askep mysenthenia gravis + patoflow
DESCRIPTION
Askep Misentenia GravisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana
terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat
memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia
gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Menurut data Yayasan
Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI 2010), ada 226 penderita MG di
seluruh Indonesia, 22 diantaranya sudah meninggal dunia dan 7 remisi obat
(waktu tidak kambuh penyakit atau rehat minum obat).
10 persen pasien MG yang meninggal dunia kebanyakan disebabkan
karena gagal napas akibat penyakit autoimun ini juga bisa menyerang otot
dada dan pernapasan.Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh
penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan
bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata
murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Siapapun bisa mewarisi kecenderungan terhadap kelainan autoimun
ini. Sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami
pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar
thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant).
Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk
reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang
berhubungan dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai
pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu
terkena, tetapi 85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya
otot-otot mata yang terkena, tetapi pada kebanyakan orang, kemudian
seluruh tubuh terkena, kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada
lengan dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa berubah-ubah
antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak
terpengaruh.
1
Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara
berulang-ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang
dahulu bisa menggunakan palu dengan baik menjadi lemah setelah memalu
untuk beberapa menit. Meskipun begitu, kelemahan otot bervariasi dalam
intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan rangkaian penyakit
tersebut bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa
berat (disebut myasthenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi. Lengan
dan kaki menjadi sangat lemah, tetapi bahkan kemudian, mereka tidak
kehilangan rasa. Pada beberapa orang, otot diperlukan untuk pernafasan
yang melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa.
1.2 Tujuan Umum
Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
1.3 Tujuan Khusus
1.4.1 Mengetahui definisi miastenia gravis
1.4.2 Mengetahui etiologi miastenia gravis
1.4.3 Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
1.4.4 Mengetahui manifestasi klinis miaatenia gravis
1.4.5 Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
1.4.6Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa mampu dan mengerti
tentang miastenia gravis serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien miastenia gravis
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunteer dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial, serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling
sering pada wanita 15 sampai 35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer) .Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh
fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002)
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang mempengaruhi
transmisi impuls pada otot-otot voluntertubuh (Sandra M. Neffina 2002).
2.2 Etiologi
Autoimun : direct mediated antibody
Pembedahan
Stress
Alkohol
Tumor mediastinum
Obat-obatan :
o Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin)
o B-blocker (propranolol)
- Lithium
- Magnesium
- Procainamide
3
- Verapamil
- Chloroquine
- Prednisone
2.3 Anatomi Fisiologi Muskuloskeletal
Di dalam tubuh manusia tersusun rangkaian tulang-tulang yang saling
berhubungan dan berkoordinasi satu sama lain dengan fungsi sebagai pemberi
bentuk tubuh, penunjang tubuh, pelindung bagian dalam tubuh dan lain-lain.
Jenis Tulang
Berdasarkan zat penyusunnya,tulang dibedakan menjadi tulang keras dan tulang
rawan.
a. Tulang keras
Tulang keras dibentuk oleh sel pembentuk tulang (osteoblas). Osteoblas
menghasilkan sel-sel tulang keras yang disebut osteosit. Osteoblas juga
mensekresikan zat-zat interseluler yang tersusun dari serabut kolagen yang akan
membentuk matriks tempat garam-garam kalsium didepositkan (ditumpuk). Zat
kapur itu dalam bentuk kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium fosfat [Ca(PO4)2]
yang diperoleh atau dibawa oleh darah. Selain terdapat osteoblas (pembentuk
tulang), terdapat pula osteoklas yang bersifat mengkikis tulang. Osteoklas adalah
sel berinti banyak dan berukuran besar. Osteoklas melubangi tulang, yang
kemudian dimasuki oleh kapiler darah dan osteoblas baru sehingga terbentuk
4
matriks tulang yang baru. Matriks ini terletak dalam lingkaran membentuk sistem
Havers.
b. Tulang rawan
Tulang rawan tersusun dari sel-sel tulang rawan yang disebut kondrosit, yang
menghasilkan matriks berupa kondrin. Tulang rawan tidak memiliki serabut saraf
dan pembuluh darah yang ada pada membran jaringan ikat di sekitarnya dengan
cara difusi. Ruang antarsel tulang rawan terisi banyak serat kolagen dan serat
elastik, tetapi sedikit mengandung zat kapur. Oleh sebab itu, tulang rawan bersifat
lentur. Kondrosit memiliki ruang yang disebut lakuna. Kondrosit di dalam lakuna
menerima nutrien dari kapiler darah melalui difusi, karena kapiler darah tidak
dapat masuk ke dalam matriks.
Ada tiga tipe tulang rawan, yaitu hialin, serat dan elastik :
1) Tulang rawan hialin
Merupakan tipe tulang rawan yang paling banyak terdapat di tubuh manusia.
Matriksnya transparan jika dilihat dengan mikroskop. Tulang rawan hialin
merupakan penyusun rangka embrio, yang kemudian akan berkembang menjadi
tulang keras. Pada individu dewasa, tulang rawan hialin terdapat pada sendi gerak
sebagai pelicin permukaan tulang dan sendi, ujung tulang rusuk, hidung, laring,
trakea dan bronkus.
2) Tulang rawan serat
Tulang rawan serat mempunyai matriks berisi berkas serabut kolagen. Karena
kandungan matriksnya, tulang rawan serat bersifat kuat dan kaku, serta mampu
manahan guncangan. Tulang rawan serat terdapat pada anatrruas tulang belakang
dan cakram sendi lutut.
3) Tulang rawan elastik
Tulang rawan elastik mengandung serabut elastik. Tulang rawan ini terdapat
pada daun telinga dan epiglotis.
Sistem Persendian
Suatu artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari dua tulang bertemu,
adanya pergerakan atau tidak bergantung pada sambungannya. Persendian dapat
diklasifikasi menurut struktur dan menurut fungsi persendian.
5
Klasifikasi Struktural Persendian
a. Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan ikat fibrosa.
b. Persendian kartilago tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan kartilago.
c. Persendian sinovial memiliki rongga sendi dann diperkokoh dengan kapsul
dan ligamen artikular yang membungkusnnya.
Klasifikasi Fungsional Persendian
a. Sendi sinartrosis atau sendi mati.
1. Sutura adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat
dan hanya ditemukan pada tulang tengkorak. Contoh sutura adalah sutura
sagital dan sutura parietal.
2. Sinkondrosis adalah sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan
kartilago hialin. Salah satu contohnya adalah lempeng epifisis sementara
antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang seorang anak. Saat
sinkondrosis sementara berosifikasi, maka bagian tersebut dinamakan
sinostosis.
b. Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan
terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap torsi dan kompresi.
1. Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus
kartilago, yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya
sedikit gerakan. Contoh simfisis adalah simfisis pubis antara tulang-tulang
pubis dan diskus intervertebralis antar badan vertebra yang berdekatan.
2. Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan
dengan serat-serat jaringan ikat kolagen. Contoh sindesmosis dapat
ditemukan pada tulang yang terletak bersisian dan dihubungkan dengan
membran interoseus, seperti pada tulang radius dan ulna, serts tibia dan
fibula.
c. Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga sendi sinovial.
Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial, suatu kapsul sendi
6
(artikular) yang menyambung kedua tulang, dan ujung tulang pada sendi sinovial
dilapisi kartilago artikular.
Klasifikasi Persendian Sinovial
a. Sendi sferoidal terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk bulat yang
masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir pada tulang lain.
Memungkinkan rentang gerak yang lebih besar, menuju ke tiga arah. Contoh
sendi sferoidal adalah sendi panggul serta sendi bahu.
b. Sendi engsel. Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja dan dikenal
sebagai sendi uniaksial. Contohnya adalah persendian pada lutut dan siku.
c. Sendi kisar (pivot joint). Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang
memungkinkan terjadinya rotasi disekitar aksial sentral, misalnya persendian
tempat tulang atlas berotasi di sekitar prosesus odontoid aksis.
d. Persendian kondiloid. Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang
memungkinkan gerakan kedua arah disudut kanan setiap tulang. Contohnya
adalah sendi antara tulang radius dan tulang karpal.
e. Sendi pelana. Persendian ini adalah sendi kondiloid yang termodifikasi
sehingga memungkinkan gerakan yang sama. Contohnya adalah persendian antara
tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari.
f. Sendi peluru. Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi dalam batas
prosesus atau ligamen yang membungkus persendian. Persendian semacam ini
disebut sendi nonaksial; misalnya persendian invertebrata dan persendian antar
tulang-tulang karpal dan tulang-tulang tarsal.
2.4 Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada myastenia gravis adalah adanya kerusakan
pada transmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membran post sinaps pada sambungan neuromuscular.
Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90 % reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis
7
dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan
reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
2.5 Patoflow
8
Autoimun terganggu
melawan reseptor asetilkolin (AChR)
Jumlahreseptorasetilkolinberkurangpada membrane
Kerusakanpadatransisiimpulssarafmenujusel-selotot
Penurunan hubungan neuromuscular
Kelemahan otot-otot
Otot – ototokular
Otot wajah, laring,faring
Otot volunter Otot pernapasan
Gangguanotot levator
palpebra
Regurgitasimakanan ke hidungpada saat menelan
Suara abnormalketidakmampuanmenutup rahang
Penurunan kekuatanotot-ototrangka
Penurunan kekuatanotot-otot
pernafasan
Ketidakefektifan pola napasImmobilitas FisikPitosis & Diplopia
Gangguancitra diri
Kerusakankomunikasiverbal
Mysentenia Gravis
Gangguan Pemenuhan Nutrisi Tubuh
2.6 Manifestasi Klinis
Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan.
Diplobia (penglihatan ganda)
Ptosis (jatuhnya kelopak mata)
Disfonia (gangguan suara)
Kelemahan otot anggota gerak
Kelemahan otot pernafasan
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan kasus
miastenia gravis, adalah:
1. Rontgen dada dan CT scan dada : mengetahui kemungkinan adanya
thymoma serta dapat menunjukan hiperplasia timus yang dianggap
menyebabkan respon autoimun.
2. Tensilon test (edrofonium klorida) : dengan menyuntikkan 1-2 mg tensilon
intravena, jika tidak ada perkembangan suntikkan kembali 5-8 tensilon.
Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas
(misalnya dalam 1 menit) ptosis hilang. Reaksi ini tidak berlangsung lama
dan akan kembali seperti semula. Injeksi IV memeperbaiki respon motorik
sementara dan menurunkan gejala pada krisis miastenik untuk sementara
waktu memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.
3. Test Wertenberg : penderita diminta menatap benda di atas bidang ke dua
mata tanpa berkedip. Pada miastenia gravis maka kelopak mata yang
terkena akan ptosis.
4. Test Prostigmin : prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atrpon
sulfas disuntikkan IM atau subkutan. Positif apabila ada perbaikan
kekuatan otot, atau gejala menghilang.
5. Electromyogram (EMG) : mengetahui kontraksi otot.
6. Test serum antibodi ami reseptor asetilkolin : terjadi peningkatan.
9
2.8 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan
yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan
tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu
menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari
Created by: Susilo Eko Putra ([email protected]) Page 12
factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya. (Silvia
A. Price, Lorain M. Wilson. 1995.)
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
(Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3
prinsip, yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di
bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
10
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin,
piridostigmin,edroponium atau ambenonium diberikan sesuai
toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai
dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg
piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis
dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya
perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat
yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan
yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa
timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi,
setelah 3 tahun ± 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan
40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah
efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan
sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk
mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau
bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine,
Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin
(imuran) dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat
yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan
secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat
sesudah 3-12bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih
efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
11
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat
diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah
problem psikis.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus
yang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher
yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk
menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang
merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang
mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivate
kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti
aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS
3.1 Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus
2. Keluhan utama : kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat
dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan
pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan
miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan
pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik :
B1(breathing) : dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal
pernafasan akut, kelemahan otot diafragma
B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
B3(brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan
palsi okular,jatuhnya mata atau dipoblia
B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi
urine,hilangnya sensasi saat berkemih
B5(bowel) : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan
peristaltik usus turun, hipersalivasi,hipersekresi
B6(bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot
yang berlebih
3.2 Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan.
13
14
Tujuan : Setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal,
bunyi nafas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal
INTERVENSI RASIONAL
Kaji kemampuan ventilasi
Kaji kualitas, frekuensi,
dan kedalaman
pernapasan, laporkan
setiap perubahan yang
terjadi.
Baringkan klien dalam
posisi yang nyaman dalam
posisi duduk
Observasi tanda-tanda
vital (nadi,RR).
Untuk klien dengan penurunan
kapasitas ventilasi, perawat mengkaji
frekuensi pernapasan, kedalaman, dna
bunyi nafas,pantau hasil tes fungsi
paru-paru (volume tidal, kapasitas
vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum perubahan
kadar gas darah arteri dan sebelum
tampak gejala klinik.
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi,
dan kedalaman pernapasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan
kondisi klien.
Penurunan diafragma memperluas
daerah dada sehingga ekspansi paru
bisa maksimal.
Peningkatan RR dan takikardi
merupakan indikasi adanya penurunan
fungsi paru.
Diagnosa 2 : Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
14
Kriteria Hasil: Berat badan stabil,tidak ada tanda-tanda anemia dan intake makanan
adekuat.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji status nutrisi pasien
Kaji kemampuan mengunyah
dan menelan.
Berikan diet lunak
Berikan diet tinggi protein
tinggi kalori.
Lakukan perawatan mulut
sebelum dan sesudah makan.
Berikan makanan melalui NGT
sesuai program. .
Timbang berat badan setiap 3
hari.
Informasi dasar status nutrisi.
Mencegah aspirasi
Memudahkan mengunyah dan
menelan
Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
Meningkatkan nafsu makan pasien.
Pemenuhan kebutuhan nutrisi
Berat badan indikasi perubahan
kebutuhan nutrisi.
Diagnosa 3 : Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
umum,keletihan.
Tujuan : Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan
edema inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris
normal. Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan dampak
pada individu yang memiliki paru-paru normal, dapat berbahaya
bagi klien dengan PPOM.
Kriteria Hasil : Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90 x/menit, dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda
peningkatan suhu tubuh.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji kemampuan klien
dalam melakukan
Menjadi data dasar dalam melakukan
intervensi selanjutnya.
15
aktivitas
Atur cara beraktivitas
klien sesuai kemampuan.
Evaluasi kemampuan
aktivitas motorik
Sasaran klien adalah memperbaiki
kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien
harus belajar tentang fakta-faakta dasar
mengenai agen-agen antikolinesterase-
kerja, waktu, penyesuaian dosis,
gejala-gejala kelebihan dosis, dan efek
toksik.
Menilai singkat keberhasilan dari
terapi
yang boleh diberikan.
Diagnosa 4 : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan
control tonus otot fasial atau oral.
Tujuan : Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu
menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria Hasil : Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
dipenuhi, klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara
verbal maupun isyarat.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji komunikasi verbal
klien.
Lakukan metode
komunikasi yang ideal
sesuai dengan kondisi klien
Beri peringatan bahwa
klien mengalami gangguan
berbicara, sediakan bel
Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat berakibat
pada komunikasi.
Teknik untuk meningkatkan
komunikasi meliputi mendengarkan
klien, mengulangi apa yang mereka
coba komunikasikan dengan jelas dan
membuktikan yang diinformasikan,
16
khusus bila perlu
Antisipasi dan bantu
kebutuhan klien.
Ucapkan langsung kepada
klien dengan berbicara
pelan dan tenang, gunakan
pertanyaan dengan jawaban
”ya” atau ”tidak” dan
perhatikan respon klien
Kolaborasi: konsultasi ke
ahli terapi bicara.
berbicara dengan klien terhadap
kedipan mata mereka dan atau
goyangkan jari-jari tangan atau kaki
untuk menjawab ya/tidak. Setelah
periode krisis klien selalu mampu
mengenal kebutuhan mereka.
Untuk kenyamanan yang
berhubungan dengan
ketidakmampuan komunikasi.
Membantu menurunkan frustasi oleh
karena ketergantungan atau
ketidakmampuan berkomunikasi.
Mengurangi kebingungan atau
kecemasan terhadap banyaknya
informasi. Memajukan stimulasi
komunikasi ingatan dan kata-kata.
Mengkaji kemampuan verbal
individual,
sensorik, dan motorik, serta fungsi
kognitif untuk mengidentifikasi
defisit dan kebutuhan terapi.
Diagnosa 5 : Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal.
Tujuan : Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil : Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu
menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan
menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.
INTERVENSI RASIONAL
17
Kaji perubahan dari
gangguan persepsi dan
hubungan dengan derajat
ketidakmampuan.
Identifikasi arti dari
kehilangan atau disfungsi
pada klien.
Bantu dan anjurkan
perawatan yang baik dan
memperbaiki kebiasaan.
Anjurkan orang yang
terdekat untuk
mengizinkan klien
melakukan hal untuk
dirinya sebanyak-
banyaknya.
Kolaborasi: rujuk pada
ahli neuropsikologi dan
konseling bila ada
indikasi.
Menentukan bantuan individual
dalam menyusun rencana perawatan
atau pemilihan intervensi.
Beberapa klien dapat menerima dan
mengatur beberapa fungsi secara
efektif dengan sedikit penyesuaian
diri, sedangkan yang lain
mempunyai kesulitan
membandingkan mengenal dan
mengatur kekurangan.
Membantu meningkatkan perasaan
harga diri dan mengontrol lebih dari
satu area kehidupan.
Menghidupkan kembali perasaan
kemandirian dan membantu
perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi.
Dapat memfasilitasi perubahan
peran yang penting untuk
perkembangan perasaan.
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana
terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan.
Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur.
Namun lebih sering terjadi pada para wanita sehingga kita sebagai perawat
harus bisa menentukan diagnosa keperawatan terhadap pasien dengan
myastenia gravis serta perlu melakukan beberapa tindakan dan asuhan
kepada pasien dengan masalah tersebut.
19
DAFTAR ISI
Halaman depan .................................................................
Kata Pengantar .................................................................
Daftar Isi ...........................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................
1.2 Rumusan Masalah ..............................................
1.3 Tujuan Umum ....................................................
1.4 Tujuan khusus ...................................................
1.5 Manfaat ............................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ...............................................................
2.2 Etiologi ...............................................................
2.3 Anatomi Fisiologi........................................................
2.4. Patofisologi..............................................................
2.5 Patoflow ................................................
2.6 Manifestasi Klinis
2.7 Pemeriksaan Diagnostik.....................................................
2.8 Penatalaksanaan……………………………………..
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian ..........................................................
3.2 Intervensi Keperawatan.........................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .........................................................
4.2 Saran………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
20
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian, ed. 3, EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta.
Brunner & Suddart. (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 3, EGC, Jakarta.
21
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah
memberika kita taufig dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah
ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari
jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Didalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada bapak Alkhusari ,S.kep,Ners selaku dosen pembimbing kami beserta
semua pihak yang telah membantu di dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari di dalam penyusunan makalah ini masih banyak tedapat
kesalahan, Oleh karena itu dengan kerendahan hati kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun. Dan kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat
umumnya bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.
Palembang, Januari 2013
Penyusun
22
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS
“MIASTENIA GRAVIS”
Oleh :
Kelompok 1
1. Merinda
2. Siti Meiga Ardila Putri
3. Retno Damayanti
4. Sita Asmawati
5. A. Risky
6. Febriana
7. Puspita
8. Rise
9. Fery sopyan
10. Eflin Julika Aliansari
11. Randi kurniawan
Dosen Pembimbing : Alkhusari,S.Kep,Ners
PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN
STIK BINA HUSADA PALEMBANG
23
iiII
TAHUN AJAR 2013
24