aplikasi an moral

Upload: muhammad-kurniawan

Post on 13-Jul-2015

163 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

APLIKASI PERKEMBANGAN MORAL PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI SMP

Dosen Pembimbing Yurni, Ss, M.Si

Nama Anggota Labell Vergus Fitriana Lerinda Serti Handini Zaharatul Aula

FAKULTAS K.I.P BAHASA INGGRIS UNIVERSITAS BATANGHARI TH. 2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karunia Nya maka kami sebagai penulis bisa menyelesaikan makalah Perkembangan Peserta Didik tepat pada waktunya. Mata kuliah ini diperuntukan terutama bagi mahasiswa/i fakultas fkip bahasa inggris Universitas Batanghari untuk Nilai semester III Agar bisa menyempurnakan mata kuliah ini. Tak lupa juga, penulis mengucapkan terima ksaih pada dosen pembimbing mata kuliah perrkembangn peserta didik karena atas bimbingannya dalam menyelesaikan makalah ini. Apabila ada kesalahan baik sengaja maupun tidak

disengaja , penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Demikianlah makalah ini dibuat. Semoga member manfaat kepada pembacanya.

Jambi, Desember 2011

Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1 1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN2.1 Tahapan perkembangan moral pada siswa SMP terhadap

pembelajaran bahasa inggris ........................................................... 32.2 Tugas-tugas perkembangan moral siswa SMP pada

pembelajaran bahasa inggris ........................................................... 52.3 Perkembangan penalaran moral siswa SMP pada pembelajaran

bahasa inggris ................................................................................. 92.4 Hubungan perkembangan kognitif dengan penalaran moral

pada pembelajaran bahasa inggris di SMP .....................................162.5 Keterkaitan peran bimbingan dan konseling dalam

perkembangan moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris ............................................................................................ 19

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan .................................................................................... 22 3.2 Saran .............................................................................................. 22

iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bahasa Inggris di Indonesia dapat dikategorikan sebagai bahasa asing, dan biasanya dipelajari sebagai sarana komunikasi dengan orang asing . Tahapan perkembangan moral pada pembelajaran bahasa inggris adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya setelah ia menguasai atau mendapatkan pelajaran bahasa inggris. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, salah satu tujuan pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dalam bentuk lisan maupun tertulis. Demikian pula pada jenjang SMA kemampuan tersebut merupakan amanah yang harus diembang oleh guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Kemampuan berkomunikasi ini meliputi mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (Reading), dan menulis (writing). Keempat kompetensi ini diharapkan mampu mempersiapkan dan membekali siswa SMP, SMA dan yang sederajat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau untuk memasuki dunia kerja terutama di sektor yang membutuhkan keterampilan berbahasa Inggris. Penguasaan bahasa Inggris sifatnya keharusan bagi kita agar dapat memainkan perannya di dunia internasional secara optimal dan tidak semakin ketinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penguasaan bahasa Inggris yang rendah mengindikasikan kurang berhasilnya pembelajaran bahasa Inggris di sekolah. Jadi, Perlu dikembangkan pembelajaran bahasa Inggris yang efektif dan efisien di sekolah. Yang dapat Berimbas apada perkembangan moral siswa tersebut sehingga bisa berkomunikasi secra internasional.

1.2 Rumusan Masalah y Bagaimana tahapan perkembangan moral pada siswa SMP terhadap pembelajaran bahasa inggris?

1

y

Apa saja tugas-tugas perkembangan moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris?

y

Bagaima perkembangan penalaran moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris?

y

Apakah hubungan perkembangan kognitif dengan penalaran moral pada pembelajaran bahasa inggris di SMP?

y

Bagaimana keterkaitan peran bimbingan dan konseling dalam perkembangan moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris?

1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuannya adalah sebagai berikut : Untuk mengetahui tentang tahapan perkembangan moral pada siswa SMP terhadap pembelajaran bahasa inggris. Agar kita mengetahui apa saja tugas-tugas perkembangan moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris. Untuk mengetahui perkembangan penalaran moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris. Agar kita mengetahui ada atau tidaknya hubungan perkembangan kognitif dengan penalaran moral pada pembelajaran bahasa inggris di SMP. Supaya kita mengerti keterkaitan peran bimbingan dan konseling dalam perkembangan moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris.

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tahapan perkembangan moral pada siswa SMP terhadap pembelajaran bahasa inggris Remaja yang memasuki jenjang pendidikan SMP berada pada rentang usia antara 12-15 tahun (Lytha, 2009:16). Menurut Otto Rank (Sarwono, 2002:33) pada masa remaja terjadi perubahan drastic dan will, yaitu keadaan tergantung pada orang lain (dependence) pada masa kanak-kanak menuju pada keadaan mandiri (independent) pada masa dewasa, minat-minat seksual, renungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Piaget (Hurlock, 1980:206) mengungkapkan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial yang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Masa remaja merupakan salah satu diantara dua masa rentangan kehidupan individu yang memiliki karakteristik perkembangan tertentu, baik dari segi fisik, kognitif, emosi, sosial, dan moral. Pertumbuhan fisik yang pesat, terutama organorgan seksual terjadi pada masa remaja. Bagian-bagian tubuh tertentu pada tahun-tahun permulaan kehidupan secara proporsional terlalu kecil, namun pada masa remaja proporsionalnya menjadi besar karena terlebih dahulu mencapai kematangan daripada bagian-bagian yang lain. Hal ini terutama tampak jelas pada hidung, kaki, dan tangan (Yusuf, 2005:193) Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut Piaget (Yusuf, 2005:195), masa remaja sudah mencapai tahap operasional formal. Remaja secara mental telah dapat berfikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata

3

lain, berfikir operasional formal lebih bersifat hipotetis dan abstrak, sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pada remaja awal, perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang memberikan respon sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung, marah, mudah sedih, murung), sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya (Yusuf, 2005: 197). Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan orang lain, terutama teman sebayanya. Menurut Piaget (Duska dan Whelan, 1982: 31) tahap perkembangan moral otonom harus dicapai selama masa remaja, karena pada masa remaja kemampuan kognitif remaja sudah semakin matang. Dengan demikian, remaja mampu mengambil peranan orang lain dan mampu melihat tindakan dari perspektif lain yang berbeda dengan perspektifnya sendiri, sehingga remaja akan mengadakan pertimbangan atas dasar tanggung jawab subjektif. Masa remaja merupakan periode perubahan. Tingkat perubahan sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Menurut Hurlock (1980:207), ada empat perubahan yang berlangsung pada masa remaja. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilainilai juga berubah. Keempat, remaja bersikap ambivalen terhadap perubahan, mereka menuntutkebebasan, tetapi mereka takut bertanggung jawab karena mereka ragu dengan kemampuannya untuk mengatasi tanggung jawab itu.

4

2.2 Tugas-tugas perkembangan moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris Tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila individu berhasil menyelesaikan tugas itu, maka akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan, namun apabila individu tidak berhasil menyelesaikan tugas itu, maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan, menimbulkan penolakan masyarakat, dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya (Yusuf, 2005:65). Tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada pustaka

penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 1980:209). 1. Menurut Juntika Nurihsan (2005:1-2) tugas-tugas perkembangan siswa SMP adalah sebagai berikut. 2. Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 3. Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang sehat. 4. Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam peranannya sebagai pria dan wanita. 5. Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas. 6. Mengenal kemampuan, bakat, minat dan arah kecenderungan karir dan apresiasi seni. 7. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan atau mempersiapkan karir serta berperan dalam masyarakat. 8. Mengenal gambaran dan mengembangkan sikap tentang hidup mandiri secara emosional, sosial dan ekonomi. 9. Mengenal sistem etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia.

5

Dari beberapa tugas perkembangan siswa SMP, ada tugas perkembangan yang berkaitan erat dengan penalaran moral, yaitu memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan yang lebih luas, serta mengenal system etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia. Berikut diuraikan secara lebih rinci mengenai tugas perkembangan yang berkaitan dengan moral, dimulai dari hakikat tugas perkembangan, dasar psikologis tugas perkembangan, dasar kebudayaan tugas perkembangan, dan pencapaian tugas perkembangan.

1. Hakikat Tugas Perkembangan Pada hakikatnya, tugas perkembangan yang berkaitan dengan moral ini bertujuan untuk: a. Membentuk seperangkat nilai yang mungkin dapat direalisasikan. b. Mengembangkan kesadaran untuk merealisasikan nilai-nilai. c. Mengembangkan kesadaran akan hubungannya dengan sesama manusia dan juga alam sebagai lingkungan tempat tinggalnya. d. Memahami gambaran hidup dan nilai-nilai yang dimilikinya, sehingga dapat hidup selaras (harmonis) dengan orang lain. 2. Dasar Psikologis Tugas Perkembangan Nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh remaja terbentuk melalui pengalamannya di lingkungan keluarga dan kebudayaan. Proses

pembentukannya sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang mempunyai hubungan yang intensif dengan individu, seperti seorang ibu. Sikap hangat atau kasih sayang ibu melalui pemberian senyuman, makanan dan omongan berupa nasehat kepada anak akan berkembang menjadi nilai dasar kehidupan anak, seperti kemauan untuk memelihara kebersihan; menghargai hak milik, baik hak milik pribadi maupun hak milik orang lain; berbicara yang sopan dan belajar tata cara makan atau mengurus diri. Kesenangan seseorang utnuk mendapatkan cinta kasih atau persetujuan itu tidak hanya diperoleh dari ibu, tetapi juga dari bapak, guru, orang dewasa lainnya, teman sebaya dan anak yang usianya lebih tua. Melalui cinta kasih dan persetujuan itulah anak belajar tentang nilai-nilai.

6

Menurut Konopka (Syamsu Yusuf, 2005:90) pembentukan nilai ini merupakan suatu proses emosional dan intelektual tingkat tinggi yang dipengaruhi oleh interaksi manusiawi. Adapun nilai-nilai ini berkembang melalui a. Kepuasan dalam memenuhi dorongan-dorongan fisiologis. b. Kepuasan pengalaman emosional yang diperoleh melalui interaksi dengan orang lain. c. Pengalaman yang konkret dalam memperoleh penghargaan dan hukuman. d. Pemberian cinta kasih atau persetujuan terhadap perbuatan yang diharapkan. e. Otoritas seseorang. f. Berfikir reflektif, yaitu dengan menganalisis tingkah laku,

kemudian merefleksikan sebab-akibat yang mungkin terjadi dan akhirnya mengambil keputusan untuk bertindak secara tepat.

3. Dasar Kebudayaan Tugas Perkembangan Pandangan mengenai hakikat dunia fisik dan manusia yang konsisten dengan nilai-nilai yang dominan dikembangkan oleh setiap masyarakat. Terdapat hubungan yang konstan antara nilai-nilai dengan pandangan tentang dunia tersebut. Setiap manusia dan pendidik dihadapkan pada tugas untuk mengembangkan atau menemukan seperangkat nilai yang selaras dengan pengetahuan modern tentang hakikat dunia dan manusia. Pada masa ini, sebagian besar masyarakat hidup dalam suasana kebobrokan moral (moral anarchy). Hal ini disebabkan oleh lepasnya pandangan manusia tentang dunia dari sistem nilainya, dan juga kurang diperhatikannya hukum moral dari Tuhan. Kondisi ini tentu saja sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk remaja. Remaja mengalami kebingungan dan kesulitan dalam memformulasikan tujuan dan aspirasi dirinya dalam kaitannya dengan pengetahuan ilmiah yang dipelajarinya tentang hakikat manusia dan alam. Menghadapi kondisi tersebut, orang tua dan guru ada kalanya mengalami kesulitan untuk membantu remaja.

7

4. Tingkat Pencapaian Tugas Perkembangan Menurut Pikunas (Syamsu Yusuf, 2005:72) tugas perkembangan utama remaja adalah memperoleh kematangan sistem moral untuk membimbing perilakunya. Kematangan remaja belumlah sempurna jika tidak memiliki kode moral yang dapat diterima secara universal, meskipun pada kenyataannya tingkat pencapaian tugas perkembangan moral remaja sangat beragam, mulai dari tingkat perkembangan moral yang tinggi, sedang, hingga rendah. Berikut diuraikan tingkat pencapaian tugas perkembangan berkenaan dengan moral beserta indikatornya. a. Tinggi Individu yang memiliki tingkat pencapaian tugas perkembangan moral yang tinggi, memiliki indikator reputasi sifat-sifat moral yang baik, seperti jujur, setia, bertanggung jawab, bersikap altruis, mampu mengendalikan diri, mau menerima dan melaksanakan tugas atau kewajiban, mau bekerjasama, menaruh perhatian terhadap masalah etika dan agama serta mendiskusikannya secara sungguh-sungguh, dapat membedakan benar dan salah, dapat menganalisis perilaku orang lain secara rasional, dan memperhitungkan perasaan atau pendapat orang lain dalam mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan. b. Sedang Individu dengan pencapaian tugas perkembangan moral yang sedang, memiliki beberapa indikator, yaitu kadang-kadang kurang bersikap jujur, bersikap altruis namun kurang matang, cenderung lebih mementingkan kebutuhan sendiri daripada orang lain dalam mengambil keputusan, mau bekerjasama dengan orang lain apabila ada tekanan dari kelompoknya atau dari orang dewasa. c. Rendah Individu dengan pencapaian tugas perkembangan moral yang rendah, memiliki beberapa indikator, yaitu berperilaku tidak jujur, tidak bertanggung jawab, tidak konsisten atau tidak ajeg, tidak suka memperhatikan perasaan orang lain, bersikap kasar dan tidak sopan, menolak kerjasama dengan orang lain dalam satu tim (kelompok) karena

8

suka melecehkan norma atau aturan kelompok atau menghina orangorang yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, suka memaksakan otoritas, pengaruh atau kehendaknya sendiri kepada orang lain, bersikap oportunitis, tidak merasa berdosa apabila berbuat salah dan berperilaku impulsif.

2.3 Perkembangan penalaran moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris 1. Definisi Penalaran Moral Perlu diketahui definisi moral sebelum dipaparkan lebih jauh mengenai perkembangan moral pada pembelajaran bahasa inggris. Dalam Websters New World Dictionary Vocabulary of Success (2001:165), moral didefinisikan sebagai sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar-salahnya suatu tindakan. Selain itu pengertian lain dari moral adalah adanya kesesuaian dengan ukuran baik buruknya suatu tingkah laku atau karakter yang telah diterima oleh suatu masyarakat, termasuk di dalamnya perilaku spesifik, seperti misalnya perilaku seksual. Menurut Syamsu Yusuf (2005: 132) moral berasal dari bahasa Latin mos atau moris yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Menurut Lillie, moral berasal dari kata mores (bahasa Latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti, 1991). Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial (Grinder, 1978), sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar. Oleh Suseno (1987) dikatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok- tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Menurut Suseno, sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah.

9

Moralitas terjadi apabila orang mengambil yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitas lah yang bernilai secara moral (Suseno, 1987). Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa istilah moral pada hakikatnya merujuk pada ukuran-ukuran baik-buruknya sesuatu yang telah diterima oleh suatu komunitas. Tentu saja ukuran baik-buruk itu tidak hanya diambil dari aturan adat istiadat, tradisi ataupun nilai-nilai semu dalam peraturan saja, tetapi melalui penelaahan berbagai unsur. Adapun yang menjadi unsur moral menurut Haricahyono (1995:225), antara lain perhatian, pertimbangan, dan tindakan. 1) Perhatian Yang dimaksud dengan perhatian disini adalah memberikan apa yang orang lain butuhkan, misalnya memberikan motivasi dan pengetahuan. Jadi dapat dikatakan bahwa perhatian itu pada hakikatnya melibatkan berbagai segi dalam diri seseorang, tidak hanya afeksi (perasaan), tetapi juga kognitif (pemikiran). Mengapa demikian? Karena perhatian merupakan proses belajar, belajar memahami dan mengetahui orang lain dengan sebaik mungkin, dan yang namanya proses belajar tidak hanya dapat dicapai oleh perasaan, tetapi juga pemikiran. 2) Pertimbangan Pertimbangan moral menuntut adanya kemampuan untuk

mengevaluasi tindakan yang dianggap benar atau salah dengan mengacu pada satu ukuran atau standar kebenaran yang diakui secara umum. 3) Tindakan Yang dikatakan sebagai tindakan disini adalah arah perilaku yang bergantung pada kualitas perhatian dan pertimbangan moral. Dalam teori psikoanalisis, salah satu sistem utama dalam kepribadian seseorang adalah super ego yang merupakan faktor penentu, pengarah moral yang terinternalisasi. Perkembangan moral diartikan sebagai proses internalisasi norma- normayang dimiliki orang tua dan budaya.

10

Persamaan kedua teori di atas adalah bahwa moralitas dipandang sebagai suatu tingkah laku yang sesuai dengan harapan dan norma-norma lingkungan social atau budaya dimana seseorang itu berada. Perkembangan moral dapat diartikan dengan bertambahnya kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai atau aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. Berdasarkan perkembangan kognitif, moralitas lebih dari sekedar konsep tingkah laku. Penalaran moral bukan merupakan respon spesifik terhadap satu situasi melainkan satu jenis organisasi pikiran tertentu (pola atau struktur formal berfikir) yang mendasari segala respon. Proses perkembangan penalaran moral tidak terjadi karena transmisi informasi melalui hukum-hukum biologi genetik maupun karenaproses pembentukan perilaku langsung, melainkan terjadi dalam dan melalui interaksi pribadi tersebut dengan seluruh kondisi sosial hidupnya. Dengan kata lain, proses perkembangan penalaran moral dihasilkan oleh proses interaksi antara tendensi struktural organismik pribadi dengan ciri-ciri khas universal dari lingkungan sosialnya (Diandra, 2003:37). Menurut Kohlberg (1995:69), penalaran moral merupakan

kemampuan seseorang dalam bertindak berdasarkan nilai-nilai atau hal-hal yang tersangkut dalam putusan moral dan motivasi untuk bertindak secara moral sesuai dengan pertimbangan moralnya sendiri. Sedangkan menurut Piaget (1982:31), penalaran moral adalah kemampuan seseorang dalam mengambil peranan orang lain dan dalam melihat tindakan dari perspektif lain yang berbeda dengan perspektifnya sendiri berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab subjektif. Sementara Blasi (Kurtines, 1992:93) menyebutkan bahwa pertimbangan moral atau penalaran moral merupakan arah suatu tindakan yang diproses melalui seperangkat aturan dan tanggung jawab. Fungsi dari penalaran moral itu sendiri adalah untuk menentukan arah tindakan yang baik atau tidaknya secara moral berdasarkan keputusan diri sendiri. Penalaran moral dalam situasi yang nyata berlangsung melalui dua fase. Fase pertama adalah fase pertimbangan tentang kebenaran, sedangkan fase kedua adalah fase pertimbangan pertanggungjawaban, yaitu

11

pertimbangan tentang tanggung jawab seseorang untuk melaksanakan suatu tindakan yang benar. 2. Tahap-tahap Penalaran Moral Menurut Piaget (Diandra, 2003: 47) kemajuan dari satu tahap moral ke tahap berikutnya merupakan hasil dari interaksi kematangan individu dengan pengalaman (lingkungan). Dengan kata lain, perkembangan moral juga dipengaruhi oleh stimulasi yang diberikan oleh lingkungannya. Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berfikir dalam dua cara berbeda mengenai moralitas, tergantung pada kematangan perkembangan mereka, yaitu moralitas heteronom (heteronomous morality) dan moralitas otonom (otonom morality) (Santrock, 2003:439). Moralitas heteronom (heteronomous morality) atau disebut juga sebagai realisme moral adalah tahap pertama dari perkembangan moral dalam teori Piaget, terjadi pada usia 4 sampai 7 tahun. Pada tahap ini, anak cenderung menerima begitu saja segala aturan yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap kompeten untuk itu. Keadilan dan peraturan dipahami sebagai suatu properti dunia yang tidak dapat diubah, di luar kendali manusia. Moralitas otonom (otonom morality) atau disebut juga sebagai independensi moral adalah tahap kedua dari perkembangan moral dalam teori Piaget, muncul pada anak-anak yang lebih tua (sekitar 10 tahun ke atas). Pada tahap ini anak sudah memiliki pemikiran akan perlunya memodifikasi aturanaturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Anak menyadari bahwa peraturan dan hokum dibuat oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan seseorang harus mempertimbangkan intensi pelaku selain memikirkan konsekuensinya. Anak-anak yang berusia 7 sampai 10 tahun ada dalam tahap transisi antara kedua tahap tersebut dan menunjukkan karakteristik dari kedua tahap tersebut. Dalam menentukan tahap penalaran moral, Piaget menyusun beberapa cerita tentang kesembronoan, mencuri, berbohong, hukuman, keadilan imanen, keadilan dan otoritas. Cerita-cerita tersebut disusun untuk menilai kepatuhan, kejujuran, dan keadilan agar dapat memancing anak membandingkan dua macam tindakan yang memperhatikan motif atau akibat-akibat material, sehingga tahap penalaran moral anak dapat

12

diketahui. Anak-anak diberikan cerita dan diminta untuk mengulanginya, kemudian mereka ditanya mengenai benar-salahnya tindakan seseorang yang ada dalam cerita. Tindakan yang satu merupakan tindakan yang sebenarnya bermaksud baik, tetapi mengakibatkan kerugian material yang besar, sedangkan yang satunya merupakan tindakan yang bermaksud buruk, tetapi mengakibatkan kerusakan material yang kecil. Menurut Kohlberg perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap (Duska dan Whelan, 1982:59). Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara, anak-anak diberi serangkaian cerita di mana tokohtokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Setelah membaca cerita, anakanak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespons dilema moral, Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat

perkembangan moral, yang setiap tingkatnya ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg, ialah internalisasi (internalization), yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Sesuai dengan perkembangan teori yang dianutnya, Kohlberg tidak memandang moralitas sebagai tindakan yang nyata (isi), tetapi berdasarkan pada prinsip moral (struktur yang mendasari tindakannya). Jadi, penalaran moral bukanlah apa yang baik dan buruk, melainkan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Penalaran moral berkembang berdasarkan pada tahap-tahap

perkembangan. Perkembangan penalaran moral memenuhi ciri-ciri dari perkembangan kognitif, seperti yang dipaparkan berikut ini (Kusdwiratri, 1983: 5-8). a. Perkembangan bersifat universal, tidak terkait dengan sosial budaya tertentu.

13

b. Sumber dari perubahan adalah interaksi dari pembawaan dan lingkungan, sementara perubahan yang terjadi adalah hasil dari aktivitas dalam berhubungan dengan lingkungan tersebut. c. Tahap-tahap perkembangannya mengikuti urutan yang tetap (invariant sequence), tidak ada tahap yang diloncati dan tidak ada resesi atau urutan mundur. d. Tahap perkembangannya mempunyai karakteristik interaksi yang

hierarkis, semakin tinggi tahapan, maka semakin terlihat diferensiasi dan interaksinya. Semakin tinggi tahapan perkembangan seseorang, maka semakin matang penalaran moralnya. Bukan hanya dalam arti

penalarannya lebih logis, tetapi juga prinsip moralnya lebih baik atau lebih diinginkan (desirable). Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa bila penalaran-penalaran yang diajukan seseorang mengenai alasan tindakannya, maka akan tampak jelaslah adanya perbedaan-perbedaan yang berarti dalam sebuah pandangan moral. Mungkin saja seseorang menunjukkan bahwa berbuat curang itu salah, karena bisa ditangkap polisi, sedangkan orang lain mungkin pula menunjukkan bahwa berbuat curang itu menghancurkan kepercayaan orang lain. Dalam hal ini jelas, bahwa terdapat perbedaan yang berarti dalam kematangan proses penalaran dan pertimbangan- pertimbangan yang diajukan. Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam disertasi aslinya di tahun 1958. Selama kurang lebih 45 menit dalam wawancara semiterstruktur yang direkam, pewawancara menggunakan dilema-dilema moral untuk menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis, seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah. Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan struktur dari jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema moral diperoleh skor secara

14

keseluruhan. 3. Faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral a. Penalaran moral seseorang, berjalan seiring dengan perkembangan kognitifnya. Mengenai hal tersebut Kohlberg (1976:49) menyatakan bahwa ada paralelisme antara perkembangan kognitif dengan

perkembangan moral, dengan cirri sebagai berikut: b. Tahap-tahap perkembangan menuntut adanya perbedanan kualitatif yang khas dalam strukturnya, yaitu cara berfikir yang berbeda, yang masih mempunyai fungsi dasar yang sama, yaitu intelegensi pada berbagai titik dalam proses perkembangan. c. Semua struktur yang berbeda ini membentuk suatu urutan tetap dalam proses berkembangnya penalaran moral individu. d. Masing-masing cara berfikir yang berbeda dan berurutan itu merupakan suatu keseluruhan terstruktur yang memiliki suatu konsistensi serta

kemantapan dalam berbagaimacam situasi dan tugas yang dihadapi individu. Maka suatu tanggapan tahap tertentu terhadap suatu tugas tidak sekedar mewakili suatu respon khas yang ditentukan oleh pengetahuan atau rasa terbiasa dengan tugas tertentu itu, atau tugas-tugas yang serupa dengannya, tetapi tanggapan tersebut mewakili suatu penyusunan pemikiran yang mendasarinya. e. Tahap-tahap bersifat integrasi-integrasi hierarkis. Dengan demikian, tahap-tahap yang lebih tinggi menggantikan atau lebih tepatnya mengintegrasikan kembali semua struktur kognitif yang ditemukan pada tahap-tahap yang lebih rendah. Selain perkembangan kognitif, ada faktor lain yang mempengaruhi penalaran moral individu, yaitu: a. Faktor-faktor afektif, seperti kemampuan untuk berempati dan

kemampuan rasa diri bersalah. Situasi-situasi seperti ini ditentukan secara kognitif oleh perkembangan kenyataan sosial pribadi dengan cara memahami

dan mengintegrasikan pengalaman sosial.

b. Jumlah dan keanekaragaman pengalaman sosial, melalui interaksi sosial. c. Kesempatan untuk mengambil sejumlah peran (role taking opportunities)

15

dan untuk mengambil sikap dari sudut pandang yang lain.

2.4 Hubungan

perkembangan

kognitif

dengan

penalaran

moral

pada

pembelajaran bahasa inggris di SMP Teori perkembangan kognitif sebagai berikut. 1. Perkembangan menyangkut perubahan-perubahan dasar dalam struktur, yaitu bentuk, pola dan organisasi suatu respon. Setiap individu memiliki bentuk, pola dan organisasi dasar untuk penalaran moralnya. Misalnya, seorang anak harus mengembangkan struktur berfikir dari yang bersifat heteronomi ke arah otonomi, dari egosentris ke sosiosentris, dan pertimbangan yang digunakan tidak lagi berdasarkan sudut pandang pribadi, tetapi lebih meluas ke sudut pandang orang lain. 2. Perkembangan merupakan hasil dari proses interaksi antara struktur, organisasi dan lingkungan. Dalam proses perkembangan, individu tidak bersifat pasif. Lingkungan harus dapat memberikan stimulasi sosial dan kognitif bagi individu. 3. Perkembangan mengarah pada terciptanya equilibrium yang semakin besar dalam interaksi antara individu dengan lingkungannya.

Menurut pandangan Piaget (Haricahyono, 1995:266), tahap-tahap kognitif mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik sebagai berikut. 1. Anak-anak pada usia berbeda akan menempatkan cara-cara yang secara kualitatif berbeda, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan

permasalahan yang sama. 2. Perbedaan cara berfikir tersebut acap kali dapat dilihat dari cara seseorang menyusun kerangka berfikir yang berbeda. Dalam hal ini ada serangkaian langkah yang konsisten dalam kerangka berfikir seseorang yang

berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. 3. Masing-masing cara berfikir akan membentuk satu kesatuan yang terstruktur, ini berarti bahwa pada tiap-tiap tahap keseluruhan yang dimiliki oleh seseorang akan diatur sesuai dengan cara berfikirnya. Piaget mengakui

16

bahwa cara-cara berfikir atau struktur kognitif seseorang pada dasarnya dapat mengembangkan pemikiran untuk mengendalikan tindakan. 4. Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu integrasi hierarkis dari apa yang telah dialami sebelumnya. Tahap yang lebih tinggi tidak menempatkan kembali tahap-tahap yang lebih rendah, akan tetapi sekedar mengintegrasikan kembali tahap-tahap tersebut.

Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, terdapat pula tahapantahapan dalam penalaran individu tentang konsep keadilan, yang dijabarkan oleh Piaget (Arbuthnot dan Faust, 1981) sebagai berikut. Tahap 1: Morality of Constraint, Immanent Justice, Retribution Anak pada masa ini mengkonseptualisasikan moralitas dari segi

karakteristik objektif dari segi besarnya kerusakan atau kesalahan yang dilakukan. Jadi semakin besar kemungkinan seseorang untuk dihukum karena semakin besar kesalahan yang dilakukannya. Hal ini disebut sebagai expiatory punishment, dan moralitas pada masa ini adalah morality of constraint dimana tingkah laku seseorang diarahkan oleh batasan-batasan dan perintah orang dewasa (figur otoritas). Ciri lain yang juga muncul pada masa ini adalah keyakinan pada immanent justice. Piaget (1965) menjabarkan keyakinan ini sebagai hukuman untuk suatu kesalahan akan muncul dari situasi atau benda yang terlibat. Misalnya, jika anak berbuat salah, hukuman akan menyusul walaupun tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa anak tersebut berbuat kesalahan. Jika kemudian terjadi kemalangan pada anak tersebut, kejadian itu akan dilihat sebagai hukuman bagi kesalahan anak sebelumnya.

Tahap 2: Distributive Justice of Equality Sekitar usia 8-12 tahun, dimana konsep kerjasama sosial berkembang, gagasan tentang expiatory punishment mulai berkurang dan digantikan oleh punishment of reciprocity. Anak mulai memasuki tahap moralitas subjektif dia sudah mampu memperhitungkan maksud dari pelanggar atau orang yang berbuat kesalahan. Untuk itu hukuman yang diberikan haruslah mempertimbangkan maksud dari pelanggar, dan tidak hanya melihat besar kecilnya kerusakan yang

17

dibuat. Ciri- ciri tersebut muncul karena pada tahap ini pada anak sudah mulai terdapat keterikatan sosial dengan kelompok sebaya atau komunitas. Untuk menegakkan rasa keadilan dan mencegah gangguan pada ikatan sosial, hukuman harus berdasarkan pemikiran bahwa hukuman yang adil adalah hukuman yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan dan mempertimbangkan kualitas khusus dari masing-masing situasi. Kualitas mental penting yang muncul pada tahap ini adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi atau peran orang lain, yang

memungkinkannya untuk melihat efek suatu hukuman pada individu, dan secara umum juga menghilangkan keinginan untuk menghukum orang lain berdasar balas dendam. Selain itu, anak juga memiliki keadilan distributif, di mana setiap orang memiliki tanggung jawabnya masing-masing yang setara dengan orang lain (equal), dan orang yang sudah memenuhi kewajibannya tidak boleh diminta untuk melakukan hal lain yang bukan tanggung jawabnya. Hal inilah yang disebut sebagai morality of equality.

Tahap 3: Distributive Justice of Equity Ketika anak berusia 12-13 tahun , muncul tahap penalaran baru tentang keadilan distributif yang disebut morality of equity. Pada saat ini individu telah mampu mempertimbangkan berbagai macam faktor dari suatu situasi secara simultan, dan tidak hanya memfokuskan pada satu faktor saja yang paling menonjol. Misalnya ketika saat pembagian tanggung jawab dalam suatu pekerjaan ternyata anak mendapatkan tugas yang lebih berat dari kebanyakan temannya yang lain, mungkin dia merasakan suatu ketidak adilan dari pembagian tanggung jawab tersebut, namun dia tetap dapat mematuhi atau memenuhi tanggung jawab tersebut karena alasan- alasan lain, misalnya karena ingin dikatakan anak baik, karena dia anak yang paling besar. Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat kaitan penalaran moral dengan perkembangan kognitif adalah bahwa penalaran moral ditekankan pada proses berpikir moral (moral thought process) atau apa yang dipikirkan seorang individu dalam menghadapi sebuah dilema etika yang melibatkan proses kognitif (Rofiqah, 2007).

18

2.5 Keterkaitan peran bimbingan dan konseling dalam perkembangan moral siswa SMP pada pembelajaran bahasa inggris Dalam kamus bahasa Inggris, bimbingan berasal dari kata guidance, dikaitkan dengan kata guide, yang menunjukkan jalan (showing the way); memimpin (leading); menuntun (conducting); memberikan petunjuk (giving instruction); mengatur (regulating); mengarahkan (governing); memberikan nasihat (giving advice). Jika istilah bimbingan dalam bahasa Indonesia diberi arti yang selaras dengan arti-arti yang disebutkan di atas, maka akan muncul dua pengertian bimbingan yang agak mendasar (Winkel, 1997:65), yaitu: 1. Memberikan informasi, yaitu menyajikan pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengambil suatu memberikan nasihat. 2. Mengarahkan, menuntun ke suatu tujuan. Tujuan itu mungkin hanya diketahui oleh pihak yang mengarahkan atau mungkin juga perlu diketahui oleh dua belah pihak. Pengertian bimbingan menurut Rochman Natawidjaja (Winkel, 1997:67), yaitu sebagai berikut: Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Dengan demikian individu dapat mengecap berarti. Adapun pengertian konseling menurut Nurihsan (2005:10) yaitu sebagai berikut. Konseling adalah pemberian bantuan kepada individu untuk kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang keputusan atau memberitahukan sesuatu sambil

mengembangkan kesehatan mental, perubahan sikap dan tingkah laku dan lebih menekankan pada proses belajar yang bertujuan agar konseli (siswa) dapat mengenal diri sendiri, menerima diri, serta realistis dalam proses penyesuaian dengan lingkungannya. Adanya kesamaan proses antara bimbingan dan konseling, yakni berupa proses pemberian bantuan, maka bimbingan dan konseling tidak dapat dipisahkan

19

atau diartikan secara parsial, melainkan sudah merupakan bagian integral. Bentuk pemberian bantuan ini, salah satunya diwujudkan dalam pemberian layanan kepada individu. Tujuannya adalah agar individu mampu mengatur kehidupannya sendiri, mampu menjamin perkembangan dirinya seoptimal mungkin, memikul tanggung jawab sepenuhnya atas arah hidupnya sendiri, menggunakan kebebasannya sebagai manusia dengan berpedoman pada cita-cita yang mewujudkan semua potensi baik dirinya, dan menyelesaikan semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan ini dengan baik. Pengertian bimbingan dan konseling di sekolah lanjutan secara umum adalah upaya pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangannya dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, baik sekarang maupun di masa yang akan datang (Nurihsan, 2002:58). Kohlberg (Prabandari, 2004:42) menghubungkan bagaimana konflik kognitif dapat berpengaruh terhadap pembuatan keputusan dengan cara membuka orientasi moral yang signifikan. Peran guru pembimbing dalam hal ini berperan dalam membimbing siswa dengan berdiskusi secara kognitif untuk memfasilitasi perkembangan moral siswa. Bidang layanan yang dapat diberikan kepada siswa berupa layanan bimbingan pribadi-sosial. Layanan ini diarahkan agar siswa dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat mengembangkan perilaku efektif serta keterampilanketerampilan hidupnya yang mengacu pada tugas-tugas perkembangannya (Nurihsan, 2005:27). Kemampuan yang dikembangkan dalam layanan ini adalah kemampuan siswa dalam menimbang suatu keputusan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukannya ketika dihadapkan pada situasi tertentu berdasarkan sistem nilai yang relevan dan kemampuan siswa dalam menentukan baik atau buruknya tindakan berdasarkan tanggung jawabnya secara moral. Layanan bimbingan yang dapat diberikan kepada siswa antara lain: 1. Layanan konseling individual. Layanan ini diberikan kepada seluruh siswa, baik yang mengalami permasalahan, maupun yang tidak mengalami

permasalahan.

20

2.

Layanan konseling kelompok. Layanan ini dilakukan dengan metode diskusi dan tanya jawab atas permasalahan yang dialami siswa dan mendiskusikan alternative pemecahannya.

3.

Layanan bimbingan kelompok. Layanan ini dilakukan melalui metode diskusi, dengan mengemukakan beberapa cerita konflik moral atau dilema moral kepada siswa.

4.

Layanan bimbingan klasikal. Layanan ini merupakan layanan pemberian informasi yang dapat disampaikan melalui metode ceramah, diskusi.

21

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Pembelajaran bahasa inggris pada siswa SMP merupakan salah satu pembelajaraan yang penting.banyak aspek positif dan negative yang berkaitan dengan moral siswa SMP setelah mempelajari bahasa inggris.siswa yang mahir berbahasa inggris akan lebih cepat menguasai dan mengadopsi ilmu lain selain bahasa inggris yg bersumber dari Negara lain selain Indonesia.Namun sebaliknya,siswa yang kurang mahir berbahasa inggris akan sulit untuk memahami ilmu dari Negara lain karena kurangnya kemampuan bahasa mereka untuk memahami ilmu tersebut.

3.2 Saran Setelah penulis menyelesaikan makalah ini maka di harapkan pembaca dapat mempelajari bahasa inggris serta dapat meningkatkan minatnya dalam memahami bahasa inggris.

22