askep cedera kepala.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan berkembangnya teknologi di berbagai bidang kehidupan, tidak berarti
bahwa resiko tinggi kecelakaan pada manusiapun tidak ada. Banyak kecelakaan yang
terjadi sebagai akibat dari aktivitas sehari-hari. salah satu trauma yang memiliki tingkat
resiko paling tinggi ialah resiko cedera kepala, karena sangat berkaitan erat dengan
susunan saraf pusat yang berada di rongga kepala.
Data statistik menunjukkan bahwa tingkat trauma kepala sangat tinggi yang
diakibatkan sebagai akibat kurang kewaspadaan dari masing-masing individu. Cedera
kepala ringan pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas sehingga
masyarakat tidak langsung mencari bantuan medis, padahal sekecil apapun trauma di
kepala bisa mengakibatkan gangguan fisik, mental bahkan kematian.
Untuk mengantisipasi keadaan di atas maka masyarakat harus diberi
penyuluhan-penyuluhan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma kepala.
Oleh karena itu peran perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan
trauma kepala karena perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan observasi
untuk menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh cedera kepala.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari trauma kepala/cedera kepala?
2. Apa klasifikasi dari trauma kepala/cedera kepala?
3. Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala/cedera kepala?
4. Bagaimana asuhan keperawatan dari trauma kepala/cedera kepala?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui secara menyeluruh tentang konsep teori dan konsep asuhan
keperawatan trauma kepala/cedera kepala.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memahami pengertian dari trauma kepala/cedera kepala.
2. Memahami klasifikasi dari trauma kepala/cedera kepala.
3. Mengetahui patofisiologi trauma kepala/cedera kepala.
4. Menguasai asuhan keperawatan dari trauma kepala/cedera kepala.
BAB II
1
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Trauma kepala/cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak, commusio
(gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan serebral yaitu
diantaranya subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak (Doenges, 2000:270).
Trauma kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan seluruh struktur
kepala mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang
tengkorak, duramater, vaskuler otak sampai dengan jaringan otak sendiri baik berupa
luka tertutup maupun tembus.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Glasgow Coma Skale (GCS):
1. Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13 – 15
Tidak ada kehilangan kesadaran. Jika ada tidak lebih dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologis.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9 – 12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat kelumpuhan saraf dan anggota gerak.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari.
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera
dan menyebabkan peningkatan TIK.
3. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS 3 – 8
Gejala serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
2
Penurunan kesadaran secara progresif dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam.
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas
Kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2.3 Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul.
Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara
relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung,
seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume
darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan
hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi
kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
3
Ansietas
Mesenfalon tertekan Resiko cedera
Imobilisasi
Tonsil cerebrum bergeser
Hambatan mobilitas fisikGangguan kesadaran
Herniasi unkus
Perubahan sirkulasi GCS
Peningkatan TIK
Gilus medialis lobus temporalis tergeser
Iskemia
Mual, muntahPapilodemaPandangan kaburPenurunan fungsi pendengaranNyeri kepala
Hipoksia Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Kompresi medulla oblongata
Gangguan persepsi sensori
Resiko kekurangan volume cairan
Kerusakan memori
Gangguan neurologis vokal
Defisit neurologis
Bersihan jalan nafas tidak efektifObstruksi jalan nafasDispneaHenti nafasPerubahan pola nafas
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas.
Pendarahan hematoma
Gangguan suplai darah
Resiko infeksi Nyeri akutPerubahan autoregulasiOedema serebral
Kejang
Ekstrakranial
Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler
Resiko perdarahan
Tulang kranial
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang
Intrakranial
Jaringan otak rusak (kontusio laserasi)
Trauma kepala
4
2.4 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan
system persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian
keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis, riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan motor tanpa
pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjdai alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan
tingkat kesadaran.
Riwayat Penyakit Saat Ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS <15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis,
akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga,
serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku
juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang
sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adikti,
konsumsi alcohol berlebihan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang mendertita hipertensi dan
diabetes mellitus.
Pengkajian Psiko-Sosial-Spiritual
5
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang
timbul pada klien, yaitu timbul seperti kerakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
Adanya perubahan hubungan dam peran karena klien mengalami kesukaran
untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri
didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini member
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dan yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga
sehingga faktor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup
individu.perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan
peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam system dukungan individu.
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
9cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13-15, cedera kepala sedang GCS
9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8)
dan terjadi perubahan tanda-tanda vital.
B1 (Breathing)
6
Perubahan pada system pernapasan bergantung pada gradasi dari peubahan
jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa hasil dari pemeriksaan fisik
dari system ini akan didapatkan :
Inspeksi, didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat
retraksi klavikula/dada, pegembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai
penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan
adanya atelektaksis, lesi paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pneumothoraks, atau peempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang
tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot-otot
interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradox (retraksi
abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu menggerakkan dinding dada.
Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada
thoraks/hematothoraks.
Auskultasi, bunyi nbunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stapas tambahan
seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
secret, dan keemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera
kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan, klien
biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat diruang
perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera
otak berat dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur
keperawatan kritis.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis pada pengkajian inspeksi
pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasu tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
7
B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan renjatan (syok)
hipovlemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat. Hasil
pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada beberapa keadaan dapat
ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan
aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis tbuh
dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardi
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat
menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi
menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu
syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang
pelepasan antidiureti hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi tubuh
untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme
ini akan meningkatkan konsentrasi elektrolit meningkat sehingga memberiksan
risiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada system
kardiovaskular.
Tauma kepala
ADH dilepas
Retensi Na dan air
Output urin menurun
Konsentrasi elektrolit meningkat
Risiko Gangguan Keseimbangan dan Elektrolit
Gambar 5-5. Mekanisme risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, merupakan
manifestasi tubuh akibat dari trauma kepala.
B3 (Brain)
8
Cedera kepala menyebabkan berbagai deficit neurologis terutama
disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intracranial akibat adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indicator paling
sensitive untuk menilai disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaraan. Pada
keadaan lanjut tingkat kesadara klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat
letargi, struptor, semikomatosa, sampai koma.
Pengkajian fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada
klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami
perubahan.
9
Fungsi intelektual : pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus
frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi
mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian
terbatas, kesulitas dalam pemahaman, lipa, kurang motivasi, yang
menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Masalah psikologis, bermusuhan, frustasi, dendam, dan
kurang kerja sama.
Hemisfer : cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentana terhadap sisi
kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku
lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan,
disfagia global, afasia, dan mudah frustasi.
Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Pada beberapa keadaan cedera kepala di aerah yang merusak anatomis dan
fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia
unilateral atau bilateral.
Saraf II. Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan
penglihatan dan mengganggu fungsi dari nervus optikus. Perdarahan di ruang
intracranial, terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan
diretina. Anomaly pembuluh darah di dalam otak dapat bermanifestasi juga di
fundus. Tetapi dari segala masam kelainan di dalam ruang intracranial, tekanan
intracranial dapat dicerminkan pada fundus.
Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata pada klien dengan
trauma yang merusak rongga orbital. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat
dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika midriasis
itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis
yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot-otot ocular akan menyusul pada
tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya
midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil
yang miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis
ipsilateral yang mengelola pusat siliosponal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat
10
siliospinal menjadi tidak efektif, sehingga pupil tidak berdilatadi melainkan
berkonstriksi.
Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus
trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf
vestibulokoklearis.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan
tidak ada artrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
System motorik
Inspeksi umum, didapatkan hemiplagia (paralisis pada msalah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah
satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot
didapatkan grade 0.
Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplagia.
Pemeriksaan refles
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat pada respons abnormal.
Pemeriksaan reflex patologis, pada fase akut reflex fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari reflex fisiologis akan
muncul kembali dengan reflex patologis.
System sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsis adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual
spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan
atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan adalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
11
B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik, termasuk berat
jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin mengalami
inkontinensia urin karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan
kontrok motorik dan postural. Kadang-kadang control sfingter urinarius eksternal
hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan
teknik steril. Inkontinensia urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluahan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual muntah fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia
alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis usus.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi.
Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus
harus dikaji sebelum melakuak palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang
dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus
dapat terjdadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal
dan nasotrakeal.
Akibat trauma terhadap system metabolisme
Trauma
Tubuh perlu energy untuk perbaikan
Nutrisi berkurang
Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama
Hilang nitrogen
Kelelahan/kelemahan fisik
Gambar 5-7. Mekanisme perubahan yang terjadi pada klien trauma memberikan
manifestasi pada perubahan status nutrisi tubuh dan kelemahan fisik secara umum
dampak dari trauma kepala.
B6 (Bone)
12
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh ekstremitas.
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya perubahan warna
kulit warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas,
telinga, hidung, bibir, dan membrane mukosa). Pucat pada wajah dan membrane
mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat
dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan respirator
dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan packed
red cells (PRC) dalam jangka waktu lama. Pada klien dengan kulit gelap,
perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit
dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai
adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktifitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik atau paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas adanya sekresi dan penumpukan sputum.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral,
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma) dan peningkatan tekanan
intrakranial.
3. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan depresi pada pusat nafas di
otak.
4. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK dan trauma kepala.
5. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (sopor-
koma)
6. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah hubungan
dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer, bedrest total.
9. Kecemasan pasien-keluarga berhubungan dengan kondisi penyakit akibat
trauma kepala.
13
C. Intervensi Keperawatan
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas adanya sekresi dan penumpukan sputum.
Tujuan: jalan nafas efektif dan tidak terjadi aspirasi.
Kriteria hasil: suara nafas bersih, tidak terdapat suara secret pada selang,
sianosis tidak ada.
Intervensi:
a) Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan nafas.
Rasional: obstruksi dapat disebabkan penumpukan sekret/ sputum,
perdarahan, bronkospasme, atau masalah terhadap tube.
b) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada setiap satu jam.
Rasional: pergerakan yang simetris dan suara nafas yang bersih indikasi
pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya peningkatan sputum.
c) Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum
banyak.
Rasional: member kelancaran jalan nafas dan pengisapan lendir tidak
dilakukan terlalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
d) Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15 – 30 derajat.
Rasional: posisi sedikit ekstensi dan ketinggian 15 – 30 derajat dapat
mencegah terjadinya penutupan jalan nafas secara parsial atau total.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral,
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma) dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat
Kriteria hasil : tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, tanda-tanda
vital stabil dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial.
Intervensi:
a) Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
Rasional: refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran,
respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi kesadaran yang membaik, reaksi pupil digerakkan
oleh saraf cranial ocular motoris dan untuk menentukan refleks batang
otak, pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan intrakranial adalah terganggunya abduksi mata.
b) Mengukur tanda-tanda vital tiap 30 menit
14
Rasional: peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta apenurunan
tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Adanya pernafasan yang irreguler, indikasi terhadap adanya peningkatan
metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-
tanda syok akibat perdarahan.
c) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan (posisi midline).
Rasional: perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan
pada vena jugularis dan menghambat aliran darah ke otak, untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
d) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan (valsava maneuver),
pertahankan ukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Rasional: dapat mencetuskan respon otomatik peningkatan tekanan
intrakranial.
e) Observasi kejang dan lindungi pasien dari hipoksia akibat kejang.
Rasional: kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia dan kejang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
f) Kolaborasi:
- Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien
Rasional: dapat menurunkan hipoksia otak.
- Berikan obat – obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar.
Rasional: membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi/
kimia seperti osmotic diuretik untuk menarik air dari sel-sel otak
sehingga dapat menurunkan edema otak, steroid (dexamethason) untuk
menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan, obat anti
convulsive untuk menurunkan kejang, antipiretik untuk menurunkan
panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.
3. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan depresi pada pusat nafas di
otak.
Tujuan: mempertahankan pola nafas yang efektif
Kriteria hasil: sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada,
penggunaan otot bantu nafas tidak ada.
Intervensi:
a) Kaji status pernafasan, kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Rasional: pernafasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis
respiratori dan perdafasan lambat meningkatkan tekanan CO2, dan
menyebabkan alkalosis respiratori.
15
b) Cek pasangan tube
Rasional: untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal
volume.
c) Observasi rasio inspirasi dan ekspirasi
Rasional: pada fase ekspirasi biasanya 2 kali lebih panjang dari inspirasi,
tetapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi, terperangkapnya udara
terhadap gangguan pertukaran gas.
d) Pemberian oksigen sesuai program (jika tidak menggunakan ventilator)
Rasional: menurunkan hipoksia otak
e) Cek selang ventilator setiap 15 menit.
Rasional: adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya
pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
f) Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien
Rasional: membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan
ventilator.
4. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK dan trauma kepala.
Tujuan: nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil: tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal
(N= 60-100, TD= 120/80, R=16-20)
Intervensi:
a) Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat,
berkeringat dingin.
Rasional: menentukan status kesehatan klien dan menentukan tindakan
yang akan dilakukan.
b) Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Rasional: lingkungan yang nyaman dapat mengurangi tekanan psikis yang
akan meningkatkan rangsang nyeri.
c) Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
Rasional: pasien lebih kooperatif dan mengurangi nyeri.
d) Kolaborasi pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Rasional: mengurangi rasa nyeri yang ada.
5. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos-
koma)
Tujuan: Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
16
Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi
terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Intervensi:
a) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Rasional: Penjelasan dapat mengu-rangi kecemasan dan meningkatkan
kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau
menurun.
b) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Rasional: Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi,
membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan ke-butuhan dasar
akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa
nyaman, mencegah in-feksi dan keindahan.
c) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Rasional: Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang
harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan
sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
d) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga
lingkungan yang aman dan bersih.
Rasional: Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk men-jaga hubungan
klien - keluarga. Penjelasan per-lu agar keluarga dapat memahami
peraturan yang ada di ruangan.
e) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Rasional: Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
6. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah hubungan
dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi
Kriteria hasil: membran mukosa lembab, turgor kulit baik (< 3 detik), dan
nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
a) Kaji intake dan out put.
Rasional: menentukan status hidrasi klien
b) Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan out put
urine.
Rasional: turgor kulit jelek, membrane mukosa kering menandakan status
hidrasi yang tidak adekuat.
17
c) Kolaborasi pemberian cairan intravena sesuai program.
Rasional: untuk memenuhi kebutuhan cairan klien.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan: infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi,
tidak ada pus dari luka, mencapai penyembuhan luka tepat
waktu, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
a) Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,
diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional: Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
b) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang
alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional: Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.
c) Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel,
sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
Rasional: untuk mengetahui adanya infeksi yang lebih lanjut
d) Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru
secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Rasional: Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk
menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
e) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan
yang baik.
Rasional: Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
f) Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Rasional: mempercepat proses penyembuhan dan mencegah terjadinya
infeksi lebih lanjut.
g) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional: Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami
trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
18
8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer, bedrest total.
Tujuan: Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria hasil: kulit tetap utuh, tidak ada kemerahan
Intervensi:
a) Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer. Kaji kulit
pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
Rasional: Untuk menetapkan ke-mungkinan terjadinya lecet pada kulit.
b) Ganti posisi pasien setiap 2 jam. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan
gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
Rasional: Dalam waktu 2 jam diperkirakan akan terjadi penurunan perfusi
ke jaringan sekitar. Maka dengan mengganti posisi setiap 2 jam dapat
memperlancar sirkulasi tersebut. Dengan posisi anatomi maka anggota
tubuh tidak mengalai gangguan, khususnya masalah sirkulasi /perfusi
jaringan. Mengalas bagian yang menonjol guna mengurangi penekanan
yang mengakibatkan lesi kulit.
c) Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien
Rasional: Keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
d) Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan mengurangi
kerasakan kulit.
e) Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
Rasional: Dapat mengurangi proses penekanan pada kulit dan menjaga
kebersihan kulit.
f) Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8
jam.
Rasional: Sebagai bagian untuk memperkirakan tindakan selanjutnya.
g) Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
dengan menggunakan H2O2.
Rasional: Untuk mencegah bertambah luas kerusakan kulit.
9. Kecemasan pasien-keluarga berhubungan dengan kondisi penyakit akibat
trauma kepala.
Tujuan: pasien dan keluarga akan menunjukkan rasa cemas berkurang
kriteria hasil: yang ditandai dengan tidak gelisah, ekspresi wajah tidak
menunjang adanya kecemasan, dan keluarga dapat mengekspresikan
perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan pasien.
19
Intervensi:
a) Bina hubungan saling percaya.
Rasional: Untuk membina hubungan terapeutik perawat - pasien dan
keluarga.
b) Dengarkan dengan aktif dan empati ekspresi perasaan klien dan keluarga
Rasional: dengan melakukan tindakan tersebut pasien dan keluarga akan
merasa diperhatikan.
c) Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan
dilakukan pada pasien.
Rasional: Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidaktahuan.
d) Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Rasional:
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
e) Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
Rasional: Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan
meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah
dibuat.
E. Evaluasi
Evaluasi dikatakan berhasil jika kriteria hasil sudah terpenuhi.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Trauma kepala/cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala. Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Glasgow
Coma Skale (GCS) yaitu :
- Cedera Kepala Ringan (CKR)
- Cedera Kepala Sedang (CKS)
- Cedera Kepala Berat (CKB)
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam.
Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara
relatif tidak bergerak. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi
badan diubah secara kasar dan cepat.
Diagnosa pertama yang mungkin mucul adalah tidak efektifnya bersihan jalan
nafas adanya sekresi dan penumpukan sputum.
3.2 Saran
Makalah ini mencoba membahas konsep medis dan konsep keperawatan
tentang cedera kepala. Diharapkan melalui makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui
tentang penyakit cedera kepala dan bisa melakukan asuhan keperawatan pada penyakit
cedera kepala tersebut dengan baik dan benar. Kelompok menyadari bahwa apa yang
disajikan masih jauh dari kesempurnaan, dan oleh karenanya kelompok sangat
mengharapkan masukan dari rekan-rekan mahasiswa dan terlebih kepada Ibu dosen
pembimbing mata kuliah ini, sehingga apa yang dibahas diatas tidak hanya merupakan
sesuatu yang sifatnya hanya merupakan sebuah konseptual, melainkan dapat menjadi
pijakan bagi mahasiswa dalam mengaplikasikannya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
Doengoes, Marilyn C. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
Morton, Gallo, Hudak. 2012. Keperawatan Kritis Volume 1 & 2 edisi 8. Jakarta : EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung
Seto; 2001.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC;
1999.
22