apresiasi budaya sumatera barat

42
ABSTRACT Pembangunan yang sangat intensif dengan merubah bentuk fisik kawasan serta mengabaikan karakter lingkungan dapat mengancam lingkungan binaan dalam jangka panjang. Bencana banjir, tanah longsor dan gempabumi merupakan ancaman serius bagi lingkungan binaan dalam beberapa tahun terakhir ini. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kerugian harta dan jiwa dalam jumlah besar. Lingkungan fisik Sumatera Barat sangat bervariasi, meliputi wilayah perairan, pantai, daerah rawa pasang surut, dataran rendah, dataran tinggi termasuk kawasan rawan gempabumi di sebelah barat. Sumatera Barat memiliki arsitektur tradisional yang menakjubkan serta menunjukkan keharmonisan dan kesesuaian dengan lingkungan setempat. Arsitektur tradisional Sumatera Barat memiliki jejak yang sangat panjang melalui keragaman kebudayaan yang berkembang di masyarakat, masyarakat memiliki pemahaman berdasarkan pengalaman dengan setting lokal. Pemahaman

Upload: wasis-muharam-bhayangkara

Post on 01-Jan-2016

113 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Apresiasi Budaya Sumatera Barat

TRANSCRIPT

Page 1: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

ABSTRACT

Pembangunan yang sangat intensif dengan merubah bentuk fisik kawasan serta

mengabaikan karakter lingkungan dapat mengancam lingkungan binaan dalam jangka

panjang. Bencana banjir, tanah longsor dan gempabumi merupakan ancaman serius bagi

lingkungan binaan dalam beberapa tahun terakhir ini. Keadaan tersebut dapat

menyebabkan kerugian harta dan jiwa dalam jumlah besar. Lingkungan fisik Sumatera

Barat sangat bervariasi, meliputi wilayah perairan, pantai, daerah rawa pasang surut,

dataran rendah, dataran tinggi termasuk kawasan rawan gempabumi di sebelah barat.

Sumatera Barat memiliki arsitektur tradisional yang menakjubkan serta

menunjukkan keharmonisan dan kesesuaian dengan lingkungan setempat.

Arsitektur tradisional Sumatera Barat memiliki jejak yang sangat

panjang melalui keragaman kebudayaan yang berkembang di masyarakat, masyarakat

memiliki pemahaman berdasarkan pengalaman dengan setting lokal. Pemahaman

terhadap bentuk arsitektur dan konstruksi bangunan, penggunaan bahan bangunan lokal

serta pengenalan lingkungan setempat menunjukkan potensi arsitektur tradisional dapat

dimanfaatkan dalam berbagai aspek pembangunan lingkungan binaan untuk masa kini

maupun masa depan. Sebagai warisan budaya yang memiliki nilai filosofi, kearifan lokal

dan ketrampilan teknologi, arsitektur tradisional Sumatera Barat dapat dipelajari dan

dikembangkan walaupun dengan konteks masa kini yang adaptif dengan lingkungannya.

Nilai-nilai yang tercermin pada arsitektur tradisional Sumatera Selatan dapat

dipergunakan sebagai dasar pembangunan lingkungan binaan.

Page 2: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

PENDAHULUAN

Pembangunan yang sangat intensif secara langsung memiliki pengaruh terhadap

lingkungan permukiman setempat dan secara tidak langsung pada daerah di sekitarnya atau

daerah di bawahnya. Secara umum, pembangunan yang dilakukan di daerah rawa-rawa adalah

dengan melakukan reklamasi atau penimbunan rawa dan hanya sebagian kecil yang

melaksanakannya dengan menggunakan tiang atau kolom. Pada daerah berkontur, pembangunan

umumnya dilakukan dengan cara cut and fill dengan perkuatan tanah. Selanjutnya, pada daerah

yang rawan bencana seperti banjir, tanah longsor dan gempabumi, pembangunan dilakukan

dengan cara yang umum dilakukan pada daerah yang relatif aman dari bencana. Pada satu sisi,

pembangunan yang mempertimbangkan kepentingan ekonomi terlihat lebih dominan misalnya

dengan melakukan reklamasi daerah rawa, memotong bukit untuk menimbun daerah yang rendah

atau meratakan tanah agar memudahkan pekerjaan. Pada sisi yang lain, banyak kawasan

permukiman seperti itu yang mengalami kerusakan karena dilanda bencana yang menyebabkan

banyak kerugian material bahkan jiwa. Seperti halnya dengan wilayah-wilayah di Indonesia yang

memiliki sejarah panjang, Sumatera Barat mempunyai beragam kekayaan sejarah budaya yang

sangat menakjubkan. Budaya yang menunjukkan ekspresi masyarakat dalam beradaptasi dengan

lingkungan yang disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Salah satu peninggalan budaya tersebut

tergolong dalam bidang arsitektur ialah bangunan rumah tradisional yang lebih dikenal sebagai

rumah Gadang merupakan ikon budaya tradisional yang identik dengan Sumatera Barat

Page 3: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

1.1 Latar Belakang

Kajian mengenai identitas dalam arsitektur, merupakan sebuah fenomena yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Bukan hanya mengenai identitas arsitektur Indonesia, tapi permasalahan identitas ini telah mulai dipertanyakan pada tingkat arsitektur kedaerahan.

Adanya istilah arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular merupakan sebuah wacana yang berhubungan dengan kajian dalam arsitektur kedaerahan tersebut. Sampai saat ini, kedua istilah tersebut masih belum ada pendapat-pendapat yang secara tegas memberikan batasan yang antara keduanya. Secara gamblang kedua istilah ini sudah lama digunakan didalam keseharian kita, tetapi yang mana yang merupakan contoh arsitektur tradisional serta yang mana yang tergolong kedalam arsitektur vernakular masih belum terdefinisi dengan jelas.

Dalam pembahasan ini, yang mencoba mengangkat tema rumah gadang sebagai arsitektur vernakular Sumatera Barat, penulis berusaha mengkaji mengenai arsitektur vernakular berdasarkan pendapat-pendapat beberapa ahli serta mencoba membandingkannya dengan fenomena-fenomena pada rumah gadang yang merupakan salah satu produk dari arsitektur khas daerah Sumatera Barat.

1.2 Tujuan

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam bahasan ini adalah mencoba mendefinisikan kembali pengertian dari arsitektur vernakular dengan rumah gadang sebagai objek kajian pembahasannya.

1.3 SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Sistematika pembahasan dalam penulisan ini:

Bab I. Pendahuluan

Pada bab ini berisikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II. Metode Penelitian

Pada bab ini berisikan tentang Metode Penelitian, Objek Pengamatan dan Studi Literatur.

Bab III. Analisis dan Pembahasan

Pada bab ini akan membahas hasil analisa dari data yang sudah diambil beserta pembahasannya dari permasalahan yang sudah ada.

Page 4: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

Bab IV. Kesimpulan dan Arahan Rancangan

Pada bab ini akan membahas tentang kesimpulan, solusi dari permasalahan yang dibicarakan. Saran untuk pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan penelitian ini.

Page 5: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

\BAB II

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR VERNAKULER SUMATERA BARAT

2.1.a Lokasi dan Tempat Demografi

2.1.a.a Lokasi

Sumatera Barat terletak di bagian barat Pulau Sumatera dan sekaligus berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia, Provinsi Riau, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Utara. Secara astronomis, Sumatera Barat terletak antara 0° 54’ Lintang Utara dan 3° 30’ Lintang Selatan serta 98° 36’ dan 101° 53’ Bujur Timur. Provinsi Sumatera Barat memiliki luas wilayah sebesar 42.297,30 km2. Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten dengan luas wilayah terluas, yakni 6.011,35 km2, sedangkan Kota Padang Panjang memiliki luas daerah terkecil dengan luas hanya 23,00 km2.

Page 6: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

2.1.a.b Demografi

Jumlah penduduk suatu negara sangat dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi/perpindahan penduduk. Perubahan struktur dan komposisi penduduk Sumatera Barat dapat dilihat dari perbandingan piramida penduduk. Komposisi penduduk Sumatera Barat didominasi oleh penduduk usia muda yang telihat dari Grafik piramida penduduk.

Kepadatan penduduk dapat dihitung berdasarkan jumlah penduduk untuk setiap satu kilometer persegi. Kepadatan penduduk Sumatera Barat pada tahun 2012 tercatat sebanyak 117,21, artinya dalam setiap luas daerah 1 km2 terdapat penduduk sebanyak 117 sampai 118 jiwa. Dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat, Kota Bukittinggi tercatat sebagai kota terpadat dengan kepadatan penduduk sebanyak 4.533 jiwa/km2 . Sedangkan kabupaten yang paling jarang penduduknya adalah Kabupaten Kep.Mentawai yang hanya 13 jiwa/km2 pada tahun 2012

Page 7: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

2.1.b Sejarah

Dari jaman prasejarah sampai kedatangan orang Barat, sejarah Suma¬tera Barat dapat dikatakan identik dengan sejarah Minangkabau. Walau¬pun masyarakat Mentawai diduga te¬lah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sa¬ngat sedikit.

Pada periode kolonialisme Belanda, nama Suma¬tera Barat muncul sebagai suatu u¬nit administrasi, sosial-budaya, dan po¬litik. Nama ini a¬dalah terjemahan dari bahasa Belanda de Westkust van Sumatra atau Sumatra's Westkust,yaitu suatu daerah bagian pe¬sisir barat pulau Sumatera.

Memasuki abad ke-20 persoalan yang dihadapi Sumatera Barat menja¬di semakin kompleks. Sumatera Barat tidak lagi identik dengan daerah budaya Minangkabau dan telah berubah menjadi sebuah mini Indonesia. Di daerah ini bermukim sejumlah besar suku bangsa Minangkabau penganut sistem matrilineal, suku bangsa Ta-panuli dengan sistem patrilinealnya dan suku bangsa Jawa dengan sistem parentalnya. Di samping itu juga ada masyarakat Mentawai, Nias, Cina, Arab, India serta berbagai kelompok masyarakat lainnya dengan berbagai latar belakang budaya yang beraneka ragam.

Di Sumatera Barat banyak ditemukan peninggalan jaman prasejarah di Kabupaten 50 Koto, di daerah Solok Selatan dan daerah Taram. Sisa-¬sisa peninggalan tradisi barn besar ini berwujud dalam berbagai bentuk; bentuk barn dakon, barn besar berukir, barn besar berlubang, barn rundell, kubur barn, dan barn altar, namun ben¬tuk yang paling dominan adalah bentuk menhir. Peninggalan jaman prasejarah lainnya yang juga ditemukan adalah gua-gua alam yang dijadikan sebagai tempat hunian.

Bukti-bukti arkeologis yang dite¬mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabu¬paten 50 Koto merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang Su¬matera Barat. Penafsiran ini rasanya ber¬alasan, karena dari daerah 50 Koto ini mengalir beberapa sungai besar yang akhirnya bermuara di pantai timur pu¬lau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari jaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.

Nenek moyang orang Minang¬kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In¬do-Cina) mengarungi laut Cina Sela¬tan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan Indragiri (atau; Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per¬adaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Koto sekarang.

Percampuran dengan para penda¬tang pada masa-masa berikutnya me¬nyebabkan tingkat kebudayaan mere¬ka jadi berubah dan jumlah mereka ja¬di bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka menyebar ke berba¬gai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke daerah kabupaten Agam dan sebagian

Page 8: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

lagi sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Banyak di antara me¬reka menyebar ke bagian barat teruta¬ma ke daerah pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung.

Sejarah daerah Propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Raja Adityawarman. Ra¬ja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya¬warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di-percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.

Adityawarman adalah tokoh pen¬ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe-merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon¬tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Budha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter¬bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pa¬riangan, Padang Barhalo, Candi, Bia¬ro, Sumpur, dan Selo.

Sejarah Sumatera Barat sepe¬ninggal Adityawarman hingga perte¬ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su¬matera Barat dengan dunia luar, ter¬utama Aceh semakin intensif. Sumate¬ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memo¬nopoli kegiatan perekonomian di dae¬rah ini. Seiring dengan semakin inten¬sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.

Syekh Burhanuddin dianggap sebagai pe¬nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan aga¬ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.

Pengaruh politik dan ekonomi A¬ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak¬puasan ini akhirnya diungkapkan de¬ngan menerima kedatangan orang Be¬landa. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Ba¬rat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.

Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan¬cong berkebangsaan Prancis yang ber-nama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1523. Namun bangsa Ba¬rat yang pertama datang dengan tu¬juan ekonomis dan politis adalah bang¬sa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan¬tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belan¬da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju¬ga terdiri dari bangsa Portugis dan Ing¬gris.

Page 9: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

Nama Provinsi Sumatera Barat bermula pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), dimana sebutan wilayah untuk kawasan pesisir barat Sumatera adalah Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatera mulai dari Barus sampai Inderapura.

Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung, dan keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan kawasan pedalaman Minangkabau sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden.

Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust, termasuk di dalamnya wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukkan Tapanuli dan Singkil. Namun pada tahun 1905, wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli, sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadiResidentie Sumatra's Westkust, dan menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudera Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust. Pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, wilayah Rokan Hulu dan Kuantan Singingi diberikan kepada Residentie Riouw, dan juga dibentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan.

Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu

Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah Sumatera Barat tergabung dalam provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Empat tahun kemudian, Provinsi Sumatera dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sumatera Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatera Tengah. Pada masa PRRI, berdasarkanUndang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah lagi menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau.

Page 10: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatera Barat yang baru ini masih tetap di Bukittinggi. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 ibu kota provinsi dipindahkan ke Padang.

2.1.c Agama

Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 98% penduduk Sumatera Barat. Selain itu ada juga yang beragama Kristen terutama di kepulauan Mentawai sekitar 1,6%, Buddhasekitar 0,26%, dan Hindu sekitar 0,01%, yang dianut oleh masyarakat pendatang.Lebih detailnya ada pada table dibawah ini

Berbagai tempat ibadah, yang didominasi oleh masjid dan musala, dapat dijumpai di setiap kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Masjid terbesar adalah Masjid Raya Sumatera Barat di Padang, yang saat ini pembangunannya masih dalam tahap pengerjaan. Sedangkan masjid tertua diantaranya adalah Masjid Raya Ganting di Padang dan Masjid Tuo Kayu Jao di kabupaten Solok. Arsitektur khas Minangkabau mendominasi baik bentuk masjid maupun musala. Masjid Raya Sumatera Barat memiliki bangunan berbentuk gonjong, dihiasi ukiran Minang sekaliguskaligrafi. Ada juga masjid dengan atap yang terdiri dari beberapa tingkatan yang makin ke atas makin kecil dan sedikit cekung.

2.1.d Bahasa

Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah Bahasa Minangkabau yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan, dan dialek Payakumbuh. Di daerah Pasaman dan Pasaman Barat yang berbatasan dengan Sumatera Utara,

Page 11: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

juga dituturkan Bahasa Batak dialek Mandailing. Sementara itu di daerah kepulauan Mentawai banyak digunakan Bahasa Mentawai.

2.1.e Pemerintahan

Provinsi Sumatera Barat dipimpin oleh seorang gubernur yang dipilih dalam pemilihan secara langsung bersama dengan wakilnya untuk masa jabatan 5 tahun. Gubernur selain sebagai pemerintah daerah juga berperan sebagai perwakilan atau perpanjangan tangan pemerintah pusat di wilayah provinsi yang kewenangannya diatur dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2010.

Sementara hubungan pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota bukanlah sub-ordinat, masing-masing pemerintahan daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Perwakilan

Berdasarkan Pemilu Legislatif 2009, Sumatera Barat mengirimkan 14 wakil ke DPR RI dari dua daerah pemilihan dan empat wakil ke DPD. Sedangkan untuk DPRD Sumatera Barat tersusun dari perwakilan sepuluh partai, dengan perincian sebagai berikut:

Pemerintahan nagari

Sampai tahun 1979 satuan pemerintahan terkecil di Sumatera Barat adalah nagari, yang sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, status nagari dihilangkan diganti dengan desa, dan beberapa jorong ditingkatkan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari juga dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa. Namun sejak bergulirnya reformasi pemerintahan dan otonomi daerah, maka sejak pada tahun 2001, istilah "Nagari" kembali digunakan di provinsi ini.

Budaya politik yang hidup di pemerintahan desa Sumatera Barat semenjak kebijaksanaan penyeragaman (UU No.5 Tahun 1979) diberlakukan adalah budaya politik parokhial. kondisi ini terlihat melalui sistem kekuasaan, sistem pemilihan penguasa, syarat penguasa, dan peranan penguasa di pemerintahan desa.

Sistem kekerabatan dalam membangun budaya politik partisipan mulai terjadi pergeseran, dalam hal tingkat kepekaan, bentuk toleransi dalam kekerabatan, dan peranan senioritas dalam kekerabatan. Artinya berkurangnya kebersamaan dalam sistem kekuasaan kekerabatan.

Pemerintahan nagari merupakan suatu struktur pemerintahan yang otonom, punya teritorial yang jelas dan menganut adat sebagai pengatur tata kehidupan anggotanya, sistem ini

Page 12: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

kemudian disesuaikan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia, sekarang pemerintah provinsi Sumatera Barat menetapakan pemerintah nagari sebagai pengelola otonomi daerah terendah untuk daerah kabupaten mengantikan istilah pemerintah desa yang digunakan sebelumnya. Sedangkan untuk nagari yang berada pada sistem pemerintahan kota masih sebagai lembaga adat belum menjadi bagian dari struktur pemerintahan daerah.

Peluang yang terjadi pada pemerintahan desa yaitu munculnya pertumbuhan ekonomi yang bersifat individualistik. Kondisi ini sebagai akibat ketergantungan pada pemerintah pusat, sehingga kurang kemandirian. Kondisi ini dapat memperlemah ketahanan wilayah bidang ekonomi itu sendiri. Namun, sekarang desa-desa Sumatera Barat telah mencoba membangun upaya mempermudah kebijaksanaan politik pemerintah desa atau sejak bertukar kembali menjadi nagari, yaitu merubah struktur dan proses antarstruktur pemerintahan desa yang dibuat berdasarkan UU No. 5 tahun 1979 itu.--ella 21 Mei 2013 01.16 (UTC)

Nagari pada awalnya dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk di nagari tersebut, kemudian pada masa pemerintah Hindia-Belanda dipilih salah seorang dari para penghulu tersebut untuk menjadi wali nagari. Kemudian dalam menjalankan pemerintahannya, wali nagari dibantu oleh beberapa orang kepala jorong atau wali jorong, namun sekarang dibantu olehsekretaris nagari (setnag) dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) bergantung dengan kebutuhan masing-masing nagari. Wali nagari ini dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dalam pemilihan langsung untuk 6 tahun masa jabatan.

Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari, yakni lembaga yang beranggotakan Tungku Tigo Sajarangan. Tungku Tigo Sajarangan merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dariAlim Ulama, Cadiak Pandai (kaum intelektual) dan Niniak Mamak para pemimpin suku dalam suatu nagari, sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam sistem administrasi desa. Keputusan keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara wali nagari dan Tungku Tigo Sajarangan di Balai Adat atau Balairung Sari Nagari.

Page 13: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

2.1.f Kesenian

Musik

Nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Sumatera Barat yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarat. Hal ini karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri dari instrumen alat musik tradisional saluang, bansi, talempong, rabab, pupuik, serunai, dan gandang tabuik.

Ada pula saluang jo dendang, yakni penyampaian dendang (cerita berlagu) yang diiringi saluang yang dikenal juga dengan nama sijobang.

Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi merantau.

Industri musik di Sumatera Barat semakin berkembang dengan munculnya seniman-seniman Minang yang bisa membaurkan musik modern ke dalam musik tradisional Minangkabau. Perkembangan musik Minang modern di Sumatera Barat sudah dimulai sejak tahun 1950-an, ditandai dengan lahirnya Orkes Gumarang. Elly Kasim, Tiar Ramon, dan Nurseha adalah penyanyi Sumatera Barat yang terkenal di era 1970-an hingga saat ini. Saat ini para penyanyi, pencipta lagu, dan penata musik di Sumatera Barat, bernaung dibawah organisasi PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta lagu Penata musik Rekaman Indonesia) dan PARMI (Persatuan Artis Minang Indonesia).

Page 14: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

Perusahaan-perusahaan rekaman di Sumatera Barat yang turut mendukung industri musik Minang antara lain : Tanama Record, Planet Record, Pitunang Record, Sinar Padang Record, Caroline Record yang terletak di Padang dan Minang Record, Gita Virma Record yang terletak di Bukittinggi.

Tarian tradisional

Secara garis besar seni tari dari Sumatera Barat adalah dari adat budaya etnis Minangkabau dan etnis Mentawai. Kekhasan seni tari Minangkabau umumnya dipengaruhi oleh agama Islam, keunikan adat matrilineal dan kebiasan merantau masyarakatnya juga memberi pengaruh besar dalam jiwa sebuah tari tradisi yang bersifat klasik, di antaranya Tari Pasambahan, Tari Piring, Tari Payung, dan Tari Indang. Sementara itu terdapat pula suatu pertunjukan khas etnis Minangkabau lainnya berupa perpaduan unik antara seni bela diri yang disebut silek dengan tarian, nyanyian dan seni peran (acting) yang dikenal dengan nama Randai.

Sedangkan untuk tarian khas etnis Mentawai disebut Turuk Laggai. Tarian Turuk Langai ini umumnya bercerita tentang tingkah laku hewan, sehingga judulnya pun disesuaikan dengan

Page 15: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

nama-nama hewan tersebut, misalnya tari burung, tari monyet, tari ayam, tari ular dan sebagainya.

2.1.g Peralatan

Senjata Tradisional

Senjata tradisional Sumatera Barat adalah Keris dan Kurambiak atau Kerambit. Keris biasanya dipakai oleh kaum laki-laki dan diletakkan di sebelah depan, dan umumnya dipakai oleh para penghulu terutama dalam setiap acara resmi ada terutama dalam acara malewa gala atau pengukuhan gelar, selain itu juga biasa dipakai oleh para mempelai pria dalam acara majlis perkawinan yang masyarakat setempat menyebutnya baralek. Sedangkan kerambit merupakan senjata tajam kecil yang bentuknya melengkung seperti kuku harimau, karena memang terinspirasi dari kuku binatang buas tersebut. Senjata ini dipakai oleh para pendekar silat Minang dalam pertarungan jarak pendek, terutama yang menggunakan jurus silat harimau. Berbagai jenis senjata lainnya juga pernah digunakan seperti tombak, pedang panjang, panah, sumpit dan sebagainya.

2.1.h Mata pencaharian

Seiring dengan bertumbuhnya perekonomian Sumatera Barat, maka jumlah tenaga kerja yang diperlukan semakin bertambah pula. Hal ini telah mendorong turunnya akan pengangguran di provinsi ini. Sepanjang Februari 2011-Februari 2012, jumlah penduduk yang menganggur mengalami penurunan dari 162.500 orang menjadi 146.970 orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun dari 7,14% menjadi 6,25%. Angka tersebut berada dibawah rata-rata nasional pada periode akhir 2011 yang mencapai 6,56%. Pada Februari 2012, jumlah angkatan

Page 16: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

kerja Sumatera Barat mencapai 2.204.218 orang, bertambah 90.712 orang dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja pada Februari 2011.

Sebagian besar penduduk yang bekerja terserap di sektor pertanian. Lapangan pekerjaan di sektor ini mampu menyerap 42,4% dari tenaga kerja yang ada. Namun demikian, persentase penyerapan ini makin menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 44%. Sementara itu, persentase penduduk bekerja yang terserap di sektor perdagangan kembali meningkat, dari sebelumnya 18,5% pada Februari 2011 menjadi 19,8% pada Februari 2012. Demikian pula penyerapan di sektor jasa mengalami kenaikan, dari 16,7% menjadi 17,4%.

2.1.iArsitektur bangunan

Rumah Adat

Rumah adat Sumatera Barat khususnya dari etnis Minangkabau disebut Rumah Gadang. Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun. Tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut namun belum menikah.

Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian muka dan belakang, umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti berbentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau, masyarakat setempat menyebutnyaGonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Rumah Bagonjong ini menurut masyarakat setempat diilhami dari tambo, yang mengisahkan kedatangan nenek moyang mereka dengan kapal dari laut. Ciri khas lain rumah adat ini adalah tidak memakai paku besi tapi menggunakan pasak dari kayu, namun cukup kuat sebagai pengikat.

Sementara etnis Mentawai juga memiliki rumah adat yang berbentuk rumah panggung besar dengan tinggi lantai dari tanah mencapai satu meter yang disebut dengan uma. Uma ini dihuni oleh secara bersama oleh lima sampai sepuluh keluarga. Secara umum konstruksi uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik.

Page 17: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

2.2 APRESIASI BUDAYA BERASITEKTUR

Arsitektur Vernakular

Menurut Turan dalam buku Vernacular Architecture, arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.

Lebih lanjut dalam buku yang sama, Turan telah mencoba mengklasifikasikan arsitektur vernakular kedalam beberapa tinjauan, yaitu:

1.Arsitektur vernakular sebagai produk.

2.Arsitektur vernakular sebagai proses.

3.Arsitektur vernakular dari tinjauan filosofis.

4.Arsitektur vernakular sebagai ilmu pengetahuan.

Romo Manguwijaya dalam buku Wastu Citra juga memberikan pendapat yang hampir senada mengenai definisi dari arsitektur vernakular itu sendiri. Menurut beliau, arsitektur vernakular itu adalah pengejawentahan yang jujur dari tata cara kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat.

Jadi arsitektur vernakular bukanlah semata-mata produk hasil dari ciptaan manusia saja, tetapi yang lebih penting adalah hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Sonny Susanto, salah seorang dosen arsitek pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia juga mengatakan bahwa arsitektur vernakular merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur

Page 18: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

tradisional, yang mana arsitektur tradisional sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata laku yang berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum, sedangkan arsitektur vernakular merupakan transformasi dari situasi kultur homogen ke situasi yang lebih heterogen dan sebisa mungkin menghadirkan citra serta bayang-bayang realitas dari arsitektur tradisional itu sendiri.

Temuan dilapangan, selama mengadakan penelitian pada kawasan penelitian, ditemukan beberapa hal menarik yang dapat dijadikan sebagai masukan didalam penulisan ini. Diantaranya yaitu adanya ditemukan beberapa rumah gadang yang tidak ada mengalami perubahan (transformasi) didalamnya, serta ada beberapa rumah gadang yang sudah mengalami transformasi dan yang menariknya yaitu ternyata rumah gadang yang tidak mengalami perubahan tersebut (sangat sedikit terjadi transformasi runag maupun bangunannya) ternyata merupakan istana kerajaan dari keempat raja yang masih berkuasa tersebut. Jadi pendapat yang mengatakan istilah arsitektur tradisional lebih tepat digunakan untuk istana raja ataupun kuil-kuil.

Tinjauan Terhadap Arsitektur Tradisional

Selain sebagai arsitektur vernakular, istilah arsitektur tradisional juga merupakan istilah yang sering muncul didalam kalangan masyarakat kita. Kelatahan masyarakat dalam menggunakan istilah tradisional ini seringkali menimbulkan sebuah keraguan dalam menentukan yang mana yang dianggap sebagai arsitektur tradisonal dan mana yang vernakular.

Menurut Bruce Allsop (1980) yang telah membagi arsitektur menurut jenisnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan arsitektur tradisional itu adalah arsitektur yang dibuat dengan cara yang sama secara turun temurun dengan sedikit atau tanpa adanya perubahan-perubahan yang significant pada bangunan tersebut. Arsitektur tradisional ini biasa disebut dengan arsitektur kedaerahan.

Sebuah kata kunci yang bisa kita ambil disini sebagai salah satu pembeda yang dapat kita gunakan untuk melihat antara arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular adalah tingkat dari transformasi (perkembangan atau perubahan) yang terjadi pada suatu bangunan tradisional itu, dalam hal ini yaitu bangunan rumah gadang.

Rumah Gadang Sebagai Arsitektur Vernakular

Fenomena hunian merupakan sebuah budaya yang akan selalu berubah sesuai dengan tuntutan sipenghuni yang menempatinya. Begitu juga dengan rumah gadang yang merupakan salah satu wadah hunian yang masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau.

Rumah Gadang bukanlah hanya merupakan suatu bangunan besar, panjang dan tinggi menjulang, tetapi adalah sebuah bangunan rumah adat yang bagian luar dan dalamnya

Page 19: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

mengandung arti dan makna tersendiri yang secara keseluruhan merupakan cerminan dari sistem kekerabatan matrilinial yang dianut oleh masyarakat Minangkabau

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang dinamis yang akan selalu berubah seiring dengan perjalanan waktu. Seperti yang telah dibunyikan dalam salah satu pepatah adat Minangkabau yaitu ’Alam Takambang Jadi Guru’. Satu hal menarik yang dapat kita simpulkan disini adalah bahwa setiap pelajaran yang didapat dari alam itu seharusnya mampu diakumulasikan sebagai masukan baru dalam kehidupannya, hal inipun tidak tertutup dalam hal rumah atau fasilitas hunian mereka.

Dalam tulisannya Amos Rapoport menegaskan bahwasanya bangunan sebuah rumah (tempat tinggal) merupakan sebuah fenomena budaya yang bentuk dan organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh “cultural milieu” dari etnis tertentu sebagai pemiliknya. Dari tulisan ini kita dapat mengambil suatu masukan bahwa perubahan dari budaya dari suatu etnis tertentu akan berpengaruh pada perubahan rancangan rumah (tempat tinggal) mereka, demikian juga sebaliknya yang tidak tertutup kemungkinan pada rumah gadang yang merupakan salah satu fasilitas rumah(tempat tinggal) bagi masyarakat Minangkabau.

Page 20: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berawal dari sebuah pemikiran yang sederhana, sebelum masuk kedalam ke-vernakular-an sebuah karya arsitektur, penulis mencoba mengambil sebuah contoh kasus yang sederhana, semoga dengan contoh kasus yang sederhana ini dapat mengantarkan kita kedalam pemahaman yang lebih mendalam mengenai arsitektur vernakular tersebut. Penulis mencoba menganalogikan produk arsitektur tersebut sebagai sebuah cerutu, yang sudah dianggap dan diakui oleh sebagai salah satu benda yang sudah jelas kevernakularannya. Sekarang cerutu tersebut

dibedakan menjadi 2, yaitu:

•Cerutu yang pertama dibuat secara tradisional dengan menggunakan

tangan, tanpa adanya bantuan mesin dan teknologi yang canggih. Bahan

baku dari cerutu tersebut menggunakan bahan-bahan alami yang bermutu

tinggi dan diracik dengan telaten oleh tangan-tangan pembuat cerutu

tersebut. Setelah melalui proses pembuatannya, sehingga terciptalah

sebuah batangan cerutu yang kualitasnya baik dan memiliki cita rasa

yang khas.

•Sedangkan cerutu yang berikutnya adalah cerutu yang diolah dengan

bantuan teknologi, seperti mesin dan tenaga ahli yang sudah

berpengalaman dalam membuat cerutu. Bahan baku yang digunakan tetap

Page 21: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

sama, yaitu bahan-bahan alami yang bermutu tinggi dan tetap menggunakan

perbandingan bahan yang sama dengan cerutu yang dibuat secara manual,

akhirnya juga menghasilkan sebuah batangan cerutu yang kualitasnya baik

dan memiliki cita rasa yang khas juga.

Berdasarkan kepada kedua analogi diatas, apakah sudah bisa kita mengkategorisasikan bahwa cerutu jenis pertama merupakan sebuah produk vernakular? karena dibuat oleh tangan dan tanpa adanya bantuan dari teknologi (secara tradisional). Sedangkan cerutu jenis kedua bukanlah sebagai produk vernakular, karena sudah adanya campur tangan teknologi dan ahli-ahli yang berpengalaman dalam hal pembuatan cerutu. Walaupun hasil yang diciptakan secara bentuk antara kedua jenis cerutu itu tidak adanya perbedaan sama sekali, termasuk dari segi rasa maupun kualitasnya.

Analogi sederhana tersebut merupakan salah satu metode yang ingin penulis digunakan dalam mengkaji kevernakularan dari rumah gadang yang merupakan salah satu karya arsitektur yang berasal dari Sumatera Barat tersebut.

A.Tinjauan Rumah gadang merupakan arsitektur vernakular sebagai produk.

Amos Rapoport dalam salah satu tulisannya yang berjudul Defining Vernacular Design, telah mencoba untuk mengkarakteristikkan arsitektur vernakular sebagai produk kedalam beberapa kategori. Karakteristik ini penulis coba untuk melihatnya pada rumah gadang, sehingga semakin banyak kesesuainan antara kriteria yang ditulis oleh Rapoport terebut dengan temuan terhadap rumah gadang dilapangan, diharapkan dapat menguatkan pendapat bahwa rumah gadang memang merupakan salah satu produk vernakular dari Sumatera Barat. Karakteristik sebuah bangunan atau karya arsitektur sebagai arsitektur vernakular menurut Rapoport adalah:

•Tingkat / derajat kespesifikan budaya atau tempat.

Rumah gadang merupakan bangunan khas daerah Sumatera Barat, seperti yang tertulis pada buku Rumah Gadang Arsitektur Tradisional Minangkabau menyebutkan bahwa arsitektur bangunan rumah gadang merupakan peninggalan tidak tertulis yang sampai pada kita, yang merupakan ciri dari kebesaran kebudayaan minangkabau masa lalu. Betapapun perubahan itu terjadi, namun arsitektur bangunan rumah gadang yang dapat kita saksikan sekarang adalah merupakan pengaruh langgam bangunan masa lampau. Seperti yang juga disebutkan oleh Turan dalam Vernacular Architecture, arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, jadi bangunan rumah gadang merupakan bangunan yang lahir pada masyarakat

Page 22: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

minangkabau dan memang berjangkar pada kebudayaan masyarakat minangkabau itu sendiri.Noberg Schulz juga mengatakan bahwa secara visual elemen lingkungan mempunyai keterpaduan yang jelas atas semangat atau kekuatan suatu tempat yang berorientasi pada lingkungan lokal. Kekuatan tersebut terbagi atas kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar yang membentuk identitas masyarakat tersebut. Karakteristik suatu tempat bukan hanya sekedar mewadahi kegiatan fungsional secara statis melainkan menyerap dan menghasilkan makna sebagai kekhasan suatu tempat atau wilayah.

•Tinjauan terhadap model, denah, morfologi dan spesifikasi bangunan, hubungan antar elemen serta kompleksitas bangunan berdasarkan tempat dimana sebuah bangunan tersebut berada.Secara garis besar model rumah gadang terbagi atas dua kelompok besar yang dibagi berdasarkan kepada dua keselarasan atau hukum adat yang berlaku didalam masyarakat minangkabau. Kedua sistem keselarasan itu adalah:

- Sistem keselarasan Koto Piliang

Ciri dari model rumah gadang yang menggunakan sistem keselarasan Koto Piliang ini adalah memiliki anjuang yang terdapat pada bagian kiri dan bangunan. Anjungan merupakan tempat terhormat didalam suatu rumah gadang yang ditinggikan beberapa puluh sentimeter dari permukaan lantai bangunan.

- Siatem keselarasan Bodi Chaniago.

Sedangkan pada rumah gadang yang menggunakan sistem keselarasan Bodi Chaniago tidak mengenal istilah anjuang tersebut. Jadi bagian lantai rumah gadang mulai dari bangian ujung sampai pangkal mempunyai ketinggian lantai yang sama.

Satu hal yang menarik yang ditemui pada kawasan studi ini, yaitu pada Nagari Koto Baru ini ternyata kedua sistem keselarasan tersebut, yaitu keselarasan Koto Piliang dan Keselarasan Bodi Chaniago ternyata tidak begitu mengikat model dari rumah gadang yang terdapat disini. Hal tersebut merupakan salah satu point penting bagi rumah gadang sebagai produk vernakular yaitu setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri dalam menentukan model dari rumah gadang mereka tersebut. Dengan kata lain bahwa rumah gadang tidak menutup diri terhadap transformasi yang terjadi pada model rumah gadang tersebut.

Denah dalam suatu rumah rumah gadang dipengaruhi oleh jumlah lanjar tiang yang terdapat pada rumah gadang itu sendiri. Berbeda dengan 3 Luhak yang terdapat Sumatera Barat yang rumah gadangnya terdiri atas 4 lanjar tiang dan memiliki 5 baris kolom, berbeda halnya

Page 23: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

dengan rumah gadang yang terdapat pada kawasan studi ini, yaitu jumlah lanjar tiang yang terdapat rumah gadang disini adalah berjumlah 3 buah lanjar tiang dan terdiri atas 4 baris kolom.

-Pola rumah gadang yang terdapat pada Alam Surambi Sungai Pagu.

Rumah gadang yang terdapat pada Alam Surambi Sungai Pagu terdiri atas 3 buah lanjar dan memiliki 4 baris kolom.

-Pola rumah gadang yang terdapat pada Luhak Nan Tigo.

Rumah gadang yang terdapat pada Luhak Nan Tigo terdiri atas 4 buah lanjar dan memiliki 5 baris kolom.

Terdapat beragam jenis dan macam dari rumah gadang yang terdapat pada daerah Sumatera Barat. Tetapi secara umum kita dapat menguraikan morfologi dan spesifikasi elemen dari rumah gadang tersebut.

•Kejelasan, kenampakan (legibility) dan kemudahan dimengerti dari model yang dipakai.

Sebuah rumah gadang merupakan sebuah produk arsitektur yang muncul dan berkembang pada masyarakat minangkabau. Tidak ada bangunan lain yang terdapat di indonesia khususnya yang memiliki tipologi bangunan yang benar-benar identik dengan rumah gadang yang seperti terdapat pada Sumatera Barat ini. Seperti halnya dalam penggunaan elemen atap, merupakan transformasi bentuk gonjong yang didesain bertingkat dan memiliki ratio tertentu dalam sudut dan ketinggiannya yang mana hal ini tidak akan ditemukan pada produk arsitektur daerah lain yang terdapat di indonesia.

Jadi, apabila kita melihat sebuah bangunan yang memiliki ciri seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya maka secara langsung kita akan mengatakan bahwa bangunan tersebut merupakan salah satu bangunan yang berasal dari minangkabau (Sumatera Barat).

Sebuah pertanyaan sederhana yang mungkin akan muncul pada pemikiran kita selanjutnya adalah bagaimana seandainya sebuah bangunan rumah gadang didirikan diluar daerah Sumatera Barat, seperti halnya yang terdapat pada Taman Mini Indonesia Indah (pada anjungan minangkabau) atau diluar negeri (dimana kenyataan sekarang ini banyak kita temukan

Page 24: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

bangunan-bangunan khas Indonesia yang diperjual belikan oleh masyarakat kita yang tidak bertanggung jawab kepada pihak-pihak asing) yang mau membeli dengan harga yang 'tinggi'.

Berdasarkan kepada uraian diatas, secara tegas penulis mencoba untuk menyatakan bahwa bangunan-bangunan terebut (rumah gadang) yang didirikan bukan pada daerah Sumatera Barat itu bukan lagi merupakan arsitektur vernakular yang berasal dari Sumatera Barat, karena salah satu hal penting yang sudah hilang dari bangunan tersebut, yaitu telah terlepas dari konteks lingkungannya, yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah masyarakat minangkabau serta alamnya. Jadi yang tinggal dari bangunan tersebut hanyalah simbolnya saja, yang tidak memiliki makna, apalagi nilai ketradisional maupun kevernakularannya

•Kompleksitas berdasar perubahan waktu, kondisi open-ended yang memungkinkan proses adisi (transformasi) berdasarkan aktifitas pemakai yang bersifat majemuk serta penambahan akan tipe serta jumlah dari bangunan vernakular tersebut. Dilihat dari fungsi dan kegunaan rumah gadang serta definisi ruang yang ada pada rumah gadang yang terdapat pada Nagari Koto Baru dengan daerah 3 Luhak tidak memiliki perbedaan sama sekali. Berdasarkan fungsi dari suatu rumah gadang, secara garis besar dapat kita bagi menjadi dua kategorisasi fungsi pemanfaatannya. Fungsi pemanfaatan ruang dalam pada rumah gadang itu adalah:

1.Fungsi Adat

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang masih berpegang teguh kepada adat istiadat mereka. Ini dapat kita lihat bagaimana falsafah adat masih tetap mereka jalankan dalam kehidupan sehari-harinya. Sebuah rumah gadang, merupakan rumah utama yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat Minangkabau yang diikat oleh suatu suku tertentu. Sebagai rumah utama, rumah gadang merupakan tempat untuk melangsungkan acara-acara adat dan acara-acara penting lain dari suku yang bersangkutan.

Kegiatan-kegiatan adat pada masyarakat Minangkabau dapat kita uraikan berdasarkan kepada siklus kehidupan mereka, yaitu:

•Turun Mandi

•Khitan

•Perkawinan

•Batagak Gala (Pengangkatan Datuak)

•Kematian

Page 25: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

Fungsi adat pada suatu rumah gadang dapat kita sebut sebagai fungsi temporer yang berlangsung pada suatu rumah gadang, karena kegiatan tersebut tidak berlangsung setiap hari dan berlangsung pada waktu-waktu tertentu saja.

2.Fungsi Keseharian

Rumah gadang merupakan wadah yang menampung kegiatan sehari-hari dari penghuninya. Rumah gadang adalah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga besar dengan segala aktifitas mereka setiap harinya. Pengertian dari keluarga besar disini adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu serta anak wanita, baik itu yang telah berkeluarga ataupun yang belum berkeluarga. Sedangkan anak laki-laki tidak memiliki tempat di dalam rumah gadang.

Fungsi inilah sebenarnya yang lebih dominan berlangsung pada suatu rumah gadang. Sebagaimana lazimnya rumah tinggal bagi masyarakat umumnya, disinilah interaksi antar anggota keluarga berlangsung. Aktifitas sehari-hari seperti makan, tidur, berkumpul bersama anggota keluarga serta lain sebagainya lebih dominan berlangsung disini, disamping kegiatan-kegiatan adat seperti yang telah diuraikan diatas.

Seiring dengan perjalanan waktu serta semakin meningkatnya aktifitas masyarakat khususnya yang masih menggunakan rumah gadang sebagai fasilitas huniannya, telah menyebabkan bertambahnya fungsi-fungsi baru pada rumah gadang. Secara arsitektural, kita mengetahui bahwa setiap aktifitas membutuhkan ruang-ruang untuk mengakomodasikan aktifitas tersebut. Begitu juga pada rumah gadang, ruang-ruang baru yang muncul pada rumah gadang (transformasi ruang) merupakan jawaban atas semakin meningkatnya aktifitas serta beragamnya kebutuhan dari penghuni rumah gadang tersebut.

Berdasarkan temuan dilapangan, meningkatnya kebutuhan serta semakin beragamnya aktifitas masyarakat Nagari Koto Baru (khususnya yang hidup di rumah gadang) telah menyebabkan terjadinya transformasi ruang dalam pada rumah gadang. Hal ini dapat kita lihat semakin beragamnya pola denah pada beberapa rumah gadang yang terdapat pada Nagari Koto Baru yang merupakan kawasan studi dari tulisan ini.

Secara garis besar kita dapat mengelompokkan bentuk transformasi yang terjadi pada ruang dalam di rumah gadang di Nagari Koto Baru ini, yaitu:

1.Transformasi ruang dalam yang tidak diikuti oleh penambahan fisik bangunan.

2.Transformasi ruang dalam yang diikuti oleh penambahan fisik bangunan.

Beberapa penyebab yang dapat dijadikan sebagai faktor penyebab terjadinya transformasi ruang dalam pada rumah gadang pada nagari Koto Baru adalah:

Page 26: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

1.Berubahnya struktur kekerabatan masyarakat Minangkabau khususnya Nagari Koto Baru dari bentuk keluarga besar menjadi keluarga inti.

2.Semakin meningkatnya aktifitas serta beragamnya kebutuhan masyarakat.

3.Dampak modernisasi.Masuknya furniture baru ke dalam rumah gadang seperti sofa juga memberikan dampak yang sangat besar bagi terjadinya transformasi ruang di dalam rumah gadang. Ruang-ruang dalam rumah gadang menjadi terkotak-kotak oleh sekat-sekat baru yang bertujuan untuk mengakomodasikan kegiatan-kegiatan tersebut yang menyebabkan peralihan sifat ruang yang bersifat publik menjadi privat. Bagian dapur rumah gadang pun tidak lepas dari transformasi yang terjadi, bagaimana tungku-tungku kayu yang biasa dipakai untuk memasak sekarang sudah mulai tergeser fungsinya oleh kompor-kompor minyak tanah bahkan kompor gas. Pemakaian peralatan modern ini telah menyebabkan berubahnya lay out dapur di dalam rumah gadang, munculnya meja-meja dari semen serta mulai maraknya pemakaian wastafel pada dapur rumah gadang adalah salah satu bukti dari transformasi yang terjadi.

4.Kemajuan teknologi dan media informasi.Transformasi ruang dalam pada suatu rumah gadang juga dipengaruhi oleh faktor kemajuan teknologi serta pesatnya perkembangan media informasi. Sekarang ini, hampir sebagian besar rumah gadang yang terdapat di Nagari Koto Baru memiliki media elektronik didalamnya, sebut saja televisi, tape, vcd player serta parabola yang semakin menjamur kepemilikannya di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bisa dikatakan bahwa memiliki salah satu dari sekian banyak benda tersebut merupakan salah satu gaya hidup yang muncul dikalangan masyarakat kita pada saat ini.

B.Tinjauan Rumah gadang merupakan arsitektur vernakular sebagai proses.

•Anonimitas (tiadanya identitas perancang)

Orang yang ahli membuat rumah gadang ini dikenal dengan sebutan tukang tuo. Tukang tuo merupakan sekelompak orang yang mampu membuat rumah gadang. Ukuran yang lazim yang terdapat pada suatu rumah gadang mengikuti apa yang sepatutnya menurut orang yang membuatnya (tukang tuo) yang biasa dikenal dengan istilah alua jo patuik Maka sesuai dengan pandangan tukang tuo ini, mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang terdapat di alam ini mempunyai fungsi sendiri-sendiri, sesuai dengan ungkapan yang terdapat dalam masyarakat minangkabau yaitu indak tukang mambuang kayu (yang artinya adalah tidak tukang membuang kayu), artinya adalah tukang tuo yang ahli tersebut mampu memanfaatkan setiap kayu yang ada tersebut sesuai dengan sifatnya, seperti yang disebutkan dalam ungkapan nan kuaik jadikan tonggak, nan luruih jadikan balabaeh, nan bungkuak ambiak kabajak, nan lantiak jadikan bubungan, nan satampok kapapan tuai, panarahan ambiak kakayu api, abunyo ambiak kapupuak.

•Maksud dan tujuan merancang bukan menonjolkan diri

Page 27: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

Berbeda halnya dengan rumah gadang sebagai arsitektur tradisonal yang merupakan lambang eksistensi suatu kaum, sebuah rumah rumah gadang yang merupakan arsitektur vernakular merupakan sebuah rumah yang biasa digunakan untuk wadah kegiatan kesehariannya. Jadi tidak tidak adanya suatu tujuan untuk menonjolkan diri pada rumah gadang tersebut.

•Model dengan variasi

Seperti halnya pada uraian diatas, bahwa rumah gadang memiliki banyak model dan yariasi yang beragam yang salah satunya tergantung kepada keselarasan yang dianut oleh kaum yang menempati rumah gadang tersebut, walapun pada kawasan studi hal itu tidak ditemukan. Tetapi hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat menguatkan bahwa rumah gadang merupakan produk arstektur vernakular dari Sumatera Barat jika ditinjau dari segi prosesnya.

C.Tinjauan filosofis rumah gadang sebagai arsitektur vernakular.

Rumah gadang bagi masyarakat minangkabau selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga berfungsi sebagai lambang eksistensi suatu kaum (salah satu contohnya yaitu pada beberapa istana raja yang terdapat pada kawasan penelitian), sebagai tempat bermusyawarah bermufakat dan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara-upacara adat, hal inilah yang kita kategorikan sebagai muatan filosofis suatu rumah gadang. Baik pada rumah gadang sebagai arsitektur tradisonal maupun pada rumah gadang sebagai arsitektur vernakular, muatan filosofis ini sama-sama dapat kita temukan, seperti yang dibunyikan pada pidato pendirian sebuah rumah gadang, yaitu:

Rumah gadang basa batuah

Tiang banamo kato hakikat

Pintunyo banamo dalia kiasannyo

Banduanyo sambah manyambah

Bajanjang naiak batanggo turun

Dindiangnyo panutik malu

Biliaknyo alun bunian

Adapun maksud dari pidato diatas adalah jumlah tiang yang terdapat pada suatu rumah gadang merupakan salah satu faktor yang menentukan besar kecilnya bangunan rumah yang akan didirikan, letak pintu menentukan sistem keselarasan yang dianut, bandul (permainan tinggi rendah lantai suatu rumah gadang) yang merupakan batas antara luar dan dalam rumah yang

Page 28: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

tidak dapat dilalui tanpa tata tertib tertentu, rumah yang berdinding mengkiaskan nilai kebudayaan dan peradabannya sedangkan kamar merupakan tempat untuk menyimpan barang yang berharga.

Rumah gadang sebagai tempat tinggal bersama bagi masyarakat minangkabau yang hidup menganut sistem kekerabatan matrilinial (menurut garis keturunan ibu) kaum perempuan mendapat kedudukan dan tempat yang istimewa pada rumah gadang. Setiap wanita yang bersuami akan memperoleh satu kamar, sedangkan perempuan termuda mendapat kamar terujung yang kemudian akan pindah jika telah memiliki suami nantinya.

BAB IVKesimpulan

Sesuai dengan tujuan awal penulis mengangkat tema ini adalah untuk mencoba mendefinisikan kembali pengertian dari arsitektur vernakular dengan rumah gadang sebagai objek kajian pembahasannya serta ingin menegaskan bahwa rumah gadang merupakan salah satu wujud dari arsitektur vernakular yang terdapat pada Sumatera Barat.

Berdasarkan kepada analisa-analisa yang telah dilakukan, maka didapat beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan tinjauan rumah gadang sebagai arsitektur vernakular Sumatera Barat, yaitu:

1.Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.

2.Dalam menentukan dan menggolongkan sebuah produk arsitektur apakah termasuk kedalam arsitektur vernakular ataupun tradisional kita tidak dapat menetapkannya secara langsung, tetapi harus melakukan beberapa tinjauan maupun analisa terlebih dahulunya, karena adakalanya sebuah produk arsitektur tersebut dapat digolongkan kedalam arsitektur vernakular jika dilihat dari sebagai produknya, atau hanya sebagai proses yang memiliki nilai kevernakularannya atau hanya pada level filosofisnya yang memiliki muatan vernakularnya. Kevernakularan suatu produk arsitektur tidak dapat secara kaku kita mengklasifikasikannya.

3.Rumah gadang sebagai salah satu produk arsitektur yang berasal dari daerah Sumatera Barat merupakan salah satu produk arsitektur tradisonal yang pada tahap tertentu dapat dikatakan sebagai arsitektur vernakular dan pada tahap tertentu dapat dikategorisasikan sebagai arsitektur tradisonal.

Page 29: Apresiasi Budaya Sumatera Barat

4.Kesimpulan umum yang coba penulis sampaikan pada hasil analisa tinjauan rumah gadang sebagai arsitektur vernakular Sumatera Barat ini adalah semua arsitektur tradisonal merupakan arsitektur vernakular, apabila terdapatnya transformasi-trasnsformasi yang significant pada bangunan tersebut tetapi semua arsitektur vernakular belum tentu merupakan arsitektur tradisonal karena beberapa tinjauan seperti yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, yaitu tinjauan sebagai produk, proses serta filosofinya.

5.Hal yang lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam kajian ini adalah untuk memunculkan dan memperkenalkan kembali identitas dari arsitektur kedaerahan yang banyak kita miliki melalui tinjauan-tinjauan seperti yang telah dilakukan pada pembahasan diatas yaitu mengetahui nilai tradisional maupun kevernaularannya.

6.Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang dinamis yang akan selalu berubah seiring dengan perjalanan waktu. Seperti yang telah dibunyikan dalam salah satu pepatah adat Minangkabau yaitu ’Alam Takambang Jadi Guru’. Satu hal menarik yang dapat kita simpulkan disini adalah bahwa setiap pelajaran yang didapat dari alam itu seharusnya mampu diakumulasikan sebagai masukan baru dalam kehidupannya, hal inipun tidak tertutup dalam hal rumah atau fasilitas hunian mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor yang semakin menguatkan bahwa rumah gadang meruapakan arsitektur vernakular.