bab 2. profil kabupaten kotasippa.ciptakarya.pu.go.id/sippa_online/ws_file... · rpijm 2015 –...
TRANSCRIPT
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
6
BAB 2. PROFIL KABUPATEN KOTA
2.1. Wilayah Administrasi
i. Gambaran Administrasi Wilayah
Kota Bitung terletak pada posisi geografis 1°23'23" - 1°35'39" LU dan 125°1'43" -
125°18'13" BT. Batas Wilayah kota Bitung adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan : Kecamatan Likupang (Kabupaten Minahasa
Utara) dan Laut Maluku.
Sebelah Selatan berbatasan dengan : Laut Maluku.
Sebelah Barat berbatasan dengan : Kecamatan Kauditan (Kabupaten Minahasa
Utara)
Sebelah Timur berbatasan dengan : Laut Maluku.
Berdasarkan letak geografi snya, Kota Bitung terletak di daratan pulau Sulawesi dan
sebagian adalah daerah kepulauan yaitu Pulau Lembeh.
Kota Bitung terdi ri dari 8 Kecamatan, 6 Kecamatan terletak di pulau Sulawesi yaitu
Kecamatan Madidir, Matuari , Girian, Aertembaga, Maesa dan Ranowulu dan 2
Kecamatan terletak di Pulau Lembeh yaitu Lembeh Selatan dan Lembeh Utara.
Kecamatan- kecamatan tersebut yaitu:
1. Kecamatan Madidir yang memiliki 8 kelurahan.
2. Kecamatan Matuari yang memiliki 8 kelurahan.
3. Kecamatan Girian yang memiliki 7 kelurahan.
4. Kecamatan Lembeh Selatan memiliki 7 kelurahan.
5. Kecamatan Lembeh Utara yang memiliki 10 kelurahan.
6. Kecamatan Aertembaga yang memiliki 10 kelurahan.
7. Kecamatan Maesa yang memiliki 8 kelurahan, dan
8. Kecamatan Ranowulu yang memiliki 11 kelurahan.
Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bitung (km2), 2015
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
7
Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bitung, 2015
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
ii. Peta Wilayah
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
8
2.2. Potensi Wilayah
Pertanian
Sebagaimana kondisi beberapa tahun sebelumnya, hingga tahun 2014 ini Kota Bitung
tetap bukan merupakan salah satu kota sentra produksi padi di Sulawesi Utara. Luas
panen pertanian padi (padi sawah dan padi ladang) pada tahun 2014 adalah 218 Ha
dengan nilai produksi sebesar 977,92 Ton.
Perkembangan Produksi Padi dan Palawija di Kota Bitung Tahun 2008 – 2014
Sumber : RPJMD Kota Bitung
Terjadi penurunan cukup signifikan pada nilai produksi pada tahun 2014 jika
dibandingkan dengan nilai produksi pada tahun 2013 lalu. Penurunan nilai produksi
tersebut merupakan hasil dari penurunan luas panen sebesar 48 Ha Sejalan dengan padi,
tanaman pala pada tahun 2014 secara umum cenderung turun baik dilihat dari luas panen
maupun nilai produksi. Jika dibandingkan dengan tahun 2013 kecuali pada kacang
kedelai yang mengalami kenaikan produksi sebesar 99,43%. Peningkatan produksi
komoditas pertanian juga terjadi pada sayuran dan khususnya cabe.
Perkebunan
Sepanjang tahun 2013 terjadi kenaikan luas areal perkebunan, dan banyaknya pohon pada
kelapa, jambu mete dan aren selain itu meningkat.
Kehutanan
Menurut fungsinya hutan dibagi menjadi hutan lindung, hutan wisata, suaka alam dan
taman wisata. Di Kota Bitung tahun 2013, dari total luas hutan yang sebesar 15.051,58
hektar sebagian besar merupakan hutan cagar alam 9.106,2 hektar (60.5 persen) dan
hutan lindung 4.611,5 hektar (30.64 persen). Sisanya adalah Taman wisata 1.312,38
hektar (8.72 persen) dan hutan wisata 21,5 hektar ( 0,14 persen ).
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
9
Peternakan
Populasi ternak besar/kecil yang terdiri dari sapi, kambing, babi, kuda pada tahun 2013
secara berturut-turut 2.564 ekor, 1.873 ekor, 20.385 ekor dan 19 ekor. Jumlah populasi
ternak ini mengalami sebagianpeningkatan dibandingkan tahun sebelumnya terutama
pada jumlah sapi yang meningkat sebesar 8,60% yaitu dari 2.361 ekor menjadi 2.564
ekor.
Populasi Beberapa Jenis Ternak di Kota BitungTahun 2007-2013
Sumber : RPJMD Kota Bitung
Sedangkan untuk jumlah ternak unggas diketahui jumlahnya meningkat 6,37 % untuk itik
, untuk ayam ras turun sebesar 7,82% dan untuk ayam bukan ras meningkat sebesar
1,00%.
Populasi Ternak Unggas di Kota Bitung Tahun 2008 – 2013
Sumber : RPJMD Kota Bitung
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
10
Perikanan
Produksi perikanan laut tahun 2013 turun sebesar 16,35%, yakni dari 159.319,4 ton
menjadi 133.277,6 ton. Penurunan produksinya tidak berpengaruh terhadap nilai produksi
perikanan laut pada tahun 2013 yang mengalami peningkatan yang cukup significan yaitu
sebesar 66,68%, yakni dari 1.692,02 milyar rupiah pada tahun 2012 menjadi 2.820,27
milyar rupiah tahun 2013. Selain itu diketahui Aktivitas usaha perikanan darat meliputi
tambak, kolam, keramba dan sawah mengalami kenaikan produksi pada tahun 2013. Pada
tahun 2013, sudah tidak ada produksi perikanan darat dari sektor sawah sehingga hanya
berasal dari kolam, naik sebesar 31,83% dengan nilai produksi juga naik signifikan dari
4.235.000 ribu menjadi 4.603.000 ribu.
2.3. Demografi dan Urbanisasi
Sumber utama data kependudukan adalah sensus penduduk yang di laksanakan setiap
sepuluh tahun sekali . Sensus penduduk telah di laksanakan sebanyak enam kali sejak
Indones ia merdeka, yaitu tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010. Di dalam
sensus penduduk, pencacahan di lakukan terhadap seluruh penduduk yang berdomisili di
wilayah teritorial Indonesia termasuk warga negara asing kecuali anggota korps
diplomatic negara sahabat beserta keluarganya. Metode pengumpulan data dalam sensus
di lakukan dengan wawancara antara petugas sensus dengan responden dan juga melalui
e-census. Pencata tan penduduk menggunakan konsep usual residence, yaitu konsep di
mana penduduk biasa bertempat tinggal . Bagi penduduk yang bertempat tinggal tetap
dicacah di mana mereka biasa tinggal , sedangkan untuk penduduk yang tidak bertempat
tinggal tetap dicacah di tempat di mana mereka ditemukan pe tugas sensus pada malam
‘Hari Sensus’. Te rmasuk pe nduduk ya ng tidak bertempat tinggal tetap adalah tuna
wisma, awak kapal berbendera Indonesia, penghuni perahu/rumah apung, masyarakat
terpencil/terasing, dan pengungsi. Bagi mereka yang mempunyai tempat tinggal tetap dan
sedang bepergian ke luar wilayah lebih dari enam bulan, tidak dicacah di tempat
tinggalnya, tetapi dicacah di tempat tujuannya. Untuk tahun yang tidak di laksanakan
sensus penduduk, data kependudukan diperoleh dari hasil proyeks i penduduk. Proyeksi
penduduk merupakan suatu perhitungan ilmiah yang didasarkan pada asumsi dari
komponenkomponen perubahan penduduk, yaitu kelahi ran, kematian, dan migrasi .
Proyeksi penduduk Indonesia 2010–2035 menggunakan data dasar penduduk hasil
SP2010.
Penduduk Indonesia adalah semua orang yang berdomisili di wi layah teritorial Indonesia
selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi
bertujuan menetap. Laju pertumbuhan penduduk adalah angka yang menunjukkan
persentase pertambahan penduduk dalam jangka waktu tertentu.
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
11
2. 4. Isu Strategis Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
I. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Potensi Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Data tentang Produk Domestik Regional Bruto/PDRB sebagai dasar pengukuran
pertumbuhan ekonomi, disajikan menggunakan tahun dasar 2010. Keadaan
perekonomian Kota Bitung selang 2010 - 2013 mengalami peningkatan yang stabil.
Tahun 2013, PDRB Kota Bitung atas dasar harga berlaku sebesar 9,38 trilyun rupiah.
Sedangkan atas dasar harga konstan 2010 mencapai 8,23 triliun rupiah atau naik 11,33
persen dibanding tahun 2012.
Perkembangan PDRB Kota Bitung
Sumber : kota bitung dalam angka 2016
Potensi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kota Bitung Tahun 2010 yang ditunjukkan oleh pertumbuhan
PDRB atas dasar harga konstan 2010 mengalami peningkatan 6,66 persen. Pertumbuhan
ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 6,45 persen. Indikator utama
kemajuan perekonomian suatu wilayah dapat diukur dengan melihat pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kota Bitung menunjukkan trend peningkatan dari tahun
ke tahun, Laju pertumbuhan ini bisa dikatakan merupakan keberhasilan bagi pemerintah
kota Bitung dan juga keberhasilan ini masih bisa dikembangkan sehingga bisa mencapai
tujuan yang diharapkan.
II. Data Pendapatan Per Kapita
PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh
masing-masing penduduk sebagai akibat adanya aktifitas produksi. Tinggi rendahnya
tingkat produktivitas penduduk suatu daerah bisa dilihat dari tinggi rendahnya PDRB per
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
12
kapita. Angka ini diperoleh dengan membagi antara total nilai PDRB Kota Bitung dengan
jumlah penduduk Kota Bitung pada pertengahan tahun.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada suatu daerah tertentu belum tentu menunjukan
meningkatnya kemakmuran masyarakatnya. Indikator kesejahteraan masyarakat daerah
tersebut juga ditentukan oleh pemerataan akan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan diikuti oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi pula
menyebabkan tidak meningkatnya pendapatan perkapita. Demikian juga dengan
pemerataan kesejahteraan, tingginya laju pendapatan tidak selalu diikuti oleh meratanya
pendapatan yang diterima oleh masyarakat.
PDRB per kapita di Bitung pada tahun 2013 sebesar Rp. 27,904,046. Angka ini
menunjukan besarnya produktivitas penduduk pada tahun 2013. Sedangkan pendapatan
per kapitanya adalah Rp. 21,092,925. Angka ini merupakan angka yang didapatkan atas
dasar harga berlaku. Jika mempertimbangkan pengaruh perubahan harga sejak tahun
2000 sebagai tahun dasar, maka PDRB perkapitanya adalah Rp. 13,962,743 dan
pendapatan per kapitanya sebesar Rp. 12,634,911. Artinya baik produktivitas maupun
pendapatan per kapita menunjukan adanya kenaikan secara riil dibandingkan tahun 2012
yang masing-masing nilainya adalah Rp 13,224,670 dan Rp 11,879,994.
PDRB dan Pendapatan per Kapita Kota Bitung Tahun 2009 - 2013
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
III. Data Kondisi Lingkungan Strategis
1. Topografi
Dilihat dari aspek topografis, keadaan tanah Kota Bitung sebagian besar berupa
daratan di mana 45,06 % berombak berbukit dan 32,73 % bergunung. Hanya 4,18%
merupakan dataran landai serta sisanya 18,03 % berombak. Bagian Timur kota, mulai
dari pesisir pantai Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian Barat,
merupakan daratan yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0 – 15 derajat
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
13
sehingga secara fisik dapat dikembangkan sebagai wilayah perkotaan, industri,
perdagangan dan jasa serta pemukiman. Pada bagian utara kota keadaan topografi
semakin bergelombang dan berbukit-bukit dan merupakan kawasan pertanian,
perkebunan, hutan lindung, taman margasatwa dan cagar alam. Di bagian Selatan
terdapat sebuah pulau yakni Pulau Lembeh yang keadaan tanahnya pada umumnya
kasar dan ditutupi oleh tanaman kelapa, hortikultura dan palawija. Pulau Lembeh
memiliki pesisir pantai yang indah sebagai potensi yang dapat dikembangkan
menjadi daerah wisata bahari. Di Kota Bitung terdapat 8 (delapan) buah gunung,
yaitu Gunung Duasudara 1.351 m, Gunung Tangkoko 774 m, Gunung Batuangus 1.099
m, Gunung Klabat 1.990 m, Gunung Woka 370 m, Gunung Lembeh 430 m, Gunung
Temboan Sela 430 m, dan Gunung Wiau 861 m. Gunung Batuangus masih
tercatat sebagai gunung berapi namun tidak aktif. Di Kota Bitung juga terdapat 5
(lima) buah sungai kecil yang bermuara di Selat Lembeh, yaitu Girian, Sagerat,
Tanjung Merah, Tewaan, dan Rinondoran. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng di
Kota Bitung didominasi oleh kelerengan antara 25 – 40 %. Hal ini terlihat dari luas
wilayah kelerengan 25 – 40 % yang mempunyai wilayah terluas yaitu sebesar 11.759 Ha
atau sekitar 37,52 % dari total luas Kota Bitung saat ini. Memang secara visual juga
terlihat bahwa Kota Bitung hampir seluruh wilayahnya merupakan daerah perbukitan
atau pegunangan. Dan hasil perhitungan Konsultan juga menunjukkan bahwa daerah
yang datar yaitu kemiringan lereng antara 0 – 8 % hanya memiliki luas paling kecil,
yaitu 2.274 % atau sebesar 7,89 % dari total luas Kota Bitung.
Tabel 2.1 Luas Lereng Per Kecamatan
Kecamatan
Luas Lereng (Ha)
No. 0 – 8%
8 – 15 15- 25 25 - 40 >40 %
Total
% % % Ha
1 Matuari 1.097 844 62
2 Ranowulu 286 1.08 3.679 7.495 1.657
3 Girian 193 235 54
4 Madidir 352 740 777
5 Maesa 221 556 269 92
6 Aertembaga 325 627 2.575 1.28 1.049
7 Lembeh Utara 60 462 1.425 564
8 Lembeh
Selatan 698 423 1.228 932
Total 2.474 3.544 8.489 11.759 5.071 31.337
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
14
2. Geohidrologi
A. Air Pemukaan
Air permukaan di Kota Bitung meliputi aliran-aliran sungai yang melintas di
wilayah Kota Bitung, yaitu:
1. Sungai Girian, panjang 17.50 km
2. Sungai Tewaan, panjang 8.75 km
3. Sungai Batu Putih, panjang 9.25 km
4. Sungai Rinondoran, panjang 11.25 km
5. Sungai Sagerat, panjang 9.50 km
Selain itu ada beberapa lokasi mata air di Kota Bitung yang memiliki debit air
yang cukup besar, yaitu:
- Mata air dengan volume + 50 liter/ dtk, terletak di RSUD Manembo-Nembo
- Mata air di kelurahan Danowudu yang dimanfaatkan Kota Bitung termasuk
pelabuhan Bitung berlokasi di bagian utara kelurahan
- Mata air (oleh masyarakat disebut mata air hujan) terletak di sebelah selatan
Kelurahan Donowudu yang berbatasan dengan kelurahan Giper (dahulu Girian
Atas), dan sudah dikelola oleh PDAM Bitung.
- Mata Air di Kel. Tewaang, sekarang ini sudah dimanfaatkan oleh masyarakat
umum tapi belum memenuhi syarat.
- Mata air di Kel. Girian Indah (sebelah utara berbatasan dengan perkebunan Kel.
Danowudu Kec. Ranowulu), saat ini dikelola dan dimanfaatkan oleh SECATA B
(dahulu Dodik XII Wangurer) dan masyarakat Kel. Girian Indah Lingkungan VI.
- Mata air di Kel. Bitung Barat II
- Mata air di Kel. Aertembaga Dua (Lingkungan I)
- Mata air di Kel. Makawidey (L ingkungan I)
- Mata air di Kel. Kasawari
- Mata air di Kel. Pintu Kota Kecamatan lembeh Utara, yang sangat baik untuk
dikonsumsi.
- Mata air di Kel. Batukota (Lingkungan I/Baturiri)
- Tiga mata air di Kel. Gunung Woka, yang dapat difungsikan untuk kebutuhan
masyarakat, untuk sementara masih digunakan melayani khusus masyarakat Kel.
Gunung Woka.
- Mata air di Kel. Kareko, lokasinya ada 2 di lingk. I RT 01
- Mata air di Kel. Binuang, tapi belum ditata dengan baik.
- Mata air di Kel. Posokan yang ditata dengan baik, untuk saat ini masih
dimanfaatkan secara manual oleh masyarakat.
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
15
B. Air Tanah
Sedangkan lokasi titik air tanah di Kota Bitung meliputi:
1. Kelurahan Pinangunian + 30 liter/detik
2. Kelurahan Madidir Weru
3. Kelurahan Empang / Kelurahan Bitung Timur
4. Kelurahan Sagerat Weru
Lokasi sumur bor di Kota Bitung ada 7 (tujuh) lokasi, yaitu:
1. Kelurahan Pateten III Kecamatan Maesa
2. Kelurahan Kakenturan I Kecamatan Maesa
3. Kelurahan Kakenturan II Kecamatan Aertembaga
4. Kelurahan Wangurer Barat / Kelurahan Girian Indah Belakang SMPN 12
Kecamatan Girian
5. Kelurahan Paudean Kecamatan Lembeh Selalatan
6. Kelurahan Pintu Kota Kecamatan Lembeh Utara
7. Kelurahan Wangurer Timur Kecamatan Madidir
Berikut adalah potensi air tanah pada beberapa titik pengeboran air tanah dan
potensi air tanah cekungan air tanah di Kota Bitung.
Tabel 2.2 Potensi Air Tanah Pada Beberapa Titik Pengeboran Air Tanah
No LOKASI KEDALAMAN
TINGGI
MUKA
AIR
DEBIT LITOLOGI AKUIFER
KELURAHAN KECAMATAN (m) (m) (L/dtk)
1 Sagerat Matuari 100 6 0,17 Tufa halus/lempung Pas
iran - pasir Lempungan
2 Manembo -
nembo Matuari 50 0,5 2,4
Pasir kasar - kerikilan
3 Manembo -
nembo Matuari 45 0,1 1,5
Tufa kasar/pasiran, batu
apung dan tufa lapili
4 Madidir Weru Madidir 45 0,5 1 Pasir kerikilan, batu apu
ng 5 Bitung Barat I Maesa 60 1 0,37
Tufa kasar dan tufa lapil
i kedalaman 30-50 m
6 Naemundung Aertembaga 64 4 0,13
Pasir Lempungan, lemp
ung pasiran, tufa halus
Kedalaman 38-59 m
Tabel 2.3 Potensi Air Tanah pada Cekungan Air Tanah
Cekungan Air Tanah
(CAT)
Potensi Air Tanah
Dangkal Q₁ ( Juta Mᵌ/Tahun )
Potensi Air Tanah Dalam
Q₂ ( Juta Mᵌ/Tahun )
Bitung-Ratahan 703 50
Batu Putih 131 9
Jumlah 834 59
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
16
3. Geologi
Secara umum Wilayah Kota Bitung dan sekitarnya disusun oleh batuan vulkanik
yang berumur Kuarter (Qv) yang terdiri atas lava, bom, lapili dan abu yang
sebagian kecil ditutupi oleh endapan (Qs) yang terdiri atas pasir lanau, konglomerat
dan lempung napalan (EFENDI, 1976). Berdasarkan pemetaan geologi permukaan
dan pendugaan reseistivitas bawah permukaan, Wilayah Kota Bitung umumnya
disusun oleh batuan vulkanik dan vulkaniklastik yang sebagian ditutupi oleh
endapan permukaan. Berdasarkan ciri litologinya, batuan-batuan ini dapat
dikelompokan ke dalam 5 (lima) satuan, yaitu:
A. Satuan Tufa-Breksi
Satuan tufa-breksi terdiri atas lava andesit, tufakasar-halus, tufa lapili berbatu
apung, breksi tufa lapili dan breksi. Pengelompokan batuan-batuan ini dalam
keadaan satu satuan didasarkan pada kesatuan ciri litologi yang menunjukkan satu
sumber dan proses pembentukan berupa kesamaan komposisi mineral dan
kelanjutan tatanan litologinya. Satuan tufa -breksi merupakan batuan terluas yang
penyebarannya meliputi sebagian besar daerah selidikan. Sebaran ini di bagian
barat hingga ke arah utara membentuk morfologi perbukitan, di bagian tengah
membentuk morfologi kerucut gunung api Duasudara, sedangkan di bagian selatan
hingga ke arah timur umumnya membentuk morfologi bergelombang dan pegunungan
serta sebagian membentuk daratan. Batuan-batuan penyusunnya umumnya
tersingkap di permukaan secara alami pada tebing alur sungai dan pantai, sebagian
lagi tersingkap melalui penggalian untuk pembuatan sumur gali dan penambangan
bahan galian serta pemotongan punggungan bukit untuk pembuatan ruas jalan.
Sedangkan batuan penyusun yang berada jauh di permukaan penyingkapannya
dilakukan melalui pendugaan resistivitas di atas permukaan dan pendugaan potensial
diri pada lubang bor dalam. Batuan lava andesit basaltis merupakan batuan beku
ekstrusif daerah ini yang merupakan pencerminan jenis magma asalnya.
Singkapannya sulit dijumpai didalam satuan tufa breksi ini kecuali singkapan lava
di sepanjang pantai utara sekitar kaki lereng Gunung Tangkoko-Batu Angus yang
dikelompokan ke dalam satuan batuan tersendiri karena memiliki sebaran yang
cukup luas di sekitar kerucut Gunung Tangkoko.
Singkapan lava andesit penyusun satuan tuva – breksi ini hanya dijumpai di hulu
Sungai Danowudu yang keberadaannya didukung oleh dugaan resitivitas dari atas
permukaan di sekitar Danowudo (GBT 1) yang menunjukkan adanya batuan jenis ini
pada kedalaman 14-30 meter di bawah permukaan tanah setempat (bmt). Sedangkan
di sekitar Pinokalan (GBT 5) mulai dijumpai pada kedalaman 32 meter (bmt) dengan
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
17
nilai resistivitas yang tertinggi 10.000 Ohm.m. Korelasi kedua titik duga tersebut
menguak adanya retas batuan ini di antara batuan piroklastik yang dicirikan oleh
adanya kesinambungan litilogi kearah utara – selatan pada kedalaman tersebut.
Namun ada gejala ketidaksinambungan ke arah timur dengan tidak dijumpai lava
pada kedalaman tersebut pada titik duga yang berdekatan (GBT 2). Hal ini
ditunjukkan oleh penurunan harga resistivitas (2.550 Ohm) yang ditafsir sebagai
lapisan breksi pada kedalaman sekitar itu (13 – 55 bmt). Sedangkan titik duga
lainnya tidak menunjukkan adanya jenis batuan ini sehingga retas andesit ini ditafsir
sebagai lidah lava yang menjulur dari arah barat hingga berakhir di sekitar Danowudu
dan Pinokalan.
Petunjuk lain tentang keberadaan batuan lava didapatkan dari logging sumur bor di
sekitar Madidir Weru (SP 1) yang menujukkan adanya lava andesit mulai pada
kedalaman 55 meter hingga kedalaman maksimum pemboran 60 m dengan nilai
potensial diri 60 mV. Belum dapat ditafsir hubungan antara lava andesit di sekitar
Madidir Weru ini dengan lava andesit yang ada di sekitar Danowudu-Pinokalan
sebab kedalaman maksimum titik duga resistivitas di sekitar wilayah tersebut baru
mencapai kedalaman maksimum 47 m dengan resistivitas 300 yang ditafsirkan
sebagai breksi di sekitar Kelurahan Wangurer Atas (GBT 9). Sedangkan titik duga
yang lebih dalam lagi tidak menunjukkan adanya jenis batuan tersebut, seperti yang
tampak pada titik duga di sekitar Kelurahan Girian Atas (GBT 7 dan 8) yang
mencapai kedalaman 65 – 110 m bmt dan di sekitar Manembo-nembo (GBT 13)
yang mencapai kedalaman 87 m bmt yang hanya memberikan nilai resistivitas 26 – 45
Ohm.m yang ditafsir tufa kasar – lapili. Sedangkan lava andesit penyusun satuan
tersebut yang dijumpai di tebing barat lembah alur Sungai Danowudu
memperlihatkan struktur blok atau aa-lava yang dibatasi oleh bidang-bidang rekahan
berjarak 1 – 2 m yang sebagian memancarkan air tanah sebagai mata air. Singkapan lain
dapat dijumpai di hulu Sungai Kayuwale Kecil sekitar Pinasungkulan yang diduga
merupakan kelanjutan dari lidah lava yang tersingkap di Danowudu tersebut.
Singkapannya umumnya masih segar dengan warna abu-abu gelap sebagai cerminan
dari kandungan mineral umumnya plagioklas dan piroksen sebagai fenokris
berukuran halus – sedang (<3mm) yang tertanam dalam masa dasar afanitis dalam
kemasan tekstur porfiritis dan struktur masif. Sebagian melapuk ringan sampai
sedang membentuk tanah regolit pasiran hingga sedikit lempungan dengan warna
abu-abu kecoklatan sebagai cermin dari oksidasi kandungan mineral mafiknya.
Batuan tufa breksi sebagai batuan utama penyusun satuan tufa-breksi umumnya dapat
dijumpai di sebagian besar daerah selidikan, singkapan paling luas dapat dijumpai
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
18
mulai dari potongang punggungan bukit untuk ruas jalan di sekitar Madidir hingga
daratan abrasif Winenet, bandingkan dengan lava andesitis hanya tersingkap di hulu
Sungai Danowudu dan Sungai Kayuwale Kecil. Ciri singkapan menunjukkan
perselingan batuan vulkaniklastik halus dan kasar yang berlapis tipis hingga masif.
Sedangkan pola sebarannya menunjukkan dominasi breksi tufa lapili di sekitar
Danowudu hingga Batuputih, tufa kasar – lapili dan batuapung di Tandurusa
hingga Makawidey. Pola sebaran permukaan ini didukung oleh pola sebaran
bawah permukaan dari dugaan resistivitas yang menunjukkan adanya dominasi
breksi tufa lapili berbatuapung di sekitar Pinokalan hingga Manembo-nembo,
dominasi breksi di sekitar Girian Weru hingga Pinangunian dan didominasi tufa halus
kasar berbatuapung di sekitar Girian hingga Aertembaga. Singkapan tufa–breksi
memperllihatkan struktur berlapis tipis hingga masif vulkanik klastik halus yang
berukuran abu (<4 mm) dan vulkanikklastik kasar berukuran lapili - blok (4–
250mm). Batuan-batuan ini dalam keadaan segar berwarna abu-abu terang hingga
gelap sebagai cerminan kandungan mineral andesistis yang umumnya berupa felspar,
hornblenda dan piroksen dalam bentuk pecahan kristal maupun kepingan gelas dan
batuan. Lapisan sempurnanya membentuk lapisan tipis tanah andosol yang berwarnas
coklat kekuningan hingga kemerahan sebagai tanah lempung lateritis yang meliputi
hampir seluruh permulaan batuan. Setempat dijumpai ubahan hidrotermal berupa
lempungan kaolin yang berwarna putih yang dijumpai dipotongan kaki lereng bukit
sekitar Pinasungkulan. Tufa halus dan kasar masing-masing disusun oleh pecahan
kristal felspar dan piroksen yang berbentuk menyudut dan berukuran abu halus (< 0,06
mm) dan abu kasar (0,06 – 4 mm). Butiran kristalnya tersebar merata di dalam
gelas vulkanik dengan kemasan tekstur klastik halus yang terpilah baik. Kehadiran
fragmen batuan andesit balatis berwarna abu-abu gelap dan batuapung berwarna abu-abu
terang dan berstruktur vesikular yang berukuran lapili ( 64 mm) dalam jumlah
yang cukup banyak (60 %) di dalam kemasan batuan tufa ini menyebabkan pilahan
butirannya memburuk dan membentuk tufa lapili. Fragmen batuapung
menunjukkan struktur bersusun terbalik, sedangkan batuan andesit bersusun normal
akibat mekanisme jatuhan material piroklastik eksplosif. Breksi tufa lapili merupakan
tufa lapili dengan kandungan yang (30–60%) antara fragmen berukuran lapili (< 64
mm) dan blok (> 64 mm), lebih dari 60 % fragmen berukuran blok akan membentuk
breksi. Di dalam jenis batuan tufa lapili dan breksi ini tampak adanya pergeseran
kelimpahan kandungan antara fragmen batuan andesit balastis. Kadang-kadang
fragmen batuan andesit balastis menunjukkan gejala terelaskan yang menunjukkan
adanya aliran mineral oleh gas panas seperti kenampakan breksi yang dijumpai di
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
19
sekitar Tandurusa. Sedangkan di sekitar Makawidey dijumpai adanya breksi laharik
yang dicirikan oleh kandungan fragmen batuan seperti adanya fragmen tufa yang
membundar yang menyebar tidak merata di dalam matriks limpur tufaan di dalam
kemasan terbuka dan pilahan buruk aliran material oleh air permukaan.
B. Satuan Lava Andesit
Satuan lava andesit terdiri atas lava andesit dan breksi autoklasik. Pengelompokan
batuan-batuan ini kedalam satu satuan didasarkan pada kesatuan ciri litologi yang
menunjukkan satuan sumber dan proses pembentukan berupa kesamaan komposisi
mineral dan kelanjutan tatanan litoliginya yang berbeda dengan batuan vulkanik dan
volkanilistik yang menyusun satuan tufa-breksi. Jika pada satuan tufa-breksi yang
lebih dominan adalah batuan vulkanikklastik, maka pada satuan lava ini yang lebih
dominan adalah batuan vulkaniknya. Dominasi batuan vulkanik efusif tersebut
berkaitan erat dengan aktivitas G. Tongkoko dan Batu Angus yang umumnya
melelehkan lava selama perioda keaktifannya. Satuan lava andesit tersebar mulai
dari puncak kerucut Gunung Tangkoko dan kerucut parasitnya Gunung Batu Angus
hingga ke kaki-kaki lerengnya membentuk morfologi kerucut vulkanik Gunung
Tangkoko dan dataran lava Gunung Batu Angus. Batuan-batuan penyusunnya
umumnya tersingkap di permukaan secara alami sepanjang tebing pantai.
Singkapan lava andesit penyusun satuan tersebut yang dijumpau di sepanjang tebing
pantai utara – timur kaki lereng kerucut Gunung Tangkoko memperlihatkan struktur
masif dan blok atau aa-lava yang dibatasi oleh bidang-bidang rekahan berjarak 1 – 2 m.
Singkapan batuan ini umumnya masih segar dengan warna abu-abu gelap sebagai
cerminan dari kandungan mineral umunya plagioklas dan piroksen sebagai fenokris
berukuran halus – sedang (< 3 mm) yang tertanam dalam masa dasar afanitis
dalam kemasan tekstur porfiritis dan struktur masif kadang-kadang memperlihatkan
struktur aliran oleh kesejajaran fenokrisnya. Sebagian melapuk ringan sampai
sedang membentuk tanah regolit pasiran hingga sedikit lempungan dengan warna abu-
abu kecoklatan sebagai cerminan dari oksidasi kandungan mineral mafiknya.
Pelapukan terutama tampak pada permukaan batuan dan bidang rekahannya. Leleran
lava andesit tersebut menindih batuan klastika kasar yang berfragmen blok-blok
batuan sejenis yaitu andesit dan tertanam di dalam matriks tufa litik dari batuan sejenis.
Karakteristik menunjukkan adanya breksiasi dari lava andesit oleh aliran mineral akibat
hembusan gas vulkanis eksplosif membentuk breksi aliran autoklastik.
C. Satuan Tefra
Satuan tefra merupakan endapan jatuhan piroklastik yang belum
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
20
terkonsolidasimembentuk batuan, namun masih bersifat urai atau lepas.
Pengelompokkan material batuan ini ke dalam satu satuan didasarkan ciri litologis
yang berbeda dengan ciri litologi material batuan sebelumnya yang telah
terkonsolidasi. Endapan tefra tersebut terdiri atas material volkanis eksplosif
berkomposisi andesit basalis yang berwarna abu-abu gelap kehitaman, berukuran
abu hingga lapili (< 25 mm) dan berbentuk menyudut. Terendapkan dalam struktur
bersusun normal di dalam kemasan yang terpilah sedang – buruk atau bergradasi
baik. Sumur uji tempat pemercontoan tanah tak-terganggu (TBT 1) menunjukkan
perulangan struktur susunan normal tersebut yang dibatasi oleh bidang batas
lapukan berupa pasir lempungan lateritis. Ciri litologi ini menunjukkan perulan gan
perioda pengendapannya sehingga dapat ditafsirkan paling sedikit terjadi empat
kali pengendapan letakan bawah udara material piroklastik eksplosif. Ekslposifitas
sumber material tefra ini cukup kuat sehingga materialnya menutupi hampir seluruh
Wilayah Kota Bitung dan sekitarnya dengan ketebatan yang bervariasi sesuai
bentang lahan asal tempat pengendapannya, sedangkan pola sebarannya dipengaruhi
oleh kedudukan relatif pusat erupsi terhadap arah tiupan angin. Hasil pemetaan geologi
permukaan dan pendugaan bawah permukaan melalui bentangan resistivitas, uji
penetrasi konus dan sumuran menunjukkan bahwa material tefra umumnya
menyebar di bagian barat daerah selidikan yang menunjukkan bahwa angin yang
melalui pusat erupsi Gunung Tangkoko dan Duasudara dan membawa serta
materialnya berhembus dari arah timur. Ketebalan maksimum (7,60 m) dijumpai di
sekitar Danowudu (SBT 3) yang merupakan bentang lahan lembah Sungai Girian
antar kerucut volkanis Gunung Klabat dan Duasudara yang bertindak sebagai cekungan
pengendapan.
D. Satuan Aluvium Sungai
Satuan aluvium sungai merupakan endapan aliran epiklasik yang sebagian telah
terkonsolidasi lemah dan sebagian lagi masih terurai lepas-lepas. Pengelompokkan
material batuan ini ke dalam satu satuan didasarkan pada ciri lilologis yang berbeda
dengan ciri litologi material batuan sebelumnya yang telah terkonsolidasi kuat
membentuk batuan. Endapan tersebut terdiri atas material epiklastik berukuran
bongkahan hingga pasir dari berbagai batuan asal, seperti : andesit, breksi dan tufa
hasil erosi dan transportasi aliran air sungai yang diendapkan di sekitar tepian alur
sungai. Bentuk material umumnya telah membudar akibat abrasi selama transportasi
dan terendapkan dalam pilahan baik. Material kasar relatif terendapkan lebih dahulu
dibandingkan dengan material halus, baik secara laretal maupun vertikal. Secara
lateral dicirikan oleh endapan bongkahan di bagian hulu sungai dan pasir di bagian
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
21
hilirnya, sedangkan secara vertikal dicirikan oleh struktur bersusun normal. Oleh
karena proses pembentukannya dipengaruhi oleh aliran air sungai, maka sebarannya
berada di sekitar lembah beraliran sungai yaitu di lembah Sungai Girian dan
Sungai Batu Putih. Ketebalan dan sebarannya dipengaruhi oleh kekuatan aliran
sungai dan bentanglahan lembah. Kekuatan aliran tergantung pada volume air dan
gradien alur, makin besar kedua faktor tersebut maka semakin kuat alirannya.
Volume air akan meningkat pada musim penghujan, sedangkan gradien membesar
ke arah hulu maka kekuatan aliran maksimum berada pada kondisi tersebut sehingga
erosi terjadi di zona ini. Secara berangsur ke arah hilir kekuatan aliran yang
membawa material erosif melemah akibat pengecilan gradien alur sehingga terjadi
pengendapan di zona ini. Hasil pemetaan geologi permukaan dan pendugaan bawah
permukaan melalui bentangan resistivitas (BP 1 – 4) menunjukkan bahwa ketebalan
aluvium di sekitar Batu Putih mencapai 40 m.
E. Satuan Aluvium Pantai
Satuan aluvium pantai merupakan endapan arus dan gelombang pantai di zona
pasang surut. Umumnya berkomposisi epiklastik darat yang berukuran pasir hingga
lempung, kadang-kadang lumpur yang masih bersifat urai atau lepas-lepas.
Pengelompokan material batuan ini kedalam satu satuan didasarkan pada ciri
litologis yang berbeda dengan ciri lotologi mate rial batuan sebelumnya yang
sebagian telah terkonsolidasi lemah dan mengandung material berukuran bongkah.
Endapan tersebut terdiri atas material epiklastik berukuran pasir hingga lanau, setempat
lempungan organis dan lumpuran sebagai endapan rawa pantai. Bentuk material selain
telah sangat membundar, juga terpilah oleh gelombang dan terjangan arus alaut
pasang. Pengendapan terjadi pada saat surut akibat penurunan kekuatan arus dan
gelombang membentuk endapan gumuk pantai membusur di sekitar muara Sungai
Girian dan Sungai Batu Putih.
4. Geologi Permukaan
Wilayah Kota Bitung merupakan suatu daerah berlahan khas gunung api yang
dicirikan langsung oleh corak morfologi deretan kerucut vulkanik yang dibentuk
oleh batuan vulkanik akibat aktifitas vulkanisme. Corak morfologi berintikan batuan
vulkanik ini berada di dalam pengaruh iklim tropis dengan curah hujan yang cukup
tinggi yang khas untuk daerah di dalam zona meridian. Jenis batuan, morfologi,
aktifitas vulkanisme dan iklim ini mempengaruhi pembentukan tanah daerah ini.
Batuan pembentuk lahan Wilayah Kota Bitung ditutupi oleh tanah lapukan dan
endapan yang dapat digolongkan berdasarkan sifat fisik dan teknis ke dalam 4 (empat)
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
22
satuan, yaitu: satuan pasir lempungan, satuan pasir kerikilan, satuan pasir gravel dan
satuan pasir lumpuran. Daya dukung dan kestabilan lahan suatu daerah untuk dapat
memikul beban konstruksi ditentukan oleh morfologi permukaan lahan serta jenis
dan tatanan material pembentuk lahan tersebut sebagai faktor internal di bawah
pengaruh faktor external seperti kondisi iklim dan budidaya atau penggunaan lahan.
Berdasarkan sifat fisik dan keteknikan tanah dan batuan serta morfologi bentang
lahan, maka Wilayah Kota Bitung dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) satuan
geologi teknik sesuai dengan daya dukung dan kestabilannya, yaitu:
- Satuan geologi teknik I yang berdaya dukung tinggi dengan kestabilian
sedang tinggi.
- Satuan geologi teknik II yang berdaya dukung sangat tinggi dengan
kestabilan rendah.
- Satuan geologi teknik III yang berdaya dukung rendah dengan kestabilan
tinggi.
Satuan geologi teknik I umumnya meliputi lahan bagian selatan yang membentang
dari barat ke timur mulai dari Sagerat hingga Tandurusa dan ke arah utara sampai
daerah Danowudu dan sebagian lagi sekitar Pinasungkulan dan Tinerungan serta Batu
Putih. Lahan daerah tersebut dibentuk oleh material pembentuk yang mampu
memikul beban konstruksi berat serta relatif stabil. Kemampuan menopang beban
konstruksi berat tersebut disebabkan oleh material pembentuknya yang terdiri atas
batuan piroklastika sebagai batuan dasar yang ditutupi tanah lapukan pasir lanauan –
lempungan dan tanah endapan jatuhan pasir kerikilan – lanauan serta tanah endapan
terangkut pasir gravelan. Material ini mampu memikul beban konstruksi hingga 16
ton/cm2 untuk fondasi dangkal bahkan hingga 96 ton/cm2 untuk fondasi tinggi
disebabkan oleh bentang lahan berupa pedataran hingga punggung perbukitan dengan
kemiringan lereng yang datar hingga landai (<15%). Satuan geologi teknik II ini
umumnya meliputi lahan tubuh gunung api Duasudara dan Tangkoko serta daerah
pegunungan dan pebukitan yang sebagian dijadikan lokasi pemukiman, yaitu:
Kelurahan Apela dan Tendeki di bagian barat serta Pinangunian, Tandurusa dan
Makawidey di bagian timur. Lahan daerah tersebut dibentuk oleh material pembentuk
yang mampu memikul beban konstruksi berat seperti halnya satuan geologi teknik I,
namun kondisinya kurang stabil. Kemampuan menopang beban konstruksi tersebut
bahkan lebih besar dan lebih ekonomis sebab tanah penutup batuan batuan dasar
yang terdiri atas lapukan pasir lanauan – lempungan dan tanah endapan jatuhan
pasir kerikilan – lanauan tersebut relatif lebih tipis (<1m) sehingga mudah untuk
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
23
dikupas. Kondisi ini tidak memerlukan tiang pancang, karena fondasi dapat langsung di
letakan pada batuan dasar yang mampu memikul beban konstruksi hingga 96
ton/cm2, namun kondisinya relatif kurang stabil karena bentang lahan umumnya berupa
pebukitan hingga pegunungan dengan kemiringan lereng yang agak curam hingga terjal
(15- 90%).
Peta Geologi Kota Bitung
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
Untuk satuan geologi teknik III meliputi lahan di sepanjang daratan Aluvium pantai di
sekitar muara sungai utama Sungai Girian dan Sungai Batu Putih serta sungai-
sungai lainnya seperti Sungai Airprang. Lahan satuan ini dibentuk oleh material
pembentuk yang kurang mampu memikul beban konstruksi berat meskipun
kondisinya relatif lebih stabil. Ketidak mampuan menopang beban konstruksi berat
tersebut disebabkan oleh tutupan tanah endapan terangkut yang relatif tebal (5-40m)
dan umumnya masih bersifat sangat urai dan sebagian bersifat lumpuran, meskipun
umumnya terdiri atas pasir yang tersebar merata membentuk bentang lahan datar
(<5%). Kondisi ini memang relatif sangat stabil namun memerlukan tiang pancang
hingga kedalaman tersebut untuk konstruksi berat sehingga tidak ekonomis, sedangkan
untuk konstruksi ringan dengan fondasidangkal hanya mampu mendukung beban sebesar
4-6 ton/cm2.
5. Klimatologi
Iklim di Kota Bitung hanya terdiri dari 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim
penghujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di wilayah ini.
Pada bulan Oktober sampai dengan bulan April biasanya terjadi hujan karena angin
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
24
yang bertiup dari arah Barat/Barat Laut banyak mengandung air. Sedangkan pada bulan
Juni sampai dengan bulan September biasanya terjadi musim kemarau karena angin
yang bertiup dari arah Timur tidak banyak mengandung air.
Curah hujan
Jumlah curah hujan di Kota Bitung cukup beragam menurut bulan, terlihat bahwa
rata -rata curah hujan yang terjadi adalah sebesar 152.03 mm/tahun. Selama selang 10
tahun terakhir, dari data yang ada terlihat bahwa bulan September memiliki curah
hujan yang kecil, yaitu rata-rata 35.26 mm/tahun. Sedangkan curah hujan Januari
dalam selang waktu 10 tahun terakhir ini memiliki curah hujan tertinggi, yaitu
rata-rata sebesar 241.24 mm/tahun.
Data curah hujan yang dianalisis adalah data 10 tahun terakhir, (Sumber Data: Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Maritim Bitung) Pola
curah hujan wilayah kota Bitung dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa
rataan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, yakni 241,2 mm sedangkan
terendah pada bulan September, yakni 35,3 mm. Hasil analisis curah hujan dengan
menggunakan pendekatan tipe iklim Schmidt dan Ferguson menunjukkan bahwa
Wilayah kota Bitung adalah termasuk tipe iklim A (9 bulan basah berturut-turut, 2 bulan
lembab dan 1 bulan kering).
Curah hujan rata-rata bulanan di wilayah kota Bitung dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Rataan Curah Hujan Bulanan
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
Hari hujan
Berdasarkan data dari Stasuin Meteorologi Maritim Bitung diperoleh data jumlah
hari hujan untuk 10 (sepuluh) tahun terakhir, terlihat bahwa rata-rata hari hujan yang
terjadi adalah berjumlah 18 hari/bulan. Ini berarti lebih banyak terjadi hujan dari
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
25
pada penyinaran matahari selang satu bulan. Jika dicermati juga ternyata bulan
sepuluh tahun terakhir ini hari hujan terpanjang terjadi pada bulan Januari, yaitu rata-
rata 23,7 hari/bulan.
Intensitas hujan
Jumlah hari hujan rata-rata selang 10 (sepuluh) tahun terakhir yang menunjukkan
bahwa rata-rata hari hujan adalah berjumlah 18 hari/bulan, menunjukkan bahwa
intensitas curah hujan di Kota Bitung adalah tinggi. Bahkan ada bulan-bulan
tertentu yang intensitas hujan terjadi hampir satu bulan berjalan.
Data Klimatologi
a. Suhu Udara
Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat
tersebut terhadap permukaan laut. Suhu udara wilayah Kota Bitung berkisar antara
27,2⁰ C-28,0⁰C di mana suhu udara maksimum terdapat pada bulan Desember
(28,0⁰C) dan suhu udara minimum terdapat pada bulan Juli (27,2⁰C).
Suhu Udara Rata-Rata Bulanan
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
b. Kelembaban Udara
Kelembaban udara Kota Bitung cukup tinggi sepanjang tahun meskipun pada
musim kemarau. Kelembaban udara pada musim kemarau pada bulan Juli,
Agustus dan September lebih besar dari 70 %. Wilayah Kota Bitung mempunyai
kelembaban udara relatif tinggi, yaitu berkisar antara 77,7 % pada bulan November
sampai 80,3 % pada bulan April.
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
26
Kelembaban Udara Rataan Bulanan
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
c. Kecepatan Angin
Perubahan angin yang dianalisis meliputi kecepatan dan arah. Pola kecepatan dan
arah angin Kota Bitung, sesuai data yang diperoleh, menunjukkan rataan kecepatan
angin tertinggi terjadi pada bulan Agustus, yakni sekitar 4,6 knots dan terendah
pada bulan April, yakni 1,9 knots.
Kecepatan Angin
Sumber : Kota Bitung Dalam Angka 2016
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
27
IV. Data Resiko Bencana Alam
Kota Bitung memiliki beberapa kerawanan bencana yang terdiri dari:
- Rawan Tanah Longsor/Gerakan Tanah
Berdasarkan Peta Indeks Risiko Bencana Gerakan Tanah di Provinsi Sulawesi Utara
(Data BNPB), Kota Bitung termasuk dalam tingkat risiko “Tinggi” terhadap gerakan
tanah. Daerah ini mempunyai potensi untuk terjadi Gerakan Tanah jika curah hujan di
atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah, sungai, gawir, tebing
jalan atau jika lereng mengalami gangguan.
- Rawan Gelombang Pasang/Abrasi
Daerah pesisir pulau Lembeh pada titik-titik tertentu dan daerah yang dianggap rawan di
kota Bitung merupakan daerah rawan gelombang pasang/abrasi. Hampir setiap tahun
daerah ini dilanda gelombang pasang. Gelombang pasang dapat mengakibatkan
mundurnya garis pantai. Untuk mecegah hal ini terjadi, maka ke depan perlu dibuatkan
tanggul penahan ombak (break water).
- Rawan Banjir
Di kota Bitung, umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas normal,
sehingga sistem pengaliran air terutama sungai dan anak sungai alamiah tidak mampu
menampung akumulasi air hujan. Tanah bertekstur pasir yang mendominasi kota Bitung
seringkali menambah daya rusak banjir karena sebagian material pasir ikut terangkut oleh
aliran permukaan. Berkurangnya vegetasi pada daerah resapan air juga berkontribusi
pada meningkatnya debit banjir, karena jika terjadi curah hujan tinggi, sebagian besar air
akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk ke dalam sistem pengaliran air
sehingga kapasitasnya terlampaui dan terjadi banjir.
Kemampuan/daya tampung sistem pengaliran air cepat berubah/tertutup akibat
sedimentasi, penyempitan sungai akibat fenomena alam dan ulah manusia, tersumbat
sampah serta hambatan lainnya.
Penggundulan hutan di daerah tangkapan airhujan (catchment area) juga menyebabkan
peningkatan debit banjir karena debit/pasokan air yang masuk ke
dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi
pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang selanjutnya menyebabkan sedimentasi
di sistem pengaliran air dan badan air lainnya. Di samping itu berkurangnya daerah
resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir.
RPIJM 2015 – 2019 KOTA BITUNG
28
V. Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah(RPJMD) kota Bitung 2011-
2016 merupakan penjabaran visi, misi dan program pembangunan kota Bitung.
Penyelenggaraan pembangunan dalam kurun waktu 2006 – 2011 telah membuahkan hasil
yang menggembirakan hal ini dapat dilihat dari berbagai penghargaan di tingkat nasional
yang diterima oleh Pemerintah kota Bitung di samping kemajuan pembangunan lainnya
yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Walau demikian kemajuan pembangunan
kota Bitung selama kurun waktu tersebut tetap menyisakan tugas kedepan. Kota Bitung
dengan berbagai potensi yang besar untuk menjadi kota yang lebih maju memiliki
banyak tantangan dari berbagai aspek. Oleh karena itu berbagai potensi dan peluang yang
dimiliki oleh kota Bitung akan dimanfaatkan untuk menjawab setiap permasalahan dan
tantangan yang ada.