asma refrat.ika
DESCRIPTION
asmaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma dapat
bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan
mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat bolos kerja
atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga menambah penurunan
produktivitas serta menurunkan kualitas hidup.
Istilah asma berasal dari bahasa Yunani asthma yang berarti “sengal-sengal”.
Dalam pengertian klinik, asma dapat kita artikan sebagai batuk yang disertai sesak napas
berulang dengan atau tanpa disertai mengi.
Penyebab asma dapat berasal dari gangguan pada saluran pernapasan yang kita
kenal sebagai asma bronkial dan bisa juga berasal dari jantung yang kita kenal sebagai
asma jantung. Istilah bronkial sendiri merujuk pada bronkus. Istilah tersebut berasal dari
bahasa Inggris, “bronchial.” Dengan demikian, asma bronkial dapat dipahami sebagai
asma yang penyebabnya berkaitan dengan bronkus.
Pada penderita asma bronkial terjadi penyempitan bronkus secara berulang-ulang.
Di antara masa serangan tersebut, terdapat fungsi dimana fungsi ventilasi paru mendekati
keadaan normal.
Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang paroksismal,
berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi
atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang
berlebihan.
1
Asma merupakan penyakit familiar yang diturunkan secara poligenik dan
multifaktorial. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus histokompatibiltas
(HLA) dan tanda genetik pada molekul imunoglobulin G (IgG).
2
BAB II
ISI
Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit
hingga beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total.
Namun demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan
derajat tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode
yang berat atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama
berhari-hari atau berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status
asmatikus. Pada beberapa keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat
berakhir dengan kematian.
Etiologi
Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma
dibuat berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang
berkaitan dengan episode akut. Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua
kategori timbal balik dapat dipisahkan :
1. Asma ekstrinsik imunologik
Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak,
umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik.
3
Kebanyakan penderita adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari
semua bentuk alergi dan mungkin asma bronkial.
2. Asma intrinsik imunologik
Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk lebih sering kambuh dan
berat. Lebih sering berkembang ke status asmatikus.
Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk ditekankan
bahwa perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap
subklasifikasi yang diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis
rangsangan. Dengan mengingat hal ini, dapat diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi
dan idiosinkrasi.
Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga
mengenai penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and
flare yang positif terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa udara,
peningkatan kadar IgE dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi yang
meliputi inhalasi antigen spesifik
Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan
memperlihatkan riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif, dan kadar
IgE serum normal. Oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
imunologik yang sudah jelas. Banyak pasien kelompok ini akan menderita kompleks
gejala yang khusus berdasarkan gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal
mungkin hanya berupa gejala flu biasa, tetapi setelah beberapa hari pasien mulai
mengalami mengi paroksismal dan dispnea yang dapat berlangsung selama berhari-hari
samapai berbulan-bulan.
Faktor risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor
lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
4
Pajanan limgkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik
asma
Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing
meningkatkan risiko asma
Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis
kelamin dan ras. Fenotip yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif
(gejala) dan objektif (hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi
dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan
(virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan
lingkungan kerja dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian
faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan
kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan
menetapnya gejala.
Epidemiologi
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan
diperkirakan 4–5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini.
Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar
separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum
usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1
yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.
Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi
5
di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab
kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar
5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk,
dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000
penduduk.
Kira-kira 2–20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada
penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di Indonesia, namun
diperkirakan berkisar antara 5–10%. Dilaporkan di beberapa negara angka kejadian asma
meningkat, misalnya di Jepang. Australia dan Taiwan. Di poliklinik Subbagian Paru
Anak FKUI-RSCM Jakarta, lebih dari 50% kunjungan merupakan penderita asma.
Jumlah kunjungan di poliklinik Subbagian Paru Anak berkisar antara 12.000–13.000 atau
rata-rata 12.324 kunjungan pertahun. Pada tahun 1985 yang perlu mendapat perawatan
karena serangan asma yang berat ada 5 anak, 2 anak di antaranya adalah pasien poliklinik
paru. Sedang yang lainnya dikirim oleh dokter luar. Tahun 1986 hanya terdapat 1 anak
dan pada tahun 1987 terdapat 1 anak yang dirawat karena serangan asma yang berat.
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma
pada anak dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta
gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan
menggunakan kuisioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuisioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 ±
0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma),
6,2% dari 64% diantaranya mempunyai gejala klasik. Bagian anak FKUI-RSCM
melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada 1995–1996
dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS, ISAAC dan Robertson, serta
melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11
tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8%
dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada
siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 13–14 tahun melalui kuisioner
6
ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang
dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma) 8,9%
dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di
lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi
ATS, yaitu proyek pneumobile Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute
of Respiratory Medicine, New South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE)
menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden
usia 13 – 70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 %
dengan rincian laki-laki 9,2 % dan perempuan 6,6 %.
Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan
dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas
pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma
intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma
seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus,
iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik
Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–
15 menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed
mediator seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti
leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan
kontraksi otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang
segera, baik secara spontan maupun dengan bronkodilator seperti
7
simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau
antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian
kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk
beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.
Reaksi fase lambat dan lama
Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis
reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan
netrofil 4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga
berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan
tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena
mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema
submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat,
kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan
inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti
limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus.
Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering
ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus
oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel
mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4.
Mediator PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat
menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta
menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan
hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.
Airway remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic
8
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan
akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah
peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah
distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman
airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan
pengobatan dari proses tersebut.
Patologi Anatomi
Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus
penyumbat dalam bronki, (2) Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang
nyata, dan (3) Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang
berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang
terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen
seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki
tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka
superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai.
Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya
otot polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah
yang tidak mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema
subepitel. Pertambahan jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil
9
terdapat pada mukosa yang edema. Sumbatan di dalam jalan napas mengandung : (1)
Gulungan sel epitel yang lepas dan sekret protein yang membentuk spiral Curschmann,
(2) Eosinofil yang padat dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden
bebas yang dilepaskan oleh eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri dapat
membentuk perubahan anatomi kea rah bronkitis.
Patofisiologi
Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang
disebabkan oleh kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus
dan sekret kental yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas,
penurunan ekspirasi paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan aliran udara,
hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja bernapas, perubahan fungsi otot-otot
pernapasan, perubahan rekoil elastik (elastic recoil), penyebaran abnormal aliran darah
ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dan perubahan gas darah arteri.
Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai penyakit saluran napas, sesungguhnya semua
aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama serangan akut. Pada pasien yang sangat
simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru pada
elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas vital paksa (forced vital
capasity) cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai normal. Volume
ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan, sementara rata-rata
aliran mid ekspiratori maksimum dan minimum berkurang sampai 20% atau kurang dari
yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap (air
trapping) ditemukan dalam jumlah besar.
Gambaran klinik
Gejala asma terdiri dari trias dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang paling
khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat
timbul bersama-sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang
menghasilkan lendir atu mukus yang lengket seperti benang yang liat dan kerapkali
10
berbentuk silinder dari saluran napas bagian distal (Spiral Churschmann) serta
memperlihatkan sel eosinofil serta kristal Charcot-leyden jika dilihat dengan mikroskop.
Berbagai pembagian asma pada anak telah banyak dikemukakan. Pembagian asma
menurut Phelan dkk (1983) adalah sebagai berikut :
1. Asma episodik jarang
Golongan ini merupakan 70–75% dari populasi asma anak. Biasanya terdapat
pada anak umur 3–6 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran
napas atas. Banyaknya serangan 3–4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling
lama hanya beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-
gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung sekitar
3–4 hari dan batuknya dapat berlangsung 10–14 hari. Waktu remisinya bermingu-
minggu sampai berbulan-bulan. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang
didapatkan. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan
kelainan lain.
2. Asma episodik sering
Golongan ini merupakan 28% dari populasi asma anak. Pada dua pertiga
golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan,
serangan berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas. Pada umur 5–6 tahun
dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua
menghubungkannya dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan
stress. Banyaknya serangan 3−4 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan beberapa
hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan paling banyak pada umur 8−13
tahun. Pada golongan lanjut kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma
kronik atau persisten. Umumnya gejala paling buruk terjadi pada malam hari dengan
batuk dan mengi yang dapat mengganggu tidur.
Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Jika
waktu serangan lebih dari 1−2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay
fever dan eksim dapat ditemukan pada golongan ini. Pada golongan ini jarang
ditemukan gangguan pertumbuhan.
3. Asma kronik atau persisten
11
Pada 25% anak serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75% sebelum
umur 3 tahun. Pada 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan
pada 50% sisanya serangan episodik. Pada umur 5−6 tahun akan lebih jelas terjadinya
obstruksi saluran napas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari.
Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan memerlukan perawatan di
rumah sakit. Obstruksi jalan napas mencapai puncaknya pada umur 8–14 tahun.
Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten
atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada
pemeriksaan fisik dapat terjadi perubahan bentuk toraks seperti dada burung (pigeon
chest), dada tong (barrel chest) dan terdapat sulkus Harrison. Pada golongan ini dapat
terjadi gangguan pertumbuhan, yaitu bertubuh kecil. Kemampuan aktivitas fisiknya
sangat berkurang, sering tidak dapat melakukan kegiatan olahraga dan kegiatan biasa
lainnya. Sebagian kecil ada juga yang mengalami gangguan psikososial.
Varian bentuk Asma
Disamping tiga golongan besar tersebut diatas terdapat bentuk asma yang tidak dapat
begitu saja dimasukkan ke dalamnya.
1. Asma episodik berat atau berulang
Dapat terjadi pada semua umur, biasanya pada anak kecil dan umur prasekolah.
Serangan biasanya berat dan sering memerlukan perawatan di rumah sakit.
Biasanya berhubungan dengan infeksi saluran napas. Di luar serangan biasanya
normal dan tanda-tanda alergi tidak menonjol. Serangan biasanya hilang pada
umur 5−6 tahun. Tidak terdapat obstruksi saluran napas yang persisten.
2. Asma persisten
Mengi yang persisten dengan takipnea untuk beberapa hari atau beberapa minggu.
Keadaan mengi yang persisten ini kemungkinan besar berhubungan dengan
kecilnya saluran napas pada anak golongan umur ini. Terjadi pada beberapa anak
umur 3−12 bulan. Mengi biasanya terdengar jelas jika anak sedang aktif. Keadaan
umum anak dan tumbuh kembang biasanya tetap baik, bahkan beberapa anak
menjadi gemuk sehingga ada istilah “fat happy wheezer”. Gambaran rontgen paru
12
biasanya normal. Gejala obstruksi saluran napas disebabkan oleh edema mukosa
dan hipersekresi daripada spasme otot bronkusnya.
3. Asma hipersekresi
Biasanya terdapat pada anak kecil dan permulaan umur sekolah. Gambaran utama
serangan adalah batuk, suara napas berderak dan mengi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan ronkhi basah kasar dab ronkhi kering..
4. Asma karena beban fisik
Serangan asma setelah melakukan kegiatan fisik sering dijumpai pada asma
episodik sering dan pada asma kronik persisten. Disamping itu terdapat golongan
asma yang manifestasi klinisnya baru timbul setelah ada beban fisik yang
bertambah. Biasanya pada anak besar dan akil baliq.
5. Asma dengan alergen atau sensitivitas spesifik
Pada kebanyakan asma anak, biasanya terdapat banyak faktor yang dapat
mencetuskan serangan asma, tetapi pada anak yang serangan asmanya baru timbul
segera setelah terkena alergen, misalnya bulu binatang, minum aspirin, zat warna
tartrazine, makan makanan atau minum minuman yang mengandung zat
pengawet..
6. Batuk malam
Banyak terdapat pada semua golongan asma. Batuk terjadi karena inflamasi
mukosa, edema dan produksi mukus yang banyak. Bila gejala menginya tidak
jelas sering salah didiagnosis, yaitu pada golongan asma anak yang berumur 2−6
tahun dengan gejala utama serangan batuk malam yang keras dan kering. Batuk
biasanya terjadi pada jam 1−4 pagi. Pada golongan ini sering didapatkan tanda
adanya alergi pada anak dan keluarganya.
7. Asma yang memburuk pada pagi hari
Golongan yang gejalanya paling buruk jam 1−4 pagi. Keadaan demikian dapat
terjadi secara teratur atau intermitten. Keadaan ini diduga berhubungan dengan
irama diurnal caliber saluran napas, yang pada golongan ini sangat menonjol.
Gejala klinis
Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak berumur 2 tahun. Secara
klinis asma dibagi dalam 3 stadium, yaitu :
13
1. Stadium I
Disaat terjadi edema dinding bronkus, batuk paroksismal karena iritasi dan batuk
kering. Sputum yang kering dan terkumpul merupakan benda asing yang
merangsang batuk.
2. Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan timbul batuk berdahak jernih berbusa.
Pada stadium ini anak akan mulai berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirasi
memanjang dan terdengar mengi. Tampak otot napas tambahan turut bekerja.
Terdapat retraksi suprasternal, epigastrium dan mungkin sela iga. Anak lebih
senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau
kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosis sekitar mulut. Toraks membungkuk ke
depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang
lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi suprasternal dan
interkostal.
3. Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga
suara napas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering
disangka ada perbaikan. Batuk seperti ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur
dan frekuensi napas yang mendadak meninggi
Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita
tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat
episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas
yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,
ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas
kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostic
14
Riwayat penyakit atau gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.
Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila
ada beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma
anak dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak
tidur, disertai sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada
anak yang demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus)
sebagian besar akan terbukti adanya sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat
batuk biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat
mungkin merupakan bentuk asma.
Pemeriksaan fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang
tidak ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk
paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat
retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma
kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter
anteroposterior toraks bertambah.
15
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah
posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas
melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar
juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus
banyak.
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi
dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu
napas.
o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya
dengan tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang
dapat menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya
terdapat pada asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat
badannya pada tiap kali kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai
dari perbaikan pertumbuhannya.
Uji faal paru
Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran
faal paru digunakan untuk menilai :
1. Derajat obstruksi bronkus
2. Menilai hasil provokasi bronkus
3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC,
FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap
kunjungan. “peak flow meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan
spirometer memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC),
aliran puncak ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai
normalnya. Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR
dan FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat
secara klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi
kapasitas residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut
16
umumnya akan normal kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus
dilakukan bila diagnosis masih diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya
hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi bronkus dapat dilakukan dengan :
1. Histamin
2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila
PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi
bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan
setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif
dan uji provokasi tidak perlu dilakukan.
Foto rontgen toraks
Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan.
Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus
paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol.
Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin
Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang
diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral
Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear.
Uji kulit alergi dan imunologi
1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum.
2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak
didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal
17
itu, sebenarnya ada pemeriksaan yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus
dengan alergen yang bersangkutan. Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan
pemberian antihistamin
3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan
penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak
dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada
lengan tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.
Diagnosis banding asma pada anak :
Pada bayi adanya benda asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus
yang menekan trakea.
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.
Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial
Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. Bila
sering berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.
Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di
bawah umur 6 bulan dan jarang berulang.
Asma kardial. Sangat jarang pada anak. Dispnea paroksismal terutama malam hari
dan biasanya didapatkan tanda-tanda kelainan jantung.
Asma pada bayi dan anak kecil sering didiagnosis sebagai bronkitis asmatika, wheezy
cold, bronkitis dengan mengi, bronkiolitis berulang dan lain-lainnya.
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan
dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi
tingkat pengobatan.
18
Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
Derajat
asma
Gejala Gejala
malam
Faal paru
Intermitten Bulanan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala diluar serangan
Serangan singkat
≤ 2x/bulan APE ≥ 80%
VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80%
nilai terbaik
Variabilitas APE <
20%
Persisten
ringan
Mingguan
Gejala > 1x/minggu tetapi <
1x/hari
Serangan dpt mengganggu
aktivitas dan tidur
> 2x/bulan APE > 80%
VEP1 ≥ 80%
nilai prediksi APE ≥
80% nilai terbaik
Variabilitas APE
20-30%
Persisten
sedang
Harian
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur
membutuhkan bronkodilator
setiap hari
>
1x/minggu
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%
nilai terbaik
Variabilitas APE >
30%
Persisten
berat
Kontinua
Gejala terus menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas
Sering APE ≤ 60%
VEp1 ≤ 60% nilai
prediksi ≤ 60% nilai
terbaik
Variabilitas APE >
30%
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis
19
bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan
juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.
Tabel klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan faal paru dalam pengobatan Tahap I
intermiten
Tahap 2
persisten
sedang
Tahap 3
persisten
sedang
Tahap I : intermitten
Gejala < 1x/minggu
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/bulan
Faal paru normal di luar serangan
Intermiten Persisten
ringan
Persisten
sedang
Tahap II : persisten ringan
Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari,
gejala malam > 2x/bulan, tetapi <
1x/minggu
Faal paru normal diluar serangan
Persisten
ringan
Persisten
sedang
Persisten
berat
Tahap III : persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan
mempengaruhi aktivitas dan tidur
Gejala malam > 1x/minggu
60% < VEP1 < 80% nilai prediksi
60% < APE < 80% nilai terbaik
Persisten
sedang
Persisten
berat
Persisten
berat
Tahap IV : persisten berat
Gejala terus menerus, serangan sering,
gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau
APE ≤ 60% nilai terbaik
Persisten
berat
Persisten
berat
Persisten
berat
Pengobatan
20
Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan
serangan. Serangan asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam
keadaan status asmatikus, yakni serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan
obat-obat biasa yang dapat mengatasi serangan tersebut.
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,
terdiri dari pengontrol dan pelega.
1. Pengontrol (controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifier
Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1)
2. Pelega (reliever)
Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala
akut, seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan
napas. Termasuk pelega adalah :
Agonis beta-2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
21
Aminofilin
Adrenalin
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi
langsung ke jalan napas adalah :
1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan
3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat
bila diberikan secara inhalasi daripada oral.
Serangan asma dan penanggulangannya
o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat
bronkodilator oral atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak
memerlukan pengobatan.
o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang
kerjanya cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan
seperti adrenalin.
o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada
serangan ringan kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan
kortikosteroid dan bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu
diberikan 1–2 liter/menit.
o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol
atau subkutan dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi
keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal
atau diduga akan gagal, keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak
tersebut sudah masuk dalam keadaan status asmatikus.
Penanggulangan status asmatikus
1. Pemberian oksigen dilanjutkan 4–6 liter/menit.
22
2. Periksa gas darah dan pasang IVFD cairan 3:1 (glukosa 10% : NaCl 0,9%
ditambah KCl 5 Meq/kolf. Koreksi keseimbangan cairan, asam-basa dan
elektrolit.
3. Pemberian teofilin dilanjutkan, dengan :
memonitor kadar teofilin darah
Pantau tanda-tanda keracunan teofilin
Bila tidak ada tanda-tanda keracunan teofilin dan keadaan serangan asmanya
belum membaik, mungkin perlu tambahan dosis teofilin.
4. Kortikosteroid yang sudah diberikan diteruskan pemberiannya, bila belum harus
diberikan. Kortikosteroid diberikan intravena, karena sangat diperlukan untuk
mempercepat hilangnya udem dan mengembalikan sensitivitas terhadap
bronkodilator.
5. Usaha pengenceran lendir dengan obat mukolitik perlu dipertimbangkan karena
biasanya pada keadaan seperti ini terdapat banyak lender dan lengket di seluruh
cabang-cabang bronkus.
6. Periksa EKG dan roentgen foto toraks.
Pantau tanda-tanda vital, bila terdapat tanda-tanda gagal napas yang mengancam
perlu bantuan pernapasan, bila perlu dirawat di unit perawatan intensif.
Apabila serangan asma baru pada stadium prodromal, maka penggunaan
bronkodilator secepat-cepatnya dan dengan cara yang tepat dengan dosis yang cukup
memadai dapat menggagalkan serangan asma akut (lewis dan farrel, 1985).
Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping
dipakai untuk mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi
serangan asma. Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi)
merupakan cara pencegah dan penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya.
Simpatomimetik sering dikombinasikan dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis
tengah, efek bronkodilatasinya bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih sedikit.
Pada penggunaan jangka panjang, misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat
tunggal atau kombinasi dengan simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih
23
dahulu sebelum ditambah dengan obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan
asma.
Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya
dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis
prednison 1–2 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian
kortikosteroid jangka pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang
lebih gawat dan perawatan di rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat
terapi kortikosteroid lama dengan dosis rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis
kortikosteroid perlu ditinggikan. Pada asma yang persisten atau kronik, pemberian
kortikosteroid mungkin diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid jangka
panjang harus diberikan secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma
mungkin lebih banyak disebabkan oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada
bronkospasme. Pemberian kortikosteroid mungkin sangat berguna.
Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah
degranulasi sel mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila
diberikan secara teratur (Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat
mencegah asma yang diinduksi aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas
pencegahannya sama dengan teofilin, efek samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977,
Furukawa dkk 1984).
Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 1–
2 kali/hari. Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga
mencegah keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang
dapat diberikan 2 kali/hari.
Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978).
Tetapi tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu
dipertimbangkan bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin
dan tidak memberikan hasil.
24
Penatalaksanaan dan pencegahan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa
asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga
penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan,
mempunyai manfaat, aman dan terjangkau.
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk latihan fisik
5. Menghindari efek samping obat.
6. Mencegah terjadinya keterbatasan alran udara irreversible
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya ridak ada), termasuk gejala malam.
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan).
4. Variasi harian APE < 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
.
25
Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program
penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu :
1. Edukasi
2. Menilai dan memonitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang
mudah dan dikenal (dalam istilah) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan meghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri secara teratur
7. Menjaga kebugaran dan berolahraga
Penanggulangan serangan asma pada anak sekarang yang lebih penting ditujukan
untuk mencegah serangan asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan
serangan asma terdiri atas :
Menghindari faktor-faktor pencetus
Obat-obatan dan terapi imunologi
Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-
reaksi yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.
26
Macam-macam pencetus asma :
1. Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan
asma (William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas
juga merupakan factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas
hubungan dengan bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada
bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan
bertambahnya umur makin banyak jenis alergen pencetusnya. Asma karena makanan
biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil.
2. Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya
respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit.
3. Cuaca
Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez
dan Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
4. Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan
polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung
dan batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara
kering mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss
dkk 1978, Zebailos dkk 1978).
5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma
(Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus.
Pada anak dengan faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6. Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat
mempermudah terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi
dapat memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.
7. Refluks gastroesofagitis
27
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan
orang dewasa (Dess 1974).
8. Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan
asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan
usaha-usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma
atau hari depan anak juga tidak baik, karena dapat memperberat serangan asma.
Membatasi aktivitas anak, anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam,
terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma,
pengeluaran uang untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi
anak asma dan keluarganya.
Serangan asma sering timbul karena kerja sama berbagai pencetus. Dengan anak
pencetus alergen sering disertai pencetus non alergen yang dapat mempercepat dan
memperburuk serangan asma. Pada 38% kasus William dkk (1958) Faktor pencetusnya
adalah alergen dan infeksi. Diduga infeksi virus memperkuat reaksi terhadap pencetus
alergenik maupun nonalergenik.
Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan
diajarkan pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan
pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di
poliklinik Subbagian Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
Jakarta, debu rumah diduga sebagai pencetusnya.
Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak
lama setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya.
Anggota keluarga yang sedang menderita “flu” tidak boleh mendekati anak yang
asma atau kalau dekat anak yang asma lebih-lebih bila bicara, batuk atau bersin perlu
menutup mulut dan hidungnya. Hindarkan anak dari perubahan cuaca atau udara yang
mendadak, lebih-lebih perubahan ke arah dingin.
28
Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat
ditempuh supaya anakdapat tetap beraktivitas adalah :
1. Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang
mendadak, Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda,
berenang.
2. Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila
batuk-batuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.
3. Ada beberapa anak yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol
dahulu beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga.
Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke
depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah,
gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik
dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat
terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama
dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia.
Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi
dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat
menyebabkan gagal pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian.
Prognosis dan perjalanan klinis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
29
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul
pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah
diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi
persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara
keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21
tahun asmanya sudah menghilang. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi asma anak :
7. Umur ketika serangan pertama timbul, seringnya serangan asma, berat ringannya
serangan asma, terutama pada 2 tahun sejak mendapat serangan asma.
8. Banyak sedikitnya faktor atopi pada anak dan keluarga.
9. Pernah menderita atau menderita ekzema infantil yang sulit diatasi.
10. Lamanya minum air susu ibu.
11. Usaha pengobatan dan penggulangannya.
12. Apakah orang tua atau orang serumah/sekamar merokok. Polusi udara di dalam atau
di luar rumah.
13. Penghindaran alergen yang dimakan sejak hamil dan sewaktu menyusui.
14. Jenis kelamin, kelainan hormonal dan lain-lain.
30
BAB III
KESIMPULAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai Negara di seluruh dunia. Asma dapat
bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan
mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat bolos kerja
atau sekolah dan dapat menimbulkan kecacatan sehingga menambah penurunan
produktivitas serta menurunkan kualitas hidup.
Penyebab asma dapat berasal dari gangguan pada saluran pernapasan yang kita
kenal sebagai asma bronkial dan bisa juga berasal dari jantung yang kita kenal sebagai
asma jantung. Istilah bronkial sendiri merujuk pada bronkus. Istilah tersebut berasal dari
bahasa Inggris, “bronchial.” Dengan demikian, asma bronkial dapat dipahami sebagai
asma yang penyebabnya berkaitan dengan bronkus.
Serangan asma dapat berupa serangan sesak napas ekspiratoir yang paroksismal,
berulang-ulang dengan mengi (“wheezing”) dan batuk yang disebabkan oleh konstriksi
atau spasme otot bronkus, inflamasi mukosa bronkus dan produksi lendir kental yang
berlebihan.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan
di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika : Jakarta, 2002.
3. Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume 3.
Editor Edisi bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta, 2000.
4. Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.
5. http://www.klinikku.com/pustaka/medis/resp/asma.html
32