asma

39
MAKALAH ILMU KESEHATAN MASYARAKAT “PENYAKIT ASMA” Disusun oleh: Ashri Almiahsari (135070501111024) Feiziah Eulalia Arubusman (135070507111022) Kana Af’idatul Husna (135070501111023) Mustaqim Prayogi (135070501111011) Rodyah (135070508111001) Widya Setya (0910753075) 1

Upload: akbarrozaaq

Post on 23-Oct-2015

256 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ilmu kesehatan masyarakat

TRANSCRIPT

Page 1: Asma

MAKALAH

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

“PENYAKIT ASMA”

Disusun oleh:

Ashri Almiahsari (135070501111024)

Feiziah Eulalia Arubusman (135070507111022)

Kana Af’idatul Husna (135070501111023)

Mustaqim Prayogi (135070501111011)

Rodyah (135070508111001)

Widya Setya (0910753075)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

TAHUN 20131

Page 2: Asma

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di

hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan

derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Badan

kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita

asma, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sebesar 180.000 orang setiap

tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta

orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini

(Sriwidodo, 2003).

Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun

1986, 1992, dan 1995 memperlihatkan asma masih menduduki peringkat ke tiga

dari 10 penyebab kematian utama di Indonesia.4 Laporan kasus penyakit tidak

menular pada dinas kesehatan Jawa Tengah khusus penderita asma bronkial dari

beberapa rumah sakit kabupaten Kudus tahun 2005 sebanyak 6.315 penderita,

tahun 2006 sebanyak 6.579 penderita, sedangkan pada tahun 2007 sampai bulan

Maret sebanyak 2.958 penderita (Laporan Kasus Tidak Menular. Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2007).

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :

a. Apa definisi Asma ?

b. Bagaimana epidemiologi Asma di Indonsia ?

c. Bagaimana natural history dari asma ?

d. Bagaimana pencegahan dari Asma ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :

a. Untuk mengetahui definisi penyakit asma.

b. Untuk mengetahui epidemiologi dari asma di Indonesia.

2

Page 3: Asma

c. Untuk mengetahui natural history dari penyakit asma.

d. Untuk mengetahui pencegahan dari penyakit asma.

1.4 Manfaat Penulisan

Pada makalah ini akan dibahas definisi penyakit asma, epidemiologi

penyakit asma di Indonesia, natural history dari penyakit asma, serta

pencegahan dari penyakit asma. Dengan demikiandiharapkan dengan

penulisan makalah ini dapat membantu mahasiswa kedokteran mendapatkan

informasi mengenai penyakit asma.

3

Page 4: Asma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan

berarti serangan nafas pendek (Price, 1995). Menurut Global Initiative for Asthma

(GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan

banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada

orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa

dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya

berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang

sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan,

inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap

berbagai rangsangan (GINA, 2006).

Menurut Prasetyo (2010) asma adalah penyakit kronis (berlangsung lama)

yang ditandai oleh sesak napas disertai bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk

persisten dimana derajat keparahan setiap orang berbeda-beda. Pada saat serangan

yang terjadi adalah menyempitnya jalan napas kita akibat dari pengerutan bronkus

yang menyebabkan udara sulit keluar masuk paru.

4

Page 5: Asma

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Epidemiologi Asma

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di

Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga

(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga

(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab

kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema.

Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab

kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995,

prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan

bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000 (PDPI, 2003).

Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi

asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti

bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di

Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and

Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang

kembali dengan rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma

(gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya

mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi

prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996

dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan

Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya

1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan

14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001,

Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta

Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC

(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan

spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih

secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma )

8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5% (PDPI, 2003).

5

Page 6: Asma

Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian

di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner

modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory

symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales,

dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat peak flow

meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun

(rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan

rincian laki-kali 9,2% dan perempuan 6,6% (PDPI, 2003).

Penyakit asma merupakan penyakit lima besar penyebab kematian di

dunia yang bervariasi antara 5-30% (berkisar 17,4%). Di Indonesia prevalensi

asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5 % penduduk

Indonesia menderita asma. Hasil penelitian International Study on Asthma

and Allergies in Childhood menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi

penyakit asma meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 5,4% pada

tahun 2003. DKI Jakarta memiliki prevalensi asma yang lebih besar yaitu

7,5% pada tahun 2007. Penyakit asma berasal dari keturunan sebesar 30 %

dan 70 % disebabkan oleh berbagai faktor lainnya. Departemen Kesehatan

memperkirakan penyakit asma termasuk 10 besar penyebab kesakitan dan

kematian di RS dan diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk Indonesia

menderita asma. Angka kejadian asma pada anak dan bayi sekitar 10-85%

dan lebih tinggi dibandingkan oleh orang dewasa(10- 45%)Pada anak,

penyakit asama dapat mempengaruhi masa pertumbuhan, karena anak yang

menderita asma sering mengalami kambuh sehingga dapat menurunkan

prestasi belajar di sekolah. Prevalensi asma di perkotaan umumnya lebih

tinggi dibandingkan dengan di pedesaan, karena pola hidup di kota besar

meningkatkan risiko terjadinya asma (Oemiati, 2010).

3.2 Natural History of asthma

3.2.1 Prepatogenesis

Menurut Szefler (2010) ada beberapa factor yang dapat menyebabkan

seseorang dapat terkena penyakit asma, antara lain :

a. Faktor Prenatal

6

Page 7: Asma

Masa mengandung dari ibu adalah masa yang sangat penting bagi

perkembangan janin dalam perutnya. Namun ada beberapa hal yang

harus dihindari untuk menghindari bayi yang dilahirkan terkana

penyakit asma. Jika seorang ibu bekerja di industri susu sapi perah

dapat meningkatkan sitokinin yang dapat meningkatkan resiko

anaknya terkena asma. Factor stress yang terjadi pada ibu hamil dapat

menyebabkan ekspresi penyakit alergi pada anak-anak yang salah

satunya adalah asma. Dianjurkan untuk ibu hamil agar tidak merokok

karena merokok pada masa kehamilan akan memperbesar resiko bayi

yang dikandungnya lebih besar untuk terkena asma sebesar 4 kali lipat

dari pada ibu yang tidak merokok.

b. Pemberian ASI eksklusif

Pemberian asi eksklusif selama 4 bulan atau lebih dapat

mengurangi resiko anak terkena penyakit asma hingga umurnya 8

tahun. Menyusui juga ternyata dapat memberi efek yang

menguntungkan pada paru-paru anak.

c. Pengaruh obesitas pada masa anak-anak

Jika pada saat bayi berusia 1 tahun mengalami obesitas maka dia

akan mengalami penurunan resiko terkena penyakit asma dan fungsi

paru-paru yang lebih baik pada usia 6-8 tahun. Namun jika terjadi

obesitas pada usia lebih dari 1 tahun maka resiko anak tersebut

terkena asma pada umur 6-8 tahun akan menjadi lebih besar.

d. Genetika

Ekspresi dari gen adalah factor yang sangat menentukan akan apa

yang terjadi pada tubuh seseorang. Banyak sekali penelitian yang telah

dilakukan untuk mengidentifikasi seberapa jauh pengaruh gen pada

kemunculan penyakit asma. Dari peneletian itu menunjukkan bahwa

penyakit asma kemunculannya dipengaruhi oleh gen sebesar 34 % dan

dipengaruhi oleh lingkungan sebesar 66 %.

e. Lingkungan

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap resiko seseorang terkena

asma. Orang-orang yang tinggal di sekitar jalan utama suatu kota dan

7

Page 8: Asma

rel kereta api memiliki resiko yang lebih besar terkena penyakit asma

dari pada orang yang tidak tinggal di daerah tersebut. Hal ini mungkin

disebabkan oleh adanya banyaknya polusi di daerah tersebut yang

dapat merangsang respon imun dari orang tersebut, sehingga dia dapat

terserang asma.

f. Infeksi

Faktor lain yang dapat menyebabkan asma adalah terjadinya infeksi di

paru-paru. Salah satu yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah

infeksi oleh klamidia. Infeksi klamidia dapat memodulasi respon imun

, mengubah fungsi dan struktur paru-paru serta meningkatkan

keparahan penyakit alergi saluran napas di kemudian hari.

3.2.2 Patogenesis

Pada pasien asma timbul akibat riwayat atopi akibat pemaparan

alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit,

saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang

bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen

diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen

dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin

I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2)

oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk

berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE (Meiyati,2009).

IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada

dalam jaringan dan basophil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini

dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya

memiliki reseptor untuk 1gE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit

juga memiliki reseptor untuk 1gE tetapi dengan afinitas yang lemah.

Pasien ini sudah rentan yaitu terpapar kedua kali atau lebih dengan

alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh 1gE

yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. 1katan tersebut

akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan

dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang

8

Page 9: Asma

menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses

degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang

sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam

sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil

Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor

(NCF), trypase da n kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator

tersebut ialah obstruksi oleh histamin. Hiperreaktifitas bronkus yaitu

bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar

dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada

kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya

alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan

yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan

iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper reaktifitas bronkus

disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel- sel inflamasi

terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas

bronkus pasien asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik.

Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajat berat penyakit. Di klinik

adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji

provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin (Meiyati,2009).

Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya,

infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang

menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu

daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan

pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas

oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus. Akibat dari

bronkospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta

hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan

percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas

berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif (Meiyati,2009).

Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan

suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang

terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH)

9

Page 10: Asma

dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah

akan mensupresi immunoglobin A (1gA). Penurunan 1gA

menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang

direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus

sehingga menimbulkan asma bronkiale (Meiyati,2009).

(Szefler,2010)

3.2.3 Pasca Patogenesis

Tahap pasca patogenesis/ tahap akhir yaitu berakhirnya perjalanan

penyakit yang dapat berada dalam pilihan keadaan, yaitu sembuh

sempurna, sembuh dengan cacat, karier, penyakit berlangsung secara

kronik, atau berakhir dengan kematian. Tujuan awal dari pengobatan

asma adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari serangan

asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi

reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan

angka kematian akibat asma. Penyakit asma merupakan penyakit yang

kesembuhannya tidak dapat sempurna melainkan sembuh

karier atau sembuh fungsional (dimana pasien masih

10

Page 11: Asma

membawa penyakit,namun gejala penyakit sudah tampak berhenti

sehingga pasien dapat bekerja lagi dengan fungsi tubuh normal) yang

apabila daya.tahan tubuh  menurun, maka penyakit dapat kambuh

kembali. Namun suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam

jangka pendek dapat menyebabkan kematian , sedangkan jangka

panjang dapat mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi

obstruksi paru yang menahun ( Meiyanti,2009)

3.3 Pencegahan

Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi

dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah

mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma;

dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan /

bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma (PDPI,

2003).

3.3.1. Pencegahan Primer

Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode

prenatal dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam

melakukan pencegahan primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat

dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus,

tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi

dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini adalah

belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung dan

menjanjikan (PDPI, 2003).

3.3.1.1 Periode prenatal

Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel

penyaji antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang

matang, merupakan saat fetus tersensisitasi alergen dengan

rute yang paling mungkin adalah melalui usus, walau

konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion adalah

penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin

menimbulkan sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor

konsentrasi alergen dan waktu pajanan sangat mungkin 11

Page 12: Asma

berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi

imunologis (PDPI, 2003).

Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang

bersifat alergen pada ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak

mengurangi risiko melahirkan bayi atopi, bahkan makanan

tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada

nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer

yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan (PDPI, 2003).

3.3.1.2 Periode postnatal

Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin

dilakukan terutama difokuskan pada makanan bayi seperti

menghindari protein susu sapi, telur, ikan, kacang-kacangan.

Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal tersebut,

menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat ditarik

kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling

lama menunjukkan efek transien dari menghindari makanan

berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan tindak

lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir

tidak ada efek pada manifestasi alergik saluran napas,

sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen

makanan sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil.

Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko

menimbulkan gangguan tumbuh kembang (PDPI, 2003).

Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi,

menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi

dibutuhkan studi lanjutan (PDPI, 2003).

Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya

menghindari sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir

menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing

sedini mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya

kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing

kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada

12

Page 13: Asma

menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan

hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan

mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di

kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran

bahwa strategi pencegahan primer sebaiknya didesain dapat

menilai keseimbangan sel Th1dan Th2, sitokin dan protein-

protein yang berfusi dengan alergen (PDPI, 2003).

Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan

imunomodulasi menggunakan sel Th1 ajuvan, vaksin DNA,

antigen yang berkaitan dengan IL-12 atau IFN-g, pemberian

mikroorganisme usus yang relevan melalui oral

(berhubungan dengan kolonisasi flora mikrobial usus).

Semua strategi tersebut masih sebagai hipotesis dan

membutuhkan penelitian yang tepat (PDPI, 2003).

3.3.1.3 Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/

ETS)

Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok

berdampak pada kesakitan saluran napas bawah pada

anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk

membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau

postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok

selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru

anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering

mendapatkan gangguan mengi dalam tahun pertama

kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang

mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan

berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan

merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan

paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi

pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya

asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan

13

Page 14: Asma

asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun

postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya

gangguan/ penyakit dengan mengi (PDPI, 2003).

3.3.2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder mencegah yang sudah tersensitisasi untuk

tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian

antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak

dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai peran

imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma

(PDPI, 2003).

Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan

pajanan alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur

tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih

menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika

pajanan terus berlangsung (PDPI, 2003).

Obat yang dapat digunakan untuk pencegahan sekunder

diantaranya Teofilin yang merupakan stimulan pusat pernafasan

merupakan metilxantin, Ipratropium bromide (semprot hidung) untuk

inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan

menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja

asetilkolin, dan Kortikosteroid Obat-obat golongan ini merupakan

steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang

sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan

jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek

obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi

mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara

langsung (Departemen Kesehatan RI, 2007).

3.3.3. Pencegahan Tersier

Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat

ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari

14

Page 15: Asma

pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan

kebutuhan medikasi/ obat (PDPI, 2003).

Obat-obatan yang dapat digunakan untuk membantu pencegahan

primer termasuk obat pengontrol atau anti inflamasi, diantaranya

adalah Kromolin obat ini tidak mempunyai aktifitas intrinsik

bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas

glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator,

histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis,

leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru

tempat obat diberikan. Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi

untuk pencegahan asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in

vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan

dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast,

monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon

bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen

terinhalasi (Departemen Kesehatan RI, 2007).

15

Page 16: Asma

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penyakit asma

adalah penyakit kronis (berlangsung lama) yang ditandai oleh sesak napas

disertai bunyi ngik-ngik (mengi) atau batuk persisten dimana derajat

keparahan setiap orang berbeda-beda. Penyakit asma juga merupakan

sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu

tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di

berbagai propinsi di Indonesia. Dalam natural history nya prepatogenesis

penyakit asma dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor

prenatal, genetik, lingkungan dan infeksi. Pada tahapan patogenesisnya yang

timbul akibat riwayat atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk

ketubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain

akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells

(APC). Kemudian paska patogenesisnya, Penyakit asma merupakan penyakit

yang kesembuhannya karier atau sembuh fungsional, apabila daya.tahan

tubuh  menurun, maka penyakit dapat kambuh kembali. Namun kesalahan

dalam penatalaksanaan dapat menyebabkan kematian dan terjadinya

obstruksi paru yang menahun. Dalam pencegahan penyakit asma dapat

dilakukan dengan tiga cara yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.

4.2. Saran

Diharapkan para masyarakat menerapkan pola pencegahan primer sebelum

terserang penyakit asma, karena penyakit asma juga dapat ditimbulkan

karena faktor lingkungan. Kemudian bagi para penderita asma supaya

menerapkan pencegahan sekunder ketika terjadi serangan dan menerapkan

pencegahan tersier dengan baik untuk tahapan rehabilitasi baik dalam terapi

farmakologi maupun yang lainnya.

16

Page 17: Asma

Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI

GINA (Global Initiative for Asthma), 2006. Pocket Guide for Asthma

Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.

Meiyanti & Mulia J.I. 2009. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma

Bronkial. Dipetik Desember, 20, 2013 dari Fakultas Kedokteran Univrsitas

Trisakti:

http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Vol.19_no.3_5.pdf

Oemiati R., Sihombing M., & Qomariah. . 2010. Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan Penyakit Asma di Indonesia. Dipetik Desember, 19,

2013, dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia:

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/201104149_0853-9987.pdf

PDPI, 2003. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Prasetyo, Budi. 2010. Seputar Masalah Asma. Jakarta: Divapress.

Price AS, 1995. Alih Bahasa Anugrah Patofisiologi Proses-proses Penyakit,

EGC. Jakarta

Sriwidodo WS, 2003. Asma. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran.

Szefler, S.J. 2010. Advances in Pediatric Asthma in 2010 : Addresing the Major

Issues. Dipetik Desember, 19, 2013, dari National Center for

Biotechnology Information :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3032272/

17

Page 18: Asma

Lampiran

Judul Penelitian :

GAMBARAN FAKTOR PENCETUS SERANGAN ASMA PADA PASIEN

ASMA DI POLIKLINIK PARU DAN BANGSAL PARU RSU Dr. SOEDARSO

PONTIANAK

Tempat Penelitian :

poliklinik paru dan bangsal paru RSU dr. Soedarso Pontianak.

Waktu penelitian :

Mei 2011 sampai dengan Juni 2011

Desain penelitian :

Desain penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah

penelitian deskriptif. Rancangan yang digunakan adalah cross sectional.

Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah asma, asap rokok, debu, latihan fisik, jenis makanan,

perubahan cuaca, dan perubahan emosi.

Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat adalah variabel yang akan dipengaruhi oleh variabel bebas.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian asma.

Populasi Target dan Terjangkau

Populasi target pada penelitian ini adalah pasien asma di poliklinik paru dan

bangsal paru RSU dr. Soedarso Pontianak. Populasi terjangkau pada penelitian ini

adalah pasien asma yang berobat di poliklinik paru dan bangsal paru RSU dr.

Soedarso Pontianak antara bulan Mei 2011 sampai Juni 2011.

18

Page 19: Asma

Sampel :

Sampel Kasus

Sampel kasus dalam penelitian ini adalah orang yang menderita asma di poliklinik

paru dan bangsal paru RSU dr. Soedarso Pontianak.

Sampel Kontrol

Sampel kontrol dalam penelitian ini adalah orang yang tidak menderita asma

adalah orang yang berada di sekitar penderita.

Teknik Pengambilan Sampel

Sampel dipilih dengan cara pemilihan sampel tidak berdasarkan peluang (non-

probability sampling). Jenis yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu

semua subyek yang memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Kasus

Inklusi

Menderita asma yang berobat di poliklinik paru dan bangsal paru RSU dr.

Soedarso Pontianak selama periode penelitian

Eksklusi

Pindah tempat saat dilakukan penelitian dan/ atau subjek menolak berpartisipasi

dalam penelitian

Kriteria Kontrol

Inklusi

Tidak menderita penyakit asma yang saat dilakukan penelitian.

Eksklusi

Subjek tidak bersedia untuk mengikuti penelitian dan/ atau pindah tempat saat

dilakukan penelitian

Judul Penelitian :

FAKTOR RESIKO ASMA PADA MURID SEKOLAH DASAR USIA 6-7

TAHUN DI KOTA MALANG

19

Page 20: Asma

Tempat Penelitian :

Beberapa SD di Kota Malang

Waktu penelitian :

Juni 2012 sampai dengan November 2012

Desain penelitian :

Desain penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah

merupakan cross sectional

Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah status gizi, jumlah saudara, pendidikan ibu, berat

badan lahir, faktor diet, berupa konsumsi makanan cepat saji dan kurang makan

sayuran, konsumsi coklat, es dan MSG, pemberian ASI, obat, yaitu pemberian

parasetamol dengan frekuensi tinggi dan pemberian antibiotika saat sebelum usia

satu tahun, paparan alergen bulu anjing dalam 12 bulan terakhir dan 12 bulan

pertama kehidupan, paparan alergen bulu kucing dalam 12 bulan terakhir dan 12

bulan pertama kehidupan, kontak dengan unggas dalam 12 bulan terakhir,

kebiasaan orang tua merokok, olah raga/aktifitas keseharian, bahan bakar

memasak, faktor lingkungan rumah, yaitu lingkungan dengan paparan lalu lintas,

memakai kipas angin, karpet dan kasur kapuk dalam 12 bulan terakhir.

Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat adalah variabel yang akan dipengaruhi oleh variabel bebas.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian asma.

Populasi Target dan Terjangkau

Populasi penelitian adalah semua anak SD usia 6-7 tahun yang bertempat tingal di

Kota Malang dengan orang tua mereka sebagai responden. Sampel penelitian

adalah semua murid kelas I dan II dan berusia 6-7 tahun dari SD terpilih dengan

carasimple random sampling.

20

Page 21: Asma

Judul Penelitian :

FAKTOR FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH TERHADAP

KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA ANAK

Tempat Penelitian :

RSUD Kabupaten Kudus

Waktu penelitian :

18 Januari 2008 sampai dengan tanggal 29 April 2008

Desain penelitian :

Jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian epidemilogi yang

bersifat observasional analitik, dengan desain Hospital Based Case Control Study.

Desain ini dipilih karena dapat digunakan untuk mencari hubungan seberapa jauh

faktor risiko mempengaruhi terjadinya penyakit.

Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas pada penelitian ini meliputi: keberadaan tungau debu dalam

rumah, keluarga yang memelihara binatang (anjing, kucing, burung), asap

merokok,riwayat keluarga, perabot rumah tangga sumber alergen (karpet, kasur,

bantal, selimut, seprai), makanan, perubahan cuaca (panas, dingin), dan jenis

kelamin.

Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kejadian asma bronkiale pada anak..

Populasi Target dan Terjangkau

Populasi target atau populasi referens merupakan bagian dari populasi untuk

menerapkan hasil penelitian. Berdasarkan penelitian untuk mengetahui faktor

risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma bronkiale anak, maka populasi

target penelitian ini adalah seluruh penderita asma bronkiale anak umur 1-15

tahun.Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien asma bronkiale anak

21

Page 22: Asma

yang berobat RSUD Kabupaten Kudus periode 18 Januari 2008 sampai dengan

tanggal 29 April 2008

Sampel :

Sampel Kasus

Sampel kasus dalam penelitian ini adalah penderita asma bronkiale anak umur 1-

15 tahun di RSUD Kabupaten Kudus.

Sampel Kontrol

Sampel kontrol dalam penelitian ini adalah orang yang tidak menderita asma

bronkiale adalah orang yang berada di sekitar penderita.

Teknik Pengambilan Sampel

Sampel penelitian untuk kelompok kasus diambil dari pasien asma bronkilale

anak umur 1-15 tahun yang baru didiagnosa asma bronkiale di bagian anak

berdasarkan pemeriksaan di RSUD Kabupaten Kudus. Kelompok kontrol diambil

dari pasien anak umur 1-15 tahun pada bagian anak yang tidak ada riwayat asma

bronkiale dan tidak memiliki keluhan atau adanya kelainan pada sistima saluran

pernafasan selama periode penelitian dengan menggunakan accidental technique

sampling.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi

1. Penderita asma anak berusia 1-15 tahun,

2. Minimal telah menghuni rumah tersebut selama 1 tahun,

3. Aktivitas di dalam rumah tersebut minimal 12 jam,

4. Responden bertempat tinggal di Kabupaten Kudus,

5. Responden memiliki identitas alamat yang jelas.

6. Bersedia menjadi sampel penelitian dengn menandatangani informed consent.

Kriteria eksklusi

Responden yang tidak diikutkan dalam penelitian ini adalah anak yang

terindikasi sebagai berikut:

1. Anak yang mengidap penyakit tuberkulosis paru.

22

Page 23: Asma

2. Anak yang terdiagnosa kelainan jantung.

Judul Penelitian :

KORELASI PENILAIAN ASMA TERKONTROL PADA PENDERITA ASMA

PERSISTEN SESUDAH PEMBERIAN KORTIKOSTEROID INHALASI

DENGAN MENGGUNAKAN ASTHMA CONTROL SCORING SYSTEM

DAN ASTHMA CONTROL TEST

Tempat Penelitian :

Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Waktu penelitian :

Bulan Mei 2006 sampai dengan Juli 2006

Desain penelitian :

Penelitian menggunakan metode kohort dan dilakukan analisis statistik untuk

mengetahui korelasi antara Asthma Control Scoring System dan Asthma Control

Test pada penderita asma persisten sebelum dan sesudah pemberian steroid

inhalasi.

Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian kortikosteroid inhalasi pada

pasien asma persisten.

Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kejadian asma persisten pada pasien.

Populasi Target dan Terjangkau

Populasi target atau populasi referens merupakan bagian dari populasi untuk

menerapkan hasil penelitian. Berdasarkan penelitian untuk mengetahui Korelasi

23

Page 24: Asma

Penilaian Asma Terkontrol Pada Penderita Asma Persisten Sesudah Pemberian

Kortikosteroid Inhalasi dengan Menggunakan Asthma Control Scoring System

dan Asthma Control Test, semua penyandang asma persisten yang berobat jalan

di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi, Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi

dengan Rentang umur mulai dari 18 tahun hingga 45 tahun. Populasi terjangkau

pada penelitian ini adalah semua penyandang asma persisten yang berobat jalan di

Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi, Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi

pada Bulan Mei 2006 sampai dengan Juli 2006.

Judul Penelitian :

PENGARUH PENJARUMAN TITIK AKUPUNTUR FEISHU (BL 13) DAN

ZUSANLI (ST 36) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT CD4 PADA MODEL

TIKUS PUTIH ASMA

Tempat Penelitian :

Laboratorium Histologi FK UNS

Waktu penelitian :

Mei 2011 sampai dengan Juni 2011

Desain penelitian :

Desain penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah

merupakan eksperimen laboratorium yang terkontrol dengan randomisasi (RCT)

Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah penjaruman titik akupuntur dan pemberian OVA

inhalasi.

Variabel Terikat (Dependent Variable)

24

Page 25: Asma

Variabel terikat adalah variabel yang akan dipengaruhi oleh variabel bebas.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian asma.

Populasi Target dan Terjangkau

Populasi target pada penelitian ini adalah tikus putih di Laboratorium Histologi

FK UNS. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah tikus putih asma di

Laboratorium Histologi FK UNS antara bulan Mei 2011 sampai Juni 2011.

Judul Penelitian :

PENGARUH TERAPI OKSIGEN PADA PENYAKIT ASMA AKUT

Tempat Penelitian :

RSSP Universitas Brawijaya Malang

Waktu penelitian :

April 2011 sampai dengan Juli 2011

Desain penelitian :

Desain penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah

merupakan eksperimen yang terkontrol dengan randomisasi (RCT)

Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah pemberian terapi oksigen.

Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat adalah variabel yang akan dipengaruhi oleh variabel bebas.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian asma.

Populasi Target dan Terjangkau

25

Page 26: Asma

Populasi target atau populasi referens merupakan bagian dari populasi untuk

menerapkan hasil penelitian. Berdasarkan penelitian untuk mengetahui pengaruh

terapi oksigen pada asma akut, maka populasi target penelitian ini adalah seluruh

penderita asma akut. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien asma

akut yang berobat RSSP Universitas Brawijaya Malang

periode April 2011 sampai dengan Juli 2011.

26