bab 1 anastesi

26
BAB 1 PENDAHULUAN Seperti diketahui oleh masyarakat bahwa setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti tin- dakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Featherstone, 2011). Dalam ilmu anestesi terdapat tiga hal yang mendasari, yang biasa disebut dengan trias anestesi, yaitu analgesia, hypnosis dan areflexia atau relaksasi. Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis,

Upload: nanana0812

Post on 26-Jan-2016

217 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

PENDAHULUAN ANESTESI

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 ANASTESI

BAB 1

PENDAHULUAN

Seperti diketahui oleh masyarakat bahwa setiap pasien yang akan menjalani

tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi

(pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi,

kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa

sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang

menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh

Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846 (Featherstone, 2011).

Dalam ilmu anestesi terdapat tiga hal yang mendasari, yang biasa disebut dengan trias

anestesi, yaitu analgesia, hypnosis dan areflexia atau relaksasi. Analgetik adalah suatu

senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Nyeri

timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis,

kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu

pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya

mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum

analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik

narkotik (opioid) (Muhardi dan Susilo, 1989).

Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan

pasien dengan nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan Papaver somniferum atau

opium yang diekstrak dan digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir

dan Mesopotamia. Kata opium sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti jus.

Page 2: BAB 1 ANASTESI

Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang pertama kali adalah pada salah satu teks

kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM (Muhardi dan Susilo, 1989).

Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang

dapat menduduki reseptor opioid di tubuh manusia. Istilah opiat digunakan untuk

semua obat yang diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada

reseptor opioid.

Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk

menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk

menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti candu, morfin, heroin dan

kodein diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara

Timur Tengah dan Asia (Sardjono, 1995).

Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan

morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi

dengan sediaan yang sudah ada kiranya penanganan nyeri yang membutuhkan obat

opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada

kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat (Sunatrio, 1994).

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Page 3: BAB 1 ANASTESI

Opioid adalah semua zat baik alami atau sintetik yang dapat berikatan dengan

reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering

digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri

paska pembedahan (Latief et al, 2001).

2.2 Klasifikasi Opioid

Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-

morfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti

morfin. Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat

(morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi

relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi

yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak

dibandingkan dengan opioid lemah (Sardjono, 1995). Penggolongan opioid lain

adalah :

a). Natural opiates alkaloid

- Morfin

- Kodein

- Theibaine

- Papaverine

- Noscapine

b). Semisintetik opioid

- Hidromorphone

- Hidrocodone

Page 4: BAB 1 ANASTESI

- Oxycodone

- Oxymorphone

- Desomorphone

- Diacetylmorphine (heroin)

- Nocimorphine

- Dexrtomethorphan

c). Sintetik opioid

- Fentanyl

- Petidhine

- Methadone

- Tramadol

- Meperidine

Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat opioid

dapat digolongkan menjadi (Latief et al, 2001 ; Sardjono, 1995):

1. Agonis opioid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor κ. Contoh morfin, papaveretum,

petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,

alfaprodin.

2. Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan

pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh: nalokson.

Page 5: BAB 1 ANASTESI

3. Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis

pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain,

contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.

2.3 Mekanisme Kerja

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf

pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus,

hipothalamus corpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu

substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan

polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) yang berinteraksi dengan

reseptor morfin akan menimbulkan efek.

Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat

diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain (Sardjono, 1995 ; Samekto,

2002):

a. Reseptor µ (mu) :

µ -1, analgesia supraspinal, sedasi.

µ -2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik,

kekakuan otot.

b. Reseptor δ (delta) : analgesia spinal, epileptogen.

c. Reseptor κ (kappa) :

κ -1, analgesia spinal.

Page 6: BAB 1 ANASTESI

κ -2 tak diketahui.

κ -3 analgesia supraspinal.

d. Reseptor σ (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.

e. Reseptor ε (epsilon) : respon hormonal.

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan

tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan

campuran.

Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor, oleh

karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada

menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang

bersangkutan.

Secara umum, efek obat-obat opioid antara lain (Samekto dan Abdul, 2002):

1. Efek Sentral

a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid

(efek analgesi).

b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.

c.Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).

d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).

e.Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien

merasakan sebaliknya (efek disforia).

f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).

Page 7: BAB 1 ANASTESI

g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada

akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik).

h. Menyebabkan miosis (efek miotik).

i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).

j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian

dosis yang berkepanjangan.

2. Efek Perifer

a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.

b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus

(konstipasi spastik).

c. Kontraksi sfingter saluran empedu.

d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.

e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.

f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan

histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

2.4 Obat Opiat Yang Umum Digunakan

2.4.1 Golongan Agonis Kuat :

1. Morfin

Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial

lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver

somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan

Page 8: BAB 1 ANASTESI

opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting) (Latief, 2001 ;

Sardjono, 1995; Katzung, 2007).

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif

selektif, yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba,

rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi nyeripun

tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme (Sardjono,

1995 ; Samekto dan Abdul, 2002):

a. morfin meninggikan ambang rangsang nyeri

b. morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah

reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri

diterima oleh korteks serebri dari thalamus

c. morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang

nyeri meningkat.

Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang

mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai

dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia,

sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk

stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal,

konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH) (Sardjono, 1995 ;

Katzung, 2007).

Page 9: BAB 1 ANASTESI

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit

yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi

usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada

efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang

sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi

morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam

tinja dan keringat (Sardjono, 1995).

Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan

atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik

non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin

sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard (2)

Neoplasma (3) Kolik renal atau kolik empedu (4) Oklusi akut pembuluh darah

perifer, pulmonal atau koroner (5) Perikarditis akut, pleuritis dan

pneumotorak spontan (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur

dan nyeri pasca bedah (Sardjono, 1995 ; Muhardi dan Susilo, 1989).

Efek Samping

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi

depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia,

Page 10: BAB 1 ANASTESI

pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan

hipotensi (Latief, 2001 ; Sardjono, 1995 ; Samekto, 2002).

Dosis dan sediaan

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam

bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk

menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB.

Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai

yamg diperlukan (Latief, 2001 ; Sardjono, 1995).

2. Petidin

Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya

sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek

samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-

fenilpiperidin-4-karboksilat (Sardjono, 1995).

Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis

reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan

efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu

paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin,

tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5

Page 11: BAB 1 ANASTESI

jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri

neuropatik (Sardjono, 1995 ; Katzung, 2007).

Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut (Latief et

al, 2001):

1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut

dalam air.

2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam

meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit

yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek

analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli

ditemukan dalam urin.

3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan

pandangan dan takikardia.

4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter

oddi lebih ringan.

5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang

tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada

dewasa. Morfin tidak.

6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik

Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik.

Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM.

Page 12: BAB 1 ANASTESI

Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang

dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV,

kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,

kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin

dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati.

Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang

kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh

sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin

ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi (Sardjono, 1995 ;

Samekto, 2002).

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik

otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda

persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi

pada kelahiran (Omorgui, 1997).

Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada

beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya

yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk

menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk

menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin

kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin (Sardjono, 1995 ;

Samekto, 2002).

Page 13: BAB 1 ANASTESI

Dosis dan sediaan

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml,

25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian

besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan

anak ; 1-1,8 mg/kg BB (Samekto, 2002 ; Omorgui, 1997).

Efek samping

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa

pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah,

gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi (Omorgui, 1997).

3. Fentanil

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x

morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin.

Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan (Latief,

2001 ; Sardjono, 1995).

Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai

suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin.

Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid

Page 14: BAB 1 ANASTESI

yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan

opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan

itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang

tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada

terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk

menimbulkan neureptanalgesia (Sardjono, 1995 ; Omorgui, 1997).

Farmakokinetik

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif

hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika

pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-

dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan

lewat urin (Omorgui, 1997).

Indikasi

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-

3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya

dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.

Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan

pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis

rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml

(Samekto dan Abdul, 2002 ; Omorgui, 1997).

Efek samping

Page 15: BAB 1 ANASTESI

Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang

sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah

peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan

kortisol (Samekto dan Abdul, 2002 ; Omorgui, 1997).

Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang

dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat

dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya

relatif tidak tergantung dengan durasi infusnya (Omorgui, 1997).

BAB III

KESIMPULAN

1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin,

dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya

Page 16: BAB 1 ANASTESI

peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya

penyalahgunaan obat.

2. Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara

lain adalah morfin, petidin, fentanil.

3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan

reseptor morfin, opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering

digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan

nyeri paska pembedahan.

4. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat opioid

dapat digolongkan menjadi : agonis opioid, antagonis opioid, agonis-antagonis

(campuran) opioid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi dan Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi

dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. 1989. hal : 199.

Page 17: BAB 1 ANASTESI

2. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi.

Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. Juni. 2001.

hal : 77-83, 161.

3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. Farmakologi dan Terapi. Bagian

Farmakologi FK-UI. Jakarta. 1995. hal : 189-206.

4. Samekto Wibowo dan Abdul Gopur. Farmakoterapi Dalam Neuorologi, Penerbit

Salemba Medika. 2002. hal : 138-143.

5. Sunatrio S. Ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, Majalah

Kedokteran Indonesia. Vol : 44. Nomor : 5, Mei 1994. hal : 278-279.

6. Omorgui, S. Buku Saku Obat-obatan Anastesi. Edisi II. EGC. Jakarta. 1997. hal :

203-207.

7. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology 10th ed. New York: Lange Medical

Books/ Mc-Graw-Hill;2007.

8. Featherstone P. 2011. www.histansoc.og.uk. Di akses tanggal 12 september 2015