edera kepala.docx

51
edera Kepala : Penyebab dan Pengobatannya Cedera kepala sangat berbahaya. Cedera kepala dapat menyebabkan cacat permanen, gangguan mental, dan bahkan kematian. Bagi banyak orang, cedera kepala dianggap sebagai risiko yang dapat diterima ketika terlibat dalam kegiatan olahraga dan jenis-jenis kegiatan rekreasi lainnya. Tapi ada beberapa langkah yang dapat Anda ambil untuk mengurangi risiko cedera dan melindungi diri Anda dan anak-anak Anda. Apa Itu Cedera Kepala? Cedera kepala adalah cedera pada tengkorak, kulit kepala, atau otak yang disebabkan oleh trauma. Gegar otak merupakan jenis cedera otak paling umum yang berhubungan dengan olahraga, dan diperkirakan dalam setahun terdapat 1,6 juta sampai 3,8 juta orang mengalami gegar otak yang disebabkan karena olahraga. Gegar otak adalah jenis cedera otak traumatis (TBI atau Traumatic Brain Injury) yang terjadi ketika otak bergetar atau terguncang cukup keras sehingga membentur tengkorak. Hal ini

Upload: novera-denita

Post on 19-Dec-2015

240 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

edera Kepala : Penyebab dan

Pengobatannya

Cedera kepala sangat berbahaya. Cedera kepala dapat menyebabkan cacat permanen,

gangguan mental, dan bahkan kematian. Bagi banyak orang, cedera kepala dianggap sebagai

risiko yang dapat diterima ketika terlibat dalam kegiatan olahraga dan jenis-jenis kegiatan

rekreasi lainnya. Tapi ada beberapa langkah yang dapat Anda ambil untuk mengurangi risiko

cedera dan melindungi diri Anda dan anak-anak Anda.

Apa Itu Cedera Kepala?

Cedera kepala adalah cedera pada tengkorak, kulit kepala, atau otak yang disebabkan oleh

trauma. Gegar otak merupakan jenis cedera otak paling umum yang berhubungan dengan

olahraga, dan diperkirakan dalam setahun terdapat 1,6 juta sampai 3,8 juta orang mengalami

gegar otak yang disebabkan karena olahraga. Gegar otak adalah jenis cedera otak traumatis

(TBI atau Traumatic Brain Injury) yang terjadi ketika otak bergetar atau terguncang cukup

keras sehingga membentur tengkorak. Hal ini dapat terjadi ketika dua atlet bertabrakan atau

ketika seseorang jatuh dan kepalanya terbentur. Gegar otak juga bisa terjadi akibat terpukul di

kepala oleh peralatan olahraga. Dalam olahraga seperti sepak bola, bahkan menyundul bola

bisa menyebabkan gegar otak. Gegar otak menyebabkan perubahan status mental seseorang

dan dapat mengganggu fungsi normal dari otak. Gegar otak yang banyak terjadi, dapat

memiliki dampak kumulatif dan jangka panjang sehingga dapat mengubah hidup seseorang. 

Anda tidak harus dipukul di kepala untuk mengalami gegar otak. Benturan di di bagian lain

pada tubuh dapat menciptakan kekuatan yang cukup untuk menggetarkan otak. Anda juga

tidak selalu kehilangan kesadaran ketika gegar otak. Gegar otak berkisar dari tahap ringan

sampai parah. Efeknya mungkin segera terlihat, atau mungkin tidak muncul sampai beberapa

jam atau bahkan beberapa hari kemudian.

Jenis lain dari cedera otak traumatis(TBI)adalah memar, yaitu luka memar pada otak yang

dapat menyebabkan pembengkakan, dan hematoma (pendarahan di otak yang mengumpulkan

dan membentuk gumpalan). Patah tulang tengkorak adalah jenis lain dari cedera kepala yang

dapat mempengaruhi otak. Kadang-kadang pada kasus patah tulang, potongan tulang yang

patah dapat melukai otak dan menyebabkan perdarahan dan jenis cedera lainnya.

Olahraga dan Aktivitas Rekreasi Apa

yang Memiliki Risiko Cedera Kepala yang

Tinggi?

Pada tahun 2008, kegiatan-kegiatan dibawah ini mengakibatkan cedera kepala dalam jumlah

tertinggi untuk segala usia:

Bersepeda

Sepak bola Amerika

Bola basket

Bisbol dan sofbol

Naik kendaraan rekreasi bermesin seperti dune buggies (kendaraan rekreasi dengan roda

besar, dan ban lebar, yang dirancang untuk digunakan pada bukit pasir, pantai, atau rekreasi

padang pasir), go-kart, dan sepeda motor mini

Menurut Asosiasi Cedera Otak Amerika (Brain Injury Association of America), lima kegiatan

teratas yang menyebabkan gegar otak pada anak-anak dan remaja berusia 5 sampai 18 tahun

adalah:

Bersepeda

Sepak bola Amerika

Bola basket

Kegiatan di tempat bermain

Sepak bola

Apa Saja Tanda dan Gejala dari Cedera

Otak?

Tanda-tanda dari cedera otak traumatis (TBI) meliputi:

Kebingungan

Depresi

Pusing atau masalah keseimbangan tubuh

Pandangan ganda atau kabur

Merasa berkabut atau pening

Merasa lesu atau lelah

Sakit kepala

Hilang ingatan

Mual

Sensitif terhadap cahaya atau suara

Gangguan tidur

Kesulitan berkonsentrasi

Kesulitan mengingat

Indikasi yang menunjukkan cedera kepala yang dialami lebih serius daripada gegar otak dan

membutuhkan perawatan darurat meliputi:

Perubahan ukuran pupil mata

Cairan bening atau berdarah mengalir dari hidung, mulut, atau telinga

Kejang-kejang

Ekspresi wajah yang menyimpang dari biasanya

Tekanan darah menurun

Wajah Memar

Patah tulang pada tengkorak atau wajah

Gangguan pendengaran, penciuman, pengecap rasa, atau penglihatan

Ketidakmampuan untuk menggerakkan satu atau lebih anggota badan

Mudah tersinggung

Hilang kesadaran

Tingkat pernapasan yang rendah

Gelisah, canggung, atau kurangnya koordinasi gerak

Sakit kepala yang parah

Melantur dalam berbicara atau penglihatan kabur

Leher kaku atau muntah-muntah

Memburuknya gejala-gejala dengan mendadak, setelah sebelumnya ada peningkatan

Pembengkakan di lokasi cedera

Apa Tindakan yang Tepat Untuk Gegar

Otak atau Cedera Otak Lain yang Terkait

Dengan Olahraga?

Jika Anda berpikir Anda mungkin mengalami gegar otak atau mencurigai orang lain terkena

gegar otak, maka langkah yang paling penting untuk dilakukan adalah mencegah terjadinya

cedera lebih lanjut.

Hentikan kegiatan apa pun yang Anda lakukan dan beritahu orang lain bahwa Anda mungkin

terkena gegar otak. Kemudian segera dapatkan perawatan medis. Jika Anda bermain sebagai

bagian dari tim, mintalah untuk ditarik keluar dari permainan dan beritahu pelatih apa yang

terjadi. Jika rekan lain memiliki tanda-tanda seperti sedang bingung atau tiba-tiba kehilangan

koordinasi gerak, pastikan untuk melaporkan hal tersebut kepada pelatih. Jika Anda pelatih

tim dan Anda melihat adanya kemungkinan cedera, segera tarik keluar orang tersebut dari

permainan, dan pastikan bahwa orang tersebut mendapatkan perawatan medis.

Mendapat perawatan medis sesegera mungkin adalah penting untuk setiap cedera otak

traumatis (TBI) yang berpotensi sedang parah. Cedera yang tidak terdiagnosis dan tidak

mendapat perawatan yang tepat, dapat menyebabkan cacat dan ketidakmampuan jangka

panjang. Perlu diingat bahwa meskipun kematian akibat cedera olahraga jarang terjadi,

namun cedera otak merupaka penyebab utama kematian yang berhubungan dengan olahraga.

Gejala-gejala harus sering dimonitor dengan seksama untuk cedera sedang sampai parah, dan

mungkin memerlukan rawat inap semalam di rumah sakit. X-ray mungkin digunakan untuk

memeriksa kemungkinan patah tulang tengkorak dan stabilitas tulang belakang. Pada

beberapa kasus, dokter mungkin melakukan CT scan atau MRI untuk memeriksa sejauh mana

kerusakan yang telah terjadi. Luka yang lebih parah mungkin memerlukan pembedahan untuk

meringankan tekanan akibat pembengkakan.

Jika dokter mengirim Anda pulang dengan orang yang terluka, maka dokter akan

menginstruksikan Anda untuk mengawasi pasien tersebut dengan seksama. Hal tersebut

mungkin melibatkan hal seperti membangunkan pasien setiap beberapa jam untuk

mengajukan pertanyaan seperti “Siapa nama Anda?” atau “Anda berada dimana?” untuk

memastikan apakah orang tersebut baik. Pastikan Anda telah bertanya ke dokter dan

memahami gejala apa yang harus diperhatikan dan, mana yang membutuhkan perawatan

medis dengan segera.

Panduan yang digunakan mendesak dokter untuk menjadi konservatif dalam mengobati

cedera otak terkait olahraga dan untuk tidak mengizinkan seseorang yang telah terluka untuk

kembali melakukan kegiatan yang melibatkan risiko cedera lebih lanjut sampai orang tersebut

benar-benar sembuh dari gejala. Proses penyembuhan biasanya memakan waktu beberapa

minggu. Tapi untuk gejala cedera yang parah, mungkin bisa membutuhkan waktu berbulan-

bulan atau bahkan bertahun-tahun. Seseorang yang memiliki cedera sedang sampai parah,

sangat mungkin membutuhkan rehabilitasi, yang dapat meliputi terapi fisik, terapi bicara dan

bahasa, obat-obatan, konseling psikologis, dan dukungan sosial.

Bagaimana Cara Mengurangi Risiko

Cedera Otak yang Terkait Dengan

Olahraga?

Langkah paling penting yang perlu dilakukan adalah membeli dan menggunakan dengan

benar peralatan pelindung kepala yang telah disetujui oleh American Society for Testing and

Materials (ASTM) atau Lembaga/Departemen Kesehatan di Indonesia. Pastikan untuk

membeli ukuran yang tepat agar helm atau tutup kepala dapat dipakai dengan pas dan benar.

Menurut American Association of Surgeons Neurologis (Asosiasi Ahli Bedah Neurologis

Amerika), helm atau tutup kepala harus dipakai setiap saat untuk kegiatan-kegiatan berikut:

Bisbol dan sofbol

Bersepeda

Sepak bola Amerika

Hoki

Menunggang kuda

Naik kendaraan rekreasi bermesin

Ber-skateboard dan naik skuter

Ski

Ber-snowboard

Gulat

Langkah-langkah keamanan lain yang penting meliputi:

Mengenakan pakaian yang memantulkan cahaya saat mengendarai sepeda di malam hari.

Jangan menyelam di tempat yang kedalamnya lebih dari 12 meter atau dimana Anda tidak

bisa melihat dasarnya atau airnya keruh.

Pastikan bahwa area bermain anak-anak dan peralatannya aman dan dalam kondisi baik.

Jangan biarkan anak-anak bermain olahraga yang tidak sesuai dengan usia mereka.

Mengawasi dan mengajar anak-anak cara yang tepat dalam menggunakan peralatan olahraga.

Jangan mengenakan pakaian yang mengganggu penglihatan.

Ikuti semua aturan di tempat rekreasi dan kolam renang.

Jangan ber-skateboard atau bersepeda pada permukaan yang tidak rata atau tak beraspal.

Jangan berolahraga ketika Anda lelah atau sakit parah.

Sumber: WebMD

VI. 4. TRAUMA KEPALA

Pendahuluan

Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena cedera.

Merupakan komponen yang paling sering pada cedera multipel.

Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas. Untuk

setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya

sekunder terhadap cedera kepala. 

Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan fasilitas serta

tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta lambatnya tindakan

definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan profil cedera. Yang terpenting

adalah pengelolaan ventilasi dan hipovolemia yang berperan dalam

menimbulkan kerusakan otak sekunder yang bisa dicegah. Transfer

pasien yang memenuhi sarat dengan segera akan mengurangi kesakitan

dan kematian. Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.

Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara lain

adalah keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi,

keterlambatan tindakan definitif terutama terhadap hematoma

intrakranial yang berkembang cepat, serta kegagalan mencegah infeksi.

Anatomi, fisiologi dan patofisiologi

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak,

cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas.

Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen

magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer

serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.

Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak

(ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien

normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan

sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160

mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian

tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak

dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah.

Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau

hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).

Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K =

V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya

lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas

kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara

tajam.

Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik

dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial

meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang

meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian

mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat

peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi

lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi

sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil

tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya

fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat,

respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab

akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO

akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang

otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada

otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial,

tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau

kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya,

banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak

dibanding tingkat TIK sendiri. 

Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang

berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga

merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak.

Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada

duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk

peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang

lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari

pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan

dengan beratnya gejala.

Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu

cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler

batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat

menurunkan tingkat kesadaran.

Klasifikasi

Didasarkan pada aspek :

a. Mekanisme trauma

(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah

(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll

b. Beratnya

Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)

(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)

(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)

(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)

c. Berdasar morfologi :

(1). Fraktura tengkorak.

(a). Kalvaria :

1. Linier atau stelata.

2. Terdepres atau tidak terdepres.

(b). Basiler :

1. Anterior.

2. Media.

3. Posterior.

(2). Lesi intrakranial.

(a). Fokal :

(1). Perdarahan meningeal :

1. Epidural.

2. Subdural.

3. Sub-arakhnoid.

(2). Perdarahan dan laserasi otak :

Perdarahan intraserebral dan atau kontusi. 

Benda asing, peluru tertancap.

(b). Difusa :

1. Konkusi ringan.

2. Konkusi klasik.

3. Cedera aksonal difusa.

Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini. GCS

ditentukan pasca resusitasi.

Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping GCS ≤ 8,

adalah bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak terdepres, pupil

atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau

tampaknya jaringan otak.

Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe cedera

(akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush), patologi cedera

serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah saat melakukan

tindakan spesifik).

BERDASAR MEKANISME

Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan

penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya

fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan

tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah

cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan

kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrating lebih sering

dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.

BERDASAR BERATNYA

Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk

menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada

pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak

dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan skor total delapan atau

kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai

dalam keadaan koma sesuai dengan definisi tsb. Untuk kegunaan praktis,

skor total GCS 8 atau kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9

hingga 13 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS

14 hingga 15 sebagai ringan.

BERDASAR MORFOLOGI

Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin

dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat

diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT

scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien

cedera kepala sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam

pertama, bahkan beberapa minggu setelah cedera.

Fraktura Tengkorak

Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata,

mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura tengkorak basal sulit

tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT. Adanya tanda

klinis membantu identifikasinya. Fraktura terdepres lebih dari ketebalan

tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau

compound berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan

permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan

operasi perbaikan segera.

Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial

sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada pasien tidak sadar.

Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk

dirawat.

Lesi Intrakranial 

Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk

hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma

intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan CT scan normal namun

menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam

Lesi Fokal

Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering diregio

temporal atau temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh

meningeal media, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena/sinus

pada sepertiga kasus, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa

posterior. Tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien

koma cedera kepala), namun harus selalu diingat dan ditindak segera.

Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak

disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung

pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural

sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20%

pada pasien koma dalam.

Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada 30%

penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat robeknya vena

bridging antara korteks serebral dan sinus draining, laserasi permukaan

atau substansi otak. Kerusakan otak yang mendasari jauh lebih berat dan

prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas 60%,

diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera

Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup sering,

hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas dilobus

frontal dan temporal, walau dapat pada setiap tempat. Perbedaan antara

kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.

Lesi jenis salt and pepper klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma

yang besar jelas bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat

secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa

hari. Ingat, kontusi bukan diagnosis klinis.

 

Cedera difusa

Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang

berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak, adalah jenis

cedera kepala yang paling sering.

Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan : kesadaran tidak

terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Sering

terjadi dan karena ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk

paling ringan, berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih

sempurna tanpa disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat

menyebabkan konfusi dengan amnesia retrograd maupun post

traumatika.

Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya kesadaran.

Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika, dan lamanya

amnesia post traumatika adalah pengukur atas beratnya cedera.

Hilangnya kesadaran sementara, sadar sempurna dalam enam jam, walau

biasanya sangat awal. Tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas

kejadian terkait cedera, namun beberapa mempunyai defisit neurologis

yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.

Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury, DAI) : koma

pasca trauma yang lama(lebih dari enam jam), tidak dikarenakan lesi

massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi kategori ringan, sedang

dan berat. CAD ringan jarang, koma berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan

pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang

berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD

paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. 

CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan paling

mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma dalam dan

menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi

atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila penderita tidak mati,

disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan

sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. CAD

umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik

yang terjadi.

Pemeriksaaan GCS

Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon

verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon

motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.

Respon membuka mata (eye)

(4). Spontan dengan adanya kedipan

(3). Dengan suara

(2). Dengan nyeri

(1). Tidak ada reaksi

Respon bicara (verbal)

(5). Orientasi baik

(4). Disorientasi (mengacau/bingung)

(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur

(2). Suara yang tidak berbentuk kata

(1). Tidak ada suara

Respon bicara (verbal) untuk anak-anak

(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek

(4). Menangis, tapi bisa diredakan

(3). Teriritasi secara menetap

(2). Gelisah, teragitasi

(1). Diam saja

Respon motorik (motor)

(6). Mengikuti perintah

(5). Melokalisir nyeri

(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang

(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)

(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)

(1). Tidak ada gerakan

Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN SARANA BEDAH

SARAF)

Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15). 

(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, 

nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:

1. Amnesia post traumatika jelas 

2. Riwayat kehilangan kesadaran 

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak 

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

8. Kejang

9. Cedera penyerta yang jelas

10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

Dipulangkan :

1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk

2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan 

tentang 'lembar peringatan'

3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu

CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu

untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan : 

1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan 

hidung/mulut/telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.

CEDERA KEPALA BERAT

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana

karena gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok

cedera kepala berat dengan GCS > 8).

PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT

1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH

Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan

darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan

dengan outcome yang buruk

Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan

oksimeter denyut nadi (bila ada).

Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang

dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.

Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi dan

sangat mempengaruhi outcome.

*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : <

90.

2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW

GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya

dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian

tunggal GCS tidak dapat memprediksi outcome, namun perburukan 2 poin

dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 :

outcome buruk.

GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau pada

pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku

atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada

penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan

kuantitas motorik), setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi

ventilatori dan respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif

terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen

paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.

GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan

outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang

fungsional.

3. PUPIL

Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang tidak

bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm.

Perhatikan pula adanya trauma orbital.

Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya.

Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak

bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil dinilai lagi setelah

resusitasi dan stabilisasi.

Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar

evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan, terutama bila

berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak bereaksi terhadap cahaya

bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang memerlukan tindakan

darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap

cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk

(ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya

sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta

sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga dari otak tengah

ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah terletak dekat area yang

mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil sangat

penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar

dari otak tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam

untuk terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan

hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga unilateral

menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya

langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan

hipotermia juga berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil.

Trauma langung pada saraf ketiga disertai tidak adanya trauma

intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil walau biasanya

disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil

berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan

91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan

baik.

TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT

1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI

Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial [SaO2] <

90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi oksigen

dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia dikoreksi

dengan memberikan oksigen suplemen.

Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan

mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi

dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif

mempertahankan jalan nafas. 

Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan hanya

bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau kelainan pupil

(asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak setelah hipotensi atau

hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan intubasi dan ventilator

bila ada) sekitar 10 X/menit untuk dewasa, 15-20 X/menit pada anak-

anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20

X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi

bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan

karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi menurunkan

tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2) dengan akibat

vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral (CBF) dan menurunkan

tekanan intrakranial (ICP). Namun hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi

dianjurkan sebagai tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak

traumatika biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari

normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah serebral hingga

berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak

dan outcome pasien. Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai

pasien tiba di pusat bedah saraf dimana analisis gas darah akan

menuntun tingkat ventilasi.

2. RESUSITASI CAIRAN

Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah untuk

mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi sesingkat

mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤ 90 mm Hg. Pada

anak dengan cedera otak traumatika berat usia 0-1 tahun : < 65; usia 2-5

tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-16 < 90 mm Hg.

Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler untuk

mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat dan mengurangi

peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum di pra rumah sakit

digunakan kristaloid isotonik. Diberikan sejumlah yang dibutuhkan dalam

mempertahankan tekanan darah normal. Volume cairan yang tidak

adekuat atau dibawah daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi

mendadak hingga harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin

hipertonik dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil

menggembirakan. Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah

sakit, kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.

Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di pra

rumah sakit tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan intrakranial

(ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD nya sendiri). Frekuensi

denyut jantung dan tekanan darah digunakan sebagai pengukur indirek

pengangkutan oksigen pada fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi

inisial di UGD. Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan

hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada tindakan

lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat. Otoregulasi

sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan keterancaman otak atas

berkurangnya preload. Bila gagal curah jantung, pengangkutan oksigen

juga gagal. Intervensi resusitatif dimulai segera untuk mencegah

turunnya tekanan darah. Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil

hipotensi. Sayangnya hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi

kebanyakan orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100.

Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan atau

kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler tampaknya cara

terbaik untuk memperbaiki tekanan darah. Kristaloid untuk memperkuat

preload jantung, mempertahankan curah jantung (CO), tekanan darah

dan pengangkutan oksigen perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau

salin normal sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera

kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah menyebabkan

kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot hemostatik. Begitu

pula hemodilusi yang terjadi dapat memperburuk keadaan pada trauma

tertentu seperti trauma penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal

adalah tidak menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi. 

3. TINDAKAN TERHADAP OTAK

Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran serta

tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil berdilatasi,

tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan neurologis progresif

(penurunan GCS lebih dari dua poin dari sebelumnya pada pasien dengan

GCS inisial < 9). Hiperventilasi adalah intervensi jalur pertama terhadap

pasien tersangka ancaman herniasi otak. Status neurologis memerlukan

penilaian berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak,

hiperventilasi dihentikan.

Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.

Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok

neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam mengoptimalkan

transport pasien cedera kepala.

Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia dilaporkan

sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil dengan perubahan

kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis lain. Dianjurkan pasien

dengan penurunan kesadaran yang tidak jelas etiologinya ditentukan

glukosanya secara cepat atau diberikan glukosa secara empiris.

Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau akibat

mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia, hipotensi dan

edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang bersamaan seperti

hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan resusitasi adalah

mempertahankan perfusi otak dan meminimalkan cedera neuronal. 

Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan untuk

mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum jelas

manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak. Walau

mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah bahwa mannitol

merupakan plasma expander kerja cepat dan efek osmotik diuretiknya.

Sebagai plasma expander ia akan menurunkan hematokrit dan viskositas

darah dengan akibat meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan

pengangkutan oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak.

Efek osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga

menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit namun

bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa terakumulasi diotak

dengan akibat reverse osmotic shift yang berpotensi meninggikan

tekanan intrakranial (karenanya dirumah sakit lebih baik diberikan

berulang dari pada infus kontinyu untuk mengurangi kemungkinan

komplikasi ini). Potensi komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal.

Perhatikan juga bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.

Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial saat

intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian tekanan

intrakranial transien saat manipulasi intubasi berpengaruh pada outcome.

Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa menit sebelum laringoskopi dan

dianjurkan diberikan bersama pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl

(50 ųg, q2-3 menit) atau thiopental (3-5 mg/kg).

Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra rumah

sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu panjang. Langkah

pertama terhadap pasien gelisah atau mengamuk adalah menilai dan

mengoreksi hipotensi, hipoksemia, hipoglikemia dan ketidaknyamanan.

Bebat mekanik tidak dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko

kerusakan fisik. Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang

aman, berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila

sarana tersedia).

Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum digunakan.

Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg intravena. Blok

neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra rumah sakit. Rangsang

nyeri akan meninggikan tekanan intrakranial, hingga pemberian sedasi,

analgesia dan blok neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan

tanpa risiko disamping mempengaruhi GCS.

Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala. Hipoglikemia

ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan kelemahan pada 75 %

pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl

tampil dengan konfusi atau delir. Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma

dalam yang mungkin irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip

pemeriksa, dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa,

serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik.

Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi empirik,

kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien mengalami

gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.

TRANSPORTASI

Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung

dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas

bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat tekanan intrakranial (bila

ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial.

Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan

tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk kepusat bedah saraf.

Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera kepala.

Transportasi merupakan bagian penting yang mempengaruhi outcome.

Langkah yang berpengaruh pra rumah sakit adalah :

Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit dan yang

diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah pasien sadar, dapat

berbicara, membuka mata, atau menggerakkan ekstremitas dapat

membantu menentukan adanya cedera otak.

Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya cedera

(parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan, penggunaan

sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian, dan khususnya

pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi neurologis keseluruhan.

Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut nadi bila ada, membantu

menemukan hipotensi dan hipoksemia. Skor GCS dan kondisi pupil

memberikan informasi beratnya cedera otak. 

Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai untuk

mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang mengancam

hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat keterampilan penolong

sangat menentukan mutu intervensi.

Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.

Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk

perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu transport

singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat. Namun dikota UGD

lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol mungkin tidak mengizinkan jalan

pintas kepusat trauma lain.

Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi kemudahan

memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila sarana bedah saraf

tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat untuk stabilisasi pasien,

untuk selanjutnya tergantung kebutuhan. Lakukan penilaian neurologis

berulang untuk mengevaluasi atau menemukan setiap perubahan kondisi

dan status neurologis pasien selama perjalanan.

ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP CEDERA OTAK

TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT (DENGAN FASILITAS BEDAH

SARAF).

Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi dengan

memprioritaskan penilaian dan tindakan atas jalan nafas, pernafasan dan

sirkulasi.

Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : “Kenapa anda”.

Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat (GCS 9-13)

dan COT berat (GCS 3-8) harus ditransport kepusat trauma.

Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit kulit

anterior aksila untuk merangsang buka mata.

Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi verbal

dan motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.

Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke pusat

trauma dengan kemampuan :

CT scan 24 jam.

Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.

Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan tindakan

terhadap peninggian tekanan intrakranial.

Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma, dengan

UGD berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.

Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri langsung

ditransport ke pusat trauma tsb.

Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada

pangkal kuku dengan posturing ekstensor, atau pasien yang flaksid,

amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan hiperventiasi (20X/menit

untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-anak, 35-40X/menit untuk bayi).

Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri pada

pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal atau respons

motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil asimetris dan atau

berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan hiperventilasi sda.

Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi O2 nya

dipertahankan > 90. Tekanan darah sistolik dipertahankan diatas 90 mm

Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80 mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg

bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg untuk bayi kurang dari 1 tahun.

Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap setiap

5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.

PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN (DENGAN FASILITAS

BEDAH SARAF)

Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-15). 

(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, 

nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Radiografi tengkorak

5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi

6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).

7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria 

rawat.

Algoritma Pasien COT

Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra Rumah

Sakit Rujukan.

Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.

Apa Pasien Membuka MataTerhadap “Kenapa Anda?” 

Nilai Pasien Apa Pasien MembukaMata Terhadap Cubitan

Ketiak/Penekanan Pangkal kuku. Amankan jalan nafas (Intubasi bila

tersedia), Hiperventilasi. Nilai Oksigenasi. Pastikan SaO2 > 90% (Bila

tersedia). Nilai Tekanan Darah. Pastikan TDS > 90 mm Hg

Kriteria Rawat:

1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak 

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan

10. CT scan abnormal

Dipulangkan dari UGD:

1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat

2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang 

'lembar peringatan'

3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu

Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada

kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun

mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat

riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh

alkohol atau intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk

dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera

diketahui. 

Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak

linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi,

level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda

asing, mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:

1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-

gejala minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala :

pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk

pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.

2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi

alkohol atau obat, amnesia post traumatika, atau tanda-tanda fraktura

basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan

atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.

3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius

seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda

neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT scan

emergensi.

Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x tengkorak,

tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. Tanda klinis basis yang

fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS,

hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti fraktura basal

dan mengharuskan pasien untuk dirawat.

Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau prakteknya serta

biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta dibawah pengawasan

selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan. 

Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik

seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka.

Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik. 

Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila ada yang

bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan 'lembar

peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar

12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang

bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD 12 jam dengan pemeriksaan

neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila stabil.

Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola

sesuai perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila terjadi

perburukan neurologis.

CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu

untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).

Pengelolaan:

Di Unit Gawat Darurat:

1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan 

hidung / mulut / telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus

5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi

6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin 

7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah

8. Tes darah dasar dan EKG

9. CT scan kepala

10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal

Setelah dirawat:

1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam

2. CT scan bila ada perburukan neurologis

Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka

dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti

halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan

kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi.

CEDERA KEPALA BERAT

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana

karena gangguan kesadaran (SKG ≤ 8). (Tidak termasuk disini kelompok

cedera kepala berat dengan GCS > 8).

PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT

Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi fisiologis

yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik untuk hipertensi

intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda herniasi tentorial atau

perburukan neurologis progresif yang tidak diakibatkan oleh kelainan

ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi transtentorial atau perburukan

neurologis yang bukan disebabkan kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan

bahwa hipertensi intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif.

Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah keadaan

resusitasi cairan yang adekuat.

Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan

transport, namun masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis.

Jenis sedatif terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler

digunakan bila sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.

Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua

jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa

berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap

resusitasi, seperti misalnya diuretika.

1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-TANDA 

HERNIASI

Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport seperti

dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan karena efek

deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter ventilatori adalah

oksigenisasi optimal dan ventilasi normal.

2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA 

HERNIASI

Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah dicapai

dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung atau

terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena hipotensi bisa

berakibat perburukan neurologis dan hipertensi intrakranial, mannitol

kurang disukai kecuali resusitasi cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan

bolus seperti telah dijelaskan. Pasien segera ditranport.

Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan darah,

oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga tetap rendah

tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa

membangkitkan lagi iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi

hingga dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah

dijelaskan.

1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI

Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi

oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan dicegah,

atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90 mm Hg dengan

infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm

Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan

atau bagi yang tetap hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan,

memerlukan intubasi endotrakheal.

Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta mannitol

seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali monitor TIK

terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah disesuaikan dengan

pengelolaan tekanan perfusi serebral.

Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 8

Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi

Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg). Oksigenasi.

Sedasi. ± Paralisis Farmakologis (aksi pendek).

Herniasi ?* ± Hiperventilasi *

Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *

* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis

progresif tidak karena kelainan ekstrakranial.

2. INDIKASI MONITORING TEKANAN INTRAKRANIAL (TIK)

Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT abnormal.

Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah resusitasi

kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai hematoma, kontusi

(memar), edema atau sisterna basal yang terkompres. Bila CT normal,

monitor dilakukan bila dijumpai dua atau lebih hal berikut : usia diatas 40

tahun, posturing motor uni atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm

Hg. Monitoring tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat,

kecuali untuk adanya lesi massa traumatika tertentu.

Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan

sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian

dan kesakitan dapat dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti

intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial

segera, serta perawatan ICU.

TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya diatas 20

mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun tekanan perfusi

serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring

TIK adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif,

peninggian TIK ringan saja dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak

umum dilakukan kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena

berisiko, makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.

3. HIPERVENTILASI

Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi

jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika

harus dicegah.

Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah

cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat

aliran darah serebral berkurang.

Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi

perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada

hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase

cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.

4. MANNITOL

Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera kepala

berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi transtentorial

dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan kelainan

ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian cairan. Osmolalitas

serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak terjadi gagal ginjal.

Euvolemia dipertahankan dengan penggantian cairan adekuat. Kateter

foley sangat penting. Bolus intermitten lebih efektif dibanding infus

kontinu.

Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila

diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.

5. BARBITURAT

Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan

hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap

tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial.

Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan

yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara

ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik.

Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30

menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis

pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila

dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena

beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.

6. STEROID

Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat

memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan intrakranial, karenanya

tidak dianjurkan.

7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF

Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :

GCS < 10.

Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.

Fraktur tengkorak terdepres.

Hematoma subdural.

Hematoma epidural.

Hematoma intraserebral.

Cedera tembus tengkorak.

Kejang dalam 24 jam sejak cedera.

Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens kejang pasca

trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang akan memberikan

manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan intrakranial,

perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan oksigen, dan

meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera

aksidental, efek psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya

bahwa pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti

kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti kejang

juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya diberikan pada

keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin

atau carbamazepin seperta pra rumah sakit.

8. INDIKASI OPERASI

Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih.

Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau

ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral

yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus

dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil dengan pergeseran ringan

tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa

terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila

terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.

Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi,

kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti

bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral,

gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat

mengalami perbaikan. 

Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi

segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan

operasi dini.

Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi

berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari angiogram,

temuan berikut ini indikasi operasi :

1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh 

serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.

2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia 

berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media 

berapapun jauhnya.

3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula 

interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap 

massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.

4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral 

media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi 

paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan 

herniasi tentorial dengan sangat cepat.

Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid serta bila

terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia,

fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang lebih

dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya. Operasi juga

dipertimbangkan bila pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial

yang kurang dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal

terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati batang otak.

Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial

Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm Hg.

Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara klinis

(lihat teks).

Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila tidak, pasien

dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg)

harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan,

pasien dapat dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30

mmHg. Untuk semua tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi

massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih

baik. 

JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIAL

Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.

Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk mengontrol

suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala tempat tidur,

pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis,

mempertahankan oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi

volume lengkap hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih. 

Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus

merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial. Ventilasi

dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila

gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan serebrospinal tidak

tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5

mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor

aliran darah serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi

ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol

dengan batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan

dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan penggantian

cairan. Selama tindakan tetap waspada akan kemungkinan terjadinya

massa yang perlu tindakan bedah.

Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti efektif

namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau yang efektif

namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti hiperventilasi hingga

PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi hipertensif.

RUJUKAN

Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed Head Injury.

In : George T. Tindall, ed. The Practice of Neurosurgery. Baltimore :

Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424.

Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of

Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1611-1622.

Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed. Principles of

Neorosurgery. New York : Raven Press, 1991. 235-291.

Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain Injury. Brain

Trauma Fondation, New York. © 2000, Brain Trauma Fondation.

Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I :

Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury. A joint

project of the Brain Trauma Fondation – American Association of

Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care. ©

2000, Brain Trauma Fondation.

Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment of

Moderate and Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed.

Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-1718

Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated Neurosurgery.

Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.

 

Kehalaman utama.