asma

38
BAB I PENDAHULUAN Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivititas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivititas bahkan kegiatan harian. Produktivititas menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan produktivititas serta menurunkan kualititas hidup (PDPI,2003). Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA,2006). 2

Upload: azizahans

Post on 13-Apr-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PatofisiologiTerapi Asma

TRANSCRIPT

Page 1: Asma

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan  merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.

Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivititas, akan tetapi dapat

bersifat menetap dan mengganggu aktivititas bahkan kegiatan harian.

Produktivititas menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat

menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan

produktivititas serta menurunkan kualititas hidup (PDPI,2003).

Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di

negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti

Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak

masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika

Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di

rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.

Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari

pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA,2006).

Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering

menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta

aktifitas seluruh keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat,

menurunkan kualitas hidup penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan.

Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000

kematian akibat asma. Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit

alergi lainnya, dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang

dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih

berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan

penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.

2

Page 2: Asma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa

mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan

atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas

yang luas, bervariasi dan seringkali  bersifat reversibel dengan atau tanpa

pengobatan (PDPI, 2006).

Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for

Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas

dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit

T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak

nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.

Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas

namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan

maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan

hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2010).

B. FAKTOR RISIKO

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu

(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi

genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,

alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan

mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk

berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau

menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan

yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi

3

Page 3: Asma

pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi

faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu

dengan genetik asma,

baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko

penyakit asma. (Amu, 2006)

Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan

faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun

iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak

perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang

sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor

risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi

saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun

mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas

dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status

kesehatan (Baratawidjaja, 2006).

Faktor lingkungan

4

Page 4: Asma

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan

kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

Faktor lain

a. Alergen makanan

b. Alergen obat-obatan tertentu

c. Bahan yang mengiritasi

d. Ekspresi emosi berlebih

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma

h. Perubahan cuaca

C. PATOFISIOLOGI

Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran

napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan

epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot

polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas.

Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik

yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi

sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.

Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam

rangsang.

Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur

imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada

jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah

oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan

dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong

inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-

sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel

epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan

5

Page 5: Asma

mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT),

platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain.

Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat

menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan

peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-

sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui

mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan

hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi

pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress.

Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf

otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan

hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran

napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus,

sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan

membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk

ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan

sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi,

inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf memegang peranan

pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal

mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik

senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).

Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema

bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi

(Sundaru, 2006).

6

Page 6: Asma

Gambar 1. Patofisiologi asma

D. DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis asma yang tepat, penting dalam memudahkan penanganan

penyakit asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis ditemukan gejala

berupa sesak episodik, mengi (wheezing), batuk kronik berulang dan dada

terasa sakit/sesak. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai

keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis.

Pemeriksaan status alergi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit

alergi lain pada pasien maupun keluarganya seperti rhinitis alergi. Pengukuran

respons dapat membantu diagnosis pada penderita dengan gejala konsisten

tetapi fungsi paru normal.

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari

episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Melalui pemeriksaan fisik

pasien asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi thoraks dan ditemukan

perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat ditemukan pasien

menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada, napas cepat

hingga sianosis, juga kesulitan bernapas. Ekspirasi memanjang dan mengi

dapat ditemukan saat dilakukan auskultasi pada pasien asma. Dalam praktek

sehari-hari jarang ditemui kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi

7

Page 7: Asma

sering pula dijumpai pasien non-asma yang mempunyai mengi, sehingga

pemeriksaan penunjang diperlukan dalam menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana

untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon pengobatan

menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah

pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta. Dinyatakan asma bila

didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa detik pertama / VEP1 sebanyak .

12% atau (200ml). Bila respon yang didapat 12% atau (200ml) belum pasti

menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak menderita asma, hal tersebut dapat

dijumpai pada pasien yang sudah dalam keadaan normal atau mendekati

normal.

Peak expiratory flow/ volume ekspirasi paksa dapat diukur menggunakan

alat Peak flow meter/ PFM yang merupakan alat penunjang diagnosis dan

monitoring asma. Alat ini relatif murah, praktis, dan ideal digunakan pasien

untuk menilai obstruksi jalan napas di rumah. Pemeriksaan spirometri tetap

lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif

dibanding spirometer untuk diagnosis obstruksi saluran napas. PFM mengukur

terutama saluran napas besar, PFM dibuat sebagai alat monitoring asma bukan

sebagai alat diagnostik utama.

Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas

bronkus dapat dilakukan jika pemeriksaan spirometri normal. Beberapa cara

melakukan uji provokasi ini diantaranya dengan histamin, metakolin, kegiatan

jasmani, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Dianggap

bermakna bila didapat penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih. Uji kegiatan

jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari cepat selama 6 menit

sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap

bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Respirasi) paling

sedikit 10%. APE dapat digunakan untuk diagnosis penderita yang tidak dapat

melakukan pemeriksaan VEP1.

Foto dada / X-ray thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain

obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di

8

Page 8: Asma

paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,

atelektasis, dan lain-lain.

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan

pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit

penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,

semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma

diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.

Tabel 1. Klasifikasi Asma

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal ParuIntermitten Gejala <1x/minggu

Tanpa gejala diluar seranganSerangan singkat

2x sebulan VEP1 80% nilai prediksiAPE 80% nilai terbaikVariability APE <20%

Persisten Ringan

Gejala >1x/minggu tapi <1x/hari

>2x sebulan VEP1 80% nilai prediksiAPE 80% nilai terbaikVariability APE 20%-30%

Persisten Sedang

Gejala setiap hariSerangan mengganggu aktivitas dan tidurMembutuhkan bronkodilator tiap hari

>1x seminggu VEP1 60-80% nilai prediksiAPE 60-80% nilai terbaikVariability APE >30%

Persisten Berat

Gejala terus menerusSering kambuhAktivitas fisik terbatas

Sering VEP1 <60% nilai prediksiAPE <60% nilai terbaikVariability APE >30%

(PDPI, 2003)

9

Page 9: Asma

E. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya

penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu:

1. Penatalaksanaan Asma Akut

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan

bantuan medis segera. Penanganan harus cepat dan sebaiknya

dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk

mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien

dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke

dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat

serangan, gejala, pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan

pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat.

Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan

laboratorium yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam

pengobatan/tindakan.

2. Penatalaksanaan Asma Kronik

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem

penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi

kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan

pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta

mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol, Bronkodilator

merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi

eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.

Terapi farmakologis asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai

10

Page 10: Asma

dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

• Kortikosteroid inhalasi• Kortikosteroid sistemik• Sodium kromoglikat• Nedokromil sodium• Metilsantin• Agonis β-2 kerja lama, inhalasi• Agonis β-2 kerja lama, oral• Leukotrien modifiers

• Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)Pelega (Reliever) prinsipnya bekerja untuk dilatasi jalan

napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah :

• Agonis β-2 kerja singkat• Kortikosteroid sistemik (Steroid sistemik digunakan

sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain)

• Antikolinergik• Aminofillin• Adrenalin

(PDPI,2003)

11

Page 11: Asma

Initial AssesmentRiwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,

Saturasi Oksigen

Initial TreatmentOksigen smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi β2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik

glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan

Re-Assesment setelah 1 jamPem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi O2

Kriteria episode moderate (sedang) :PEF 60-80% nilai prediksi/terbaikTes Fisik : Gejala moderate, penggunaan otot bantu nafasTreatmentO2Inhalasi β2-agonist+antikolinergik tiap jamOral glukokortikosteroidLanjutkan selama 1-3 jam

Kriteria episode severe (berat)PEF <60% nilai prediksi/terbaikGejala berat timbul pada waktu istirahatRiwayat faktor resiko yang mendekati asma lanjutTreatmentO2Inhalasi β2-agonist+antikolinergik tiap jamSistemik glukokortikosteroidInjeksi IV magnesium

Re-Assesment setelah 1 jam

Respon baik :PEF >70%SO2 >90%Tidak ada distress pernafasan

Respon inkomplit (1-2 jam):Gejala ringan-sedangPEF<60%SO2 tidak ada perubahanAcute care setting:O2Inhalasi β2-agonist+antikolinergikIV magnesiumMonitor PEF, SO2, nadi

Respon buruk (1-2 jam):PEF<30%PCO2>45mmHgPO2<60mmHgIntensive Care (ICU) :O2Inhalasi β2-agonist+antikolinergikPertimbangkan IV β2-agonistPertimbangkan IV teofilinIntubasi dan ventilasi mekanik

Re-Assesment

Respon buruk : ICURespon inkomplit dalam 6-12 jam : pertimbangkan ICU

Perubahan : kriteria pulangPEF >60%Obat oral/inhalasiLanjutkan β2-agonistPertimbangkan oral glukokortikosteroidPertimbangkan kombinasi inhalasiEdukasi Perbaikan

Gambar 2. Diagram Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut di RS

12

Page 12: Asma

(PDPI, 2003)

Gambar 3. Penatalaksanaan berdasarkan berat asma (PDPI, 2003)

13

Page 13: Asma

BAB III

14

Page 14: Asma

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama  : Ny. D

Usia : 44 tahun

Alamat  : Palur Karanganyar

Agama : Islam

Status  : Belum menikah

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

No. RM : -

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 1 hari yang lalu disertai

batuk  berdahak bewarna bening kental, rasa tertekan didada dan mengi. Mulai

muncul setelah kedinginan akibat kehujanan. Pasien ada riwayat asma

sebelumnya dan mengaku mengkonsumsi salbutamol apabila sesak muncul

tetapi obat pasien sudah habis. Sesak napas timbul apabila terpapar dengan

suasana dingin, debu dan asap rokok. Sesak napas dirasakan mengganggu

aktivitas dan tidur. Dalam 6 bulan terakhir, sesak napas dirasakan lebih 1 kali

dalam seminggu tetapi tidak lebih 1 kali dalam sehari, dan saat malam

hari lebih 2 kali dalam sebulan. Sesak terasa berkurang dalam posisi duduk.

Pasien masih bisa tidur tanpa meninggikan bantal. Tidak demam, tidak

ada riwayat demam, nyeri dada tidak ada, tidak mual, tidak muntah, tidak ada

jantung berdebar. Batuk lama dan keringat malam disangkal. Saat

dianamnesis,pasien berbicara dengan kalimat yang terputus-putus. BAB dan

BAK normal.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:

15

Page 15: Asma

Riwayat serupa : pasien punya riwayat asma sejak +18 tahun yang lalu

Riwayat alergi : cuaca dingin, debu

Riwayat pengobatan OAT : disangkal

Riwayat trauma : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Riwayat serupa : Nenek pasien menderita asma

RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Pasien adalah ibu rumah tangga, merokok disangkal , minum alkohol

disangkal, obat-obatan terlarang disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : sakit sedang, gizi kesan cukup

Vital sign

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 90x/menit

RR : 30x/menit

Suhu : 36,2º C

1. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban

(-), mudah rontok (-), luka (-)

2. Mata Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), SI(-/-),

perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan

diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema

palpebra (-/-), strabismus (-/-)

3. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan

mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), Berdenging(-)

4. Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi

penghidu baik

16

Page 16: Asma

5. Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-),

lidah tifoid (-),stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)

6. Leher JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah,

simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran

limfonodi cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena

leher (-)

7. Thorax Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan

= kiri, retraksi intercostal (-),pernafasan

torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran KGB

axilla (-/-), atropi m pectoralis (-)

Jantung :

Inspeksi Iktus kordis tidak tampak

Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra

Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis

dekstra

Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra

Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea

medioklavicularis sinistra

Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra

→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi HR : kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II, bising (-),

gallop (-).

Pulmo :

Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga

mendatar (-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga

melebar, retraksi intercostal (-)

Palpasi Simetris. Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka =

ki, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi sonor / sonor

Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan

17

Page 17: Asma

wheezing (+/+) di seluruh lapangan paru

Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok

kostovertebra (-),

Abdomen :

Inspeksi Dinding perut lebih besar dari dinding thorak, distended

(-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)

Auscultasi Peristaltik (+) normal

Perkusi Timpani

Palpasi Supel,nyeri tekan (-)

Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

Ekstremitas Akral dingin Odem

_ _

_ _

_ _

_ _

D. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto Rotgen

Spirometri

E. DIAGNOSIS

Asma brokial serangan akut dalam asma persisten ringan

F. TATALAKSANA

1. Tujuan

a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

b. Mencegah eksaserbasi akut

c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru

2. Terapi

O2 3 L/menit melalui kanul nasal

Nebulizer ventolin

18

Page 18: Asma

Pemberian dengan jarak +20 menit dalam satu jam, dievaluasi 1-2 jam

kemudian

Dexamethasone tab mg 0,5 3x1

Ambroxol tab mg 30 3x1

3. Pengobatan Lanjut

Edukasi pasien

Salbutamol tab mg 2 3x1

Dexamethasone tab mg 0,5 3x1

Resep

R/ Salbutamol tab mg 2 No X

S 3 dd tab 1

A

R/ Dexamethasone tab mg 0,5 No.X

S 3 dd tab 1

A

Pro: Nn.S ( 22 th)

BAB IV

PEMBAHASAN OBAT

19

Page 19: Asma

A. Agonis β-2

Agonis β adrenergik atau simpatomimetik diberikan untuk terapi pada

asma, bronkitis, empisema dan berbagai penyakit paru obstruksi lainnya. Obat

simpatomimetik terdiri dari dua cara kerja yaitu short-acting (salbutamol,

terbutalin sulfat, bambuterol hidroklorida, fenoterol hidrobromida) dan long-

acting (formeterol fumarat, salmeterol). Efek karakteristik terbaik dari agobis β

adrenergik pada jalan napas adalah relaksasi otot polos jalan napas yang

menyebabkan bronkodilatasi.

Beta adrenergik dapat diberika secara oral, subkutan, intravena atau secara

inhalasi. Pemberian terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi oleh karena

penyerapan akan lebih baik dan tepat sasaran dan juga untuk meminimalisir efek

samping.

Agonis β adrenergik merupakan obat utama pada penyakit asma dan

PPOK. Pada asma, short acting agonis β adrenergik digunakan sebagai terapi

pada gejala akut dan untuk mencegah spasme bronkus. Sedangkan long acting

agonis β adrenergik digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan asma

yang sedang hingga berat dimana biasanya diberikan bersamaan dengan inhalasi

kortikosteroid.

Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor b2 di trachea

(batang tenggorok) dan bronkus, yang menyebabkan aktivasi adenilsiklase. Enzim

ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi

cyclic-adenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang

digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam

sel menghasilkan beberapa efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan

mediator oleh mast cells.

Salbutamol

20

Page 20: Asma

Dosis : 3-4 dd 2-4 mg. Inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada

serangan akut 2 puff yang dapat diulang setelah 15 menit. Pemberian i.m

atau s.c 250-500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam.

Efek samping : jarang terjadi, biasanya biasanya berupa nyeri kepala,

mual dan tremor tangan. Pada overdosis dapat terjadi stimulasi reseptor β-1

dengan efek kardiovaskular : takikardi, palpitasi, aritmia dan hipotensi. Oleh

karena itu jangan memberikan inhalasi dalam waktu yang terlalu singkat

karena dapat terjadi takifilaksis yaitu efek obat menurun dengan pesat pada

penggunaan yang terlalu sering.

Ventolin Nebules

Komposisi : Salbutamol sulfate

Indikasi : Penanganan & pencegahan serangan asma.

Penanganan rutin bronkospasme kronik yg tdk memberi respon

terhadap terapi konvensional; asma berat akut (status asmatikus).

Dosis : dewasa dan anak-anak awal 2.5 mg, lalu dpt

ditingkatkan s/d 5mg, dapat diulangi 4x/hr dg nebulizer. Obstruksi

sal napas berat dewasa sampai dengan 40 mg/hr.

Kontra indikasi : Abortus yg mengancam selama kehamilan

trimester 1 & 2. Penanganan persalinan prematur misalnya plasenta

previa, perdarahan antepartum atau toksemia gravidarum.

B. Metilprednisolon

Metilprednisolon adalah glukokortikoid turunan prednisolon yang

mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya.

Metilprednisolon tidak mempunyai aktivitas retensi natrium seperti

glukokortikosteroid yang lain. Kinerja obat ini adalah menekan sistem

kekebalan tubuh untuk mengurangi gejala peradangan seperti pembengkakan,

nyeri, dan ruam. Obat ini dapat digunakan untuk menangani peradangan atau

inflamasi dalam berbagai penyakit, misalnya penyakit Crohn, kolitis

ulseratif, alergi, artritis reumatoid, asma, serangan multiple sclerosis, serta

jenis-jenis kanker tertentu.

21

Page 21: Asma

Indikasi pengguaannya pada abnormalitas fungsi adrenokortikal,

penyakit kolagen, keadaan alergi dan peradangan pada kulit dan saluran

pernafaan tertentu, penyakit hematologik, hiperkalsemia sehubungan denga

kanker. Kontra indikasinya meliputi keadaan infeksi jamur sistemik pada

pasien hipersensitif. Pemberian kortikosteroid yang lama merupakan

kontraindikasi pada ulkus duodenum dan peptikum, osteoporosis berat,

penderita dengan riwayat penyakit jiwa, herpes. Pasien sedang diimunisasi.

Dosis awal bervariasi antara 4–48 mg/hari tergantung pada jenis dan

beratnya penyakit, serta respon penderita. Bila telah diperoleh efek terapi yang

memuaskan, dosis harus diturunkan sampai dosis efektif minimal untuk

pemeliharaan. Pada situasi klinik yang memerlukan methylprednisolone dosis

tinggi termasuk multiple sklerosis : 160 mg/hari selama 1 minggu, dilanjutkan

menjadi 64 mg/hari selama 1 bulan menunjukkan hasil yang efektif.

Jika selama periode terapi yang dianggap wajar respon terapi yang diharapkan

tidak tercapai, hentikan pengobatan dan ganti dengan terapi yang sesuai.

Setelah pemberian obat dalam jangka lama, penghentian obat sebaiknya

dilakukan secara bertahap.  Pemberian obat secara ADT (Alternate-Day

Therapy) : adalah rejimen dosis untuk 2 hari diberikan langsung dalam 1 dosis

tunggal pada pagi hari (obat diberikan tiap 2 hari sekali). Tujuan dari terapi ini

meningkatkan farmakologi pasien terhadap pemberian dosis pengobatan

jangka lama untuk mengurangi efek-efek yang tidak diharapkan termasuk

supresi adrenal pituitari, keadaan :”Cushingoid”, simptom penurunan

kortikoid dan supresi pertumbuhan pada anak.

Efek samping :

Saluran pencernaan : tukak lambung dengan kemungkinan perforasi

dan pendarahan, pankreatitis, distensi abdominal dan esofagus

ulseratif.

Muskuloskeletal : otot lemas, miopati steroid, kehilangan massa otot,

osteoporosis, kompressi fraktur vertebral, fraktur patologik pada tulang

panjang dan osteonekrosis.

22

Page 22: Asma

Dermatologi : “impaired wound healding”, “thin fragile skin”, eritema

pada wajah dan keringat bertambah.

Sistem saraf : sakit kepala, vertigo, kejang, tekanan intrakranial

bertambah dengan edema papil (pseudo tumor).

Gangguan cairan dan elektrolit : retensi cairan dan natrium (edema)

jarang terjadi karena hanya sedikit mempunyai efek mineralokortikoid.

Edema ini dapat terjadi pada pasien yang terganggu kecepatan

glomerulusnya, hipokalemia, hipertensi serta gagal jantung bawaan.

Endokrin : penekanan pertumbuhan pada anak-anak, insufisiensi

adrenal sekunder (khususnya pada waktu stress karena trauma dan

pembedahan), menstruasi tidak teratur.

Mata : katarak supkapsular posterior, tekanan intraokuler bertambah

(kadang-kadang), glaukoma dan eksoftalmos.

Metabolik : keseimbangan nitrogen negatif (karena metabolisme

protein).

Pada penatalaksanaan asma Glukokortikosteroid sistemik diberikan

untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat manapun kecuali

serangan ringan (bukti A), terutama jika :

Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan

awal tidak memberikan respons

Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan

Serangan asma berat

Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena,

pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada

penderita yang tidak dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi

gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan pemberian intravena.

Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai

perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan glukokortikosteroid sistemik

metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya

adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg

23

Page 23: Asma

metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat (bukti B).

Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari .

Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu

terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu.

C. Ambroxol

Ambroksol, suatu metabolit aktif bromheksin diduga sama cara kerja

dan penggunaannya. Ambroksol bekerja dengan cara menurunkan viskositas

sekresi mukus dengan cara memecah rantai mukopolisakarida.

Struktur kimianya ialah: N-cyclohexyl-N--methyl--(2--amino--

3,dibromobenzyl)--amonium chloride.

Struktur kimia Ambroxol

Mekanisme kerja

Ambroksol mempunyai sifat mukokinetik dan sekretolitik. Ambroksol

meningkatkan pembersihan sekresi yang tertahan pada saluran pernapasan

dan menghilangkan mukus statis, memudahkan pengenceran dahak.

Ambroksol dilaporkan mempunyai aktivitas penghambatan sitokin

proinflamasi, menurunkan inflamasi paru dan mempercepat proses

penyembuhan paru.

Indikasi

Penyakit saluran napas akut dan kronis yang disertai sekresi bronkial,

antara lain: bronkiektasis, bronkhitis, bronkhitis asmatik dan asma bronkial.

Dosis

a. Dewasa: 30-120 mg/hari dibagi dalam tiga dosis.

b. Anak-anak 5-12 tahun: sehari 3 kali 15 mg.

c. Anak-anak 2 - 5 tahun: sehari 3 kali 7,5 mg.

d. Anak-anak dibawah 2 tahun : sehari 2 kali 7,5 mg.

24

Page 24: Asma

Dosis   dapat   dikurangi   menjadi   2   kali   sehari, untuk pengobatan

yang lama. Harus diminum sesudah makan.

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap ambroksol. Pemakaian   pada   kehamilan  

trimester   pertama   tidak dianjurkan. Pemakaian selama menyusui

keamanannya belum diketahui dengan pasti.

Efek Samping

Efek   samping   yang   ringan   pada   saluran   pencernaan: nausea

dan vomitus dilaporkan pada beberapa pasien. Reaksi hipersensitivitas. Dari

penelitian, diketahui bahwa ambroxol dapat menginduksi ALI (acute lung

injury).

Interaksi Obat

Kombinasi ambroksol dengan obat-obatan lain dimungkinkan,

terutama yang berhubungan dengan sediaan yang digunakan sebagai obat

standar untuk sindroma bronkitis (glikosida jantung, kortikosteroid,

bronkospasmolitik, diuretik dan antibiotik).

25

Page 25: Asma

BAB VPENUTUP

KESIMPULAN

1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak

sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.

Gejalanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas

namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara

spontan maupun dengan pengobatan.

2. Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup

normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

3. Terapi farmakologis asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas terdiri atas pengontrol dan pelega.

26

Page 26: Asma

DAFTAR PUSTAKA

Amu FA, Yunus F. Asma Pra Mentruasi, Departemen Pulmonologi Respirasi, FKUI-RS Persahabatan. Jakarta, Respir Indo Vol:26 No1, 1 Januari 2006 ; 28.

Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati,Sundaru H, Siregar SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers; 2006.707-36.

Danusaputro H. Ilmu Penyakit Paru, 2000 ; 197 – 209.

GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006.

GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2010.

Handayani D, Wiyono WH, Faisal Y. Penatalaksanaan Alergi Makanan. J.Respir Indo 2004 ;24(3) 133-44.

Naning R. Prevalensi Asma pada murid Sekolah Dasar di Kotamadya Yogyakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UGM, RSUP Dr. sarjito, Yogyakarta 1991.

Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit EGC. 1996:775.

Konsensus PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:PDPI

Price AS, Alih Bahasa anugrah PatofisiologiProses-proses Penyakit, EGC, 1995 ; 689.

Sundaru H, Sukamto, Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni 2006 ; 247.

Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI

27