dorongan para

pengikutnya untuk memiliki keinginan yaitu keinginan mencapai tujuan dan

visi bersama. Tichy dan Devanna (Yukl, 1994) menganalisis pemimpin

transformasional mengangkat dan mengarahkan pengikutnya ke arah yang

benar, ke arah moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Kepemimpinan

transformasional menghendaki perubahan, kepentingan organisasi lebih

utama dari kepentingan diri sendiri, dan melakukan sesuatu yang melampaui

harapan yang ditetapkan bersama.

Page 24: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

44

Dalam transformational leadership, memberikan fokus yaitu

membuat seseorang atau kelompok lebih sadar mengenai pentingnya hasil-

hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan

organisasi daripada kepentingan pribadi, dan mengaktifkan kebutuhan-

kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Tipe kepemimpinan

transformasional memiliki empat dimensi yaitu idealized influence,

inspirasional motivation, intellectual stimulation dan individualized

consideration yang akan menghasilkan kinerja melampaui harapan. Jika

seorang yang memiliki tipe kepemimpinan transformasional dalam bekerja,

maka dampak yang akan timbul adalah para kepala penjualan yang memiliki

pemimpin tersebut akan mampu meningkatkan kinerjanya melalui taktik

pengaruh proaktif. Hal ini terjadi karena didukung kemampuan pemimpin

dengan cara berkomunikasi yang tepat. Berdasarkan argumentasi dan hasil

riset terdahulu maka hipotesis kedua disajikan sebagai berikut:

H2: Taktik pengaruh proaktif subjek dibawah tipe kepemimpinan

transformasional dengan menggunakan executive coaching lebih baik

dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa menggunakan

executive coaching.

2.8.3 Taktif Pengaruh Proaktif terhadap Tipe Kepemimpinan

Transaksional

Kepemimpinan dan leadership coaching berperan dalam keefektifan

organisasi dengan memelihara potensi kepemimpinan di dalam diri sendiri

dan orang lain agar menjadi lebih produktif dan menyenangkan (Watts dan

Corrie, 2013). Kepemimpinan dan coaching keduanya memiliki kesamaan

dalam hal proses yang berkaitan dengan perilaku manusia, memengaruhi

manusia, melalui aktivitas dan bertujuan untuk perubahan bagi diri sendiri,

orang lain dan organisasi. Dengan demikian, maka executive coaching

memiliki pengaruh terhadap kualitas dan kinerja manajer. Manajer sebagai

Page 25: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

45

seorang pemimpin, dan sebagai orang yang ingin meningkatkan

produktivitas, perubahan perilaku anak buahnya dengan salah satu metode

yaitu coaching.

Menurut Burns (1978) pada kepemimpinan transaksional, hubungan

antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas

tawar – menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional

adalah contingent reward dan management by-exception. Pada contingent

reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah

dilaksanakan, berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas. Hal

ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk bawahan

terhadap upaya-upayanya. Selain itu, pemimpin bertransaksi dengan bawahan

dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan,

menunda keputusan atau menghindari hal-hal yang kemungkinan

memengaruhi terjadinya kesalahan. Management by-exception menekankan

fungsi managemen sebagai kontrol. Pimpinan hanya melihat dan

mengevaluasi apakah terjadi kesalahan untuk diadakan koreksi, pimpinan

memberikan intervensi pada bawahan apabila standar tidak dipenuhi oleh

bawahan. Praktik management by-exception yaitu pimpinan mendelegasikan

tanggung jawab kepada bawahan dan menindak lanjuti dengan memberikan

apakah bawahan dapat berupa pujian untuk membesarkan hati bawahan dan

juga dengan hadiah apabila laporan yang dibuat bawahan memenuhi standar.

Transactional leadership berfokus pada keinginan bawahan dan berusaha

memenuhi harapannya, melakukan imbalan yang mereka inginkan,

melakukan respon terhadap kepentingan pribadi sepanjang mendukung

tujuan perusahaan, tipe kepemimpinan tersebut jika dilakukan secara

konsisten, maka berdampak terhadap pengembangan karyawan.

Giacobbi (2000) berpendapat bahwa coachability ditandai antara lain

oleh motivasi yang meningkatkan keterampilan, rasa ingin tahu, keterbukaan

terhadap pembelajaran, dan kepercayaan dan rasa hormat terhadap pelatih

dan atau proses pelatihannya. Shannahan et al. (2013) menerapkan konsep

coachability atletik untuk penjualan dimana konsep penjual coachability

sebagai tahapan penjual harus memiliki sifat terbuka mencari, menerima, dan

Page 26: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

46

menggunakan sumber daya eksternal untuk meningkatkan kinerja

penjualannya dalam konteks personal selling. Adapun coachability penjual

merupakan perbedaan individu dari setiap penjual, yang membutuhkan

situasi yang tepat untuk memicu dan untuk mewujudkan situasi agar mereka

dapat mengeluarkan kemampuannya secara optimal. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh motivasi dari coach, yaitu manajer penjualan, prioritas

dalam bekerja, nilai-nilai yang diterapkan dalam perusahaan, sumber daya

yang ada, rekan kerja dan tipe kepemimpinan.

Menurut Bycio et al. (1995) kepemimpinan transaksional adalah tipe

kepemimpinan dengan pemimpin yang perhatiannya berfokus pada transaksi

interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan

pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai

klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

Berdasarkan argumentasi dan hasil riset terdahulu maka hipotesis ketiga

disajikan sebagai berikut:

H3: Taktik pengaruh proaktif subjek yang memiliki tipe kepemimpinan

transaksional dengan menggunakan executive coaching lebih baik

dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa menggunakan

executive coaching.

2.8.4 Taktik Pengaruh Proaktif Tipe Kepemimpinan Transfor-

masional dan Tipe Kepemimpinan Transaksional dengan

Executive Coaching

Kepemimpinan dan leadership coaching berperan dalam keefektifan

organisasi dengan memelihara potensi kepemimpinan di dalam diri sendiri

dan orang lain agar menjadi lebih produktif dan menyenangkan (Watts dan

Corrie, 2013). Kepemimpinan dan coaching keduanya memiliki kesamaan

dalam hal proses yang berkaitan dengan perilaku manusia, memengaruhi

manusia, melalui aktivitas dan bertujuan untuk perubahan bagi diri sendiri,

orang lain dan organisasi. Dengan demikian maka executive coaching

memiliki pengaruh terhadap kualitas dan kinerja manajer. Manajer sebagai

Page 27: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

47

seorang pemimpin, dan sebagai orang yang ingin meningkatkan

produktivitas, perubahan perilaku anak buahnya dengan salah satu metode

yaitu coaching.

Nieminen (2013) menyatakan bahwa organisasi executive coaching,

seperti International Coaching Federation (ICF) melaporkan bahwa

executive coaching beberapa tahun terakhir ini bertumbuh dengan pesat. Hal

ini menjelaskan bahwa executive coaching terbukti akurat, karena di dalam

manajemen sumber daya manusia menempati pertumbuhan yang cepat.

Sedangkan salah satu tantangan dalam manajemen sumber daya manusia

adalah bagaimana mempertahankan karyawan yang telah direkrut dengan

biaya dan waktu yang tidak sedikit, sehingga labor turnover-nya rendah.

Upaya untuk mengatasi hal tersebut yaitu bagaimana meningkatkan kepuasan

karyawan baik yang bersifat material dan non material. Penghargaan yang

bersifat material, antara lain upah dan fasilitas, sedangkan penghargaan non

material, yaitu penghargaan dan kebutuhan untuk berpartisipasi. Untuk

memenuhi hal tersebut perusahaan memiliki tanggung jawab secara konsisten

menyediakan suasana lingkungan yang baik, rekan kerja yang mampu

bekerjasama dan para pemimpin memiliki kemampuan memimpin dengan

baik. Salah satu hal yang penting yaitu kemampuan pemimpin yang memiliki

kaitan dengan tipe kepemimpinan yang diterapkan. Salah satu tipe

kepemimpinan yaitu tipe kepemimpinan transformasional yang meliputi

idealized influence (kharisma), inspirational motivation, intellectual

stimulation dan individualized Consideration (Bass dan Avolio, 1995). Tipe

kepemimpinan transformasional ini dapat digunakan untuk usaha

mempertahankan karyawan dengan cara memenuhi kepuasan karyawan,

dalam hal non material, khususnya kebutuhan untuk berpartisipasi.

Gundersen et al. (2012) dalam risetnya menemukan bahwa tipe

kepemimpinan transformasional di lingkungan kerja yang dinamis

memberikan dampak kinerja yang efektif bagi karyawan dan efektifitas bagi

organisasi.

Dalam studi empiris Shannahan et al. (2013), ukuran coachability

atletik diadaptasi dan diterapkan pada tenaga penjualan dalam konteks usaha

Page 28: BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13276/2/D_922011002_BAB II.pdf · tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog

48

penjualan. Hubungan antara coachability penjual, sifat daya saing penjual,

tipe kepemimpinan manajer penjualan, dan kinerja penjualan menunjukkan

hasil bahwa kinerja penjualan paling tinggi jika penjual sangat coachable,

sangat kompetitif, dan pemimpinnya menggunakan tipe kepemimpinan

transformasional. Selain hal itu tidak terlepas dari proses rekrutmen tenaga

penjual.

Giacobbi (2000) dan Shannahan et al. (2013) berpendapat bahwa

bahwa penerapan coachability atletik untuk penjualan, penjual harus

memiliki sifat terbuka untuk mencari, menerima, dan menggunakan sumber

daya eksternal untuk meningkatkan kinerja penjualan mereka dalam konteks

personal selling. Sedangakan para pimpinan penjualan memiliki kemampuan

dan kepemimpinan yang berbeda, namun demikian telah terbukti bahwa tipe

kepemimpinan transformasional menyebabkan kinerja penjualan lebih tinggi

(Humphreys, 2002; MacKenzie et al., 2001; Russ et al., 1996; Shoemaker,

1999). Pimpinan penjualan yang melakukan coaching dengan tipe

kepemimpinan transformasional akan memicu dampak yang lebih besar pada

kinerja penjualan. Jika seorang yang memiliki tipe kepemimpinan

transformasional dalam bekerja menggunakan executive coaching dan

mengikuti lokakarya multisource feedback maka tipe kepemimpinan

transformasional akan mampu memberikan taktik pengaruh proaktif terbaik.

Berdasarkan argumentasi dan hasil riset terdahulu maka hipotesis keempat

disajikan sebagai berikut:

H4: Taktik pengaruh proaktif subjek dengan executive coaching pada

tipe kepemimpinan transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik

pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional