bab 2 elek2 an
TRANSCRIPT
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENCABUTAN GIGI
Pencabutan gigi merupakan tindakan pengambilan jaringan gigi dari
rongga mulut apabila gigi tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. Pasca
pencabutan gigi akan menyebabkan rusaknya jaringan penyangga disekitar gigi
termasuk sebagian tulang yang menyokong gigi tersebut (Zerb, dkk., 1985).
Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan tanpa menimbulkan rasa sakit
dengan trauma minimal terhadap jaringan disekitar gigi, sehingga bekas
pencabutan dapat sembuh dengan sepurna dan tidak terdapat masalah prostetik
pada masa yang akan datang (Howe, 1999).
Menurut Starshak (1980) dan Kruger (1974), indikasi dilakukannya
pencabutan gigi adalah sebaga berikut :
1. Gigi dengan patologis pulpa, baik akut maupun kronik, yang tidak mungkin
dilakukan terapi endodontik harus dicabut.
2. Gigi dengan karies yang besar, baik dengan atau tanpa penyakit pulpa atau
periodontal, harus dicabut ketika restorasinya akan menyebabkan kesulitan
keuangan bagi pasien dan keluarga.
3. Penyakit periodontal yang terlalu parah untuk dilakuka perawata merupakan
indikasi ekstraksi.
4. Gigi malposisi dan overeruption.
5. Gigi impaksi dalam denture bearing area harus dicabut sebelum dilakukan
pembuatan protesa.
6. Gigi yang mengalami trauma harus dicabut untuk mencegah kehilangan
tulang yang lebih besar lagi.
7. Beberapa gigi yang terdapat pada garisfraktur rahang harus dicabut untuk
meminimalisasi kemungkinan infeksi, penyembuhan yang tertunda atau tidak
menyatunya rahang.
8. Tipe dan desain protesa gigi dapat membutuhkan satu atau beberapa gigi yang
sehat sehingga dapat dihasilkan protesa yang diharapkan.
9. Ekstrasi profilaksis harus diperhatikan.
10. Pasien yang sedang menjalani terapi radiasi.
Ada beberapa kontraindikasi untuk dilakukannya tindakan pencabutan
gigi. Menurut Laskin (1985) kontraindikasi pencabutan gigi adalah sebagai
berikut :
1. Infeksi mulut akut seperti necrotizing ulcerative gingivitis atau herpetic
gingivostomatitis.
2. Gigi pada area yang pernah mengalami radiasi juga tidak boleh dilakukan
pencabutan karena dapat mengakibatkan terjadinya osteonecrosis.
3. Pasien yang memiliki riwayat penyakit sistemik tidak terkontrol seperti
peyakit diabetes mellitus dan blood dyscrasias.
Pada dasarnya hanya ada dua cara pencabutan gigi. Cara pertama yang
sering dilakukan pada kebanyakan kasus, biasanya disebut pencabutan dengan
tang yang masih dibagi menjadi pencabutan dengan tang atau elevator (bein), atau
keduanya. Metode pencabutan gigi yang lain adalah dengan membuang sebagian
tulang yang menutupi akar gigi kemudian pencabutan dilakukan dengan
menggunakan tang atau bein. Teknik ini sering disebut metode bedah (Howe,
1999).
Pencabutan gigi pada dasarnya dapat menimbulkan kerusakan pada
jaringan sekitarnya, kerusakan dapat disebabkan oleh proses trauma saat
dilakukan pencabutan atau karena faktor patologis. Respon dari adanya kerusakan
atau kehilangan jaringan adalah dengan beregenerasi atau mengganti jaringan
yang hilang atau rusak. Proses awal dari regenerasi atau penggantian jaringan
yang rusak adalah melalui proses peradangan (Ardhiyanto, 2007).
2.2 Radang (Inflamasi)
Radang adalah stimulus (rangsangan) eksogen dan endogen yang sama
yang menyebabkan jejas sel juga menimbulkan reaksi kompleks pada jaringan
ikat yang memiliki vaskularisasi yang dinamakan inflamasi (peradangan).
Peradangan dapat didefinisikan sebagai reaksi jaringan terhadap cedera yang
secara khas terdiri atas respons vaskular dan selular, yang bersama-sama berusaha
menghancurkan substansi yang dikenali sebagai zat asing untuk tubuh (Jan
Tambayong, 2000). Dalam arti yang paling sederhana inflamasi adalah suatu
respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel
serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal
(Kumar, Cotran dan Robbins, 2007). Inflamasi merupakan respon protektif
setempat yang ditimbulkan oleh cidera atau kerusakan jaringan yang berfungsi
menghancurkan, mengurangi atau mengurung (sekuestrasi) baik agen cidera
maupun jaringan yang cidera itu (Dorland, 2003). Radang juga merupakan reaksi
jaringan hidup terhadap semua bentuk jejas atau injuri, dalam reaksi ini ikut
berperan pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel-sel tubuh ditempat jejas atau
injury (Sander, 2010). Menurut Katzung (2003) radang ialah suatu proses yang
dinamis dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury (jejas)
yang dilakukan terutama oleh pembuluh darah (vaskuler) dan jaringan ikat
(connective tissue). Jadi radang bukan suatu penyakit melainkan suatu manifestasi
dari suatu penyakit. Radang dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan,
yaitu penghancuran mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada
rongga abses, sehingga akan mencegah penyebaran infeksi.
2.2.1 Jenis Keradangan
1. Radang akut
Radang akut adalah awal atau perubahan dini, terjadi daalam beberapa
jam atau hari dan menunjukkan usaha tubuh untuk menghancurkan atau
menetralkan agen penyebab. Salah satunya adalah trauma mekanis, yang didapat
melalui pencabutan gigi (Lawler, dkk., 1992).
Ciri lokal peradangan akut secara makroskopis adalah sebagai berikut :
a) Rubor (kemerahan)
Kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat, hal ini disebabkan
vasodilatasi dari arteriol yang mensuplai darah ke daerah tersebut, sehingga
banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal (Price dan Wilson, 2005).
b) Kalor (panas)
Panas berjalan bersama kemerahan yang terjadi pada peradagan akut. Daerah
peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, karena lebih
banyak darah (pada suhu 370C) yang disalurkan dari dalam tubuh
kepermukaan lokasi cedera daripada disalurkan ke lokasi yang normal (Price
dan Wilson, 2005).
c) Turgor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh pengirman cairan dan sel-sel dari sirkulasi
darah ke jaringan-jaringan interstisial. Campuran cairan dan sel yang
tertimbun didalamnya disebut eksudat. Eksudat inilah yang menimbulkan
pembengkakan (Price dan Wilson, 2005).
d) Dolor (rasa sakit)
Rasa sakit ditibulkan melalui berbagai cara, pengeluaran zat kimia tertentu
seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.
Selain itu, keradangan mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang
menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 2005).
e) Functio Laesa (perubahan fungsi)
Pada daerah yang bengkak dan sakit disertai dengan sirkulasi yang abnormal
dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal akan berfungsi secara abnormal
(Price dan Wilson, 2005).
2. Radang kronik
Radang kronik merupakan inflamasi memanjang berminggu-minggu,
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Inflamasi kronik ditandai dengan infiltrasi
sel monokuler yang mencakup makrofag, limfosit dan sel plasma, destruksi
jaringan yang sebagian besar diatur oleh sel radang. Radang kronik terjadi jika
radang akut tidak dapat mengatasi agen yang menetap atau karena gangguan
proses penyembuhan (Robbins et al., 2007).
2.3 Penyembuhan Luka
Pencabutan gigi merupakan salah satu luka akibat trauma mekanis yang
dapat menimbulkan keradangan (Yuwono, dkk., 2001). Radang dibagi menjadi
akut dan kronis, tetapi dalam praktek, hal ini dapat tumpang tindih dan keduanya
dapat muncul bersamaan. Radang akut adalah awal atau perubahan dini, terjadi
daalam beberapa jam atau hari dan menunjukkan usaha tubuh untuk
menghancurkan atau menetralkan agen penyebab. Salah satunya adalah trauma
mekanis, yang didapat melalui pencabutan gigi (Lawler, dkk., 1992).
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, yang secara
spesifik terdapat sisa-sisa jaringan yang rusak atau hilang. Keadaan luka pada
rongga mulut sering dijumpai, biasanya disebabkan agen-agen fisik atau kimia
berupa makanan dan minuman panas, benda tajam, dan aspirin (Rosanto et al,
2012). Penyembuhan merupakan suatu proses terjadinya penggantian sel-sel mati
oleh sel hidup. Sel-sel baru ini berasal dari regenerasi sel parenkim atau sel
fibroblas jaringan ikat pembentuk parut (Robbin, et al., 1995).
2.3.1 Proses Penyembuhan Luka
Menurut Saleh (1991), keradangan pada proses penyembuhan berlangsung
melalui suatu proses yang berkesinambungan dan lebih jelas bila proses ini dibagi
menjadi empat tahap, yaitu :
a. Inflamasi traumatis, (sampai hari ke-3). Rusaknya pebuluh darah
menyebabkan terbentuknya koagulum yang mengisi celah antara kedua tepi luka.
Koagulum ini lengkap terbentuk setelah 24 jam, dan akan menutup luka secara
efektif. Akan terjadi vasodilatasi lokal dengan eksudat lekosit dan serum,
sehingga daerah sekitar luka berubah warna menjadi kemerahan, membengkak
serta menjadi panas. Reaksi inflamasi ini merupakan proses fisiologis normal dan
tidak boleh disalah artikan sebagai infeksi.
b. Tahap destruksi, (hari ke-2 hingga ke-5). Lekosit polimorfonuklear dan
makrofag akan menghancurkan bakteri serta jaringan mati. Makrofag juga
merangsang pembentukan fibroblas yang berperan dalam sintesis kolagen.
Pemecahan fibrin dan jaringan nekrosis oleh proses enzimatis akan meningkatkan
osmolalitas, yang bersama-sama dalam peningkatan vaskularisasi akan menambah
pembengkakan didaerah luka.
c. Tahap proliferasi, (hari ke-3 hingga ke-24). Pada tahap ini terbentuk
jaringan granulasi, yang sebenarnya lengkung-lengkung kapiler yang ditunjang
oleh kolagen. Sintesis kolagen oleh fibroblas mencapai puncaknya pada hari ke
lima sampai hari ketujuh. Proses sintesis ini banyak terpengaruh pada
vaskularisasi dan perfusi didaerah luka, dan mencapai hasil optimal dalam
lingkungan yang sedikit asam. Dengan terbentuknya serat-serat kolagen matang
yang saling menjalin, kekuatan luka menahan regangan meningkat secara cepat.
Hal ini karena sintesis kolagen berlangsung dalam kecepatan tetap.
d. Tahap pematangan, (hari ke24 sampai bulan ke-12). Vaskularisasi
berkurang secara progresif, dan jaringan granulasi yang kemerahan serta banyak
mengandung pembuluh darah akan bertukar dengan parut yang lebih datar. Secara
perlahan warna parut akan kembali normal seperti kulit biasa.
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan dipengaruhi oleh faktor lokal dan sistemik. Faktor
lokal seperti kontaminasi mikroorganisme, oklusi merupakan faktor yang sering
menghambat penyembuhan jaringan. Menghilangkan plak dan semua faktor yang
mempermudah retensi plak serta menghilangkan tekanan yang berlebihan, dapat
meningkatkan regenerasi tulang dan menghasilkan perlekatan jaringan baru.
Kelainan sistemik dapat mempengaruhi atau menghambat penyembuhan jaringan
setelah perawatan periodontal; penyembuhan jaringan akan terhambat pada
penderita dengan infeksi menyeluruh, penderita diabetes mellitus, pada keadaan
defisiensi nutrisi tertentu, penderita dengan penyakit infeksi yang melemahkan
tubuh. Faktor hormonal juga berpengaruh; pemberian glukokortikoid seperti
kortison dapat menghalangi proses perbaikan jaringan, menekan reaksi radang
atau menghambat pertumbuhan fibroblas, pembentukan kolagen dan sel endotel.
Stres sistemik, penangkatan kelenjar tiroid, pemberian hormon testosteron,
hormon adenokortikotropik dan estrogen dalam dosis besar, akan menekan
pembentukan jaringan granulasi serta menghambat penyembuhan (Syafril, 1996).
Adapun nutrisi yang berperan dalam proses penyembuhan adalah vitamin C,
vitamin A, vitamin K, seng, zat besi, tiamin, riboflavin, asam pontotenik,
tembaga, dan magnesium (Thompson, 2003).
2.4 Fibroblas
Fibroblas merupakan salah satu sel jaringan ikat dalam rongga mulut yang
paling khas dan berperan penting dalam perkembangan dan pembentukan struktur
jaringan. Fibroblas memiliki sifat serbaguna, yaitu selain fungsi utamanya
membentuk komponen matriks ekstraseluler jaringan ikat (kolagen, elastik, dan
oxytalin) juga berfungsi untuk memproduksi substansi dasar, bisa berproliferasi
dengan cepat, serta memiliki kemampuan berdiferensiasi menjadi sel jenis lainnya
sesuai kebutuhan. Fibroblas adalah sel yang aktif berproliferasi pada keadaan
normal yaitu pada proses remodeling atau dalam proses perbaikan dan
penyembuhan jaringan yang rusak, sedangkan pada saat fibroblas relatif inaktif,
biasanya disebut fibrosit (Purnami, 2003).
Fibroblas menghasilkan komponen ekstrasel, namun ketika sel ini tidak
aktif dalam menghasilkan serat, disebut fibrosit. Sel fibroblas paling banyak
ditemui pada jaringan ikat dan akan berpoliferasi serta lebih aktif mensintesis
komponen matriks sebagai respon terhadap adanya cedera (Fawcett, 2002;
Junqueira, 2007).
2.4.1 Struktur Sel Fibroblas
Menurut Dorland (2002), sel fibroblas merupakan sel pipih memanjang
dengan tonjolan-tonjolan sitoplasmik disetiap ujungnya, memiliki inti yang
vesikular, oval, pipih. Sel fibroblas memiliki dua tahap aktivitas yaitu aktif dan
diam. Sel dengan aktivitas sintetik yang besar secara morfologi berbeda denga sel
fibroblas tenang yang tersebar dalam matriks yang telah dibuatnya (Mescher,
2010).
Sel fibroblas aktif memiliki banyak sitoplasma yang bercabang-cabang
tidak teratur. Intinya lojong, besar dan pucat dengan kromatin halus dan anak inti
yang jelas. Sel fibroblas yang diam atau biasa yang disebut dengan sel fibrosit,
selnya lebih kecil dari pada sel fibroblas yang aktif. Sel fibrosit cenderung
berbentuk gelondong dengan lebih sedikit cabang-cabangdari pada sel fibroblast.
Sel tersebut memiliki inti yang panang, lebih gelap, lebih kecil dan sitoplasmanya
bersifat acidofilik serta mengandung sedikit retikulum endoplasma kasar. Bila
cukup dirangsang, sel fibrosit bisa berubah menjadi sel fibroblas dan aktivitas
sintetiknya diaktifkan kembal(Mescher, 2010).
Menurut Fawcet (2002), sel fibroblas tersebar sepanjang berkas serat
kolagen dan tampak pada sediaan sebagai sel fusiform dengan ujung-ujung
meruncing. Dalam situasi lain, sel-sel mungkin terlihat sebagai sel-sel stelata
gepeng dengan beberapa cabang langsing. Inti panjangnya selalu jelas, namun
garis bentuk selnya sukar dilihat.
2.4.2 Peran Sel Fibroblas pada Proses Penyembuhan Luka
Sel fibroblas berperan penting dalam proses penyembuhan luka. Secara
umum, sel fibroblas berperan dalam membuat serat-serat kolagen, retikulin,
elastin, glikosamioglikan dan glikoprotein. Pada orang dewasa, sel fibroblas
dalam jaringan ikat jarang mengalami pembelahan. Mitosis hanya tampak bila
organisme memerlukan sel fibroblas tambahan pada saat jaringan ikat mengalami
cedera (Mescher, 2010)
Penyembuhan luka akibat pencabutan gigi termasuk penyembuhan luka
dengan intensi sekunder yang terdiri dari empat komponen umum yaitu
angiogenesis, migarisa dan poliferasi sel fibroblas, deposisi ECM, maturasi dan
reorganisasi jaringan fibrosa. Sel fibroblas memiliki peran penting pada proses
fibrosis yang melibatkan dua dari keempat komponen tersebut yaitu migrasi dan
proliferasi sel fibroblas serta induksi proliferasi sel fibroblas dan sel endotel.
Beberapa faktor yang merangsang migrasi, proliferasi dan merangsang sel
fibroblas untuk mensitesis kolagen serta matriks ekstraseluler adalah FGF
(fibroblas growth factor), PDGF (platelet growth factor), dan TGF β
(transforming growth factor) (Chandrasoma, 2005).
Pada saat proses penyembuhan mengalami kemajuan, jumlah sel fibroblas
yang berpoliferasi dan pembuluh darah baru akan berkurang. Namun secara
progresif sel fibroblas akan lebih mengambil fenotip sintesis sehingga terjadi
peningkatan deposisi ekstraseluler matriks. Pada akhirnya, bangunan dasar
jaringan granulasi berkembang menjadi suatu jaringan parut. Saat jaringan parut
menjadi matang, akhirnya regresi pembuluh darah akan mengubah jaringan
granulasi yang sangat banyak pembuluh darahnya menjadi suatu jaringan parut
yang pucat dan sangat avaskular (Robbins, 2007).
2.5 Teh Hijau
Tanaman yang memiliki nama latin Camelia sinensis ini, menurut sejarah
pertama kali dikenal oleh kaisar Shen Nung di Cina pada tahun 2737 sebelum
Masehi dan mulai ditanam di Indonesia sejak tahun 1826. Tanaman teh ini
dipilah-pilah berdasarkan asalnya maka dikenal teh Cina, Srilanka, Jepang,
Indonesia atau teh Afrika. Tetapi teh hijau sendiri banyak dihasilkan dari teh asal
Cina, tepatnya didaerah Ting Ting Taiwan (Kamil dan Badrudin, 2003).
Terdapat beberapa jenis variestas Camelia sinesis yang dikenal yaitu
Camelia sinesis varietas Sinesis (teh cina) dan Camelia sinesis varietas Assamica
(teh asam). Teh yang tumbuh di Indonesia sebagian besar merupakan varietas
Assamica.Varietas Assamica memiliki bentuk daun besar dengan ujung yang
meruncing (Dalimartha, 1999). Teh ini memiliki kelebihan dalam hal kandungan
katekinnya (zat bioaktif utama dalam teh) yang lebih besar. Oleh karena itu, jenis
teh ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bermanfaat
untuk kesehatan (Hartoyo, 2003).
Menurut Syamsul bahri (1996), klasifikasi tanaman teh yaitu :
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub Divis : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)
Kelas : Dicotyledonae (tumbuhan biji belah)
Ordo : Parietales
Sub Ordo : Theineae
Famili : Theaceae
Genus : Camellia
Spesies : Camelia sinesis
2.5.1 Morfologi Daun Teh
Daun berbau khas aromatik dan rasanya agak sepet, tentang uraian
makroskopiknya sebagai berikut :
a. Helai-helai daun dapat dikatakan cukup tebal, kaku, berbentuk melembar dan
memanjang. Panjangnya tidak lebih dari 5 cm, bertangkai pendek.
b. Permukaan daun bagian atas mengkilap, pada daun permukaan bawahnya
berambut.
c. Tepi daun bergerigi, agak tergulung kebawah, berkelenjar yang khas dan
terbenam.
(Kartasapoetra, 1992)
2.5.2 Kandungan Kimia Dan Khasiat Daun Teh
Daun teh mengandung kafein (2-3%), theobromin, theofillin, tanin,
minyak atsiri dan natural flouride (Dalimartha, 1999). Teh juga mengandung
vitamin C dan E, catechin serta sejumlah mineral seperti Zn, Se (Hartoyo, 2003).
1. Catechin.
Kandungan catechin dala teh hijau mempunyai daya antimikroba, bersifat
bakterisid atau bakteriostatik, tergantung konsentrasinya. Pada konsentrasi
hambat minimalnya mampu menghambat aktivitas biolgis S. Mutans (Owen,
dkk., 1997).
2. Tanin.
Tanin berfungsi sebagai astrigent, yakni suatu zat yang mengendapkan
protein dari pada selaput lendir mulut, lidah, kerongkongan, lambung dan
usus, sehingga organ-organ tersebut mengeras secara temporer (Tjiang,
1993).
3. Flouride.
Daun teh diketahui mengandung fluor sebanyak 35 ppm – 339 ppm, yang
telah dikenal turut mejaga kesehatan gigi. Penghambatan fluor S. Mutans
antara lain dengan meghambat terjadinya translokasi gula dalam sel,
menghambat transpor kation dan penimbunannya dalam sel serta
menghambat enzim fosfatase sel (Hartoyo, 2003).
4. Kafein.
Kafein dalam teh mampu mengatasi kelesuan dan kecemasan, adanya
kandungan kafein yang cukup tinggi mampu menekan stress atau kecemasan
dan meningkatkan kerja organ (Tjiang, 1993).
5. Vitamin K.
Kandungan vitamin K yang cukup tinggi pada teh berfungsi dalam
pembekuan darah mampu mencegah perdarahan yang berkepanjangan
(Tjiang, 1993).
6. Vitamin E.
Secara kimiawi, vitamin E adalah alpha tocopherol (Dorland, 1996). Dimana
telah dijelaskan bahwa tocopherol bersama tanin, katekin, dan flouride
berperan dalam mencegah erosi asam pada gigi.
7. Vitamin C.
Vitamin C membantu memperkuat daya tahan tubuh dan memelihara
kesehatan gusi (Hartoyo, 2003).
8. Theobromin.
Digunakan sebagai diuretik, relaksan otot polos dan stimulan miokardium
serta vasodilator (Dorland, 1996).
9. Theofilin.
Merupakan relaksan otot polos, untuk kerja stimulan miokardium,
vasodilatorkoroner, diuretik dan stimulan pusat pernafasan (Dorland, 1996).
10. Selenium (Se).
Unsur pokok yang berkaitan erat dengan vitamin E dalam menjalankan
fungsinya (Dorland, 1996).
11. Zinc (Zn).
Zn penting untuk sintesa protein dan pembelahan sel (Dorland, 1996).
12. Minyak Atsiri.
Bersifat antiseptik yaitu bahan yang dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bakteri (Wiyanti, 2001).
2.6 Hipotesa
Pemberian ekstrak teh hijau dapat meningkatkan jumlah sel fibroblast
pada soket gigi pasca pencabutan.
2.7 Kerangka Konsep Penelitian
Pencabutan Gigi
Kerusakan Akibat Pencabutan
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh dara, sel radang menuju daerah ijuri Fase Inflmasi
Pemberian ekstrak teh hijau
Migrasi sel fibroblas
Pelepasan faktor pertumbuhan (TGF β1)
Fase Epitelisasi
Fase fibroblastik
Fase remodelling
Keterangan Kerangka Konseptual
Pencabutan gigi menyebabkan kerusakan jaringan disekitarnya
(Ardhiyanto, 2007). Proses penyembuhan luka diawali dengan respon inflamasi,
epitelisasi, fibroblasik, dan remodeling (Sabiston, 1995). Adanya kerusakan yang
terjadiakan menimbulkan respon berupa inflamasi. Respon tersebut ditandai denga
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga sel radang
dapat menuju daerah injuri (Peterson et al., 1998). Pada fase inflamasi terjadi dari
hari ke-0 sampai hari ke-5.
Fase epitelisasi ditandai dengan adanya epitel yang menutupi luka, selapis
tipis epitel akan terbentuk dalam waktu 48 jam (Sabiston, 1995). Fase fibroplasia
juga dimulai pada minggu pertama diawali pada hari ke-3 dengan pertumbuhan
dari sel fibroblas dan pembuluh darah kapiler. Sel fibroblas akan meningkat
secara signifikan pada hari ke-3 sampa hari ke-7. Pada fase ini, sel fibroblas akan
menghasilkan kolagen yang sangat diperlukan untuk memperkuat luka. Kekuatan
dari luka akan meningkat dengan cepat selama tahap fibroplastik sekitar 2-3
minggu. Tahap remodeling merupakan tahap akhir dari penyembuhan luka.
Selama tahap ini, serabut kolagen baru yang lebih kuat untuk menahan luka dari
tekanan. Pada akhir tahap remodeling akan terjadi konstraksi dari luka. Selama
konstraksi luka, tepi dari luka akan menutup satu sama lain sehingga ukuran luka
mengecil (Peterson et al., 1998).
Ekstrak teh hijau diberikan sesaat setelah pencabutan, diharapkan dapat
mempercepat proses penyembuhan luka. Telah diketahui bahwa kandungan yang
terdapat dalam teh hijau dapat merangsang pelepasan faktor pertumbuhan (TGF
β1) sehingga meningkatkan migrasi dari beberapa sel termasuk myofibroblas,
fibroblas dan makrofag pada daerah luka serta dapat meningkatkan pembentukan
kolagen (Wijayanto, 2009).