i lampiran kasus sumatera barat

30
PROYEK PILOT INISIATIF KOMUNITAS KREATIF 2008 – 2009 Kasus-kasus Sumatera Barat

Upload: dinhnhan

Post on 30-Dec-2016

230 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

PROYEK PILOT INISIATIF KOMUNITAS KREATIF 2008 – 2009

Kasus-kasus Sumatera Barat

Page 2: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

2

Kasus 1 Kecamatan IV Koto

INISIATIF LOKAL vs PROYEK PEMBANGUNAN DARI PEMERINTAH

Nuraini Juliastuti

Salah satu cerita utama dari para pengurus IKK maupun PNPM—pendeknya para aktor pembangunan lokal tingkat Kecamatan IV Koto—yang selalu kami dengar saat mengawali evaluasi atas program IKK ini adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam semua kegiatan pembangunan, terutama jika inisiatif pembangunan tersebut datang dari pemerintah atau aktor-aktor lain yang berhubungan erat dengannya. FK PNPM Endi Arverion mengatakan bahwa kesulitan utama yang dihadapi saat PNPM pertama kali diluncurkan ke masyarakat pada 2007 adalah pada tahap sosialisasi program ke masyarakat. Perlu waktu cukup lama, menurutnya, untuk meyakinkan bahwa PNPM merupakan sebuah program pembangunan yang berbeda dari yang biasanya dikenal, bahwa ia akan jadi program dengan filosofi “dari masyarakat, untuk masyarakat, dan dikelola oleh masyarakat sendiri”.

Aspek penting dari ketidakyakinan tersebut saya pikir adalah adanya keraguan atas peranan pemerintah dalam pembangunan. Seperti juga terungkap dalam cerita PJOK Ediwirman (43), hal ini tampak dalam lontaran-lontaran umum para warga akan betapa membosankannya tahapan program pembangunan ala pemerintah itu: terlalu banyak rapat-rapat, terlalu banyak bicara dibanding kerja-kerja yang nyata, semua tidak efektif dan buang-buang waktu saja. Hal ini juga yang memicu lahirnya kebijakan untuk banyak menggabungkan kegiatan PNPM dan IKK. Selain alasan efisiensi, pandangan tersebut dijalankan untuk mengatasi kesulitan yang selalu dihadapi ketika melakukan kegiatan yang mensyaratkan partisipasi masyarakat karena masyarakat itu cuek, cenderung tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dan inilah salah satu sebab di balik lambatnya pelaksanaan program IKK.

Sementara dari temuan di lapangan dan dari diskusi FGD kami mencatat fakta penting bahwa IV Koto

Page 3: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

3

merupakan kecamatan dengan banyak inisiatif lokal. Tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan itu tinggi. Di antara potongan-potongan cerita kecil yang kami kumpulkan adalah ikatan rantau yang membantu pembangunan infrastruktur fasilitas lokal di nagari seperti mushola dan gedung wali nagari di Nagari Guguak Tabek Sarojo, ikatan rantau yang membantu pembangunan masjid di Nagari Koto Gadang, ikatan rantau yang membantu biaya operasional aktivitas pondok pesantren di Nagari Guguak Randah (pondok pesantren tersebut juga berperan dalam pengembangan masyarakat misalnya pemberian beasiswa kepada anak-anak dari TK sampai SMA, mengelola praktek simpan pinjam dan pembuatan pupuk biogas bagi petani), sampai ke cerita Keluarga Chaniago di Nagari Koto Panjang yang berinisiatif membentuk kelompok musik Tambur dengan berdasar pada sedikitnya dua hal yaitu: sebagai investasi keluarga, sekaligus ikut membantu pembangunan kesenian tradisi.

Abdul Karim Syuaib (60), pengelola pondok pesantren di Nagari Guguak Randah mengatakan bahwa dalam setahun ia bisa melakukan perjalanan sebanyak 3-4 kali ke Jakarta dengan tujuan utama pencarian dana pengelolaan pesantren. Jumlah uang yang ia terima sejak 2-3 tahun terakhir mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemasukan sebelum 1998. Pada periode sebelum 1998, dana pengelolaan pesantren yang diterima bisa mencapai 250 juta per tahun.

Proses akses dana lewat jaringan perantau jauh lebih mudah, karena ia mengandalkan pada nilai-nilai persaudaraan dan sebagainya. Dikatakan lebih mudah jika dibandingkan dengan proses yang harus dijalankan masyarakat ketika hendak mengakses dana dari pemerintah.

Hengki Sutan Kamaludin (40), Kader PNPM dan Kader Budaya, Nagari Guguak Tabek Sarojo bercerita tentang Ikatan Pemuda Perantau Guguak Tinggi Tabek Sarojo (IPPGT) yang tersebar baik di beberapa tempat di Jakarta (Tebet, Blok M, Melawai, Pondok Gede) maupun di Australia. Terhadap eksistensi ikatan para perantau tersebut, sikap mental yang terbentuk di tingkat lokal, adalah bahwa merekalah tempat pertama yang akan dituju setiap kali membutuhkan bantuan dana langsung untuk kepentingan kampung halaman. Beberapa kali bahkan Hengki diminta untuk menangani langsung distribusi dana dari para perantau di Jakarta untuk kepentingan pemberian beasiswa kepada anak-anak usia sekolah di jorong tempat tinggalnya. Semua pelaksanaan penyaluran dana, kata Hengki, dilakukan berdasar atas modal saling percaya. Mekanisme pelaporan distribusi dana kepada para pendonor juga tidak ada. Seingatnya, sejauh ini mekanisme pelaporan berlangsung secara informal yaitu lewat pembicaraan telepon untuk menyatakan kepada para pendonor tersebut bahwa uang sudah dibagikan sesuai amanat.

Bicara soal sejarah, IV Koto juga kaya akan para tokoh yang telah membuat kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat—dengan berdasar pada potensi lokal yang dimiliki—yang telah dimulai sejak awal periode 1900-an. Salah satu contoh yang bisa disebutkan adalah Amaisetia, sebuah organisasi yang dibentuk oleh Rohana Kudus dengan alasan utama yaitu: pemberdayaan perempuan berdasar ketrampilan yang dimiliki. Saat ini, Amaisetia masih berdiri dan kembali berperan sebagai organisasi yang punya peranan penting dalam mendistribusikan karya-karya kerajinan lokal.

Menurut Mohamad Iskandar (42), pengrajin perak di Nagari Koto Gadang, peranan para perantau sebagai salah satu mata rantai penting dalam distribusi produk kerajinan dan pemberian modal merupakan peranan klasik yang selalu ada dalam rantai besar pekerjaan seorang pengrajn.

Sampai di sini terdapat pemahaman baru yang bisa menjelaskan masyarakat IV Koto yang selalu dikatakan berkarakter cuek tersebut. Cuek di sini bukan berarti tidak peduli dengan pembangunan, dan tidak peduli terhadap pemerintah, tetapi karena mereka terbiasa hidup dengan mendapat sokongan dari aktor-aktor lain selain pemerintah.

Artinya, pertama: terdapat kesenjangan tentang pemaknaan aktor-aktor pembangunan. Dalam tataran formal, yang dikenal sebagai aktor pembangunan adalah pemerintah. Sementara di level masyarakat, sebenarnya sudah ada suatu kelompok yang selama ini selalu setia membantu pembangunan di level lokal,

Page 4: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

4

Memainkan musik tambur

tetapi mereka ini tidak dikenali peranannya dalam proses pembangunan.

Suatu problem yang terdapat dalam konsep dan teori pembangunan selama ini adalah bahwa pembangunan itu berarti pembangunan fisik dan datang dari “pusat”. Pusat itu berarti pemerintah. Segala inisiatif datang dari atas, dan masyarakat hanya menerima saja. Konsep tersebut begitu kuat tertancap, sehingga inisiatif-inisiatif masyarakat yang terjadi di tingkat lokal tidak dianggap sebagai bagian dari pembangunan.

Ke dua, terdapat kesenjangan pemaknaan partisipasi. Semua inisiatif lokal ini bersifat informal. Selain itu juga: mereka seringkali dikategorikan sebagai sumbangan / amal jariah / shodaqoh di mana para perantau merasa berkewajiban untuk menyumbangkan sebagian rejekinya kepada para saudaranya di tanah kelahiran. Demikian juga, para keluarga yang membangun pondok pesantren merasa bahwa ini adalah kewajiban mereka terhadap keluarga dan kampung. Ia tidak pernah dilihat sebagai wujud nyata kemandirian masyarakat, apalagi dianggap sebagai kreativitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

Melihat begitu dinamisnya inisiatif-inisiatif lokal di kecamatan ini, adalah cukup mengherankan bahwa hal tersebut tidak dimunculkan dalam aktivitas dan usulan program IKK. Seolah tidak ada dalam bayangan program ini bahwa segala inisiatif lokal itulah wujud paling konkret dari upaya-upaya kreatif untuk membangun masyarakat. Padahal tidakkah ini merupakan salah satu intisari dari program IKK ini?

Kelompok Tambua Telaga Gontong : Inisiatif Lokal Pelestarian Seni Tradisi Keluarga Chaniago

Seperti lazimnya setiap suku yang ada di Nagari Koto Panjang, para anggota ikatan suku Chaniago yang tinggal di Jorong Kampuang Pisang rutin menyelenggarakan pertemuan keluarga setiap 15 hari sekali. Tempat pertemuan selalu berubah-ubah sesuai dengan rumah anggota keluarga yang kebetulan mendapat giliran. Diperkirakan terdapat 100 orang anggota Suku Chaniago di jorong ini.

Salah satu fungsi utama ikatan suku adalah membantu penyelenggaraan kepentingan apa pun dari para anggotanya. Yang paling umum dilakukan adalah mengumpulkan segala peralatan pesta selengkap

mungkin, supaya bisa digunakan oleh para anggota yang hendak menyelenggarakan hajatan. Di sebuah tempat dimana setiap tahapan hidup harus diperingati dan dimintakan doa melalui bermacam upacara, kepemilikan alat-alat upacara tentu menjadi penting.

Desmawati (31) dan Erwin Sutan Mangkuto (43) mengisahkan bahwa saat itu terdapat perdebatan di antara para anggota mengenai barang apa yang seharusnya dibeli untuk aset keluarga besar Chaniago. Sebagian besar para anggota perempuan mendesak untuk membeli seperangkat alat upacara supaya tidak perlu lagi meminjam dari ikatan suku-

suku lain. Sementara lebih banyak para angota keluarga lain yang lebih berpihak pada gagasan untuk membeli seperangkat alat musik tambur.

Alasan pertama pembelian adalah untuk melestarikan tradisi masyarakat Sumatera Barat, meski jika dipikirkan lebih dalam sebenarnya alat musik ini dikenal bersamaan dengan masuknya agama Islam. Artinya, alat musik ini bukanlah asli milik budaya Minang. Dan tentu saja hal ini bisa membuka ke diskusi lebih rumit soal faktor-faktor asli dan tidak asli yang membentuk suatu kebudayaan.

Page 5: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

5

Alasan kedua adalah pertimbangan bahwa pemilikan kelompok tambur ini akan menjadi investasi bisnis yang cukup menjanjikan di tengah-tengah popularitas kelompok organ. Biaya sewa kelompok organ relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya sewa kelompok tambur. Selain itu, akhir-akhir ini kelompok organ banyak mendapat tanggapan negatif dari anggota masyarakat karena ia identik dengan para penyanyi yang seronok dan dianggap banyak bertentangan dengan ajaran Islam. Diharapkan hal ini akan membuat banyak orang akan berpaling kembali kepada seni musik tambur.

Awalnya semua anggota kelompok tambur ini berasal dari Keluarga Chaniago sendiri, tetapi sekarang sudah banyak bercampur dengan anggota suku-suku lain. Sejak didirikan pada awal 2000, memang jumlah penyewa belum terlalu banyak, tetapi diharapkan akan terus bertambah. Tidak ada patokan biaya sewa. Uang yang masuk akan dibagi ke setiap pemain, dan sisanya masuk ke dalam kas ikatan suku Chaniago.

Page 6: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

6

Kasus 2 Kecamatan IV Koto

SDM LEMAH + DOMINASI PEJABAT PEMERINTAHAN LOKAL

Ani Himawati

Seperti disampaikan di Laporan Kecamatan maupun kasus yang ditulis oleh Nuraini Juliastuti, bahwa persoalan mendasar masyarakat IV Koto adalah sudah mulai hilangnya budaya berkumpul, berembug, apalagi untuk memikirkan atau merencanakan pembangunan. Ide ‘bottom up’ yang diusung oleh PNPM juga IKK masih susah untuk dipraktekkan. Mungkin bukan hilangnya kepercayaan pada pemerintah seperti yang kerap disampaikan oleh PJOK maupun FK dan FT dengan ungkapan “Ya, selama ini masyakarakat sudah capek dan tidak lagi percaya pada pemerintah karena janji-janji yang tidak terwujud.” – yang kemudian mulai kami tengarai sebagai ungkapan klise ‘hafalan’ modul yang ada di proyek pembangunan tentang semangat ‘bottom up’. Mungkin karena masyarakat sudah memiliki jaringan dan sumber finansial untuk pembangunan yang terbukti misalnya dengan jumlah ikatan masyarakat rantau yang tersebar di berbagai kota dan sumbangan yang besar pada pembangunan di nagari dan jorong masing-masing, sehingga peran pemerintah menjadi teramat kecil, hanya terbatas pada administrasi saja. Hal lain adalah juga karena pekerjaan warga kecamatan yang berwiraswasta dan berdagang sehingga waktu selamanya adalah uang, dan bukan untuk bertemu atau mendengarkan banyak ceramah, apalagi musti datang ke kantor kecamatan yang jaraknya juga tidak dekat.

Dalam konteks masyarakat seperti inilah IKK yang mengusung pola lebih demokratis ‘bottom up’ datang. Bahkan dalam isu kebudayaan (yang dibawa) yang dirasa demikian penting untuk sebuah masyarakat, ternyata juga tidak mendapatkan antusiasme yang sebanding seperti di kecamatan lain. Meski ungkapan betapa penting dan berartinya program ini juga muncul dalam beberapa wawancara, namun bahkan mendiskusikan perihal ‘kebudayaan’ bukan menjadi topik favorit. Diskusi program pun tidak muncul dari para pengurus kecamatan. Apalagi warga yang tinggal di kampung, yang adalah golongan tua dan dewasa

Page 7: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

7

yang terus bekerja, berdagang di pasar, sehingga siang hari kampung benar-benar sepi, dan sebagian besar anak muda pergi merantau. Siapa yang akan dan bisa menjalankan ‘amanah’ pada perkembangan kebudayaan, seperti yang dibayangkan oleh program ini? Bahkan sebagai penonton?

“Memang ramai sekali Mbak, pada saat kemarin ada peresmian jalan di salah satu nagari, yakni Koto Panjang, kita coba pakai seni tambur untuk acara. Dan benar, ramai sekali orang menonton, anak-anak mengikuti iring-iringan. Ini bisa dilihat foto-fotonya.”1

Pemahaman yang lemah + kreativitas yang tumpul + IKK (PTO) tidak aplikatif

Keheranan kami atas belum berjalannya program, belum cairnya dana satu kegiatan apa pun hingga kami tinggal di kecamatan ini, mulai mendapat jawaban dengan banyak cerita dan kebuntuan ketika melakukan wawancara dengan beberapa orang, termasuk dengan orang-orang penting di tim. Pengetahuan, pemahaman dan kerja pada setiap tahapan program sangat minim, bahkan banyak yang dilakukan dengan tidak jelas keterangannya. Apa itu identifikasi budaya, bagaimana melakukannya, bagaimana sosialisasi kecamatan, sosialisasi nagari, hingga penyusunan usulan dan pembuatan proposal, membuat kami tidak bisa menulis banyak data. PenLok dan semua Tim Kreatif tidak mengerti apa dan bagaimana musti melakukan program ini. Kejujuran mereka dengan menjawab ‘tidak tahu’ dan ‘belum’ membuat kami kemudian membincangkan hal lain di luar instrumen penelitian yang kami bawa.

“Saya tidak ikut. Pada saat itu saya tidak tahu. Baru mungkin sesudahnya, saya diminta untuk mendaftar menjadi tim kreatif. Lalu ya saya ikut di pelatihan selama satu hari. Saya tidak tahu dan tidak ikut identifikasi budaya, saya juga hanya ikut di sosialisasi nagari di sini, nagari sini (nagarinya sendiri). Jadi kami itu masih bingung. Kami tidak tahu ... Saya baru kenal dan bertemu dengan anggota tim yang lain, dengan Fatimah atau Pak Resman ya pada saat pelatihan kader itu. Sebelumnya belum pernah bertemu. Tahu kalau jadi satu tim kreatif ya pada saat itu.” 2

“Saya baru baca bukunya itu, PTO itu ya sekarang-sekarang ini. Dulu bingung mau ngapain. Tim kreatif itu apa kerjanya, yang dimaksud itu bagaimana, ya kalau kami tahu, kami akan melakukannya. Pelatihan itu tidak cukup, masih belum jelas, saya saja baca sendiri, dan ya masih belum dipahamkan.” 3

“Tidak tahu. Hanya tahu kalau ini menggali budaya lama, tradisi sendiri. Mendata kelompok-kelompok seni atau orang-orang yang bisa membuat kerajinan, termasuk makanan.” .. “identifikasi budaya itu dulu dilakukan Pak Zerry ya? Iya, dia sendiri datang ke nagari-nagari meminta data, kami tidak tahu. Hanya tahu kalau kemudian ada kader yang diambil dari PNPM, kemudian pelatihan, lalu membuat usulan kegiatan. Kader-kader itu yang yang membuat proposal, lalu dikumpul dan sama Pak Zerry dikirim ke pihak Kelola.“4

“Ya daya budaya itu antara lain kesenian tradisi, pencak silat, kerajinan. Kalau program

1 Ilham, ketua UPK, 12 Mei 2009 2 Fitri Haryanti, 40 th, Tim Kreatif, ibu pengrajin dan bisnis sulaman 3 Fitri Haryanti, 40 th, Tim Kreatif, 16 Mei 2009 4 Uni Fatimah, 32 th, Tim Kreatif, 15 Mei 2009

Page 8: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

8

saya tidak tahu. Belum pernah ikut. Identifikasi budaya, yang apa? Saya tidak tahu.”5

“Oh, jadi mustinya proposal itu disaring dan diolah dulu ya sama tim kecamatan. Dulu ya semua proposal yang dibuat oleh kader itu langsung dikirim ke Kelola. Semuanya. Kami tidak meringkas. Lha begitu kata Pak Zerry (PenLok).”6

“Ya gitu. Pelatihannya cukup asyik. Tapi bagi saya sebenarnya masih bingung. Ini tuh apa dan bagaimana menjalankannya. .. Pada saat itu PTO diberikan di agak akhir gitu, dipanggil wakil per kecamatan. Saya yang dapat, dan diberi pengarahan sebentar. Ya tidak mudah bisa memahami.“7

“Bersosialisasi, menyampaikan tentang program ini, sebagai kegiatan yang membangkitkan lagi, yang melestarikan budaya. Begitu saya sampaikan ke masyarakat, di pertemuan jorong, di acara-acara perkumpulan. … Saya sendiri tidak tahu, nanti setelah kelompok-kelompok terdata dan berlatih, terus bagaimana. Saya sendiri kurang dipahamkan.“8

Banyak ungkapan tadi adalah gambaran bagaimana tim kecamatan dan orang-orang yang bahkan menjadi corong langsung penggerak masyarakat belum paham dengan progam, baik sebagai konsep, sebagai praktek kerja per tahapan, apalagi rencana panjang dan orientasi. Kebingungan kerja disampaikan dengan sangat jujur, termasuk ketakpahaman membaca PTO, selain memang banyak juga yang tidak memiliki. Tim Kreatif tidak satu pun memiliki kopian PTO. Buku itu tersimpan di almari data di kantor UPK – IKK di kecamatan. Lalu soal kreativitas? Kenyataannya, tim tidak berpikir untuk ‘mengkreasi sesuatu’, selain diam menunggu.

Mengikuti Alur PNPM: Jawaban Atas Kebingungan

“Pada saat itu hanya satu orang yang mendapat PTO dan itu juga tidak segera dibagikan ke teman yang lain. Baru beberapa saat kemudian saya membaca dan ada beberapa yang tidak saya pahami. Masih susah dijalankan. Kemudian bersama FK dan FT, dan kita (saya) untungnya sudah kerap menjalankan program dan proyek-proyek, kemudian ya banyak tahapan dan prosedur kami sesuaikan dengan PNPM, karena di PNPM PTO-nya jelas sekali.”9

“Yang diundang di sosialisasi kecamatan ya yang biasa diundang untuk acara PNPM. Apalagi sosialisasi IKK pada saat itu dibarengkan dengan acara pertemuan PNPM. Ya seperti biasa, yang menentukan undangan PJOK. Ya selama ini semua PJOK yang menentukan. Jadi pada saat acara itu tidak ada orang seni atau orang-orang yang sebenarnya menjadi sasaran IKK ini. “ 10

“Ya, hampir semua kader budaya itu ya kader PNPM. Memang kita ambil dan pilih di antara mereka, kader PNPM yang bergerak di masing-masing jorong. Dengan begitu, kan mereka sudah biasa bekerja, sekaligus praktis. Mudah koordinasinya. Diajak bertemu ya

5 Zulkhaidir, 42 th, Kader Budaya, 13 Mei 2009 6 Uni Fatimah, Tim Kreatif, 15 Mei 2009 7 Ilham, 26 th, ketua UPK, 17 Mei 2009 8 Eli, 25 th, Kader Budaya Jorong Pisang, Koto Panjang, 15 Mei 2009 9 Edi Wirman, 42 th, PJOK/Sekcam, 15 Mei 2009 10 ILham, Ketua UPK, 12 Mei 2009

Page 9: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

9

masih lumayan, sudah kerap. Kalau orang baru, pasti harus memulai dari nol lagi.” 11

“Nah, ini kader juga Mbak. Ya kader budaya ya kader PNPM. “ Demikian kerap kami diperkenalkan oleh tim kecamatan ketika bertemu dengan orang entah di jalan atau di kantor. Tidak selalu kami bisa ngobrol soal IKK, bukan karena waktu atau kesempatan, namun memang kami dapati betapa minim pengetahuan yang dipunya tentang IKK, selain bahwa itu tentang budaya. Bahkan tidak jarang, mereka juga bingung antara bercerita kegiatan PNPM atau IKK.

“Menurut kami, PTO IKK ini bagus, namun di beberapa sisi memang tidak cukup memberikan panduan. Jalur koordinasi, jalur pelaporan, bahkan konsultasi dan komunikasi antara kecamatan dengan pihak Kelola juga tidak ada. Juga beberapa hal penting tentang standar atau ukuran kerja. Sementara itu PNPM memberikan gambaran dan peraturan yang cukup ketat. Jadi secara otomatis kami selalu melihat dan membandingkan. Dan ketika tidak kami dapati di IKK, ya kemudian kami mengikuti PNPM. Bukannya programnya sebenarnya sama. Ini kan rintisan, atau semacam program baru, yang nanti akan digabungkan dengan PNPM, hanya bdiang garapnya saja yang berbeda. Tim di kecamatan juga sama, kerja bersama antara IKK dan PNPM.“ 12

Bahwa kemudian selalu membandingkan antara dua PTO itu kami dapati dalam beberapa kali obrolan. FK dan FT menyatakan kebingungan mereka tentang ketidakjelasan PTO Daya Budaya, jika dibandingkan dengan PTO PNPM yang selama ini cukup gampang dipahami dan benar-benar memberikan panduan kerja. Mereka juga bingung dengan posisi mereka di IKK ini dan sebenarnya berharap bisa terlibat lebih dalam, karena menurut keduanya, antara daya budaya dan PNPM Mandiri memiliki lingkup dan fungsi yang sangat berkaitan, juga ketika berhubungan dengan masyarakat. Dari banyak cerita, kami ketahui bahwa ada kesolidan sebenarnya antara tim UPK + FK – FT dan tim IKK. Keduanya saling men-support.

Ternyata ada hal lain yang menjadi ‘semacam persoalan’ bagi kedua tim di tingkat kecamatan ini, yakni pihak kecamatan sendiri.

Kecamatan (PJOK) yang mendominasi: PNPM dan apalagi IKK

“Selama ini saya belum pernah bertemu dengan Camat IV Koto. Memang saya tidak mau. Ya, kalau di kecamatan ini saya selalu menjadi pendengar yang baik bagaimana semua tim baik PNPM dan IKK mengeluh tentang dominasi pihak kecamatan. Pihak kecamatan terlalu campur tangan. Dan jatuhnya memang sering menghambat kerja. Seringkali hanya persoalan minta tanda tangan camat saja, bisa harus menunggu selama beberapa hari. “ 13

“Ya, jadi susah Mbak. Apalagi saya yang orang muda begini. PNPM yang mustinya menjadi lembaga mandiri, tetap saja sangat pemerintah. Pihak kecamatan mau tahu dan mengurusi semua. Mending kalau membantu, kadang bahkan selalu mengawasi dan bisa begitu saja melarang dan mengatur.” .. “Kami mau pindah kantor, cari tempat sendiri juga tidak dibolehkan. Ya, Mbak lihat sendiri bagaiman kantor kami yang kecil begitu, yang harus mengikuti cara kerja pemerintah kantor. Ya, penghambatnya ya sebenarnya pihak kecamatan sendiri. Sering capek, Mbak.“ 14

11 Edi Wirman, PJOK, 15 Mei 2009 12 Edi Wirman, PJOK, 15 Mei 2009 13 Antoni Syamsir, PenProv IKK Sumbar 14 Ilham, ketua UPK, 17 Mei 2009

Page 10: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

10

“Jadi ya begitu Mbak. Kami baik PNPM maupun IKK ini mau maju susah, serba salah dan disalahkan. Mau jalan selalu saja ada hambatan dari pihak kecamatan. Kita sudah jalan, pihak kecamatan bisa mengatakan bahwa apa yang kami lakukan tidak benar dan kita musti melakukan lagi. Jadi ya, hambatannya justru dari pemerintah sendiri. Jadi, begitu sebenarnya yang terjadi. Pemerintah sepertinya tidak mau ketinggalan atau ketakutan kalau tidak terlibat di semua hal. Serakah begitu. “ 15

“Ya, mungkin memang PenLok dan tim, kami semua memang tidak atau belum paham soal kerja ini. Namun faktor kecamatan yang seringkali membuat lambat ini juga sangat berpengaruh.” 16

“Ya, sebenarnya memang kuncinya itu di PenLok dan Tim Kreatif. Namun ya maaf saja. Pemahaman dan daya kerja tim itu kan masih banyak kekurangan. Jadi saya kan selalu mem-back up, saya selalu harus datang di setiap kegiatan. Rakor Kader Budaya itu saya selalu hadir.” 17

Sebagai ilustrasi dari intervensi dan dominasi kecamatan dan bagaimana tim PNPM dan IKK sama sekali tidak berkutik terwakili ketika kami akan melakukan FGD. Yang direncanakan dilaksanakan pada pukul 9.30, diawali rembugan kami dan PJOK, bahwa semua sepengetahuan dan bahkan terasa yang menentukan semua adalah PJOK, yang kemudian kami share rencana itu ke tim. Pada saat hari dan jam yang sudah ditentukan, ternyata ruangnya dipakai untuk rapat koordinasi Kader Budaya, dan sekretaris kecamatan alias si PJOK ini sendiri yang menjadi pemimpin musyawarah. Kami bersama Tim IKK, PNPM, dan peserta FGD harus menunggu lama, bahkan beberapa orang karena urusan kerja, kemudian pulang sebelum acara.

Dominasi pihak kecamatan yang diwakili oleh PJOK juga terasa dalam menentukan siapa saja yang akan mengikuti FGD, dan beberapa kali saya harus mempertanyakan dan membantah atas beberapa idenya, yang menurut kebutuhan penelitian ini tidak cukup mewakili variasi keterwakilan peserta. Bahkan pada hari kedua sebelum acara, ketika di rapat tim, kembali PJOK menyampaikan usul (yang kemudian menjadi menentukan), yakni soal banyaknya uang saku pengganti transport untuk acara FGD, yang dia sampaikan sebagai usulan dari Bapak Camat. Terasa benar, dalam briefing persiapan FGD tersebut, pihak dan orang-orang yang lain baik tim PNPM maupun IKK, tidak mempertanyakan dan hanya mengikuti. Setiap kali PJOK bicara, yang memang sangat pandai berkata-kata dan logis, tidak ada seorang pun yang berani membantah atau bebas berkomentar.

Dari paparan dan cerita di atas, kita bisa mengambil beberapa point, yakni soal bagaimana konsep dan operasional IKK ini tidak mudah diakses oleh semua orang, baik materinya, proses pelatihan, dan proses pelaksanaan. PTO mendapat banyak catatan dari hasil wawancara, karena dirasa tidak memberikan jawaban atau inspirasi, maupun mungkin kurangnya proses koordinasi/konsultasi yang menjembatani antara Yayasan Kelola dan pihak kecamatan. Proses kontrol dalam struktur program ini secara makro juga terlihat sangat lemah, bahkan ketika kemudian tim tidak memiliki posisi setara dengan pihak kecamatan, atau bagaimana pihak kecamatan menjadi bisa menentukan semua. Selain juga dari program dalam kaitan pelaksanaan: melihat waktu di mana kecamatan yang lain sudah mulai berjalan bahkan sudah menyelesaikan tahapan akhir, kecamatan ini masih berjalan di tempat. Pun juga tentang ‘proposal kegiatan’, yang dari kecamatan ini, begitu saja semua proposal yang dibuat kader dikirimkan langsung ke Jakarta, yang tentu berarti juga berkait lemahnya informasi, koordinasi, dan komunikasi.

15 Zerry Muchtar, PL PNPM dan IKK, 18 Mei 2009 16 Fitri Haryanti, Tim Kreatif 17 PJOK, 15 Mei 2009

Page 11: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

11

Adalah juga soal konteks masyarakat dan sistem pemerintahan yang ada. Kecamatan ini menjadi contoh bagaimana peran pemerintah yang selama ini berperan tidak banyak dalam pembangunan, menjadi cukup antusias ikut dalam proses baik PNPM maupun IKK (yang sempurnyanya berposisi independen). Hal lain yang cukup disayangkan, dan ini menjadi topik FGD adalah ketika tim baik IKK maupun PNPM tidak bisa melihat peran-peran masyarakat, yayasan, ikatan warga, dan kelompok-kelompok yang sudah memiliki pengalaman melakukan kerja ‘membangun’ masyarakat. Adalah sebuah pertanyaan besar, kenapa pelatihan IKK tidak memberikan inspirasi atau tidak menunjukkan pentingnya potensi lokal baik formal maupun informal, atau sembarang agen, agensi, yang menjadi modal yang mungkin tidak melulu di bidang kesenian, namun memiliki kontribusi besar pada proses pembangunan masyarakat.

Page 12: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

12

Kasus 1 Kecamatan Rambatan

BELAJAR DARI KOMPONEN II: PANGGUNG BAGI BANYAK KELOMPOK DAN BAGI PROSES MENGORGANISIR SENI TRADISI ...

Ani Himawati

Dalam PTO, Komponen II adalah perpaduan pendamping lokal dan seniman inisiatif. Kegiatan untuk melibatkan seniman lokal dalam proses sosialisasi & pendampingan PNPM. Dilakukan dengan cara melibatkan satu kelompok kesenian lokal dalam acara-acara sosialisasi/ pendampingan PNPM.

Yang terjadi di masyarakat adalah bahwa IKK memberi perhatian pada kehidupan budaya di lingkup kecamatan setempat. Setelah melalui berbagai proses, identifikasi, usulan kegiatan, verifikasi, dan yang terjadi di kelompok-kelompok kesenian adalah berlatih dan terus menghidupi adat budaya seni tradisi, maka Komponen II menjadi ajang pemanggungan kelompok dan proses latihan selama ini. Lantas apa yang bisa dikaitkan dengan keterangan di PTO tentang Komponen II? Apa yang dimaksud sebagai pelibatan, serta apa dan untuk siapa fungsi Komponen II? Apakah memang IKK lebih khusus lagi, kesenian hanya menjadi penyemarak PNPM? Bagaimana dengan semangat berlatih dan membentuk kelompok, proses pengorganiasian dan pendampingan yang terjadi di mana pembangunan tradisi dan kesenian adalah satu kerja dan proses pembangunan yang berbeda? Bagaimana sebenarnya tujuan IKK dalam hal ini? Sebagai ‘pendukung pembangunan yang ada atau sebagai sebuah proses pembangunan kebudayaan – masyarakat sendiri?

Yang terjadi di Kecamatan Rambatan, Komponen II sudah disiapkan untuk 3 kelompok yang sudah cukup memiliki kualitas untuk menjadi tontonan dan penyemarak peresmian produk jalan gantung di Nagari Balimbing. Kelompok-kelompok itu adalah kelompok yang melalui proses verifikasi, dan yang memang mendapat support untuk Komponen II, transportasi, sewa peralatan dan kostum, benar-benar untuk mempersiapkan penampilan di hari peresmian.

Page 13: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

13

Dana untuk pelaksanaan pada tanggal 28 Mei 2009 itu Rp. 10.800.000,- , adalah separuh dari dana Komponen II, karena mereka akan melakukan peresmian lagi dengan dana yang sama besarnya, di pertengahan Juni 2009 ini.

“Memang ada perubahan Ani. Di proposal, kami hanya mengajukan untuk 3 kelompok, selain untuk perlengkapan ‘pesta peresmian’. Namun karena banyak kelompok yang ingin tampil, mereka minta ijin ke tim dan bahkan tidak mengharapkan imbalan apa pun, maka kami pun meluluskan beberapa kelompok tambahan. Dan kami tetap memberikan uang ganti transport. Ini juga kami berembug lagi dengan 4 kelompok yang sudah ditetapkan sejak awal, karena berarti jatah mereka dikurangi untuk ongkos transport kelompok-kelompok tambahan. Ya, semua tidak apa-apa, setuju saja. Kan untuk kepentingan banyak orang. Dan biar seni tradisi bisa hidup dan tampil. Mereka ingin sekali bisa tampil bersama. :”18

Jadilah acara peresmian yang digelar mulai pukul 09.00 – 13.00 siang itu, selain sambutan dari berbagai pihak terkait dan tamu, adalah penampilan 7 kelompok seni: 2 silak gobah (tambahan), talempong kreasi (musik dan tari piring, juga tari piring di atas pecahan kaca, tiga kali pertunjukan - tambahan), tari mulo pado dan persembahan yang memang untuk menyambut tamu, dilaksanakan di jalan raya, serta sebuah grup kasidah asifa. Sedangkan randai intan Korong yang sudah cukup terkenal akan dipentaskan malam harinya.

Acara dilangsungkan di sekitar jembatan gantung yang diresmikan, di antara sawah dan pinggir jalan, dalam suasana lesehan dan akrab. Bukan panggung yang megah dan elok, namun dengan tenda dan terpal di berbagai tempat dan hanya panggung kecil untuk pemberi sambutan acara peresmian. Rangkaian acara dan pentas berselang-seling dengan sambutan. Dan pementasan adalah murni sebuah pertunjukan. Benar-benar menciptakan panggung hasil latihan beberapa kelompok yang sudah masuk dalam proses verifikasi. Tamu undangan duduk lesehan, bersama para pengurus dan wakil-wakil instansi dan tokoh KAN, selain juga masyarakat umum yang tinggal di sekitar tempat itu. Pilihan tempat dan bentuk acara adalah didasarkan anggaran dan mencari bentuk yang bisa mengundang semakin banyak orang dan dalam suasana yang tidak formal. Di sekitar arena adalah sebuah pemandian umum dan mushala, tempat biasa warga berkumpul. Penonton yang datang bergabung, lesehan dan berdiri, dan benar saja, semata-mata menyaksikan penampilan berbagai kelompok seni yang melipuiti usia anak-anak, remaja dan dewasa.

Khusus acara malamnya, masih dalam rangkaian peresmian, namun jauh dari lokasi produk bangunan PNPM yang diresmikan, diselenggarakan pagelaran seni lanjutan sekaligus malam penggalangan dana untuk anak-muda Karang Taruna kecamatan, yakni di lapangan di Nagari Padang Magek. Kesengajaan membuat dua kali pagelaran di dua tempat yang berbeda juga menjadi pilihan agar kelompok yang pentas bisa banyak dan warga dari nagari yang lain juga bisa menikmati acara. Malam hari dimulai pukul 20:00 dan berakhir pukul 00:30, yakni penampilan dua kelompok randai dan tari piring atraksi dengan pecahan kaca. Ada dua kelompok tambahan malam itu. Acara bahkan lebih meriah, karena dilakukan pada malam hari dan tidak terlalu banyak sambutan. Acara malam itu menjadi pagelaran seni tersendiri. Mungkin bahkan warga tidak tahu kaitan antara peresmian, mungkin pemain juga tidak mengerti soal PNPM. Namun bahwa tim mengelola uang Komponen II sebesar Rp 21.600.000 untuk dua kali penyelenggaraan adalah sebuah upaya disadari membuatkan panggung bagi kelompok untuk tampil dan memberi hiburan bagi warga umum, serta baru ketahuan belakangan bahwa itu sekaligus sebagai upaya melibatkan anak muda dalam program IKK kecamatan.

“Ya, kita mulai dengan acara-acara pagelaran seni, pentas seni. Mungkin memang orang yang datang tidak semua tertarik karena tampilan seninya, namun karena ada acara

18 Uni Emi ditambahkan oleh Mister Labihardy, 28 Mei 2009, seusai peresmian

Page 14: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

14

ramai yang memang jarang dilakukan di kecamatan ini. “ .. “tidak apa-apa, namun juga terasa, bagaimana orang sangat menikmati hiburan yang tampil. Apalagi yang tari piring di atas pecahan kaca. Sambutan penonton sampai tepuk tangan 5 kali. Rupanya masyarakat memang sudah haus dengan tontonan tradisi sendiri. Dan ini kan berarti sebuah pintu untuk kembali menyemarakkan seni tradisi. “19

Bahwa kehidupan seni budaya, di kecamatan ini dimaknai sebagai seni tradisional, atau tampilan kesenian lokal adalah persoalan dan bidang pembangunan sendiri, yang sama sekali tidak berkaitan dengan proses pembangunan fisik, ataupun PNPM. Dan memang ternyata dibutuhkan. Seperti cerita di atas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kaitan kerja antara PNPM dan IKK sebenarnya yang terjadi? Bagaimana sinkronisasi atau koordinasi sebagai sebuah kerja yang diharapkan bisa padu? Sementara bidang garap dan pengelolaan program IKK ternyata juga membutuhkan pendampingan dan pengorganisasian? Bahkan cerita di kecamatan ini menunjukkan bahwa IKK sendiri menjalani fungsi dan tujuannya sendiri?

Tampak jelas bahwa tim IKK Kecamatan Rambatan memiliki misi dengan gerakan kembali ke tradisi, yakni semangat menghidupi dan ‘melestarikan’ seni tradisi yang itu terlihat dari straregi mereka mengelola jumlah kelompok, memilih kelompok, membagi uang yang ada. Ya, kembali untuk memberikan panggung bagi kelompok seni yang telah diidentifikasi, yang telah didatangi, ditanyai dan dipompa semangat berlatihnya. Kepingin diapresiasi warga dan masyarakat luas tentu menjadi harapan dan bayangan pengembangan di tahapan selanjutnya.

19 Mister Labihardy, via telepon dilakukan beberapa kali

Page 15: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

15

Kasus 2 Kecamatan Rambatan

ROMANTISME SENI TRADISI: AKAN DIBAWA KE MANA?

Ani Himawati

Mencicip praktek pembangunan masih cukup baru bagi masyarakat kecamatan ini. Terlebih jika dibandingkan dengan masyarakat Jawa yang sedemikian akrab dengan aneka jenis bantuan dan program ‘pemberdayaan’. PNPM dengan semangat bottom up seperti menjadi satu-satunya pengalaman pembangunan, dan pemerintah bak raja alias agen tunggal untuk sebuah gerakan transformasi sosial dalam kerangka pengentasan kemiskinan. Ditambah lagi sebuah perhatian pada ranah pembangunan non fisik, jadilah sebuah kemewahan dan perhatian yang besar. Termasuk pengalaman berpartner dengan sebuah ‘yayasan’ yang juga menjadi pengalaman langka. Bisa dibayangkan kemudian, bagaimana perhatian pada adat, budaya, dan tradisi, melalui media seni, menjadi sedemikian istimewa bagi sebuah kecamatan yang adalah juga pusat seni tradisi (pertunjukan) Minang. Tak heran ratusan kelompok berhasil diidentifikasi dan ‘celakanya’ secara serempak semua mulai menunjukkan geliatnya.

Mengapa kebudayaan lantas selalu soal adat, tradisi, seni tradisi? Mengapa semua kembali ke masa lalu? Mengapa imajinasi tentang kejayaan dan kekuatan mental bangsa seolah hanya dengan kembali ke jaman lampau? Mengapa potensi hanya diterjemahkan sebagai perkara budaya lama dan asli? Dan kesadaran soal jaman kini kemudian hanya lebih soal ‘uang’, memasuki pasar? Tak heran yang muncul kemudian adalah bayangan produk yang ditampilkan? Apa yang bisa dijual? Belum lagi pertanyaan tentang penerjemahan ‘kreativitas’ dan masyakat kreatif? Alhasil, seni tradisi (atau program ini) terlihat seperti sarat beban, menjadi kendaraan untuk banyak tujuan? Dalam pemahaman dan penerjemahan inilah, program ini hidup di Kecamatan Rambatan, di banyak orang yang secara kebetulan sedemikian menjaga amanah dan bertanggung jawab.

Page 16: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

16

“Jadi kalau ini dimaksudkan sebagai program pemberdayaan masyarakat, sebenarnya yang paling tepat dan sesuai justru malah program daya budaya ini kalau Uni pikir-pikir, jika dibandingkan dengan PNPM. Karena langsung menyentuh dan memperhatikan masyarakat, tidak hanya melalui wakil atau tokoh-tokoh. Kan orang-orang seni dan pelaku itu kebanyakan orang biasa, banyak yang dari keluarga RTM.”20

“Kalau PNPM kan selama ini lebih mengundang dan mengajak musyawarah, kalau daya budaya ini kita yang menjemput, mendatangi ke jorong-jorong, menemui orang dari rumah ke rumah, ke lapau-lapau, ke tempat para kelompok berkumpul, bersosialisasi sekaligus menggali data dan informasi langsung dan bersama masyarakat. “21

“Saya kan juga kader PNPM. Kalau sebagai kader daya budaya ini, saya bilang begini, bahwa ini kan progam budaya, jadi ya menjadi tanggung jawab semua. Siapa lagi yang harus memelihara dan menghidupi tradisi kita kalau bukan kita sendiri. Kan senang kalau kita bisa ber-randai lagi, pake talempong pak cik, dengan adat seni sendiri, seperti dulu. Kalau di kampung sendiri punya, kan kita tidak perlu menyewa dari luar. Apalagi kalau orgen itu kan mahal dan itu bukan budaya kita… Seperti begitu yang saya sampaikan ke masyarakat. Dan mereka setuju.“22

Semangat bertanggung jawab pada kelangsungan adat Minang ini menjadi perbincangan setiap saat. Fenomena ‘globalisasi’ yang kerap mereka sampaikan, khususnya budaya asing lewat TV dan maraknya organ tunggal selalu menjadi contoh bagaimana kini budaya dan tradisi Minang tergusur dan harus mulai bersiaga. IKK datang dalam konteks gairah kembali ke nagari dan kegentingan pada fenomena lunturnya adat seperti ini. Lewat pemahaman mereka atas IKK, beberapa pelaku tim kecamatan kemudian mengkritisi pendekatan PNPM, yang dirasa kadang masih kurang menemu sasaran atau tidak cukup bisa mewakili masyarakat yang sebenarnya.

Sosialiasi Tanpa Henti: Membangun Kecintaan, Menularkan Semangat dan Keyakinan…

Tim IKK Kecamatan Rambatan sudah mengikuti pelatihan sejak mula, yakni sejak di Jakarta. Diikuti oleh PenLok, Ketua BKAN, salah satu kader, dan bendahara UPK. Selanjutnya tiga orang selain bendahara ini, setelah melalui urutan tahapan program, menjadi PenLok dan tim kreatif. Segera setelah pulang dan mendapat kontrak kerja IKK, mereka melakukan beberapa tahapan kerja: identifikasi budaya, sosialisasi kecamatan, pemilihan tim kreatif, sosialisasi desa atau nagari,pembentukan kader budaya, dan urutan lainnya. Semangat membangkik batang terendam, kembali ke adat dan seni tradisi Minang menjadi semangat yang muncul dalam strategi kerja, yakni dalam menentukan daftar undangan sosialisasi, juga dalam memilih kader, di mana hampir semua adalah orang-orang seni atau pelaku adat budaya, bukan begitu saja memilih kader yang sudah ada, dengan harapan bahwa kerja kebudayaan adalah kerja dengan hati, seperti yang disampaikan oleh beberapa informan.

“ Dia orang seni juga Mbak. Pak Datuk itu bisa semua jenis alat musik. Karena itu kami memilih beliau menjadi tim kreatif, padahal beliau sebelumnya tidak terlibat. Ya, kalau seorang pelaku sendiri, kan semangatnya tentu akan lain.”23

20 Uni Emi/tim kreatif di tengah wawancara dengan Uni Musniati/kader-pegiat seni, 2 Mei 2009 21 Mister Labihardy, PenLok, 4 Mei 2009 22 Uni Dahlia, kader, pelaku dan anggota kelompok Randai, 6 Mei 2009 23 Mister Labihardi, 4 Mei 2009

Page 17: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

17

“ Bapak Maraini ini juga kader. Beliau juga pelaku seni dan peramu obat tradisional. Beliau juga pandai silek. Jadi tentu kalau melakoni sendiri (seni tradisi), pasti tahu apa yang harus dikerjakan dan akan mudah menyampaikan ketika bersosialisasi.” 24 “ Saya memang sangat senang dengan seni tradisi. Saya dulu sekolah di SMKI. Kepinginnya ya melanjutkan ke ISI atau STSI Solo. Namun ya, karena berbagai hal. Jadi saya sangat senang melakukan tanggung jawab sebagai kader. Saya senang bertemu orang-orang dan membicarakan apa yang bisa kita lakukan dengan kesenian anak nagari. Seperti ketika bertemu dengan ibu-ibu yang biasa rebana dan shalawat. Saya mendatangi mereka sampai masuk ke jorong-jorong, ya.. kita terus bersosialisasi bagaimana pentingnya menjaga seni yang kita punya. Dan sekarang mereka sangat semangat. Selalu memberitahu kita kalau mereka latihan. “25

Bekerja di wilayah kebudayaan, bagi kecamatan ini adalah wilayah adat istiadat, tradisi, kesenian dan segala produk dan kebiasaan yang menjadi kekayaan sejarah dan hari kini adalah pemahaman tentang program kebudayaan IKK. ” Mambangkeik batang tarendam” menjadi jargon yang sudah dicanangkan sejak pelatihan di Jakarta yang kemudian dilanjut pelatihan di tingkat provinsi. Sebuah keheranan yang cukup teramat, ketika mendapati bagaimana program ini memiliki semangat dan supporter yang cukup fanatik dengan harapan besar menghidupkan lagi kejayaan masa lalu dan yang secara jelas mudah dijabarkan dalam semangat menghidupkan seni tradisi yang sedemikian antusias. Pemahaman ini diterjemahkan dalam proses identifikasi budaya, sosialisasi kecamatan, pemilihan tim dan kader budaya dan selanjutnya diwujudkan dalam proposal dan ‘rancangan kerja‘. Sosialisasi terjadi di banyak tingkat administratif maupun komunitas: tiap jorong, Kerapatan Adat Nagari (KAN), surau-surau dan kelompok-kelompok di mana orang-orang yang tahu seni dan adat tradisi berkumpul.

“Ya, kami cari tahu dulu apa-apa saja yang dulu pernah ada, kelompok-kelompok apa saja, di mana mereka kini. Saya mendatangi, bersosialisasi untuk menggali lagi, mendata, berkumpul, membentuk kelompok lagi, untuk berlatih. Kadang ke pemandian-pemandian umum, ke masjid-masjid. “ … ”Ya saya mengatakan bahwa ada program tentang adat dan seni tradisi. Ya, siapa tahu nanti ada bantuan. Dan memang semua orang bersemangat, banyak orang kemudian teringat jaman dulu, ya.. dua puluh tahunan lalu, ketika seni tradisi ini masih ramai. Orang-orang berkumpul. Cepat menjalar, dan kembali bersemangat untuk berlatih. Kalau di sini, cepat beredar, Mbak. Sebentar saja ada yang bilang, nanti banyak yang sudah dan ikut. Banyak yang minta didatangi, .. karena memang selama ini tidak ada perhatian di bidang budaya ini. “26 “… Ya kan namanya juga bantuan. Jadi ya tergantung yang memberi bantuan. Kalau kita ibarat hanya berharap, ada bantuan sukur, ya siapa tahu. Kalau tidak ya, ini sudah membuka kesadaran bahwa kita harus mulai memperhatikan dan mencintai budaya sendiri. Begitulah yang selalu kami sampaikan ketika ada yang terus bertanya akan seperti apa program ini?” … “Saya selalu sosialisasikan, ya.. ini kan adat budaya sendiri. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi, kan gitu. Masih untung ada pihak yang

24 Uni Emi, 2 Mei 2009 25 Uni Musniati, kader budaya, 2 Mei 2009 26 Uni Mus

Page 18: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

18

memperhatikan.”27

“Saya datangi orang-orang, dari rumah ke rumah. Saya ajak berkumpul, kembali latihan, membentuk kelompok, menghubungi orang-orang yang dulu. Semua semangat. Ya siapa tahu akan ada bantuan. Saya katakan ini program dari pusat, sangat baik karena memperhatikan seni tradisi kita.“28

“ Kalau Ani ikut di sosialisasi kecamatan dulu. Banyak sekali orang yang diundang dan banyak dari mereka adalah pelaku langsung, masyarakat biasa. Mereka antusias sekali, karena belum pernah ada program yang memberi perhatian pada budaya yang begini. Belum pernah pertemuan PNPM sebanyak pada saat sosialisasi daya budaya pada saat itu.” 29

Perkara tanggung jawab pada budaya yang semakin tergerus jaman, adalah semangat yang terus ditularkan dari hari ke hari, di setiap tempat, kepada siapa saja. Sosialisasi bukan melulu soal program, prosedur, atau juga soal bantuan. Pernah beberapa kali kami secara langsung menyaksikan sosialisasi yang dilakukan di masyarakat, selama melakukan penelitian ini.

Identifikasi, Verifikasi, Realisasi: Sebisa Mungkin Memperhatikan Semua…

Proses identifikasi budaya dilakukan dengan serius. PenLok dan tim kecamatan melakukan proses pendataan dengan melibatkan banyak pihak: nagari, jorong, KAN, tokoh-tokoh, pelaku, maupun warga biasa, dengan partisipasi masyarakat yang cukup tinggi, perimbangan jenis kelamin yang cukup adil, juga memperhatikan prinsip pelibatan kelompok atau keluarga miskin maupun kaum diffable. Ragam jenis yang mereka sebut sebagai potensi budaya dan kekayaan budaya, ratusan kelompok teridentifikasi, termasuk jumlah orang yang terlibat, data persoalan dan kondisi sekarang, berhasil dikumpulkan. Setelah bekerja dengan kader yang terus juga melakukan pendataan, selanjutnya adalah menyusun usulan. Di mana ada tawaran bantuan untuk support kegiatan, maka mendadak semua kelompok menjadi seperti memiliki kebutuhan, menentukan apa yang bisa dibiayai. Informasi tentang besaran uang yang bisa diakses sampai ke masyarakat, sehingga usulan kegiatan tidak muluk-muluk. Bahkan semangat memberi perhatian kepada antusiasme warga, semangat kembali menghidupkan seni tradisi, terbaca dari usulan kegiatan yang kemudian diwujudkan dalam proposal, khususnya dalam besaran dana yang diajukan. Bukan jutaan angka yang dicantumkan, namun ratusan ribu untuk setiap kelompok, mengingat jumlah usulan lebih dari 60 kelompok. Adalah kebijakan tim kecamatan yang kemudian ‘membagi rata’ untuk banyak kelompok setelah melakukan proses verifikasi yang selalu dibarengi dengan banyak cerita proses yang memakan waktu selama berhari-hari, hingga dini hari.

“Wah.. proses verifikasi kemarin sungguh luar biasa. Kami sampai melebihi waktu yang diperkirakan pihak Kelola, karena memang yang harus kami datangi dan minta didatangi sungguh banyak. Hingga larut bahkan dini hari, orang-orang di jorong-jorong pelosok itu ingin menampilkan hasil latihan mereka. Ya, kami tidak tega untuk tidak memasukkan usulan mereka. Kami tidak mau memilih asal yang sudah jadi. Justru bagi kami, yang sedang semangat ini yang perlu disupor dan menjadi sasaran. Dan benar, rasa lelah dan kantuk, benar-benar hilang, kalau sudah meihat semangat orang-orang itu. “30

27 Uni Emi dan Pak Marjunis--senada ketika bersosialisasi ke kelompok-kelompok pada saat latihan, juga menjawab pertanyaan kami soal apa yang disampaikan setiap kali bersosialisasi, 7 Mei 2009.

28 Pak Maraini, kader budaya, tidak tahu banyak soal PNPM, pelaku seni dan peramu obat tradisional, 2 Mei 2009

29 Uni Emi dibenarkan oleh Bapak Marjunis/tim kreatif/mantan BKAN, 5 Mei 2009 30 Uni Emi, 6 Mei 2009

Page 19: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

19

Anak-anak berlatih tari Piring

“Iya, banyak sekali kelompok yang selalu minta kami datangi. Bahkan beberapa yang tidak lolos verifikasi tetap kepingin kami datangi, mereka ingin tetap bisa didata.“31

Dan ketika akhirnya bantuan itu tiba, setelah cukup lama tersendat karena proses keterlambatan dan administrasi dari pihak Kelola, serah terima dilakukan dengan cara tim mendatangi ke nagari-nagari, dengan disaksikan oleh berbagai pihak, anggota kelompok dan wakil masyarakat. Uang di bawah satu juta itu disampaikan dan diterimakan dengan suka cita. Tentu bukan besarannya, namun adalah pada ‘perhatian’ yang rupanya tidak pernah didapat sebelumnya. Banyak cerita bagaimana bahkan masing-masing kelompok ingin tampil terlebih dahulu sebelum menerima bantuan, menjadi cerita yang cukup mengharukan, sekaligus mengundang pertanyaan lanjutan. Lantas, bagaimana dengan semangat yang sedemikian menyala? Sejauh mana program ini merencakana dan memikirkan gairah yang sedemikian besar, sekaligus sejauh mana ‘virus’ kembali ke tradisi ini musti bersiasat?

Ketika Ide Modifikasi dan Apalagi Inovasi Belum Dipunya?

Nyata yang terjadi bagaimana program ini mengajak orang untuk kembali berkelompok, kembali menghidupkan tradisi dan seni yang mereka punya, dan berlatih. Sekali seminggu, dua kali seminggu, dan malam Sabtu dan Minggu menjadi hari yang teramat sibuk bagi banyak jorong di sepenjuru kecamatan ini. Latihan untuk apa? Apa yang dilatih? Apa yang ingin dicapai? Adalah pertanyaan yang terus ada di benak kami selama mengikuti proses latihan di malam-malam hingga dini hari. Eksotisme yang sempat kami rasakan di awal, mulai digerogoti banyak pertanyaan seperti di atas. Semangat yang sedemikian besar ini akan ke mana? Ketika yang dilatihkan, menurut pikiran subjektif kami, tidak cukup meningkatkan teknik dan keterampilan, ketika tidak juga kami dengar pelaku dan pegiat kelompok memperbaiki dan memperbarui gerak-suara, ketika yang terlihat adalah sebuah latihan rutin yang terus dan terus hingga larut, hingga lama-lama kehilangan penonton, dan lapangan dengan neon yang semula mengundang orang mulai sepi. Sampai akhirnya banyak pertanyaan di benak ini tidak tega kami lontarkan, karena tentu akan menjadi sedemikian kasar. Lantas yang muncul kemudian adalah keingintahuan proses modifikasi dan inovasi. Melihat banyak orang berlatih dalam formasi randai berturut-turut selama awal Mei 2009, dengan gerakan pencak, dengan musik dan dendang yang khas, tampak kuno, tua, lama, adalah kesan dan feeling yang kami rasakan. Apakah ini yang asli? Inikah yang ingin terus dilangsungkan? Inikah yang ingin dihadapkan pada TV dan segala budaya popular yang kerap dianggap sebagai ancaman hebat generasi muda? Kami mencoba mengajak ngobrol tentang hal ini, dan yang muncul dari pihak para orang dewasa dan tua yang terlibat adalah bahwa randai sudah memiliki pakem, randai sudah memiliki cerita sendiri, tidak ada cerita baru, ada banyak cerita, namun bahwa setiap kelompok memiliki pilihan cerita yang sama sejak dulu, tak heran nama kelompok juga kerap identik dengan judul cerita yang dibawakan. Dan ketika modifikasi dipertanyakan, keaslian dan keinginan kembali ke asli yang dengan semangat menjawab pertanyaan kami. Bahwa sejauh ini tidak ada perubahan cerita dan formasi bentuk. Yang ada dan selalu menjadi masalah adalah soal kostum dan kelengkapan peralatan. Selebihnya adalah soal kerampakan dan kelancaran. Dan menjadi berbeda sama sekali pandangan ini ketika kami mencoba berdiskusi dnegan anak muda, di mana dalam

31 Bapak Marjunis/tim kreatif, 6 Mei 2009

Page 20: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

20

beberapa hal, randai dan seni tradisi sejenis selalu ditargetkan untuk anak muda sekaligus yang secara ‘jargon’ dipasang sebagai tameng ‘globalisasi’.

“ Ya, karena rame saja, kami ke sini. Tidak suka. Kuno, tidak modern. “ “ Ya lebih senang lihat organ dan band. “ “ Ini kan acara untuk orang-orang tua. Mana ada anak muda yang suka. Kalau saya tidak. Ya suka karena ramai. “

Adalah ungkapan yang bernada sama dan hampir selalu kami dapat ketika kami menanyakan pendapat anak muda atau remaja soal seni tradisi. Bukan hanya randai, namun juga kesenian lain: talempong pacik, tari piring, apalagi alur persembahan, yang adalah seni berbalas pantun, bertata krama bersilat lidah, yang selalu menjadi tradisi di setiap perhelatan dan dirasa semakin tidak banyak orang yang bisa. Dan melalui seni tradisi inilah, khususnya di kecamatan Rambatan, bahwa kelompok yang menjadi teramat termarjinalkan adalah bukan berdasar jenis kelamin, namun kelompok umur, yakni generasi muda. Mereka yang selalu seolah menjadi target dan tujuan program, selain sebagai kelompok yang dianggap bermasalah, namun pada nyatanya, program yang men-support tradisi dan terutama seni ini bahkan semakin meninggalkan dan ditinggalkan oleh generasi muda. Tidak memiliki bayangan modifikasi dan inovasi selain semangat menjaga keaslian dan kembali ke tradisi yang sebenarnya, adalah juga persoalan tidak memiliki pengalaman melihat atau melakukan modifikasi. Karenanya pengembangan seni tradisi, orientasi terhadap seni tradisi, dan bagaimana tradisi akan terus berlangsung, memiliki fungsi bagi kehidupan masyarakat Kecamatan Rambatan, selanjutnya menjadi topik diskusi dan debat yang cukup seru dalam Focus Group Discussion yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 2009. Seni Tradisi Berkomunikasi dengan Perubahan Jaman?

Seni yang terus dilatihkan, yang dihidup-hidupkan adalah seni tradisi yang dicoba jalankan apa adanya. Upaya yang terbayang adalah soal kostum, alat, tanpa bayangan mengkreasi dan mengemas menjadi lebih bisa dinikmati oleh generasi muda yang tidak lahir dan besar dalam tradisi dulu. Saluang, talempong, silek atau silat, randai, tari piring, alur persembahan? Adalah wilayah kesenian dan ruang ekspresi bagi generasi tua yang rindu pada ‘keramaian’ dan kejayaan tradisi 20 – 30 tahun lalu. Pertanyaan bagaiamana seni atau tradisi berkomunikasi dengan perubahan jaman menjadi bahan Focus Group Discussion pada tanggal 8 Mei 2009. Lagi dan lagi, persoalan ‘adat’, yang diadatkan, adat bersandi sarak – sarak bersandi kitabulah, kembali ke nagari dan kembali ke surau terus terlontar dengan sahut menyahut dari generasi tua, para tetua KAN, juga warga kebanyakan. Kekhawatiran pada perubahan jaman, pada ‘modernisasi dan globalisasi’ yang terus mereka sampaikan sudah menjadi kegelisahan yang sedemikian meluas di antara warga. Namun lagi-lagi belum juga bisa menjawab bagaimana tradisi dan seni tradisi bisa menjawab tantangan dan ancaman perubahan. Menjadi dua hal yang terus dipertentangkan, namun tidak pernah bisa menemukan pertalian di antara keduanya, yakni antara modernisasi sebagai ancaman dan tradisi yang diyakini sebagai benteng pertahanan. Termasuk juga soal kelangsungan seni tradisi dan munculnya ide untuk menampilkan dan ‘menjual’ ke masyarakat luar. Ide turisme dan bahwa seni tradisi bisa mendatangkan pemasukan menjadi hal yang juga kerap disinggung dalam banyak diskusi soal program IKK ini, namun belum menemu strategi. Dua hal itu yang kemudian terus menjadi diskusi yang juga belum ketahuan jawabnya. Ide modifikasi dan inovasi yang mungkin bisa menjadi jembatan bagi kedua isu, yakni menggaet anak muda dan menjawab pentingnya proses regenerasi dan sekaligus persoalan mengemas untuk mungkin memang bisa dipertontonkan (dipajang), masih juga belum masuk dalam logika dan orientasi gerakan.

Page 21: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

21

Dari cerita dan kasus praktek IKK di kecamatan ini, selanjutnya adalah tentang bagaimana melanjutkan proses, yang berarti melanjutkan menyebarkan dan mengembangkan konsep dan semangat gerakan yang lebih fokus orientasinya. Sebagai sebuah gerakan menyebarkan kesadaran pada potensi budaya lokal, mengkampanyekan semangat mencintai budaya sendiri, sekaligus ingin memperbaiki proses pembangunan yang sudah sedemikian menginstitusionalisasi, secara spirit program IKK di kecamatan ini sudah cukup terlihat. Yang hal itu tidak lain adalah juga peran tim kecamatan yang cukup memiliki semangat dan tanggung jawab moral, bukan melulu menjalankan program. Adalah bagaimana mengelola dan mengembangkan semangat dan bentuk kerja yang sedemikian bergairah ini, dan tidak hanya jatuh pada romantisme berseni tradisi, menjadi pekerjaan rumah pengelola program dan editor program yang memang belum terasa peran dan tanggung jawabnya. Belum lagi menyinggung soal politis yang lebih besar, bagaimana semangat kembali ke adat yang bersandi sarak dan sarak yang bersandi kitabulah, untuk konteks Sumatera Barat menjadi isu yang demikian genting, mengingat konsep ini masih dalam proses pencarian. Tentu sebagai sebuah program, tidak bisa tidak, pihak pengelola program harus mau tahu!

Page 22: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

22

Kasus 1 Kecamatan Sungai Tarab

FORMALISME VS. SPIRIT IKK

Ani Himawati

Kantor kecamatan di jalan Sungai Tarab tampak hidup. Peristiwa bencana di Nagari Pasie Laweh 30 Maret lalu, menyisakan berbagai bekas penanganan bencana dengan tempelan daftar dan data arus bantuan serta penerima bantuan. Banyak orang terlihat sibuk, hilir mudik, kantor yang bersekat-sekat ruang kerja itu terasa benar denyut aktivitasnya. Demikian pula dengan salah satu ruangan berisi beberapa orang, komputer dan laptop, lemari data dan tempelan plano memenuhi dinding. Itulah kantor PNPM sekaligus kantor IKK. Sebuah kantor yang komplit dan hidup.

“Nah, lemari ini hasil IKK, Mbak. Ah, kapan itu Ibu Camat juga bertanya, kok bisa beli almari baru. Saya bilang pada ibu, ya ini lemari tim IKK kecamatan, jadi memang kita harus pintar-pintar mengelola uang. Ini kan bisa dipakai sampai kapan pun. Jadi inventaris kecamatan, jadi dimiliki banyak orang. Dan ini sudah dibolehkan loh, Mbak, karena saya kan selalu konfirmasi dulu dengan pihak Kelola.” 32

“Ya, kesepakatan-kesepakatan yang sudah disepakati forum kader, misalnya untuk kader yang tidak datang koordinasi dan tidak membuat laporan bulanan, ya uang transport tidak kami kasihkan. Nah.. kemudian kami kumpulkan dan bisa kami bikin macam-macam ini: pin, ini badge, juga kaos untuk PNPM juga dapat, jadi mereka juga bisa merasakan bagian dari kerja IKK ini. “33

32 Uni Susi, PenLok, 20 Mei 2009, di hari pertama kami ke kantor IKK kecamatan ini, lemari itu memang tertulis data inventaris IKK kecamatan

33 Uni Susi, Penlok, 20 Mei 2009

Page 23: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

23

Hem, .. sungguh beberapa hal yang sedikit mengagetkan dan menjadi catatan kami sejak di awal pertemuan itu. Hal demikian tidak kami dapati di kecamatan lain, soal strategi dan ‘kreativitas’ memanfaatkan anggaran, soal konfirmasi dan konsultasi ke Kelola, juga soal berbagai kesepakatan yang rupanya kemudian menjadi semacam peraturan. Terasa sejak di awal, tim kecamatan ini sungguh-sungguh menjalankan program sesuai aturan dan standar pelaksanaan kegiatan. Istilah-istilah, ungkapan-ungkapan soal kesesuaian PTO, dan atau soal kesepakatan yang sudah diterima forum, berkali-kali terdengar dan dijelaskan. Kesan profesional dan segala ihwal standar operasional kerja menjadi temuan kami yang terus bertambah hingga akhir masa penelitian kami.

Faktor SDM: Penlok yang Tanggap, Dominan dan Menduduki Posisi Penting di Tingkat Kecamatan

Membicarakan PNPM atau IKK di kecamatan ini tidak bisa dipungkiri yang menonjol adalah faktor SDM, yakni Pendamping Lokal atau PenLok. Adalah seorang perempuan yang cukup gesit usia 43 tahun, memiliki kemampuan bicara dan mengorganisir yang cukup aktif, bergelar sarjana ekonomi, dan lama berkecimpung dalam kerja kemasyarakatan dan dunia administrasi tingkat nagari dan kecamatan, termasuk kedekatan dengan para tokoh pemerintah. Uni Susi, demikian panggilannya, yang sejak 2007, sejak PNPM datang pertama di kecamatan ini, yang menjadi PenLok setelah diawali menjadi kader lalu lolos seleksi/ujian menjadi PenLok.

Sejarah PNPM di Sungai Tarab cukup lancar (prosedur, pelaporan, koordinasi, transparansi, dan pelaksanaan kerja/program – hingga ke penerima manfaat, termsuk kelompok SPP – kredit macet tidak terjadi). Antara PNPM dan IKK kini tampak mulus dan blend, dan terlihat peran Uni Susi cukup penting. Meskipun di beberapa saat kemudian kami mulai mendapat banyak cerita bagaimana konflik terjadi di awal IKK ditempelkan di tubuh PNPM. Konflik yang disebut-sebut berkait dengan FasKab PNPM, yang tidak menginginkan peran PenLok yang dobel, IKK juga PNPM. Pada saat itu, jika Uni Susi menjadi PenLok IKK, berarti dia harus berhenti menjadi PenLok PNPM, namun ibu tiga anak ini tetap mempertahankan posisinya. Alasannya adalah bahwa keberadaannya sebagai PenLok dipilih dan didukung oleh rakyat, yang diwakili oleh para kader. Selama kader masih menginginkannya, itu yang dijadikannya sebagai alasan kuat untuk bertahan hingga kini. Konflik dengan FK dan FT, dua fasilitator profesional di tim PNPM juga pernah terjadi, dan kini dianggap selesai serta tidak mengubah posisinya, bahkan menjadi satu tim kerja hingga kini. Pengaruhnya pada tim UPK juga terasa cukup dekat baik kerja profesional maupun emosional. Tim UPK yang masih teramat belia umur dan pengalaman, termasuk ketuanya, seorang perempuan 26 tahun, dalam kesehariannya menjadi seperti adik bagi Ibu PenLok.

Singkatnya, PenLok Sungai Tarab adalah seorang yang percaya diri, memiliki banyak ide dan mau melakukannya, hanya sayangnya dia tidak memiliki partner yang setara dan selalu menjadi kader yang berprestasi sejak belasan tahun lalu keaktivannya di kerja kemasyarakatan dan pemerintahan (kader PNPM, kader KB, kader Pemuda Pancasila, kader PKK, juga pengurus pasar kecamatan), dan keberadaannya menjadi lumayan dominan. Mungkin juga friksi kerap terjadi, namun sebagaimana FK dan FT di PNPM yang adalah warga dari luar kecamatan, seorang di rumah sendiri seperti Uni ini memiliki posisi dan kedekatan lebih dengan warga dan para elitnya.

IKK Mengikuti Alur Operasional PNPM: Bahkan di Beberapa Sisi Lebih ‘Formal’ dan Kaku

“Bisa menyerap dana” adalah ungkapan yang selalu muncul ketika mendiskusikan projek baik PNPM maupun IKK. Semangat mengakses dana bantuan menjadi dasar cara kerja dan mengelola program. Juga tiap kali berbicara dengan Ibu Camat dan perangkat nagari yang lain. Ketika kami mencari di manakah posisi IKK dan bagaimana program ini sinkron dengan program pembangunan kecamatan, mengingat di kecamatan ada juga Kasi Kesos yang kerap mengurusi duta budaya di tingkat yang lebih tinggi. Yang muncul adalah ucapan terima kasih dan bagaimana melalui berbagai program tersebut, termasuk IKK bisa memberikan pemasukan bantuan pada wilayah kecamatan. Cukup sulit mendapat bagaimana sebenarnya irisan kerja atau kolaborasi program IKK yang bergerak di level kecamatan ini dengan rencana program kecamatan. Lagi-lagi adalah perkara menyerap dana dan bagaimana menyukseskan program bantuan,

Page 24: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

24

yakni yang secara administrasi dan prosedur benar, sehingga pihak luar akan percaya untuk memberikan bantuan lagi. Mungkinkah yang seperti ini juga terjadi di semua kecamatan lain, yang tidak memiliki progam dan ‘bayangan’ pembangunan kecamatan?

Meski spirit ‘menggali budaya anak negeri,’ menghidupkan adat dan seni tradisi muncul dalam bentuk dan materi program, namun atmosfer dan cara kerja yang bisa dirasakan adalah soal keprofesionalan mengerjakannya. Profesional, sesuai prosedur, koordinasi (meski sering kali ada banyak fait a compli, dan sistem sangsi dan kompensasi menjadi warna yang cukup kental). Bahwa sistem harus dijaga, peraturan harus ditaati, kalau belum jelas selalu akan melakukan konfirmasi ke pihak yang lebih ‘atas’, atau kemudian membuat mekanisme atau kesepakatan atas ide satu orang (biasanya PenLok) yang disyahkan dalam forum, sebagai sebuah capaian yang terus-menerus disampaikan dengan nada bangga, dengan kerap membandingkan dengan kecamatan atau daerah tetangga yang dipandangnya tidak menjalankan kerja dengan profesional.

“Kalau kami di sini tidak seperti itu. Mungkin kecamatan lain ya begitu. Kami sesuai prosedur. Kami melakukan berdasar PTO dan kalau tidak tahu, saya sendiri akan kontak Kelola. Dan kami membuat beberapa peraturan hasil kesepakatan. Ya siapa yang tidak memenuhi, secara otomatis akan mendapat kompensasi. Ini dilakukan untuk menyukseskan program. “34 (Uni Susi dalam satu kesempatan, dan kerap diulang di kesempatan yang lain).

Cerita bagaimana IKK ini hadir di kecamatan dan menjadi program dimulai dari cerita mengikuti pelatihan di Bukit Tinggi. Pada saat itu yang mengikuti pelatihan adalah PenLok, BKAN, kader, dan ketua UPK. Sehabis pelatihan yang sangat mengesankan, yang diakhiri dengan membuat janji pada diri sendiri untuk menjalankan beberapa kerja dan kesepakatan setelah kembali ke kecamatan masing-masing, adalah berkoordinasi. Tim yang ikut pelatihan segera menyusun rencana dan setelah mendapat memo untuk menjalankan kerja dari pihak Kelola, mereka melakukan identifikasi budaya dan membentuk tim.

“Jadi sepulang kami dari pelatihan dulu, kami berrembug di tingkat kecamatan. Ya berunding lah. Kami kan harus membentuk tim. Dan sambil membaca PTO dan menunggu konfirmasi, kabar dari pihak yayasan di Jakarta. Saya sendiri awalnya tidak membaca PTO. Kami hanya berdiskusi, baru kemudian saya membaca dan ya, kadang masih bingung juga. Namun karena di sini kan juga ada tim kecamatan (PNPM), yang sudah terbiasa dengan PTO. Jadi saya rasa tidak ada masalah. Saya sendiri selain menjadi Tim Kreatif, juga kader PNPM.”35 (Datuk Tan Basa, Tim Kreatif/kader PNPM, 22 Mei 2009)

Selanjutnya mereka menjalankan tahapan sesuai PTO dan memo dari kelola. Setelah melakukan identifikasi budaya, berkeliling ke nagari-nagari untuk mengumpulkan data budaya, kemudian sosialisasi kecamatan yang dilakukan pada tanggal 3 Juli 2008 sekaligus pemilihan Tim Kreatif. Lalu semua tahapan diikuti sesuai urutan PTO. Berdasar catatan berita acara, kegiatan di kecamatan ini dilakukan serba cepat dan rapi. Segala dokumen tersimpan, plus bukti berita acara dengan tanda tangan, proposal, laporan dan segala data administrasi dan keuangan tersedia. Cara bekerja cukup cekatan ini terpengaruh oleh pengalaman mengerjakan PNPM Mandiri yang selama ini sangat berpatok pada PTO plus tim yang cukup solid: PenLok yang sama dan tim yang selalu terlibat di kedua program. Kesan kerjasama yang sangat harmonis antara kedua program ini cukup terasakan. Meski kemudian di beberapa kali kesempatan, kepaduan ini beberapa kali membuat kami sedikit bingung. Contohnya adalah setiap kali mereka hanya

34 Uni Susi, PenLok Kecamatan Sungai Tarab 35 Datuk Tan Basa, Tim Kreatif

Page 25: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

25

menyebut tim kecamatan, kami musti memastikan tim apa yang dimaksud, PNPM atau IKK. PenLok juga selalu memberikan informasi kepada kami tentang PNPM sama intensitasnya dengan informasi IKK. Kepaduan dan mungkin dampaknya mulai kami tengarai ketika kerap melakukan wawancara dengan kader atau pelaku atau pegiat seni yang juga kebetulan kader.

“Maaf, yang dimaksud ini program yang mana ya. PNPM atau IKK. Aduh, .. saya bingung. Mm.. sebentar, … karena sering kebolak-balik ...” 36

“Oh, ini program daya budaya, saya kira PNPM. Soalnya banyak sekali kegiatannya. Pelatihan dan rapat koordinasi juga sama-sama sekali sebulan. Jadi sering campur, bingung.“ 37

Kadang butuh beberapa saat dan kembali kami bertanya baru mereka akan mengingat-ingat, kemudian menjawab, untuk membedakan antara program PNPM dan program IKK. Namun tak jarang, pertanyaan yang kami lontarkan benar-benar tidak menemu jawab. Satu catatan bahwa kader daya budaya di kecamatan ini hampir pasti adalah juga kader PNPM. Tim Kreatif pun sama, pasti juga kader PNPM. Setiap jorong ada satu Kader Budaya, yang dipilih salah satu dari kader PNPM. Hal ini disadari sebagai sebuah siasat dan pemahaman, bahwa dengan memakai kader yang sama, maka para kader sudah memiliki pengalaman dan tahu mekanisme kerja. Selain juga sudah dikenal di masyarakat. Namun hal yang lain, ternyata, dari beberapa pengalaman bertemu kader, justru karena dobel peran untuk jenis dan kerja yang berbeda, kerap membuat bingung, dan mungkin juga kerja dan pikiran mereka menjadi tidak fokus, apalagi kalau kader daya budaya tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam bidang budaya.

Hal lain yang menjadi catatan dan diskusi kami adalah tentang rapat koordinasi kader baik PNPM maupun IKK, yang demikian formal. FK/FT, UPK, dan PenLok duduk di meja panelis sebagai narasumber, di atas panggung, yang berjarak dengan kader. Materi diskusi atau koordinasi benar-benar persoalan teknis: soal pelaporan, soal jadwal kegiatan, tentang peraturan dan target kerja. Termasuk soal bagaimana mekanisme pembagian uang transport kader yang kemudian disepakati, bahwa bagi kader yang tidak berangkat rapat dan apalagi tidak membuat laporan bulanan, maka uang transport tidak akan diberikan.

“Namanya saja uang transport. Kalau kader tidak datang rapat dan tidak membawa laporan, ya bagaimana bisa uang kami berikan. Ya tidak bisa. Karena itu kalau kami, uang itu dikumpul kemudian bahkan bisa untuk membuat kaos atau hal lain. Ini memang ide saya, tapi sudah disepakati oleh forum kader. Bahkan hal ini sekarang sudah dicontoh dan diterapkan oleh PNPM. Jadi PNPM sekarang juga sama. “38

Yang menjadi pertanyaan adalah lantas bagaimana dengan kerja kader yang tidak melulu pergi ke rapat di kecamatan, namun tetap bekerja di wilayah jorongnya? Apalagi kemudian uang yang sudah dibelanjakan tim adalah untuk membuat kaos tim IKK kecamatan, dan tim PNPM (bukan untuk kader). Tak heran jika kemudian ada beberapa kali persoalan, kader protes melalui SMS, selain juga kader ingin dibuatkan tanda atau media (pin, badge, kaos) untuk mereka.

Formalisme yang terasa agak kaku lainnya adalah soal berita acara dan daftar hadir yang selalu dan wajib hukumnya bagi kader untuk membuat dan mengedarkan di setiap acara; latihan, sosialisasi di mana saja, termasuk di mushala, di pertemuan-pertemuan informal, di sembarang acara. Form berita acara dan daftar hadir tersebut sudah dibuatkan kopian-nya di kantor UPK/IKK. Jika kader tidak memiliki atau memberikan

36 Wilda, kader Daya budaya/PNPM, 21 Mei 2009 37 Raudhatinnas, kader daya budaya/PNPM, 20 Mei 2009 38 Uni Susi, pada suatu kesempatan berbicara dengan uni ini menjadi sangat intensif, karena kami tinggal di

rumahnya

Page 26: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

26

bukti berupa berita acara dan daftar hadir dengan bukti tanda tangan wali jorong atau wali nagari, maka kader tersebut dianggap tidak bekerja. Hal ini kami dengar sendiri, bagaimana PenLok menelpon masing-masing kader, ketika kami akan datang ke rumah dan kegiatan di jorong yang bersangkutan. Dia mengingatkan dengan tegas untuk tidak lupa membuat berita acara dan daftar hadir.

Konfirmasi Langsung dan Soal ‘Kreativitas’ Mengelola Uang

Info sejenis pembelian almari dan soal konfirmasi langsung dengan pihak Kelola, khususnya dengan Mas Paul, kembali kami dengar di suatu pagi menjelang FGD. Bahwa IKK kecamatan membeli satu set sound system dan wireless mic, karpet, dan tenda, dengan alasan bahwa barang-barang tersebut nanti pasti akan berguna bagi kecamatan dan berarti akan bermanfaat bagi banyak orang. Ketidaksesuaian (jika bisa dikatakan seperti ini) dengan PTO dan prosedur program dan yang secara jelas dipahami secara umum dalam proyek IKK, yakni tidak bolehnya membeli sarana dan prasarana atau benda dan peralatan juga ‘dilanggar’ untuk semua yang diproposalkan. Hampir semua pembelanjaan anggaran di Komponen I yang adalah usulan grup atau kelompok adalah untuk pembelian sarana pra sarana, bahkan ada yang untuk fee rutin bulanan. Pembelanjaan itu untuk: peralatan kesenian/musik, peralatan mebeler (rak, almari, meja, stationary), dan juga untuk berbagai kebutuhan grup yang berupa barang. Hal ini cukup menimbulkan tanda tanya secara otomatis, karena kasus ini baru kami termui di kecamatan ini, kecamatan yang masuk kategori cepat dan rapi dalam pelaksanaan IKK dibandingkan banyak kecamatan pilot project lain.

“Saya sendiri sudah konfirmasi dengan pihak Kelola untuk apa-apa saja uang itu nanti dibelanjakan. Saya sendiri selalu kontek Mas Paul dan dibolehkan, saya masih simpan SMS dari beliau. Dan semua itu juga sudah kami sampaikan di proposal. Dan nyatanya pihak Kelola setuju. Dana cair dengan cepat. “39

Dari cerita dan kasus ini, hal yang kami catat kemudian adalah pola atau jalur koordinasi, kontrol dan pola pengambilan keputusan. Bahwa pun ketika sesuatu itu sudah ditetapkan dalam PTO, yakni soal pembelanjaan sarana prasara, namun ternyata kecamatan ini masih bisa membelanjakan dengan bebas dan bahkan sangat terbuka menunjukkan keputusan dan cara mencari informasi dan koordinasi langsung ini sebagai sebuah ‘kecerdasan’ mengelola program, apalagi selalu diikuti dengan alasan yang terdengar masuk akal, bahwa itu menjadi kebutuhan kelompok dan pasti akan membantu proses selanjutnya. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kecamatan lain? Yang mungkin juga teramat membutuhkan, namun karena tidak menabras komunikasi seperti yang dilakukan oleh tim Sungai Tarab, yang tentu berarti akan memiliki keputusan dan hasil yang tidak sama. Kalau bukan soal kelonggaran PTO, ataukah juga soal ‘ketiadaan alur dan jalur koordinasi dan komunikasi, atau juga kontrol’ yang sama untuk semua tim IKK di seluruh kecamatan?

Spiritnya Apa?

Jika semangat dalam menerima program dan menjalankannya adalah kesempatan ‘menyerap dana’, ditambah dengan semangat untuk ‘menyukseskan program dari pusat’, lalu bagaimana semangat program IKK yang lebih pada pemberdayaan masyarakat, apalagi dengan mengangkat budaya lokal, yang sebenarnya sebuah program yang lebih mengurusi dan mencari strategi untuk pengembangan masyarakat ke arah yang lebih berkualitas dan mandiri?

Beberapa informasi kemudian juga kami dapat tentang bagaimana Komponen I jatuh ke beberapa kelompok seni dan grup kemasyarakatan. Yakni bahwa ada yang tidak melalui proses ‘pengorganisasian’, namun lebih bagaimana meraih kesempatan. Ketiganya dari jorong yang sama, yakni jorong 3 Batur, Nagari Sungai Tarab. Jorong dan nagari yang sama dengan PenLok. Sementara keseluruhan penerima manfaat Komponen I ada 7 kelompok, sementara jumlah jorong ada 33 di seluruh kecamatan).

39 Uni Susi, menyampaikan tidak hanya sekali, dinyatakan dengan nada cukup percaya diri

Page 27: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

27

“Ya, kami tahu dari Uni Susi. Waktu itu hanya tinggal dua hari untuk batas pengumpulan proposal. Kami membuat dengan cepat, apa pun yang kami butuhkan. Dan ya, alhamdulilah, kami dapat. Untuk tambahan fee rutin guru madrasah di sini, selain perlengkapan, meja ini. ”40

“Ya, waktu itu Uni Susi bilang bahwa ada kesempatan untuk mendapat bantuan. Kami segera bikin. Kan siapa tahu. Dan kami belikan perlengakapn bermain untuk anak-anak di PAUD ini. Terima kasih.” 41

Hal yang sama juga terjadi di satu kelompok SPP di jorong yang sama. Dalam waktu sangat cepat mereka membuat proposal dan mengumpulkan ke kecamatan, tanpa tahu apa pun tentang program. Dari cerita-cerita di atas, terlihat kemudian apa kaitan antara permbuatan proposal dan usulan dengan proses identifikasi dan sosialisasi yang sudah dilakukan jauh sebelumnya. Seolah tanpa melalui proses itu pun, dana bisa diakses. Terlebih lagi terjadi beberapa overlapping, di mana sebenarnya PAUD maupun kelompok termasuk target PNPM. Mereka sebenarnya bisa mengakses dana 30% non fisik dana PNPM.

Diskusi atau pembicaraan tentang esensi program dan orientasi program memang tidak kami temui di kecamatan ini. Perbincangan selalu lebih pada teknis dan administratif. Dalam FGD, tema yang kami ambil adalah soal orientasi program dan bagaimana progam ini nanti ke depan. Kentara sekali betapa bahkan tim, khususnya PenLok kesulitan untuk berdiskusi, selain melulu menyampaikan apa yang sudah dilakukan dan menunjukkan upaya ‘menjalankan dan menyukseskan program’, bukan mencari apa yang sebaiknya dilakukan untuk ‘pembangunan kebudayaan di kecamatannya. Ya, mungkin memang hal ini terjadi di banyak program dan proyek, juga di tempat lain. Namun tentu ini juga menjadi sebuah catatan yang patut dipertimbangkan, mengingat program ini berpretensi untuk ‘menyempurnakan atau memperkuat progam PNPM yang dirasa demikian seperti mesin proyek.

Pikiran kritis sebenarnya sudah keluar dari Ketua BKAN, dalam beberapa kali ungkapannya:

“Yang pagelaran pentas meriah kemarin itu kan produknya. Produk budaya, bukan budayanya itu sendiri. Yang budayanya belum. Itu kan hanya kesenian, yang inti budayanya itu yang belum. Nah, di sini ini program daya budaya ini belum sampai.” 42

Sementara yang selalu terdengar dari PenLok adalah:

“Kalau Mbaknya melihat apa yang terjadi di acara pagelaran seni kemarin. Wah.. ramai sekali, komplit, bagus sekali, semua memakai kostum komplit dan asli. Benar-benar sukses.“

“Yang pentas itu memang yang sudah memiliki kualitas, yang sudah bagus, sudah benar-benar berlatih, jadi yang didanai untuk pagelaran memang yang sudah terkenal. Memang komponen II kan memang begitu. Ya, kalau kami menyuguhi tamu undangan dengan yang belum professional, kan ya akan memalukan kita sendiri. Jadi kita berusaha untuk melakukan sesuai apa yang sudah disyaratkan oleh program.“

40 Pengurus sebuah pondok pesantren, Jorong 3 Batur, yang tidak tahu menahu soal program, salah satu yang mendapat bantuan IKK Komponen I

41 Pengurus PAUD Jorong 3 Batur, tidak terlibat di program, penerima manfaat Komponen I 42 Dermizi Makmur, 22 Mei 2009, yang senada disampaikan lagi pada saat FGD pada tanggal 25 Mei 2009

Page 28: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

28

Kasus 2 Kecamatan Sungai Tarab

Apa Cara Terbaik Membangun Kreativitas Masyarakat?

Nuraini Juliastuti

Tulisan ini dibuat sebagai respon atas pelaksanaan workshop Komponen 4 yang berlangsung di Bukittinggi, 25-27 Mei 2009 lalu. Sungai Tarab merupakan salah satu kecamatan di Propinsi Sumatra Barat, bersama dengan kecamatan IV Koto, yang berkesempatan untuk mengikuti workshop Komponen 4 ini43

Inti dari Komponen 4 adalah “Peningkatan kapasitas untuk industri kreatif dengan memberikan pelatihan manajemen dan pemasaran.” Penjelasan dari komponen ini adalah: “Banyak industri kreatif yang mati suri atau tidak dapat mempertahankan hidupnya, karena lemahnya pemasaran produk seni mereka dan manajemen mereka masih dikelola secara tradisional. Inisiatif ini mencoba menawarkan pelatihan manajemen dan pemasaran kepada mereka untuk menjawab persoalan tersebut.”

43 Sungai Tarab dalam pelaksanaan IKK: merupakan kecamatan yang masuk dalam kategori bagus, dalam arti: semua program dilaksanakan sesuai aturan dan tepat waktu, tertib administrasi. Sementara kecamatan IV Koto merupakan kecamatan yang masuk dalam kategori lambat. Saat kami memulai riset di IV Koto ini, belum ada program terkait IKK yang dilaksanakan. Proposal Komponen 1 belum disetujui. Tidak ada tanda-tanda pelaksanaan Komponen 2 (lihat tulisan ani himawati utk lebih jauh menelisik pelaksanaan IKK di dua kecamatan ini). Menilik catatan Ani Himawati tentang IV Koto, tampaknya kenyataan bahwa kecamatan ini mendapat kesempatan untuk mengikuti Komponen 4 ini, oleh para pengurus IKK kecamatan khususnya, tidak dimasukkan sebagai bagian dari keseluruhan pelaksanaan program IKK. Sementara bagi kecamatan Sungai Tarab, kesempatan ini mungkin hanya dipandang sebagai sesuatu yang makin mengukuhkan prestasi kecamatan ini.

Page 29: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

29

Tulisan ini secara khusus didedikasikan untuk mengupas konsep Komponen 4, khususnya konsep kreativitas yang dibangun di situ, sambil mengontraskannya dengan praktik kreativitas atau cara pandang terhadap kreativitas yang dilakukan di level lokal. Terdapat dua kelompok pengrajin sulaman yang diundang untuk mengikuti pelatihan Komponen 4 di Bukittinggi. Poin pertama yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah perbedaan latar belakang antara kedua peserta workshop, yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan cara pandang keduanya terhadap praktek kreativitas yang mereka lakukan selama ini. Kelompok sulaman IV Koto berasal dari Nagari Koto Gadang. Ia merupakan nagari yang mempunyai sejarah kemajuan dalam tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan ekonomi, dan akhirnya tingkat keterbukaan (baik keterbukaan wilayah secara fisik maupun pemikiran) yang lebih panjang dari nagari-nagari lain di kecamatan ini. Tempat ini juga sudah dikenal publik luas sebagai nagari dengan banyak produk kerajinan, dan nagari ini menempatkan kerajinan sebagai salah satu potensi utama. Para pengrajin di sini tampaknya juga sudah punya jalur distribusi yang lebih rapi. Amaisetia misalnya sudah berdiri sejak 1915 dan punya peran penting baik dalam melakukan pemberdayaan perempuan lewat kerajinan maupun berperan dalam mendistribusikan produk-produk karya pengrajin Koto Gadang ke tempat-tempat lain. Mereka lebih sering terekspose dengan aspek-aspek pemasaran modern, kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan apapun itu jenisnya lebih sering didapatkan. Tingkat kepercayaan diri mereka terhadap karya yang mereka hasilkan akhirnya memang besar. Artinya: mereka sadar bahwa barang yang mereka hasilkan itu punya nilai jual tinggi.

Kelompok sulaman Peniti Samek dari Sungai Tarab berasal dari nagari Koto Baru. Beginilah yang harus ditempuh untuk menuju nagari ini: jalan aspal kecil dua jalur berkelok-kelok, kiri-kanan adalah hutan dan kebun-kebun dengan tanaman kayu manis dan coklat, setiap kali jalan akan berbelok, pengendara harus membunyikan klakson sebagai peringatan kepada kendaraan yang akan berpapasan. Setelah kurang lebih menyusuri jalanan aspal berkelok itu selama 20 menit, jalan itu akhirnya berujung di sebuah tanah lapang, di sekelilingnya ada kantor wali nagari, masjid, dan rumah-rumah penduduk, kedai-kedai. Orang-orang berkumpul di beberapa sudut. Rupanya tempat ini adalah pusat nagari Koto Baru. Tingkat merantau di nagari ini termasuk rendah. Hal ini menurut Wali Nagari Koto Baru Nafri (35 th) ikut menyumbang terhadap rendahnya tingkat pembangunan infrastruktur nagari, karena pembangunan akhirnya bergantung kepada uluran tangan pemerintah. Salah satu konsekuensi dari selalu menunggu uluran tangan tersebut adalah pembangunan yang selalu terlambat. Menurut cerita Nafri, listrik baru masuk tahun 1989, jalan aspal baru dibangun 7 tahun yang lalu, dan sebelum ada listrik, media utama yang dikonsumsi warga adalah radio, saat ini radio sudah banyak digantikan oleh televisi. Saat kami ke sana: tampak antena2 parabola (ini alat yang mutlak dipasang supaya bisa menangkap siaran televisi dengan jelas) menghiasi hampir seluruh atap-atap dan halaman para warga.

Hampir semua pengrajin sulaman di Koto Baru adalah para lulusan pondok pesantren di Koto Baru. Hampir semua selalu tinggal di nagari itu terus, tidak pernah keluar. Ada juga anggota kelompok yang pernah jadi TKW di Malaysia, dan ada seorang anggota yang kuliah STAIN Batu Sangkar. Ia menjadi satu-satunya anggota yang mengenyam bangku kuliah, dan saat ini menjadi warga dengan tingkat pendidikan tertinggi. Semua anggota pengrajin perempuan. Hal ini berbeda dengan kondisi para pengrajin sulaman di Koto Gadang di IV Koto di mana bisa dijumpai para laki-laki yang berprofesi penuh sebagai pengrajin sulaman atau renda bangko.

Selanjutnya penjelasan di atas membawa saya untuk mendiskusikan poin kedua yaitu tentang konsep pengembangan kreativitas yang diyakini oleh program IKK. Menilik konsep Komponen 4, terdapat kepercayaan bahwa sumber dari semua persoalan menyangkut dunia kreasi yang akhirnya menghambat kemajuan terletak pada salah urus pengelolaan usaha kreativitas. Menurut istilah di konsep ini “semua

Page 30: I Lampiran Kasus Sumatera Barat

Kumpulan Kasus Sumatera Barat

30

masih dikelola secara tradisional”. Tawaran yang diberikan untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan memberi pengetahuan dan ide-ide perombakan yang bersifat modern.

Bagi para pengrajin yang ada di Koto Baru, bisa menyulam itu bukan ketrampilan yang istimewa, tapi hanya sekedar hal biasa yang bisa dipelajari dengan melihat dan menirukan hasil karya orang lain dan latihan uji coba berkali-kali. Tidak ada pandangan khusus tentang pekerjaan yang dilakukan, apalagi kesadaran dan kemampuan untuk mengaitkannya dengan perspektif kreativitas yang lebih besar. Selama ini para pengrajin Koto Baru ini memaknai menyulam sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari, sebagai aktivitas sambilan dan perintang waktu di sela-sela bekerja di sawah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selama ini memang mereka bekerja hanya berdasar pesanan. Sebagaimana layaknya pengelolaan kerajinan yang tradisional, semuanya dilakukan tanpa menganut pada standar atau aturan pengerjaan tertentu. Tidak ada orientasi waktu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Tidak ada keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai jangka waktu tertentu. Para pemesan datang dan memesan barang sambil membawa kain dan peralatan yang dibutuhkan, kemudian mereka akan kembali lagi jika dirasa waktu untuk mengambil pesanan sudah tiba.

Cerita yang kurang lebih sama juga didapatkan dari kisah para pengrajin sulaman emas di nagari Sungai Tarab. Tidak ada target produksi. Tidak ada standar kebersihan dan kerapian yang harus dipatuhi. Tidak ada penjaga atau kontrolir kebersihan dan kerapian kerja. Yang ditemui adalah prinsip “bikin-setor-dapat upah”.

Di antara pengetahuan modern yang berusaha untuk diajarkan dalam workshop kemarin adalah: perbaikan etos kerja (perhatian kepada target waktu tertentu untuk penyelesaian suatu pekerjaan harus lebih diutamakan), kecepatan produksi karya yang lebih ditingkatkan untuk menuju ke produksi produk secara massal, dan penegakan standar kebersihan dan kerapian.

Inti utama dari semua itu adalah peletakan usaha kreatif ini dalam mesin industri yang besar. Hal ini tampak dari misalnya pemilihan narasumber untuk workshop ini. Untuk propinsi Sumatra Barat ini misalnya diambil pembicara Biyan. Selain itu selain sebagai perancang busana, ia juga dikenal luas sebagai seorang desainer yang mempunyai beberapa usaha pakaian jadidan punya banyak pegawai.

Merentangkan poin kedua ini lebih panjang, maka workshop ini seharusnya dimasukkan dalam rancangan besar industri kreatif yang lebih besar. Artinya ia tidak boleh berhenti menjadi acara yang bertugas untuk memberi inspirasi dan membuka wawasan saja. Sementara menurut saya, acara ini tidak didesain seperti itu. Ia seperti sebuah acara lepasan dan tidak terlalu punya hubungan dengan komponen-komponen sebelumnya

Pertanyaan lebih mendasar lagi adalah: kreativitas yang akhirnya menuju ke kemandirian ekonomi seperti ditemukan dalam industri kreatif mungkin adalah salah satu target yang dituju oleh program ini. Tetapi apakah kemandirian ekonomi ini akan menuju ke pemberdayaan masyarakat yang lebih besar (dan ini berarti kita tidak hanya bicara soal uang)?