bab 1 goiter
DESCRIPTION
persentasi kasus goiter menganalisa pasien dengan kasus tiroid srta kelainan-kelainannyaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan kelenjar tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.1
Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi struma toksik (perubahan fungsi fisiologis
kelenjar tiroid “hipertiroid”) dan struma non toksik (eutiroid). Struma toksik sendiri dibagi
menjadi struma diffusa toksik (Graves disease) dan struma nodusa toksik (Plummer’s disease).
Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma
diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. 1
Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua terbesar setelah
diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease) merupakan penyebab hipertiroid
terbanyak pertama kemudian disusul oleh Plummer’s disease, dengan perbandingan 60% karena
Graves disease dan 40% karena Plummer’s disease. 1
Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun 1825, kemudian
Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun 1840. Distribusi jenis kelamin dan
umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari berbagai klinik. Perbandingan wanita dan
laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS.
Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1.
Hipertiroidisme relatif jarang terjadi pada anakanak, kebanyakan disebabkan oleh
penyakit graves. Perempuan lebih sering menderita Graves disbanding laki-laki, dengan
Nur Ajiyanti Sabirina 1
perbandingan 3-6 : 1. Insiden semakin meningkat pada usia dewasa muda, dan paling banyak
pada usia 10-15 tahun. Di USA prevalensi penyakit Graves pada orang dewasa diperkirakan
0,02%, dan 95% diantaranya sebagai penyebab terjadinya hipertiroidisme. Penyakit Graves
ternyata berhubungan dengan HLA-B8 dan HLA-DR3. Kembar monozigot menunjukkan
keterkaitan dengan penyakit ini, sehingga memberikan dugaan bahwa pengaruh lingkungan dan
genetik berperan pada penyakit Graves. Penyakit Graves juga lebih sering terjadi pada pasien
dengan trisomi 21 daripada pasien tanpa trisomi 21. 3
Pengobatan penderita hipertiroid sangat komplek, dan masih banyak perbedaan pendapat
dari para ahli tentang cara terbaik dalam pengobatan. Faktor seks, umur, berat ringannya
penyakit, penyakit lain yang menyertainya, penerimaan penderita serta pengalaman dari
pengelolah harus dipertimbangkan. Berdasarkan uraian di atas penulis ingin membahas lebih
dalam mengenai GD.2
Nur Ajiyanti Sabirina 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Graves disease (GD) adalah penyakit otoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan
jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang dikenal
sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan kulit.
Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada
segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau
lebih dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exopthalmus), dermopathy (pretibial
myxedema).4
2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
GD merupakan suatu penyakit otoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibodi yang
menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul secara
tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid
(TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid sintesis dan
sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid (menyebabkan gondok membesar difus).3
Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies pada
penderita GD yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada sel tiroid yang
menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid. Beberapa penulis mengatakan bahwa penyakit
ini disebabkan oleh multifaktor antara genetik, endogen dan faktor lingkungan.3
Nur Ajiyanti Sabirina 3
Terdapat beberapa faktor predisposisi:3
2.2.1 Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum untuk
terkena Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 (6p21.3)
ekspresinya mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA
terutama klas II yang berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap
reseptor limfosit T (T lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat antigen. Interaksi ini
merangsang aktivasi T helper limfosit untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit
atau faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-β) mempunyai aktifitas yang
rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat membedakan mana T helper mana
yang disupresi sehingga T helper yang membentuk antibodi yang melawan sel induk akan
eksis dan meningkatkan proses autoimun.
2.2.2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh estrogen.
Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan fragmen pada
reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH.
2.2.3. Status gizi
Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi timbulnya
penyakit autoantibodi tiroid.
2.2.4. Stress
Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.
2.2.5. Merokok
Nur Ajiyanti Sabirina 4
Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium.
2.2.6. Infeksi
Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai protein
antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid
diduga dapat mempromosi timbulnya penyakit Graves terutama pada penderita yang
mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR atau
perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar tiroid karena mutasi
atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi menjadi penyebab
timbulnya autoantibodi terhadap tiroid dan perkembangan penyakit ini.
2.2.7. Periode post partum
Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.
2.2.8. Pengobatan sindroma defisiensi imun (HIV)
Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral theraphy (HAART)
berhubungan dengan penyakit ini dengan meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.
2.3.ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang memproduksi
hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengkonsentrasikan iodin yang digunakan
untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri-iodotironin
(T3). Kelenjar paratiroid menempel pada tiroid dan memproduksi hormon paratiroid
(Parathormon ; PTH). PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan fosfat. Sel-Sel
Nur Ajiyanti Sabirina 5
parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini memproduksi kalsitonin
yang menghambat resorpsi kalsium tulang
Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C yang mensintesis
kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. T3 selain disekresi
oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari T4 di jaringan perifer. T3 dan T4
disimpan terikat pada 3 protein yang berbeda : glikopreotein tiroglobulin di dalam koloid dari
folikel, prealbumin pengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit T3 dan T4 yang tidak
terikat terdapat dalam sirkulasi darah.4
Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating hormone) dan
adenohipofisis. Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-releasing
hormone) dari hipothalamus. TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada
kelenjar tiroid. TSH mengontrol produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi oleh
T3, peningkatan konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi respons adenohipofisis
terhadap TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan sebagai
akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga dapat dimodifikasi
tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga melalui pengaruh persarafan.
Nur Ajiyanti Sabirina 6
Gambar 1. Fisiologi kelenjar tiroid
Paulev and Zubieta. Thyroid Hormones and Disorders. Tanggal 20 April 2013 available from
http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html
Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh hormon TSH
(Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar hopofisis. Sekresi TSH diatur
oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui pengaruh umpan balik negatif dan juga oleh
Thyrotrophin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang tinggi
akan menekan sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4 menurun.
Sebaliknya kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH sehingga
meningkatkan produksi T3 dan T4.
Nur Ajiyanti Sabirina 7
Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini diketahui bahwa
hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, pada metabolisme karbohidrat,
protein dan kolesterol serta proses pertumbuhan. Hormon tiroid juga berhubungan erat dengan
fungsi katekolamin dalam tubuh.5
2.3.1. Pembentukan kalori
Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan komsumsi oksigen pada hampir semua
jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada otak, hipofisis anterior, limpa
dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya taraf metabolisme, maka kebutuhan tubuh akan
semua zat makanan juga bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses termogenesis,
yaitu dengan meningkatkan produksinya pada suhu dingin, yang berarti memperbanyak
pembentukan kalori selain dari adanya vasodilatasi perifer dan bertambahnya curah
jantung.
2.3.2. Metabolisme karbohidrat
Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat dari usus dan efek
ini tidak bergantung pada pada efek kalorigeniknya. Pada keadaan hipertiroidisme,
simpanan glikogen hati sangat sedikit karena proses katabolisme yang tinggi disertai
bertambahnya sekresi katekolamin (adrenalin). Oleh karena itu pada penderita
hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi glukosa oral yang sangat
khas.
2.3.3. Metabolisme protein
Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan efek anabolik berupa
sintesis RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya pada kadar yang berlebihan, justru
akan terjadi hambatan sintesis RNA, sehingga terjadi keseimbangan nitrogen negatif.
Nur Ajiyanti Sabirina 8
Pada kadar sangat tinggi, tiroksin dapat menimbulkan uncoupling pada proses fosforilasi
oksidatif, sehingga ATP berkurang dan pembentukan panas bertambah.
2.3.4. Metabolisme lemak dan kolesterol
Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan
lemak. Disamping itu juga terdapat rangsangan terhadap sel hati untuk metabolisme dan
sintesis kholesterol. Adanya penurunan kadar kholesterol disebabkan oleh proses
metabolisme melebihi proses sintesisnya.
2.3.5. Pertumbuhan
Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat dengan pengaruhnya
terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
2.3.6. Sistem saraf
Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi katekolamin yang
meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio retikularis menjadi lebih aktif.
Refleks tendon dalam (deep reflex tendon) juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh lebih
cepat daripada normal.
2.4.PATOFISIOLOGI
Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari
hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula peningkatan produksi
triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan perifer.2
Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan, proses
oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini
Nur Ajiyanti Sabirina 9
berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui mekanisme transport asam amino dan
elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel dan
peningkatan proses-proses intraseluler.2
Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolisme jaringan, sintesa protein dan
lain-lain akan terpengaruh, keadaan ini secara klinis akan terlihat dengan adanya palpitasi,
takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat, nafsu makan yang meningkat, berat
badan yang menurun. Kadang - kadang gejala klinis yang ada hanya berupa penurunan berat
badan, payah jantung, kelemahan otot serta sering buang air besar yang tidak diketahui
sebabnya.2
Gambar 2. Patofisiologi Garave Disease
Paulev and Zubieta. Thyroid Hormones and Disorders. Tanggal 20 April 2013 available from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html.
Nur Ajiyanti Sabirina 10
2.5. Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit dibedakan
dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena timbulnya
hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa salah satu dari
meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok
penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol yaitu:2
− Nervositas
− Kelelahan atau kelemahan otot-otot
− Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik
− Diare atau sering buang air besar
− Intoleransi terhadap udara panas
− Keringat berlebihan
− Perubahan pola menstruasi
− Tremor
− Berdebar-debar
− Penonjolan mata dan leher
Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa tahun
sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari
penyakitnya.2
Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang penderita tegang
disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata, telapak tangan basah
dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi
Nur Ajiyanti Sabirina 11
yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar tanda-tanda klinis tersebut
sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan.2
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormon tiroid tak dapat
dilakukan, penggunaan indeks Wayne atau Indeks New Castle sangat membantu menegakkan
diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila basil BMR > ± 30, sangat
mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.3
Tabel 1. Indeks Wayne
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002
Nur Ajiyanti Sabirina 12
Tabel 2. Indeks New Castle
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon timid (thyroid function
test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41). Adapun
pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi
tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test
penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid
(thyroid scanning) Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan diagnosis GD, yakni :
Nur Ajiyanti Sabirina 13
adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai penyakit yang
berhubungan dengan otoimun, di samping itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau
miksedem pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid.
Pemeriksaan penunjang:
Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea, dan
mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar.
Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium berfungsi
untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.
USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada pasien
hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium
CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari tiroid
maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada penyempitan, deviasi dan
invasi).
MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid)
Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai terapi.
2.6. Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan penderita hipertiroidi meliputi:2
2.6.1. Pengobatan Umum
2.6.1.1. Istirahat
Nur Ajiyanti Sabirina 14
Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin meningkat.
Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang melelahkan/mengganggu pikiran balk di
rmah atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.
2.6.1.2. Diet
Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara lain karena :
terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang negatif dan keseimbangan
kalsium yang negatif.
2.6.1.3. Obat penenang
Mengingat pada GD sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat diberikan. Di
samping itu perlu juga pemberian psikoterapi.
2.6.2. Pengobatan Khusus
2.6.2.1. Obat antitiroid
Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium, perchlorat
dan thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan thionammide adalah propylthiouracyl
(PTU), 1 - methyl – 2 mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, MMI), carbimazole. Obat ini
bekerja menghambat sintesis hormon tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan
menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta
menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif. PTU juga
menghambat perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga
pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan.
Nur Ajiyanti Sabirina 15
Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok sehingga pengaruh
pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di plasma. MMI dan
carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya satu
persepuluhnya.
Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg
per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal setiap
24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi
akan memberi remisi yang lebih besar.
Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU dengan MMI/CBZ, antara lain
adalah :
2.6.2.1.1. MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama dibanding PTU di
clalam kelenjar tiroid. Waktu paruh MMI ± 6 jam sedangkan PTU + 11/2 jam.
2.6.2.1.2. Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik dibanding PTU.
2.6.2.1.3. MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat pada albumin
serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier plasenta dan air susu sehingga
untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.
Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24 bulan) dan
dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang bertahan
cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak atau hanya sedikit memberikan perbaikan, maka
harus dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat menggagalkan pengobatan (tidak teratur
minum obat, struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium sebelumnya atau dosis
kurang).
Nur Ajiyanti Sabirina 16
Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat
ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis yang
sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic jaundice dan kadang-
kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada penderita umur di atas 40
tahun yang menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi berupa arthralgia,
demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema, limfadenopati, hipoprotombinemia,
trombositopenia, gangguan gastrointestinal.
2.6.3. Yodium
Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut tetapi dalam masa 3
minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism dari kelenjar yang
bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi penimbunan
hormon dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala hipertiroidi
menghebat. Pengobatan dengan yodium (MJ) digunakan untuk memperoleh efek yang cepat
seperti pada krisis tiroid atau untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya
digunakan dalam bentuk kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis
terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan. Marigold dalam penelitiannya
menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang diberikan 10 hari
sebelum dan sesudah operasi.
2.6.4. Penyekat Beta (Beta Blocker)
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya hipersensitivitas pada
sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat meningkatnya
Nur Ajiyanti Sabirina 17
kepekaan reseptor terhadap katekolamin. Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik
diperkirakan akan menghambat pengaruh hati. Reserpin, guanetidin dan penyekat beta
(propranolol) merupakan obat yang masih digunakan. Berbeda dengan reserpin/guanetidin,
propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam
setelah pemberian akan tampak penurunan gejala.
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghambat konversi T4 ke
T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6 jam hipertiroid dapat
kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai
persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi. Penggunaan propranolol
antara lain sebagai: persiapan tindakan pembedahan atau pemberian yodium radioaktif,
mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid.
2.6.5. Ablasi kelenjar gondok
Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau pemberian I131.
2.6.5.1. Tindakan pembedahan
Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka yang berusia muda
dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan pembedahan berupa tiroidektomi
subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan
dengan I131 (wanita hamil atau yang merencanakan kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain
adalah mereka yang sulit dievaluasi pengobatannya, penderita yang keteraturannya minum obat
tidak terjamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan mereka yang ingin cepat
eutiroid atau bila strumanya diduga mengalami keganasan, dan alasan kosmetik. Untuk persiapan
pembedahan dapat diberikan kombinasi antara thionamid, yodium atau propanolol guna
Nur Ajiyanti Sabirina 18
mencapai keadaan eutiroid. Thionamid biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi,
kemudian dilanjutkan dengan pemberian larutan Lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi.
Propranolol dapat diberikan beberapa minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan
Yodium dapat diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai
keadaan eutiroid yang permanen. Dengan penanganan yang baik, maka angka kematian dapat
diturunkan sampai 0.
2.6.5.2. Ablasi dengan I131
Sejak ditemukannya I131 terjadi perubahan dalam bidang pengobatan hipertiroid.
Walaupun dijumpai banyak komplikasi yang timbul setelah pengobatan, namun karena harganya
murah dan pemberiannya mudah, cara ini banyak digunakan.
Tujuan pemberian I131 adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang hiperfungsi. Sayangnya
I131 ini temyata menaikan angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok (30 — 70% dalam jollow
up 10 — 20 tahun) tanpa ada kaitannya dengan besarnya dosis obat yang diberikan. Di samping
itu terdapat pula peningkatan gejala pada mata sebanyak 1 — 5% dan menimbulkan
kekhawatiran akan terjadinya perubahan gen dan keganasan akibat pengobatan cara ini,
walaupun belum terbukti.
Penetapan dosis 1131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya kelenjar
gondok. Dosis yang dianjurkan ± 140 — 160 micro Ci/gram atau dengan dosis rendah ± 80
micro Ci/gram.
Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan antara lain: dosis optimum yang
diperlukan kelenjar tiroid, besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi, efektivitas I131 di dalam
jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid terhadap I131. 11
Nur Ajiyanti Sabirina 19
2.7. Pengobatan dengan Penyulit
2.7.1. Graves Disease dan Kehamilan
Angka kejadian GD dengan kehamilan ± 0,2%. Selama kehamilan biasanya GD
mengalami remisi, dan eksaserbasi setelah melahirkan.
Dalam pengobatan, yodium radioaktif merupakan kontraindikasi karena pada bayi dapat
terjadi hipotiroidi yang ireversibel. Penggunaan propranolol masih kontroversi. Beberapa peneliti
memberikan propranolol pada kehamilan, dengan dosis 40 mg 4 kali sehari tanpa menimbulkan
gangguan pada proses kelahiran, tanda-tanda teratogenesis dan gangguan fungsi tiroid dari bayi
yang baru dilahirkan. Tetapi beberapa peneliti lain mendapatkan gejala-gejala proses kelahiran
yang terlambat, terganggunya pertumbuhan bayi intrauterin, plasenta yang kecil, hipoglikemi
dan bradikardi pada bayi yang baru lahir.
Umumnya propranolol diberikan pada wanita hamil dengan hipertiroid dalam waktu
kurang dari 2 minggu bilamana dipersiapkan untuk tindakan operatif.
Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antitiroid dan pembedahan. Untuk
menentukan pilihan tergantung faktor pengelola maupun kondisi penderita. PTU merupakan obat
antitiroid yang digunakan, pemberian dosis sebaiknya serendah mungkin. Bila terjadi efek
hipotiroid pada bayi, pemberian hormon tiroid tambahan pada ibu tidak bermanfaat mengingat
hormon tiroid kurang menembus plasenta.
Pembedahan dilakukan bila dengan pemberian obat antitiroid tidak mungkin. Sebaiknya
pembedahan ditunda sampai trimester I kehamilan untuk mencegah terjadinya abortus spontan
.
Nur Ajiyanti Sabirina 20
2.7.2. Eksoftalmus
Pengobatan hipertiroid diduga mempengaruhi derajat pengembangan eksofalmus. Selain
itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi antara lain: istirahat dengan berbaring terlentang,
kepala lebih tinggi; mencegah mata tidak kering dengan salep mata atau larutan metil selulose
5%; menghindari iritasi mata dengan kacamata hitam; dan tindakan operasi; dalam keadaan yang
berat bisa diberikan prednison peroral tiap hari.
2.7.3. Krisis Tiroid
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang sekonyong-konyong menjadi
hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat
dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan tindakan pembedahan. Prinsip pengelolaan hampir sama,
yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi yang terjadi. Untuk
mengendalikan tirotoksikosis dapat digunakan terapi kombinasi dengan dosis tinggi misalnya
PTU 300 mg tiap 6 jam, KJ 10 tetes tiap 6 jam, propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV 2 — 4 mg tiap
4 jam) dan dapat diberikan glukokortikoid (hidrokortison 300 mg). Sedangkan untuk mengatasi
komplikasinya tergantung kondisi penderita dan gejala yang ada. Tindakan harus secepatnya
karena angka kematian penderita ini cukup besar.
BAB III
KESIMPULAN
Nur Ajiyanti Sabirina 21
Adapun kesimpulan pada referat ini adalah :
3.1. Graves Disease adalah penyakit otoimun dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan
jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang
dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan
kulit.
3.2. Angka kejadian Graves Disease pada wanita sebanyak 5 kali lipat daripada laki-laki
dengan usia bervariasi antara 20-40 tahun (perempuan: laki-laki dari kejadian 5:01-10:01).
3.3. Patogenesis Graves Disease, diduga peningkatan kadar hormon tiroid ini disebabkan oleh
suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan kelenjar timid hiperaktif.
3.4. Penegakan diagnosis meliputi anamnesia (keluhan yang berhubungan dengan
tirotoksikosis), pemeriksaan fisik ditemukan gejala utama berupa goiter, opthalmopati, &
dermopati, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (peningkatan kadar
T3 dan T4) dan pemeriksaan radiologi yang meliputi foto polos leher, radio active iodine
(RAI), USG, CT scan, dan MRI.
3.5. Pengobatan Graves Disease terdiri dari pengobatan umum (istirahat, diet, dan obat
penenang), pengobatan khusus (obat antitiroid, yodium, penyekat beta, dan ablasi kelenjar
gondok), dan pengobatan dengan penyulit (kehamilan dengan Graves disease, eksoftalmus,
dan krisis tiroid).
DAFTAR PUSTAKA
1. Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas Mulawarman. Samarinda.
Nur Ajiyanti Sabirina 22
2. Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
3. Gold J, Nejad S. Hipertiroidisme.eMedicine.2004
4. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002,
PIKKI, Jakarta, 2002
5. Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC.
Jakarta.
6. Paulev and Zubieta. Thyroid Hormones and Disorders. Tanggal 20 April 2013 available
from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html.
Nur Ajiyanti Sabirina 23