bab 1 pendahuluan -...

20
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Ray Williams sebagai Presiden International Coach Federation (National Post, 4 April 2007) mengungkapkan bahwa business coaching adalah profesi yang memiliki pertumbuhan berada pada urutan kedua tercepat di dunia setelah teknologi informasi. Hal ini didorong oleh banyak kepemimpinan tidak efektif yang telah memberikan kontribusi terhadap permintaan untuk executive coaching. Hal tersebut ditunjukkan dengan fakta bahwa pengeluaran tahunan untuk business coaching di Amerika Serikat telah mencapai satu juta dollar (Harvard Business Review, November 2004). Sementara itu pemakaian business coaching di Inggris telah tersebar luas dan diperoleh data bahwa 88% perusahaan sudah menggunakan coaching di dalam organisasinya (University of Bristol Newsletter 2005). Adapun pertumbuhan organisasi dengan menggunakan coaching telah dilakukan juga oleh Institute Management Australia dimana 70% dari perusahaan yang menjadi anggotanya telah memekerjakan para coach untuk melakukan business coaching (Inside Business Channel 2, Juli 2006). Data yang ada menyatakan bahwa terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang telah bekerja sebagai business coach atau life coach. Selain itu juga, pasaran dari business coaching senilai 2,4 juta dollar dan kini bertumbuh 18% pertahunnya (Market Data Report 2007). Business Coaching ini berdampak pada percepatan pengembangan karier bagi para eksekutif. de Geus dan Senge (1997) menyatakan bahwa kemampuan eksekutif yang telah menggunakan coaching berkemampuan untuk belajar lebih cepat dan membawa dampak keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Lingkungan organisasi yang berkembang pesat dan didukung

Upload: trannhi

Post on 11-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Ray Williams sebagai Presiden International Coach

Federation (National Post, 4 April 2007) mengungkapkan bahwa business

coaching adalah profesi yang memiliki pertumbuhan berada pada urutan

kedua tercepat di dunia setelah teknologi informasi. Hal ini didorong oleh

banyak kepemimpinan tidak efektif yang telah memberikan kontribusi

terhadap permintaan untuk executive coaching. Hal tersebut ditunjukkan

dengan fakta bahwa pengeluaran tahunan untuk business coaching di

Amerika Serikat telah mencapai satu juta dollar (Harvard Business Review,

November 2004). Sementara itu pemakaian business coaching di Inggris

telah tersebar luas dan diperoleh data bahwa 88% perusahaan sudah

menggunakan coaching di dalam organisasinya (University of Bristol

Newsletter 2005).

Adapun pertumbuhan organisasi dengan menggunakan coaching

telah dilakukan juga oleh Institute Management Australia dimana 70% dari

perusahaan yang menjadi anggotanya telah memekerjakan para coach untuk

melakukan business coaching (Inside Business Channel 2, Juli 2006). Data

yang ada menyatakan bahwa terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang

telah bekerja sebagai business coach atau life coach. Selain itu juga, pasaran

dari business coaching senilai 2,4 juta dollar dan kini bertumbuh 18%

pertahunnya (Market Data Report 2007).

Business Coaching ini berdampak pada percepatan pengembangan

karier bagi para eksekutif. de Geus dan Senge (1997) menyatakan bahwa

kemampuan eksekutif yang telah menggunakan coaching berkemampuan

untuk belajar lebih cepat dan membawa dampak keunggulan kompetitif yang

berkelanjutan. Lingkungan organisasi yang berkembang pesat dan didukung

2

dengan coaching mampu mendorong para eksekutif untuk dapat mengambil

keputusan yang strategis dan mengelola sumber daya organisasi sesuai

tantangan dan kebutuhan organisasi.

Smith dan Sandstrom (1999) menegaskan bahwa coaching adalah alat

strategis untuk meningkatkan fleksibilitas perilaku dan membantu para

eksekutif untuk mengidentifikasi tantangan, merenungkan dan mengambil

tindakan yang tepat untuk kepentingan organisasi. Hal serupa juga

dinyatakan Warrenfeltz (2000) bahwa keberadaan coaching mampu

mendorong organisasi untuk lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan

sumber daya manusia.

Fenomena executive coaching juga didukung hasil riset empiris di

bidang tersebut yang mengalami perkembangan yang pesat (Filipezak, 1998;

Kilburg, 1996; Quick dan Macik-Frey, 2004; Feldman dan Lankau, 2005;

Nieminen et al., 2013). Perkembangan literatur executive coaching di bidang

konsultasi manajemen, pelatihan dan pengembangan, serta konsultasi

psikologi juga mengalami peningkatan (Kampa-Kokesch dan Anderson,

2001). Adapun Joo (2005) menyatakan bahwa riset executive coaching

berelasi dengan mentoring, kesuksesan karir, balikan (feedback) 360 derajat,

serta pelatihan dan pembelajaran. Dalam kerangka konseptualnya, Joo (2005)

menyajikan anteseden dari keberhasilan executive coaching adalah

karakteristik coach, karakteristik coachee dan dukungan organisasi.

Anteseden tersebut mengikuti proses pendekatan, hubungan dan penerimaan

feedback dari coaching sehingga menghasilkan outcome berupa self-

awareness dan pembelajaran. Hasil akhirnya adalah kesuksesan individual

dan organisasi. Riset lain oleh Bono et al. (2009) memberi bukti empiris

bahwa psikologi dalam executive coaching berperan penting dalam

perubahan perilaku manager sebagai sumber daya manusia di organisasi.

Dalam domain pengembangan sumber daya manusia, Feldman dan

Lankau (2005) menggambarkan karakteristik yang membedakan executive

coaching dengan intervensi pengembangan pimpinan yang lain yaitu:

terformalisasi, jangka pendek sampai menengah, hubungan satu demi satu

3

dengan seorang konsultan yang berfokus pada penyediaan pimpinan yang

mau melakukan feedback tentang perilaku kinerja dan peningkatan

efektivitasnya dalam pekerjaan, serta organisasinya. Feedback yang

bersumber dari banyak pihak disebut sebagai multisource feedback (MSF).

Penilaian kinerja karyawan dalam perusahaan biasanya dilakukan

oleh atasan langsung dan/atau tak langsung yang disebut sebagai penilaian

kinerja karyawan single-source feedback. Penilaian seperti ini memiliki

banyak kelemahan dan bias, karena sangat tergantung selera pimpinan

terhadap bawahannya. Oleh karena itu, kini mulai dikembangkan penilaian

kinerja model 360 derajat. Pengembangan manajemen sumber daya manusia

untuk penilaian kinerja karyawan dengan umpan balik 360 derajat telah

dikenal sebagai umpan balik multisumber atau penilaian multisumber.

Umpan balik 360 derajat memiliki berbagai nama: umpan balik dari banyak

penilai (multi-rater feedback), penilaian dari bawah ke atas (upward

appraisal), umpan balik rekan sekerja (co-worker feedback), penilaian multi

perspektif (multiperspective ratings), umpan balik satu lingkaran penuh (full-

circle feedback). Angka 360 menunjukan 360 derajat dalam suatu lingkaran

dengan figur individual di pusat lingkaran.

Penilaian kinerja karyawan yang menggunakan umpan balik 360

derajat dilakukan oleh karyawan sendiri, kelompok “peer”, bawahan dan

atasan. Dalam beberapa kasus umpan balik 360 derajat ini, penilaian kinerja

diri dilakukan dari sumber eksternal seperti pelanggan dan pemasok atau

pemangku kepentingan lainnya. Proses ini melibatkan pihak luar perusahaan

seperti konsumen, klien dan penjual. Proses ini pun memiliki keterlibatan dan

kredibilitas tinggi dari karyawan dalam memengaruhi peningkatan perilaku,

kinerja dan komunikasi. Pola ini memberi karyawan kesempatan untuk

mengetahui bagaimana mereka dinilai orang lain, termasuk untuk melihat

ketrampilan dan perilakunya.

Dari studi yang dilakukan Walker and Smither (1999) selama lima

tahun menyatakan bahwa antara satu hingga dua tahun pertama tidak adanya

4

perbaikan signifikan dalam hal peningkatan kinerja, karena masing– masing

masih bersikap subyektif. Namun setelah proses berlangsung selama tiga

tahun maka mulai tampak ada peningkatan kinerja. Selain itu studi yang

dilakukan Reilly et al. (1996) menunjukkan adanya peningkatan kinerja di

bidang administrasi pada tahun-tahun pertama dan berlangsung terus setelah

dua tahun berikutnya. Menurut (Maylett dan Riboldi, 2007) model 360

derajat ini dapat digunakan untuk memprediksi kinerja karyawan yang

sifatnya berkesinambungan, sehingga MSF memiliki keunggulan

dibandingkan dengan single-source feedback.

Penelitian di bidang MSF berkembang sangat pesat pada beberapa

dekade terakhir yaitu dalam hal pengembangan, penilaian dan pengambilan

keputusan personil (Antonioni, 1996; Brutus dan Derayeh, 2002; Burtus et

al., 2006; Hedge et al., 2001; Waldman et al., 1998). Dalam konteks

perkembangan pemimpin, proses MSF yang pertama mencakup

pengumpulan nilai oleh pemimpin supervisor, rekan sejawat, laporan

langsung, dan diri sendiri, dan kedua, berbagi hasil dengan pemimpin untuk

memfasilitasi pembelajaran dan kemajuan (Dalessio, 1998). Riset empiris

menunjukkan bahwa pengaruh MSF terhadap efektivitas pemimpin masih

inkonklusif atau masih sulit diinterpretasikan (Hezlett, 2008; McCharty dan

Garavan, 2006), namun perubahan yang dilakukan oleh pemimpin setelah

menerima MSF adalah positif, meski nilai perubahannya masih kecil karena

hanya beberapa pemimpin memiliki kesadaran untuk berubah setelah

menerima feedback.

Hal- hal yang berpotensi menjadi penyebab tidak optimalnya MSF

dalam meningkatkan perubahan perilaku pemimpin adalah desain riset, masih

adanya kelemahan dalam hal instrumen MSF, salah langkah dalam

implementasinya, dan faktor substantif dalam pengembangan model teoritis.

Nieminen et al. (2013) menggunakan executive coaching sebagai komplemen

dari tujuan MSF dengan membantu pemimpin untuk mengembangkan tujuan

dan mengikuti aksi pengembangan yang tepat. Hasil riset Nieminen et al.

5

(2013) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara MSF terhadap

efektivitas manajer sebagai pimpinan. Multisource feedback dengan feedback

workshop memiliki nilai lebih kecil dibanding feedback workshop yang

dikombinasi dengan executive coaching. Namun demikian, riset Nieminen et

al. (2013) belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan dalam executive

coaching seperti yang diulas oleh Hezlett (2008). Nieminen et al. (2013)

memberikan bukti empiris yang sama bahwa executive coaching dengan

MSF dalam workshop meningkatkan kinerja individual coachee. Dalam

penelitian Kochanowski et al. (2010) diketahui bahwa hasilnya konsisten

dengan hasil dari studi kuasi-eksperimental oleh Smither et al. (2003). Efek

dari intervensi umpan balik memiliki pengaruh terhadap taktik pengaruh

proaktif. Masey (2010) menjelaskan bahwa taktik pengaruh proaktif adalah

upaya oleh seorang manajer pemasaran kepada agen untuk melakukan

kepatuhan atau kerja sama dalam mencapai target dan keefektifan manajer

ditentukan sebagian oleh tingkat pengaruh informal mereka di dalam

organisasi. Taktik pengaruh proaktif yang biasa dilakukan manajer

pemasaran di Indonesia yaitu taktik pengaruh proaktif yang meliputi rational

persuasion, inspirational appeal, collaboration, dan consultation. Dampak

dari intervensi umpan balik hanya ditemukan untuk collaboration dan

consultation.

Dalam percobaan lapangan oleh Seifert dan Yukl (2005) dan Seifert

et al. (2003) diketahui tidak adanya efek signifikan yang ditemukan untuk

persuasi rasional dan taktik ini juga tidak terpengaruh oleh sebuah intervensi

umpan balik dalam dua percobaan di lapangan sebelumnya. Persuasi rasional

adalah taktik pengaruh proaktif yang paling sering digunakan para manajer

(Yukl, 2009), dan mungkin kurang rentan terhadap perubahan daripada taktik

yang lain. Sedangkan hasil untuk inspirasional juga tidak memiliki

signifikansi. Sayangnya, kemampuan generalisasi pada kesimpulan

penelitian–penelitian tersebut (Nieminen et al., 2013; Kochanowski et al.,

2010) masih terbatas karena tipe kepemimpinan coach yang terlibat executive

coaching belum diteliti.

6

Tipe kepemimpinan memegang peranan penting dalam suatu

organisasi. Perbedaan tipe perilaku pemimpin akan menyebabkan dampak

feedback pun menjadi berbeda (Kochanowski et al., 2010). Hubungan antara

perilaku dan keterampilan kepemimpinan berdampak positif terhadap

efektivitas organisasi. Hal ini terkait erat dengan nilai-nilai, norma -norma

perilaku, dan praktik kerja (Denison dan Mishra, 1995; Denison et al., 2003).

Penggunaan feedback terhadap perubahan perilaku dengan mempertimbang-

kan tipe kepemimpinan berpotensi meningkatkan kinerja individual dan

dampak selanjutnya dapat meningkatkan kinerja organisasi.

Tipe kepemimpinan yang efektif dan sering diteliti secara mendalam

yaitu tipe kepemimpinan transformasional. Tipe Kepemimpinan

transformasional merupakan kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja

dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal

sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai

dengan target capaian yang telah ditetapkan. Sumber daya organisasi yang

dimaksud yaitu sumber daya manusia seperti pimpinan, staf, bawahan, tenaga

ahli, dan lain-lain. Berkaitan dengan tipe kepemimpinan transformasional ini,

Leithwood et al. (1999) mengemukakan bahwa kepemimpinan transfor-

masional menggiring sumber daya manusia yang dipimpin ke arah

tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi,

pengembangam visi secara bersama, pendistribusian kewenangan

kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi yang menjadi keharusan

dalam skema restrukturisasi organisasi. Cheung dan Wong (2010) dalam

penelitiannya menemukan bahwa adanya hubungan positif antara tipe

kepemimpinan transformasional dan kreativitas karyawan yang hasilnya

berupa konsisten dengan temuan penelitian Shin dan Zhou (2003). Mereka

berpendapat bahwa para pemimpin peduli terhadap kebutuhan karyawan dan

keinginan berhubungan dengan kegiatan sosial yang pada akhirnya

memengaruhi kekuatan ide generasi. Kepemimpinan transformasional

diprediksikan mampu mendorong terciptanya efektifitas organisasi. Tipe

kepemimpinan transformasional menggambarkan adanya tingkat kemampuan

7

pemimpin untuk mengubah mentalitas dan perilaku pengikut menjadi lebih

baik.

Kepemimpinan transformasional memiliki makna dan orientasi masa

depan (future oriented) diantaranya kebutuhan menanamkan budaya inovasi

dan kreatifitas dalam meningkatkan meningkatkan mutu dan eksistensi

pengembangan organisasi ke depan. Hal ini penting karena kondisi

persaingan yang dihadapi organisasi masa kini menuntut terciptanya

organisasi yang berkualitas, produktif, serta profesional dalam menapaki

masa depan dengan segala tantangan yang ada. Kepemimpinan

transformasional menurut Avilio dan Bernard M. Bass (2005) memiliki

karakteristik yang membedakan dengan tipe kepemimpinan yang lainnya

seperti charisma yaitu memberikan visi dan misi yang masuk akal,

menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya.

Karakteristik lainnya adalah inspiration yang merupakan cara

mengomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan simbol untuk

memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting dengan cara yang

sederhana. Selanjutnya karakteristik lainnya yaitu intellectual stimulation,

yaitu bagaimana meningkatkan intelegensi, rasionalitas, dan pemecahan

masalah secara teliti. Terakhir adalah karakter individualized consideration

yaitu memberikan perhatian pribadi, melakukan pelatihan dan konsultasi

kepada setiap bawahan secara individual. Tipe kepemimpinan semacam ini

akan mampu membawa kesadaran pengikut (followers) dengan

memunculkan ide–ide produktif, hubungan yang sinergikal,

kebertanggungjawaban, kepedulian edukasional, cita-cita bersama, dan nilai–

nilai moral.

Aplikasi tipe kepemimpinan transformasional pada banyak organisasi

sangat ideal. Melalui tipe kepemimpinan seperti itu, segala potensi organisasi

dapat ditransformasikan menjadi aktual dalam kerangka mencapai tujuan

lembaga. Melihat kesejatian tipe kepemimpinan transformasional ini, setiap

pemimpin harus menjadi basis pemimpin dalam melakukan transformasi

8

tugas kesehariaannya. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya

mengubah budaya organisasi. Gundersen et al. (2012) dalam risetnya

menemukan bahwa tipe kepemimpinan transformasional di lingkungan kerja

yang dinamis memberikan dampak kinerja yang efektif bagi karyawan dan

efektifitas bagi organisasi.

Cunningham dan Cordeiro (2006) dalam hal kepemimpinan

mendasarkan pada tipe kepemimpinan transformasional menyebutkan empat

hal penting yang perlu mendapat perhatian pemimpin untuk mewujudkan

tujuan kinerja organisasi secara efektif yaitu: (1) Membuat visi yang ideal,

menarik dan dapat dicapai, pemimpin perlu mengkaji data dan informasi

organisasi yang tersedia serta memelajari kebutuhan lingkungan internal dan

trend perkembangan lingkungan eksternal; (2) Merumuskan visi untuk

mendapatkan visi yang benar-benar ideal. Pemimpin mengkaji kembali

kekuatan dan kelemahan internal organisasi serta memprediksi kemungkinan

masa depan yang ideal yang bisa dicapai dalam kurun waktu antara 5 – 10

tahun; (3) Mengomunikasikan visi yang pada dasarnya adalah konsep impian

masa depan yang penuh makna bahkan misteri. Oleh karena itu visi harus

disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bekepentingan dalam organisasi.

Hal ini dimaksudkan supaya pesan-pesan inti yang terkandung didalamnya

dapat dipahami dan dirasakan sebagai kebutuhan bersama, serta menjadi

simbol kebanggaan dalam menggerakkan roda organisasi; (4) Deployment

dapat diartikan sebagai bentuk upaya menerjemahkan dan menyebarluaskan

visi ke dalam realita dengan cara membangun budaya kerja yang kondusif.

Deployment dalam konteks ini juga dapat berarti mencegah kecenderungan

penyebaran perkembangan kearah yang tidak diinginkan. Tipe kepemimpinan

tersebut banyak diimplemtasikan dalam kepemimpinan yang berkaitan

dengan edukasi dan admistratif, dan memiliki ciri–ciri yang dimiliki

kepemimpinan transformasionl.

Implementasi tipe kepemimpinan transformasional dalam organisasi

memang perlu diterapkan seperti dalam jabatan kepala cabang, kepala

9

penjualan, kepala bengkel ataupun kepala departemen dan yang lain-lain.

Model kepemimpinan ini memang perlu diterapkan sebagai salah satu solusi

krisis kepemimpinan, terutama dalam bidang yang mengarah kepada tujuan

masa depan yang lebih baik. Adapun alasan–alasan mengapa pentingnya

penerapan model kepemimpinan transformasional bagi suatu organisasi

yaitu: (1) secara signifikan meningkatkan kinerja organisasi, (2) secara positif

dihubungkan dengan orientasi pemasaran jangka panjang dan kepuasan

pelanggan, (3) membangkitkan komitmen yang lebih tinggi para anggotanya

terhadap organisasi, (4) meningkatkan kepercayaan pekerja dalam

manajemen dan perilaku keseharian organisasi, (5) meningkatkan kepuasan

pekerja melalui pekerjaan dan pemimpin, serta (6) mengurangi stress para

pekerja dan meningkatkan kesejahteraan.

Sedangkan menurut Bycio et al. (1995) kepemimpinan transaksional

adalah tipe kepemimpinan dengan pemimpin yang perhatiannya berfokus

pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang

melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada

kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan

penghargaan. Burns (1978) memaparkan bahwa kepemimpinan transaksional

merupakan hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada

serangkaian aktivitas tawar menawar antar keduanya. Karakteristik

kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management by-

exception. Tipe kepemimpinan ini juga dianggap sangat tepat untuk

dipergunakan dalam situasi atau tuntutan yang sifatnya target, seperti

layaknya pada bidang penjualan.

Pandangan kepemimpinan transformasional sebagai model

kepemimpinan dalam organisasi yang paling ideal, pada kenyataannya

praktek-praktek kepemimpinan di organisasi sangat ditentukan oleh atau

bergantung pada konteksnya (Leithwood dan Jantzi, 2005), seperti

karakteristik dan kemampuan pengikut, kondisi organisasi, dan kebijakan

lembaga (Bottery, 2001; Fosket & Lumby, 2003; Hallinger, Taraseina, and

10

Miller, 1994). Hal ini juga ditegaskan oleh Goddart (2003) bahwa setiap

situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda.

Penelitian Rasool (2010) menggunakan true experimental design

yang secara empiris mengevaluasi keefektifan pelatihan kepemimpinan

transformasional. Aspek simbol dan emosi pada kepemimpinan telah

memberi ketertarikan yang besar untuk penelitian sejak 1980-an. Teori

kepemimpinan transformasional dipengaruhi oleh hasil kerja Burns (1978)

dan penelitian Bass (1985) yang menerangkan akan pentingnya aspek

kepemimpinan. Riset empiris menemukan bahwa pemimpin transformasional

meningkatkan motivasi (Bogler, 2001), kepuasan kerja, dan komitmen (Koh,

1990). Kepemimpinan transformasional muncul sebagai pendekatan yang

efektif dalam tatanan organisasi (Leithwood 1994).

Penggunaan MSF dari berbagai sumber telah menjadi metode yang

populer bagi pengembangan kepemimpinan selama 10 tahun terakhir, dan

kini telah digunakan secara luas dalam organisasi besar (London & Smither,

dalam Yukl, 2006; Zentis, 2007). Senada dengan hal ini, Atwater dan Brett

(2006) menyebutkan bahwa metode MSF dapat menjadi metode yang

bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas perilaku pemimpin dan pada

akhirnya memengaruhi sikap karyawan secara positif.

Penelitian lain tentang penggunaan metode MSF terkait dengan

kepemimpinan menyatakan bahwa metode tersebut mampu menunjukkan

perubahan perilaku yang positif dan meningkatkan kesadaran diri (Atwater

dan Brett, 2006), meningkatkan perilaku kepemimpinan individu secara

efektif (Smither et al., 2005), membuat perubahan positif pada sikap dan

kelekatan karyawan (Atwater dan Brett, 2006), meningkatkan kesadaran

individu untuk merubah perilakunya selama proses pengembangan serta

meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Zentis, 2007).

Riset yang dilakukan oleh Turner (Nangalia, 2006) menyampaikan

bahwa diidentifikasi manfaat dari executive coaching sebagai suatu strategi

kepemimpinan, yaitu perhatian yang berkelanjutan, pemikiran yang meluas

11

melalui dialog, kesadaran diri, tanggung jawab personal untuk berkembang

dan pembelajaran cepat. Selain itu individu yang terikat dalam hubungan

coaching dapat memiliki perspektif yang segar pada tantangan dan peluang

pribadi, meraih keterampilan berpikir dan pembuatan keputusan, mencapai

efektivitas pribadi dan peningkatan kepercayaan diri dalam melaksanakan

pekerjaan dan peran dalam hidupnya.

Studi Parker et al., (2006) menyatakan bahwa executive coaching

dapat meningkatkan pengembangan pada 3 (tiga) wilayah kompetensi, yaitu

perilaku kepemimpinan sebesar 82%, membangun tim sebesar 41% dan

mengembangkan staf sebesar 36%. Dalam tataran mekanisme, executive

coaching dapat dilakukan melalui interaksi orang per orang yaitu orang yang

akan dikembangkan kepemimpinannya dengan seorang coach melalui sesi

coaching berdasarkan data dari perspektif stakeholders (dapat melalui 360

assessment) yang didasarkan pada sikap kesaling percayaan dan menghargai.

Laurie (2005) menyatakan dalam executive coaching menggunakan

teknik deduktif untuk meningkatkan kemampuan dan tujuan individu secara

khusus yang ingin diraihnya. Menghargai seorang coach merupakan sikap

timbal balik yang harus dilakukan antara coach dan coachee sehingga

membantu proses coaching. Pekerjaan seorang pemimpin adalah

mendapatkan hasil dengan memanfaatkan orang lain dalam mengelola

sumber daya manusia. Pemimpin memiliki kepentingan dengan cara

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kinerja para stafnya. Adapun

proses pemberdayaan tersebut terletak pada kolaborasi yang berdasarkan

pada tiga komponen yaitu bantuan teknis, dukungan pribadi, dan tantangan

individu, yang disatukan dalam emosi, antara pimpinan sebagai coach dan

staf sebagai coachee. Sehubungan coaching merupakan ikatan antar personal,

maka ikatan tersebut harus ada apabila coaching diharapkan untuk

memberikan dampak positif bagi karyawan yang merupakan aset perusahaan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diartikan bahwa kepemimpinan

transformasional yang berkualitas dapat membantu pelaksanaan coaching

12

yang diharapkan memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan

kinerja karyawan dalam perusahaan. Pada prinsipnya pendekatan

kepemimpinan transformasional menunjukkan tingkat kepedulian pemimpin

untuk melakukan transformasi dan memengaruhi tindakan yang dilakukan

serta pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin. Hal ini berdampak pada

setiap aspek kapabilitas dan pengalaman kepemimpinan, termasuk

kemampuan pribadi untuk berubah, strategi perubahan yang dikembangkan,

tipe kepemimpinan dan keputusan, pola komunikasi, serta respon pribadi.

Transformasi pengembangan sumber daya manusia yang lain adalah

dalam hal penggunaan behavioral feedback yang semula single feedback

menjadi multisource feedback. Secara empiris, masih sedikit hasil riset yang

menyatakan bahwa metode tersebut efektif (Kochanowski et al., 2010). Hasil

riset empiris menunjukkan metode tersebut secara umum lemah dan

inkonsisten (Smither et al., 2005; Yukl dan Seifert 2005). Metode yang

digunakan sebagai behavioral feedback masih banyak yang sifatnya tunggal

yaitu dari bawahan saja (Atwater et al., 2000; Van Dierendonck, et al., 2007)

yang berdampak lebih kecil terhadap perubahan perilaku bawahan.

Perkembangan berikutnya dalam praktik tidak lagi menggunakan single

feedback melainkan menggunakan MSF dalam executive coaching, sehingga

hal ini menarik untuk diteliti lebih intensif.

Media coaching saat ini mengalami perubahan yang signifikan seiring

dengan kemajuan teknologi komunikasi yang mengalami perkembangan

yang luar biasa. Meluasnya penggunaan internet telah mengubah perilaku

masyarakat secara mendalam dan banyak aspek kehidupan yang ditentukan

oleh internet, terutama dalam kehidupan dan aktivitas berorganisasi. Dalam

pelaksanaan coaching terhadap sumber daya manusia yang

berkesinambungan, para praktisi mulai mengeksplorasi manfaat dari media

modern berbasis perkembangan teknologi komunikasi dalam penerapannya.

Survei Sherpa (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2012, hanya 41%

pembinaan dilakukan tatap muka, 31% pembinaan disampaikan melalui

13

telepon, 14% dengan bantuan webcam dan skype, 11% dalam bentuk e-mail

dan 3% konferensi video. Sebuah tren yang sedang berkembang terhadap

coaching secara virtual juga terdapat di Cina (Bresser, 2013). International

Coaching Federation (ICF) Global Coaching Study menunjukkan bahwa

pada tahun 2012 di Amerika Utara, coaching melalui telepon bahkan telah

menjadi metode yang paling disukai, sedangkan di Eropa Barat hanya 9%

yang belum menggunakan media online (ICF, 2012). Namun demikian,

coaching melalui media modern tampaknya menjadi fenomena yang

berkembang (Grant dan Zackon, 2004; ICF, 2007) dan diperkirakan terus ada

peningkatan dalam penggunaannya (Frazee, 2008).

E-Coaching adalah istilah yang sering digunakan bergantian dengan

virtual coaching, jarak coaching, coaching online, dan coaching jarak jauh.

Clutterbuck dan Hussein (2010) misalnya mengacu pada e-coaching sebagai

hubungan perkembangan antara coach dan coachee, yang dimediasi melalui

e-mail dan dapat dilengkapi dengan media lainnya. Definisi alternatif

menganggap e-coaching sebagai hubungan teknologi dalam mediasi antara

coach dan coachee dengan tujuan memfasilitasi pertumbuhan coachee

(Hernez-Broome, 2010).

Di antara modalitas teknologi yang digunakan untuk menyampaikan

coaching jarak jauh yaitu penggunaan telepon dianggap paling sering

digunakan (Berry, 2005; Grant & Zackon 2004; Poepsel, 2011), dan dampak

positifnya terhadap kinerja telah didukung oleh bukti empiris (Ghods, 2009;

Filsinger et al., 2014). Beberapa penelitian lain menunjukkan media coaching

baik yang dilakukan dengan tatap muka langsung, maupun coaching melalui

media telepon memberi hasil terhadap peningkatan kinerja (Nieminen et al.,

2013; Kochnowski et al., 2010).

Kelemahan penggunaan media telepon adalah coachee memiliki

keterbatasan dalam menangkap dan mendokumentasi materi yang diberikan

coach. Kelemahan tersebut dapat ditanggulangi dengan media elektronik

lainnya yaitu short message service (SMS) dan surel karena materi dapat

14

dibaca berulang, lebih mudah dipahami dan dapat diinternalisasi lebih

mendalam. Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan Filsinger et al.,

(2014) memberi bukti empiris bahwa selain media telpon, modalitas

coaching berbasis teks berbantuan perangkat virtual seperti skype,

teleconference, surel, SMS, whats app mulai banyak digunakan. Sehubungan

dengan modalitas coaching berbasis teks, penelitian menghasilkan temuan

menggembirakan yaitu adanya dampak positif dari peran coaching terhadap

kinerja (Poepsel, 2011; Wang, 2000). Penelitian McLaughlin (2013)

menyarankan bahwa penggunaan modalitas berbasis teks berbantuan

perangkat virtual dalam coaching diperlukan penelitian dan penerapan yang

semakin mendalam karena dapat sebanding dan bisa lebih kuat dari coaching

tatap muka.

Telah ada sejumlah riset tentang executive coaching maupun

multisource feedback menggunakan metode eksperimen yang merupakan

satu metode yang menguji hubungan kausalitas antar variabel (Shadish et al.,

2002). Namun demikian, kebanyakan metode eksperimen dalam executive

coaching didesain menggunakan single-group pre-post design dengan

pengukuran purwauji (pretest) dan purnauji (posttest) pada satu kelompok

eksperimental saja, seperti pada penelitian oleh Bailey dan Fletcher (2002),

Hazucha et al. (1993), Luthans dan Peterson (2003). Penggunaan satu

kelompok eksperimental tersebut memiliki kelemahan yaitu sulit untuk

diinterpretasikan hasilnya karena tidak ada kelompok kontrol sebagai

pembanding kelompok eksperimen. Hanya sedikit penelitian yang

menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol dan

randomisasi pada kelompok eksperimen seperti halnya penelitian oleh

Atwater et al. (2000); Seifert dan Yukl (2005); Seifert et al., (2003); Van

Direndonck et al., (2007).

Nieminen et al. (2013) menggunakan kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen dengan quasi-experimental design pada manajer

menengah instansi pemerintahan. Satu kelompok kontrol menerima workshop

15

dan satu kelompok eksperimen menerima workshop dan executive coaching

selama lima belas bulan. Variabel dependen dalam riset Neiminen et al.

(2013) tersebut adalah perubahan peringkat multisource feedback dan

peringkat keefektifan kepemimpinan, dimana seorang manajer dalam

melakukan executive coaching dari waktu ke waktu memiliki peningkatan

perilaku kepemimpinan atau dikatakan dari waktu ke waktu memiliki

dampak positif. Hal ini sesuai temuan dan sejajar dengan literatur yang

berkembang yang menjelaskan efek positifnya executive coaching terhadap

self-efficacy, peningkatan self-rated sebagai pemimpin. Dalam penelitian

tersebut pada akhir program para manajer peringkat efektifitas menjadi lebih

baik, memberikan bukti bahwa terjadi perubahan positip dalam pertumbuhan

diri dan membentuk persepsi orang lain.

Berbagai penelitian tentang executive coaching menunjukkan bahwa

MSF dapat diberikan melalui coaching yang sifatnya umum tanpa

memerhatikan tipe kepemimpinan dari coach. Sementara itu, media coaching

yang banyak dilakukan adalah dengan tatap muka memiliki keterbatasan

dalam hal penentuan waktu pertemuan antara coach dan coachee.

Keterbatasan coaching dengan tatap muka menyebabkan tidak cepatnya

pengambilan keputusan atas persoalan-persoalan yang dialami oleh coachee.

Penelitian terkini (Filsenger et al., 2014) mengusulkan penggunaan short

message service (SMS) dan surel untuk mengatasi keterbatasan tersebut.

Hakikat dari coaching itu sendiri bukan pada media komunikasi, tetapi pada

substansi dari coaching dan cara berkomunikasi.

Fenomena internal yang terjadi dalam perusahaan bahwa

kepemimpinan para kepala cabang menggunakan tipe kepemimpinan

transaksional hal ini disebabkan tujuan setiap kepala penjualan dan tenaga

penjualan memeroleh target yang telah ditentukan. Telah disadari bahwa tipe

kepemimpinan tersebut memiliki dampak terhadap situasi kerja, stress para

tenaga penjualan yang akhirnya memengaruhi turn over karyawan. Dampak

lebih lanjut pada efektivitas waktu, biaya karena dengan tenaga penjualan

16

yang baru harus dilakukan pelatihan, adaptasi kerja dan budaya perusahaan.

Menyadari hal tersebut maka beberapa tahun terakhir sudah dilakukan bentuk

pelatihan, workshop, seminar dan proses implementasi terhadap pola tipe

kepemimpinan transformasional kepada seluruh level pimpinan. Untuk

menunjang peningkatan kinerja, bagian sumber daya manusia telah

mengembangkan penilaian kinerja dengan pola multisource feedback. Meski

memiliki dampak pada peningkatan kinerja dan perilaku karyawan, namun

belum sesuai apa yang diharapkan, oleh karena itu pengembangan yang

dilakukan perusahaan yaitu dengan menerapkan executive coaching disemua

lini, termasuk pada bagian pemasaran dan penjualan.

Berkaitan dengan fenomena eksternal dan internal tersebut, maka riset

ini bertujuan memberi dukungan empiris bahwa intervensi executive

coaching dalam tipe kepemimpinan meningkatkan taktik pengaruh proaktif,

khususnya tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional.

1.2 Identifikasi Gap Penelitian

Pengembangan sumber daya manusia secara praktik di perusahaan-

perusahaan menggunakan berbagai metode antara lain training, on the job

training, presentasi, mentoring, konseling, coaching, rotasi, single/

multisource feedback, kenaikan rank/pangkat, jabatan dan assessment center.

Bentuk-bentuk pengembangan ini merupakan transformasi dari praktik

pengembangan sumber daya manusia, bahkan sering dalam praktiknya

dilakukan secara paralel sesuai dengan kebutuhan pimpinan untuk

mempercepat pengembangan karyawan.

Dalam praktek di perusahaan masih banyak yang menggunakan

metode behavioral feedback sifatnya tunggal yaitu dari bawahan saja

(Atwater et al., 2000; Van Dierendonck et al., 2007) dan berdampak lebih

kecil terhadap perubahan perilaku bawahan. Perkembangan berikutnya dalam

praktik adalah penggunaan, multisource feedback pada executive coaching

yang menjadi menarik untuk diteliti lebih intensif.

17

Penelitian executive coaching dan MSF terkini adalah Niemenin et

al. (2013) dan hasil penelitian menunjukkan peningkatan efektifitas manajer

sebagai pemimpin dalam berkinerja. Namun, Neiminen et al. (2013) belum

mempertimbangkan tipe kepemimpinan. Neiminen tidak meneliti tentang

kaitanya executive coaching dengan tipe kepemimpinan, khususnya tipe

kepemimpinan transformasional dan transaksional.

Media coaching yang selama ini dilakukan dengan tatap muka dan

media telepon memberi hasil meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi

(Nieminen et al., 2013; Kochanowski et al., 2010). Riset terkini yaitu Ghods

dan Boyce (2013) dan Filsinger et al. (2014) memberi bukti empiris bahwa

executive coaching bisa dilakukan berbantuan perangkat virtual antara lain

skype, teleconference, surel, short message service (SMS), whats app dan

berbagai media virtual lainnya.

Pengembangan penelitian selanjutnya oleh Filsinger (2014) dapat

dikombinasi dengan celah penelitian dari Nieminen et al. (2013) dan

Kochanowski et al. (2010) yang belum mempertimbangkan tipe

kepemimpinan dalam executive coaching. Pengembangan penelitian ini

adalah dengan menggunakan e-coaching dalam bentuk surel yang

mempertimbangkan tipe kepemimpinan coach dalam executive coaching.

Sedangkan dalam pengukuran kinerja para tenaga penjualan diukur

dengan produktivitas, sehingga perilaku yang terjadi adalah berdasarkan hasil

yang berdampak pada perilaku para tenaga penjualan yaitu asal mendapatkan

SPK (Surat Pesanan Kendaraan). Akibatnya, para tenaga penjualan

mementingkan output dan mengabaikan strategi penjualan yang harusnya

sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan perusahaan. Tugas para kepala

penjualan memastikan mereka melakukan peran tenaga penjualan sesuai

koridor yang sudah dimiliki perusahaan, sehingga kepala penjualan memiliki

tanggungjawab untuk membantu para tenaga penjualan melakukan tugasnya

dengan benar.

Dalam dunia penjualan, terjadi proses pemodelan (modeling), yaitu

perilaku kepemimpinan atasan akan ditiru oleh bawahan. Supaya proses

18

pemodelan terjadi dengan baik maka penilaian kepala penjualan akan

menggunakan taktik pengaruh proaktif, yaitu rational persuasion,

inspirational appeals, consultation, dan collaboration.

Riset tentang executive coaching maupun multisource feedback yang

menggunakan metode eksperimen biasanya pengujian dengan

menghubungankan kausalitas antar variabel (Shadish et al., 2002). Namun

demikian, kebanyakan metode eksperimen dalam executive coaching

didesain menggunakan single-group pre-post design dengan pengukuran

purwauji (pretest) dan purnauji (posttest) pada satu kelompok eksperimental

saja, seperti halnya pada penelitian oleh Bailey dan Fletcher, 2002; Haruscha,

Hezlett dan Schneider 1993; Luthans dan Peterson 2003). Hanya sedikit

penelitian yang menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol

dan randomisasi pada kelompok eksperimen, misalnya oleh Atwater et al.,

2000; Seifert dan Yukl, 2005; Seifert et al., 2003; Van Direndonck et al.,

2007). Nieminen et al. (2013) menggunakan kelompok kontrol dan kelompok

eksperimen dengan quasi-experimental design pada manajer menengah

instansi pemerintahan. Adapun penelitian ini menggunakan true field

experiment dengan kelompok kontrol dan randomisasi pada kelompok

eksperimen.

1.3 Rumusan Masalah

Berangkat dari gap penelitian, maka fokus yang menjadi persoalan

dalam riset ini adalah bahwa “efektifitas pemberian executive coaching

ditentukan oleh tipe kepemimpinan”. Fokus persoalan penelitian yang telah

dirumuskan dalam penelitian ini yang memberikan arahan bagi peneliti untuk

persoalan penelitian tersebut melalui pendekatan yang dilakukan dengan

merumuskan beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Apakah ada perbedaan pengaruh antara tipe kepemimpinan

transformasional dan tipe kepemimpinan transaksional terhadap taktik

pengaruh proaktif subjek?

19

2. Apakah penerapan executive coaching dapat meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transformasional?

3. Apakah penerapan executive coaching dapat meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transaksional?

4. Apakah ada perbedaan taktik pengaruh proaktif antara tipe

kepemimpinan tranformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan

transaksional dalam penerapan executive coaching?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang dirumuskan dalam studi ini tidak terlepas dari persoalan

penelitian dan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Mengacu pada

kedua rumusan tersebut, maka dapat dirumuskan pula tujuan yang hendak

dicapai dari penelitian ini, yaitu:

1. Menguji perbedaan pengaruh antara tipe kepemimpinan transformasional

dan tipe kepemimpinan transaksional terhadap taktik pengaruh proaktif

subjek.

2. Menguji penerapan executive coaching untuk meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transformasional.

3. Menguji penerapan executive coaching untuk meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transaksional.

4. Menguji perbedaan taktik pengaruh proaktif antara tipe kepemimpinan

tranformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan transaksional

dalam penerapan executive coaching.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini mengembangkan dan mengusulkan model executive

coaching yang mempertimbangkan tipe kepemimpinan yang tepat untuk

memaksimalkan kinerja berupa taktik pengaruh proaktif. Pengembangan

tersebut dapat melengkapi gap penelitian terdahulu. Penelitian ini

20

menggunakan self-rating dan pengukuran dari pimpinan serta peer sebagai

pengukur kinerja dalam bentuk taktik pengaruh proaktif. Penelitian ini

menggunakan metode field experiment dengan pre-post design untuk

menjawab kelemahan metode penelitian tentang executive coaching. Metode

eksperimen memiliki keunggulan dalam menguji hubungan kausal. Oleh

karena penelitian sebelumnya menggunakan desain eksperimen semu (quasi

experiment) dengan durasi waktu panjang (longitudinal) maka terdapat

beberapa potensi gangguan yang muncul. Salah satu gangguan yang terjadi

adalah adanya mortalitas pada partisipan yang menyebabkan partisipan yang

menyelesaikan tahap eksperimen tidak lengkap. Penelitian ini mengusulkan

penggunaan desain eksperimen lapangan (field experiment) sebagai

kontribusi metodologisnya. Penggunaan desain eksperimen lapangan

memiliki keunggulan yaitu lebih terkendalinya subjek dalam menerima

manipulasi.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perusahaan dalam

mengembangkan metode executive coaching dan tipe kepemimpinan yang

tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kinerja

organisasi secara menyeluruh.

1.5.2 Manfaat Manajerial

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi perusahaan dalam mengembang-

kan metode virtual executive coaching dan tipe kepemimpinan yang tepat

sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kinerja

organisasi secara menyeluruh. Peningkatan produktivitas penjualan diukur

dari tingginya nilai penjualan dan juga diukur pada kualitas kepemimpinan

kepala cabang yang berdampak pada perilaku kepala penjualan.