arch i pela scape

177
ARSITEKTUR BENT ANG KE PULAUAN ARCHIPELASCAPE BUDI PRA YITNO

Upload: hanief-wicaksana

Post on 22-Jul-2015

201 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BUDI PRAYITNO

ARSITEKTUR BENTANG KEPULAUAN

ARCHIPELASCAPE

BUDI PRAYITNO

ARSITEKTUR BENTANG KEPULAUAN

ARCHIPELASCAPE

BUDI PRAYITNO

ARSITEKTUR BENTANG KEPULAUAN

ARCHIPELASCAPE

PROLOG DEKONSTRUKSI PARADIGMA FRONTIER SPACE DESIGN ARCHIPELASCAPE EPILOG

PROLOG

PROLOGBuku Rekayasa Tata Ruang Kepulauan merupakan upaya dalam melancarkan dekonstruksi wacana mengenai pembangunan nasional yang selama ini lebih berorientasi pada konsep kontinental ke paradigma baru pembangunan nasional yang berbasis pada tatanan kepulauan dan bahari. Mengapa itu penting?. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara bahari dengan 75% (5,8 juta km2) luas kawasan berupa lautan dan 25% (1,9 juta km2) berupa daratan yang terdiri dari 17.508 buah pulau dengan bentangan pantai 81.000 km. Sangatlah disayangkan bahwa dengan fakta tersebut program pembangunan nasional yang ada selama ini masih lebih berorientasi pada kawasan daratan. Pola yang sudah terulang hingga bertahun-tahun tersebut tanpa sadar telah membuat kita lupa akan potensi laut, pesisir dan sebagian besar pulau-pulau kecil yang ada di wilayah kepulauan Indonesia. Teknologi perairan kita sudah sangat tertinggal jauh bahkan dari negara yang tidak berbasiskan perairan. kapal-kapal kita sudah tua dan armada laut kita yang berfungsi sebagai pengaman dan pengawas gugus kepulauan nusantara tidak memiliki cukup sarana dan prasarana dalam beraktivitas. Sistem navigasi kita masih memakai sistem kolonial, bahkan mercusuar kita adalah bangunan lama yang senantiasa direhab tanpa ada peningkatan fasilitas dan teknologi. Realitas lain yang menegaskan ketertinggalan kita adalah nelayan-nelayan nusantara yang masih mempertahankan metode lama dalam mengeksplorasi hasil laut dan tak jarang menggunakan cara-cara yang merusak ekosistem laut, apakah itu dengan bom ikan maupun pukat harimau. Selain itu banyak pula kapal asing yang menyusup ke wilayah kita dan mengambil kekayaan alam laut dengan eksplorasi besarbesaran tanpa kita bisa berbuat banyak. Kita sudah terbiasa mengatasi masalah secara reaktif dan parsial. Hanya bereaksi ketika masalah sudah menjadi besar dan susah dikendalikan. Penyelesaiannya juga tidak menyeluruh dan berorientasi pada hasil jangka pendek. Kemampuan dalam mengantisipasi keadaan atau peristiwa yang bakal terjadi di masa depan sangatlah rendah. Disisi lain kita juga jarang belajar dari masa lalu, yang mendiami benak kita adalah nostalgia hostoris bahwa nenek moyang kita dulu merupakan pelaut ulung, berlayar dari pulau ke pulau hingga ke negeri seberang, menaklukkan ombak dan gelombang. Rupanya budaya maritim yang menjadikan nenek moyang kita maju di bidang kelautan dan merupakan adaptasi dari wilayah kepulauan nusantara belum tersemat rekat dalam sanubari kita. Djoko Sumaryono dalam opini di harian Kompas menjelaskan bahwa ada beberapa indikator dan faktor yang dapat menjelaskan mengapa bangsa kita kehilangan budaya maritim. Pertama adalah kurun waktu lama kita dijajah oleh kolonialis belanda dan dibatasi ruang gerak dan interaksi kita dengan pihak diluar penjajah, konsep sentralisasi dan pemusatan pemerintahan di Jawa juga turut melupakan potensi wilayah pesisir kita. Kedua, kebijakan pemerintah kurang berpihak pada bidang maritim. Sebagai contoh penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah otonom dirumuskan berdasarkan perbandingan luas wilayah

10

PROLOG

Sebuah prasasti pra-sejarah abad IV V berupa relief yang menggambarkan kapal dari Lau Biang, Sumatera Utara. Prasasti ini menandakan awal eksplorasi maritim Indonesia. Sumber : Indonesian Heritage Ancient History. Archipelago Press.

11

PROLOGdarat terhadap penduduk. Ketiga, bangsa kita tidak dapat menangkap momentum kebangkitan asia pasik dimana sea trade semakin meningkat tajam. Ironisnya perusahaan pelayaran nasional menjadi lumpuh karena kalah bersaing dengan perushaan pelayaran asing yang didukung permodalan lebih kuat. Keempat, kita kurang serius memanfaatkan prinsip-prinsip negara kepulauan dalam UNCLOS 1982 yang merupakan prestasi terbaik kita dalam memperjuangkan konsepsi negara kepulauan. Akibatnya isu perbatasan pulaupulau terluar tidak maksimal tertangani. Kemenangan Malaysia dalam kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di Mahkamah Internasional di den Haag karena mereka melakukan penguasaan secara efektif (effective occupation) terhadap kedua pulau itu, dimana mereka telah membangun berbagai fasilitas bahkan resort di pulau-pulau tersebut. Hal itu sebenarnya menjadi pelajaran berharga bagi kita agar tidak lagi menyia-nyiakan potensi maritim yang kita miliki. Kelima, bangsa kita belum memanfaatkan laut dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh, peluang pemanfatan potensi perikanan laut yang begitu melimpah belum dikelola untuk menghasilkan keuntungan ekonomis bagi negara. Selama ini penanganan kelautan Indonesia bersifat sangat sektoral. Seperti perikanan, pertambangan/ migas, perhubungan, pariwisata, penegakan hukum, pertahanan, lingkungan dan lain-lain, termasuk oleh pemerintah daerah dalam perkembangan otonomi. Disisi lain badan-badan dan instansi yang ada hanya bersifat koordinatif dan konsultatif tanpa wewenang eksekutif. Akibatnya mereka tidak bisa mengambil tindakan ataupun program dalam menangani masalah kelautan tapi hanya bisa melaporkan ataupun mendata masalah tanpa proses nyata lebih lanjut. Memang selama 350 tahun kita ditekan dan diarahkan oleh penjajah kolonial bahwa laut adalah pemisah antar pulau dan suku-suku sebagai bagian dari politik adu domba (devide at impera). Hendaknya dalam kurun waktu 62 tahun kemerdekaan kita sudah sepantasnya kita tidak memelihara paradima pemisah tadi dan menggantinya dengan konsep perekat dan penghubung dengan begitu diharapakan laut kita menjadi pemersatu dan pelingkup dari kepulauan nusantara kita. Proses pembangunan berwawasan kebangsaan perlu digalakkan. Dunia mengenal Indonesia sebagai negara maritim dalam bingkai kesatuan nusantara Republik indonesia. Sudah selayaknya kita berorientasi membangun bangsa dengan konsep kepulauan dan laut sebagai perekatnya. Tak pelak lagi wilayah pesisir dengan bandar (pelabuhan) dan fasilitas pendukungnya menjadi sangat signikan untuk dikembangkan. Kita perlu belajar dari negara maju, diantaranya Inggris, yang melalui visi perdana menteri Thatcher merancang gerakan The Action for Cities, melalui langkah konkret regenerasi bandar lama bertema To Discover the Sense of Civic Pride, yang dilaksanakan dengan motto The Decade of Achievement (1980-1990). Kitapun punya semboyan Jalesveva jayamahe yang berarti di laut kita jaya. Namun kita tak pernah mewujudkannya dengan langkah yang konkret. Visi konkret kita hanya terwujudkan dengan landmark patung dan bukan dengan proses pembangunan berbasiskan kepulauan dan maritim. Sudah selayaknya kita harus berbenah dalam perencanaan pembangunan dengan melakukan dekonstruksi paradigma yang selama ini belum beorientasi pada tatanan kepulauan, termasuk dalam perancangan tata

12

PROLOGruang yang menyangkut kepentingan pengembangan wilayah, konservasi, budidaya laut (mariculture), ekowisata, energi, industri, perhubungan serta keamanan. Indonesia sebagai negara maritim yang terdiri dari jajaran pulau-pulau di belahan sabuk tropis membutuhkan suatu paradigma perencanaan berbasis pada potensi budaya dan alam perairan bahari serta potensi energi surya yang melimpah. Di samping itu, dituntut pula kewaspadaan yang tinggi terhadap bencana akibat posisi kepulauan yang dikelilingi oleh lempengen tektonik kegempaan. Alur tulisan mengalir melalui empat bagian utama. Pada bagian awal buku ini akan mengulas mengenai perlunya dekonstruksi paradigma pembangunan nasional yang berbasis pada tatanan kepulauan dan bahari. Bagian pertama akan memaparkan alasan mendasar perlunya perubahan konsep Center Nodes menjadi Frontier Nodes, konsep pembangunan di darat (Landbased development) menjadi pembangunan berbasiskan perairan dan kepulauan (Waterfront & Archipelascape Development). Juga mengulas tentang konsep tanah air dan Nusantara konsep-konsep masa lalu tentang hubungan darat dan laut seperti Nyegara-Gunung, Hulu-hilir, Kaja-kelod, Kaulu-kailir. Dan ulasan terakhir adalah konsep tentang benua maritim. Bagian pertama ini diharapkan dapat membuka wacana kita tentang visi pembangunan negara kepulauan yang ideal tanpa bermaksud menggurui. Di samping itu juga sebagai proses pembelajaran bersama tentang paradigma baru mengenai tata ruang dan pembangunan berbasiskan kepulaun. Bagian kedua memaparkan loso simbiosis yang dikemukakan oleh Kisho Kurokawa, sebagai dasar pemikiran yang sangat relevan terhadap kondisi tanah air kita bagi pembentukan konsep tentang tata ruang negara kepulauan yang tetap kontekstual, sinergis, berkesinambungan dan sesuai dengan identitas bangsa sebagai negara bahari. Pada bagian ketiga akan dipaparkan konsep-konsep tata ruang mulai dari yang menekankan pada perkembangan tiap titik kawasan temu darat-laut dari aspek arsitektur sampai dengan infrasttuktur (oceanic frontier design), intra-inter space yang merupakan konsep pengelolaan kawasan dalam hubungan kerja sama dengan kawasan yang lain dalam satu pulau maupun antar pulau, dan berikutnya konsep jaringan informasi dan transportasi (trans-boundary network) yang akan membawa keterhubungan semua daerah pengembangan pada pulau-pulau yang ada di Indonesia secara nasional dan merajut hubungan kerja sama dengan negara lain secara internasional. Bagian keempat bertajuk archipelascape ialah tata ruang negara kepulauan. Akan mengemukakan pertimbangan khusus yang menjadi penekanan dari konsep-konsep yang sudah terpapar dalam bagian sebelumnya. Selain itu, akan dijabarkan studi kasus sebagai contoh implementasi konsep. Bagian ini membahas tentang interaksi daratan dan lautan, peranan Daerah Aliran sungai (DAS) sebagai penghubung antara daratan dan lautan, rekayasa infrastuktur tata ruang negara kepulauan yang mengggambarkan model-model dan konsep-konsep pembangunan kelautan, seperti reklamasi, konsep apung (oating), mitigasi dan adaptasi bencana, pemanfaatan energi samudera serta tak lupa infrastruktur permukiman

13

PROLOG

dan fasilitas keruangan, dan rekayasa keruangan tanggap bencana juga turut dipaparkan sebagai salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pertimbangan penataan keruangan. Penekanan selanjutnya setelah interaksi daratan dan lautan adalah jejaring keruangan yang membahas lebih spesik strategi pengelolaan dalam pengembangan kawasan tepi laut dan bagaimana menyatukan kawasan-kawasan tersebut dalam sebuah jejaring keruangan dan informasi secara nasional dan internasional. Paparan tersebut dilengkapi dengan gagasan tentang skenario penataan dalam konteks tata ruang negara kepulauan yang berisikan manajemen penataan, isu-isu kemiskinan, inasi maupun potensi, sebagai gambaran bagaimana konsep negara kepulauan dapat dijadikan salah satu solusi bagi sejumlah permasalahan fundamental pembangunan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Gagasan Rekayasa tata ruang kepulauan memang perlu dikaji lebih dalam. Tak bisa dipungkiri negara kita yang berbasiskan kepulauan memerlukan visi dan paradigma baru tentang konsep pembangunan wilayah kita. Dengan gencarnya arus globalisasi terutama sektor ekonomi (global economy) harus mendorong kita untuk meningkatkan kualitas wilayah pesisir kita yang merupakan gerbang dalam lalu lintas ekonomi global. Paradigma dan visi ini memerlukan langkah konkret pembangunan potensi maritim kita dalam bingkai tata ruang kepulauan.

Kota Batavia abad XVII, salah satu kota pelabuhan terbesar di wilayah N akses ekonomi dan politik. Demikian hendaknya kebijakan pembanguna lauan dengan kawasan-kawasan bahari sebagai pintu gerbangnya, sehing seimb

Sumber : Indonesian Heritage Earl

14

PROLOG

REVITALISASI RUANG PUBLIK TEPIAN AIR PERKOTAAN Dalam perkembangannya, kawasan kota tepian air mengalami pasang surut. Pada saat peran angkutan air digeser oleh angkutan darat maka kawasan tepian pantai yang pada mulanya merupakan lokasi pusat kegiatan perkotaan mengalami pergeseran orientasi ke kawasan daratan. Hal ini menyebabkan kawasan tepian pantai menjadi daerah yang kurang terpelihara, bahkan dengan adanya perkembangan kota di kawasan daratan yang pesat menjadikan kawasan pantai sebagai daerah belakang dan sebagai tempat pembuangan berbagai jenis limbah. Namun, pada tahap perkembangan berikutnya karena lahan perkotaan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan perkotaan semakin terbatas, tumbuhlah perhatian untuk kembali ke kawasan tepian air perkotaan yang sudah sarat dengan berbagai masalah degradasi lingkungan baik secara ekologis, keruangan maupun visual. Fenomena ini melatarbelakangi tema kajian makalah ini dengan mengangkat topik revitalisasi ruang publik tepian air. Suatu langkah perencanaan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah memunculkan kembali suatu paradigma tata ruang nasional yang berbasis kepulauan. Ruang publik yang berada di kawasan tepian kota-kota air merupakan suatu embrio perancangan yang berfungsi sebagai generator atau kutub magnet bagi keberlanjutan suatu sistem tatanan ruang berbasis kepulauan.

Nusantara. Fungsi kota pelabuhan seperti ini sangatlah penting sebagai an nasional kita tetap menempatkan Nusantara ini sebagai negara kepugga pengembangan akan muncul dari dua titik yaitu darat dan laut secara bang.

ly Modern History. Archipelago Press

15

PROLOGANALISIS SPASIAL KOTA TEPIAN AIR Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia. Syair lagu diatas sudah sangat kita kenal demikian pula wacana politis Wawasan Nusantara sudah sering kita dengar,namun, hal ini belum tercermin dalam tata ruang perkotaan secara nasional. Perkembangan perkotaan yang berorientasi ke arah daratan jauh lebih pesat, bahkan sama sekali tidak memperhatikan kawasan tepian pantai di mana laut merupakan perekat antar pulau. Archipelascape merupakan suatu paradigma baru dalam rancangan urban yang diajukan dalam makalah ini. Memiliki empat konsep utama. Pertama, trans-boundary network, yaitu model pengelolaan tata ruang dengan sistem jejaring lintas batas. Kedua, inter-islands consolidation, yaitu konsep konsolidasi wilayah dengan basis jejaring tata ruang kepulauan. Ketiga, ecoscape network, yaitu konsep ekologis ruang perkotaan berbasis jejaring bentang alam dan kultural dalam upaya mewujudkan kota berkelanjutan (blue design). Keempat, waterfront community empowerment, yaitu suatu program peningkatan kualitas kehidupan masyarakat tepian air yang kondisinya saat ini dalam kategori miskin dan dalam jumlah populasi yang sangat besar. Untuk itu, perancangan ruang publik tepian air yang berada pada posisi sangat strategis sebagai titik temu dan pengikat jejaring pergerakan manusia, barang, dan informasi dalam konteks tata ruang berbasis kepulauan sangat mendesak untuk segera dilakukan penataan. Penataan dalam hal ini tidak sekedar berupa pembangunan proyek-proyek kota marina yang lebih berorientasi pada program investasi jangka pendek yang sering memunculkan berbagai masalah yang berkaitan dengan proses privatisasi kawasan dan berdampak pada konik berbagai kepentingan. Upaya penataan dalam skala pemikiran konsep tata ruang nasional berbasis kepulauan harus dimulai dari identikasi prol masing-masing kota yang akan dimasukkan secara bertahap dengan berbagai skala dan prioritas pengembangan dalam system jejaring lintas pulau (trans-islands network). Bentuk kegiatan dan karakteristik ruang perkotaan mengalami perkembangan yang sedemikian pesat dan kompleks. Untuk itu pendekatan-pendekatan yang normatif dan konvensional sangat sulit diterapkan dalam mengikuti perkembangan tersebut. More Hybrid, More Sustainable. Dua kata kunci yang diajukan dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menjawab kompleksitas permasalahan desain ruang publik tepian air. Hybrid, disiini diartikan sebagai suatu bentuk kemasan baru yang merupakan kombinasi simbiosis elemen-elemen programatik rancangan ruang. Sedangkan, sustainable disini diartikan sebagai bentuk pendekatan yang diorientasikan pada terwujudnya keharmonisan tatanan eko-kultural ruang secara berkelanjutan. Suatu konsep yang kelihatannya sangat muluk dan ideal ini kalau dicermati lebih dalam sebenarnya sangat sederhana, yaitu upaya menggabungkan beberapa program rancangan ruang secara harmonis (trans programming) dalam konteks kekinian yang menuntut kreativitas tinggi dan respon yang sangat cepat.

16

PROLOG

Skematik Posisi Ruang Publik Tepian Air dalam Sistem Perkotaan Sumber : Penulis

17

PROLOGKawasan ruang publik tepian air yang mencakup komponen daratan dan perairan secara ekologis berfungsi sebagai penyangga berkelanjutannya kehidupan perkotaan. Namun, akibat terbengkalainya kawasan tepian air dalam waktu yang relatif cukup lama memunculkan berbagai permasalahan sosiokultural dan sik-spasial perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai gambaran, permasalahan ruang publik perkotaan antara lain: jalur pencapaian kearah perairan yang tidak menerus, pemandangan kearah perairan yang terputus, ruang-ruang yang tidak terurus, tidak adanya orientasi kawasan, infrastruktur yang tidak memadai dan bangunan-bangunan bersejarah dimasa kejayaan kota pantai/kota tepian sungai yang terbengkalai. Permasalahan ekologis yang berupa degradasi lingkungan (erosi, pencemaran, perubahan struktur ekologis), tidak adanya keterkaitan ekologis dalam penataan ekosistem perairan dan daratan,

Skematik Pendekatan Perancangan Ruang Publik Sumber : Penulis

18

PROLOGperubahan sifat lahan, perubahan komposisi biota dan pola arus perairan merupakan suatu tugas yang sangat berat. Dengan demikian, aspek kegiatan dan pengguna (use-user), aspek tata ruang perkotaan dan aspek keterkaitan ekologis merupakan tiga hal yang mendasari pendekatan perancangan ruang publik tepian air perkotaan. Ketiga aspek tersebut dapat terpenuhi apabila dapat diwujudkan keseimbangan/keharmonisan proses kehidupan perkotaan yang berada pada dua kutub magnet generator, yaitu aquatic generator (kutub penarik kegiatan kearah perairan) dan terrestrial generator (kutub penarik kegiatan kearah daratan).

Analisis Spasial Kota Tepian Air Sumber : Penulis

19

PROLOGPEMETAAN ELEMEN-ELEMEN DESAINRuang publik tepian air perkotaan di dalam pemanfaatannya harus dilihat dari ketiga aspek yang mendasari pendekatannya, yaitu kegiatan, tata ruang, dan ekologis. Secara historis, eksistensi terbentuknya komunitas ruang perkotaan tepian air dapat dibedakan menjadi 2 kelompok. Pertama, masyarakat yang tradisi menetap dan berkembang pada lokasi di kawasan tepian air dengan basis budaya perairan (water culture). Kedua, kelompok masyarakat yang menghuni kawasan tepian air akibat proses urbanisasi dengan dasar pertimbangan budaya huni pada keterbatasan lahan (masyarakat marginal). Maka, kegiatan yang berkembang dikedua kawasan dengan komunitas yang berbeda tersebut menunjukkan karakter yang berbeda. Komunitas water culture mempunyai bentuk komposisi masyarakat yang relatif homogen serta mempunyai karakter kegiatan yang berbasis pada aquatic environment (misalnya: mata pencaharian, festival-festival tradisional, dsb). Sedangkan komunitas urban yang berada di ruang publik kawasan tepian air relatif lebih heterogen serta tidak mempunyai basis kultural kegiatan yang berorientasi pada budaya perairan. Maka, bentuk penanganan terhadap pemenuhan kebutuhan ekspresi kedua komunitas tersebut diatas berbeda sesuai dengan agenda/program yang akan dikembangkan pada kawasan masing-masing. Secara ekologis, penataan ruang publik tepian air perkotaan harus dilihat dari sistem tata ruang sik alami dan buatan dalam sistem keterkaitan ekologis tepian air (waterfront), kawasan kota (city area), kawasan bawah tanah (geo front), kawasan pencakar langit (sky front), serta kawasan perbukitan (hills). Hal ini mengingat keberlanjutan kehidupan perkotaan sangat tergantung pada keseimbangan/ keharmonisan pemanfaatan kawasan hulu-hilir yang utuh. Sehingga, secara singkat dua elemen utama pembentuk ruang publik perkotaan tepian air yang dapat dikenali disini berupa budaya huni tepian air dan sistem keterkaitan ekologis hulu-hilir perkotaan. Kedua elemen ini mendasari program kegiatan serta sistem spasial yang akan dikembangkan dalam menata ruang publik tepian air perkotaan.

20

PROLOG

Berbagai variasi kegiatan di penataan tepian air Sumber : Google Image

21

PROLOGMODEL PENATAANBerdasarkan pada paradigma perancangan, tata ruang berbasis kepulauan archipelascape, maka model penataan ruang publik tepian air perkotaan yang diusulkan disini lebih diarahkan pada pemrograman spasial dan kegiatan yang mendukung sistem jejaring lintas pulau (trans-islands network) serta dalam sistem keterkaitan hulu-hilir perkotaan setempat (urban ecoscape linkage). Sehingga, apapun kegiatan yang melingkupi serta yang akan dikembangkan dalam ruang publik tepian air perkotaan harus ditempatkan pada posisi dan sistem tersebut secara tepat. Model ruang publik yang dirancang disesuaikan dengan model rancangan kota yang akan dikembangkan dalam sistem jejaring lintas pulau. Demikian pula dengan rancangan ekologis perkotaannya disesuaikan dengan karakteristik sistem hulu-hilir perkotaannya. Termasuk juga dalam mengembangkan keterkaitan visual serta mengekspresikan citra kawasan tepian air perkotaan dapat dilakukan penataan koridor dan bentang pemandangan yang menghubungkan kawasan tepian air dengan kawasan-kawasan perkotaan yang lain dengan mengatur tata letak bangunan, jaringan dan akses pemandangan (view access and network) serta garis langit (skyline) yang memungkinkan terciptanya garis pemandangan visual yang menerus.

22

PROLOGSelain itu untuk menghindari terjadinya proses privatisasi ruang publik tepian air perkotaan bagi pemanfaatan eksklusif yang tidak dapat diakses/dimiliki masyarakat umum perlu diciptakan sistem penataan yang bersifat open to public secara benar. Akses publik ini dapat berupa penyediaan jalan-jalan tepian air (boulevard, promenade atau esplanade) serta ruang-ruang terbuka yang secara tidak langsung berhubungan dengan bagian-bagian kota. Hal lain yang harus dilakukan dalam penataan ruang publik tepian air perkotaan adalah upaya pelestarian dan konservasi bangunan dan infrastruktur kawasan peninggalan kota lama yang mendukung citra historis dan konteks lokal kawasan. Beberapa kegiatan pemanfaatan kawasan tepian air perkotaan dapat berupa pembangunan kawasan bisnis dan komersial (central business district), marine residential area, festival market, perluasan dermaga dan bentuk-bentuk pemanfaatan kembali kawasan dan bangunan lama dalam kemasan baru. Konsep hybrid dapat diterapkan dalam menyusun program rancangan ruang secara lintas fungsi (trans programming) untuk menghadapi tuntutan keberagaman dan eksibilitas pilihan-pilihan kegiatan yang ditawarkan bagi masyarakat perkotaan yang semakin kompleks dengan tuntutan esiensi tnggi.

Sydney Opera House icon kota Sydney yang sekaligus menjadi pusat kebudayaan, membentuk karakter khas skyline kota tersebut Sumber : www.globalconstructionwatch.com

23

PROLOG

Buruj Al-arab icon tepian pantai Dubai yang menjadi memberikan arti lebih pada bentukan layar dan mewakili kota tersebut dalam satu bentukan arsitektural maha karya. Sumber : www.globalconstructionwatch.com

24

PROLOG

Buruj Al-arab icon tepian pantai Dubai yang menjadi memberikan arti lebih pada bentukan layar dan mewakili kota tersebut dalam satu bentukan arsitektural maha karya. Sumber : www.globalconstructionwatch.com

25

PROLOGREGATTA IKON KELAUTAN JAKARTA Regatta Jakarta adalah sebuah desain bertemakan kelautan yang dikerjakan oleh Atkins-design studio. Merupakan pembangunan fasilitas neka guna yang berlokasi di Pantai Mutiara Canal estate, tepi laut jawa. icon dari Regatta adalah bangunan lengkung dengan tinggi 160m, merupakan hotel berbintang lima yang merepresentasikan sebuah mercusuar atau sebuah lentera laut. Hotel tersebut dikelilingi oleh 10 tower apartemen yang masing-masing merepresentasikan layar, sehingga tercipta suatu konstelasi mercusuar yang dikelilingi oleh layar-layar di sekitarnya, mirip seperti suasana lomba perahu atau regatta (bahasa italia).

Regatta icon berupa bangunan lengkung sebagai representasi dari mercusuar atau lentera laut Sumber : www.globalconstructionwatch.com

26

PROLOG

Kompleks Apartemen Regatta Sumber: www.globalconstructionwatch.com

27

PROLOGPENATAAN KAWASAN NUSA DUA BALI Nusa Dua merupakan sebuah enclave berisi resor besar internasional berbintang 5 di tenggara Bali. Terletak 40 km dari Denpasar, ibukota provinsi Bali. Cukup terkenal sebagai satu lokasi elite dengan hotel-hotel berkelas mulai dari Westin, Hyatt, Melia, Niko, Nusadua Beach, dan yang lain. Semuanya terangkai dalam kawasan Nusa Dua dan Tanjung Benoa. Hal yg menjadi daya tarik utama dalam kawasan ini bukanlah kawasan itu sendiri melainkan pantai nusa dua dengan pulau nusa duanya. Ini adalah contoh cerdas bagaimana melihat kekuatan potensi eksisting. Penataan kawasan Nusa Dua tidak berfungsi sebagai pusat dengan icon ciptaan yang baru, tetapi justru berfungsi sebagai penguat saja dan memfasilitasi potensi kawasan yang sudah ada.

Peta kawasan Nusa Dua dan Tanjung Benoa Sumber : www.baliblog.com

28

PROLOG

Dua pulau atau nusa dua yang menjadi icon kawasan Sumber : www.lombokmarine.com

Suasana pantai dengan fasilitas rekreasi laut yang ada di kawasan Nusa Dua Sumber : www.twohigs.com

29

DEKONSTRUKSI PARADIGMA

DEKONSTRUKSI PARADIGMADEKONSTRUKSI PARADIGMA Mengapa Perlu ?Kondisi ekologis kepulauan yang merupakan karakteristik utama Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan suatu pendekatan yang tepat terhadap perencanaan pembangunan Nasional. Selama ini yang terjadi adalah peerapan paradigma perenencanaan pembanguan yang ebih berorientasi pada konsep kontinental yang diberlakukan secara seragam. Akibatnya, banyak terjadi permasalahan kesenjangan antara pembangunan di pulau-pulau kecil dan kontinen yang besar, kesenjangan pemanfaatan sumber daya alam antara suatu kawasan dengan kawasan lain termasuk kesenjangan tingkat kesejahteraan. Hal ini berdampak pada belum meratanya pembangunan, terjadinya berbagai kerusakan lingkungan serta belum termanfaatkannya berbagai seumber daya alam secara optimal. Padahal secara tertulis kita sudah mempunyai konsep Wawasan Nusantara sejak lama, namun pada prakteknya belurn pernah diterapkan secara nyata. Suatu langkah yang sangat tepat adalah sejak munculnya kebijakan baru dalarn Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Gus Dur dan Megawati dengan dibentuknya suatu Departemen Kelautan dan Perikanan. Untuk itu sudah selayaknya kita harus berbenah dalarn perencanaan pernbangunan dengan melakukan dekontruksi paradigma yang selama ini belurn berorientasi pada tatanan kepulauan termasuk dalarn perancangan tata ruang yang menyangkut kepentingan pengemba.-Igan wilayah, konservasi, budidaya laut (mariculture), ekowisata, energi, industri, perhubungan serta keamanan.

Gugus keragaman ora, fauna dan budaya Indonesia. Sumber : penulis

32

DEKONSTRUKSI PARADIGMADEKONSTRUKSI PARADIGMA PERENCANAAN TATA RUANG Ditinjau dari keragaman ora, fauna serta budaya maka kepulauan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga gugus. Gugus yang pertama meliputi Jawa, Sumatera dan Kalimantan serta pulau-pulau kecil di sekitarnya yang berasosiasi dengan benua Asia, gugus ketiga meliputi Papua dan Kepulauan Aru yang berasosiasi dengan benua Australia serta gugus kedua yang meliputi Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi yang merupakan penghubung dan transisi dari kedua gugus tersebut. Hal ini menunjukkan adanya tingkat keberagaman yang sangat tinggi dalam konteks negara kepulauan, sehingga diperlukan satu cara pandang yang berwawasan Kesenjangan yang terjadi akibat konsentrasi pengembangan wilayah di Kawasan Barat Indonesia sudah selayaknya perlu diimbangi dengan perhatian yang cukup serius terhadap Kawasan Timur Indonesia baik secara ekonomis maupun secara ekologis. Kawasan Barat Indonesia yang telah memiliki dua segitiga pertumbuhan (growth triangle) yaitu SIJORI (Singapura, Johor dan Riau) dan IMT (Medan, Penang dan Phuket) perlu diimbangi dengan pengembangan di Kawasan Timur Indonesia dengan kerjasama BIMPEAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipine East Asia Growth Area) serta pengembangan kerjasama Australia dan Papua New Guinea. Dengan melihat pertumbuhan penduduk yang saat ini masih terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia, maka arah pembangunan jangka panjang diharapkan lebih berorientasi pada Kawasan Timur Indonesia untuk menghindari tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem daratan serta mengurangi kesenjangan yang selama ini terjadi. Kawasan Timur Indonesia dengan luas wilayah 768.000 km2 (40,04 % dari luas seluruh Indonesia) ternyata baru dihuni 14,5 % dari total penduduk Indonesia.

Titik potensial pengembangan kebaharian Indonesia. Sumber : penulis

33

DEKONSTRUKSI PARADIGMAKawasan Timur Indonesia yang secara geogras sebagian besar kawasannya berupa perairan berdasarkan proyeksi perkembangan pada abad 21 merupakan kawasan yang mempunyai posisi strategis di kawasan Negara-negara Pasic Basin. Hal ini disebabkan telah bergesernya titik produksi dan perdagangan dunia dari kawasan Atlantik ke kawasan Pasik. Untuk itu, maka paradigma perencanaan yang selama ini lebih berorientasi pada Kawasan Barat Indonesia perlu segera diimbangi dengan pengembangan Kawasan Timur Indonesia dengan basis pembangunan ekonomi maritim dalam bingkai kepulauan yang berperan sebagi perekat antar ribuan pulau yang ada. Konsep kesatuan daratan dan lautan hendaknya menjadi dasar penataan ruang baik secara administratif maupun secara fungsional. Rekayasa ekologis terhadap kawasan lindung dan kawasan budidaya harus dilakukan secara simbiotik-dinamis dalam satu kesatuan bentang daratan (landscape) dan bentang lautan (seascape). Dalam dimensi keruangan prinsip keterkaitan (linkage) dan komplementaritas/ melengkapi (complementary) menjadi dasar pendistribusian kutub-kutub pertumbuhan khususnya di luar Pulau Jawa dengan tetap mempertahankan pertumbuhan di Pulau Jawa dengan prinsip hemat air dan lahan. Pendekatan penataan ruang berbasis kepulauan pada prinsipnya mempertimbangkan wilayah kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan daratan, lautan dan udara dimana didalamnya terjadi suatu interaksi antar unsur-unsur ekosistem tersebut secara dinamis, siklis dan seimbang. Sifat dasar suatu wilayah mengalami dinamika karena berbagai faktor yang mempengaruhi sehingga sering disebut dengan istilah poligenetik. Faktor-faktor pengaruh tersebut meliputi antropodinamik (penggunaan lahan oleh kegiatan-manusia), morfodinamik (erosi, sedimentasi), ekodinamik (terumbu karang, mangrove), hidrodinamik (gelombang arus pasang surut, debit sungai), geodinamik (pengangkatan, penenggelaman), aerodinamik (angin, penguapan, hujan), dan astrodinamik (rotasi, revolusi, gerhana). KESEIMBANGAN DINAMIK Untuk mencapai keseimbangan dinamik (dynamic equillibrium) suatu kawasan maka rekayasa tata ruang yang harus dilakukan tidak hanya mengembangkan kawasan budidaya, saja tetapi harus djImbangj oleh rekayasa pengamanan dan pengawasan kawasan fungsi lindungnya. Rekayasa terhadap kawasan lindung ini meliputi konservasi kawasan dan spesies yang dilindungi, pengaturan garis sempadan pantai dan sungai, konservasi hutan bakau, konservasi padang lamun dan konservasi terumbu karang. Adapun rekayasa pengembangan kawasan budidaya melipub pengembangan pertanian tambak, garam dan budidaya kelautan, industri, permukirnan, perhubungan laut serta pariwisata bahari. Kedua kegiatan rekayasa tersebut diatas tentu saja tidak hanya berupa program yang bersifat sik semata tetapi harus diikuti dengan program rekayasa sosial budaya. Pemberdayaan komunitas serta keseriusan dukungan pada stakeholder menjadi kunci utama keberhasilan program rekayasa tata ruang. Untuk itu sosialisasi akan pentingnya mewujudkan suatu program pembangunan yang lestari merupakan langkah awal yang perlu dilakukan dalam praktek nyata bukan sekedar sloganis semata.

34

DEKONSTRUKSI PARADIGMAMODEL TATA RUANG BERBASIS KEPULAUAN Pengembangan wilayah kesatuan daratan dan lautan dalam bingkai kepulauan harus dilakukan secara menyeluruh dalam pengertian mampu mengintegrasikan seluruh wilayah dalam sistem rekayesa jejaring keruangan dalam bentuk fungsi, hirarki dan po/a keterkaitan antar kawasan. Strategi pengembangannya meliputi tiga level yaitu level lokal (mikro), level antar pulau-pulau kecil (messo) dan level kontinen, pesisir dan pulau-pulau kecil (makro). Pada level lokal penataan kawasan meliputi pengembangan potensi setempat beserta upaya-upaya konservasi kawasan lindungnya serta pemberdayaan masyarakat setempat melalui pengembangan ekonomi kerakyatan. Sedangkan pada level messo konsep keterkaitan dan pengembangan pusat-pusat kegiatan produksi dan pelayanan menjadi strategi utama pengembangan tata ruangnya sesuai dengan spesialisasi potensi yang dimiliki masing-masing kawasan. Adapun pada level makro konsep ketepatan dan pengembangan pusat-pusat produksi dan pelayanan diterapkan tidak hanya sebatas antar pulau-pulau kecil tetapi dikembangkan menjadi keterkaitan antar gugusan pulau-pulau kecil dan dengan kawasan kontinen dan pesisir menjadi satu kesatuan kawasan andalan.

Konsep keseimbangan dinamik yang tidak hanya mencakup tata ruang sik saja tetapi juga usaha budidaya kawasan alaminya secara sinergis dan proporsional Sumber : Penulis

35

DEKONSTRUKSI PARADIGMA

REKAYASA TATA RUANG DAN INFRASTRUKTUR Untuk mewujudkan suatu tata ruang nasional yang berbasis pada karakteristik negara kepulauan perlu didasari pertimbangan rekayasa jejaring keruangan, rekayesa ekologis kawasan kesatuan interaksi claratan clan kelautan serta rekayasa perencanaan dan pengelolaan lintas batas (transboundary) baik secara administratif maupun fungsional. Maka dari itu beberapa langkah konkrit yang harus dilakukan adalah penyediaan data dan informasi serta pemetaan seluruh kawasan kepulauan, pembangunan pusat penelitian sumber daya kelautan baik perikanan maupun energi, pembangunan sistem pengawasan kelautan serta pembangunan industri perikanan dan pelayaranlperhubungan. Melalui koordinasi ketiga elemen rekayasa tersebut diharapkan dapat mewujudkan suatu model rekayasa tata ruang dan infrastruktur secara terpadu yang meliputi sistem pemetaan dan monitoring kelautan, desain keruangan kawasan dan infrastruktur, sistem pertahanan dan keamanan kelautan, pemberdayaan masyarakat serta hukum dan peraturan.

Contoh Rekayasa Infrastruktur berkarakteristik kepulauan. Kiri: jembatan Suramadu, Selat Madura, jawa Timur. Kanan : Manhattan Bridge, New York. Sumber : www.globalconstructionwatch.com

36

DEKONSTRUKSI PARADIGMA

Fisherman's Wharf, San Fransisco, USA Sumber : Process Architecture

Aquapolis, Okinawa, Japan Sumber : Process Architecture

37

DEKONSTRUKSI PARADIGMAFRONTIER NODESSelama sekitar empat dekade, paradigma pembangunan Indonesia lebih banyak diwarnai dengan cara berkir orang-orang benua (continental), yaitu para ahli dari Amerika dan Eropa serta para ahli Indonesia yang belajar dari mereka. Pada akhirnya, perumusan paradigma, kebijakan dan program pembangunan yang ada selama ini pun lebih berbasis pada konsep continental. Menurut Baiquni, 2004, perubahan paradigma berbasis benua daratan (Continental) menuju paradigma berbasis kepulauan benua maritim (Archipelago) selanjutnya juga akan terjadi pada pengorganisasian pembangunan yang terkait dengan pengelolaan, pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya untuk mendukung kebutuhan manusia. Indroyono (2001) dalam Baiquni (2004), mengemukakan bahwa pemahaman karakteristik kepulauan Indonesia diperlukan sebagai landasan mengembangkan kebijakan dan program pembangunan. Berdasarkan hasil identikasi, empat karakteristik yang khas dari lautan Nusantara : a. Lautan Indonesia merupakan wilayah marine-biodiversity terbesar di dunia, memiliki 8500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies terumbu karang. b. Sejak berabad-abad lalu lautan Indonesia dan selat-selatnya merupakan jalur transportasi internasional yang ramai. c. Tiga lempeng geotektonik bertemu di wilayah Nusantara, yaitu lempeng tektonik Eurasia, lempeng tektonik Indo-Australia dan lempeng tektonik Pasic. Pertemuan tiga lempeng geotektonik tersebut memicu terjadinya gunung api dan gempa bumi di daratan maupun di lautan, namun juga merupakan persyaratan pembentukan sumberdaya mineral, minyak dan gas bumi. d. Arus laut dari Samudra Pasik mengalir melewati kepulauan Nusantara menuju Samudera Hindia. Karakteristik oceanogras khas di lautan Indonesia ini merupakan indikator munculnya dan lenyapnya gejala alam El Nino dan La Nina, yang mempengaruhi iklim global. Lebih jauh, karakteristik kepulauan Nusantara dapat ditambahkan dari tinjauan sosial budaya sebagai wujud interaksi manusia dengan alam lingkungannya yang membentuk peradaban. Pemahaman karakteristik masyarakat yang berkembang di masing-masing wilayah perlu dikaji sebagai dasar kebijakan dan penyusunan program pembangunan. a. Ada tiga basis asosiasi ekologi budaya yang dikaitkan dengan landas wilayah, yaitu wilayah Barat yang berasosiasi dengan benua Asia, wilayah timur yaitu Papua yang berasosiasi dengan benua Australia, dan pulau-pulau di antara kedua garis imajiner yang sering disebut garis Wallacea dan Garis Weber. b. Keragaman budaya dan bahasa maupun adat-istiadat Nusantara memiliki keunikan yang harus dilihat sebagai kekuatan daripada sebagai hambatan komunikasi maupun akulturasi budaya. Konsep Bhinneka Tunggal Ika merupakan cetusan yang luhur untuk dikembangkan lebih lanjut dalam era global.

38

DEKONSTRUKSI PARADIGMAc. Distribusi penduduk yang tidak merata dan kualitas penduduk yang tidak sama perlu diperhitungkan dalam membangun. Konsentrasi penduduk di Jawa sebagai akibat konsentrasi kekuasaan sejak jaman kolonial dan dilanjutkan hingga kini. d. Ketimpangan pembangunan dan kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi masalah serius yang harus dipecahkan segera. Fenomena ini dapat memicu ketegangan dan keresahan sosial. Di sejumlah propinsi yang kaya sumber daya alam, justru terdapat penduduk miskin dalam jumlah besar dan wilayahnya masih terlantar. e. Tingkat kerusakan lingkungan telah terjadi di mana-mana, di gunung, daratan, pantai dan laut. Eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan pencemaran yang tinggi menyebabkan sebagian penduduk berada dalam bahaya dan rawan bencana. Sejumlah adapt dan tradisi luntur karena hutan dan laut telah rusak oleh pembangunan yang rakus dan tidak adil, budaya masyarakat menjadimarjinal oleh eksploitasi ekonomis dan kerusakan ekologis.

Jalur perdagangan Nusantara abad XV XVI. Terlihat bagaimana gugus kepulauan Nusantara dengan kota - kota baharinya memegang peranan pokok dalam peri kehidupan waktu itu. Sumber : Indonesian HeritageEarly Modern History. Archipelago Press.

Dokumentasi manusia jaman pra-sejarah Nusantara. Kebudayaan bahari sudah menjadi bagian dari peradaban Nusantara dari dulu hingga kini. Sumber : Indonesian Heritage Ancient History Archipelago Press

39

DEKONSTRUKSI PARADIGMABelajar dari Norwegia Awal abad ke-20 Norwegia disebut negara miskin, tetapi menjelang akhir abad yang sama Norwegia menjelma menjadi negara yang kaya raya. Bagaimana ini bisa terjadi? Lantas mengapa atau apa latar belakang keberhasilannya? Keberuntungan bukanlah faktor utama yang dibutuhkan guna menunjang suatu pembangunan ekonomi. Langkah yang persis sama, yang diambil suatu bangsa lain belum tentu akan menghasilkan hasil yang sama. Satu hal yang dianggap keberuntungan adalah keberadaan negara tetangga yang mengalami kemajuan ekonomi sebelum norwegia, seperti Inggris dan Jerman. Norwegia membangun dengan memanfaatkan perdagangan dan gagasan dari kedua negara tersebut. Menarik untuk dicermati, mereka juga ikut menganut etika kerja yang berlaku di negara-negara maju tetangga Norwegia, yang berdasarkan pada pemikiran Max Weber, living to work instead of working to live (hidup untuk bekerja dan bukan bekerja untuk hidup). Sikap hidup inilah yang menjadi bagian dari budaya bangsa Norwegia, meskipun berawal dari kebijaksanaan yang sengaja dipilih. Pada saat armada kapal Inggris berjaya, Norwegia yang dikelilingi laut memanfaatkan gagasan yang sama dengan mengembangkan industri pelayaran. Melihat permintaan dunia terhadap kayu dan kertas meningkat, Norwegia memanfaatkan kekayaan hutannya. Berhubung industri kertas membutuhkan banyak energi, maka Norwegia mengambil alternatif sumber daya yang paling banyak dan murah di negara itu, yakni hydropower (awalnya air terjun dan belakangan gelombang laut) Sejalan dengan berkembangnya industri pelayaran, bangsa Norwegia hidup dari tradisi perikanan sesuai dengan alamnya yang dikelililngi pantai laut yang panjang yang bebas es sepanjang tahun. Dengan bertemunya aliran air hangat dengan air dingin fyord yang dalam menjadi habitat yang ideal bagi berkembangbiaknya ikan salmon. Tahun 1960-an permintaan dunia atas ikan salmon yang dianggap sebagai santapan orang kaya menanjak. Nelayan Norwegia mulai mencoba mengumpulkan telur dan tetasan ikan di berbagai hulu sungai sebagai benih untuk dikembangbiakkan. Sekitar akhir 1960-an ditemukan emas hitam (minyak bumi) di Norwegia. Pendapatan dari sumber energi baru ini mendongkrak tingkat kesejahteraan warga Norwegia sehingga di Eropa mereka mendapat sebutan orang kaya baru. Namun penyelenggara negara dan teknokrat Norwegia berpendapat bahwa cadangan minyak suatu saat akan habis, sekitar 100 tahun mendatang. Karena itu mereka tetap berpegang teguh pada industri perikanan sebagai tulang punggung perekonomian. Pada saat itulah budidaya ikan, terutama salmon, mulai berkembang cepat. Kelebihan dana dari minyak dan gas (migas) disisihkan dalam Government Oil Fund (GOF), yang antara lain digunakan untuk membiayai proyek penelitian budidaya ikan. GOF juga diinvestasikan ke luar negeri sebagai foreign equity markets, surat obligasi dan untuk menutup kekurangan anggaran negara seperti, misalnya, jaminan hari tua, kompensasi untuk pekerja dan sebagainya.

40

DEKONSTRUKSI PARADIGMAGuna mengkompensasikan keterbatasan alam, Norwegia mengembangkan marine and aquaculture, sehingga ekspor tidak hanya mengandalkan ikan tangkap. Di sepanjang lepas pantai utara Norwegia terbentang jala-jala raksasa (sea cage) yang berkilo-kilo panjangnya. Disitulah ikan salmon, cod dan banyak lagi lainnya diternakkan. Panjang pantai Norwegia adalah panjang pantai Indonesia, dan wilayah lautnya 2/3 dibandingkan Indonesia tetapi nilai ekspornya sekarang sekitar 4 miliar dollar AS yang dikirim ke lebih dari 150 negara di dunia. Government Oil Fund dan Aquaculture Industri Fund terus mendukung riset berbagai jenis ikan seperti cod, fry, halibut dan kerang-kerangan untuk menambah devisa. Agar tidak terlalu bergantung pada dana minyak, pada tahun 2003 pemerintah mengenakan pajak 0,3 persen pada seluruh jenis ikan yang diekspor Norwegia. Dana yang dihitung mencapai 15 juta dollar AS pertahun ini langsung disalurkan ke lembagalembaga riset industri marine dan aquaculture negara tersebut. Dari situ terlihat bahwa industriperikanan tetap menjadi tulang punggung perekonomian Norwegia, selain hidroindustri sebagai sumber energi pengganti minyak, serta perkapalan. Karakter Bahari negara tersebut diyakini akan terus menjamin kesejahteraan penduduk, terutama setelah pasca industri migas. Kebanyakan orang cenderung memilih untuk mencari satu jawaban terhadap suatu keberhasilan. Namun kisah dibalik keberhasilan Norwegia dalam mencapai kemakmuran tidak hanya berpijak pada satu faktor saja, melainkan beberapa. Prinsip mereka sederhana saja. Norwegia ditakdirkan memiliki pantai yang panjang dan dikelilingi oleh lautan yang subur dan luas. Maka masuk akal jika rezeki penduduk juga berasal dari laut. Jika dipelihara dan dijaga dengan baik, laut akan menjamin kesejahteraan hidup turun temurun. Maka, didasari falsafah mensyukuri anugerah alam sebagai negara bahari, Norwegia membuktikan dimata dunia bahwa negara ini sanggup mensejahterakan rakyatnya dengan perikanan. Pengalaman pembangunan ekonomi Norwegia yang setia terhadap khitahnya sebagai negara bahari merupakan contoh yang bisa diambil oleh Indonesia. Setelah lebih dari 30 tahun pembangunan yang mengeksploitasi habis-habisan sumber daya daratan, sudah waktunya Indonesia sadar diri untuk kembali menjadi negara bahari. Apalagi mengingat bahwa 75 persen wilayah kepulauan kita terdiri dari perairan.

41

DEKONSTRUKSI PARADIGMAKonsep Tanah Air dan NusantaraNegara Konsentris dan Pesisir Sejarah bangsa kita pernah mencatat beberapa kerajaan besar yang meninggalkan banyak warisan dan masih melekat hingga saat ini, sebut saja Sriwijaya dan Majapahit hingga Mataram pada periode awal islam di Indonesia. Konsep kerajaan konsentris merupakan tipikal pola pemerintahan yang umum dipakai pada masa-masa kerajaan tersebut. Konsep tersebut mengakibatkan wilayah pertumbuhan dimulai dari pusat kerajaan, dalam hal ini wilayah pinggiran akan terpinggirkan dan dianaktirikan. Akibat nyata yang terjadi adalah ketika pusat kerajaan tersebut mendapat serangan musuh dan goyah maka secara tidak langsung kerajaan tersebut telah runtuh sekalipun rajanya masih bertahan. Hal tersebut dikarenakan wilayah-wilayah pinggiran tidak memiliki cukup kapabilitas untuk mendukung dan menjadi pusat kerajaan baru.

Kota pelabuhan Aceh abad XVIII (atas) dan Makassar abad XVII (kanan). Bukti kejayaan maritim Nusantara. Sumber : Indonesian Heritage Early Modern History. Archipelago Press

42

DEKONSTRUKSI PARADIGMADikotomi konsentris pada masa Majapahit dan Mataram hampir mirip, yakni pemisahan Jawa sebagai pusat dan luar Jawa sebagai Negeri seberang. Jika pada jaman Majapahit Jawa Timur menjadi pusatnya, maka pada masa Mataram jawa tengah menjadi pusatnya. Sehingga muncul sebutan Nusa Jawa dan Nusantara. Kota pesisir juga menganut dikotomi yang sama, Jawa dan Buitenbezittingen (milik luar) dalam perkembangannya diganti dengan sebutan Buitengewesten (distrik luar). Kalau kita kembali pada konsep konsentrisitas, nyata jelas bahwa skala Majapahit jauh lebih besar dan lebih luas daripada lingkaran Mataram. Sejak masa Majapahit ini konsep Nusantara mulai dikenal, yang dalam makna aslinya berarti pulau-pulau (nusa) yang lain (antara) daripada Pulau Jawa. Adapun Nusantara ini dibagi menjadi empat, menurut Nagarakertagama, yakni tanah malayu, Pulau tanjungpura, Sakahawan Pahang, dan negeri-negeri di sebelah timur Pulau Jawa (Sawetan ikanang tanah jawa). Yang menarik perhatian sekarang adalah kenyataan bahwa Hindia-Belanda yang juga berpusat di pesisir Jawa (walaupun di sebelah barat) dan juga berambisi menguasai nusantara. Pada abad ke-20 istilah nusantara mulai bergeser maknanya, bukan lagi nusa yang berada di luar Jawa, melainkan keseluruhan kepulauan termasuk Pulau Jawa. Pada masa pergerakan dan masa pasca kolonialpun istilah nusantara dipakai dengan makna yang sama keseluruhan pulau termasuk Pulau Jawa. Di sisi lain warisan gagasan konsentris, yaitu dikotomi Jawa dengan negeri seberang masih berlanjut bahkan di lestarikan di masa pasca kolonial hingga di iklim kemerdekaan saat ini, dimana makin jauh dari pusat makin pudar perhatian para pejabat pemerintahan.

43

DEKONSTRUKSI PARADIGMA

Konsep kosmologis alam semesta yang termanifestasi dalam hubungan hulu hilir, antara gunung, daratan, dan lautan. Sumber : penulis

Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945 dengan Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsipnya yang mengusung Wawasan nusantara dalam konsepnya. Dalam konsep ini setiap jengkal wilayah Republik Indonesia sma penting, sehingga secara teoritis pertentangan pusat dan periferi tidak perlu terjadi. Ada kecenderungan warisan kerajaan konsentris masih dipertahankan bahkan diperbaharui dengan konsep sentralisasi pembangunan. Konsep wawasan nusantara bangsa ini hendaknya mengakomodasi prinsip-prinsip negara kepulauan, termasuk di dalamnya konsep wawasan bahari yang merupakan elemen terbesar sebagai penghubung antar nusa (pulau). Hal inilah yang dilupakan oleh kerajaan-kerajaan konsentris yang hanya berorientasi ke pusat daripada daerah pesisir. Istilah tanah air sebenarnya merupakan konsep satu kesatuan antara elemen darat dan laut, bisa juga dimanifestasikan sebagai kesatuan elemen pusat dan perifer. Dalam konsep negara kepulauan dapat dianalogikan sebagai wilayah darat (mainland) dan wilayah lautnya (seascape) dengan daerah pesisir sebagai penghubungnya. Dalam kebudayaan bahari kerajaan-kerajaan di indonesia konsep tanah air sudah sangat mengakar, bahkan di Melanesia dalam skala yang lebih luas. Sebagai contoh masyarakat TanebarEvav mmengenal konsep lor haratut (yang mengandung unsur laut maupun darat). Pada masyarakat tanna di Vanuatu lambang pohon beringin dan kano (niko) dipakai sebgai identitas masyarakat. Pohon melambangkan stabilitas yang mengakar pada satu tempat, sedangkan kano menggambarkan mobilitas masyarakat dengan jalur-jalur pelayaran tertentu.

44

DEKONSTRUKSI PARADIGMABenua Maritim Deklarasi Juanda yang Disia-siakan 13 Desember 1957 dicetuskan Deklarasi Djoeanda yang menyatakan bahwa keberadaan negara kepulauan Indonesia dengan wilayah laut dan teritorial berada dalam satu konsep wawasan nusantara. Konsep ini mengintegrasikan kesatuan wilayah daratan berupa pulau-pulau yang dihubungkan oleh wilayah laut sebagai satu kesatuan utuh yaang tidak dapat dipisahkan. Konsep wawasan Nusantara mengklaim bahwa di dalam wilayah perairan kepulauan Indonesia tidak terdapat laut internasional. Dengan kata lain bahwa kedaulatan laut Indonesia meliputi wilayah laut disekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia. Pengakuan konsep ini di dunia internasional berjalan cukup alot, terutama tantangan dari sejumlah negara maju termasuk Amerika dan Australia. Akhirnya wawasan nusantara dapat diterima secara internasional dengan diakuinya prinsip-prinsiop negara kepulauan (Archipelagic State) dalam hukum laut Internasional (UNCLOS 1982). Wacana kesatuan wilayah laut dan daratan berupa pulau-pulau beserta sistern ipoleksosbudhankarn (ideologi, politik, sosial, budaya,. pertahanan dan keamanan) sebenarnya sudah tercetus sejak lama yaitu pada tahun 1957 dalarn Deklarasi Djoeanda. Konsep pengintegrasian wilayah laut dan daratan ini mengklairn bahwa tidak terdapat laut internasional dalarn wilayah perairan kepulauan Indonesia. Upaya pengakuan konsep ini dalarn skala internasional melalui suatu perjuangan yang berat dalarn berbagai perundingan yang berakhir dengan diakuinya prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) dalarn Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Namun, keberhasilan perjuangan ini sampai sekarang belurn begitu diimbangi dengan. keseriusan dalarn hal mengembangkan substansi, sistem, infrastruktur dan penegakan hukum laut dalarn bingkai kedaulatan di darat, laut dan udara. Demikian pula halnya dengan kebijakan pembangunan belum diorientasikan secara menyeluruh dalam satu sistern kesatuan daratan dan lautan. Suatu langkah yang sangat tepat baru dapat dirasakan sejak 1996 dengan dicanangkannya Tahun Bahari serta berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, dimana konsep negara kepulauan dikembangkan menjadi konsep paradigma benua maritim. Pada Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia yang diselenggarakan di Makassar pada tahun 1996 pemerintah mengajak bangsa Indonesia untuk kembali ke laut. Sejarah pernah mencatat jaman keemasan bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, namun dalarn perjalanannya telah kehilangan jiwa kemaritimannya karena proses pasang surut peradaban serta orientasi pengelolaan negara yang meninggalkanlatanan sistern negara bahari.

45

DEKONSTRUKSI PARADIGMAParadigma tersebut dikumandangkan antara lain oleh, the Habibie Center, Departemen Parikanan dan Kelautan dan Dewan Maritim Indonesia. Intinya wilayah negara kepulauan (nusantara), dipandang sebagai satu benua, karena semula, berjuta tahun silam sebelum es dunia mencair menjadi laut, memang merupakan satu benua yang tidak terpisah-pisah. Secara sederhana sebenarnya benua maritim merupakan manifestasi dari konsepsi Tanah dan Air yang menyatu dalam tanah air. Benua diidentikasikan sebagai daratan sedangkan maritim sebagai laut dan perairan yang ada. Benua Maritim Indonesia didenisikan sebagai satu kesatuan alamiah darat, laut dan dirgantara diatasnya dengan karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca , keadaan airnya (oceanogra), tatanan kerak bumi, keragarnan biota serta tatanan sosial budaya yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu berkaitan dengan perencanaan tata ruang nasional diperlukan suatu konsep pengembangan jejaring (network) sebagai pengganti konsep pengembangan hirarki yang selama ini digunakan. Kita tidak perlu malu belajar dari kejayaan masa lampau dirnana nenek moyang kita yang pelaut memanfaatkan laut sebagai suatu infrastruktur perekat antar pulau dalarn melakukan interaksi. Selama masa pemerintahan orde baru dalam kurun waktu 32 tahun konsepsi pembangunan nasional bersifat sentralistik dengan menganut sistem konsentris dan node. Dalam hal ini pembangunan dilaksanakan dengan membagi wilayah menjadi beberapa node (pusat pertumbuhan). Sebagai contoh, Medan, Jakarta, Surabaya dan Ujung pandang. Dalam perkembangannya pusat-pusat pembangunan itu tumbuh menjadi wilayah metropolitan yang diidentikasikan sebagai satuan wilayah perkotaan yang terdiri dari satu atau lebih kota induk (metro=mater=induk) beserta kota satelit di sekitarnya, yang saling berhubungan membentuk satu kesatuan sosial, ekonomi, dan ekologi perkotaan. Contoh wilayah metropolitan adalah Jabodetabek, yaitu DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kemudian kawasan perkotaan Surabaya Raya yang dikenal dengan sebutan Gerbangkertosusilo, yang meliputi daerah-daerah Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan. Ironis sekali sampai saat ini substansi, sistem, infrastruktur dan penegakan hukum laut kita belum berkembang sebagaimana mestinya, yang seharusnya menjadi payung hukum yang memadukan kedaulatan di darat, laut dan udara. Begitu juga kebijakan dan program pembangunan belum berorientasi secara menyeluruh di laut dan darat. Cukup memprihatinkan juga selama ini kita melupakan eksistensi laut sebagai potensi besar bangsa ini, para pelayar dan nelayan asing banyak menguasai bisnis perairan kita, bahkan beberapa pulau-pulau kecil kita dijual kepada para investor asing sebgai kepemilikan swasta. Bisa jadi hal tersebut diakibatkan kebijakan yang rumit dan birokrasi yang tidak esien serta merebaknya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Kita tentunya tidak mau dicap sebagai bangsa yang tidak menghargai perjuangan para pendahulu kita. Bagaimana pendahulu kita berjuang dengan keras untuk mendapatkan pengakuan internasional dalam lingkup wilayah kepulaun kita. Sementara itu kita sebagai generasi penerus justru menyia-nyiakan potensi

46

DEKONSTRUKSI PARADIGMAlaut dan kepulauan kita. Tidak ada waktu untuk menyesal atau menyalahkan pihak-pihak lain sudah saatnya kita berbenah dan membangun kembali konsepsi dan implementasi pembangunan wilayah kepulauan. setempat dengan memperhatikan keberagaman dan kompleksitas ekosistemnya untuk menggantikan cara pandang yang sentralistik dan seragam yang selama ini banyak dilakukan.

Gugus keragaman ora, fauna dan budaya Indonesia. Sumber : penulis

47

FRONTIER SPACE DESIGN

FRONTIER SPACE DESIGNThe Philosophy of Simbiosis Pintu masuk menuju tata ruang negara kepulauanSimbiosis, seperti yang dijabarkan oleh Kisho Kurokawa, adalah sebuah cara (baru) dalam menginterpretasikan budaya masa kini. Sebuah loso yang namanya diambil dari konsep ekologi dan biologi ini, mengemukakan gagasan-gagasan yang dikembangkan dari loso budaya dan tradisi Jepang yang masih tetap relevan dalam menyikapi kompleksitas kekinian. Filoso simbiosis bisa berfungsi ganda sebagai alat bedah-telaah sekaligus alat pecah masalah. Simbiosis berati perpaduan, mediasi, kerjasama, keselarasan. Setiap entitas dihormati dan dihargai eksistensinya baik dalam nilai fungsionalnya maupun nilai kebudayaannya. Tiap entitas tersebut diajak untuk berbaur dalam sebuah kebersamaan untuk menghasilkan hidup yang lebih baik tanpa harus kehilangan kepribadian (orisinalitas) dalam kebersamaan itu sendiri. Hal ini barangkali akan lebih mudah dipahami jika terbersit sedikit saja kesadaran, bahwa alam semesta tercipta dari sebuah jejaring keterhubungan sebab-akibat yang terangkai dalam sebuah sistem adi-kodrati, dan kita adalah salah satu bagian dari jejaring tersebut. Sehingga tidaklah perlu lagi mempertentangkan baik-buruk, benar-salah, luar-dalam, dan seterusnya, tetapi lebih kepada usaha penyadaran akan posisi dan peran masing-masing dalam mendukung keberlangsungan hidup bersama ini. Rentang jangkauan pemikiran loso simbiosis sangatlah luas dan menyeluruh, mulai dari manusia secara personal sampai dengan umat manusia secara global, mulai dari ruang-ruang dalam rumah sampai dengan ruang alam semesta. Untuk itu akan disarikan beberapa butir pemikiran berikut relevansi terhadap kondisi di Indonesia yang mendasari solusi dari permasalahan yang diangkat dalam buku ini. Simbiosis Kebudayaan Sebuah ide pembebasan dari segala macam dikotomi, ketunggalmaknaan, dan keseragaman budaya yang dibawa oleh dunia barat dalam arus besar modernisme. Penolakan terhadap universalisme dan internasionalisme yang mengacu kepada superioritas dunia barat tidaklah muncul dari semangat tradisionalime yang kolot ataupun rasialisme, tetapi tumbuh dari suatu keyakinan yang besar bahwa dalam era ke depan akan tiba waktunya ketika setiap wilayah di belahan dunia ini akan mengkaji ulang tradisi mereka sendiri dalam tataran internasional. Setiap wilayah akan mengkonfrontasikan nilai-nilai dan standar dari wilayah lain, dan ketika terjadi pembauran, masing-masing akan tetap menyiratkan budaya aslinya sehingga menjadi beragam lebih daripada internasionalisme yang seragam. Proses ini disebut oleh Kisho Kurokawa sebagai interculturalism.

50

FRONTIER SPACE DESIGNInterculturalism yang disuarakan oleh Kisho Kurokawa laksana genta pembangkit yang seharusnya bisa membangunkan dari tidur lupa yang cukup panjang hingga saat ini, ketika kita kembali dibawa kepada sebuah kesadaran bahwa kita justru sudah lama menyandang semangat seperti ini dalam istilah khas nusantara ialah Bhinneka Tunggal Ika yang dicanangkan oleh Mpu Tantular. Bhinneka Tunggal Ika mewakili sebuah kesadaran rasional-spiritual yang mampu dijadikan alat strategis dalam melihat potensi wilayah nusantara dan merencanakan pembangunan untuk kehidupan yang lebih baik. Sudah waktunya melihat kembali kekayaan budaya bangsa yang sedemikian majemuk ini sebagai sebuah bekal yang sedemikian besar dalam pembangunan. Kerjasama antar budaya dalam gugus nusantara akan menghasilkan sistem sosial, ekonomi, rekayasa yang kaya, khas dan kontekstual. Tidak ada lagi dikotomi jawa-non jawa, pusat-daerah, mayoritas-minoritas, dan seterusnya. Sepadu suara dengan Interculturalism yang lebih bernuansa global tersebut, hendaknya Bhinneka Tunggal Ika dari dan untuk bangsa kita sendiri mulai kita galakkan lagi sebagai loso kebanggaan kita untuk bedah telaah dan pecah masalah nusantara, baik internal maupun eksternal. Simbiosis Pada Berbagai Level Keruangan Arsitektur barat dibuat untuk menaklukan alam. Mutlaknya dinding yang memisahkan eksterior dan interior cukuplah kuat sebagai alasan. Sementara keruangan Jepang mengusahakan harmoni alam dengan arsitektur. Membuat mereka bersatu, melingkupi arsitektur dengan alam dan mendudukannya dalam posisi yang setara. Cita rasa keruangan Jepang adalah interpenetrasi dalam-luar, simbiosis dengan alam semesta, dimana rumah dan taman adalah satu. Kebalikannya, dalam cita rasa barat dikenal adanya jendela. Jendela sebagai sebuah bingkai terhadap alam, dimana alam adalah sebagai lukisan di dalam bingkai tersebut. Alam terlihat sebagai sesuatu di luar sana. Konsep Kisho Kurokawa dalam mengusahakan intermediasi ruang atau elemen berkaitan dengan ide mengenalkan kembali sebuah ruang yang memungkinkan komunikasi semacam ini diantara manusia, tidak terhalang oleh pemisahan dualistik antara dalam-luar, sebuah ruangan yang bebas dari pemisahan dinding. Dan penyelesaiannya tidak harus berupa wujud sik. Keselarasan dengan alam pula yang mendasari penciptaan arsitektur Nusantara kita. Bukan dinding, atau sekat yang pertama ada, tetapi atap atau naungan. Dimana manusia bisa terhindar dari terik matahari dan hujan. Hal ini ditegaskan oleh Josef Prijotomo, bangunan pertama adalah sebuah naungan, dan sebuah naungan adalah sebuah gubahan yang mengutamakan dan memutlakkan adanya penaung, adanya atap. Konsekuensi logis dari perlunya atap yang membentang di atas kepala adalah perlunya tiang-tiang penopang atap. (Josef Prijotomo 2008 : 91), lebih lanjut lagi dikemukakan, dinding sama sekali tidak diperlukan, apalagi sekat-sekat yang membentuk bilik-bilik (Josef Prjotomo 2008 : 91).

51

FRONTIER SPACE DESIGNDemikianlah semula manusia Nusantara ini menyikapi alam dan menjawab kebutuhan meruangnya. Alam bukanlah untuk ditaklukkan tetapi komunikasi yang baik dengan alam lebih dirasakan dorongannya. Sehingga cukuplah kiranya pernaungan ini sebagai wujud bukti budi manusia selaku makhluk yang tinggi lebih dari hewani, tetapi tetap sadar akan perannya sebagai bagian dari semesta. Intermediasi antar berbagai elemen dan ruang juga berlaku pada skala keruangan yang lebih luas. Ketika mempelajari konsep ruang jalan di Jepang, Kisho menyadari bahwa zona atau elemen intermediasi tidak harus berwujud sik. Dijumpainya zona yang setengah publik, zona yang samar. Sebuah ruang yang sungguh bermakna dalam caranya melampaui makna keruangan pada ruang publik di barat. Perkotaan di barat ditata dengan square atau plasa di tengahnya, dengan jalan-jalan yang terpencar disekelilingnya. Seiring perkembangan kepadatan kota, square atau plasa yang lain muncul, dan hamparan keruangan kota yang terjadi lebih bernuansa spasial dan sculptural. Kontras dengan ruang jalan di Jepang yang tidak hanya berfungsi sebatas rute transportasi semata, namun merupakan bagian dari hidup keseharian dan berperan sebagai ruang komunikasi. Ruang-ruang jalan di Jepang sekaligus mempunyai makna ambigu yang muncul dari peran gandanya. Merupakan ruang publik sekaligus ruang privat, ruang kota dan perumahan sekaligus. Ruang-ruang jalan tidak mempunyai awal dan akhir yang jelas, mempunyai kemajemukan yang merespon beragam ruang dan waktu. Dalam satu waktu berfungsi sebagai ruang privat dan di lain waktu berfungsi sebagai ruang publik. Demikian ruang-ruang jalan di timur mempunyai kompleksitas yang beragam, saling tumpang tindih, dan mempunyai keluasan makna. Pola keruangan jalan yang bukan hanya berfungsi sebagai rute transportasi semata, juga merupakan jiwa keruangan kota di Indonesia. Jalan tidaklah semata-mata menampung arus lalu lintas melainkan juga merupakan ruang terbuka untuk kontak sosial, wadah kegiatan upacara, rekreasi, dan bahkan untuk aktivitas perdagangan di udara terbuka. Sementara perkembangan penataan kota sekarang lebih berkiblat ke barat yang rasional-meterialis daripada spiritual-komunal, dan ruang hanya dijiwai dalam penampakan sik dan orientasi laba belaka. Sehingga yang terjadi adalah penataan ruang yang harus indah penampilannya dan komersil, tanpa memperhatikan sinergi jejaring kehidupan seluruh komponen kota dengan lebih bijaksana. Alhasil ketimpangan sosial, kriminalitas, perubahan nilai-nilai sosial merebak dimana-mana. Ada baiknya kembali menggunakan kearifan peri kehidupan pendahulu yang memang terwaris kepada kita dan hendaknya kita kembangkan sesuai dengan tuntutan dan keahlian kita saat ini. Dalam kerangka wilayah sebuah negara, loso simbiosis menawarkan keseimbangan sinergi sentralisasi dan desentralisasi. Setiap wilayah hendaknya memegang peran masing-masing dengan kekhasan karakternya secara merdeka dalam sebuah atmosfer timbal balik yang simultan antara daerah dengan pusat. Lebih lanjut diungkapkan oleh Kisho, bahwa hubungan daerah-pusat dengan desentralisasi mutlak

52

FRONTIER SPACE DESIGN

Arsitektur tradisional khas Nusantara, bukan pelingkup tetapi pernaungan. Sumber : google image

Rumah panggung, hidup bersama dengan alam tanpa merusaknya, sekaligus menunjukkan derajat manusia yang mengatasi alam. Sumber : google image

53

FRONTIER SPACE DESIGNtidaklah cukup, karena mempunyai beberapa kekurangan. Pertama, membuang banyak investasi terutama untuk pekerjaan dan fasilitas umum. Kedua, desentralisasi penuh akan menghambat perpindahan atau pergerakan masyarakat antar wilayah. Ketiga, dalam konteks ekonomi, kota kecil tidak cukup kuat jika harus bersaing dengan kota yang besar. Untuk mengatasi hal ini, sinergi dan keseimbangan dari sentralisasi dan desentralisasi diwujudkan dalam sebuah sistem kebijakan pengembangan wilayah yang baru, yaitu jejaring kota (city network). Tiap kota akan dihubungkan dengan jejaring transportasi dan informasi. Dengan demikian masyarakat informasi akan menggantikan masyarakat industri, sementara setiap kota dalam jejaring ini tetap bisa menjaga identitas masing-masing dan melaksanakan pembangunannya berdasar identitas tersebut. Indonesia telah memasuki era otonomi daerah yang kurang lebih senafas dengan ide desentralisasi yang terpapar di atas. Tetapi memang banyak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaannya. Terutama adanya ego sektoral dan ego wilayah. Dengan adanya otonomi daerah, tiap wilayah merasa mempunyai wewenang penuh dalam menyelenggarakan pemerintahan di wilayahnya masing-masing, sehingga sering terjadi ketimpangan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah secara komprehensif. Di samping itu komunikasi antar daerah yang sebenarnya sangat potesial untuk mengembangkan jejaring kerjasama yang bisa saling menguatkan kurang terjalin. Selain itu, dalam skala pusat juga terjadi ketimpangan yang sama. Kebijakan pembangunan selama ini kurang melihat bahwa wilayah darat dan laut merupakan aset yang sama kuat dan berharganya untuk dikembangkan secara komprehensif dan sinergis, tetapi justru kebijakan pembangunan nasional lebih ditekankan pada pembangunan wilayah darat saja. Padahal prosentase terbesar wilayah Nusantara adalah perairan. Lebih lanjut, perlulah kiranya belajar dari strategi pengembangan wilayah yang ditawarkan dalam loso simbiosis ini unutk me-review apa yang sudah terlaksana di negeri kita sendiri. Dari Simbiosis Menuju Tata Ruang Negara Kepulauan Filoso simbiosis ternyata mampu menunjukkan beberapa kesejatian yang kita miliki, mulai dari budaya sampai dengan kebijakan pembangunan nasional kita. Setidaknya ini merupakan sebuah reeksi kecil terhadap serangkaian perjalanan yang sudah dilewati negeri ini. Tetapi dalam proses pembangunan yang terus berjalan ini, menemukan dan melihat saja tidaklah cukup. Penemuan dan penglihatan itu hendaknya dikembangkan bersama dalam pemikiran dan tindakan yang lebih aktual dalam setiap gerak pembangunan demi kehidupan Nusantara yang lebih baik. Paradigma pembangunan yang selama ini lebih dominan berbasis daratan (kontinental) akan diarahkan untuk bisa melihat potensi dan kebutuhan tiap daerah secara berimbang. Tidak ada lagi dikotomi darat-air,

54

FRONTIER SPACE DESIGN

Alternatif penataan ruang temu batas darat - laut Sumber : Google Image

Contoh Potongan sinergi pertemuan ruang batas darat - laut Sumber : Google Image

55

FRONTIER SPACE DESIGNyang ada adalah sinergi dari keduanya. Sebuah skenario pembangunan yang saling berhubungan dalam sebuah jejaring antar kawasan, antar wilayah, antar pulau, dan akhirnya antar negara akan coba digagas dalam beberapa konsep penataan berikut implementasinya. Dalam skala bangunan dan pengembangan kawasan, darat-laut akan dipertemukan dalam sebuah penataan ruang temu batas darat-laut (oceanic frontier design). Kawasan tepi laut tidak lagi dilihat sebagai daerah belakang yang hanya berfungsi sebagai penunjang transportasi dan distribusi belaka, tetapi justru dikembangkan sebagai gerbang pembuka bagi kawasan lain yang ada di daratan. Pembauran penataan darat-laut berupa koridor penghubung, titik-titik aktivitas, dan kelompok-kelompok massa bangunan generator utama kawasan maupun penunjang di sepanjang tepian laut adalah mutlak. Mengingat laut sekaligus adalah muara bagi sungai-sungai yang mengalir dari hulu, maka aktivitas sik keruangan yang terjadi di sepanjang sungai tentunya akan berpengaruh juga terhadap wilayah tepi laut. Terutama dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sebuah keseimbangan penataan hulu-hilir (upstream downstream), dimana terjadi komunikasi antara daerah hulu dan hilir sehingga akan menghasilkan penataan keruangan yang komprehensif dan sesuai dengan fungsi peran masing-masing.

Peleburan dikotomi dart-laut; bring water into land and bring land into water. Sumber : Buku Jepang

Alternatif penyelesaian desain untuk ruang sinergi darat-laut Sumber : Buku Jepang

56

FRONTIER SPACE DESIGNSetelah area temu batas darat-laut dan area hulu-hilir dikembangkan, maka dibuatlah jejaring transportasi dan informasi antar daerah yang memungkinkan terjadinya kerja sama berdasarkan potensi masingmasing. Jejaring tersebut menghubungkan satu daerah dengan daerah yang lain dalam satu pulau (intra space) maupun menghubungkan daerah-daerah dalam satu pulau dengan daerah-daerah di pulau lain (inter space). Jejaring antar daerah dan antar pulau yang sudah terorganisir dengan baik, tentunya merupakan kekuatan yang luar biasa besar bagi wilayah nusantara yang berupa negara kepulauan, baik itu ekonomi, kedaulatan wilayah, dan bidang yang lainnya. Ini berarti kita semakin solid dan siap untuk menghadapi tantangan global memasuki kancah hubungan internasional. Untuk itu hendaknya dikembangkan suatu jejaring yang menghubungkan wilayah nusantara dengan negara-negara lain melalui titik-titik strategisnya (transboundary network). Kesatuan ekosistem darat-laut harus pula diperhatikan dalam menata ruang kepulauan nusantara. Kawasan lindung dan budidaya ditata secara simbiotik- dinamis dalam sebuah jejaring antar wilayah (ecoscape network).

Perpaduan harmonis pemanfaatan ruang darat-laut dalam penciptaan pusat akitivitas tepian air Sumber : google image

57

FRONTIER SPACE DESIGNSIMBIOSIS KOTA PADA RUANG PUBLIK TEPIAN AIR Sejarah keruangan kota-kota pesisir Indonesia pada mulanya direncanakan sebagai kota tepian air. Namun, pada era modern percepatan pertumbuhan kota didominasi oleh kota-kota di daratan dan kota tepian air menjadi limpahan masalah-masalah yang diakibatkan oleh kota yang lebih besar, terutama permasalahan lingkungan, sosio-ekonomi, dan lebih khusus lagi drainase kawasan dan infrastruktur transportasi. Kota-kota tepian air telah mengalami perubahan pola struktural kota yang signikan. Mengingat kembali akan bahaya dari bencana lingkungan di kawasan perkotaan, juga melihat kepentingan globalisasi ekonom sebagai sebuah alat kompetisi, dan pentingnya kelahiran kembali kota-kota tepian air, maka perlu adanya kebijakan kota yang mengarah kembali kepada pertumbuhan kota-kota di area tepian air.

Atas: Kota tepian air dalam sejarah nusantara. Bawah: Kota tepian air di Indonesia yang hampir punah oleh modernisasi dan pembangunan dewasa ini. Sumber : Google Image

58

FRONTIER SPACE DESIGNDari Kota Perairan ke Kota Daratan ? Mencermati morphologi kota pada jaman dahulu, dimana berada pada area tepian air, elemen yang paling khas adalah hutan mangrove dan daerah berpaya-paya, dan jejaring kanal dan sungai. Selain itu naluri masyarakat kota perairan juga sangat kuat. Ini membangkitkan simbiosis kota dalam bentuk komunitas perairan. Pada generasi berikutnya, perubahan bentuk kota-kota tepian air dari kota perairan ke kota daratan tempaknya lengkap sudah. Masyarakat kota berpindah, pasar-pasar ditinggalkan dan lingkungan berubah. Perubahan tersebut terjadi sejak jalan-jalan mulai dibangun dan sejak terjadi banjir besar yang sering tak terduga. Perubahan lingkungan menjadi kota daratan dari kota perairan di Indonesia sepertinya menjadi tantangan untuk berpikir bagaimana menciptakan sebuah lingkungan yang tetap mempertahankan kedalaman nilai-nilai dalam rangka keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Selanjutnya adalah pembangunan tepian air sebagai bagian dari skenario kota masa depan yang berkelanjutan. (Indonesia adalah negara kepulauan, benua maritim, dan kota-kota tepian air sudah pasti menjadi jantungnya).

Kota tepian air di Indonesia. Sumber : Penulis

59

FRONTIER SPACE DESIGNRuang Koridor Perairan Ada dua macam asal mula bentuk kota tepian air, kota lama di tepian air dan kota yang lebih baru di daratan dimana keduanya menggunakan ruang perairan sebagai urat nadi kota. Peran area tepian air seperti danau, sungai, dan laut erat berhubungan dengan beberapa aspek termasuk sik, lingkungan, manajemen, dan politik. Ruang kota perairan menjalankan beberapa fungsi bagi kehidupan kota. Memasok air dalam jumlah besar bagi kebutuhan hidup sehari-hari, menjadi tempat pembuangan air limbah, gerbang kota, ruang terbuka dan area aktivitas, dan penyeimbang ekologi lingkungan kota. Permukiman kota secara garis besar memanjang di tepian jalur air perlahan berpindah dan diperluas di tanah sekelilingnya. Ini menyebabkan interaksi darat-air yang semakin besar. Area multifungsi dari koridor perairan melayani berbagai macam aktivitas untuk kelompok masyarakat yang berbeda-beda pula yang beresiko terhadap konik antara budaya darat-air dimana perlu sebuah langkah untuk menegosiasikan simbiosis dan unttuk mengenalkan kembali harmoni ekosistem kota. Ini adalah arah baru bagi dunia perancangan dan perencanaan kota di Indonesia dan juga merupakan tantangan baru bagi konik antara perspektif darat dan air dalam lingkungan yang tengah berubah ini. Diharapkan bahwa skenario baru tersebut bisa menghasilkan lingkungan kota yang lebih bersenyawa dan berkelanjutan.

Koridor perairan sebagai area multifungsi kota, atas: transportasi dan sanitasi, bawah: area terbuka kota Sumber: Penulis

Contoh penataan waterfront dengan view tak terhalang ke area perairan Sumber: Google Image

60

FRONTIER SPACE DESIGNUsulan Skenario untuk Perencanaan Hunian Perairan Dalam konteks lingkungan huni di Indonesia, hubungan antara manusia dan lingkungan sangatlah intim dan menguntungkan bagi manusia. Oleh karena itu, alam bukan untuk dikuasai, dan manusia ada untuk bersimbiosis dengan alam. konteks simbiosis dengan ruang publik perairan pada kawasan perkotaan termasuk ruang hidup, ruang kerja, tempat hidup sosial dan budaya. Pengaruh global dan tekanan daratan menujukkan perubahan adaptasi lingkungan. Lalu apa yang masih bertahan? Ini adalah tantangan untuk berpikir ulang bagaimana kita dapat membuat sebuah tepi batas darat-laut pada lingkungan huni perairan dengan tetap menjaga semangat dan memperbaiki pandangan dalam kerangka simbiosis dengan lingkungan huni daratan. Konsep perancangan ruang publik kota tepian air terdiri dari tiga wilayah perencanaan, yaitu : perencanaan waterscape, pengembangan area tepian air termasuk di dalamnya akses menuju air,area transisional, dan aktivitas tepian air.

Penataan waterfront area dengan pemanfaatan tambahan berupa panggung hiburan Sumber: Google Image

61

FRONTIER SPACE DESIGNCakrawala Masa Depan Perancangan Kawasan Dalam Konteks Kepulauan Tantangan bagi perancangan kota di Indonesia terletak pada pemecahan konik antara lingkungan huni perairan dan daratan dalam konteks negara kepulauan dan benua maritim. Dan hendaklah kita mengambil pesan yang dapat diambil dari jaman kejayaan kota-kota perairan Indonesia, lebih memahami dan mengerti, sehingga dapat diterapkan bagi kondisi kita sekarang dan yang akan datang. Pelajaranpelajaran tersebut janganlah dipandang sebagai perselisihan dengan kebijakan kota saat ini, tetapi justru merupakan pelengkap dan diterima sebagai masukan yang baik bagi perancangan kota Indonesia masa depan.

Penataan kawasan hunian yang menggunakan unsur air sebagai penghubung dan area terbuka Sumber: Penulis

62

FRONTIER SPACE DESIGN

Penataan waterfront area dengan pemanfaatan penataan area pelabuhan Saint Loius tambahan berupa panggung hiburan Sumber: Penulis

63

FRONTIER SPACE DESIGNECOPOLITAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BORNEO: SIMBIOSIS AMPHIBIUS KAWASAN TEPIAN AIR Asal mula kota-kota tepian sungai Borneo tumbuh dan ditumbuh-kembangkan oleh hubungan simbiosis antara sumber daya perairan sungai dengan budaya huni sungai yang harmonis. Namun, metropolis daratan yang tumbuh demikian cepat yang kemudian diikuti oleh kota-kota kecil lainnnya mengakibatkan hilangnya karakter kota sungai. Pengaruh dari fenomena ini menyebabkan hilangnya budaya huni perairan dan terdegradasinya lingkungan perairan Borneo. Kebijakan perencanaan masih mengutamakan pengembangan berbasis daratan dengan visi perencanaan jangka pendek dalam rangka memenuhi kebutuhan sesaat dan tujuan jangka pendek untuk meningkatkan tingkat gaya hidup komsumerisme. Konsep Kota Amphibi : Keberlanjutan Budaya Masyarakat Borneo hidup berdampingan harmonis dengan lingkungan sungai dimana hal ini nampak dari permukiman dan kotanya yang terhampar sepanjang kota dan kanal. Banjarmasin, sebagai contoh, adalah sebuah kota sungai yang terbelah oleh kanal-kanal layaknya Venicia Dari Timur. Masayarakat hidup dalam rumah amphibi di atas geladak atau mengambang. Budaya huni yang bersumber pada budaya perairan tersebut memunculkan budaya yang unik dimana mereka dapat hidup baik di darat maupun di air. Sungai-sungai disana mempunyai beberapa fungsi untuk perkotaan. Sebagai pasokan air bersih untuk kehidupan sehari-hari, sumber air untuk pertanian dan industri, pembuangan limbah kota, gerbang kawasan, ruang terbuka publik untuk fungsi rekreatif. Namun, sistem budaya huni tepian air in telah berubah dan sistem perairan sungai digunakan untuk menguasai tanah asli melalui sistem hirarkis koridor sungai dan menjadikan bentuk kota perairan yang lebih baik dari pada masa lampau. Teknologi yang bersumber dari budaya darat digunakan untu menggandakan sistem kota tepian sungai melalui jejaring jalan dan penggunaan lahan-lahan pertanian untuk pembangunan real estate dan industri. Oleh karena itu, perlu diformulasikan pertanyaan hubungan antara kota dan air sebagai faktor utama bgai penciptaan model kota yang baik berdasarkan gaya hidup asli mereka dan menyiapkan hipotesis untuk mengenali kota sebagai elemen lingkungan pokok dalam gaya hidup kota modern dalam hal tata guna, infrastruktur, dan resiko banjir berikut sistem pencegahannya.

64

FRONTIER SPACE DESIGN

Daerah Aliran Sungai di Borneo Sumber: Penulis

Hubungan antara sungai dan kota Sumber: Penulis

Alternatif model perumahan terapung Sumber: Penulis

65

FRONTIER SPACE DESIGNPengelolaan Zona Aliran Sungai Dalam konteks kepulauan, air dikenal sebagai elemen lingkungan yang pokok dalam pengelolaan sumber daya air dan sistem bencana yang diakibatkan oleh air. Dalam model kosmologis, air disimbolkan sebagai unsur kehidupan yang dari gungung dan lautan, sebagai keseluruhan lingkungan dalam skala makrokosmos. Sebagian besar kota kerajaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok mempunyai karakter huluhilir ini untuk melambangkan totalitas kehidupan di dunia. Negara kepulauan Indonesia terdiri atas gununggunung dan lautan. Oleh karena itu, hubungan peradaban darat dan air memegang peranan penting dalam usaha simbiosis diantara sistem kehidupan kepulauan. Sebagai area interaksi darat-air, daerah aliran sungai adalah area yang khas berdasarkan eco-sociosystem, antara lain: zona multifungsi dimana mempunyai keberagaman biota yang tinggi dan area akses yang terbuka, habitat dan tempat pembiakan bagi spesies yang hampir punah, tempat pertumbuhan bagi organisme sungai, dan tempat aliran pembuangan bagi daratan. Ada juga beberapa fungsi daerah aliran sungai untuk budaya huni kota, antara lain: penyedia sumber lingkungan alami bagi kehidupan kota, fungsi rekreasi, sumber daya alam, dan tangkapan limbah dan fungsi absorbsi. Dalam konteks pengelolaan daerah aliran sungai, faktanya adalah bahwa masalah yang tampak pada daerah aliran sungai adalah yang terutama disebabkan oleh faktor eksternal, antara lain yang datang dari aktivitas kehidupan kota di darat yang terbawa melalui aliran sungai, yang secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi daerah aliran sungai. Untuk menanggulangi atau setidaknya mengurangi masalah tersebut, pengelolaan zona aliran sungai yang terintegrasi dengan daerah aliran sungai sangatlah penting untuk memperoleh pengelolaan daerah aliran sungai yang berkelanjutan. Ecopolitan Daerah Aliran Sungai Model dasar dari ecopolitan daerah aliran sungai Borneo yang dipresentasikan disini bukanlah tentang menggabungkan lingkungan perairan dan budaya huninya secara dangkal seperti program konservasi yang nasional dimana selalu menyulut konik kepada prioritas agenda pembangunan berbasis daratan. Tidak juga tentang mengulang nostalgia gaya hidup perairan tempo dulu sebagai sebauh aset pariwisata. Tetapi ini lebih tentang mendenisikan secara esien dan merangkai berbagai macam hubungan antara aktivitas darat dan air dan mengenalkan kembali sistem ekologis yang mengalir harmonis dalam budaya huni dan bentuk kota yang simbiotik. Konsep ecopolitan dibangun dari dua akar etimologis mengacu kepada dua pola yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan artinya dalam masing-masing kata. eco dan polis . Arti kata eco adalah hubungan antara manusia dan lingkungannya. Sedangkan polis merupakan kata lain dari kota. Istilah ini menandakan hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan dala ranah kota. Ecopolis dapat

66

FRONTIER SPACE DESIGNdigunakan dalam strategi makro maupun mikro baik ke dalam level formal yang lebih luas maupun dalam level informal lokal, yang merupakan ramuan dari konsep akan sungai, kota, dan komunitas. Pada level makro paling tidak, perencanaan yang setara dan implementasinya dapat diarahkan kepada zona tepian sungai dan membangkitkan kembali budaya huni daerah aliran sungai. Sungai dan sistem kanal yang direvitalisasi mempunyai potensi untuk menjadi penghubung yang mengikat sistem jaringan buatan dan alami, melalui antara lain mengenalkan jalur hijau (vegetasi) dan jalur biru (sungai dan kanal) dengan area parkir yang terintegrasi, tangkapan air, area pemurnian air untuk limbah lokal, hunian pada daerah aliran sungai yang lebih layak dalam konteks gaya hidup kota, dan lain sebagainya. Merancang dan mengimplementasikan strategi untuk tepian sungai dan pembangkitan kembali budaya daerah aliran sungai, menjalinkannya dengan konteks setempat yagn khusus, dapat dipandang sebagai pendekatan formal lain yang tidak cukup bagus karena menyesuaikan dengan praktek perancangan berbasis daratan dewasa ini. Tidak pelak lagi, walaupuan implementasi perencanaan formal ini akan menuai banyak masalah bagi pendekatan informal dalam memelihara karakter asli hunian tepian sungai Borneo, tetapi juga bisa melestarikan hubungan simbiotik dalam dimensi alam dan budaya. Faktanya, proses implementasi bukan hanya tentang investasi yang besar pada infrastruktur, tetapi lebih kepada penggambaran rencana dan merancang strategi kepada ecopolitan sungai Borneo. Oleh karena itu, kota-kota daerah aliran sungai Boeneo suatu saat akan menjadi tempat yang nyaman dan berkelanjutan di kemudian hari. Jadi, pada akhirnya kita harus merumuskan harapan bahwa masalah aliran air ini memegang peran penting dalam hubungannya dengan struktur kota secara keseluruhan.

Implementasi ecopolis di China Sumber : Google Image

67

FRONTIER SPACE DESIGNBUDAYA HUNI PERAIRAN PADA ECOPOLITAN LAUT DAN SUNGAI Konsep Persenyawaan : Simbiosis Amphibi Dan Kota Apung Hunian amphibi adalah bentuk asli dari hunian perairan pada area delta sungai. Dengan mempertimbangkan bahwa morphologi kota pada jaman dahulu berlokasi pada area delta, maka elemen yang paling khas adalah jejaring sungai dan kanal dan dataran rendah lembah sungai. Prototipe permukiman dibagi kedalam dua tipe. Pertama, struktur yang mengapung di air dan kedua, pada anjungan atau geladak yang diletakkan di sepanjang penggiran area perairan atau daratan. Ide dasar permukiman amphibi ini bisa membawa pola yang ebih bersenyawa dan berkelanjutan kedalam konteks budaya huni perairan modern. Pertimbangan utama model ini adalah bahwa Indonesia merupakan kepulauan dan ini merupakan hal kunci. Laut, pulau, dan manusia adalah reperesentasi paling baik untuk lingkungan kepulauan Indonesia. Skenario untuk memadukan hubungan air dan daratan (aqua-terra) dalam prototipe desain ecopolitan bisa mereplikasi model dari konsep permukiman amphibi sungai dan laut. Dalam skenario ini, akan menggunakan desain hidrolik seminim mungkin, dan lebih menggunakan pendekatan ekologis. Oleh karena itu, budaya huni membuat sebuah komunitas perairan bukan komunitas hidrolik.

Implementasi ecopolis Simbiosis Amphibi dan Kota Apung dalam Desain Sumber: Penulis

68

FRONTIER SPACE DESIGNOCEANIC FRONTIER SPACE DESIGN (tata ruang temu batas darat-laut).Merupakan penataan kawasan pertemuan daratan dengan laut yang menitik beratkan pada mediasi harmonis diantara keduanya. Darat dan laut tidak dipandang sebagai entitas yang terpisah dan menimbulkan dikotomi dalam penataannya. Justru melalui pengenalan yang mendalam baik secara ekologis, keruangan, dan teknis akan diperoleh kelebihan dan kekurangan masing-masing unsur yang nantinya akan dijawab dalam sebuah model penataan yang padu dan seimbang.

Perspektif kawasan Arthurs Landing Project at Marina Park Sumber : Urban Design Guideline

69

FRONTIER SPACE DESIGN

Siteplan kawasan Arthurs Landing Project at Marina Park. Sebuah contoh penataan kawasan tepi laut yang baik. Sumber : Urban Design Guideline

70

FRONTIER SPACE DESIGN

71

FRONTIER SPACE DESIGNSebelum masuk pada temu batas darat-laut, kiranya perlu disinggung mengenai kualitas sebuah kawasan yang akan berguna sebagai kacamata dalam mengapresiasi ruang. Penataan keruangan lebih mengarah kepada karakter sik dan lingkungan binaan dari sebuah kawasan. Tata ruang yang baik hendaknya bisa meningkatkan pengalaman sikinderawi dan mental-perasaan pada sebuah kawasan, sehingga terpatri dalam imaji seseorang dalam bingkai karakter kawasan yang kuat. Hal ini digubah dengan memberi kepedulian terhadap usaha preservasi dan pengembangan sekaligus, semangat kebersamaan dalam menempatkan tiap-tiap elemen kawasan dengan skala dan keberpihakan visual yang pantas tanpa menimbulkan ketimpangan kontras yang tajam. Desain kawasan hendaknya erat terjalin dengan peninggalan budaya dan artefak-artefak historis yang bisa menjelaskan masa lalu kita. Pada akhirnya, desain kawasan yang baik hendaknya membantu kota menjadi lebih esien, aman, sehat, nyaman, dan berharga bagi penghuninya. Senada dengan syarat kepatutan di atas, lantas apa yang harus diperhatikan dalam menata ruang temu batas darat dan laut?. Terdapat beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penataan yang akan membawa usaha penataan ke arah yang baik. Hal tersebut adalah Menyatukan kawasan di daratan dengan laut di sepanjang tepian laut. Dilakukan dengan membuka simpul-simpul keruangan darat-laut yang berupa ruang terbuka, jejalur utama, membuat fungsifungsi penarik, memanfaatkan elemen eksisting yang khas. Membuat tepian laut yang aksesibel dan saling berkesinambungan. Menumbuhkan kesan yang kuat akan identitas dan karakter kawasan tepian laut.

72

FRONTIER SPACE DESIGN

Gambar konseptual dari Arthurs Landing Project at Marina Park. pembuatan akses yang menerus, membuka simpul aktivitas baru, dan bagaimana menciptakan kesan dari karakter kawasan, tergambar dengan baik dalam rencana ini. Sumber : Urban Design Guideline

73

FRONTIER SPACE DESIGNElemen-elemen kawasan baik yang sudah ada maupun yang akan dibangun akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penataan. Usaha yang hendaknya dilakukan adalah melestarikan elemen yang ada (preservasi), mengembangkan elemen yang memang pantas dan potensial (revitalisasi), membuat elemen baru yang dibutuhkan di sepanjang kawasan tepian laut. Ketiga usaha ini dilakukan secara proporsional dengan tetap memperhatikan fungsi peran tiap elemen. Sementara itu, setidaknya ada tiga hal yang menjadi penekanan dalam tata ruang temu batas. Tiga hal tersebut adalah: Akses publik dan ruang terbuka Parameter yang harus diperhatikan dalam menata akses publik adalah kemenerusan (continuity), rangkaian (sequence), keberagaman (variety), dan keterhubungan (connectivity). Sedangkan ruang terbuka yang harus dikembangkan, setidaknya adalah taman dan plaza tepian laut, tetenger bersejarah, area pejalan dan anjungan di sepanjang tepian air, taman-taman alami. Pemandangan View ke arah tepian laut yang sudah terbentuk dengan baik hendaknya dijaga dan ditingkatkan dengan mengolah keruangan disekitarnya sehingga menjadi lebih aksesibel. Selain itu perlu menciptakan area pemandangan baru yang bervariasi dan menjangkau tempattempat yang tidak terjangkau sebelumnya. Pemandangan-pemandangan yang tercipta akan memberikan akses visual kepada area tepian laut dan sebaliknya s