asma

Upload: astrirahma

Post on 08-Mar-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Definisi asma secara lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global Initiative for Ashma).

TRANSCRIPT

Design

BAB III

PEMBAHASAN 3.1. Definisi

Definisi asma secara lengkap yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global Initiative for Ashma). Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episod wheezing yang berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya malam / dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan penyempitan saluran respratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagai bersifal reversible baik secara spontan maupung dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubung dengan hiperr aktivitas saluran respratorik terhadap berbagai rangsangan. (6)Pedoman nasional asma anak juga menggunakan definis yang praktif dalam bentuk definisi operasional yaitu wheezing dan atau batuk dengan koordinasi sebagai berikut (6) :

Timbul secara episodik dan atau kronik

Cenderung pada malam/dini hari (nocturnal)

Musiman

Ada faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik.

Bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan.

Adanya riwayat asma atau pil lain pada pasien atau keluarganya.

Asma selalu dihubungkan dengan gangguan pada Mediator otot polos di saluran napas dan kelainan struktur anatomi mukosa saluran napas. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ditemukan bahwa sistem mediator imune, seperti hanlnya leukotrien, prostatglandin, faktor pengaktivasi platelete, serta beberapa faktor seperti histamine, dan bronkokonstriktor lainnya juga mampu meningkatkan kepekaan sistem mediator imun pada saluran napas, sehingga menimbulkan kontraksi otot polos pada bronkus ( 1,4,7,9). Meskipun begitu penyebab terjadinya asma di kategorikaan menjadi penyebab alergi dan non alergi, tetapi tidak menutup kemungkinan bisa disebabkan kedua faktor tersebut. (9) Pada kasus ini dijumpai tanda tanda atau keluhan pasien berupa sesak nafas.,didapatkan suara napas wheezing, timbul secara episodik dan atau kronik cenderung pada malam hari (nokturnal), musiman bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, batuk berulang. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, ditemukan adanya suara napas tambahan berupa wheezing pada saat ekspirasi berulang. Tanda tanda tersebut telah memenuhi kriteria asma bronkial berdasarkan pada landasan teori yang telah dikemukakan di atas.3.2. EtiologiAsma bronkial merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor otonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat pada individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai suatu keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Faktor humoral membantu bronkodilatasi termasuk katekolamin endogen yang bekerja pada reseptor adrenergik-B yang mengakibatkan terjadinya relaksasi otot polos bronkus. Asma dapat disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat siklase adrenergik-, dengan penurunan reseptor adrenergik- pada leukosit penederita asma. (7)Selain hal-hal tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang juga turut berperan sebagai etiologi penyakit ini, diantaranya yaitu (1,6,7,12,13,14) : Faktor-faktor imunologis

Penderita yang dikategorikan dalam penderita asma ekstrinsik atau alergik, eksaserbasi terjadi setelah adanya paparan dari faktor lingkungan seperti debu rumah, serbuksari bunga, dan ketombe. Hal itu seringkali akan menungkatkan kadar imunoglobulin E (IgE) total maupun IgE spesifik pada penderita terhadap antigen-antigen tersebut. Asma yang tergolong kategori ini, sering dijumpai pada anak-anak dengan kisaran usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul lambat) yang disebut juga asma intrinsik.

Faktor endokrin

Asma bronkial dapat menjadi lebih buruk pada pasien dengan keadaan hamil dan menstruasi, terutama pada premenstruasi atau pada wanita yang menopause. Sedangkan pada anak dengan masa pubertas, keadaan asma cenderung akan lebih baik. Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor endokrin pada etiologi dan patogenesis asma bronkial.

Faktor psikologis

Faktor emosi dapat memicu timbulnya gejala-gejala asma pada beberapa anak dan dewasa. Gangguan emosi dan tingkah laku terkait dengan terapi asma pada penderita.

Faktor lain

Faktor lain yang jug dapat menjadi pencetus (trigger) terjadinya asma ialah infeksi saluran napas, faktor fisik (aktivitas fisik yang berlebih), perubahan cuaca, obat-obatan, dan paparan bahan-bahan di lingkungan kerja.Dalam kasus asma bronkial ini, disuga salah satu etiologi penyebab terjadinya serangan asma yaitu faktor imunologis dan faktor aktivitas fisik yang berlebih. Hal ini mungkin terjadi karena rendahnya asupan gizi pada penderita yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap turunnya daya imunitas pasien terhadap paparan alergen yang terdapat di lingkungan pasien tinggal. Selain itu, berdasarkan anamnesis yang dilakukan diketahui bahwa serangan asma terjadi setelah pasien melakukan olahraga pada pagi harinya.

3.3. Penegakan diagnosis

a.AnamnesisUmumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala klasik asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba dan dapat hilang secara spontan/pengobatan. Adanya riwayat asma/riwayat alergi dan faktor pencetus.

Pada kasus ini dilakukan aloanamnesa dengan orangtua penderita, didapatkan tanda-tanda yang mengarah pada diagnosis penyakit asma. Beberapa tanda-tanda dari hasil aloanamnesa atau keluhan pasien berupa sesak nafas.,didapatkan suara napas wheezing, timbul secara episodik dan atau kronik cenderung pada malam hari (nokturnal), musiman bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan diantaranya keluhan utama berupa sesak napas yang pada mulanya terjadi pada malam hari disertai batuk berulang. Oleh karena itu penulis mencurigai anak menderita asma.b. Pemeriksaan Fisik

Dalam keadaan serangan, tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi meningkat. Mengi (wheezing) sering terjadi tanpa stetoskop. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi memanjang.

Pada kasus ini didapatkan pemeriksaan fisik bahwa keadaan umum penderita baik dengan kesadaran kompos mentis, anak tampak rewel dan kurang aktif dengan RR : 52 x/menit, saturasi O2 :97% retraksi epigastrial (+), nutrisi cukup tanda vital t: 37 dan HR : 120x /menit.

c.Pemeriksaan Penunjang

Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsiologis paru guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan sputum akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eusinofilia akan lebih dari 250-400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya eosinofilia, akan tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena beberapa penyakit anak selain asma mungkin menyebabkan eusinofiliadi dalam sputum. Protein serum dan kadar imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma bronkial, kecuali kadar IgE mungkin bertambah. (7)

Uji fisiologi paru bermanfaat dalam mengevaluasi anak yang diduga menderita asma bronkial. Pada penderita asma, uji ini bermanfaat untuk menilai tingkat penyumbatan jalan napas dan gangguan pertukaran gas. (17)

Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam mengevaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara teratur akan membantu dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut. PCO2 biasanya rendah selama stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan memburuk, maka PCO2 akan meningkat. (17)

Pada foto toraks AP pada pasien ini tampak corakan vaskuler normal, tak tampak bercak pada kedua lapangan paru

d.

Diagnosis banding

Beberapa diagnosis banding terhadap penyakit asma bronkial ini diantaranya yaitu (7) :

Rhinitis alergika

Sinusitis

Bronkhiolitis

Benda asing pada saluran napas

Pada rhinitis alergika, ditemukan adanya penyumbatan hidung secara bilateral akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhinitis alergika ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal dan mengeluarkan air mata yang berlebihan. (17) Sinusitis mempunyai gejala berupa adanya batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada siang hari. Selain itu juga, ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa ditemukan nanah dalam meatus media. (17) Dalam kasus ini, rhinitis alergika dapat disingkirkan karena tidak ditemukannya sesak napas serta suara napas tambahan berupa wheezing yang menjadi salah satu ciri khas penyakit asma bronkial ini.Pada bronkhiolitis, ditemukan adanya demam, batuk serta wheezing atau mengi sedangkan pada auskulasi akan ditemukan suara ronkhi. (7) Hal itu mirip dengan asma bronkhial, tetapi pada asma wheezing akan timbul secara periodik atau episode. Selain itu, asma dicetuskan oleh adanya alergen baik dari lingkungan maupun yang nonspesifik sedangkan pada bronkholitis tidak demikian.

Benda asing pada saluran napas juga dapat menyebabkan sesak pada penderita. Tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan karena pada aloanamnesa dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan akannya tanda-tanda adanya sumbatan benda asing pada saluran napas penderita.

Kebanyakan anak yang menderita episode batuk dan mengi berulang menderita asma. Penyebab lain penyumbatan jalan napas adalah malformasi kongenital (sistem pernapasan, kardiovaskuler, atau gastrointestinal), benda asing pada jalan napas atau esofagus, bronkiolitis infeksius, kistik fibrosis, penyakit defisiensi imunologis, pneumonitis hipersensitivitas, aspergilosis bronkopulmonal alergika, dan berbagai keadaan lebih jarang yang mengganggu jalan napas, termasuk tuberkulosis endobronkial, penyakit jamur, dan adenoma bronkus. (7)KLASIFIKASI DERAJAT PENYAKIT

Klasifikasi derajat penyakit asma anak berdasarkan episode serangan (6)Parameter klinisAsma episodik jarangAsma episodik seringAsma Persisten

1. Frekuensi serangan< 1 x / bulan> 1x / bulanSering

2. Lama serangan< 1 minggu> 1 mingguHampir sepanjang tahun, tidak ada remisi

3. Intensitas seranganBiasanya ringanBiasanya sedangBiasanya berat

4. Diantara seranganTanpa gejalaSering ada gejalaGejal a siang dan malam

5. Tidur dan aktivitasTidak tergangguSering tergangguSangat terganggu

6. Pemeriksaan fisik di luar seranganNormal (tidak ditemukan kelainan)Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)Tidak pernah normal

7. Obat pengendaliTidak perluPerluPerlu

8. Uji vaal paruPEF/FEV1>80%PEF/FEV1 60-80%PEF/FEV1 45 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).Berdasarkan patofisiologinya, maka secara garis besar terapi farmakokinetika pada penatalaksanaan asma bronkial meliputi :

1.Mencegah ikatan alergen dengan IgE (15)

a.Menghindari alergen, tampaknya sederhana, tetapi seringkali sukar dilakukan.

b.Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin ditingkatkan diharapkan tubuh membentuk IgG (blocking antibody) yang akan mencegah ikatan alergen dengan pada sel mast.c.Antibodi monoklonal, merupakan agen yang berasal dari DNA rekombinan yang menghambat pengikatan IgE pada reseptor IgE afinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil, sehingga mengakibatkan penurunan pelepasan mediator-mediator alergi. Contoh sediaan ini adalah Xolair dengan merk dagang Omalizumab. (16)

2.Mencegah pelepasan mediator dan meredam inflamasi saluran napas

Sodium kromoglikat

Sodium kromoglikat salah satu kerjanya mencegah degranulasi sel mast merupakan obat untuk mencegah serangan asma terutama bila diberikan secara teratur. Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah EIA (exercise induced ashma). Mekanisme yang pasti dari natrium kromalin belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan anti inflamasi non steroid , menghambat pelepasan mediator darisel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag,eosinofil, monosit)., selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. (17) Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan mediasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukan penggunaan steroid menghasilkan faal paru, menurunkan hiperresponsive jalan nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan. Kortikosteroid memiliki peran penting dalam penatalaksanaan asma dikarenakan kemampuannya dalam menentukan proses inflamasi. Kortikosteroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan simptom, dan frekuensi serangan. Leukotrien Inhibitor

Obat ini merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-Lipoksigenase sehingga memblok sintetis semua lekotrien (zileuton) atau memblok reseptor reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pramlukas, zafirlukas) mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokontriksi akibat alergen, sulfurdioksida, dan exercise. Selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek anti inflamasi saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor sistenil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsui hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton. (17) Ketotifen

Berperan memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah keluarnya mediator di laporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat diberikan 2 kali sehari (17) Magnesium

Mungkin menurunkan neutrofil yang berhubungan dengan respons inflamasi pada asma dan juga menstabilkan membran sel mast serta menghambat ion kalsium sebagai antagonis ion positif. Mekanisme bronkodilatasi tidak diketahui, mungkin dengan menghambat kadar kalsium otot polos jalan nafas serta menghalangi mediasi kalsium pada kontraksi otot. Magnesium juga menurunkan pelepasan asetil kolin pada neuromuskular junction setelah stimulasi parasimpatis. (14)

3.Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator (17)a. Simpatomimetik

-Agonis -2 kerja singkat (short acting -2 agonist) Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol , dan procaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai onset yang cepat. Mekanisme kerja agonis -2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permebealitas pembuluh darah dan modulasi pelepasan mediator dari sel mast. (17)-Agonis -2 kerja lama (long acting -2 agonist) Yang termasuk adalah selmeterol dan formoterol yang mempunyai kerja lama (> 12 jam) seperti lazimnya agonis -2 mempunyai relaksasi otot polos, meningkatkan pembenihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataanya pada pemberian jangka lama mempunyai efek anti inflamasi walau kecil, inhalasi agonis -2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis -2 kerja lama, menghasilkan efek dilatasi lebih baik preparat oral (18)b. MetilsantinTermasuk bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibanding -2 kerja singkat. Aminofilin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walaupun disadari onset nya lebih lama. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis -2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan. Respon terhadap agonis -2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya. (17)

Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum. (17)

c.Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan astilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks brokontruksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis -2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh pada inflamasi. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium broenide dan tiotropium broenide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium broenide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis -2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karen aitu disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agonis -2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat ataupun pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis -2 saja, sehingga efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis -2 kerja singkat seperti inhalasi seperti takikardia, aritmia, dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. (17)

4.MukolitikPerlu juga dikemukakan bahwa pada bayi dan anak serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi mukus dibanding dengan bronkospasme. (17)

5.Antibiotik

Tidak rutin diberikan kecuali pada kendaraan disertai infeksi bakteri (pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). (17)

3.5. PrognosisBeberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi, dan lamanya pemantauan. Adanya asma pada orangtua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma di kemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eusinofilia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.

3.6. Faktor risikoFaktor risiko yang mungkin terdapat dalam lingkungan penderita dalam kasus ini yaitu status sosial yang cukup rendah, hal ini terkait dengan kurangnya asupan gizi pada penderita.

Adapun beberapa faktor yang bisa menumbulkan terjadinya penyakit asma diantaranya yaitu (9,18) :

1. FAKTOR PEJAMU (Host) Predisposisi genetik

Hiperensponsif saluran napas

Atopi

Jenis kelamin

Ras

2.FAKTOR LINGKUNGANFaktor yang mempengaruhi kerentanan terbentuk asma pada indivisu yang terpajan dengan faktor predisposisi Alergen dalam rumah

Tungau debu runah

Alergen pada hewan

Alergen kecoa

Jamur

Alergen Luar

Tepung sari

Jamur

Pajanan pekerjaan

Asap rokok

Perokok pasif

Perokok aktif

Polusi udara

Polutan luar rumah (outdoor pollutants) Polutan dalam rumah (indoor pollutants) Infeksi saluran napas

Higiene

Infeksi parasit

Status sosial ekonomi

Diet dan obat-obatan

Obesitas

50