artikel 2 pengaruh suhu kondensor terhadap cop sistem solar cooling

11
PENGARUH SUHU KONDENSOR TERHADAP COP SISTEM SOLAR COOLING Dewanto Harjunowibowo 1 , Dina Nur Adilah 2 Universitas Sebelas Maret Jalan Ir.Sutami No.36 A Surakarta 57126 E-mail : dewanto_h @ yahoo.com 1 , [email protected] 2 Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pendinginan pada kondensor terhadap COP sistem solar cooling. Selain COP sistem, dari penelitian ini juga diperoleh data kecepatan transfer panas dan transfer massa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Eksperimen dilakukan dengan seperangkat alat solar cooling skala laboratorium yang sudah dirangkai dan dibuat. Alat solar cooling dilengkapi dengan alat ukur suhu berupa termokopel dan termometer digital. Sistem solar cooling bekerja dengan metode adsorpsi. Siklus kerja sistem terdiri dari dua proses, yaitu proses desorpsi dan proses adsorpsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem dengan kondensor tanpa pompa air menghasilkan COP lebih besar daripada sistem dengan kondensor menggunakan pompa air. Pada proses adsorpsi dengan kondensor menggunakan pompa air, kecepatan transfer panas yang dihasilkan sebesar 0,05°C/menit, kecepatan transfer massa sebesar 1,04 mL/menit, dan COP sistem adalah 0,2325. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan kondensor tanpa pompa air, kecepatan transfer panas yang dihasilkan sebesar 0,06°C/menit, kecepatan transfer massa sebesar 1,09 mL/menit, dan COP sistem adalah 0,2425. Kata Kunci: I. Pendahuluan Di Indonesia, 60% konsumsi listrik hotel di Jakarta digunakan untuk memasok energi mesin pendingin udara (Suwono, dkk, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi listrik pada mesin pendingin relatif tinggi. Listrik pada umumnya masih dihasilkan oleh bahan bakar fosil, sehingga penggunaan mesin pendingin tersebut secara tidak langsung juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca menyebabkan peningkatan efek pemanasan global (Muhi, 2011). Lapisan ozon yang mengalami kerusakan tersebut diantaranya disebabkan oleh penggunaan fluorocarbon (CFC, HCFC, HFC) sebagai refrigeran dalam bidang pendinginan (Molina & Rowland, 1974). Penolakan terhadap penggunaan fluorocarbon telah tertuang dalam konvensi Wina dan Protokol Montreal 1987, dengan keharusan penghentian produksi dan penggunaan refrigeran fluorocarbon. Selain memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, mesin pendingin masih menerapkan konversi energi listrik menjadi energi mekanik. Hal ini sesuai dengan Hukum Pertama Termodinamika (Tipler, 1998). Hukum Pertama Termodinamika menyatakan bahwa energi dapat dikonversikan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Saat ini telah banyak penelitian tentang pengkonversian energi panas menjadi energi listrik, maupun sebaliknya. Akan menjadi hal yang menarik apabila energi panas dikonversikan menjadi energi dingin.

Upload: july-t-widya-r

Post on 11-Dec-2015

238 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

iki

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel 2 Pengaruh Suhu Kondensor Terhadap Cop Sistem Solar Cooling

PENGARUH SUHU KONDENSOR TERHADAP COP SISTEM SOLAR COOLING

Dewanto Harjunowibowo1, Dina Nur Adilah2

Universitas Sebelas MaretJalan Ir.Sutami No.36 A Surakarta 57126

E-mail : dewanto_h @ yahoo.com 1, [email protected] 2

AbstrakPenelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pendinginan pada kondensor terhadap

COP sistem solar cooling. Selain COP sistem, dari penelitian ini juga diperoleh data kecepatan transfer panas dan transfer massa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Eksperimen dilakukan dengan seperangkat alat solar cooling skala laboratorium yang sudah dirangkai dan dibuat. Alat solar cooling dilengkapi dengan alat ukur suhu berupa termokopel dan termometer digital.

Sistem solar cooling bekerja dengan metode adsorpsi. Siklus kerja sistem terdiri dari dua proses, yaitu proses desorpsi dan proses adsorpsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem dengan kondensor tanpa pompa air menghasilkan COP lebih besar daripada sistem dengan kondensor menggunakan pompa air. Pada proses adsorpsi dengan kondensor menggunakan pompa air, kecepatan transfer panas yang dihasilkan sebesar 0,05°C/menit, kecepatan transfer massa sebesar 1,04 mL/menit, dan COP sistem adalah 0,2325. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan kondensor tanpa pompa air, kecepatan transfer panas yang dihasilkan sebesar 0,06°C/menit, kecepatan transfer massa sebesar 1,09 mL/menit, dan COP sistem adalah 0,2425.

Kata Kunci:

I. PendahuluanDi Indonesia, 60% konsumsi listrik hotel

di Jakarta digunakan untuk memasok energi mesin pendingin udara (Suwono, dkk, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi listrik pada mesin pendingin relatif tinggi. Listrik pada umumnya masih dihasilkan oleh bahan bakar fosil, sehingga penggunaan mesin pendingin tersebut secara tidak langsung juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Emisi gas rumah kaca menyebabkan peningkatan efek pemanasan global (Muhi, 2011). Lapisan ozon yang mengalami kerusakan tersebut diantaranya disebabkan oleh penggunaan fluorocarbon (CFC, HCFC, HFC) sebagai refrigeran dalam bidang pendinginan (Molina & Rowland, 1974). Penolakan terhadap penggunaan fluorocarbon telah tertuang dalam konvensi Wina dan Protokol Montreal 1987, dengan keharusan penghentian produksi dan penggunaan refrigeran fluorocarbon.

Selain memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, mesin pendingin masih menerapkan konversi energi listrik menjadi energi mekanik. Hal ini sesuai dengan Hukum Pertama Termodinamika (Tipler, 1998). Hukum Pertama Termodinamika menyatakan bahwa energi dapat dikonversikan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Saat ini telah banyak penelitian tentang pengkonversian energi panas menjadi energi listrik, maupun sebaliknya. Akan menjadi hal yang menarik apabila energi panas dikonversikan menjadi energi dingin.

Samosir (2011) menjelaskan bahwa dasar dari penggunaan sistem pendingin adalah mengembalikan gas menjadi cairan dan selanjutnya menguap menjadi gas kembali. Proses pendinginan merupakan proses pengambilan kalor atau panas

suatu ruang atau benda untuk menurunkan suhunya dengan jalan memindahkan kalor yang terkandung dalam ruangan atau benda tersebut ke lingkungan, sehingga proses pendinginan merupakan rangkaian proses pindah panas.

Salah satu sistem pendinginan yang bisa dijadikan alternatif adalah solar cooling. Solar cooling merupakan salah satu teknologi pendingin tenaga surya yang memanfaatkan proses adsorpsi. Pendinginan secara adsorpsi mempunyai karakteristik tersendiri yakni sistem kompresor mekanik akan digantikan dengan sistem adsorpsi dan memerlukan sumber energi panas (kalor) untuk menghasilkan siklus pendingin (heat-operated cycle) (Stoecker, 1992). Penggunaan teknologi adsorpsi sangat cocok digunakan pada sistem pendingin tenaga surya tipe kecil (Balaras, dkk., 2007; Wang, 2001; Wang dan Oliveira, 2006). Solar cooling memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: hemat energi (dapat memanfaatkan energi panas dalam skala rendah), pengaturan yang mudah, tidak ada getaran dan biaya opersional yang murah (Wang & Oliviera, 2006).

Solar cooling terdiri atas tiga komponen utama (Li, dkk, 2004a), yaitu : 1) Generator; 2) Kondensor, dan 3) Evaporator penghasil suhu dingin. Generator berisi adsorbent-pair yang berperan dalam proses desorpsi maupun adsorpsi. Adsorbent-pair yang biasa digunakan adalah zeolit-air (Amber, et al, 2012), silika gel-air (Chen, et al, 2010), dan karbon aktif-methanol (Li, et al, 2004b). Kondensor merupakan komponen yang berfungsi sebagai alat pemindah panas sehingga uap panas refrigeran akan mengalami pengembunan dan perubahan fase dari keadaan uap menjadi cairan (Ridhuan & Angga, 2011).

Page 2: Artikel 2 Pengaruh Suhu Kondensor Terhadap Cop Sistem Solar Cooling

Adsorber yang baik mampu menyerap cairan pendingin dengan maksimal dan melepaskannya kembali secara cepat dengan bantuan panas matahari. Untuk itu adsorber harus mampu menyebarkan aliran panas yang diterima secara baik dan cepat ke seluruh bagian adsorber. Kecepatan transfer panas ini berbeda-beda hasilnya antara adsorber berbentuk butiran (granules) dan padatan (solid). Menurut Wang, dkk. (2006), transfer panas pada padatan lebih baik daripada yang butiran, namun transfer massanya lebih rendah daripada bentuk butiran. Selain itu ukuran pori-pori (porousity) dari adsorber juga mempengaruhi laju transfer panas dan massa cairan (Kaczmarski dan Bellot, 2003). Jika ukuran pori dari adsorber sesuai dengan ukuran atom dari cairan maka tingkat penyerapannya semakin baik. Sebaliknya jika ukuran pori adsorber terlalu kecil daripada ukuran molekul cairan, maka kemampuan penyerapannya sangat rendah.

Pasangan karbon aktif-methanol memiliki COP yang tinggi dan lebih murah dibandingkan pasangan adsorben lain (Critoph, 1988; Pons dan Guillemiont, 1986). Berdasarkan hasil penelitian Dewanto, dkk (2014) menggunakan pasangan karbon aktif-methanol dimana karbon aktifnya berbentuk granul menghasilkan nilai COP sebesar 0,23. Sedangkan Li et al (2004b) dalam penelitiannya menggunakan adsorber-pair karbon aktif-methanol menghasilkan nilai COP sebesar 0,105-0,113.

Telah banyak penelitian yang membahas mengenai solar cooling. Namun belum ada penelitian yang membandingkan penggunaan pompa air pada kondensor. Pompa pada air berperan untuk mengalirkan air ke dalam kondensor sehingga terjadi pendingin pada bagian kondensor. Untuk itu, dilakukan penelitian mengenai pengaruh suhu kondensor terhadap nilai COP sistem. Selain COP sistem, dari penelitian ini juga diperoleh data kecepatan transfer panas dan transfer massa.

II. PembahasanPenelitian ini dilakukan dengan merangkai

alat solar cooling. Alat ini didesain untuk skala laboratorium yang terdiri dari empat komponen utama yakni generator, kondensor, evaporator, dan chiller. Pada generator, evaporator, dan chiller dilengkapi pengukur suhu berupa termokopel dan termometer digital. Melalui eksperimen tersebut akan diperoleh data-data berupa perubahan volume refrigeran dan perubahan temperatur pada masing-masing komponen sistem. Dalam eksperimen ini terdiri proses desorpsi dan adsorpsi. Apabila data-data tersebut sudah diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut untuk mengetahui transfer panas dan transfer massa pada proses desorpsi maupun adsorpsi serta nilai COP sistem. Untuk mengetahui pengaruh suhu

kondensor terhadap COP sistem solar cooling maka pada proses adsorpsi dilakukan dua kali percobaan, yakni percobaan pertama kondensor berpendingin (dialiri air) dan percobaan kedua kondensor tidak berpendingin (tidak dialiri air).

2.1 Setting Alat Solar CoolingSolar cooling merupakan sistem pendingin

berbasis sistem siklus tertutup dan terbuka yang dipengaruhi oleh panas matahari (Hartmann, dkk, 2011). Solar cooling terdiri atas tiga komponen utama (Li, dkk, 2004a), yaitu : 1) Generator yang berisi solid adsorber-pair; 2) Kondensor, dan 3) Evaporator penghasil suhu dingin.

Desain alat solar cooling ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Desain Alat Solar Cooling, 1)Generator; 2)Kondensor; 3)Evaporator; 4)Chiller; 5)Termokopel; 6)Kran Kontrol; 7)Kran Vakum; 8)Pressure Gauge; 9&10)Inlet & Outlet Air Kondensor; 11)Selang Air; 12)Ember Berisi Air; 13)Pemompa Air; 14)Termometer Digital

a. GeneratorGenerator ini berukuran (22x22x6) cm3 yang terbuat dari bahan stainless steel. Di dalam generator terdapat solid adsorben yang telah diberi pori buatan berupa karbon aktif dan refrigeran berupa metanol. Generator memiliki fungsi ganda, yaitu tempat terjadinya proses desorpsi dan adsorpsi. Pada solid adsorben tersebut dipasangi kabel termokopel untuk mengetahui perubahan suhu selama proses desorspsi maupun adsorpsi.

b. KondensorKondensor ini juga terbuat dari bahan stainless steel dengan panjang 31 cm dan diameter 0,6 cm. Pada kondensor terjadi perubahan fasa uap ke cair yang disertai dengan pembuangan kalor ke lingkungan. Kondensor dalam alat solar cooling ini menggunakan pendingin air sehingga pembuangan kalor dilakukan ke air.

c. Evaporator

Page 3: Artikel 2 Pengaruh Suhu Kondensor Terhadap Cop Sistem Solar Cooling

Evaporator terbuat dari bahan stainless steel dengan dilengkapi termometer digital dan termokopel untuk mengetahui suhu refrigeran yang menetes di evapotar. Evaporator berfungsi sebagai tempat refrigeran yang menetes dari generator ketika proses desorpsi. Sedangkan ketika proses adsorpsi, evaporator berfungsi sebagai tempat untuk menyalurkan kembali refrigeran menuju generator.

d. ChillerChiller merupakan tempat yang terisolasi dari keadaan lingkungan sekitar. Pada bagian chiller dilengkapi dengan termokopel untuk mengetahui perubahan suhu yang terjadi di dalamnya. Chiller akan mengalami penurunan suhu ketika proses adsorpsi berlangsung. Hal ini terjadi karena adanya penyerapan kalor dari chiller oleh evaporator untuk meng-uapkan refrigeran menuju generator.

e. Komponen Pendukung Alat Solar CoolingAlat solar cooling ini dirancang untuk skala laboratorium sehingga sumber panas matahari digantikan oleh kompor listrik. Alat pendukung lainnya adalah termometer digital dan termokopel yang berfungsi untuk mengetahui temperatur yang ada di dalam komponen solar cooling. Selain itu, pada bagian kondensor juga dilengkapi dengan alat pemompa air untuk memompa air masuk menuju kondensor. Air memasuki kondensor melalui inlet dan keluar melalui outlet. Pada bagian generator dilengkapi dengan alat pendukung berupa manometer. Manometer digunakan untuk mengukur tekanan yang berada di dalam sistem.

2.2. Prinsip Kerja Alat Solar CoolingPada prinsipnya, alat ini bekerja dengan

memanfaatkan proses desorpsi (pemanasan) dan adsorpsi (pendinginan). Pada saat proses desorpsi, generator yang dalamnya telah berisi solid adsorben dipanaskan dengan menggunakan kompor listrik hingga kandungan refrigeran di dalamnya habis menguap menuju evaporator. Ketika uap refrigeran sampai di kondensor, uap tersebut mengembun akibat pendinginan yang ada di kondensor. Pada akhirnya, refrigeran menetes di evaporator.

Setelah proses desorpsi (pemanasan), langkah selanjutnya adalah proses adsorpsi (pendinginan). Proses adsorpsi dapat dimulai ketika semua suhu di masing-masing komponen dari solar cooling sudah setimbang. Pada saat proses adsorpsi berlangsung, tekanan di bagian generator lebih rendah daripada bagian evaporator. Akibatnya, refrigeran yang ada di bagian evaporator akan menguap menuju generator kembali. Penguapan ini membutuhkan kalor. Oleh karena itu, evaporator akan mengambil kalor/ panas dari chiller untuk menguapkan refrigeran yang ada di dalamnya.

Akibatnya, akan terjadi penurunan suhu pada bagian chiller.

2.3. COP (Coefficient of Performance)COP (Coefficient of Performance)

refrigerasi merupakan gambaran efisiensi siklus alat refrigerasi, yang dinyatakan oleh perbandingan energi kalor yang diserap dari evaporator (Qevap) terhadap energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan kompressor (W). Pada sistem refrigerasi ini, pemakaian kompressor digantikan dengan karbon aktif. Untuk menaikkan tekanan refrigeran yang teradsorpsi agar mencapai tekanan kondensasinya, karbon aktif dipanaskan sampai pada temperatur tertentu.

Coefficient of Performance (Alva and González, 2001) dapat ditunjukkan pada persamaan 2.1.

2.5. Hasil PenelitianSistem solar cooling merupakan sistem

pendingin adsorpsi yang terdiri dari siklus desorpsi dan siklus adsorpsi. Proses desorpsi adalah proses pemanasan pada sistem sehingga pergerakan molekul adsorben (karbon aktif) akan meningkat. Pada proses ini membutuhkan energi panas untuk melepaskan refrigeran (metanol) dari adsorben (karbon aktif) sehingga disebut proses endotermik. Proses ini berlangsung selama ±2,5 jam dengan pemanasan hingga 120°C. Hu (1998) menjelaskan bahwa temperatur lebih dari 120°C harus dihindari karena metanol akan terdekomposisi menjadi bentuk lain.

Pada proses desorpsi, di bagian generator dilengkapi kontrol suhu yang disetting sebesar 690C untuk mengikuti ketersiediaan solar water heater. Alat pemanas yang digunakan adalah kompor listrik yang disetting 300W. Hasil dari proses desorpsi ditunjukkan pada Gambar 3.

Proses desorpsi dimulai pada suhu ±27°C dengan suhu lingkungan 29°C. Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada masing-masing komponen solar cooling terjadi kenaikan suhu. Kenaikan suhu yang signifikan terjadi pada generator (Tgen). Generator pada permukaan bawah mengalami kenaikan suhu lebih dulu daripada generator pada permukaan atas dan tengah. Namun pada menit ke-26 semua titik pada generator memiliki suhu yang sama, yaitu sebesar 68,3°C. Setelah mencapai menit ke-26, suhu di generator kembali mengalami kenaikan suhu. Suhu generator pada permukaan bawah mengalami kenaikan yang paling signifikan daripada suhu generator pada permukaan atas dan tengah. Hal ini dikarenakan

Page 4: Artikel 2 Pengaruh Suhu Kondensor Terhadap Cop Sistem Solar Cooling

setelah mencapai titik didih metanol, seluruh kandungan metanol dalam solid adsorben pada permukaan bawah sudah habis menguap. Dengan demikian, panas yang berada di generator pada permukaan bawah digunakan untuk menaikkan suhu. Sedangkan panas yang berada di generator pada permukaan atas dan tengah digunakan untuk mengubah fase metanol (menguapkan metanol) dan menaikkan suhu sehingga kenaikan suhu yang terjadi lebih kecil daripada kenaikan suhu yang terdapat di generator pada permukaan bawah.

Gambar 3. Grafik Hubungan Suhu terhadap Waktu saat Desorpsi

Perbedaan kenaikan suhu pada generator dapat digunakan untuk menghitung kecepatan transfer panas pada saat desorpsi. Kecepatan transfer panas dihitung dengan menentukan waktu yang dibutuhkan oleh panas generator pada permukaan atas dan tengah untuk memiliki suhu yang sama dengan generator pada permukaan bawah. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa ketika generator pada permukaan atas, tengah, dan bawah mencapai titik suhu yang sama sebesar 40°C pada waktu yang berbeda-beda.Keadaan ini ditunjukkan secara jelas dalam grafik pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan Kenaikan Suhu Generator saat Menit ke-7, ke-10 dan ke-11

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa untuk mencapai suhu 40°C generator permukaan bawah membutuhkan waktu 7 menit, generator tengah membutuhkan waktu 10 menit dan generator permukaan bawah membutuhkan waktu 11 menit. Dengan demikian, kecepatan transfer panas pada proses desorpsi dapat dihitung sebagai berikut :

Berdasarkan hasil tersebut, maka diperoleh kecepatan transfer panas rata-rata sebesar :

Nilai kecepatan transfer panas rata-rata ketika desorpsi sebesar 1,22°C/menit. Nilai ini memiliki arti bahwa terdapat kenaikan suhu sebesar 1,22°C tiap menitnya ketika proses desorpsi berlangsung. Penelitian sebelumnya oleh July (2015) menggunakan solid adsorbent pair atau karbon aktif yang dipadatkan tanpa diberikan pori buatan kecepatan transfer panas pada proses desorpsi adalah 0,33°C/menit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian pori buatan pada solid adsorben bed dapat meningkatkan kecepatan transfer panas. Hasil ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sukatiman dan Dewanto (2014) bahwa pemberian pori pada adsorber sangat mempengaruhi proses desorpsi pada sistem solar cooling.

Selain transfer panas, pada saat desorpsi juga dapat dihitung nilai kecepatan transfer massa adsorben. Kecepatan transfer massa dapat dihitung dengan mengukur volume metanol yang tertampung oleh evaporator selama proses desorpsi berlangsung. Berdasarkan data yang diperoleh setelah proses desorpsi, volume metanol yang dihasilkan selama 150 menit adalah 310 mL. Sehingga kecepatan transfer massa proses desorpsi dapat dihitung sebagai berikut:

Dengan demikian, kecepatan transfer massa adsorben pada saat desorpsi sebesar 2,07 mL/menit. Artinya, metanol dalam adsorben dapat menguap sebanyak 2,07 mL menuju evaporator tiap menitnya selama proses desorpsi tersebut berlangsung. July (2015) dalam penelitiannya menggunakan solid adsorbent pair atau karbon aktif yang dipadatkan tanpa diberikan pori buatan kecepatan transfer massa pada proses desorpsi adalah 1,76mL/menit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian pori buatan pada solid adsorben bed dapat meningkatkan kecepatan transfer massa. Adanya pori buatan menyebabkan refrigeran yang menguap namun terjebak dalam

Page 5: Artikel 2 Pengaruh Suhu Kondensor Terhadap Cop Sistem Solar Cooling

adsorber dapat keluar melalui pori-pori tersebut sehingga meningkatkan transfer massanya.

Proses adsorpsi merupakan proses pendinginan pada sistem dimana lingkungan melepas kalor sehingga menimbulkan penurunan suhu. Pada proses ini dilakukan dua kali percobaan, yakni adsorpsi dengan kondensor berpendingin (dialiri air) dan adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin (tidak dialiri air). Hasil proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin ditunjukkan pada Gambar 5. Sedangkan proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 5. Grafik Hubungan Suhu terhadap Waktu Proses Adsorpsi Kondensor Berpendingin (Dialiri Air)

Gambar 6. Grafik Hubungan Suhu terhadap Waktu Proses Adsorpsi Kondensor Tidak Berpendingin (Tidak Dialiri Air)

Berdasarkan Gambar 5 dan Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada proses adsorpsi masing-masing komponen solar cooling terjadi penurunan suhu. Proses adsorpsi dimulai pada suhu ±30°C. Penurunan suhu yang paling signifikan terjadi pada chiller, sedangkan pada generator dan evaporator penurunan suhu tidak terlalu signifikan. Pada percobaan adsorpsi dimana kondensor berpendingin, penurunan suhu chiller dari 30,4°C menjadi 21,1°C selama 183 menit. Dengan kata lain penurunan suhu yang dialami saat proses adsorpsi pertama sebesar 9,3°C. Kemudian pada menit ke 184 suhu chiller kembali naik. Hal ini dikarenakan karbon aktif sudah mengalami titik jenuh sehingga tidak dapat menyerap metanol dengan optimal. Sedangkan pada percobaan adsorpsi dimana kondensor tidak berpendingin, penurunan dari 30,4°C menjadi 20,7°C selama 158

menit. Dengan kata lain, penurunan suhu yang dialami saat proses adsorpsi kedua sebesar 9,7°C. Pada menit ke 159 suhu chiller kembali naik. Penurunan suhu chiller pada percobaan dengan kondensor tidak berpendingin lebih baik daripada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin. Waktu adsorpsi yang diperlukan ketika kondensor tidak berpendingin lebih singkat daripada kondensor dialiri air. Hal ini dikarenakan ketika refrigeran (metanol) di evaporator yang menguap akan kembali mengembun dan menetes ke evaporator akibat suhu dingin di kondensor ketika dialiri air. Suhu dingin tersebut menyebabkan refrigeran menyerap panas dari air, sehingga refrigeran membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berpindah dari evaporator menuju generator. Pada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin masih menyisakan 90 mL metanol di evaporator. Sedangkan proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin menyisakan 80 mL metanol di evaporator.

Kecepatan transfer panas saat adsorpsi ditentukan dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan chiller untuk mengalami penurunan suhu. Perhitungan kecepatan transfer panas saat adsorpsi dapat dituliskan sebagai berikut:

Dari perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa kecepatan transfer panas pada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin adalah 0,05°C/menit. Artinya terjadi penurunan suhu sebesar 0,05°C tiap menitnya selama proses adsorpsi berlangsung. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin kecepatan transfer panasnya adalah 0,06°C/menit. Artinya terjadi penurunan suhu sebesar 0,06°C tiap menitnya selama proses adsorpsi berlangsung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecepatan transfer panas pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin (tidak dialiri air) lebih baik daripada kondensor berpendingin (dialiri air).

Selanjutnya data volume metanol ketika proses adsorpsi dapat digunakan untuk menghitung kecepatan transfer massa adsorben ketika adsorpsi. Pada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin, volume metanol yang kembali diserap oleh adsorbent bed karbon aktif adalah 220 mL selama 211 menit. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin, volume metanol yang kembali diserap oleh adsorbent bed karbon aktif adalah 230 mL selama 211 menit. Sehingga kecepatan transfer massa dapat dihitung sebagai berikut:

Page 6: Artikel 2 Pengaruh Suhu Kondensor Terhadap Cop Sistem Solar Cooling

Dari perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa kecepatan transfer massa pada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin adalah 1,04 mL/menit. Artinya adsorbent bed karbon aktif dalam generator dapat menyerap 1,04 mL metanol dari evaporator setiap menitnya. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin kecepatan transfer massa pada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin adalah 1,09 mL/menit. Artinya adsorbent bed karbon aktif dalam generator dapat menyerap 1,09 mL metanol dari evaporator setiap menitnya. Nilai kecepatan transfer massa pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin lebih baik daripada kecepatan transfer massa pada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin. Hal ini berarti karbon aktif pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin dapat menyerap metanol lebih baik daripada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin.

Berdasarkan penelitian ini dapat diperoleh hasil bahwa untuk suhu lingkungan sebesar 29°C, generator membutuhkan suhu sebesar 40°C untuk menguapkan refrigeran (metanol). Pada proses adsorpsi dengan kondensor berpendingin, suhu yang diserap oleh evaporator sehingga menyebabkan penurunan suhu adalah 9,3°C. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan kodensor tidak berpendingin penurunan suhu sebesar 9,7°C. Dengan demikian, nilai COP yang dihasilkan dari proses adsorpsi adalah :

Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai COP sistem solar cooling dengan kondensor tidak berpendingin lebih besar daripada COP sistem solar cooling dengan kondensor berpendingin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja dari sistem pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak dialiri air lebih baik daripada kinerja sistem pada proses adsorpsi dengan kondensor dialiri air.

COP dari hasil penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan nilai COP dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Z.F.Li, et al (1999) dan Sumathy, et al (1998) yang memperoleh nilai COP 0,10-0,12. Sedangkan penelitian lainnya yang menggunakan solid adsorbent pada satu plat menggunakan pasangan karbon aktif dan metanol telah dilakukan oleh M.Li, et al (2002). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai COP yang diperoleh dari sistem sebesar 0,105-0,113. Dalam

percobaan Dewanto, dkk (2014) menggunakan pasangan karbon aktif-metanol dengan karbon aktif berbentuk granul menghasilkan nilai COP sistem 0,230. July (2015) dalam penelitiannya menggunakan solid adsorbent pair karbon aktif-metanol yang tidak diberikan pori buatan menghasilkan nilai COP sistem 0,2275 untuk kondensor berpendingin, dan 0,230 untuk kondensor tidak berpendingin. Makin besar nilai COP, maka makin baik refrigerator tersebut (Tipler, 1998). Oleh karena, dapat disimpulkan bahwa pemberian pori buatan pada solid adsorbent bed dapat meningkatkan nilai COP sistem.

III. Kesimpulan dan SaranKesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :1. Pada proses adsorpsi dengan kondensor

berpendingin kecepatan transfer panas sebesar 0,050C/menit, dan transfer massa sebesar 1,04 mL/menit. Sedangkan pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak berpendingin, kecepatan transfer panas yang dihasilkan sebesar 0,06°C/menit, kecepatan transfer massa sebesar 1,09 mL/menit,

2. Nilai COP yang dihasilkan sistem solar cooling dengan kondensor berpendingin adalah 0,2325. Sedangkan kondensor yang tidak berpendingin, nilai COP sistem adalah 0,2425.

3. Kinerja dari sistem solar cooling pada proses adsorpsi dengan kondensor tidak dialiri air lebih baik daripada kinerja sistem pada proses adsorpsi dengan kondensor dialiri air.

SaranUntuk meningkatkan akurasi data maka

perlu dilengkapi dengan alat flowmeter untuk mengetahui jumlah debit metanol yang tertampung di evaporator. Agar metanol dalam evaporator cepat menguap kembali ke generator maka lebih baik dibuat saluran penghubung antara evaporator dan generator yang lebih rendah. Selain itu, untuk memperoleh nilai COP yang lebih baik maka perlu adanya pemvakuman sistem.

Ucapan Terima KasihPeneliti mengucapkan terima kasih kepada DIKTI dan UNS atas dana Hibah yang diberikan dengan no. Kontrak 501/UN27.11/PN/2014.

IV. Daftar PustakaAlva, L.H. and González J.E. (2001). Simulation

Of An Air-Cooled Solar-Assisted Absorption Air Conditioning System. Proceedings of Forum 2001 Solar Energy, Washington DC: The Power to Choose, April 21-25.

Amber, I., O.O. Randolph, and S.S. Yinka. (2012). Experimental determination of the

Page 7: Artikel 2 Pengaruh Suhu Kondensor Terhadap Cop Sistem Solar Cooling

adsorpstion capacity of synthetic Zeolite A/water pair for solar cooling aplications. Journal of Mechanical Engineering Research, 4(4), 142-147.

Balaras CA, Grossman G, Henning HM, Infante Ferreira CA, Podesser E, Wang L, dkk,. (2007). Solar air conditioning in Europe-an overview. Renewable and Sustainable Energi Reviews, 11(2):299–314

Chen C.J., Wang R.Z, Xia ZZ, Kiplagat JK and Lu ZS. (2010). Study of compact silicagel-water adsorption chiller without vacuum valves: Design and experiental study. Applied Energy, 87, 2673-2681

Critoph RE. (1996). Evaluation of alternative refrigerant–adsorbent pairs for refrigeration cycles. Applied Thermal Engineering, 16(11):891–900

Dewanto, H., Danar S.W., July T.W.R. (2014). Model Eksperimen Konversi Energi Sistem Refrigerasi dengan Metode Adsorpsi. Jurnal Materi dan Pembelajaran Fisika (JMPF), 4(2), 4-19.

Hu EJ. (1998). A study of thermal decomposition of methanol in solar powered adsorption refrigeration systems. Solar Energy; 62 (5), 325–9

July Trianita W. R. (2015). Model Eksperimen Solar Cooling untuk Menjelaskan Konversi Energi. Laporan Penelitian Tidak Dipublikasikan. FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kaczmarski, K. dan Bellot, J. Ch. (2003). Effect Of Particle-Size Distribution and Particle Porosity Changes on Mass-Transfer Kinetics. Acta Chromatographica, No. 13.

Li Z.F., dan Sumathy, K. 1999. A Solar Powerred Ice-Maker with the Solid Adsorption Pair of Activated Carbon and Methanol. International Journal of Energy Research, 23 (6) ; 517-527.

Li, M, Huang, H.B., Wang, R.Z., Wang, L.L., Cai, W.D., Yang, W.M. (2004b). Experimental study on adsorbent of activated carbon with refrigerant of methanol and ethanol for Solar Ice Maker. Renewable Energy 29 (2004) 2235–2244.

Li, M, Sun, C.J., Wang, R.Z. dan Cai, W.D. (2004a). Development of No Valve Solar

Ice Maker. Applied Thermal Engineering 24, 865 – 872

Molina, M.J, and Rowland, F.S. (1974). Stratospheric sink for chlorofluoromethanes: chlorine-atom catalysed destruction of ozone. Nature, 249 (5460), 810-812.

Muhi, Ali H. (2011). Praktek Lingkungan Hidup. Bandung: IPDN Press

Pons, M. dan Guillemiont, J.J. 1986. Design of an experimental solar-powered, solid-adsorption ice maker, Trans. ASME, J. Solar Energy Eng. 108 (4) ; 332–337.

Ridhuan, Kemas dan Angga, J.I.G. (2011). Pengaruh Media Pendingin Air pada Kondensor terhadap Kemampuan Kerja Mesin Pendingin. Jurnal Turbo, 3(2), 1-6.

Samosir, Osmond D. (2011). Kajian Eksperimental Kondensor untuk Mesin Pendingin Siklus Adsorpsi Tenaga Surya. Skripsi Tidak Dipublikasikan, Universitas Sumatera Utara.

Stoecker W.F. dan Jones J.W. (1992). Refrigerasi dan Pengkondisian Udara. Terj. Supratman Hara. Jakarta: Erlangga

Sukatiman dan Dewanto Harjunowibowo. (2014). Pengaruh Porositas Buatan pada Adsorber terhadap Kualitas Transfer Massa. Jurnal Ilmiah Pendidikan Teknik dan Kejuruan (JIPTEK), 7 (2), 46-54

Sumathy, K., L. Zhongfu. 1998. Experiments with Solar-Powered Adsorption Icemaker. Renewable Energy, 16 (1–4), 704–707.

Suwono, A., Hermanto A., Abdurrochim, Pasek A.D. (2005). Pengembangan Metode Simulasi Sistem Pengkondisian Udara Energi Surya. Jurnal Teknik Mesin, 20 (2), 58-67

Tipler, Paul A. (1998). Fisika untuk Sains dan Teknik. Jakarta: Erlangga

Wang DC, Xia ZZ,Wu JY. (2006). Design and performance prediction of a novel zeolite–water adsorption air conditioner. Energy Convers Manage, 47(5):590–610.

Wang R.Z. (2001). Adsorption refrigeration in Shanghai Jiao Tong University. Renewable and Sustainable Energi Reviews ; 5(1):1–37.

Wang R.Z., dan Oliveira RG. (2006). Adsorption refrigeration—an efficient way to make good use of waste heat and solar energy. Prog Energy Combust ; 32(4):424–458.