askep
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CIDERA KEPALA SEDANG
A. PENGERTIANCidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
B. PATOFISIOLOGICedera kulit kepala Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.
Fraktur tengkorakFraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung. Cidera otakKejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
KomosioKomosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.
KontusioKontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Hemoragi cranialHematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling
serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
2. hematoma subduralhematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.
3. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :- Gangguan kesadaran- Konfusi- Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan- Tiba-tiba defisit neurologik- Perubahan TTV- Gangguan penglihatan- Disfungsi sensorik- lemah otak
C. PATHWAYS
D. TANDA DAN GEJALA• Pola pernafasanPusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.• Kerusakan mobilitas fisikHemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.• Ketidakseimbangan hidrasiTerjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK• Aktifitas menelanReflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali• Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG• CT Scan • Ventrikulografi udara• Angiogram• Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)• Ultrasonografi
F. PENATALAKSANAAN1. Air dan Breathing- Perhatian adanya apnoe- Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.- Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.2. CirculationHipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.3. disability (pemeriksaan neurologis)- Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal- Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil
G. PENGKAJIAN PRIMERa. AirwayKaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosisb. BreathingInspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.c. SirkulasiKaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.d. DisabilityKaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.e. EksposureBuka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.H. PENGKAJIAN SKUNDER- KepalaKelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital- Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang- NeurologisPenilaian fungsi otak dengan GCS- DadaPemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG- AbdomenKaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen- Pelvis dan ekstremitasKaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain
I. DIAGNOASA KEPERAWATAN YANG MUNCUL1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral2. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif) 3. Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan4. Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas5. Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran7. Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran8. Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih
J. RENCANA KEPERAWATAN1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebralTujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik Intervensi :- Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK- Monitor status neurologis- Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK- Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya- Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK- Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi
2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif) Tujuan : pola nafas pasien efektifIntervensi :- Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas- Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas- Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala- Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik- Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)- Catat pengembangan dada
- Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi- Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif- Lakukan program medik3. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasantujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuatintervensi :- Kaji irama atau pola nafas- Kaji bunyi nafas- Evaluasi nilai AGD- Pantau saturasi oksigen
4. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafasTujuan : mempertahankan potensi jalan nafasintervensi :- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi- Kaji frekuensi pernafasan- Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar- Kolaburasi : monitor AGD
5. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadarantujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksifintervensi :- Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah- Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur- Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu- Pasang pagar tempat tidur- Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang- Pertahankan tirah baring
6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaranTujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhiIntervensi :- Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan- Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi- Catat makanan yang masuk- Kaji cairan gaster, muntahan- Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien- Laksanakan program medik
7. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemihtujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urinintervensi :- Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
- Periksa residu kandung kemih setelah berkemih- Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi
Daftar pustaka
file:///E:/asuhan-keperawatan-pada-pasien-cidera.html
Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cidera Otak
DEFINISI
Trauma kepala atau Head trauma digambarkan sebagai trauma yang
mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik,
intelektual, emosional, sosial, atau vokasional Fritzell et al, 2001)
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial (Smeltzer,2000)
EPIDEMOLOGI
Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain
anak-anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan–2 tahun, usia 15-24
tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita
adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang
tinggal pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi
rendah (Okie, 2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh
tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat.
ETIOLOGI
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala
antara lain:
a. Kecelakaan lalu lintas(penyebab terbanyak),
b. pertengkaran,
c. jatuh,
d. kecelakaan olahraga,
e. tindakan criminal
KLASIFIKASI
Berdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma terjadi
apabila benturan hebat pada objek yang keras atau benda yang
bergerak dengan kecepatan tinggi menabrak kepala. Lapisan dura
masih utuh, tidak ada bagian otak yang muncul keluar.
b. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka, menyebabkan isi
kepala nampak dari luar seperti skull, meningens, atau jaringan otak
termasuk dura. Tereksposenya isi kepala ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi.
Berdasarkan nilai kesadaran:
a. Cidera otak ringan (GCS 13 – 15): tidak terjadi ganggguan
neurologis, kadang asimptomatik, penurunan kesadaran selama
kurang dari 1 jam, amnesia kurang dari 24 jam
b. Cidera otak sedang (GCS 9 – 12): penurunan kesadaran dalam 1-24
jam, amnesia post trauma selama 1-7 hari.
c. Cidera otak berat (GCS 3-8): penurunan kesadaran lebih dari 24 jam
dan amnesia post trauma lebih dari satu minggu.
Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :
a. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan mampu
membuat jaringan otak mengenai tulang tengkorak namun tidak
cukup kuat untuk menyebabkan memar pada jaringan otak atau
penurunan keasadaran yang menetap. Contohnya seperti ketika kita
membentur tembok atau benda lain, sesaat kemudian kita akan
merasa kepala berputar dan diatasnya ada burung-burung emprit
yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat setelah itu kita
akan kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala: penurunan
kesadaran dalam waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal
yang baru saja terjadi, letargi, pusing.
b. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius daripada
concussion. Lebih banyak disebabkan oleh adanya perdarahan arteri
otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang tengkorak dan
dura. Gejala: penurunan kesadaran,hemiparese, perubahan reflek
pupil.
c. Epidural hematoma: terjadi berhubungan dengan proses ekselerasi-
deselerasi atau coup-contracoup yang menyebabkan adanya
gangguan pada sistem saraf pada daerah otak yang mengalami
memar. Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat yang
akan berlanjut menjadi penurunan kesadaran yang progresif, sakit
kepala yang parah, kompresi batang otak, keabnormalan pernafasa
(pernfasan dalam), gangguan motorik yang bersifat
kontralateral,dilatasi pupil pada sisi yang searah dengan trauma,
kejang, perdarahan. Epidural hematoma merupakan jenis
perdarahan yang paling berbahaya karena terjadi pada artesi otak.
d. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering terjadi.
Perdarahan pada meningeal yang menyebabkan akumulasi darah
pada daerah subdural (antara duramater dan arachnoid). Biasanya
mengenai vena pada korteks cerebri (jarang sekali mengenai arteri).
Gejala: mirip dengan epidural hematoma namun dengan onset of
time yang lambat karena sobekan pembuluh darah terjadi pada
vena sedangkan pada epidural mengenai arteri.
e. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan yang sub
akut dan memiliki prognosa yang lebih baik karena aliran darah
pada pembuluh darah yang robek berjalan relatif lambat. Sering
terjadi pada bagian frontal dan temporal otak. ICH sering
disebabkan oleh hipertensi. Gejala: deficit neurologis yang
tergantung pada letak perdarahan, gangguan motorik, peningkatan
tekanan intracranial.
f. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe yaitu linear,
comminuted, basilar, dan depressed. Fraktur pada bagian depan
dan tengah tulang tengkorak akan mengakibatkan sakit kepala
yang parah. Gejala: mungkin asimtomatik tergantung pada
penyebab trauma, displacemenet (perubahan/pergeseran letak)
tulang, perubahan sensor motorik,periorbital ekimosis (bercak
merah pada mata), adanya battle’s sign (ekimosis pada tulang
mstoid), akumulasi darah pada membran timpani.
Gambar dikutip dari smeltzer (2000)
PATOFISIOLOGI
Kerusakan akibat cidera otak tidak seluruhnya terjadi pada saat
trauma itu terjadi. Berdasarkan waktunya, kerusakan akibat trauma otak
dibagi menjadi kerusakan primer, yaitu efek yang muncul beberapa saat
setelah kejadian seperti kontusio, perdarahan, memar atau lain
sebagainya. Tipe kedua adalah kerusakan sekunder,yaitu kerusakan pada
otak yang terjadi beberapa jam atau hari setelah kejadian (Smeltzer,
2000). Merupakan tahap lanjut dari kerusakan primer dan timbul karena
kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai seperti
meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron lanjut, iskemia,
atau hipertermi (Japardi, 2002). Kerusakan sekunder ini sering terjadi
akibat ketidakefektifan pemberian intervensi oleh petugas kesehatan.
Kerusakan pada otak berbeda dengan kerusakan pada organ- organ lain.
Pada otak, dimana dibatasi oleh tulang tengkorak yang keras, jika terjadi
memar atau perdarahan akan mempengaruhi jumlah cairan yang berada
dalam tulang tengkorak. Oleh karena tulang tengkorak yang tidak dapat
mengembang, sebagai akibatnya perdarahan yang mengalir akan
mendesak tulang tengkorak ke dalam(ke jaringan otak). Jika hal ini terus
dibiarkan maka jumlah cairan dalam tulang tengkorak akan meningkat
dan akan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial. Tahap
selanjutnya setelah terjadi PTIK adalah terjadinya gangguan pada aliran
darah menuju otak. Peningkatan tekanan ini akan menurunkan aliran
darah ke otak sehingga jaringan otak mengalami hipoksia dan terjadilah
iskemia. Pada keadaan hipoksia, otak akan melakukan metabolisme
anaerob untuk memenuhi kebutuhan energy sel nya. Metabolisme
anaerob menghasilkan asam laktat. Herniasi otak terjadi setelah proses
iskemia berlangsung.
SIGN and SYMPTOM
Tanda dan gejala dari cidera otak secara umum antara lain:
Penurunan kesadaran
Keabnormalan pada sistem pernafasan
Penurunan reflek pupil, reflek kornea
Penurunan fungsi neurologis secara cepat
Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan
darah, bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
Pusing, vertigo
Mual dan muntah
Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik
Amnesia
Kejang
PENEGAKAN DIAGNOSA
a. CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi
pada saraf, perubahan kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau
fraktur.
b. Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK
melalui analisa CSF. Pada kasus subdural hematom kronis CSF
berwarna kuning dengan kandungan protein rendah).
c. EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan
ditemukan gelombang theta dan delta dengan amplitude yang
tinggi.
d. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur
pada tulang tengkorak.
e. MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan
struktur dalam otak
PENATALAKSANAAN
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut (Japardi, 2002):
a. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla
oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai
ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah.
d. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan
fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap
perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai
adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.
e. Pemeriksaan radiologi
f. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15
mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai
berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana
terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral.
Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-
72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan
ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang
dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler.
Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara
pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB,
setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310
mOSm
Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada
edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik
dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap
semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama
3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar
1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu
sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada
satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena
daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
g. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari
diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl
starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%
atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh
karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri.
Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang
akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam.
Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
h. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin
dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari
dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa
nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
i. Epilepsi/kejang
Pengobatan:
Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100
mg/hari
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam
15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan
<40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil.
Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara
pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis:
diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi,
seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan
amnesia post traumatik panjang
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan
nekrosis, atau bagian tulang tengkorak yang masuk kedalam jaringan
otak.
KOMPLIKASI
a. Peningkatan tekanan intra cranial
b. Infeksi
c. Gagal nafas
d. Herniasi otak
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Anamnesa: pasien datang dengan keluhan sakit kepala, pusing,
mual atau bahkan penurunan kesadaran. Beberapa faktor yang
menjadi resiko dari cidera kepala antara lain anak-anak yang berada
dalam rentang usia 6 bulan – 2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang
tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita adalah 2:1.
Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal
pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi
rendah (Okie, 2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi
oleh tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen
yang didapat
Pemeriksaan fisik:
B1: perubahan pola nafas, adanya suara nafas tambahan, peningkatan frekuensi
nafas
B2: hipertensi, hipotensi, taki kardi, bradikardi, CRT > 3 detik, sianosis
B3: nyeri kepala, penurunan tingkat kesadaran, pusing, perubahan reflek pupil
B4: inkkontinensia urin, distensi kandung kemih, retensi urin
B5: mual, muntak, reflek menelan mengalami penurunan, konstipasi
B6: kelemahan, keterbatasan kemampuan gerak
B. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tak efektif
b. Gangguan pertukaran gas
c. Ketidakefektifan pola nafas
d. Gangguan perfusi jaringan cerebral/ perifer
e. Nyeri akut
f. PK PTIK
g. Resiko cidera
h. Gangguan mobilitas fisik
i. Gangguan pola eliminasi urin/ fekal
j. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
k. Kelemahan
KASUS
Riwayat Penyakit:
Nn. Sinden (21 tahun) datang ke Rumah Sakit Vardgivare pada
tanggal 28 September 2001 dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Pasien datang dibawa oleh polisi yang menemukannya tidak
sadar di jalan akibat kecelakaan sekitar 5 jam sbelum MRS. Dokter
mendiagnosa nona Sinden dengan COB+FBC (fraktur basis cranii)+F.
Mandibula. Pengkajian yagn dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2001
didapatkan hasil TTV = TD:120/70 mmHg nadi 78 kali permenit, RR: 18
kali permenit, dan suhu aksila 36,7 derajat celcius. Pasien terpasang
trakheostomi, alat bantu nafas simple mask dengan flow oksigen 8 lpm,
pada auskultasi paru didapatkan ronchi basah di seluruh lapang paru.
Akral pasien teraba hangat, penilaian tingakt kesadaran didapatkan GCS :
3 X 5. Hasil pemeriksaan laboratorium terakhir didapatkan: Hb 9,09 mg
/dL, RBC 3,19 10^6, HCT 29,3 %. Pemeriksaan CT scan menunjukkan
adanya perdarahan intracerebri. Terapi yang diperoleh ciprofloxacin 2x
400 mg, cefazolin 2 x 100 mg, antrain 2x100 mg, ranitidin 3x 1,2 mg,
neurotam 3x1 mg.
Diagnosa medis: COB+FBC (fraktur basis cranii)+F. Mandibula
Pengkajian:
Anamnesa: pasien datang dengan keluhan penuruna kesadaran setelah
terjadi kecelakaan laulintas 5 jam sebelum MRS
Pemeriksaan Fisik:
1. Vital sign
TD:120/70 mmHg nadi 78 kali/menit RR: 18 kali/menit suhu: 36,7®C
Sistem Pernafasan (B1)
RR 18 kpm, suara nafas ronchi diseluruh lapang paru, irama teratur,sekret
berwarna putih keruh, terpasang trakheostomi dan simple mask 8 lpm
Masalah keperawatan = bersihan jalan nafas tak efektif
2. Sistem Kardiovaskular (B2)
irama jantung reguler, S1/S2 tunggal, suara jantung normal, CRT < 2
detik, akral HKM
Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
3. Sistem Persyarafan (B3)
GCS= 3X5, pupil isokor, sklera putih, konjungtiva merah muda, reflek
patologis kaku kuduk dan kernig sign positif
Masalah keperawatan = gangguan perfusi jaringan cerebral
4. Sistem Perkemihan (B4)
pasien tidak terpasang kateter, balance cairan terakhir defisit 245 cc
Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
5. Sistem Pencernaan (B5)
pasien terpasang NGT, intake nutrisi 7 x 200 cc terbagi menjadi 6 x 200 cc
susu cair dan 1x 200 cc jus buah, retensi terakhir 10cc
Masalah keperawatan = resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Sistem Muskuloskeletal (B6)
pergerakan sendi bebas, kekuatan otot lengan ka/ki: 5/5 kaki ka/ki: 5/5
Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
Daftar Diagnosa keperawatan:
1. Bersihan jalan nafas tak efektif b. d akumulasi sputum
2. Gangguan perfusi jaringan cerebral b. d penurunan suplai oksigen
otak
3. Resiko infeksi b. d adanya akumulasi perdarahan di dalam otak, port
de entry kuman sekunder terhadap pemasangan trakeostomi
Rencana Intervensi:
1. Bersihan jalan nafas tak efektif b. d akumulasi sputum:
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi
saluran pernafasan guna mempertahankan jalan nafas yang bersih.
Tujuan:
Setelah pemberian intervensi dalam 1x15 menit jalan nafas pasien
bersih/paten
Kriteria hasil:
Irama nafas teratur
Suara nafas vesikuler (tidak terdapat suara nafas tambahan)
Frekuansi nafas antara 12-20 kali/menit
Tidak didapatkan sekret
Saturasi oksigenasi 95-100%.
Intervensi:
a. Lakukan fisioterapi nafas fibrasi dan suctioning
R/ membantu mengalirkan dahak dan mengurangi akumulasi dahak
b. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai indikasi
R/ meningkatkan suplai oksigen dalam tubuh
c. Auskultasi paru tiap 4 jam untuk mendengarkan bunyi nafas
R/ identifikasi adanya suara nafas tambahan sebagai tanda adanya
produksi sekret yang menyebabkan jalan nafas terganggu
d. Pantau perubahan sistem pernafasan meliputi RR, suara nafas,
SaO2, konsistensi sekret dan irama nafas
R/ sebagai data dasar perkembangan kondisi pasien
2. Perubahan perfusi jaringan cerebral b. d penurunan suplai oksigen
otak: suatu penurunan jumlah oksigen yang mengakibatkan
kegagalan untuk memelihara jaringan pada tingkat cerebri.
Tujuan:
Setelah pemberian intervensi dalam 1 x 24 jam perfusi jaringan serebral
dapat dipertahankan secara adekuat
Kriteria hasil:
Pasien akan mempertahankan atau meningkatkan tingkat
kesadaran
Fungsi kognitif dan sensorik baik
Tidak ada tanda PTIK (muntah proyektil, nyeri kepala hebat,
penurunan kesadaran)
TTV dalam batas normal (TD= 60-90 mmgh/90-130mmhg, nadi 60-
100 kpm, suhu 36,5 – 37,5 derajat celcius, RR 12- 20 kpm)
Intervensi:
a. Posisikan kepala supine (datar)
R/ menghindari peningkatan tekanan aliran darah menuju otak yang
dapat memicu peningkatan tekanan intra kranial
b. Pertahankan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi
pengunjung dan aktivitas pasien sesuai indikasi
R/ aktivitas atau stimulasi yang kontinyu dapat menimbulkan PTIK
c. berikan obat sesuai indikasi
R/ menghindari peningkatan akumulasi cairan dalam otak dan mmbantu
menghindari PTIK
d. pantau status kesadarn secara periodik, TTV, dan tanda – tanda
PTIK
R/ memantau perubahan status neurologis, perbaikan kondisi pasien
untuk menentukan intervensi selanjutnya
3. Resiko infeksi b.d adanya akumulasi perdarahan di dalam otak, port
de entry kuman sekunder terhadap pemasangan trakheostomi:
suatu kondisi individu mengalami peningkatan resiko terserang
organisme patogen
Tujuan:
Setelah pemberian intervensi dalam 3x 24 jam tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
Tidak ada tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, calor, dolor)
Laboratorium menunjukkan hasil normal (WBC dalam rentang 4,5 –
10,0 10^3)
Hasil kultur normal
Sputum tidak berwarna, berbau, atau purulen.
Intervensi:
a. Lakukan perawatan trakheostomi dengan teknik steril minimal 2 kali
sehari
R/ mencegah infeksi sekunder
b. Ajarkan keluarga pasien untuk mempertahankan kesterilan area
insersi trakheostomi
R/ meningkatkan dukungkan keluarga untuk perbaikan kondisi pasien dan
meningkatkan pengetahuan keluarga tentang kondisi pasien
c. Kolaborasi pemberian antibioti
R/ sebagai profilaksis atau pengobatan pada kasus infeksi
d. Pantau hasil laboratorium DL, LED, kultur, dan TTV
R/ mengevaluasi perkembangan kondisi pasien melalui analisa
perubahan-perubahan pada hasil lab dan tanda-tanda vital
*Ners note:
Penting bagi perawat untuk selalu mengobservasi tingkat kesadaran
pasien dengan cidera otak berat (GCS) sebagai parameter
perkembangan kondisi pasien dan untuk mendeteksi dini adanya
komplikasi pada otak.
Bersihan jalan nafas tak efektif diambil sebagai diagnosa utama
karena penurunan jumlah suplai oksigen dalam tubuh akan
menyebabkan perburukan kondisi pasien dan menyebabkan
gangguan – gangguan lainnya. Selain itu, airway merupakan poin
pertama dalam penatalaksanaan mempertahankan fungsi organ.
Hati hati pada pasien yang mendapatkan terapi mannitol, selama
proses pemberian hendaknya diawasi langsung dan tidak
menyerahkan pengawasan kepada keluarga serta perhatikan
tekanan darah sebelum dan sesudah pemberian. Selain itu, balance
cairan pasien juga penting untuk diobservasi setiap 24 jam. Hal ini
karena mannitol bersifat mengikat air yang akan menurunkan
tekanan darah dan beban jantung.
Coupe: jejas pada daerah yang langsung terkena benturan.
Biasanya terjadi pada trauma dimana kepala yang relative diam
dihantam oleh benda yang relative bergerak.
Contracoupe: jejas pada daerah yang berlawanan dengan daerah yang
langsung terkena benturan. Contracoup terjadi karena jaringan otak
menghantam tulang tengkorak bagian dalam. Biasanya terjadi pada
trauma dimana kepala yang bebas bergerak membentur benda yang
relatif diam
Daftar Pustaka
Carpenito, LJ.,2004. Nursing Care Plans & Documentation: Nursing Diagnoses
and Collaborative Problems 4th Edition. Philadelpia :LWW Publisher
Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse
corp
Japardi, I., 2002. Penatalaksanaan Cidera Kepala Akut. Medan : USU
Okie, S., 2005. Traumatic Brain Injury in the War Zone, The New England
Journal of Medicine, 352:2043-2047.
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher