bab 2 tinjauan teori dan pengembangan...
TRANSCRIPT
21
BAB 2
TINJAUAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Executive Coaching
Tobias (1996) menyatakan bahwa executive coaching merupakan
istilah di dunia bisnis pada akhir 1980-an, meskipun executive coaching telah
ada sejak tahun 1940-an, mereka setuju bahwa itu barulah sebuah permulaan
(Kilburg 1996; Olesen, 1996). Kata coaching tersebut digunakan karena lebih
tepat dari pada jenis intervensi yang lain. Para ahli psikolog berargumen
bahwa coaching dianggap hanya pengemasan ulang dalam praktek yang
dilakukan di bawah payung konsultasi dan konseling.
Sedangkan perkembangan konseling yang dilakukan oleh RHR
Internasional sejak tahun 1940-an mendukung penelitian bidang executive
coaching (Flory, 1965), dan Kilburg (1996, 2000) berpendapat bahwa dalam
perusahaan konsultasi antara bawahan dan atasan dikenal sebagai executive
coaching. Hal ini menyatakan bahwa para pimpinan mulai berlatih executive
coaching ketika mereka memperoleh akses menjadi pemimpin organisasi.
Akses executive coaching di dalam organisasi oleh psikolog telah dianggap
sebagai upaya membawa “terapi” kepribadian (psikologis) ke tempat kerja,
dan meningkatkan motivasi kerja karyawan (Filipczak, 1998; Tobias, 1996).
Judge dan Cowell (1997) menyatakan bahwa adopsi executive coaching
dalam kegiatan di perusahaan oleh para konsultan dimulai sekitar tahun 1990,
meskipun pendekatan sebelum tahun 1990 telah ada sebagai bentuk
intervensi, dan mereka percaya jika executive coaching ini bergerak dari
pertumbuhan menuju fase pengembangan karyawan sehingga mampu
meningkatkan kinerjanya.
Harris (1999) secara singkat menyebutkan tiga fase dalam sejarah
perkembangan executive coaching. Fase pertama terjadi antara tahun 1950–
1979 ketika beberapa profesional melakukan pengembangan organisasi
22
dengan teknik-teknik psikologi dan konseling untuk memberi motivasi
peningkatan kinerja karyawan dan melibatkan para executive. Sedangkan
selama periode pertengahan (1980–1994), para ahli mulai meningkatkan
profesionalisme di bidang coaching dengan memberikan standar layanan,
meskipun standarisasi penuh belum terjadi. Periode berjalan (1995–2005)
telah terjadi peningkatan dalam publikasi coaching yang akhirnya terjadi
pembentukan organisasi profesi yaitu The Profesional and Personal Coaches
Association, baru–baru ini dikenal sebagai International Coach Federation
(ICF).
Peterson (1996) menyatakan bahwa coaching melengkapi orang
dengan alat–alat, pengetahuan, dan kesempatan yang mereka butuhkan dalam
mengembangkan diri mereka sendiri untuk menjadi lebih efektif. Sementara
itu, Kampa-Kokesch dan Anderson (2001) mendefinisi coaching sebagai
bentuk intervensi umpan balik yang sistematis yang bertujuan untuk
meningkatkan keterampilan profesional, kesadaran interpersonal, dan
efektivitas pribadi. Orenstein (2002) berpendapat bahwa executive coaching
disebut sebagai tatap muka intervensi dengan manajer senior untuk tujuan
meningkatkan keterampilan manajemen.
McCauley dan Hezlett (2001) memaparkan bahwa executive coaching
melibatkan serangkaian interaksi yaitu tatap muka antara seorang manajer
atau eksekutif dan pihak eksternal. Coach lebih lanjut melakukan
pengembangan manajer yang profesional. Bacon dan Spear (2003)
menjelaskan bahwa coaching dalam konteks bisnis secara umum dapat
didefinisikan sebagai suatu dialog informasi yang tujuannya adalah
memfasilitasi keterampilan baru, wawasan untuk kepentingan pembelajaran
individu dan kemajuan organisasi.
Hall et al. (1999) memaparkan bahwa coaching adalah suatu upaya
untuk mencapai tujuan secara praktis dan berfokus pada pribadi, tatap muka
sebagai bentuk pembelajaran bagi para eksekutif yang sibuk dan dapat
digunakan untuk meningkatkan kinerja atau perilaku eksekutif, meningkatkan
23
karir, dan menyelesaikan masalah organisasi dan membawa inisiatif
perubahan. Kilburg (1996) menyatakan bahwa executive coaching membantu
terbentuknya hubungan antara klien yang memiliki otoritas manajerial dalam
suatu organisasi dengan konsultan yang menggunakan berbagai teknik
perilaku dan metode untuk membantu klien dalam mencapai satu tujuan. Hal
tersebut mampu meningkatkan kinerja yang professional, kepuasan pribadi,
dan memiliki dampak meningkatkan efektivitas organisasi klien.
International Coach Federation (ICF) 2003, memberi penjelasan
bahwa professional coaching merupakan hubungan profesional yang
berkelanjutan untuk membantu orang menghasilkan hasil yang luar biasa
dalam hidup mereka yaitu, karir, bisnis, atau organisasi. Melalui coaching,
klien memiliki wawasan barau, meningkatkan kinerjanya, dan kualitas
hidupnya. Menurut Sherman dan Freas (2004), tujuan executive coaching
adalah untuk menghasilkan pembelajaran, perubahan perilaku, dan
pertumbuhan coachee untuk memiliki manfaat ekonomi dari klien yang
mempekerjakan coachee tersebut. Meskipun ada sedikit perbedaan, tujuan
umum executive coaching bisa mengubah perilaku, kesadaran diri,
pembelajaran diri, yang akhirnya berupa keberhasilan karir dan kinerja
organisasi. Dengan demikian, executive coaching didefinisi sebagai proses
atas satu hubungan antara eksekutif (coach) dengan staf di bawahnya
(coachee) untuk tujuan meningkatkan perubahan perilaku coachee melalui
kesadaran diri, pembelajaran diri, dan dengan demikian akhirnya untuk
keberhasilan individu dan organisasi. Garman, et, al. (2000) berpendapat
bahwa praktek coaching memiliki perspektif yang luas dalam pengembangan
kinerja karyawan sehingga prakteknya tidak harus dilakukan oleh orang yang
berlatarbelakang psikologi dan konselor. Hal ini sejalan dengan Olivero et al.
(1997) karena coaching berada pada ranah pimpinan atau eksekutif yang
berupaya meningkatkan produktivitas karyawan. Definisi ini akan menjadi
dasar dari kerangka kerja konseptual yang akan disajikan dalam riset ini.
24
2.2. Multi Source Feedback dan Executive Coaching
Secara umum, perusahaan yang efektif menggunakan program
pelatihan dan pengembangan cenderung memiliki kinerja keuangan yang
lebih baik (Becker dan Gerhart, 1996; Hatch dan Dyer, 2004; Huselid, 1995;
Pfeffer, 2005). Sayangnya, penelitian tentang efektifitas metode
pengembangan manajemen belum sejalan dengan peningkatan penggunaan
metode coaching dalam organisasi (Collins dan Holton, 2004). Pemakaian
multisource feedback untuk penilaian manajer merupakan salah satu metode
populer untuk untuk mengukur kinerjanya. Umpan balik yang akurat sangat
penting untuk belajar bagaimana meningkatkan dan memperbaiki perilaku
(DeNisi dan Kluger, 2000). Umpan balik yang sering dipakai dalam
perusahaan hanya berasal dari atasan saja biasa disebut single feedback,
sedangkan program umpan balik multisource setidaknya memiliki dua
sumber independen, seperti bawahan, rekan kerja, bos, dan orang-orang di
luar organisasi (Lepsinger dan Lucia, 1997). Hal ini memerlengkapi
seseorang dalam peningkatan kinerja.
McCauley and Hezlett (2001) menyatakan bahwa kemawasan diri
dalam hal perubahan perilaku dibutuhkan untuk kebutuhan pengembangan
kepemimpinan. Perubahan dari waktu ke waktu atas perilaku dan keefektifan
kepemimpinan dalam nilai MSF dibandingkan dalam dua kelompok
pemimpin, McCauley and Hezlett (2001). Kelompok pertama terdiri dari
manajer yang belum terlatih dan berpartisipasi dalam feedback workshop
tepat setelah pra-pengukuran dari MSF, sedangkan kelompok kedua
berpartisipasi pada feedback workshop beberapa sesi dengan seorang
executive coach. Hasilnya menunjukkan bahwa manajer dan supervisor pada
kedua kelompok meningkat, demikian juga untuk manajer yang menerima
executive coaching meningkat dalam hal swa-peratingan (self-ratings).
Secara spesifik, intervensi executive coaching memiliki pengaruh positif
terhadap keterlibatan penilaian pribadi pada manajer, yang menunjukkan
25
konsistensi kinerja dan perilaku kepemimpinan yang berfokus pada misi
perusahaan.
Beberapa hasil penelitian terdahulu atas MSF dan executive coaching
memberikan temuan empiris yang beragam. Hazucha et al. (1993),
melakukan multisource feedback kepada eksekutif memberikan hasil
peningkatan kinerja dengan pengembangan dan dukungan lingkungan.
Sedangkan Rosti (1998) dalam penelitian menunjukkan bahwa grup
eksperimental (group yang diberikan training manajerial) mendapatkan hasil
yang lebih tinggi (lebih baik) dibandingkan dengan kontrol grup (grup yang
hanya diberikan seminar tanpa training). Diendrock (2007) melakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh program umpan balik (feedback,
fairness, integrity, and respec) terhadap perilaku kepemimpinan dan hasilnya
menunjukkan bahwa pada tahun kedua umpan balik menjadi lebih kecil
karena telah terjadi perubahan perilaku dalam organisasi. Hal ini ditunjang
penelitian Luthans dan Peterson (2003) menggunakan pra dan post-test
desain, tetapi tanpa kelompok kontrol dan menggunakan multisource
feedback dikombinasikan dengan coaching mampu meningkatkan kesadaran
diri, pengembangan diri, perubahan tingkah laku dan meningkatkan kinerja
karyawan.
Sedangkan Seifert et al. (2003) menggabungkan pendekatan executive
coaching dengan MSF desain penelitian dengan quasi-experimental pre-post
control group (executive coaching vs no executive coaching). Penelitian ini
memberikan bukti bahwa MSF sangat efektif untuk meningkatkan kinerja.
MSF yang dikolaborasi dengan executive coaching semakin dapat
meningkatkan kinerja.
Feldman dan Lankau (2005) menyelidiki konstruksi executive
coaching dan meneliti bagaimana pelatihan coaches professional dengan
intervensi karakteristik klien, melakukan executive coaching dengan tatap
muka dan MSF. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan bahwa executive
coaching memiliki manfaat positif, dimana profesional yang menggunakan
26
jasa executive coach dapat membantu para eksekutif untuk mencapai tujuan
pribadi dan perusahaan. Sedangkan, Kochanowski et al., (2010) melakukan
pengujian keefektifan metode behavioral feedback dengan multiple feedback
field experiment dengan pre-post control group dengan partisipan eksekutif
supermarket dan hasilnya para eksekutif yang menerima coaching setelah
lokakarya umpan balik meningkatkan kerjasama dengan bawahan lebih dari
eksekutif yang tidak menerima coaching. Penelitian terkini atas MSF dan
executive coaching oleh Nieminen et al. (2013) yang melakukan pengujian
keefektifan metode behavioral feedback dengan multiplesource feedback dan
executive coaching menunjukkan bahwa peratingan kepemipinan secara rata-
rata lebih baik pada manajer dengan executive coaching daripada manajer
tanpa executive coaching. Metode coaching dilakukan dengan media telepon.
Penelitian tersebut belum mempertimbangkan karakter dan kepemimpinan
dari eksekutif yang melakukan coaching.
Media coaching yang selama ini dilakukan dengan tatap muka dan
media telepon memberi hasil peningkatan kinerja (Nieminen et al., 2013;
Kochanowski et al., 2010). Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan
Filsinger et al. (2014) memberi bukti empiris bahwa executive coaching bisa
dilakukan berbantuan perangkat virtual antara lain skype, teleconference,
surel, short message service (SMS), whats app dan berbagai media virtual
lainnya. Pengembangan riset coaching berbasis elektronik (e-coaching)
dengan telepon dilakukan oleh Filsinger et al. (2014).
2.3. Tipe Kepemimpinan Transformasional
Teori kepemimpinan transformasional, pertama kali dikembangkan
oleh Bass yang dibangun atas gagasan awal Burn (Yukl, 1994; Pawar dan
Eastman, 1997). Burn (1978) mendefinisi kepemimpinan transformasional
sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan bersama antar pemimpin dan
bawahan saling mengangkat satu sama lain ketingkat motivasi dan moralitas
yang lebih tinggi. Sementara itu, Greenberg dan Baron (1995) mendefinisi
27
kepemimpinan transformasional sebagai suatu perilaku kepemimpinan yang
dengannya seorang pemimpin menggunakan kharismanya untuk
mentransformasi dan merevitalisasi organisasi. Kepemimpinan transfor-
masional juga dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan
perubahan dalam organisasi dan memotivasi para bawahan agar bersedia
bekerja melampaui kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi (Bass,
1995; Burn, 1978; Tichy dan Devanna, 1986).
Northouse (2001) memberi tekanan bahwa kepemimpinan transfor-
masional merupakan suatu proses yang mengubah dan mentransformasi
individu dengan perkataan lain kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan untuk membuat orang lain mau berubah dan menjadikan
orang lain merasa berharga dalam organisasi tersebut. Bass (1995) memberi
gambaran bahwa kepemimpinan transformasional dapat diukur dalam
hubungannya dengan efek pemimpin terhadap pengikutnya. Para pengikut
seorang pemimpin transformasional merasa ada kepercayaan, kekaguman,
kesetiaan dan hormat terhadap pemimpin tersebut dan mereka termotivasi
untuk melakukan lebih dari apa yang awalnya diharapkan dari mereka. Bass
(1995) juga menekankan bahwa cara-cara pemimpin untuk mentransformasi
dan memotivasi pengikutnya, yaitu (1) membuat mereka lebih sadar
mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, (2) mendorong mereka
untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan pribadi, (3)
mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi.
Kepemimpinan transformasional mempunyai pendekatan yaitu
melakukan usaha mengubah kesadaran, membangkitkan semangat
mengilhami bawahan/anggota organisasi untuk mengeluarkan usaha ekstra
dalam mencapai tujuan organisasi, tanpa adanya perasanaan ditekan atau
tertekan. Kepemimpinan transformasional juga bisa dipahami sebagai
kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan/melalui pihak lain
untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam
rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang
28
telah ditetapkan. Northouse (2001) menekankan suatu proses yang mengubah
dan menstransformasikan individu. Lebih lanjut ditekankan bahwa
kepemimpinan transformasional lebih bertumpu pada kemampuan untuk
membuat orang lain mau berubah, dan menjadi orang lain merasa berharga
dalam organisasi itu. Pemimpin transformasional mampu menciptakan
perubahan yang mendasar yang sangat diperlukan sekarang meliputi
perubahan tingkah laku, nilai-nilai, motivasi dan kebutuhan. Hal yang sama
pada prinsipnya pemahaman tentang kepemimpinan transformasional
bertumpu pada kemampuan pemimpin untuk memengaruhi nilai, sikap,
keyakinan dan perilaku pengikutnya dalam mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan transformasional terdapat empat dimensi (Northouse,
2001; Bass, 1990) dan dikenal dengan empat ”i” yaitu: (1) Idealized influence
(pengaruh ideal) atau yang disebut dengan kharisma, yaitu pemimpin menjadi
figur yang diidealkan, yang mampu berdiri tegar di atas terpaan badai
kesulitan yang besar, pemimpin yang menyampaikan keyakinannya atas
nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan, menekankan pentingnya sesuatu
tujuan, komitmen dan konsekuensi etis dari suatu keputusan. Pemimpin
seperti ini disanjung diagungkan sebagai yang pantas diteladani, mampu
membangkitkan rasa bangga dalam diri pengikutnya, loyal, dipercaya, dapat
menjadi teladan dan terpaut pada upaya pencapaian tujuan bersama yang
disepakati; (2) Inspirational motivation (motivasi inspirasional) yang mana
pemimpin mengartikulasikan visi masa depan organisasi, menantang
pengikutnya dengan standar yang tinggi, berbicara secara optimistik dan
penuh entusiasme, memberikan dorongan akan apa yang mesti dikerjakan;
(3) Intellectual stimulation (stimulasi intelektual), dimana pemimpin
mempertanyakan asumsi tradisi-tradisi dan kepercayaan-kepercayaan alam,
menstimulasi hadirnya perspektif dan cara-cara baru menyelesaikan sesuatu
pekerjaan dan mendorong pengikutnya menyampaikan ide-ide dan gagasan –
gagasan baru; (4) Individualized consideration (kepekaan individual),
pemimpin berhubungan dengan pengikutnya atau bawahan sebagai mahkluk
pribadi yang memiliki kebutuhan, kemampuan dan keinginan, mendengarkan
29
dengan penuh perhatian, mengembangkan potensi dirinya, menasihati dan
membimbingnya.
Northouse (2001) dalam tiga puluh sembilan kajian pustaka tentang
kepemimpinan transformasional menemukan bahwa orang yang mengimple-
mentasikan kepemimpinan transformasional ternyata merupakan pemimpin
yang lebih efektif dengan prestasi yang lebih baik. Hal ini terbukti bagi
pemimpin di semua tingkatan baik itu pemimpin pemerintah ataupun swasta
sangat bermanfaat untuk menerapkan kepemimpinan transformasional di
tempat kerjanya.
2.4. Tipe Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional awalnya diperkenalkan dan dikembang-
kan oleh Bass (1985) berasal dari Maslow yang membicarakan tentang
hierarki kebutuhan manusia. Pendapat dari teori hierarki kebutuhan
menyatakan bahwa kebutuhan bawahan lebih rendah, misalnya kebutuhan
fisik, rasa aman dan pengharapan yang dapat terpenuhi melalui penerapan
kepemimpinan transaksional. Sedangkan pada aktualisasi diri, dapat
terpenuhi melalui penerapan kepemimpinan transformasional. Menurut Burns
(1978) pada kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dengan
bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar antar
keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent
reward dan management by-exception.
Menurut pengamatan Bass (1997), kepemimpinan transaksional
menggunakan penghargaan atau hukuman, termasuk tiga komponen, yang
biasanya dibedakan sebagai instrumental dalam pencapaian target pengikut.
Hadiah kontingen seperti yang dinyatakan oleh Bass (1997) adalah mengenai
pemimpin yang melakukan kontrak dengan bawahannya dengan tujuan
penghargaan atas kinerja. Mereka menjelaskan peluang, pertukaran sumber
daya dan jaminan untuk dukungan dari pemimpinnya. Pemimpin
30
transaksional mengatur kontrak kerja sama dan menyediakannya
penghargaan untuk output yang positif dan kinerja yang sukses.
Manajemen by exception sebagaimana ditegaskan oleh Bass (1997)
berkenaan dengan para pengikut maka pemimpin mengambil tindakan sesuai
kinerjan bawahannya. Mereka menerapkan kebijakan untuk menjauhkan diri
pengikut dari kesalahan. Manajemen by Exception menyebutkan tentang
pemimpin tidak mengambil apapun tindakan sampai masalah serius. Mereka
hanya menyimpannya dan tidak terlibat dalam situasi tersebut, sampai
masalah itu menjadi parah, baru mempertimbangkan untuk mendapatkan
hukuman. (Bass, 1997)
Salma (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa visi
kepemimpinan transaksional didasarkan pada transaksi antara pemimpin dan
pengikut. Bagi pemimpin transaksional, hubungan manusia hanyalah rantai
transaksi. Tipe kepemimpinan ini berakar dari imbalan, hukuman, pertukaran
ekonomi, pertukaran emosional dan "transaksi" lainnya. Untuk memahami
tipe kepemimpinan ini dengan cara yang sederhana, hanya pemimpin dalam
memimpin organisasi memberitahu pengikut apa tugas mereka karena
mereka mendapat gaji untuk itu. Jika pengikut merespon tugas mereka secara
efisien mereka akan mendapatkan imbalan. Kepemimpinan transaksional
diakui sebagai kepemimpinan manajerial, karena pusat perhatian tipe
kepemimpinan ini bertanggung jawab atas kinerja administrasi, organisasi,
dan kelompok. Kepemimpinan transaksional adalah tipe kepemimpinan
dimana pemimpin mendorong ketaatannya kepada pengikut melalui
penghargaan dan hukuman. Pemimpin transaksional memimpin untuk
menegakkan rantai peraturan dan pendekatannya tidak ingin mengubah masa
depan. Pemimpin transaksional berlaku sebuah model pengganti, di mana
penghargaan diberikan untuk hasil yang baik atau hasil positif. Pemimpin
transaksional juga mampu memberikan hukuman atas usaha yang buruk atau
hasil yang tidak terpenuhi (Hargis, 2001)
Salma (2015) menegaskan bahwa seorang pemimpin transaksional
biasanya tidak mencoba untuk mengetahui apa yang dikerjakan bawahannya
31
dan bahkan tidak memberi pujian untuk pekerjaan yang baik bahkan melebihi
apa yang diharapkan. Sifat pemimpin transaksional memandang bawahan
yang melakukan pekerjaan adalah hanya pertukaran kerja demi uang.
Seorang pemimpin transaksional tidak pernah merasa perlu memberikan
pujian atau pujian bawahannya saat mereka melakukannya dengan baik.
Terkadang penampilannya luar biasapun tidak dilihat dan dihargai oleh
pemimpinnya.
2.5. Taktik Pengaruh Proaktif
Pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu proses
mengembangkan keahlian karyawan untuk dapat bekerja secara profesional.
Pengembangan sumber daya manusia juga berarti memberikan kewenangan
pada karyawan (empowerment), memberi kesempatan pada individu untuk
mengontrol karir mereka serta untuk mengembangkan pola kehidupannya
(perilakunya), sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerja (Price, 2003).
Perilaku para karyawan agar dapat dimonitor dan dievaluasi oleh
pimpinannya sering menggunakan pengukuran taktik pengaruh proaktif.
Pengukuran yang efektif maka seorang manajer harus terampil dalam
pengaruh interpersonal, dan taktik pengaruh proaktif ini dapat digunakan
memengaruhi bawahan, rekan, atau atasan untuk mendukung perubahan yang
diusulkan (Yukl 2010). Dalam pengujian dampak behavioral feedback, satu
tipe perilaku yang dapat digunakan untuk mengukur dampak behavioral
feedback menurut Kochanowski et al (2010), Yukl et al. (2008), Seifert et al.
(2003), Seifert dan Yukl (2005) adalah taktik pengaruh proaktif (proactive
influence tactics). Terdapat empat taktik utama yang berpengaruh menurut
Kochanowski et al. (2010) yaitu rational persuasion, inspirational appeals,
consultation, and collaboration. (1) Rational persuasion yaitu menggunakan
argumen logis dan bukti faktual yang menunjukkan bahwa permintaan layak
dan relevan untuk kepentingan dalam mencapai tujuan. (2) Inspirational
appeals yaitu membandingkan nilai–nilai orang tersebut dan cita-cita untuk
membangkitkan emosi agar mendapatkan komitmen. (3) Consultation yaitu
32
meminta orang untuk memberi saran perbaikan atau membantu
merencanakan kegiatan atau perubahan yang diajukan untuk mendukung
tujuan yang diinginkan. (4) Collaboration yaitu menawarkan sumber daya
yang relevan atau bantuan jika orang tersebut akan melakukan perubahan.
Dua penelitian sebelumnya meneliti efek dari multisource feedback
pada seorang manajer menggunakan taktik pengaruh proaktif. Seifert et al.
(2003) menemukan bahwa lokakarya umpan balik meningkatkan penggunaan
dua taktik inti (consultation and collaboration) oleh manajer dalam upaya
memengaruhi dengan bawahan. Seifert dan Yukl (2005) menemukan bahwa
lokakarya umpan balik kedua beberapa bulan setelah yang pertama,
meningkatkan penggunaan tiga taktik pengaruh proaktif inti (consultation,
collaboration and inspirational appeals) oleh manajer dalam upaya pengaruh
dari bawahan dan rekan-rekan. Hasil dari dua studi menunjukkan bahwa
taktik pengaruh proaktif memberikan jenis perilaku yang sesuai untuk
meningkatkan efek coaching.
2.6 Virtual Leadership
Kurt (2014) secara tradisional menyatakan bahwa para pemimpin
telah menjadi pusat dari masyarakat, baik itu di perusahaan, gereja, atau
kelompok sosial. Dalam komunitas tersebut pertemuan tatap muka dan
interaksi pribadi merupakan cara pemimpin berinteraksi dengan anggotanya.
Namun, dengan munculnya internet dan sejumlah alat komunikasi yang ada,
maka cara kepemimpinan mereka harus berevolusi untuk memenuhi
perubahan kebutuhan, tuntutan baru dan komunitas yang berbeda. Peran
pemimpin virtual berbeda dari pemimpin tradisional dan pada awal 1990-an
dilakukan penelitian para pimpinan menggunakan teknologi dengan
memberikan arahan, motivasi kepada timnya (Zigurs, 2003) yang hasilnya
terjadi perubahan dinamika kelompok (tim).
Peran pemimpin mengembangkan individu-individu menjadi lebih
baik di unit kerjanya dan terintegrasi sehingga mampu menyediakan
kemampuan bagi tim untuk mengelola diri sendiri. Untuk mencapai hal
33
tersebut, pemimpin harus membuat orientasi tim, yang meliputi faktor-faktor
motivasi seperti mempromosikan tujuan bersama, menciptakan hal–hal yang
positif agar mampu memengaruhi dan membentuk persepsi. Setelah
lingkungan ini dibuat, ada dua fungsi kepemimpinan yaitu manajemen
kinerja dan pengembangan tim (Hunsaker, 2008). Zaccaro & Bader (2003)
menyatakan bahwa peran pemimpin virtual yaitu (1) Melakukan kontiunitas
dalam berkomunikasi dan mampu memahami lingkungan yang ada; (2)
Memastikan bahwa semua tindakan memiliki tujuan yang sejalan dengan
tujuan keseluruhan tim; (3) Pemimpin virtual harus menjadi koordinator
operasional dan letak perbedaannya dengan pemimpin tradisional pada
komunikasi. Tantangan yang unik bagi pemimpin virtual adalah tentang
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan di dunia teknologi atau maya
yang memiliki banyak kekayaan informasi yang tersedia (Brake, 2006).
Kompetensi untuk kepemimpinan virtual yaitu kemampuan
komunikasi dan membangun kepercayaan melalui atribut atau karakter diri
(Kurt, 2014). Kemampuan berkomunikasi secara efektif adalah kompetensi
inti untuk setiap pemimpin, terutama untuk kepemimpinan virtual yang
terbatas dalam berkomunikasi tatap muka namun melalui teknologi.
Komunikasi agar menjadi efektif harus terfokus, inklusif, mendukung dan
mendorong kolaborasi (Linkow, 2008). Salah satu aspek dari komunikasi
yang biasa dilupakan tetapi berpotensi dan paling berharga bagi pemimpin
virtual yaitu kemampuan untuk mendengarkan dan mendengar apa yang
tidak bisa dilihat (Hunsaker, 2008). Pemimpin Virtual harus mampu
memanfaatkan teknologi yang tersedia, dan bila perlu mendidik para tim
pada penggunaan teknologi yang tepat. (Zigurs, 2003).
Membangun kepercayaan melalui atribut atau karakter diri
merupakan kompetensi penting bagi kepemimpinan virtual yang meliputi
keterbukaan pikiran, fleksibilitas, minat dan kepekaan terhadap budaya lain,
kemampuan untuk menangani kompleksitas, ketahanan, optimisme, energi,
dan kejujuran (Kramer, 2005). Sifat-sifat tersebut memungkinkan pemimpin
virtual dapat bekerja dalam lingkungan yang kompleks dan unik di mana
perubahan cepat terjadi. Atribut–atribut pribadi juga penting untuk proses
34
membangun kepercayaan, terutama ketika keragaman dan perbedaan jarak.
Kemampuan untuk membangun kepercayaan sangat penting, khususnya
menggabungkan atribut kejujuran, keterbukaan pikiran, sensitivitas budaya,
dan optimisme, sehingga membantu dalam penciptaan lingkungan yang bisa
saling dipercaya. Kompetensi tambahan untuk pemimpin virtual yang
mendunia harus belajar berurusan dengan kompleksitas logistik yang lebih
besar, koordinasi antar perusahaan, dan juga harus mempelajari perbedaan
budaya antar bangsa (Kramer, 2005).
Ghislaine (2006) mengungkapkan bahwa kinerja melalui dunia maya
menjadi optimal ketika terjadi komunikasi yang jelas (baik di informal dan
tingkat formal), sistem dan proses yang saling dipahami, dan dukungan
teknologi yang baik. Penelitiannya telah menunjukkan bahwa untuk
mengembangkan kepemimpian virtual yang berdampak pada kinerja tim
yang tinggi, maka dibutuhkan tipe kepemimpinan yang menjadi pembangun
hubungan, menjadi fasilitator sosial dan pekerjaan, menjadi pengambil
keputusan yang membangun, menjadi seorang desainer komunikasi yang
mampu menyelaraskan tim, dan kemampuan menggunakan teknologi.
Penelitian kepemimpinan virtual oleh Bell & Kozlowski, 2002;
Gajendran & Joshi, 2012; Huang et al, 2010.; Purvanova & Bono, 2009)
menyatakan bahwa kepemimpinan dalam lingkungan virtual, diistilahkan ''e-
leadership'' (Avolio & Kahai, 2003) yang memiliki 4 (empat) prinsip penting
yaitu fokus pada kepemimpinan yang dikonstruksi secara sosial meliputi
hubungan para pemimpin untuk memfasilitasi komunikasi dengan timnya
(Gajendran & Joshi, 2012; Hart & McLeod, 2003; Malhotra, Majchrzak, &
Rosen, 2007; Saphiere, 1996). Prinsip kedua memahami dampak pengolahan
informasi dengan menggunakan teknologi, misalnya e-mail, telepon, program
berbasis komputer, sehingga pemimpin mengalami percepatan pertukaran
informasi (Hoch dan Kozlowski, 2012). Prinsip ketiga tidak lagi berfokus
pada tatap muka melainkan hubungan melalui dunia maya dan
menyelaraskan lingkungannya (Gajendran & Joshi, 2012; Malhotra et al.,
2007; Saphiere, 1996). Keempat meninggalkan masa lalu beralih dan tumbuh
bersama teknologi komputer dan internet, dengan demikian mereka merasa
35
sangat nyaman menggunakan alat komunikasi (Bennet, Maton, & Kervin,
2008).
Hoch dan Kozlowski (2012) melakukan penelitian dampak
kepemimpinan transformasional dalam tim virtual yang hasilnya saling
memengaruhi, sedangkan penelitian Hambley, O'Neill, dan Kline (2007) tim
virtual yang memiliki pemimpin transformasional atau transaksional tidak
menemukan signifikan yang berbeda antara kedua kelompok. Purvanova dan
Bono (2009) menemukan hasil yang berbeda bahwa pemimpin yang
memimpin dengan tim virtual dibanding tim tatap muka hasilnya
kepemimpinan transformasional memiliki kinerja tim yang lebih baik.
Kepemimpinan transformasional memiliki perilaku yang berdampak lebih
besar di tim virtual dibandingkan dengan tim tatap muka. Pengaruh
perbedaan pertama pada frekuensi komunikasi dan kedua media komunikasi
(Purvanova dan Bono, 2009) dan yang diteliti perilaku kepemimpinan
transformasional, sementara Hoch dan Kozlowski (2012) meneliti persepsi
keseluruhan kepemimpinan transformasional. Dalam penelitian ditemukan
penggunaan teknologi yang berbeda memiliki dampak besar pada pengaruh
kepemimpinan transformasional dan transaksional (Daft & Lengel, 1986).
Teknologi dan cara komunikasi yang memfasilitasi tim memiliki dampak
pada tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional. Frekuensi
komunikasi dengan pemimpin merupakan salah satu faktor signifikan yang
penting dalam lingkungan tim virtual (Malhotraet al., 2007; Maruping &
Agarwal, 2004).
2.7. Teori
2.7.1 Learning Theory
Teori pembelajaran sering disebut pembelajaran melalui peniruan dan
berdasarkan Bandura (1963) terdapat tiga asumsi, yaitu: (1) Individu
melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya,
terutama perilaku-perilaku orang lain. Perilaku orang lain yang ditiru disebut
sebagai perilaku model atau perilaku contoh. Apabila peniruan itu
36
memperoleh penguatan, maka perilaku yang ditiru itu akan menjadi perilaku
dirinya; (2) Terdapat hubungan yang erat antara pelajar dengan
lingkungannya. Pembelajaran terjadi dalam keterkaitan antara tiga pihak
yaitu lingkungan, perilaku dan faktor-faktor pribadi; dan (3) Hasil
pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang
diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Proses pembelajaran (Bandura, 1963)
terjadi dalam tiga komponen (unsur) yaitu: perilaku model (contoh),
pengaruh perilaku model, dan proses internal pelajar. Jadi individu
melakukan pembelajaran dengan proses mengenal perilaku model (perilaku
yang akan ditiru), kemudian mempertimbangkan dan memutuskan untuk
meniru sehingga menjadi perilakunya sendiri. Perilaku model ialah berbagai
perilaku yang dikenal di lingkungannya. Apabila bersesuaian dengan keadaan
dirinya (minat, pengalaman, cita-cita, tujuan dan sebagainya) maka perilaku
itu akan ditiru.
2.7.2 Learning Theory dan Executive Coaching
Pendekatan praktik dalam coaching dan pembelajaran orang dewasa
ada beberapa kesamaan, terutama berkaitan dengan lingkungan belajar dan
proses pembelajaran. Untuk memfasilitasi proses pembelajaran, situasi
belajar atau sesi pelatihan, sangatlah penting mengetahui siapa peserta
dewasa, hal ini menyangkut tentang konteks sosial dalam membentuk proses
belajar bagi orang dewasa. Diperlukan beberapa pemahaman yaitu mengapa
orang dewasa terlibat dalam kegiatan belajar, bagaimana orang dewasa
belajar dan bagaimana penuaan memengaruhi kemampuan belajar (Merriam
et al., 2007). Kerangka pembelajaran Cox (2006) yang dibangun berdasarkan
kerangka pembelajaran Knowles (1980) dalam teori andragogi, mengusulkan
bahwa kerangka pembelajaran mencakup praktek coaching, dan
menyarankan bahwa semua intervensi coaching mencakup proses
pengalaman belajar yang luas (Kolb, 1984), serta teori belajar bagi orang
dewasa.
Dengan menekankan integrasi pembelajaran, Cox (2013) melanjutkan
Mezirow (1991) mengakui bahwa pembelajaran transformatif adalah langkah
37
terakhir dari proses belajar. Selain itu, Askew dan Carnell (2011)
menyimpulkan bahwa pembelajaran reflektif mengarah ke transformasi
perspektif dan mengisi kesenjangan penting dalam teori coaching. Dari teori-
teori belajar Cox (2006) menyebutkan bahwa teori belajar transformatif
merupakan pendekatan yang paling tepat dalam proses coaching. Teori
muncul dari karya Mezirow (1991 dan 2009) menggambarkan bahwa proses
yang diperlukan orang dewasa dalam transformasi pengetahuan
menggunakan pergeseran paradigma. Enam tema umum pengalaman dalam
transformatif pendidikan yaitu pengalaman pribadi, refleksi kritis, dialog,
orientasi holistik, kesadaran konteks, hubungan otentik (Taylor, 2009). Tiga
tema umum yang penting dari teori Mezirow (1991) tentang transformasi
adalah pengalaman, refleksi kritis dan wacana rasional, yang semuanya
dalam struktur transformasi. Namun, seperti pembelajaran transformatif telah
berevolusi dan Taylor (1998) telah menambahkan: orientasi holistik,
kesadaran konteks, dan praktek otentik. Pengalaman peserta dalam proses
pembelajaran adalah titik awal dan materi pelajaran pada pembelajaran
transformatif (Mezirow, 2000). Pembelajaran transformasional didasarkan
atas refleksi kritis. Menurut Mezirow (2000), ciri khas dari pembelajaran bagi
orang dewasa adalah memertanyakan integritas dan keyakinan berdasarkan
pengalaman sebelumnya. Ada tiga bentuk refleksi yaitu (1) Konten
(merenungkan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan bertindak); (2) Proses
(merenungkan bagaimana kita melakukan fungsi memahami); dan (3) Premis
(kesadaran mengapa kita melihat).
Secara historis, pembelajaran transformatif telah dikritik karena
banyak penekanan pada wacana rasional dan refleksi kritis dalam proses
pembelajaran transformatif (Taylor, 2007). Menurut Brown (2006) peserta
didik jarang berubah melalui proses rasional (analisis berpikir–ubah). Mereka
lebih mungkin untuk mengubah diurutan melihat, merasakan, melakukan
perubahan. Sedangkan, Mezirow (2000) berpendapat bahwa untuk berhasil
harus menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Untuk
mengembangkan kesadaran konteks dalam pembelajaran coaching
38
transformatif perlunya mengembangkan lebih dalam apresiasi dan
pemahaman tentang faktor–faktor personal dan sosial budaya yang
berpengaruh dalam proses pembelajaran transformatif. Faktor eksternal dapat
mencakup kondisi sekitarnya saat peristiwa berlangsung, situasi pribadi dan
profesional individu pada pengalaman mereka sebelumnya, dan latar
belakang atau konteks masyarakat yang membentuknya. Cranton (2006),
mendorong pembelajaran transformatif dengan memberi makna antara
konteks dan hubungan terhadap dirinya sendiri.
2.7.3 Leadership Theory
Yukl (2009) memberi definisi kepemimpinan adalah proses untuk
memengaruhi orang lain untuk memahami tugas yang harus dilakukan secara
efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif dalam
mencapai tujuan bersama. Sedangkan, Northouse (Yukl, 2009) mengenai
kepemimpinan memberi penekanan terhadap kemampuan individu untuk
memengaruhi, memotivasi dan membuat orang lain dalam memberikan
kontribusinya demi keefektifan dan keberhasilan organisasi. Sedangkan
Collins (Kasali, 2005), menekankan bahwa leadership bukanlah managerial
leadership seperti yang dimiliki kebanyakaan manajer, namun sebagai
seorang yang punya keberanian menghadapi fakta-fakta brutal dengan
kegigihan, pantang menyerah, memiliki panggilan profesional serta punya
kerendahan hati. Seorang pemimpin yang baik bukanlah pemimpin yang
otoriter, melainkan pemimpin tim yang bekerja habis–habisan untuk
organisasi, dan berani mempertaruhkan jabatan serta kedudukannya.
Pemimpin yang handal bukan pemimpin yang ingin populis, cari aman dan
menghindar dari tekanan yang ada. Kasali (2005) memberikan gambaran
tentang pemimpin yaitu seorang yang mampu memperbaharui/menciptakan
sistem baru, bebas/merdeka, kreatif, berani melakukan kesalahan tetapi tetap
disiplin, berani menghadapi tantangan, memiliki orientasi ke masa depan di
suatu tempat yang berbeda, imaginatif, memiliki karakter, tidak terlalu
39
memikirkan posisi, lebih pada manfaat, nilai dan tanggung jawab. Perumusan
tentang kepemimpinan bertitik tolak pada tiga hal, yaitu (1) ada yang
memberikan penekanan pada kepribadian, kemampuan dan kesanggupan
pemimpin, (2) ada yang memberikan penekanan kegiatan, kedudukan dan
perilaku pemimpin, (3) ada yang memberikan penekanan kepada proses
interaksi antara pemimpin, bawahan dalam situasi tertentu.
Penekanan Kotter dan House (Robbin, 1996) tentang kepemimpinan
yaitu kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok guna mencapai visi
atau serangkaian tujuan yang diterapkan. Kepemimpinan dipandang dari
setiap tindakan individu atau kelompok untuk mengoordinasikan dan
memberi arah pada orang lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Teori tentang kepemimpinan banyak
dikaji oleh para ahli dan terus mengalami perkembangan dan dikelompokkan
ke dalam klasifikasi yang berbeda oleh para pakar organisasi, misalnya
Luthan (2006), Robin (2016); dan Schermerhorn (1997). Schermerhorn
(1997) membagi pemikiran tentang kepemimpinan menjadi empat landasan
teoritik, yaitu teori kepemimpinan sifat (trait theories), teori kepemimpinan
perilaku (behavioural theories), teori kepemimpinan kontigensi (contigency
theories), teori kepemimpinan baru (the new leadership theories).
Teori kepemimpinan baru meliputi kepemimpinan atribut,
kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan transformasional.
Transformasional dari kata to transform yang punya makna mengubah dari
suatu bentuk ke bentuk lain yang berbeda. Konsep awal tentang
kepemimpinan transformasional telah diformulasikan oleh Burns (1978) yang
diterapkan dalam konteks politik. Burns (1978) menekankan bahwa
kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses yang para pemimpin
dan pengikutnya saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi
yang lebih tinggi (Yukl 1994). Selanjutnya konsep ini dikembangkan oleh
Bass (1985) menjadi sebuah teori kepemimpinan transformasional
(transformational leadership) dan diperkenalkan dalam konteks organisasi.
40
2.7.4 Social Exchange Theory
Teori pertukaran sosial yang dikemukanan Homans (1967) bermula
dari teori ilmu ekonomi yaitu bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat
dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman.
Pertukaran perilaku untuk memperoleh ganjaran adalah prinsip dasar dalam
transaksi ekonomi. Perilaku yang dimaksud dalam pertukaran sosial
merupakan perilaku sosial dan ekonomis. Misalnya pekerjaan tidak hanya
menyediakan ganjaran ekstrinsik berupa upah, tetapi juga menyediakan
ganjaran intrinsik berupa persahabatan, kepuasan, dan mempertinggi harga
diri. Orang yang bertindak dengan cara demikian adalah untuk memperkecil
biaya (hukuman) dan memperbesar keuntungan (ganjaran dikurangi biaya).
Molm dan Cook (1992) melihat tiga faktor mendasar yang
mendorong perkembangan teori pertukaran sosial, yaitu (1) hubungan
kekuasaan dan ketergantungan. Kekuasaan adalah pusat perhatian teori
pertukaran. (2) behaviorisme sebagai basis teori pertukarannya, (3)
menjelaskan struktur dan perubahan sosial. Meskipun Homans (1967)
membahas prinsip psikologis, namun satu hal yang penting dicatat di sini
adalah bahwa ia sama sekali tidak membayangkan individu itu dalam
keadaan terisolasi. Ia mengakui bahwa manusia adalah makhluk sosial dan
menggunakan sebagian besar waktu mereka berinteraksi dengan manusia
lain. Dalam persoalan interaksi ini, Homans membatasi diri pada interaksi
sosial dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sangat jelas ia cukup yakin
bahwa sosiologi yang dibangun berdasarkan prinsip yang dikembangkannya
akhirnya akan mampu menerangkan semua perilaku sosial.
Sedangkan Levi-Strauss (Susan, 1998) menegaskan bahwa tujuan
utama proses pertukaran itu adalah tidak untuk memungkinkan pasangan-
pasangan yang terlibat dalam pertukaran itu untuk memenuhi kebutuhan
individulistisnya. Sebaliknya, arti pertukaran itu adalah bahwa dia
mengungkapkan komitmen moral individu itu pada kelompok. Bentuk
khusus pertukaran itu, apakah langsung atau tidak langsung, bukanlah sebuah
41
keputusan individu yang dikeluarkan berdasarkan pertimbangan kepentingan
sekarang ini. Bentuk pertukaran itu sendiri dibatasi oleh kebudayaan
keseluruhannya, dan diinstitusionalisasikan dalam struktur sosial itu sendiri,
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang khusus. Levi-Strauss (Susan,
1998) membedakan pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial. Secara tegas
ia menolak penggunaan motif-motif ekonomi atau individualistis untuk
menjelaskan pertukaran-pertukaran sosial.
Russell (2005) memiliki pandangan tentang pertukaran yaitu
serangkaian transaksi saling tergantung yang bisa menghasilkan semacam
interpersonal. Dalam hal tersebut ada dua konseptualisasi hubungan yaitu
transaksi dan hubungan yang keduanya memiliki ketergantungan dan
digambarkan dengan empat kuadran atau sel. Sel 1 (satu) menampilkan
transaksi pertukaran sosial dalam konteks hubungan sosial, sel 2 (dua)
menampilkan pertukaran ekonomi dalam konteks hubungan sosial, dimana
hubungan pertukaran sosial dipasangkan dengan transaksi ekonomi. Keadaan
ini bisa memberikan reward dan resiko. Sel 3 (tiga) para pihak berada dalam
hubungan ekonomi dan terlibat dalam transaksi pertukaran sosial. Sedangkan
sel 4 (empat) menampilkan transaksi pertukaran ekonomi dalam konteks
hubungan pertukaran ekonomi. Russel (2005) kembali menekankan bahwa
teori Homans (1958) mempresentasikan konsep tingkah laku sosial
berdasarkan pertukaran. Intinya, dia memperkenalkan gagasan bahwa
pertukaran tidak terbatas pada barang material tetapi juga mencakup nilai
simbolik, misalnya berupa persetujuan dan prestise. Tulisannya
menjembatani berbagai disiplin ilmu dan memicu teori pertukaran sosial
yang berbeda. Meskipun memiliki inti bahwa pertukaran sosial terdiri dari
tindakan yang bergantung pada reaksi menguntungkan orang lain, dalam
bentuk saling menguntungkan transaksi dan hubungan.
42
2.8 PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.8.1. Taktik Pengaruh Proaktif Tipe Kepemimpinan Transformasional
dan Tipe Kepemimpinan Transaksional
Tutar et al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa untuk
mencapai kesuksesan setiap organisasi perlu kepemimpinan yang efektif
dengan memiliki soft competency yang kuat. Selain hal tersebut,
kepemimpinan seseorang harus memiliki kemampuan untuk memengaruhi
bawahan dengan bergantung pada kekuatan etis. Ini terkait dengan kejujuran,
kepercayaan, pertimbangan, keadilan dan sebagainya. Hal yang terpenting
bahwa kepemimpinan bergantung pada kekuatan moral. Dalam penelitian
Ghasabeh et al. (2015) belum adanya kesepakatan tentang kriteria tipe
kepemimpinan mana yang paling efektif.
Kepemimpinan memiliki fokus pada proses memengaruhi orang lain
(individu dan kolektif), melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara
efektif, untuk mencapai tujuan organisasi. Dari definisi tersebut bahwa tipe
kepemimpinan apapun jika dilakukan dengan metode yang benar maka akan
memiliki dampak meningkatkan kualitas para pemimpin.
Sehubungan para staf penjualan dalam pekerjaan seharian lebih
dominan bertemu dengan klien, maka sangat dibutuhkan kemampuan
berkomunikasi secara persuasif. Pengukuran kinerja para kepala penjualan
dengan taktik pengaruh proaktif yaitu rational persuation, inspirational
appeals, consultation, dan collaboration sebagai hasil mekanisme tipe
kepemimpinan transformasional yang dimiliki kepala cabang akan meningkat
dibandingkan ketika kepala cabang menggunakan tipe kepemimpinan
transksional. Dengan demikian dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya
peningkatan taktik pengaruh proaktif sebagai bentuk pengukuran kinerja
keperilakuan. Berdasarkan argumentasi dan hasil riset terdahulu maka
hipotesis pertama disajikan sebagai berikut:
43
H1: Taktik pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan
transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif
subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional
2.8.2 Taktif Pengaruh Proaktif terhadap Tipe Kepemimpinan
Transformasional
Kepemimpinan adalah suatu proses memengaruhi orang lain guna
mencapai tujuan tertentu dan variabel yang bisa dipengaruhi yaitu
pengembangan sumber daya manusia antara lain terhadap kepuasan kerja,
motivasi kerja, burn out dan kinerja karyawan. Kepemimpinan merupakan
salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi kepuasan kerja. Perilaku
dari seorang pemimpin dapat memengaruhi kepuasan dan kinerja dari
bawahan (Yukl, 2005:7; Pierce dan Newstrom, 2006). Penelitian Challagalla
dan Shervani (2006) menemukan bahwa kepemimpinan berpengaruh
signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.
Penelitian Bogler (2001) telah menemukan bahwa kepemimpinan
transformasional meningkatkan motivasi, sedangkan Koh (1990) kepuasan
kerja dan komitmen. Kepemimpinan transformasional muncul menjadi
pendekatan yang sangat efektif dalam proses atau sistem pendidikan
(Leithwood, 1994).
Seorang pemimpin transformasional mampu meningkatkan derajat
kesadaran organisasi tentang tujuan organisasi melalui dorongan para
pengikutnya untuk memiliki keinginan yaitu keinginan mencapai tujuan dan
visi bersama. Tichy dan Devanna (Yukl, 1994) menganalisis pemimpin
transformasional mengangkat dan mengarahkan pengikutnya ke arah yang
benar, ke arah moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Kepemimpinan
transformasional menghendaki perubahan, kepentingan organisasi lebih
utama dari kepentingan diri sendiri, dan melakukan sesuatu yang melampaui
harapan yang ditetapkan bersama.
44
Dalam transformational leadership, memberikan fokus yaitu
membuat seseorang atau kelompok lebih sadar mengenai pentingnya hasil-
hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan
organisasi daripada kepentingan pribadi, dan mengaktifkan kebutuhan-
kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Tipe kepemimpinan
transformasional memiliki empat dimensi yaitu idealized influence,
inspirasional motivation, intellectual stimulation dan individualized
consideration yang akan menghasilkan kinerja melampaui harapan. Jika
seorang yang memiliki tipe kepemimpinan transformasional dalam bekerja,
maka dampak yang akan timbul adalah para kepala penjualan yang memiliki
pemimpin tersebut akan mampu meningkatkan kinerjanya melalui taktik
pengaruh proaktif. Hal ini terjadi karena didukung kemampuan pemimpin
dengan cara berkomunikasi yang tepat. Berdasarkan argumentasi dan hasil
riset terdahulu maka hipotesis kedua disajikan sebagai berikut:
H2: Taktik pengaruh proaktif subjek dibawah tipe kepemimpinan
transformasional dengan menggunakan executive coaching lebih baik
dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa menggunakan
executive coaching.
2.8.3 Taktif Pengaruh Proaktif terhadap Tipe Kepemimpinan
Transaksional
Kepemimpinan dan leadership coaching berperan dalam keefektifan
organisasi dengan memelihara potensi kepemimpinan di dalam diri sendiri
dan orang lain agar menjadi lebih produktif dan menyenangkan (Watts dan
Corrie, 2013). Kepemimpinan dan coaching keduanya memiliki kesamaan
dalam hal proses yang berkaitan dengan perilaku manusia, memengaruhi
manusia, melalui aktivitas dan bertujuan untuk perubahan bagi diri sendiri,
orang lain dan organisasi. Dengan demikian, maka executive coaching
memiliki pengaruh terhadap kualitas dan kinerja manajer. Manajer sebagai
45
seorang pemimpin, dan sebagai orang yang ingin meningkatkan
produktivitas, perubahan perilaku anak buahnya dengan salah satu metode
yaitu coaching.
Menurut Burns (1978) pada kepemimpinan transaksional, hubungan
antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas
tawar – menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional
adalah contingent reward dan management by-exception. Pada contingent
reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah
dilaksanakan, berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas. Hal
ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk bawahan
terhadap upaya-upayanya. Selain itu, pemimpin bertransaksi dengan bawahan
dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan,
menunda keputusan atau menghindari hal-hal yang kemungkinan
memengaruhi terjadinya kesalahan. Management by-exception menekankan
fungsi managemen sebagai kontrol. Pimpinan hanya melihat dan
mengevaluasi apakah terjadi kesalahan untuk diadakan koreksi, pimpinan
memberikan intervensi pada bawahan apabila standar tidak dipenuhi oleh
bawahan. Praktik management by-exception yaitu pimpinan mendelegasikan
tanggung jawab kepada bawahan dan menindak lanjuti dengan memberikan
apakah bawahan dapat berupa pujian untuk membesarkan hati bawahan dan
juga dengan hadiah apabila laporan yang dibuat bawahan memenuhi standar.
Transactional leadership berfokus pada keinginan bawahan dan berusaha
memenuhi harapannya, melakukan imbalan yang mereka inginkan,
melakukan respon terhadap kepentingan pribadi sepanjang mendukung
tujuan perusahaan, tipe kepemimpinan tersebut jika dilakukan secara
konsisten, maka berdampak terhadap pengembangan karyawan.
Giacobbi (2000) berpendapat bahwa coachability ditandai antara lain
oleh motivasi yang meningkatkan keterampilan, rasa ingin tahu, keterbukaan
terhadap pembelajaran, dan kepercayaan dan rasa hormat terhadap pelatih
dan atau proses pelatihannya. Shannahan et al. (2013) menerapkan konsep
coachability atletik untuk penjualan dimana konsep penjual coachability
sebagai tahapan penjual harus memiliki sifat terbuka mencari, menerima, dan
46
menggunakan sumber daya eksternal untuk meningkatkan kinerja
penjualannya dalam konteks personal selling. Adapun coachability penjual
merupakan perbedaan individu dari setiap penjual, yang membutuhkan
situasi yang tepat untuk memicu dan untuk mewujudkan situasi agar mereka
dapat mengeluarkan kemampuannya secara optimal. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh motivasi dari coach, yaitu manajer penjualan, prioritas
dalam bekerja, nilai-nilai yang diterapkan dalam perusahaan, sumber daya
yang ada, rekan kerja dan tipe kepemimpinan.
Menurut Bycio et al. (1995) kepemimpinan transaksional adalah tipe
kepemimpinan dengan pemimpin yang perhatiannya berfokus pada transaksi
interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan
pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai
klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.
Berdasarkan argumentasi dan hasil riset terdahulu maka hipotesis ketiga
disajikan sebagai berikut:
H3: Taktik pengaruh proaktif subjek yang memiliki tipe kepemimpinan
transaksional dengan menggunakan executive coaching lebih baik
dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa menggunakan
executive coaching.
2.8.4 Taktik Pengaruh Proaktif Tipe Kepemimpinan Transfor-
masional dan Tipe Kepemimpinan Transaksional dengan
Executive Coaching
Kepemimpinan dan leadership coaching berperan dalam keefektifan
organisasi dengan memelihara potensi kepemimpinan di dalam diri sendiri
dan orang lain agar menjadi lebih produktif dan menyenangkan (Watts dan
Corrie, 2013). Kepemimpinan dan coaching keduanya memiliki kesamaan
dalam hal proses yang berkaitan dengan perilaku manusia, memengaruhi
manusia, melalui aktivitas dan bertujuan untuk perubahan bagi diri sendiri,
orang lain dan organisasi. Dengan demikian maka executive coaching
memiliki pengaruh terhadap kualitas dan kinerja manajer. Manajer sebagai
47
seorang pemimpin, dan sebagai orang yang ingin meningkatkan
produktivitas, perubahan perilaku anak buahnya dengan salah satu metode
yaitu coaching.
Nieminen (2013) menyatakan bahwa organisasi executive coaching,
seperti International Coaching Federation (ICF) melaporkan bahwa
executive coaching beberapa tahun terakhir ini bertumbuh dengan pesat. Hal
ini menjelaskan bahwa executive coaching terbukti akurat, karena di dalam
manajemen sumber daya manusia menempati pertumbuhan yang cepat.
Sedangkan salah satu tantangan dalam manajemen sumber daya manusia
adalah bagaimana mempertahankan karyawan yang telah direkrut dengan
biaya dan waktu yang tidak sedikit, sehingga labor turnover-nya rendah.
Upaya untuk mengatasi hal tersebut yaitu bagaimana meningkatkan kepuasan
karyawan baik yang bersifat material dan non material. Penghargaan yang
bersifat material, antara lain upah dan fasilitas, sedangkan penghargaan non
material, yaitu penghargaan dan kebutuhan untuk berpartisipasi. Untuk
memenuhi hal tersebut perusahaan memiliki tanggung jawab secara konsisten
menyediakan suasana lingkungan yang baik, rekan kerja yang mampu
bekerjasama dan para pemimpin memiliki kemampuan memimpin dengan
baik. Salah satu hal yang penting yaitu kemampuan pemimpin yang memiliki
kaitan dengan tipe kepemimpinan yang diterapkan. Salah satu tipe
kepemimpinan yaitu tipe kepemimpinan transformasional yang meliputi
idealized influence (kharisma), inspirational motivation, intellectual
stimulation dan individualized Consideration (Bass dan Avolio, 1995). Tipe
kepemimpinan transformasional ini dapat digunakan untuk usaha
mempertahankan karyawan dengan cara memenuhi kepuasan karyawan,
dalam hal non material, khususnya kebutuhan untuk berpartisipasi.
Gundersen et al. (2012) dalam risetnya menemukan bahwa tipe
kepemimpinan transformasional di lingkungan kerja yang dinamis
memberikan dampak kinerja yang efektif bagi karyawan dan efektifitas bagi
organisasi.
Dalam studi empiris Shannahan et al. (2013), ukuran coachability
atletik diadaptasi dan diterapkan pada tenaga penjualan dalam konteks usaha
48
penjualan. Hubungan antara coachability penjual, sifat daya saing penjual,
tipe kepemimpinan manajer penjualan, dan kinerja penjualan menunjukkan
hasil bahwa kinerja penjualan paling tinggi jika penjual sangat coachable,
sangat kompetitif, dan pemimpinnya menggunakan tipe kepemimpinan
transformasional. Selain hal itu tidak terlepas dari proses rekrutmen tenaga
penjual.
Giacobbi (2000) dan Shannahan et al. (2013) berpendapat bahwa
bahwa penerapan coachability atletik untuk penjualan, penjual harus
memiliki sifat terbuka untuk mencari, menerima, dan menggunakan sumber
daya eksternal untuk meningkatkan kinerja penjualan mereka dalam konteks
personal selling. Sedangakan para pimpinan penjualan memiliki kemampuan
dan kepemimpinan yang berbeda, namun demikian telah terbukti bahwa tipe
kepemimpinan transformasional menyebabkan kinerja penjualan lebih tinggi
(Humphreys, 2002; MacKenzie et al., 2001; Russ et al., 1996; Shoemaker,
1999). Pimpinan penjualan yang melakukan coaching dengan tipe
kepemimpinan transformasional akan memicu dampak yang lebih besar pada
kinerja penjualan. Jika seorang yang memiliki tipe kepemimpinan
transformasional dalam bekerja menggunakan executive coaching dan
mengikuti lokakarya multisource feedback maka tipe kepemimpinan
transformasional akan mampu memberikan taktik pengaruh proaktif terbaik.
Berdasarkan argumentasi dan hasil riset terdahulu maka hipotesis keempat
disajikan sebagai berikut:
H4: Taktik pengaruh proaktif subjek dengan executive coaching pada
tipe kepemimpinan transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik
pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional