arsitektur sunda

Upload: gigih-herry-purwoko

Post on 02-Jun-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    1/16

    Arsitektur adalah wujud kebudayaan terbesar, karena di dalamnya

    terkandung sekaligus wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material yang terpadu

    dalam bentukkan yang berdimensi. Arsitektur terjelma dalam batasan-batasan

    ruang dan waktu, di dalamnya terkandung pandangan hidup, sikap religius, dan

    tatanan sosial masyarakatnya. Selain itu juga, dibangun melalui ilmu dan teknologi

    yang ada serta menggunakan bahan-bahan yang disediakan alam sekitarnya. Dalamfungsinya, arsitektur langsung bersinggungan dengan kegiatan manusia dan

    masayrakatnya, baik jasmaniah maupun rohaniah secara sadar ataupun tidak sadar.

    Hubungan-hubungan ini terjadi tidak hanya dalam kurun hidup seorang manusia,

    namun justru sepanjang hidup masyarakat dan kebudayaannya sendiri.

    Sebagai unsur kebudayaan, arsitektur selalu merupakan sekelompok pola

    dan bentukkan baku yang merupakan pantulan sikap budayanya. Seperti telah

    disebutkan di atas, pola dan bentukkan ini sama sekali tidak statis namun selalu

    berubah, menyesuaikan diri dengan perjalanan sejarah dan pengalaman budaya;

    baik individu maupun kelompoknya. Keterikatan pada pola jauh lebih erat daripadaketerikatan pada bentukkan, bahan, dan teknologi. Wujud ideal yang tertanam

    pada dunia bawah sadar ini membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk berubah

    dan justru sisi ini yang sering dilupakan

    Untuk mengetahui perkembangan arsitektur yang sebenarnya perlu kita

    mengkaji perjalanan sejarah bangsa kita sendiri dan perjalanan sejarah manusia

    itu sendiri secara makro. Dari perjalanan ini pula kita akan mengetahui fungsi

    arsitektur secara hakiki. Di samping itu, pengaruh alam sekitar memberikan corak

    dan ragam bagi perkembangan arsitektur daerahnya.

    Apabila kita menelaah lebih jauh mengenai suatu bentuk bangunan, maka

    sebaiknya didahului dengan beberapa catatan tentang berbagai ciri gaya bangunan

    yang berlaku pada waktu tertentu . Gaya bangunan itu ialah suatu cara

    membangun dengan menggunakan bahan yang dipilih dari kekayaan bahan yang

    sudah tersedia, atau hanya sedikit memerlukan pengerjaan. Karenanya bahan itu

    untuk sebagian besar berupa bahan-bahan yang disediakan alam sendiri dan dalam

    keadaan siap pakai. Bahan ini adalah yang paling dahulu memberikan perlindungan

    yang mereka butuhkan. Dengan berlalunya waktu, maka manusia (masyarakat) itu

    menemukan bentuk-bentuk bangunan yang menurut pengalamannya (empirik)

    merupakan perwujudan idealnya yang paling baik.

    Rumah pada mulanya hanya dibangun sebagai pelindung terhadap elemen

    cuaca yang mengganggu (terik, hujan, angin, dan lain-lain) dan binatang buas.

    Pada tahap ini, elemen rumah yang dibutuhkan hanya berupa atap dan dinding

    yang bersifat darurat dari bahan-bahan yang langsung bisa didapat dari alam secara

    mudah. (daun besar, gua, dahan yang tergantung rendah, dan lain-lain) Setelah

    manusia mengenal aktivitas yang bersifat menetap (bercocok tanam, berternak,

    dan berburu) maka bentuk rumah pun ikut berkembang. Kondisi alam secara

    langsung akan mempengaruhi perilaku manusia yang tinggal, dan secara fisik

    terhadap bentuk arsitekturnya yang terbentuk di daerah itu. Pada keadaan

    tertentu, arsitektur juga dapat mempengaruhi perilaku manusia yang tinggal dansebaliknya.

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    2/16

    Perkembangan arsitektur rumah yang ada di seantero Nusantara, berawal

    dari suatu perkembangan nafas yang sama dan induk yang sama pula. Rumah

    menjadi tempat tinggal, tentunya sebagai tempat di mana ia membutuhkan

    beberapa persyaratan yang bersifat tetap. Oleh karena itu, manusia mulai

    mengolah bahan-bahan yang ada di sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan

    rumahnya. Pada saat mengolah bahan inilah manusia memindahkan nilai-nilai yangdimilikinya -- secara sadar ataupun tidak -- pada tempat tinggalnya .Nilai-nilai tadi

    tercermin dalam penampilan bangunannya (bentuk, dimensi, bahan, warna,

    konstruksi, dan lain-lain).

    Begitu pula bentuk arsitektur Sunda, yang kemudian muncul sebuah bentuk

    arsitektur rumah Baduy yang merupakan cikal bakal atau kiblatnya arsitektur di

    Nusantara bahkan mencapai ke Madagaskar dan Kepulauan Amerika bagian Timur.

    Kenyataan ini, mungkin oleh sebagian pihak -- ahli -- dapat dikatakan sebagai hal

    yang sangat mustahil, tapi seorang ahli yang mencoba menelusuri karya seni

    arsitektur ini berpendapat lain.

    Hampir sebagian ahli mengatakan bahwa segala hal yang dianggap tampil

    beda dan dianggap lebih, baik dalam bidang pengetahuan maupun teknologi

    yang kemudian berkembang di Indonesia itu adalah pengaruh dan berasal dari luar.

    Indonesia sebagai bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengekspresikan

    potensinya sendiri, sehingga eksistensi dirinya mampu berbicara di tingkat dunia.

    Hal itu dibuktikan dengan pengatahuan dan nilai-nilai inovatif yang dimilikinya,

    sehingga pengetahuan dan nilai-nilai inovatif suatu bangsa dapat menunjukkan

    tingkat peradaban bangsa itu sendiri dibandingkan dengan bangsa-bangsa

    lainnya.Kenyataan tersebut, diangkat ke permukaan untuk membuka mata orang-

    orang Indonesia sendiri. Dan seorang ahli dari Jerman, dapat menjungkirbalikkan

    dikotomi mengenai pendapat ahli Indonesia yang menyatakan pengetahuan dan

    teknologi itu selalu datang dari luar. Ia yang mencoba untuk menggali bentuk

    rumah yang tersebar di daerah antara Amerika Timur hingga Pantai Afrika bagian

    Barat (Sundara) berpusat dari daerah Banten Baduy. Penyebaran karya seni

    Arsitektur Rumah Tradisional Banten Baduy yang ada diNusantara, menyebar ke

    daerah Dwipantara(Asia Tenggara), lambat laun terus menyebar keSundara(dariMadagaskar hingga Pantai Amerika bagian Barat). Sistem penyebaran itu dimulai ke

    arah barat yaitu ke Madagaskar kemudian dilanjutkan ke Pantai Amerika Timur

    (Maclaine Pont, 1920). Dapat disimpulkan bahwa bentuk atap rumah tradisional itu

    bermula dari daerah Banten (bentuk rumah tradisional orang Baduy). Mengapademikian ? Bentuk rumah tradisional daerah tropis dan daerah kepulauan mulai

    dari Madagaskar (di Pantai Afrika Bagian Barat - hingga ke Polinesia Pantai Amerika

    Timur) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

    1.Suhunan Panjang atap panjang

    2.Atap curam sengaja dibuat untuk penyesuaian dengan lebatnya curah hujan.

    3.Rumah Panggung

    4.Pengangkatan rumah di atas tiang kayu, sehingga diperlukan tangga untuk

    menaiki rumah tersebut golodog.

    5.Jarak tinggi rumah sangat beragam antara satu meter hingga tiga meter.

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    3/16

    6.Mempergunakan faktor lingkungan setempat, sehingga timbul bentuk-bentuk

    panggung yang jangkung dan pendek. (Anthony Rein, 1992 :72)7.Tiang rumah tidak ditanam dalam tanah, melainkan menumpang di atasnya,

    untuk memudahkan pemindahan rumah seutuhnya jika diperlukan. Istilah Sunda

    tatapakan(La Loubre1691 : 29).

    8.Jarak tinggi rumah sangat beragam, meskipun tinggi lantainya paling umumadalah antara satu hingga tiga meter (biasanya lebih tinggi di daerah-daerah

    kepulauan daripada di Siam dan Indoncina). Akan tetapi raja dan kaum

    bangsawan berusaha lebih tinggi daripada rakyatnya, sehingga istana raja yang

    hebat dikabarkan setinggi enam meter di Mindanao dan dua belas meter di

    Sumatera bagian utara (Dampier, 1697 :225; Ma Huan 1433 : 123; La Laoubere,

    1691 : 165; Symes, 1827 I : 218; Davis, 1600 : 147; Carletti, 1606 : 86).

    9.Ciri umumnya lagi adalah tungku perapian yang dipasang melesak ke dalam

    lantai, biasanya di belakang ruang dapur.

    Pembuktian bahwa di Jawa Barat (Sunda) dalam mempergunakan tiang-tiangrumah bekas kerajaan itu tinggi-tinggi, dalam sebuah naskah kuna yang

    berjudulNagara Tengahyang diperkirakan berada di daerah Cipatujah Ciamisbagian selatan. Dalam naskah kuna tersebut dikatakan bahwa :

    /.../ dijenengan Anggaraksa, karesepna moro bae, gawena ngan leuleuweungan,

    moro mencek reujeung uncal, anu ngudag beuki jauh, sasab ka Nagaratengah

    /.../ Isuk-isuk tas ti cai, nenjo kai nu ngajajar, aki kula asa kaget,pagergalede ngajajar, urut naon baheulana, aki ngajawabna bingung, sabab teumeunang rasiah /.../ Eyang Anggawana sakti, nerangkeun asal mulana, sajarahnagara gede, Ratu Agung anu gagah, kabeh taya nu kaliwat, kai ngajajar

    jarangkung, eta urut kandang jaga. /.../Terjemahan :

    /.../ dinamai Anggaraksa, hobynya berburu kijang di hutan, lama kelamaan

    sampai di Nagara Tengah /.../ pagi-pagi dia melihat tiang kayu berjajar, Kakek

    saya heran tiang yang berjajar itu bekas apa, Kakeknya bingung, namun

    diterangkan sejarah awalnya, yaitu bekas kerajaan Ratu Agung yang

    gagah, tiang-tiang yang berjajar itu bekas kandang jaga /.../

    Bukti bahwa rumah-rumah itu mempergunakan tiang-tiang sebagaipenyangga (panggung), berbeda dengan rumah-rumah yang ada di Jawa Tengah

    dan Bali. Dikatakan bahwa rumah-rumah di daerah sekitar ituadalah ngupuk(langsung ke tanah) adalah : Pada abad ke enam belas dan ketujuhbelas hanya penduduk di Vietnam sebelah utara, Jawa dan Bali yang membangun

    rumah mereka langsung ke tanah, meskipun di jaman-jaman sebelumnya mereka

    pun mempergunakan rumah bertiang(Nguyen, 1934 : 186; Pigeaud 1962 : 509)

    Nguyen, mengatakan bahwa orang Asia Tenggara sangat sedikitmenggunakan waktu dan kekayaannya untuk rumah mereka. Jelas bahwa lunaknya

    cuaca dan tersedianya pohon-pohon yang cepat besar, pohon kelapa, dan bambu

    sebagai bahan bangunan menjadi penyebab utama dari rendahnya prioritas

    tersebut. Selanjutnya karena biaya membangun rumah begitu murah, rumahdipandang sebagai sesuatu yang tidakpermanen dan bukan sarana yang patut untuk

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    4/16

    menanam uang. Meskipun bahan bangunan rumah mudah diperoleh dan digunakan,

    juga mudah hancur, atap ilalang dan lantai bambu baru diganti setelah sepuluh

    tahun. (1934 : 188)

    Mengenai penyebaran rumah Banten ke Amerika Timur hingga Pantai Afrika

    bagian Barat (Sundara) itu,dapat dibuktikan dengan beberapa hipotesis, diantaranya:

    1.Sistem Knock Down dalam pembangunan dan pendirian rumah

    2.Pembuatan modul-modul bagian-bagian rumah

    3.Sistem Sleeding Door pintu geser

    4.Sistem pintu jungkit

    Pembuktian lainnya lagi, di antaranya ada beberapakejadian yang disaksikan

    langsung oleh para ahli arsitek, yaitu Lodewycksz (1598 :108), menyaksikan

    keseluruhan daerah Bantenyang terbakar dibangun kembali dalam waktu tiga atauempat jam. Penyebaran sistem knock down dan modul rumah ini pun tidak

    berhenti di sini, karena atrsitek lain menyaksikan tiga rumah orang Siam yang

    dipindahkan kurang dari satu jam guna melapangkan pandangan dari istana raja,

    sedangkan dua puluh rumah dipindahkan oleh penghuninya ketika suatu tempat di

    Makasar diperlukan untuk membangun pabrik Inggris di tahun 1613 (Jourdain 1617:193). Membangun kembali sebuah rumah sederhana tidaklah jauh lebih berat

    daripada memindahkannya. Crawfurd (1820. I : 162), menaksir bahwa sebuahrumah biasa tidak memerlukan lebih dari enam puluh hari kerja pria; lima puluh

    buruh Birma membangun rumah berkamar empat yang nyaman untuk Symes(1827.I : 283) dalam waktu empat jam. Orang Eropa tercengang karena cepatnya kota-

    kota besar dibangun kembali setelah hancur di Ayutthaya yang dibangun kembali

    dalam dua hari. Kecepatan membangun rumah-rumah yang ada itu dikarenakan

    bahwa hampir seluruh rakyat adalah ahli membangun rumah. Dinyatakan bahwa

    meskipun terdapat ahli bangunan rumah dan tukang kayu, keahlian dasar untuk

    membangun rumah dimiliki oleh rakyat secara luas -- hampir tiap orang adalah

    tukang kayu -- (Dampier, 1697 : 227).

    Pembangunan rumah dengan mempergunakan sistemknock downyang

    dikembangkan oleh masyarakatnya, sangat memberikan kemudahan dalam

    mendirikan sebuah rumah, mereka hanya tinggal membentuk bagian-bagian rumah,

    sehingga rumah-rumah itu pun dapat dibangun dengan cepat sesuai konsep yangberprinsif minimalis selaras dengan alam lingkungan sekitarnya.

    Arsitektur Tradisional Sunda (Bentuk Bangunan)

    Menurut sejarawan Drs. Saleh Danasasmita (almarhum) bentuk bangunan

    tradisional Sunda memang amat sederhana. Penduduk tatar Sunda jaman dulu

    tergolong masyarakat ladang. Sifat paling menonjol dalam masyarakat ladang

    adalah kebiasaan pindah tempat mengikuti letak peladangannya. Pengaruh

    langsung dari keadaan ini tentu saja dalam hal bangunan yang harus sederhana dan

    tidak permanen. Hal yang dianggap tabu oleh masyarakat adalah penggunaan

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    5/16

    genteng untuk atap rumah dan pemanfaatan paku. Semua dianggap benda-benda

    asing yang tidak cocok dan ditolak pemanfaatannya (Saleh Danasasmita, 1975)

    Koentjaraningrat(1981 : 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dankarya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, berserta keseluruhan dari

    hasil budi dan karyanya itu. Tentunya dalam hal ini juga termasuk nilai-nilai yangtercermin dalam rumah manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan juga bahwa

    rumah mencerminkan bangsa, budaya suatu bangsa, di samping tentunya elemen-

    elemen lainnya, seperti bahasa, pengetahuan, seni, dan lain-lain. Setelah manusia

    mengenal kehidupan bermasyarakat, ia mulai mengidentifikasikan dirinya dengan

    masyarakat tempat ia berada, dan ia pun mulai mengenali dan membentukcirimasyarakatnya yang tertentu dan khas. Ciri ini juga akan tercermin padatempat tinggalnya.

    Apabila kita teliti lebih lanjut, bentuk bangunan masyarakat Sunda lebih

    banyak mengacu pada kesadaran lingkungan. Artinya bentuk atap bangunan selaludisesuaikan dengan kondisi alamiah lingkungan. Untuk daerah pegunungan yang

    banyak hujan dan tiupan angin keras, orang akan memilih bentuk atap yang kokoh,

    tertutup, hingga tidak mudah lepas diterpa angin.

    Pendek kata, bangunan rumah tinggal bagi penduduk Tatar Sunda dianggap

    memadai asal bisa memberi keteduhan dari curah hujan dan matahari, dan

    melindungi dari bahaya binatang buas. Untuk itu bangunan rumah berbentuk rumah

    panggung bertengger di atas pilar kayu dengan dinding sederhana guna melindungi

    dari terpaan angin. Untuk menjaga kehangatan di dalam rumah, cukup dengan

    menyalakan api (Sunda: hawu).

    Kesederhanaan bentuk dan gaya arsitektur tradisional Sunda, banyak

    mengacu pada "bentuk atap dan pintu" yang berbeda pada masing-masing

    bangunan. Bentuk-bentuk bangunan tradisional Sunda yaitu : Suhunan Jolopong

    (suhunan panjang), Jogo Anjing, Badak Heuay, Parahu Kumereb (Limasan), Julang

    Ngapak, Buka Palayu, Buka Pongpok.

    Dalam Arsitektur Hijau, dikatakan bahwa In Sundanese traditional

    architecture there is no certain rules or norm concerning roof ordering system.

    However we cuold still indentify the unique tendence of its roof. They use simple

    roof like pelana gable or perisai hip roof and when they need to have moreroof they just extending the roof with a single roof lean-on. The single roof

    always has alower angle and the combination of pelana / perisai with ist lean-on

    roof is called Julang Ngapak. This rather information solution is still found in

    traditional Sundanese house in urban area. (1987 :236).

    a. Suhunan Jolopong (Suhunan Lurus)

    Bentukjolopongadalah bentuk rumah (bangunan) yang memiliki

    suhunan yang sama panjangnya di kedua bidang atap yang sejajar dengan itu.

    Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap. Kedua bidang ini dipisahkan oleh jalur

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    6/16

    suhunan di tengah bangunan rumah, bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan

    sisi bersama dari kedua bidang atap yang sebelah menyebelah.

    Bentuk atap jolopong merupakan bentuk atap yang sederhana dan dari

    bentuk ini berkembang bentuk-bentuk atap yang lain. Bentuk atap jolopong banyak

    digunakan pada atap saung (dangau) di sawah di Tatar Sunda. Saung umumnyadibangun di sawah dan dipergunakan sebagai tempat petani menunggu tanamannya

    dan beristirahat sejenak melepas lelah, sambil menghirup udara segar.

    b. Jogo Anjing (sikap anjing sedang duduk)

    Bentuk atapjogo anjingatau tagog anjingadalah bentuk atap yang

    memilikii dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap

    yang pertama lebih lebar dibanding dengan bidang atap lainnya, serta merupakan

    penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang

    sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan itu merupakanpuncaknya. Pasangan sisi (tepi) lainnya lebih pendek bila dibandingkan dengan

    panjang suhunan. Pada umumnya sisi bawah tidak disangga oleh tiang. Bidang atap

    yang sempit ini hanya sekedar tudung agar cahaya matahari atau air hujan tidak

    langsung menyemburi ruangan dalam bagian depan.

    Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing lebih panjang

    dibandingkan dengan tiang-tiang belakang, batang suhunan terletak di atas puncak

    tiang depan. Ruangan sebenarnya berada di bawah atap belakang. Atap depan

    hanya berfungsi sebagai emper saja.

    c. Badak Heuay

    Bangunan dengan atap bentuk badak heuaysangat mirip dengan bentuk atap

    tagog anjing. Perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini

    langsung lurus ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang

    melewati suhunan ini dinamakan rambu.

    d. Parahu Kumereb

    Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap

    sama luasnya, berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelahmenyebelah dan dibatasi oleh garis suhunan yang merupakan sisi bersama. Jadi

    kedua bidang atap ini menurun masing-masiing dari garis suhunan itu. Batang

    suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi alasnya. Sepasang

    bidang atap lainnya berbentuk segitiga sama kaki dengan kedua titik ujung suhunan

    merupakan titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan

    kedua bidang atap trapesium.

    Di daerah lain di Jawa Barat (Kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang),

    bentukatap parahu kumereb disebut bentuk atap jubleg nangkub.

    e. Julang Ngapak

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    7/16

    Agak sulit menjelaskan dengan saksama bentuk atap julang ngapak. Padahal

    istilah itu sudah dikenal oleh masyarakat Sunda sejak beberapa waktu lampau. Ir.Maclaine Pont, misalnya mengemukakan tentang bentuk atap pada "SundaBesar" yang bercirikan bentuk suhunan yang mencuat di kedua ujungnya dan

    adanya tameng-tameng yang menggantung di depannya (Maclaine Pont,1933 :

    166). Bentuk atap demikian dulu banyak dijumpai di daerah Garut, Kuningan, dantempat lain di Jawa Barat.

    Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap yang melebar di kedua

    bidang sisi bidang atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya bentuk atap

    demikian menyerupai sayap burung julang (nama sejenis burung) yang sedang

    merentang.

    Bila diperhatikan dengan saksama, bentuk atap julang ngapak, memiliki

    empat buah bidang atap. Dua bidang pertama merupakan bidang-bidang yang

    menurun dari arah garis suhunan, dua bidang lainnya merupakan kelanjutan (ataptambahan) dari bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul pada garis

    pertemuan antara kedua bidang atap itu. Bidang atap tambahan dari masing-

    masing sisi bidang atap itu nampak lebih landai dari bidang-bidang atap utama.

    Kedua bidang atap yang landai ini disebut leang-leang.

    f. Buka Palayu

    Nama bangunan buka palayu untuk menunjukkan letak pintu muka dari

    rumah tersebut menghadap ke arah salah satu sisi dari bidang atapnya. Dengan

    demikian, jika dilihat dari arah muka rumah, tampak dengan jelas ke seluruh garis

    suhunan yang melintang dari kiri ke kanan. Nama bangunan tersebut dipergunakan

    oleh penduduk di daerah Kabupaten Sumedang (Kecamatan Tomo) untuk bangunan-

    bangunan lama yang kini masih banyak ditemukan, terutama di sepanjang jalan

    raya yang menghubungkan kota-kota Cirebon - Bandung di daerah kecamatan

    tersebut.

    Pada umumnya, rumah-rumah dengan gaya buka palayu didirikan atas dasar

    keinginan pemiliknya, untuk menghadapkan keseluruhan bentuk bangunan dan

    atapnya ke arah jalan yang ada di depan rumahnya. Potongan buka palayu pada

    umumnya mempergunakan bentuk atap suhunan panjang atau suhunan pondok

    yang juga disebut rumah jure. Disebut demikian karena mempergunakan jure-jureyaitu batang kayu yang menghubungkan salah satu atau kedua ujung garis suhunan

    dengan sudut-sudut rumah.

    g. Buka Pongpok (menghadap ke bagian pendeknya)

    Sama halnya dengan buka palayu, rumah dengan gaya buka pongpok

    didirikan atas dasar keinginan pemiliknya untuk menghadapkan pintu muka ke arah

    jalan. Rumah buka pongpok adalah rumah yang memiliki pintu masuk pada arah

    yang sejajar dengan salah satu ujung dari batang suhunan. Jika dilihat dari arah

    muka rumah, keseluruhan batang suhunan tersebut tidak nampak sama sekali. Yangnampak terlihat ialah bidang atap segi tiga dari rumah tersebut.

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    8/16

    Dalam perkembangan selanjutnya potongan buka palayu dan buka pongpok

    dipadukan menjadi potongan campuran yang disebut sirit teuweul. Potongan yang

    lebih baru ini, menunjukkan bahwa batang suhunan memiliki dua arah yang

    berbeda dan masing-masing membentuk sudut tegak lurus, dengan pintu muka

    mengarah sejajar dengan salah satu batang suhunan.

    Jika dilihat dari bentuk bangunan yang ada di daerah sekitar Kampung Naga,

    maka dapat disimpulkan bahwa rumah-rumah penduduk yang ada di daerah ini

    mempergunakan dua bentuk suhunan, yaitu suhunan pelana gable roof dan

    suhunan perisai hip roof.Hal itu disebabkan karena dapat dengan mudahnya

    penduduk di sekitar itu untuk pengembangan selanjutnya.

    Dari beberapa sampel yang ada di daerah Kampung Naga, ada dua macam

    rumah yaitu : pertama, berupa rumah asli dan kedua berupa rumah yang telah

    terjadi penambahan ruang untuk fungsi-fungsi baru dan adanya perubahan tata

    letak ruang. Perubahan-perubahan ini terjadi karena timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru, seperti misalnya penambahan ruang dapur, ruang tidur, dan ruang

    untuk beristirahat keluarga.

    Beberapa pengertian mengenai berbagai suhunan yang ada dan

    dipergunakan oleh masyarakat Sunda secara umum.

    Susunan Ruangan Rumah

    Susunan ruangan-ruangan rumah tempat tinggal pada masyarakat Sunda

    umumnya pada rumah tinggal dengan atap suhunan jolopong atau panjang, pada

    umumnya terdiri atas:

    Ruangan depan, disebut emper atau tepas

    Ruangan tengah, disebut tengah imah atau patengahan

    Ruangan samping, disebut pangkeng atau kamar.

    Ruangan belakang, terdiri atas: (a). dapur, disebutpawon, (b). tempat

    menyimpan beras, disebut padaringan.

    Rumah tinggal masayrakat Kampung Naga, pada umumnya mempunyai ruangan-

    ruangan terdiri atas:

    Ruangan depan dalam rumah disebut tepas

    Ruangan tengah disebut patengahan (tengah imah)

    Ruangan-ruangan samping disebut pangkeng

    Ruangan belakang disebut pawon (dapur)

    Sistem pembagian ruangan pada rumah tempat tinggal berhubungan dengan

    pandangan masyarakat tentang kedudukan dan fungsi masing-masing anggota

    keluarga penghuni suatu rumah. Pembagian itu didasarkan pada tiga daerah yang

    terpisah dibedakan penggunaannya, yaitu: daerah wanita, daerah laki-laki, dan

    daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki).

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    9/16

    Pembagian fungsi ruangan ini memang tidak begitu kentara, namun ketika ruangan

    itu dibuka untuk difungsikan, maka ada pembagian khusus. Dalam penggunaannya

    orang tidak dapat sembarangan untuk menempatinya. Demikian pula ketika

    seorang laki-laki memasuki daerah goah lumbung akan sangat berkaitan dengan

    kepercayaan yang sakral.

    Fungsi Tata Ruang Bangunan

    Rumah bagi orang Sunda identik dengan dunia yang lebih besar. Rumah

    dalam bahasa Sunda adalah imah atau bumi, dalam bahasa Indonesia sepadan

    dengan bumi atau dalam pengertian yang sesungguhnya yaitu dunia. Namun

    demikian, rumah bagi orang Sundasebagai keseluruhan dapat dipandang sebagai

    memiliki sifat kewanitaan. Hal ini dapat diamati dengan adanya ucapan kumaha nu

    di imah'bagaimana istri saja' yang sering diungkapkan oleh seorang suami.

    Ungkapan tersebut tercermin bagaimana peranan seorang wanita atau istri yang

    sangat menentukan di rumah, istri sebagai tuan di rumah. Dari pembagian di atas,tidak melepaskan pengertian secara makro antara prinsip kelaki-lakian dan

    kewanitaan tetap dominan.

    Pengaturan tata ruang tradisional Sunda, tidak terlepas dari sistem

    pengetahuan yang tercermin dari kosmologinya, dapat dilihat dari setiap

    pembangunan rumah biasanya didahului dengan perhitungan-perhitungan yang

    didasarkan pada hari / tanggal kelahiran istri ditambah suami yang memiliki rumah

    tersebut. Pada waktu ditetapkan, maka dilakukan hajatan untuk meminta restu

    karuhun dan agar terhindar dari pengaruh kekuatan-kekuatan yang dianggap buruk.

    Dengan demikian, pengetahuan tentang tata ruang dalam pandangan manusia

    Sunda tampak dengan jelas memadukan konsep dunia gaib dengan dunia manusia

    yang menjelma kontras, tetapi saling mengisi antara dunia laki-laki dan

    dunia wanita.

    Rumah tradisional Sunda selalu terintegrasi secara harmonis dengan

    bangunan-bangunan lainnya dengan alam lingkungan sekitarnya, membentuk pola

    pemukiman tertentu. Pola pemukiman mereka membentuk deretan rumah yang

    berhimpitan dua baris dan saling berhadapan, terpisah oleh satu pelataran yang

    berfungsi sebagai jalan. (Anwas Adiwilaga, 1975 : 55). Pelataran atau halaman(buruan) biasanya terbagi dua; halaman depan dan belakang. Halaman depan

    dibiarkan terbuka untuk tempat anak-anak bermain dan tempat orang tuaberbincang, akan tetapi bagi wanita biasanya mengobrol di bagian belakang

    (dapur), dengan demikian halaman depan identik dengan daerah laki-laki. Halaman

    belakang biasanya merupakan tempat aktivitas wanita. Di sini terdapat sumur,

    kolam, dan biasa pula terdapat berbagai jenis tanaman yang berkhasiat sebagai

    obat dan tanaman bumbu dapur. Di daerah Priangan, peranan sumur dan kolam

    sangat penting, karena keduanya berhubungan dengan air yang memiliki kaitan

    erat dengan kepercayaan akan kesuburan atau dunia bawah (Hiding, 1912, Weesing, 1978 :55)

    Bentuk bangunan rumah Sunda biasanya berbentuk panggung, berdasarkanpandangan kosmisnya, kedudukan secara makro dalam jagat raya ini terletak

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    10/16

    diantara dunia bawah dan dunia atas, maka dengan demikian rumah berada di

    daerah netral yang merupakan penghubung di antara dua dunia tadi. Manifestasi

    rumah panggung tadi, mengingatkan kita pada saung ranggon yang tingginya

    mencapai 4 meter, menunjukkan bahwa manusia Sunda adalah peladang (ladang =

    huma) di mana arti imahidentik dengan huma.

    Tidak ada ketentuan khusus tentang letak dan arah menghadap rumah,

    hanya di kalangan masyarakat tertentu, rumah menghadap ke suatu arah yang

    dianggap lebih tinggi derajatnya, di Kampung Naga, menghadap arah utara-

    selatan, karena menghadapkepada tukuh kampung atau pancer kampung. Di Baduy

    rumah membujur utara-selatan, sedangkan pintu rumah menghadap barat-timur,

    hal ini disebabkan letak sasakadomas yang ada di daerah sebelah selatan (SalehDanasasmita, 1986 :54). Letak rumah di Kampung Pulo (Garut) menghadap utara-selatan, sedangkan atapnya membujur arah timur-barat, hal ini dimungkinkan

    karena adanya makam "Embah Arief Muhammad" yang dianggap sebagai pancer. Di

    daerah Indramayu, rumah harus menghadap ke gunung, identik dengan konsepkaja-kelod di kalangan orang Bali yang beragama Hindu-Bali. Gunung bagi orang

    Indramayu adalah pusat.

    Di Kampung Naga, rumah tidak harus menghadap pada satu orientasi, hal itu

    disebabkan karena tidak adanya tokoh yang dikultuskan, walaupun tokoh-tokoh

    pendiri Kampung tersebut disemayamkan di daerah itu. Orientasi rumah didasarkan

    pada pola kebutuhan dan penyesuaian jalan dalam sirkulasi aktivitas manusia.

    Namun dalam pola kampung di Kampung Naga ini mengacu pada pola kampung

    konsentrik, yakni kampung berpusat pada satu titik orientasi, yaitu jalan desa.

    Konsep dasar pembagian ruang pada rumah tradisional Sunda, berlaku

    klasifikasi dua, yaitu ruang tepas 'depan' dan ruang belakang; terdiri atas ruang

    padaringan 'tempat menyimpan beras' dan dapur. Di antara kedua ruang tersebut

    ada ruang pemisah atau ruang antara, yaitu ruang tengah yang berfungsi sebagai

    ruang penghubung. Tepas adalah ruang laki-laki,berfungsi sebagai tempat

    menerima tamu, walaupun wanita boleh masuk ke ruangan ini. Ruang tengah

    'tengah imah' merupakan daerah netral digunakan untuk berkumpul seluruh

    anggota keluarga, mereka berbaur di tempat ini, dan berfungsi pula sebagai

    penghubung antara ruang tepas 'depan' dengan ruang belakang 'dapur'.

    Ruangpangkeng'tidur', merupakan kategori daerah wanita dan sangat dominan

    menggambarkan ciri kewanitaan. Siapa pun dilarang masuk ke dalam ruangan ini,kecuali suami istri. Ruang tidur ini biasanya terletak di sebelah kanan agak

    menyudut dari arah kamar. Secara struktural letaknya agak menjauh dari ruang

    padaringan dan ruang tamu yang biasanya terletak di daerah tepas yang agak

    menjorok ke arah sudut kiri.

    Ruang belakang terdiri atas dua ruang utama, yaitu padaringan dan dapur,

    letaknya yang lebih umum di arah timur-barat. Dunia wanita dalam klasifikasiruang

    tercermin di daerah ini, di mana beras tersimpan dan sesajen tersedia untuk para

    lelembut Nyi Sri yang memiliki sifat kewanitaan', laki-laki sama sekali dilarang

    masuk ke area ini, pamali 'tabu', karena baik sesajen dan penempatan beras didalam ruangan ini ditata dan dibuat oleh wanita. Begitu pula dengan ruang dapur

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    11/16

    adalah ruang segala aktivitas. Penataan atas dasar ini, membuat rumah menjadi

    suatu cosmos kecil, di mana tempat atau rumah terendah di bawah lantai,

    terutama diperuntukkan bagi binatang dan sampah (meskipun adakalanya

    digunakan juga untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya).

    Tengah rumah untuk tempat berdiam dan ini juga dibedakan antara tempat untuk

    umum atau untuk bekerja dengan tempat yang lebih tinggi (lihat rumah Baduy)untuk acara-acara atau untuk tidur. Tempat yang paling tinggi ialah goah sebagai

    tempat suci untuk menyimpan beras dan untuk memberikan sesajian kepada

    leluhur (Errington, 1979 : 13, Nguyen, 1934 :471)

    Perlu dijelaskan di sini, meskipun telah diungkapkan bahwa rumah itu

    mengandung daerah laki-laki dan daerah wanita secara jelas, namun dalam cara

    memandang rumah itu dengan unit-unitnya yang lain bergantung pula pada

    konteksnya. Jadi dalam beberapa hal dapat pula dipandang rumah itu memiliki

    sifat laki-laki dan wanita, tetapi dalam konteks yang lain dapat bersifat salah satu.

    Seperti telah dipaparkan di depan bahwa rumah secara makro merupakan

    lambang kewanitaan, terlihat dalam tata cara mewariskan rumah, di mana rumah

    tersebut jatuhnya kepada anak wanita dan atau kepada menantu wanita. Begitu

    pula dalam tata cara membangun rumah dan pindah memasuki rumah baru,

    biasanya perhitungan hari baik / buruk didasarkan pada hari kelahiran istrinya yang

    akan membangun rumah, sehingga pembangunan rumahnya dimulai dengan

    membangun padaringan.

    Konsep pembagian dua terhadap ruang-ruang rumah dan halaman menjadi

    daerah laki-laki dan daerah wanita yang dibatasi oleh ruang / daerah netral itu,

    harus dilihat sebagai kategorisasi yang bersifat ritual dan fungsional. Misalnya laki-

    laki secara adat tidak boleh masuk ke dalam padaringan, karena ruang tersebut

    hanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Daerah padaringan identik dengan Dewi

    Sri, 'dewi padi' yang memiliki sifat kewanitaan. Makhluk-makhluk halus (dedemit,

    jurig, ririwa, kelong) yang bertalian dengan dunia di luar rumah, cenderung

    bersifat laki-laki dan dengan demikian harus dihadapi oleh laki-laki pula.

    Menjaga Kelestarian Alam

    Nenek moyang "karuhun" Sunda telah memiliki kearifandalam penataan lingkungan

    (ekologi). Salah satu contoh yaitu masyarakat Kampung Naga, salah satu bentukdalam menjaga kelestarian alamnya itu dengan tabu. Kelestarian alam sekitar

    dapat dijaga dengan adanya tabu yang sangat mengikat sikap hidup

    masyarakatnya. Perjalanan sejarah Kampung Naga mulai dari awal hingga sekarang

    adalah gambaran adanya kesadaran akan lingkungan alam sekitar. Perpaduan

    antara kearifan tradisional yang diturunkan melalui karuhunnya dengan tantangan

    alam yang ada, mampu menciptakan hidup yang harmonis.

    Sikap tabu untuk melakukan dan berbuat sesuatu (khususnya dalam pembuatan

    rumah) sangat dihormati masyarakatnya, walaupun kini dalam suatu siatuasi yang

    menuntut untuk berubah sesuai dengan gelombang jaman. Rasionalisasi yang

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    12/16

    diberikan oleh pimpinan masyarakat adalah jawaban tentang kearifan dalam

    menjaga kelestarian alam sekitarnya.

    Ada dua sisi yang tak dapat ditolak oleh masyarakat Kampung Naga, yaitu pertama

    : sisi perubahan jaman yang menuntut manusia untuk berubah. Hal itu disebabkan

    adanya mobilitas antara penduduknya dengan dunia luar. Kedua adanya sisi yanglebih prinsip dalam hidupnya, yaitu sikap religius yang harus dipertahankan sebagai

    pedoman hidupnya. Kedua sisi yang saling bersebrangan ini mereka ikuti dengan

    jalan mencoba merasionalkan tabu dengan nilai-nilai baru sesuai dengan perubahan

    zaman.

    Sikap pertentangan dua sisi yang bersebrangan itu akan sangat terlihat pula pada

    kehidupan masyarakat orang Rawayan (Baduy) adalah salah satu sisa-sisa karuhun

    Sunda jaman dahulu yang dikenal kuat memegang prinsip adat. Mereka memiliki

    kearifan ekologis yang tercermin dari pegangan hidup mereka, yaitu seperti

    ungkapan berikut:

    Ngaraksa Sasaka Pusaka Buanamengandung makna, menjaga warisan suci diatas bumi. Adapun yang dimaksud dengan "warisan suci di atas bumi" adalah

    kelestarian alam yang masih terjaga. Tanah yang masih tetap subur, sumber air

    yang belum tercemar, udara yang bersih, sehat, nyaman belum terkena polusi,

    serta bumi yang masih terjaga keseimbangan ekologisnya. Sasaka Pusaka Buana

    adalah buana bumi yang masih tetap layak, sehat, nyaman untuk dihuni oleh

    manusia dan makhluk lainnya, yang kelak akan diwariskan kepada anak cucu

    kita.

    Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung,artinya: Panjangtak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung. Ini adalah esensi hidup dari

    konsep konservasi yang menyatakan menjaga dan melestarikan kelangsungan

    proses perubahan alamiah secara wajar.

    Ngasuh ratu ngajayak menak, ngabaratakeun nusa teulung puluh telu,bagawan sawidak lima, panca salawe nagara.Maksudnya, sebagai warganegara yang bertanggung jawab, paling tidak secara moril harus loyal kepada

    pemerintah dan pimpinan negara, dengan berbagai upaya dan cara. Begitu pula

    para pemimpin bangsa dan masyarakat. Dalam upaya menjaga kewajibannya dan

    menghindarkan diri dari tindak nista tercela, perlu ikut mendukung dengan

    keteladanan. Secara spiritual, dengan berdoa dan bertapa, agar negara dan

    bangsa senantiasa selamat sejahtera, aman damai abadi. Terhindar dari segalamacam bencana dan malapetaka.

    Mipit kudu amit, ngala kudu menta (memetik harus permisi, mengambil mestimeminta). Jika prinsip ini dipadukan dengan prinsip "lojor teu beunangdipotong, pondok teu beunang disambung", maka prinsip orang Rawayan untukmenjaga kelestarian alam merupakan prinsip yang lengkap, utuh, dan serasi.

    Dengan mematuhi prinsip itu orang Rawayan menerima alam menurut kondisi

    kodrati. Mereka tabu untuk mengubah wajah atau permukaan bumi. Oleh karena

    itu, dalam menentukan lokasi rumah, kampung, desa, atau lahan pemukimannya,

    mereka memiliki salah satu alternatif dari beberapa macam lahan yang bersifatbaik dan layak huni.

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    13/16

    Begitu pula dengan masyarakat Kampung Naga, mereka menyadari bahwa dengan

    mematuhi larangan atau tabu yang menjadi patokan hidupnya adalah suatu cara

    dan jalan untuk menyikapi hidup. Proses rasionalisasi tabu yang dilakukan oleh

    para pemimpin masyarakatnya adalah sikap arif yang paling baik untuk menyikapi

    dinamika penduduknya dalam menghadapi perubahan dan tantangan alam.

    Rasionalisasi ini tidak mengubah pola pikir tradisional menjadi modern, namunproses rasionalisasi ini merupakan pola pikir yang mendukung adanya perubahan

    tanpa merubah asas sikap hidupnya.

    Klasifikasi Lahan

    Masyarakat Sunda pada masa lalu sangat memperhatikan kualitas tanah

    dalam pemilihan lahan untuk lokasi bangunan rumah, tempat hunian atau

    perkampungan baru. Pemilihan lahan selalu mempertimbangkan bagaimana

    letaknya, kemiringannya, bekas apa pada masa lalunya, warna dan aroma tanah,

    serta bentuk alamiah lahan tersebut. Semua itu akan memberi pengaruh kepadapara penghuninya.

    Penjelasan tentang kualitas atau klasifikasi lahan tersebut diterangkan

    dalam naskah kuno Sanghyang Siksakandang Karesian, paling sedikit ada sembilan

    belas jenis tanah yang mempunyai pengaruh buruk dan dapat mendatangkan

    bahaya atau bencana pada penghuninya.

    Lahan yang dianggap "sampah bumi" atau mala ning lemah adalah : Tanah

    sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan

    badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, lemah

    sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kolomberan,

    jariyan, dan sema. (Sutrisno Murtiyoso, 1989). Sedang lahan yang bersifat baik,

    mendatangkan kesejahteraan kepada penghuninya, dapat dipilih dari 6 jenis lahan

    berikut: galudra ngupuk, pancuran emas, satria lalaku, kancah nangkub, gajah

    palisungan, dan bulan purnama. Untuk jelasnya pengertian tentang lahan tersebut

    berikut rinciannya :

    1.Sodong: Ceruk pada tebing, biasanya terbentuk pada aliran sungai yang berbelok

    sehingga sisi luarnya tergerus dan menjadi lubuk (Sunda: leuwi) tempat

    persembunyian ikan. Dapat diartikan sebagai ceruk atau goa dangkal yang

    umumnya pada tebing.2.Sarongge : Tempat angker yang dihuni roh jahat, tempat-tempat dipercaya

    menjadi "pangkalan" setan, jurig, dan ririwa.

    3.Cadas Gantung : Cadas bergantung, sehingga di bawahnya terbentuk naungan

    (shelter) alami.

    4.Mungkal Pategang : bungkah berkelompok tiga, mungkin sebidang lahan yang

    dikelilingi oleh bongkahan karang atau gundukan batuan di sekelilingnya.

    5.Lebak : lurah atau ngarai, yakni permukaan lantai jurang, terlindung dari

    pandangan dan sinar matahari.

    6.Rancak : batu besar bercelah atau lahan-lahan yang dikurung oleh batu-batu

    besar sehingga sulit dihampiri.

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    14/16

    7.Kebakan Badak : kubangan atau kolam yang dipergunakan untuk berkubang oleh

    badak.

    8.Catang Nunggang : batang kayu roboh dengan bangkot sebelah bawah.

    Merupakan lahan yang ditengahnya dipisahkan oleh satu selokan / ngarai, namun

    dihubungkan oleh suatu jembatan alami berupa cadas atau karang.

    9.Catang Nonggeng : batang kayu roboh dengan bangkot di atas. Yakni, sebidanglahan yang lokasinya terletak pada lereng yang curam.

    10.Garunggungan : tanah membukit kecil.

    11.Garenggengan : tanah kering permukaannya, namun di bawahnya berlumpur.

    12.Lemah Sahar : tanah panas, sangar, tempat bekas terjadinya pembunuhan, atau

    pertumpahan darah.

    13.Dangdang Wariyan : dangdang berair, kobakan. Yakni, lahan yang legok di

    tengah dan kedap air sehingga menggenang.

    14.Hunyur : sarang semut atau sarang rayap, yang berupa bukit kecil atau

    gundukan tanah, lebih kecil dari gunung (Sunda: incuna gunung. Gunung, pasir,

    hunyur).15.Lemah Laki : tanah tandus, atau tanah berbentuk dinding curam.

    16.Pitunahan Celeng : tempat berkeliaran babi.

    17.Kolomberan : kecomberan, atau genangan air yang mandeg.

    18.Jarian : tempat pembuangan sampah.

    19.Sema : kuburan.

    Sebaliknya, lahan yang bersifat baik dan sesuai untuk lokasi pemikiman penduduk,

    dapat dipilih di antara enam jenis lahan, yang perinciannya adalah:

    1.Galudra ngupuk : lahan yang mendatangkan kekayaan duniawi.

    2.Pancuran emas : lahan yang miring ke selatan dan barat. Mendirikan bangunan

    pada lokasi ini pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya.

    3.Satria lalaku : lahan yang miring ke selatan dan timur. Penghuni lokasi ini hidup

    prihatin namun tidak kekurangan harta benda, serta penuh kehormatan.

    4.Kancah nangkub : lokasi di puncak perbukitan atau gundukan tanah dan

    dikelilingi pegunungan. penduduk atau penghuni lokasi ini sehat sejahtera.

    5.Gajah palisungan : lahan datar di atas gundukan tanah miring ke arah timur dan

    barat. Pemilik lokasi pada lahan seperti ini alamat bakal mendatangkan

    kekayaan duniawiah yang tumpah ruah.

    6.Bulan purnama : desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada lahan

    yang dialiri sungai dekat mata air (di arah utara). Sedangkan arah bangunan danarah rumah lokasinya berderet di arah barat dan timur.

    Adapun tipe lahan yang buruk lokasinya dan tidak layak untuk tempat mendirikan

    rumah atau kampung adalah:

    1.Gelagah katunan : dataran rendah yang dikelilingi oleh lahan yang lebih tinggi.

    2.Cagak gunting : yakni lahan "segi tiga" yang diapit oleh dua jalur jalan atau dua

    alur sungai.

    3.Jalan ngolecer : lebih dikenal dengan "nyunduk sate / tusuk sate", yakni lahan

    atau bangunan yang hampir tertembus alur jalan atau jadi tumpuan jalur jalanraya.

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    15/16

    Beberapa jenis klasifikasi tanah / lahan, yang baik maupun yang buruk, semua

    ditentukan oleh para karuhun Sunda jaman dahulu secara empiris, berdasarkan

    pengalaman hidup secara nyata. Namun bila ditelaah secara ilmiah, klasifikasi jenis

    lahan yang baik dan yang buruk menurut kepercayaan masyarakat Sunda kuno ini,

    tidak banyak berbeda dengan teori "Site Planning" modern.

    Sebagai peraturan yang berlaku di masyarakat, maka ketentuan tentang mala ning

    lemahtadi tak boleh dilanggar, bahkan pengetahuan itu dapat dimanfaatkan bagi

    kesejahteraan masyarakat. Hal ini diungkapkan dalam pesan yang tercantum pada

    Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian sebagai berikut:

    Eta kehna kanyahokeun, dituhuna diyogyana, aya ma nu majar mo nyaho, eta nu

    mo satya di guna di maneh, mo teuing dicarek dewata arang. Tan awuring inanti

    dening kawah, lamun guna mo dipiguna, lamun twah mo dipitwah, sehingga ning

    guna kreta, kena itu tangtu hyang tangtu dewata.

    Terjemahan :

    "Itu semua patut diketahui, tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak

    perlu tahu, itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan

    ajaran leluhur kita, pasti ditunggu oleh neraka; bila keahlian tidak dimanfaatkan,

    bila kewajiban tidak dipenuhi untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan,

    karena semua itu ketentuan dari Hyang dan Dewata

    Memilih Tanah yang Baik untuk Pekarangan

    Apabila tanah sebelah barat lebih tinggi dan sebelah timur lebih rendah, itu

    menunjukkan tanah yang baik untuk dijadikan lahan pekarangan, makna-nya

    banyak berkah. Apabila sebaliknya tanah di sebelah timur lebih tinggi daripada

    sebelah barat, menandakan tanah itu jelek untuk dibuat pekarangan makna-nya

    akan banyak menimbulkan penyakit.

    Apabila tanah di sebelah selatan lebih tinggi daripada sebelah utara, maknanyaakan banyak memberikan berkah dan rezeki bagi penghuni rumah yang turun-

    temurun kepada anak cucunya. Sebaliknya apabila tanah di sebelah utara lebih

    tinggi daripada sebelah selatan, menandakan tanah yang jelek untuk penghuni

    rumah bahkan akan menimbulkan banyak musuh dan banyak setan.

    Apabila tanah yang rata, ada baiknya dan ada jeleknya. Baiknya banyak berkah,

    sedangkan jeleknya tidak mendapatkan apa-apa.

    Apabila tanah miring ke sebelah barat, warnanya putih, rasanya manis, baunya

    harum, akan memberikan mananya kepada penghuni yaitu tidak akan

    kekurangan rezeki.

    Apabila tanah warnanya merah, rasanya manis, baunya menyengat (seperti

    membaui cabai yang pedas), akan memberikan kesenangan dan sangat dihormati

    kaimpungansangat disukai oleh banyak orang.

    Apabila tanah warnanya hijau, rasanya manis-pedas dan berbau, akanmemberikan keselamatan kepada anak dan hartanya bendanya.

    Apabila tanah warnanya hitam, baunya amis hanyir, tanah ini jangan

    dipergunakan untuk lahan perumahan, sangat jelek bagi penghuni nantinya.

  • 8/10/2019 Arsitektur Sunda

    16/16

    Dalam kehidupan kesehariannya, masyarakat Sunda tak lepas dari siklus alam yang

    mengitarinya, segala sesuatu selalu berkelinditan berhubungan erat tidak

    terputus. Apabila kita lihat bahwa waktu atau perputaran bumi, bulan, dan

    matahari tak lepas dari pengamatan yang dijadikan acuan dan patokan dalam

    langkah kesehariannya. Patokan itu merupakan satu tatanan permanen yang

    apabila dilepaskan atau diabaikan akan terjadi kerusakan alam dan manusianya, ituadalah konskuensinya. Kearifan manusia Sunda dalam mengakomodir gejala alam

    ini adalah suatu pranata yang sudah menjadi konsep hidupnya dalam keseharian.

    Konsep itu andalan dan pegangan dalam segala aspek kehidupan, yang

    dipergunakan baik oleh petani, pembuat rumah, konseptor, pedagang, dan lain-

    lain. Ada semacam perhitungan-perhitungan hari baik dan hari-hari pantangan

    untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan perputaran bumi, bulan, dan

    matahari bagi seseorang. Perhitungan itu disebut sebagai palintangan.

    Perenungan akan kesadaran terhadap tradisipalintangan bangsa sendiri yang

    berkaitan dengan waktu adalah merupakan kenyataan hidup manusia Sunda, Dinegara-negara Barat negara-negara industri waktu sesuai dengan istilahjamyangdapat diukur, menurut Benjamin Franklin, waktu juga dapat disamakan dengan

    uang, bukan sebagai sesuatu yang sesuai dengan kenyataan hidup manusia.

    Karena itu, bagi mereka kesamaan waktu dan kehidupan manusia merupakan

    pengelolaan teknologis. Bagi manusia Sunda waktu dipergunakan untuk memenuhi

    kebutuhan masyarakat yang sampai sekarang merupakan pusat pemikiran dan

    tindakan. Keselarasan hidup sesama manusia, manusia dengan alam, manusia

    dengan Tuhan, manusia dengan waktu masih merupakan pegangan hidupnya. Bagi

    manusia Sunda, waktu dan ruang merupakan hukum perulangan yang berhubungan

    dengan prinsip kosmis, si petani menyelaraskan diri dengan musimnya dan dengan

    pergantian siang dan malam.

    Kepercayaan terhadap ramalan hari baik dan buruk, keberuntungan serta ramalan-

    ramalan lainnya merupakan salah satu bagian dari sistem pengetahuan yang

    dimilikinya dan sangat erat dengan sistem religi yang dianutnya. Masyarakat Sunda

    pada dasarnya masih percaya bahwa kehidupan ini selalu berada dalam pengaruh

    alam gaib, benda-benda serta bintang-bintang lainnya yang saling mempengaruhi.

    Mengenai kebenaran dari hasil palintangan ini, menyangkut sejauhmana keyakinan

    seseorang atau sekelompok orang dalam penerapannya, sehingga apa yang

    diharapkan dari niat atau pekerjaan itu tidak terlalu jauh meleset atau bahkantidak berdampak negatif. Pada umumnya masyarakat Kampung Naga pun dengan

    latar belakang agama Islam sangat intens dengan kepercayaan mengenai

    perhitungan ini. Pada dasarnya kepercayaan mengenai perhitungan-perhitungan ini

    adalah untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya

    atau dengan alam gaib. Agar hubungan yang harmonis ini terus tercipta, maka

    diadakanlah upacara-upacara ritual, sepeti dalam tata cara membangun rumah;

    mulai dari tahapan awal hinggarumah selesai dibangun, selalu diwarnai dengan

    upacara ritual.