bab 2 ppok

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DASAR TEORI 1. Pengertian PPOK Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki- laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.

Upload: rendra-dananjaya

Post on 14-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

y

TRANSCRIPT

Page 1: bab 2 ppok

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI

1. Pengertian PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat

progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi

paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,

dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1.

Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup

kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil

penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta

selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia

termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat

merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan

proporsi sebesar 90,83%.

Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih

banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil

Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa

sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%

perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan

kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga

lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan

perokok pasif.

Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak

Page 2: bab 2 ppok

adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita

(84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi

63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika (2009) di RS.

Haji Medan pada tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang

paling banyak adalah proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun

sebanyak 121 penderita (91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di

RSUD Aceh Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien

PPOK tertinggi pada kelompok usia 60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki

43,2% dan perempuan 14,4%. Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk

berdahak dan sesak napas (100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%),

demam (31,0%), dan terendah mual sebanyak 11 pasien (8%). Menurut Ilhamd

(2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK menduduki proporsi terbesar

yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit

Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember

1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada.

2. Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang

menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor

risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor

lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan

pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1

antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga

dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan

dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan

fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko

mendapatkan PPOK (Helmersen, 2002).

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi

tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok.

Page 3: bab 2 ppok

Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan

dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini

mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok

selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati

penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan

perokok (Helmersen, 2002). Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan

Page 4: bab 2 ppok

hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari

dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan

akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks

Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya

merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang

merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal

setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok,

asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti

gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta

polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain.

Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK.

Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil

dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan

oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga

merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk

terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat

pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi

(Helmersen, 2002).

2.4. Patogenesis

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan

oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air

Page 5: bab 2 ppok

sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan

perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi

adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan

perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri

dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi

berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai

untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk

gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital

paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap

rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia

yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem

eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah

besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat

persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul

peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi

terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit

dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan

kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-

struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya

alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi

karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah

inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan

terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).

Page 6: bab 2 ppok

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,

komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi

oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil

Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease,

sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut,

terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi

perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,

bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan

konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: bab 2 ppok

2.5. Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat

menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan

dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

2.5.1. Anamnesis

a. Ada faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan

adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi

tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal

yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam

pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan

seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat

berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata

batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi

hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600)

(PDPI, 2003).

b. Gejala klinis

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini

harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang

biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul

Page 8: bab 2 ppok

selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-

kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.

Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama

pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi

dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak

dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup

digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical

Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: bab 2 ppok

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

Skala Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

Sesak

1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1

tingkat

3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa

menit

5 Sesak bila mandi atau berpakaian

2.5.2. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada

seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang

meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela

iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan

edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan

auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau

normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003).

2.5.3. Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Page 10: bab 2 ppok

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya

PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau

tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai

sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih

dari 20%.

b. Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi

atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler

Universitas Sumatera Utara

Page 11: bab 2 ppok

meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-

kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi

pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis

penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien

(GOLD, 2009).

c. Laboratorium darah rutin

d. Analisa gas darah

e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan

klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):

Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK

Klasifikasi Gejala Klinis Spirometri

Penyakit

PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk -VEP1 ≥ 80% prediksi

-Dengan atau tanpa produksi (nilai normal spirometri)

sputum -VEP1/KVP < 70%

-Sesak napas derajat sesak 1

sampai derajat sesak 2

PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk -VEP1/KVP < 70%

-Dengan atau tanpa produksi -50% ≤ VEP1 < 80%

Page 12: bab 2 ppok

sputum prediksi

-Sesak napas derajat 3

PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 -VEP1/KVP < 70%

dan 5 -30% ≤ VEP1 < 50%

-Eksaserbasi lebih sering prediksi

terjadi

PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat sesak 4 -VEP1/KVP <70%

dan 5 dengan gagal napas -VEP1 < 30% prediksi,

kronik atau

-Eksaserbasi lebih sering -VEP1 < 50% dengan

terjadi gagal napas kronik

-Disertai komplikasi kor

pulmonale atau gagal jantung

kanan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: bab 2 ppok

2.5.4. Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca

TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal

jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik

dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan

spirometri pada PPOK, asma bronkial dan gagal

jantung kronik

PPOK Asma Bronkial Gagal Jantung Kronik

Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usia

Riwayat Tidak ada Ada Tidak ada

keluarga

Pola sesak Terus menerus, Hilang timbul Timbul pada waktu

napas bertambah berat aktivitas

dengan aktivitas

Ronki Kadang-kadang + ++

Mengi Kadang-kadang ++ +

Vesikular Melemah Normal Meningkat

Spirometri Obstruksi ++ Obstruksi ++ Obstruksi +

Restriksi + Restriksi ++

Reversibilitas < ++ +

Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung

kongestif

Page 14: bab 2 ppok

2.6. PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan

kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut

dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak

napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari

(GOLD, 2009).

Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya

karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru,

pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-

obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes

melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara,

Universitas Sumatera Utara

Page 15: bab 2 ppok

aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot

respirasi) (PDPI, 2003).

Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering

menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999)

terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap. Faktor

risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan

pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari

367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan

perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan

tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.

Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002) mendapatkan

faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir

minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi.

Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum

meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut

Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I

(eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang)

apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila

memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari,

demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan

frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo,

2006).

2.7. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Page 16: bab 2 ppok

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera

eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari

eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya

komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD, 2009). Penanganan eksaserbasi

akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah

sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di

rumah

Universitas Sumatera Utara

Page 17: bab 2 ppok

sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik

rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2003).

2.7.1. Bronkodilator

Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah

short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai,

direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah

efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya

yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial.

Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini

kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting

inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan

long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid

selama eksaserbasi (GOLD, 2009).

Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan

peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang

tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati

dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena

penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan

retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan

bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma.

Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan

nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya

palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).

Page 18: bab 2 ppok

2.7.2. Kortikosteroid

Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi

pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak

diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang

bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah

efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003), kortikosteroid tidak

Universitas Sumatera Utara

Page 19: bab 2 ppok

selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang

dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat

diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan

manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.

2.7.3. Antibiotik

Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada (GOLD,

2009):

a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan

volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak

b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan

purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut

c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi

kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya

per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang

sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan

tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin,

Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol,

Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan

Eritromisin sebagai Makrolid (PDPI, 2003).

Page 20: bab 2 ppok

2.7.4. Terapi Oksigen

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,

bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam

jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat

oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai

pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara

perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat

hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 21: bab 2 ppok

kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan

apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan

PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat,

harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).

2.7.5. Ventilasi Mekanik

Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat

adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala.

Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang

menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik

invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan

NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi.

Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials

pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif

dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV

memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat

keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD, 2009).

2.8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal

napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal

napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan

PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan

Page 22: bab 2 ppok

purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang

berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi

berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,

ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai

oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan

(PDPI, 2003).

Page 23: bab 2 ppok

PPOKNON PPOK

Peradangan pada jalan nafas

Merokok

Polusi udara

Hyperresponsivene

infeksi

Resistensi Jalan Nafas