bab 2.4
DESCRIPTION
FGEFGGGGRRTRANSCRIPT
38
2.4. Staphylococcus Aureus
Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan nama spesies yang merupakan bagian
dari genus Staphylococcus. Bakteri ini pertama kali diamati dan dibiakan oleh Pasteur
dan Koch, kemudian diteliti secara lebih terinci oleh Ogston dan Rosenbach pada era
tahun 1880-an. Nama genus Staphylococcus diberikan oleh Ogston karena bakteri ini,
pada pengamatan mikroskopis berbentuk seperti setangkai buah anggur, sedangkan nama
spesies aureus diberikan oleh Rosenbach karena pada biakan murni, koloni bakteri ini
terlihat berwarna kuning-keemasan. Rosenbach juga mengungkapkan bahwa S. Aureus
merupakan penyebab infeksi pada luka dan furunkel. Sejak itu S. aureus dikenal secara
luas sebagai penyebab infeksi pada pasien pascabedah dan pneumonia terutama pada
musim dingin atau hujan.
2.4.1. Morfologi Staphylococcus Aureus
Staphylocossus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram.
Bentuknya kokus dan berukuran 0.8-1.0 mm dengan diameter 0.7-0.9 mikron. Bakteri ini
tumbuh secara anaerobic fakultatif dengan membentuk kumpulan sel-sel yang bentuknya
seperti buah anggur (Srikansi, F., 1993). Pada isolasi pertama kali dari kuman ini terlihat
pembentukan pigmen kuning keemasan. Pigmen ini digolongkan sebagai
lipokhrom(G.Bonang, E.S. Koeswardono 1979).
Gambar 1. Gambar mikroskopik Staphylococcus aureus (sumber: Yuwono, 2009)
39
2.4.2. Klasifikasi Staphylococcus Aureus
Kingdom : Monera
Divisio : Firmicutes
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphilococcus
Species : Staphilococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram Positif, tidak bergerak, tidak
berspora dan mampu membentuk kapsul. (Boyd, 1980), berbentuk kokus dan tersusun
seperti buah anggur (Todar, 2002) sebagaimana terlihat pada gambar 2.4. Ukuran
Staphylococcus berbeda-beda tergantung pada media pertumbuhannya. Apabila
ditumbuhkan pada media agar, Staphylococcus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan
koloni berwarna kuning. Dinding selnya mengandung asam teikoat, yaitu sekitar 40%
dari berat kering dinding selnya. Asam teikoat adalah beberapa kelompok antigen dari
Staphylococcus. Asam teikoat mengandung aglutinogen dan N-asetilglukosamin. (Boyd,
1980).
Staphylococcus aureus adalah bakteri aerob dan anaerob, fakultatif yang mampu
menfermentasikan manitol dan menghasilkan enzim koagulase, hyalurodinase, fosfatase,
protease dan lipase. Staphylococcus aureus mengandung lysostaphin yang dapat
menyebabkan lisisnya sel darah merah. Toksin yang dibentuk oleh Staphylococcus aureus
adalah haemolysin alfa, beta, gamma delta dan apsilon. Toksin lain ialah leukosidin,
enterotoksin dan eksfoliatin. Enterotosin dan eksoenzim dapat menyebabkan keracunan
makanan terutama yang mempengaruhi saluran pencernaan. Leukosidin menyerang
leukosit sehingga daya tahan tubuh akan menurun. Eksofoliatin merupakan toksin yang
menyerang kulit dengan tanda-tanda kulit terkena luka bakar. (Boyd, 1980; Schlegel,
1994).
Suhu optimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 35o – 37o C
40
dengan suhu minimum 6,7o C dan suhu maksimum 45,4o C. Bakteri ini dapat tumbuh
pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum 7,0 – 7,5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8
hanya mungkin bila substratnya mempunyai komposisi yang baik untuk pertumbuhannya.
Bakteri ini membutuhkan asam nikotinat untuk tumbuh dan akan distimulir
pertumbuhannya dengan adanya thiamin. Pada keadaan anaerobik, bakteri ini juga
membutuhkan urasil. Untuk pertumbuhan optimum diperlukan sebelas asam amino, yaitu
valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan
arginin. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media sintetik yang tidak mengandung asam
amino atau protein. (Supardi dan Sukamto, 1999).
Selain memproduksi koagulase, S. aureus juga dapat memproduksi berbagai toksin,
diantaranya :
1. Eksotoksin-a yang sangat beracun
2. Eksotoksin-b yang terdiri dari hemosilin, yaitu suatu komponen yang dapat
menyebabkan lisis pada sel darah merah.
3. Toksin F dan S, yang merupakan protein eksoseluler dan bersifat leukistik.
4. Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hyaluronat di dalam
tenunan sehingga mempermudah penyebaran bakteri ke seluruh tubuh.
5. Grup enterotoksin yang terdiri dari protein sederhana. (Supardi dan Sukamto, 1999).
Staphylococcus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir
dari tubuh manusia dan hewan-hewan seperti hidung, mulut dan tenggorokan dan dapat
dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori
dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. Selain dapat menyebabkan
intoksikasi, S. aureus juga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti jerawat,
bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan.
(Supardi dan Sukamto, 1999)
Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang menghasilkan
pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil,
umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter sekitar 0,8-1,0
µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan 0,47
jam. S. aureus merupakan mikroflora normal manusia. Bakteri ini biasanya terdapat pada
41
saluran pernafasan atas dan kulit. Keberadaan S. aureus pada saluran pernafasan atas dan
kulit pada individu jarang menyebabkan penyakit, individu sehat biasanya hanya
berperan sebagai karier . Infeksi serius akan terjadi ketika resistensi inang melemah
karena adanya perubahan hormon; adanya penyakit, luka, atau perlakuan menggunakan
steroid atau obat lain yang memengaruhi imunitas sehingga terjadi pelemahan inang.
Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya bisul,
jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits. Sebagian besar penyakit yang disebabkan
oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik. S.
aureus juga menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengkonversi H2O2 menjadi H2O
dan O2, dan koagulase, enzim yang menyebabkan fibrin berkoagulasi dan menggumpal.
Koagulase diasosiasikan dengan patogenitas karena penggumpalan fibrin yang
disebabkan oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri sehingga agen pelindung inang
kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat.
2.4.3. Patogenesis Gusi Bengkak
Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada pulpa
yang terinfeksi, namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah
jaringan periapikal secara progresif (Topazian, 2002). Ketika infeksi mencapai akar gigi,
jalur patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri,
ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat. Abses merupakan rongga patologis
yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan
dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus
mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut
koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans
memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu
streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang
bersifat merusak jembatan antar sel.
Bakteri Streptococcus mutans memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif,
salah satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini merusak jembatan antar sel yang
terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat), hyaluronidase merupakan enzim pemecah
42
hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai transpor
nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan
penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan,
kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam
rusak/mati/nekrosis. Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah
enzim dari S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media
perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu merambah ke
jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.
Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses,
karenanya infeksi pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection.
Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak
terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi dalam daerah periapikal
adalah pembentukan rongga patologis abses disertai pembentukan pus yang sifatnya
berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon
keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi
hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi, dapat menciptakan kondisi
abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus. S.mutans dengan
3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak jaringan yang ada di
daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi
fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran yang
terbuat dari jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu,
jika dilihat melalui ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena
jaringan ikat adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan
ronsen foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya dan
S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika.
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang
terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri
43
pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk
oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi, tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang
konsistensinya terdiri dari leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih
kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar. Secara alamiah,
sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha mencari jalan
keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan pasien dengan
timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise.
Karena mau tidak mau, pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan
bantuan dokter gigi atau keluar secara alami. Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini
terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene adalah di dalam tulang. Untuk mencapai
luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan keras tulang kemudian masuk ke
jaringan lunak. Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu virulensi bakteri,
ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu
menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar
yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan
perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.
Sebelum mencapai bagian luar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi,
karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak
menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan
korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan
tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut
periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga
terjadi ketika pus mulai mencapai korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas
komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan
periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi
destruktif tersebut.
Kejadian ini muncul tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit, terasa
hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut
periostitis atau serous periostitis. Adanya tambahan istilah serous disebabkan karena
44
konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih
70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di
rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu
menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut
abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela
antara korteks tulang dengan lapisan periosteum. Di kondisi ini sudah terdapat
keterlibatan pus, dan pus tersebut sudah berhasil menembus korteks dan memasuki
rongga subperiosteal, pus tersebut disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi
abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam
beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi
yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih
serous. Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi,
maka dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat,
karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial
spaces, maka dapat terjadi fascial abscess.