askep sle pada anakkkk(edit)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu sindrom yang melibatkan
banyak organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini
dapat ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang
menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya.
Sistemik Lupus Eritematosus lebih banyak dijumpai pada wanita umur
antara 13-40 tahun dengan perbandingan perempuan : laki-laki = 9:1 diduga ada
kaitan faktor hormonal dengan patogenesis. Dari berbagai laporan penelitian
prevalensi dari masing-masing suku berbeda-beda, diperkirakan 15 sampai 50
kasus per 100.000 penduduk. Suku Indian Amerika, Afrika, dan Hispanik
dilaporkan prevalensi SLE sangat tinggi bila dibandingkan dengan suku
Caucasian. Diperkirakan prevalensi di Inggris 12,5/100.000, Asia 17/100.000
penduduk, Aborigin 11/100.000. dilaporkan suku-suku di Asia pevalensi SLE
pada suku Cina, Jepang, dan Filipina lebih tinggi dibandingkan suku India dan
Pakistan (Askandar, 2007).
Genetik, lingkungan, hormonal dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana
ke tiga faktor ini saling terkait erat. Faktor lingkungan dan hormonalberperan
sebagai pencetus pada individu peka genetik (Askandar, 2007).
Gejala utama Sistemik Lupus Eritmatosus (SLE) adalah kelemahan umum,
anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Sekitar 80% kelainan
melibatkan jaringan persendian, kulit, dan darah 30- 0% menyebabkan kelainan
ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-30% menyebabkan trombosis arteri dan
vena yang berhubungan dengan antibody antikardiolipin.
Manifestasi klinis SLE pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiartik
psikiosis,kejang, stroke, kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati. Angka
kejadian mielopatitransversa pada SLE sekitar 1-2%, sedangkan insiden kejadian
1
mielopati transversa pada populasi umum 1,34/satu juta. Prevalensi SLE diantara
etnik adalah wanita kulit hitam 1:250, wanita kulit putih 1:4300, dan wanita Cina
1:1000.
Saat ini mortalitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan
perbaikan. Five year survival rate-nya saat ini hampir 90 %, sedangkan 15 year
survival rate-nya berkisar 63-79 %. Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi
yang lebih agresif dan kemajuan penggunaan immunosupresan untuk menekan
aktivitas penyakit. Prinsip engobatan adalah untuk menekan aktivitas penyakit,
untuk mencegah progresivitas dan memantau efek mpaing obat. Sampai saat ini
steriod masih digunakan sebagai pilihan utama untuk mengendalikan aktivitas
penyakit.
B. TUJUAN
1. Tujuan umum
Setelah mengikuti seminar ini, di harapkan mahasiswa dapat memberikana
asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit SLE (Systemisc Lupus
erythematosus)
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa dapat memahami anatomi fisiologi system hematologi
b. Mahasiswa dapat menjelaskan Definisi penyakit SLE
c. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi SLE
d. Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis SLE
e. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi SLE
f. Mahasiswa dapat menyebutkan pemeriksaan penunjang penyakit SLE
g. Mahasiswa dapat menjelaskan pencegahan penyakit SLE
h. Mahasiswa dapat menerapkan penatalaksanaan penyakit SLE
i. Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan
Penyakit SLE
2
C. MAMFAAT
1. Secara teroritis
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan
pengetahuan serta menambah ilmu pengetahuan sehingga tercapai wahana
ilmiah dari referensi atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan
di bidang pendidikan.
b. Bagi Ilmu Keperawatan
Sebagai bahan literatur dan dapat memberikan informasi serta
bagaimana bentuk pelayanan keperawatan pada pasien dengan penyakit
SLE (Systemisc Lupus erythematosus).
2. Secara praktis / klinis
a. Untuk PSIK Yayasan Pendidikan Darussalam Lhokseumawe
Dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebagai bahan dasar dalam penelitian
selanjutnya.
b. Untuk pelayanan
Khususnya pelayanan keperawatan diharapkan makalah ini dapat
memberikan informasi sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan keperawatan terhadap klien di RSUCM.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
“Lupus” adalah nama latin untuk “srigala”, dan dikenal luas dalam
ilmu kedokteran bahwa “ruam kupu-kupu” yang dilihat di pipi sebagai
penderita lupus serupa dengan wajah srigala sehingga disebut lupus-
erythematosus kali pertama untuk menyebut kelainan kulit oleh orang Prancis,
Pierre Cazenave, pada 1851.
SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun,
artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan
kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun,
antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri (Djauzi, 2009).
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang
atau imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan system imun (Albar, 2003).
Secara sederhana, lupus erythemetosus terjadi karena tubuh menjadi
alergi terhadap dirinya sendiri. Dalam istilah immunologi dapat dikatakan,
lupus adalah kebalikan apa yang terjadi kanker maupun AIDS. Pada Lupus,
tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing dan
memproduksi banyak antibodi atau protein-protein yang melawan jaringan
tubuh sendiri. Karena itu, lupus disebut dengan penyakit autoimun (auto
berarti dengan sendirinya) (Wallace, 2007).
B. PREVALENSI
Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. SLE lebih sering
ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Amerika, Cina, dan mungkin
4
juga Filipina. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda – beda, dari
berbagai sumber didapatkan data antara lain :
1. Di Amerika Serikat, insiden penyakit SLE adalah 14.6 – 50.8
kasus/100.000 orang sedangkan prevalensinya 24- 100/100.000 orang. The
Lupus Foundation of America (LFA) memperkirakan sekitar 1,5 juta
penduduk Amerika Serikat menderita penyakit SLE dengan berbagai tipe
terutama wanita. Orang Amerika keturunan Afrika, Hispanik, orang
Amerika asli dan orang Asia memiliki resiko besar untuk menderita
penyakit SLE. Di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian dan
kesakitan tertinggi berada di kalangan Negro, kemudian diikuti oleh
orang-orang dari Puerto Ricans baru oleh orang-orang kulit putih.
Perbedaan ras, disebabkan oleh variasi normal dari g globulin, di mana
kadar ini lebih tinggi di kalangan kaum Negro.
2. Prevalensi penyakit SLE di Swedia adalah 36/100.000 orang.
3. Di Inggris prevalensinya hampir sama dengan orang Asia 40/100.000
orang
4. Di negara Eropa prevalensi SLE 20/100.000 orang
5. Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 – 40 tahun tetapi
semua umur bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering menyerang pada
wanita daripada pria ( 9 : 1 ) sedangkan pada anak-anak meningkat 10 : 1.
6. Pada wanita Eropa umur 15 -24 tahun prevalensinya 1/700 orang wanita
7. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15 – 24 tahun prevalensinya 1/245
orang wanita
Yang menarik perhatian adalah penyakit SLE jarang ditemukan di Afrika.
Ada 2 kemungkinan penyebabanya yaitu :
a. faktor resiko lingkungan lebih banyak di Amerika Serikat dan Eropa
dibanding kan dengan Afrika.
b. Campuran dari gen keturunan Afrika dengan orang Eropa
menghasilkan gen-gen yang meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit SLE ini. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
5
8. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data yang terakhir diperoleh RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien
di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang
berobat ke poliklinik Reumatologi.
Penyakit lupus justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif
sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Organ
reproduksi wanita menghasilkan estrogen dan progesteron, hormon pria
disebut dengan androgen di mana testosteron menjadi hormon paling penting.
estrogen atau hormon pada wanita dapat meningkatkan autoimmunity dan
secara tidak langsung menimbulkan peradangan, padahal androgen (hormon
pria) secara keseluruhan menekan autoimmunity. Estrogen meningkatkan
produksi autoantibody. Menghambat fungsi sel pembunuh alami dan
mnyebabkan atrophy pada kelenjar thymus. Lebih lanjut, pada SLE, estrogen
mengalami proses metabolisme secara berbeda. Akibat kelainan pada jalur
kimia (disebut 16 alpha-hydroxylation), pasien lupus memiliki jumlah 16
alpha-hydroxylation dan estriol metabolite lebih banyak. Pria pasien lupus
memiliki jumlah testosteron dan androgen lain yang kurang dari angka
normal.
Pasien yang mengalami sindrom klinifelter labih cenderung mengidap
SLE dan berhubungan langsung dengan kelebihan hormon wanita. Pada
kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering diduga
berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Survei 1960-an
menyatakan bahwa meyoritas jenis kelamin janin yang dikandung wanita
pasien SLE yang keguguran adalah laki-laki. Ini menunjukkan bahwa janin
yang berjenis kelamin laki-laki tidak dilahirkan (resiko SLE), ini juga dapat
menjelaskan mengapa sedikit pria yang mengidap SLE.
6
C. KLASIFIKASI
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus
Yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus
yang menyerang kulit. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai
oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan
telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,
punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemics Lupus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Drug-Induced
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000). Gejala-gejalanya biasanya menghilang
setelah pemakaian obat dihentikan.
7
Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely *tinggi* Possible *sedang* Unlikely
*rendah*
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa
Fenitoin
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Antikonvulsan
Metimazol
Penisilinamin
Sulfasalazin
Sulfonamid
Nitrofurantoin
Simetidin
Propitiourasil
D. ETIOLOGI
Sampai saat penyebab LES (Lupus eritematsus sistemik) belum
diketahui, Diduga ada beberapa faktor yang terlibat, antara lain:
1. Genetik
2. Infeksi, virus
3. Sinar ultraviolet
4. Stress
5. Obat-obatan
Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip
lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan.
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh
pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun
wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor
hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus
daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum
8
menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon
(terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan anti bodi secara terus menerus. Anti bodi
ini juga berperan dalam komplek imun sehingga mencetuskan penyakit
implamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis
melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama
aktifitas selbe. Hal ini dapat terjadi karena beberapa factor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
E. TANDA GEJALA
Tanda dan gejala umum dari penyakit lupus antara lain:
1. Demam
2. Lelah
3. Merasa tidak enak badan
4. Penurunan berat badan
5. Ruam kulit
6. Ruam kupu-kupu
7. Ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
8. Sensitif terhadap sinar matahari
9. Pembengkakan dan nyeri persendian
10. Pembengkakan kelenjar
11. Nyeri otot
12. Mual dan muntah
13. Nyeri dada pleuritik
14. Kejang
9
15. Psikosa.
16. Hematuria (air kemih mengandung darah)
17. Batuk darah
18. Mimisan
19. Gangguan menelan
20. Bercak kulit
21. Bintik merah di kulit
22. Perubahan warna jari tangan bila ditekan
23. Mati rasa dan kesemutan
24. Luka di mulut
25. Kerontokan rambut
26. Nyeri perut
27. Gangguan penglihatan.
F. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal dan lingkungan.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan
diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor
(TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B
lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi
gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE.
Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan
transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan
inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus
dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan
target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan
sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan
10
sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida
vasoaktif, dan enzim perusak. Pada SLE, sel tubuh sendiri dikenali sebagai
antigen. Target antibodi pada SLE adalah sel beserta komponennya yaitu inti
sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. Karena didalam tubuh
terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul
berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Kerusakan organ
disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek
imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk 4 istamin
yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan
memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun
ini akan terdeposit pada organ sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada
organ tersebut.
Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga
akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang
menimbulkan manifestasi klinis SLE tergantung dari organ mana yang
terkena. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
G. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga
kemunculan dan perjalanan penyakitnya bervariasi. Karena organ tubuh yang
diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang
tampak sering berbeda.
Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan
menjadi manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ
targetnya. Manifestasi SLE adalah sebagai berikut:
1. Manifestasi Umum
a. Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE.
b. Demam pada SLE dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam
pada penyakit ini biasanya tidak disertai dengan menggigil.
11
c. Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat demam dan
menurunnya nafsu makan.
d. Gejala konstitusional lain yang sering dijumpai pada penyakit SLE,
yang timbul sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya
antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan hilangnya nafsu
makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit kepala.
Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur,
harus dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini
merupakan manifestasi klinis yang paling sering pada penderita SLE.
2. Manifestasi Khusus
a. Manifestasi Muskuloskeletal
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah
persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut.
Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan
penyebab dari nyeri di daerah tersebut.
b. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika
terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian
tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari.
c. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di
dalam selsel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal
ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan
ginjal.
d. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling
sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi
kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis
12
maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit
kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.
e. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan
tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah,
yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi
anemia akibat penyakit menahun.
f. Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi
sebagai akibat dari keadaan tersebut.
g. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat
dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.
h. Manifestasi Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi
dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang
disebabkan oleh peritonitis autoimun.
i. Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca atau Sindrom Sjögren dan konjungtivitis nonspesifik
umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan.
Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan
manifestasi berat. Kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau
minggu. Manifestasi okuler pada SLE disebabkan oleh pelbagai
mekanisme. Antaranya adalah deposit kompleks imun, vaskulitis dan
thrombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan penyakit
vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat
ditemukan antara lain adalah pada:
13
1) Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari
erupsi kulit yang tak jarang mengenai pipi dan hidung.
2) Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan
konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang
membahayakan penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva
menunjukkan sedikit sekret yang mukoid disusul dengan hiperemia
yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal
atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan
pengerutan konjungtiva.
3) Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus
atau noduler yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali
kambuh keadaan bertambah berat. Dengan bekembangnya
penyakit, skleritis berubah menjadi skleritis nekrotik yang melanjut
dari tempat lesi semula ke segala jurusan sampai dihentikan
dengan pengobatan.
4) Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan
sinekia.
5) Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25%
penderita. Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak
disebabkan oleh proses peradangan. Keterlibatan retina pada SLE
merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah
keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki
penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan
yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan
yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah
penting.
Keluhan nyeri pada mata atau gangguan penglihatan pada pasien SLE
memerlukan tindakan yang segera dan specialistik.
14
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat
penyakitnya sendiri ataukomplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat
penyakit SLE sendiri yang paling seringterjadi adalah infeksi sekunder karena
system immune penderita yang immunocompromised.Selain itu, sering juga
terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatanantiphospholidip
antibody. Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik
akibat terapiimunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit
aterosklerosis dan infark miokardprematur
Komplikasi lupus eritematosus sistemik antara lain :
1. Serangan pada Ginjal
a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin)
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a. Pleuritis
b. Pericarditis
c. Efusi pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung atau Miocarditis
f. Gagal jantung
g. Perdarahan paru (batuk darah)
3. Serangan Sistem Saraf
a. Sistem saraf pusat
1) Cognitive dysfunction
2) Sakit kepala pada lupus
3) Sindrom anti-phospholipid
4) Sindrom otak
5) Fibromyalgia (kondisi kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan,
dan kepekaan dari otot-otot, tendon-tendon, dan sendi-sendi.).
15
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak
yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh
sistem saraf otonom
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung
cahaya disebut lesi diskoid. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh
Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an:
a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat
sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis
atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat
mencakup area yang luas di bagian tubuh
c. Lesi non spesifik
d. Rambut rontok (alopecia)
e. Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku
dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang
dapat menjadi borok
f. Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan
kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
a. Radang sendi pada lupus
b. Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Darah
a. Anemia
b. Trombositopenia
16
c. Gangguan pembekuan
d. Limfositopenia
7. Serangan pada Hati
a. Hepatosplenomegali non spesifik
b. Hepatitis lupoid
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan urin, darah lengkap ( Hb, lekosit, trombosit, LED=laju endap
darah )
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin.
2. ANA test, antidsDNA.
a. ANA test = Anti Nuclear Antibody test. Nuclear adalah inti sel
(nukleus). Antibodi adalah protein yang dikeluarkan oleh sel-sel
kekebalan tubuh kita (limfosit) untuk memerangi kuman-kuman yang
menyerang kita. Nah, pada Lupus, antibodi ini justru menyerang sel-
sel kita sendiri terutama inti dan struktur di dalam inti. Antibodi jahat
ini secara umum dinamakan sebagai autoantibodi. Jadi, ANA adalah
autoantibodi yang menyerang inti sel kita. ANA test termasuk dalam
salah satu kriteria penting untuk mendiagnosa lupus. ANA test positif
tidak selalu terkena lupus. Karena ANA test positif bisa terjadi pada
beberapa penyakit lain.
17
b. AntidsDNA = anti double stranded DNA. DNA (deoxyribonucleic
acid) adalah pembentuk gen kita, yang tersusun dalam rantai ganda
(double stranded/ double helix). Gen ada di dalam inti sel kita. Jadi
antidsDNA ini merupakan bagian dari ANA, yang menyerang DNA.
AntidsDNA ini cukup spesifik untuk Lupus. Artinya, pada penyakit
lain, jarang didapatkan.
c. Antibodi terhadap DNA, antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat
digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif ( double
stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi
dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan
prognostik.
d. Ada 11 item kriteria, dan untuk mendiagnosa Lupus, minimal
ditemukan 4 kriteria yang positif. Inilah kesebelas item kriteria itu:
1) Ruam malar/ ruam kupu-kupu (malar rash/ butterfly rash). Kulit
pada kedua pipi dan batang hidung menjadi berwarna kemerahan,
kalau menyembuh akan berwarna gelap. Jika dilihat, bentuknya
seperti kupu-kupu. Ruam ini menjadi signature sign dari Lupus,
meskipun tidak selalu terdapat pada semua penyandang Lupus.
2) Ruam diskoid. Ruam ini berbentuk bundar, kemerahan, kalau
menyembuh akan berwarna kehitaman.
3) Luka pada mulut (oral ulcer). Luka kecil-kecil seperti sariawan,
yang berulang di mulut, kadang juga di lidah.
4) Fotosensitivitas. Foto: sinar/ cahaya. Jadi maksudnya peka
terhadap cahaya matahari, atau lebih spesifik lagi sinar ultra violet.
Kalau terkena sinar, maka kulit penyandang Lupus akan menjadi
kemerahan, dan bahkan gejala Lupusnya bisa kambuh atau
memberat.
5) Radang sendi (arthritis). Sendi-sendi akan terasa nyeri, bahkan
kemerahan dan kadang juga bengkak.
6) Gangguan ginjal. Gangguan ginjal disini bukan batu ginjal atau
infeksi ginjal, melainkan keradangan ginjal. Lebih tepatnya lagi
18
keradangan pada filter ginjal (glomerulus). Gangguan ini mudah
diperiksa dengan pemeriksaan urin lengkap pada saat tidak mens.
Disini akan didapatkan protein dan sel darah merah pada urin yang
normalnya tidak ada, atau kalau ada, dalam jumlah yang sangat
sedikit.
7) Radang pada selaput serosa. Selaput serosa adalah selaput yang
membungkus beberapa organ tertentu dari tubuh kita. Yang paling
sering adalah radang selaput pembungkus jantung (pericarditis,
pericard= selaput pembungkus jantung, itis = radang), radang
selaput paru (pleuritis). Keadaan ini dapat langsung ditemukan
oleh dokter saat pemeriksaan, tetapi kadang perlu konfirmasi
dengan foto ronsen dan echo cardiography (semacam USG khusus
untuk memeriksa jantung).
8) Gangguan pada sistem syaraf. Dapat terjadi penurunan kesadaran
bahkan sampai koma. Kejang-kejang yang kadang dikira ayan
(epilepsi). Bahkan bisa terjadi gangguan ingatan. Nyeri kepala
(nyeri yang bukan pusing, pusing = rasa berputar) tidak termasuk
salah satu kriteria ini.
9) Gangguan pada sistem darah. Gangguan ini bisa pada sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) atau trombosit (keping-
keping darah yang berfungsi untuk pembekuan darah). Anemia
hemolitik adalah hancurnya sel-sel darah merah sebelum waktunya
(sel darah merah yang normal akan dihancurkan setelah 120 hari)
dikarenakan faktor autoimun. Lekosit jumlahnya akan menurun,
trombosit juga akan menurun.
10) Pemeriksaan imunologi yang positif. Maksudnya disini adalah
pemeriksaan autoantibodi khusus. Yang paling sering diperiksa
adalah antidsDNA. Bila anti dsDNA negatif, biasanya akan
diperiksa antiSm.
Pada ANA test positif Lupus dapat didiagnosa jika minimal 4 dari 11
kriteria diatas.
19
J. PENATALAKSANAAN
Tidak ada obat untuk SLE. Tujuan pengobatan adalah untuk
mengendalikan gejala, beberapa penatalaksanaan antara lain :
1. Penatalaksanaan untuk SLE dengan gejala ringan:
a. NSAID : untuk mengatasi gejala reumatik, radang selaput dada dan
radang lainnya
b. Krim kortikosteroid : untuk mengatasi gejala ruam pada kulit
c. Obat anti malaria (hydroxychloroquine) : untuk mengatasi gejala di
kulit dan artritis
d. Pembatasan diet
1) Rendah garam
2) Tinggi asam folat : Alpukat, daging, kuning telur
3) Omega 3 : minyak ikan, ikan tuna, salmon
4) Cukup kalsium : susu, keju, bayam, brokoli
5) Rendah lemak : hindari gorengan, jeroan, daging berlemak tinggi,
santan
2. Penatalaksanaan untuk SLE dengan gejala berat
a. Glukokortikoid sistemik
b. Sitotoksik imunosupresif
Contoh obat: Cyclophosphamide
i. Mychophenolate Mofetil
ii. Azathioprine
3. Pendidikan Kesehatan
a. Penjelasan tentang lupus dan etiologinya
b. Klasifikasi dan gejalanya masing-masing
c. Masalah fisik
d. Masalah psikis
e. Pemakaian obat dan efek samping
20
f. Pemaparan pada yayasan lupus (YLI (Yayasan Lupus Indonesia))
Pendidikan Kesehatan ke keluarga dan pasien untuk perawatan di rumah
a. Pasien dianjurkan untuk cukup istirahat dan menghindari kelelahan.
Namun tidak terlalu membatasi aktifitas.
b. Pasien dianjurkan memakai baju tertutup, topi, payung dan anti UV spf
30 bila pergi ke luar ruangan.
c. Pasien dianjurkan untuk menghangatkan sendi yang sakit dengan cara
kompres lembab.
d. Pasien dianjurkan untuk berolahraga namun juga memperhatikan
tingkat kelelahan.
e. Pasien dianjurkan untuk tidak merokok dan menghindari paparan asap
rokok.
Keluarga pasien dijelaskan mengenai dampak sosial yang akan dialami
Pasien.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Putri Safira Ramadhana
dengan dx medis Sistemik Lupus Eritematosis didapatkan 4 diagnosis
keperawatan yaitu :
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan sel
penyalur oksigen dan nutrisi
2. Risikoinfeksi berhubungan dengan prosedur invasif
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri sendi
4. Kurang pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang
terpapar informasi
Dari keempat diagnosis keperawatan di atas semua teratasi sebagian dan
melanjutkan tindkan keperawatan sampai tujuan tercapai seluruhnya.
B. Saran
Untuk perawat
1. Diharapkan dapat menjaga kerjasama yang bagus yang sudah terjalin
antara sesama perawat maupun tim kesehatan lain
2. Diharapkan memeprtahankan dan meningkatkan kinerja dalam
melakukan asuhan keperawatan sesuai standar
3. Diharapkan dapat mempertahanan sikap profesional dan ramah
tamah kepada klien
Untuk praktikan
1. Diharapkan mampu menerapkan teori yangsudah dipelajari dengan
praktik nyata di Ruang Melati 4 RSUP Dr Sardjito
22
2. Diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan yang singkat untuk
mendapatkan pembelajaran
3. Diharakan aktif bertanya kepada perawat maupun tim kesehatan
lainnya apabila ada hal yangbelum dimengerti
Untuk Keluarga Klien
1. Diharapkan selalu menaati program pengobatan yang ada
2. Diharakan mampu kooperatif terhadap semua instruksi dari para
tenaga kesehatan
23
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran,
EGC FKUI. 1985. Imlu Kesehatan Anak I. Jakarta : FKUI
Herdman, Heather. 2010. Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan. Jakarta:
Penerbit: EGC
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sachrim, Rosa M. 1994. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
24