bab 4

7
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Hasil 4.1.1 Empedu Berdasarkan hasil praktikum Fisiologi Hewan Air tentang pengamatan empedu sapi yang dilakukan kelompok 7, 9, dan 11 pada meja 2 shift 1 yang dilakukan setiap 20 menit selama 2 jam mulai jam 8.30 sampai dengan 10.30 WIB, terjadi beberapa perubahan mulai dari bentuk fisik awalnya, warna empedu, kondisi empedu, dan warna air (media). Sebelum dimasukkan pada media yang berisi air dengan salinitas 15 ppt, warna empedu dan teksturnya lembek dengan berat awal 169,85 gram. Setelah masuk menit perendaman (20 menit) terjadi perubahan pada warna empedu menjadi pucat, warna air menjadi kuning hal ini disebabkan karena empedu mengandung bilirubin (warna kuning), warna kuning tersebut larut karena jaringan empedu termasuk membrane semi permeabel jadi memungkinkan beberapa zat dari media cair yang bisa masuk dan melarutkan bilirubin. Empedu menjadi mengkerut hal ini disebabkan karena tidak terjadi difusi, kondisi mengkerut ini terus terjadi hingga menit terakhir (120 menit).Pada pengamatan menit ketiga (20 menit) ukuran empedu semakin mengkerut, lapisan bawah berwarna kuning. Masuk pada menit keempat (20 menit) warna empedu menjadi putih tulang, ini disebabkan karena bilirubin semakin

Upload: denta-ardenta

Post on 09-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

bab 4

TRANSCRIPT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1Analisis Hasil4.1.1EmpeduBerdasarkan hasil praktikum Fisiologi Hewan Air tentang pengamatan empedu sapi yang dilakukan kelompok 7, 9, dan 11 pada meja 2 shift 1 yang dilakukan setiap 20 menit selama 2 jam mulai jam 8.30 sampai dengan 10.30 WIB, terjadi beberapa perubahan mulai dari bentuk fisik awalnya, warna empedu, kondisi empedu, dan warna air (media). Sebelum dimasukkan pada media yang berisi air dengan salinitas 15 ppt, warna empedu dan teksturnya lembek dengan berat awal 169,85 gram. Setelah masuk menit perendaman (20 menit) terjadi perubahan pada warna empedu menjadi pucat, warna air menjadi kuning hal ini disebabkan karena empedu mengandung bilirubin (warna kuning), warna kuning tersebut larut karena jaringan empedu termasuk membrane semi permeabel jadi memungkinkan beberapa zat dari media cair yang bisa masuk dan melarutkan bilirubin. Empedu menjadi mengkerut hal ini disebabkan karena tidak terjadi difusi, kondisi mengkerut ini terus terjadi hingga menit terakhir (120 menit).Pada pengamatan menit ketiga (20 menit) ukuran empedu semakin mengkerut, lapisan bawah berwarna kuning. Masuk pada menit keempat (20 menit) warna empedu menjadi putih tulang, ini disebabkan karena bilirubin semakin meluruh. Kemudian permukaan kotor, dan empedu berbintil hitam.Pada pengamatan menit kelima larutan di dasar semakin menguning, permukaan berwarna ungu. Pengamatan keenam empedu semakin mengkerut, berwarna putih tulang, dan kotor, dan berat akhir menjadi lebih sedikit, yaitu sebesar 125,4 gram. (Sesuai data kelompok)Sedangkan pada kelompok meja 1 diperoleh hasil pada pengamatan menit pertama warna air bening, empedu kekuniongan, berat awal (Wo) 420,11865 gram, berat akhir 9Wt) sebesar 431,43 gram. Pada menit kedua dasar menguning, empedu kekuningan.Pada menit ketiga dasar menguning selanjutnya kuning bertambah dan mulai mengembang hingga pengamatan pada menit terakhir warna kuning berttambah dan empedu semakin mengembang.Hal ini disebabkan karena adanya difusi sehingga empedu semakin lama semakin mengembang. (Sesuai data kelompok)Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan. Pada meja 1 shift 1 diberi perlakuan media dengan salinitas 0 ppt, sedangkan pada meja 2 shift 2 diberi perlakuan media dengan salinitas 15 ppt, selain itu juga karena empedu sapi bersifat semipermeable sehingga tidak semua partikel bisa masuk ke dalamnya. Selain itu empedu juga mengalami proses osmoregulasi sehingga terjadi perbedaan antara empedu sapi 1 dengan lainnya. (Sesuai data kelompok)Paragraph 4 (literatur pembading 1)Paragraph 5 (literatur pembading 1)

4.1.2Toleransi SalinitasBerdasarkan praktikum pengamatan toleransi salinitas diperoleh hasil sebagai berikut :a) Ikan Nila (Oreochromis niloticus)Berdasarkan pengamatan pada perlakuan toleransi salinitas terhadap ikan nila (Oreochromis niloticus) pada kelompok 9 meja 2 shift 2 dengan salinitas 15 ppt diperoleh hasil pada menit pertama ikan bergerak aktif namun berangsur-angsur menjadi lambat. Pada menit-menit berikutnya ikan nila (Oreochromis niloticus) menjadi diam, tenang dan sedikit bergerak. Hal ini disebabkan karena ikan nila (Oreochromis niloticus) diletakkan pada media air laut. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan euryhaline yang memiliki toleransi salinitas yang luas sehingga pada menit-menit awal masih dapat bergerak aktif. (Sesuai data kelompok)Pada hasil pengamatan meja ke 3 shift 1 dengan salinitas 30 ppt terhadap ikan nila (Oreochromis niloticus) pertama ikan nila (Oreochromis niloticus) dimasukkan pada akuarium dia sangat agresif. Pada pengamatan kedua dia brgerak di permukaan. Pada pengamatan ketiga, ikan nila mati sampai pengamatan terakhir. (Sesuai data kelompok)Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan salinitas antara meja 2 dengan meja 3. Pada pengamatan ikan nila (Oreochromis niloticus) di air laut yang salinitasnya 15 ppt yang menunjukkan bahwa ikan tersebut mengalami stres, sedangkan pada salinitas 30 ppt ikan nila (Oreochromis niloticus) mati. Ikan nila (Oreochromis niloticus) termasuk dalam ikan euryhaline yang merupakan ikan yang mampu mentolerir salinitas yang luas. (Sesuai data kelompok)Paragraph 4 (literatur pembading 1)b) Ikan Lele Dumbo (Clarias glariopinus) Berdasarkan pengamatan pada perlakuan toleransi salinitas terhadap ikan lele dumbo (Clarias glariopinus) pada kelompok 9 meja 2 shift 1 diperoleh hasil pada menit pertama ikan lele dumbo (Clarias glariopinus) bergerak aktif. Pada menit kedua aktivitas gerakan mulai berkurang, pada menit ketiga ikan tersebut pinsan, dan pada menit keempat hingga terakhir ikannya mati. Hal ini terjadi karena ikan lele dumbo (Clarias glariopinus) diletakkan pada perlakuan media air laut, padahal ikan lele dumbo (Clarias glariopinus) merupakan ikan stenohaline yang mempunyai toleransi salinitas yang sempit, sehingga ikan ini stress dan pergerakannya cepat karena medianya tidak sesuai dengan kondisi habitatnya. Selain itu juga dipengaruhi faktor internal (spesies, genetic, jenis kelamin, migrasi, ukuran, dan umur) dan juga faktor eksternal (suhu, pH, dan salinitas) sehingga menyebabkan ikan stress dan mati.Jika dibandingkan dengan meja 1 dengan salinitas 0 ppt ikan lele dumbo (Clarias glariopinus) awalnya bergerak aktif, gerakannya tidak teratur, pengamatan kedua tetap aktif, ketiga hiperaktif, keempat diam dan bergerak aktif, kelima aktif dan terakhir semakin bergerak aktif. Pada ikan lele dumbo (Clarias glariopinus) dapat diketahui bahwa ikan ini merupakan ikan stenohaline, karena mampu mentolerir salinitas sempit. Oleh karena itu dengan ditempatkannya di air laut dengan salinitas 15 ppt ikan lele dumbo (Clarias glariopinus) mati sedangkan ditempatkan di salinitas 0 ppt ikan tetap hidup dan bergerak aktif.Paragraph 4 (literatur pembading 1)C. Ikan Damsel (Chryseptera cyanea)Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan salinitas terhadap ikan damsel (Chryseptera cyanea)pada kelompok 9 meja 2 shift 1 diperoleh hasil pada menit pertama ikan terbaring di dasar (seperti pingsan). Pada menit kedua ikan tetap pada posisi awal tidak bergerak. Pada menit ketiga ikan megap-megap. Pada menit keempat ikan pasif didasar dan pada menit terakhir warna tubuh ikan menjadi coklat kehitaman. Hal ini dipengaruhi oelh faktor internal, bisa jadi kondisi tubuh ikan damsel (Crysiptera cyanea) tidak sehat sehingga pergerakannya sangat pasif. Akan tetapi ikan tersebut masih bisa bertahan hidup karena ikan ini termasuk euryhaline yaitu mampu bertahan pada toleransi salinitas yang luas.Dibandingkan dengan hasil pengamatan pada salinitas 0 ppt pada meja 1 shift 1 ikan damsel (Crysiptera cyanea) pada pengamatan pertama ikan diam, bergerak pasif. Pada pengamatan kedua ikan bergerak pasif, pada pengamatan ketiga ikan bergerak aktif, pengamatan keempat ikan diam dan sekarat hamper mati. Selanjutnya pada pengamatan kelima dan keenam ikan mati. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor internal (ukuran, usia, spesies, genetik, migrasi, dan jenis kelamin) juga faktor eksternal (suhu, pH, salinitas).Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gonzales (2012), bahwa habitat dengan kadar garam tinggi (salinitas perairan mencapai 35 ppt) adalah salah satu lingkungan perairan yang paling ekstrim. Sedikit ikan teleostei yang mampu mentolerir salinitas lebih dari 50 ppt, karena tantangan osmoregulasi mereka yang biasanya tetap bertahan yang terdapat di muara. Spesies euryhaline menunjukkan kemampuan yang kuat untuk proses osmoregulasi pada toleransi salinitas lebih dari 100 ppt. Biasanya konsentrasi Na dan Cl naik pelan-pelan hingga toleransi sekitar 65 ppt atau tidak naik sama sekali. Di tingkat salinitas yang lebih tinggi ion melakukan kenaikan, namun kenaikannya relative kecil terhadap besarnya peningkatan konsentrasi air disekitarnya.Paragraph 4 (literatur pembading 1)

4.2Faktor KoreksiAdapun faktor koreksi yang ada di praktikum Fisiologi Hewan Air tentang osmoregulasi adalah: Kurangnya ketelitian dalam penimbangan dan pengamatan Kurangnya ketelitian dari para asisten pada penyampaian materi yang menyebabkan catatan antar satu kelompok dalam tiap meja berbeda Kurang efisien tempat (dalam satu meja terlalu banyak praktikan) Ukuran empedu sapi dan ikan tidak sama sehingga mempengaruhi hasil pengamatan pada praktikum ini Dhsghsgdsggdljkchfxgdzdfzfkkjhlj;j(minimal 5 point)

4.3 Manfaat di Bidang PerikananDari pengamatan pada praktikum Fisiologi Hewan Air diketahui banyak manfaat yang dapat diambil dan diaplikasikan di kehidupan terutama kehidupan orang pesisir, misalnya pengaruh salinitas, suhu yang memiliki peran penting dalam proses osmoregulasi pada setiap jenis atau spesies ikan masing-masing. Pengaplikasiannya dapat diterapkan pada petani ikan. (di buat paragraf)