antropology

31
John Green, seorang penulis biografi, mengatakan bahwa: “Sejarah tidak ramah kepada mereka yang memainkan peran kedua atau mereka yang dibayang-bayangi pribadi-pribadi besar. Kadangkala mereka memberi sumbangsih penting sebagaimana rekan mereka yang lebih masyhur, tetapi sejarah memburamkannya dari pandangan generasi berikutnya” (Green, 2009: 10). Mungkin salah seorang tokoh sejarah yang paling diabaikan karena peran kedua seperti itu ialah Friedrich Engels, kawan seperjuangan Karl Marx. Engels biasa dinomorduakan dalam duo Marx-Engels, dan Marx sendiri adalah pribadi besar dalam sejarah abad ke-20. Tidak hanya dalam sejarah sosialisme modern, arti penting Friedrich Engels dalam bidang keilmuan juga kurang begitu dianggap. Tidak dalam ilmu alam, bidang yang digemarinya sejak remaja, tidak pula dalam ilmu sosial. Kenyataan ini tidak hanya menyepelekan, tetapi juga menyesatkan secara historis. Penyelidikan semestinya atas kehidupan dan pemikiran Engels tidak akan sampai pada kesimpulan sepelenya pemikiran Engels. Sarjana liberal yang tidak begitu simpati kepada pemikirannya pun sampai pada kesimpulan bahwa: “Engels bukan hanya orang yang betul-betul berbakat, tetapi juga pelajar atas banyak hal kondisi umat manusia di planet ini” (Hunley, 1991: 144) atau malah “seorang pelopor sosiologi modern” karena sumbangsihnya yang besar kepada pembangunan teori-teori tempat berdirinya disiplin sosiologi (Meyer, 1989: 5). Di dalam disiplin antropologi, sumbangsih pemikiran Engels lebih tidak dianggap penting lagi. Salah satu di antaranya banyaknya cabang pengetahuan yang digeluti Engels dan gagasannya dalam bidang tersebut yang tidak begitu dianggap ialah paleoantropologi. Tidak banyak pelajar antropologi mengenal teori evolusi manusianya. Bukti-bukti yang diajukan Engels seratus tahun lalu tentu sudah jauh ketinggalan jaman. Tetapi, seperti yang akan diulas dalam tulisan ini, ancangan teoritiknya belumlah lekang oleh penemuan bukti-bukti baru.

Upload: dodnur

Post on 05-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

primatea ev

TRANSCRIPT

Page 1: antropology

John Green, seorang penulis biografi, mengatakan bahwa: “Sejarah tidak ramah kepada mereka yang memainkan peran kedua atau mereka yang dibayang-bayangi pribadi-pribadi besar. Kadangkala mereka memberi sumbangsih penting sebagaimana rekan mereka yang lebih masyhur, tetapi sejarah memburamkannya dari pandangan generasi berikutnya” (Green, 2009: 10). Mungkin salah seorang tokoh sejarah yang paling diabaikan karena peran kedua seperti itu ialah Friedrich Engels, kawan seperjuangan Karl Marx. Engels biasa dinomorduakan dalam duo Marx-Engels, dan Marx sendiri adalah pribadi besar dalam sejarah abad ke-20.

 

Tidak hanya dalam sejarah sosialisme modern, arti penting Friedrich Engels dalam bidang keilmuan juga kurang begitu dianggap. Tidak dalam ilmu alam, bidang yang digemarinya sejak remaja, tidak pula dalam ilmu sosial. Kenyataan ini tidak hanya menyepelekan, tetapi juga menyesatkan secara historis. Penyelidikan semestinya atas kehidupan dan pemikiran Engels tidak akan sampai pada kesimpulan sepelenya pemikiran Engels. Sarjana liberal yang tidak begitu simpati kepada pemikirannya pun sampai pada kesimpulan bahwa: “Engels bukan hanya orang yang betul-betul berbakat, tetapi juga pelajar atas banyak hal kondisi umat manusia di planet ini” (Hunley, 1991: 144) atau malah “seorang pelopor sosiologi modern” karena sumbangsihnya yang besar kepada pembangunan teori-teori tempat berdirinya disiplin sosiologi (Meyer, 1989: 5).

 

Di dalam disiplin antropologi, sumbangsih pemikiran Engels lebih tidak dianggap penting lagi. Salah satu di antaranya banyaknya cabang pengetahuan yang digeluti Engels dan gagasannya dalam bidang tersebut yang tidak begitu dianggap ialah paleoantropologi. Tidak banyak pelajar antropologi mengenal teori evolusi manusianya. Bukti-bukti yang diajukan Engels seratus tahun lalu tentu sudah jauh ketinggalan jaman. Tetapi, seperti yang akan diulas dalam tulisan ini, ancangan teoritiknya belumlah lekang oleh penemuan bukti-bukti baru.

 

Bagi Engels, menyelidiki asal-usul manusia bukan persoalan keilmuan dalam rangka memahami organisasi sosial dan kebudayaan manusia belaka. Penjelasan asal-usul dan evolusi manusia terkait erat dengan politik sosialismenya (Harman, 1994: 83). Pertanyaan-pertanyaan tentang apa ciri mendasar yang membedakan dan memisahkan manusia dari binatang lain dan apa arti penting pemahaman tentang perbedaan ini dalam memahami kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang ada sekarang, terkait erat dengan pertanyaan: “Mesti bagaimana kita menata kehidupan bersama di antara anggota masyarakat dan antara manusia dengan alam?”.

 

Sampai sekarang, jawaban-jawaban atas pertanyaan asal-usul manusia seringkali dikungkung cara pandang idealistik yang telah lama menguasai disiplin antropologi. Ada keyakinan umum bahwa hakikat manusia terletak pada kemampuannya berpikir secara konseptual yang bertumpu pada kualitas otak manusia. Engels tidak menampik bahwa kualitas berpikir dan penggunaan

Page 2: antropology

nalar yang maju merupakan salah satu ciri kemanusiaan manusia. Pertanyaan Engels ialah apa yang memungkinkan manusia berpikir dan menggunakan nalarnya, dan dengan demikian, menciptakan kebudayaan? Engels pernah menyatakan bahwa “cara pandang idealistik atas dunia telah mendominasi pikiran manusia. Ia masih menguasai mereka hingga ke derajat bahwa bahkan ilmuwan alam paling materialistik dari alirannya Darwinian saja masih tidak mampu membentuk gagasan yang jelas tentang asal-usul manusia karena di bawah pengaruh ideologis ini mereka tidak mengakui bagian yang telah dimainkan oleh kerja” (Engels, 1876/1962: 87).

 

Tulisan ini akan mengulas lebih lanjut pemikiran Engels tentang peran kerja dalam evolusi dari kera ke manusia dan konfirmasinya dari temuan-temuan paleoantropologi kontemporer.

 

 

Konteks

 

Sebelum beranjak ke ulasan gagasan Engels, ada baiknya dipaparkan konteksnya terlebih dahulu. Konteks pertama ialah penerbitan karya Charles Darwin The Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life pada 1859, dan The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex pada 1871. Dua buku ini merupakan puncak karya Darwin. Semenjak penerbitan dua buku tersebut, gagasan evolusi berkembang di kalangan sarjana Eropa. Tiga belas tahun sejak terbitnya The Origin, dan empat tahun setelah penerbitan The Descent, Engels yang terkesan kepada paparan Darwin, berniat menulis sebuah risalah yang terkait asal-usul manusia. Kesan itu pertama-tama dituangkannya ke dalam Dialektik der Natur. Di dalam pendahuluan buku tersebut, yang ditulis sekitar tahun 1875, dipaparkan kembali gagasan evolusi di dunia binatang, termasuk evolusi yang mengarah ke kemunculan manusia, melalui proses diferensiasi fisiologis dan anatomis. Setahun berikutnya, Engels berencana menulis buku khusus membedah asal-usul manusia dengan metode dialektika materialis. Karena sibuk dalam urusan bisnis dan politiknya, akhirnya rencana penulisan risalah itu tanggal, menyisakan sebuah manuskrip tidak lengkap yang kemudian diterbitkan sebagai artikel dan diberi judul Anteil der Arbeit an der Menschwedung des Affen (Peran Kerja dalam Evolusi Manusia dari Kera).

 

Konteks kedua ialah perkembangan paleoantrpologi yang ketika itu masih kanak-kanak. Saat Engels menuangkan gagasannya,baru sedikit fosil manusia purba ditemukan. Fosil Homo neanderthal ditemukan pada 1829 di Belgia, pada 1848 di Gibraltar, dan pada 1856 di Inggris. Perkakas purba dan serpihan belulang binatang buruan juga ditemukan pada 1859 di Inggris (Wengke, 1999: 99). Ketika itu temuan fosil-fosil ini belum punya banyak arti penting. Temuan-temuan tersebut belum bisa digunakan untuk merangkai penjelasan tentang adanya evolusi

Page 3: antropology

manusia secara umum. Arti penting temuan-temuan tersebut baru dianggap dan diperhatikan ketika memasuki abad ke-20, ketika banyak penemuan fosil dan majunya teknik pengukuran kepurbakalaan memungkinkan pemetaan jejak-jejak evolusi (Patterson, 2009: 76). Oleh karena itu, mesti ditegaskan di sini bahwa teori evolusi Engels boleh dikatakan, dalam istilah Terrell Carver, “quasi-historical speculation” (Carver, 2003: 69). Satu-satunya sarana yang digunakan Engels dalam membangun teorinya ialah gagasan spekulatif lainnya dari karya-karya Darwin dan metode dialektika yang diwarisinya dari Hegel.

 

Konteks berikutnya, terkait dengan diakuinya teori evolusi, ialah muncul dan merebaknya penyimpangan pemikiran Darwin ke dalam gerakan Darwinisme Sosial di kalangan sarjana Inggris. Darwinisme Sosial berkeyakinan bahwa hukum evolusi di dunia binatang seperti yang dipaparkan Darwin seperti seleksi alam, perjuangan demi hidup, survival of the fittest, dan persaingan bebas antarindividu di bawah tekanan lingkungan, juga berlaku di dalam kehidupan sosial. Keyakinan Darwinisme Sosial menjadi semacam pembenaran atas kondisi sosial Revolusi Industri. Ketimpangan sosial, perbudakan, penjajahan atas bangsa-bangsa, dan kemelaratan hidup kelas pekerja industrial di tengah-tengah kemakmuran segolongan kapitalis dan bangsawan tuan tanah merupakan tampilan sejati bekerjanya hukum alam di dunia sosial. Mereka yang kaya dan berkuasa sah keberadaannya karena merekalah manusia-manusia yang paling cocok hidup di dalam dunia alamiah persaingan bebas dan perjuangan demi hidup. Terkait dengan pengalamiahan ketimpangan sosial ini, Engels menyatakan bahwa: “Darwin tidak tahu satire-pahit apa yang ditorehkannya pada manusia, dan khususnya pada orang-orang sebangsanya, ketika dia menunjukkan bahwa persaingan bebas, perjuangan demi hidup, yang dirayakan ekonom-ekonom sebagai pencapaian kesejarahan tertinggi, dianggap sebagai keadaan normal dari kerajaan binatang” (Engels, 1875-6/1962: 75).

 

Engels membangun gagasannya tentang evolusi manusia di tengah-tengah konteks berkembangnya teori evolusi Darwin termasuk dampak kemunculan penyimpangan Darwinisme Sosialnya. Engels mengagumi teori Darwin dan memujinya sebagai pencapaian pendekatan materialistik yang memungkinkan kita bisa “keluar dari taurat-taurat Musa” (Engels, 1981) dalam upaya menjelaskan asal-usul manusia. Tetapi, seperti halnya Marx terhadap Hegel, Engels mengikuti Darwin dengan mendekonstruksi gagasan-gagasannya.

 

 

Alur Evolusi Manusia

 

Gagasan pertama Engels tentang alur evolusi manusia dituangkan di dalam Dialektik der Natur. Di dalam pendahuluan karyanya tersebut, Engels menulis:

Page 4: antropology

 

 

“Manusia, juga, muncul oleh diferensiasi. Tidak hanya secara individual, terdiferensiasi dari satu sel telur hingga menjadi organisme yang paling canggih yang dihasilkan alam, tidak, tapi juga secara kesejarahan. Ketika setelah ribuan tahun perjuangan, diferensiasi tangan dari kaki dan berdiri tegak akhirnya tegak berdiri [dan] manusia mulai dibedakan dari kera dan menjadi landasan untuk perkembangan tindak wicara dan perkembangan besar otak yang sejak itu membuat jurang antara manusia dan kera tak lagi terjembatani.” (Engels, 1875-6/1962: 74)

 

 

Dari kutipan ini, Engels mengemukakan gagasan bahwa evolusi manusia merupakan hasil proses diferensiasi. Diferensiasi pertama ialah tangan dari kaki yang memunculkan adaptasi bipedal (berjalan tegak dengan dua kaki) dalam kehidupan hominid. Perkembangan berikutnya ialah munculnya wicara dan perkembangan otak.

Setahun kemudian,di dalam Anteil der Arbeit an der Menschwedung des Affen, Engels juga menyatakan:

 

 

“Ketika berjalan di permukaan tanah, kera-kera ini mulai mengabaikan bantuan dari tangan-tangan mereka dan menyesuaikan diri lebih pada berdiri tegak. Inilah langkah menentukan di dalam peralihan dari kera ke manusia.” (Engels, 1876/1962: 80)

 

 

Dari kutipan di atas, Engels, sejalan dengan Darwin, berpendapat bahwa manusia berevolusi dari kera. Alur evolusi manusia diawali dengan diferensiasi tempat hidup, dari hidup di pepohonan di lingkungan belantara ke hidup di permukaan tanah di lingkungan savana atau padang rumput. Dari hidup jutaan tahun di permukaan tanah ini, berkembanglah diferensiasi tangan dari kaki; berkembangnya spesialisasi fungsi tangan dan meningkatnya bipedalisme. Diferensiasi ini, menurut Engels, merupakan peralihan pertama dari dunia kera ke manusia.

 

Pandangan Engels berseberangan dengan sarjana-sarjana borjuis semasanya. Ketimbang menerima pandangan umum bahwa perkembangan otak merupakan yang utama dan langkah

Page 5: antropology

paling penting di dalam evolusi manusia, Engels berpendapat bahwa langkah pertama haruslah turun dari pepohonan yang diikuti oleh berdiri tegak dan hidup di permukaan tanah oleh leluhur manusia. Perkembangan otak datang jauh setelah bipedalisme.

 

 

Kehidupan di Permukaan Tanah 

 

Paleoantropologi modern menegaskan bahwa hominid-hominid tertua hidup pada akhir jaman Miosen. Sampai spesies-spesiesnya mencakup Sahelanthropus tchadensis (hidup 7-6 juta tyl), Orrorin tugensis (hidup 6 juta tyl), Ardipithecus ramidus (hidup 5,5-4,4 juta tyl), dan Australopithecus anamensis (hidup 4,2-3,9 juta tyl) yang semuanya termasuk ke dalam genus australopithecus. Benarkah mereka hidup di permukaan tanah? Apa yang terjadi pada jaman hidupnya hominid-hominid pertama itu sehingga mereka hidup di permukaan tanah? Paleoantropolog Boyd dan Silk menjelaskan bahwa:

 

 

“Ekologi pada jaman Miosen, suhu bumi mulai turun. Pendinginan global ini menyebabkan dua perubahan penting di dalam iklim wilayah tropis Afrika. Pertama, jumlah keseluruhan curah hujan yang jatuh per tahun menurun. Kedua, curah hujan menjadi semakin musiman sehingga ada beberapa bulan setiap tahun ketika tidak ada hujan turun. Seiring dengan makin keringnya wilayah tropis Afrika, belantara basah tropis susut dan hutan lebih kering dan padang rumput meluas.” (Boyd dan Silk, 2003: 254)

 

 

Dari hasil rekonstruksi lingkungan hidup australopithecus, diketemukan bahwa hominid pertama ini hidup di habitat yang merentang dari hutan hingga padang rumput kering. Konstruksi paleoaekologi di situs ditemukannya australopithecus afarensis (Lucy), diyakini bahwa lingkungan hidup Lucy merupakan campuran hutan, ladang belukar, dan padang rumput. Sementara itu di situs Laetoli tergambar lingkungan hidup australopithecus sepenuhnya ialah padang rumput kering yang diselang-selingi pepohonan (Boyd dan Silk, 2003: 285).

 

Dengan susutnya belantara, hominid pertama harus makin sering meninggalkan pepohonan. Susutnya belantara memunculkan tekanan selektif baru bagi sebagian kera. Mereka dipaksa

Page 6: antropology

untuk hidup dan mencari makanan lebih banyak di permukaan tanah. Fungsi kaki untuk memanjat mulai menyusut dan muncul fungsi kaki yang baru untuk berjalan di permukaan tanah. Semakin biasanya mereka hidup di permukaan tanah, susunan tubuh berubah mengikutinya. Hidup berjalan dengan dua kaki memerlukan struktur pinggul, jemari kaki, dan telapak kaki tertentu. Pinggul harus mampu menopang tubuh sekaligus penyeimbang bagi penggunaan kaki sebagai landasan kegiatan berjalannya. Struktur pendukung bipedalisme ini tidak diketemukan di fosil kera Miosen maupun kera-kera modern. Kecenderungan itu hanya terdapat pada fosil hominid awal. Keberhasilan hidup jutaan tahun di permukaan tanah dengan bipedal memperteguh struktur tulang bagian bawah hominid yang kian menyokong bipedalisme.

 

 

Diferensiasi Tangan dari Kaki dan Bipedalisme

 

Dengan kukuhnya bipedalisme, diferensiasi tangan dari kaki berkembang. Tangan menjadi lebih bebas. Apa arti penting bebasnya tangan dari ‘kewajiban’ menopang tubuh? Dalam analisis DuBrul, berdiri tegak dengan dua kaki secara mendasar merupakan sebuah “reduksi atas pengulangan struktur yang memenuhi fungsi sama” (dikutip Hewes, 1961: 687).

 

Temuan-temuan paleoantropologi modern secara umum juga mendukung sepenuhnya teori Engels bahwa langkah pertama setelah hidup di permukaan tanah dan bukan di pepohonan dalam evolusi menuju manusia ialah diferensiasi tangan dari kaki dan berdiri tegak. Penemuan-penemuan terbaru setelah ditemukannya fosil australopithecus afarensis (Lucy, hidup antara 3,9-2,8 juta tyl.) pada akhir dasawarsa 1970-an sepenuhnya mendukung tesis kemunculan diferensiasi tangan dari kaki. Dari temuan fosil-fosil australopithecus tersebut, bisa tegas disimpulkan bahwa:

 

1. Australopithecus sepenuhnya bipedal, mereka berdiri tegak di atas dua kaki. Konfigurasi pinggul, paha dan tulang lutut menandakan kemampuan untuk berdiri meskipun belum seefisien berdiri tegaknya manusia modern.

2. Struktur jemari tangan australopithecus sudah berkembang ke arah ibu jari yang berhadapan dengan jemari lainnya. Kedudukan ibu jari seperti ini menunjukkan bahwa tangan Lucy sanggup memegang kuat dan lentur. Struktur jemari ini amat mirip dengan tangan manusia yang sanggup membuat dan menggunakan perkakas. Meski demikian tangan australopithecus bukan sepenuhnya tangan manusia.

3. Kapasitas tengkorak kepala dan ukuran otak australopithecus hanya sedikit saja lebih besar dari kera dalam perbandingan dengan berat tubuhnya, yaitu hanya

Page 7: antropology

400-404 ml. Sebagai perbandingan, kapasitas tengkorak kepala simpanse, adalah 300-400 ml.

 

 

Dari 3,5 hingga 2,3 juta tyl, hidup pula berbagai spesies australopithecus dan kerabat-kerabat dekat hominid mereka. Mereka antara lain Australopithecus bahrelghazali, Australopithecus gahri, Kenyanthropus platyops, Parathropus aethiopicus, Parathropus robustus, dan Paranthropus bosei. Meski ada perbedaan tertentu pada spesies-spesies ini, tetapi pada umumnya secara evolusi mereka tidak banyak berbeda dengan Lucy.Dari analisis atas kerangka australopithecus dan kerabat-kerabat dekat mereka, ditemukan bahwa yang pertama berkembang ialah direfensiasi tangan dari kaki. Fungsi-fungsi tangan dan kaki terkhususkan. Tangan tidak lagi sepenuhnya digunakan sebagai penopang beban tubuh. Hal ini didukung oleh bukti konfigurasi pinggul, paha, dan lutut yang sepenuhnya bisa menyokong tubuh tanpa bantuan tangan. Bagi hominid pertama, diferensiasi tangan dari kaki merupakan keberhasilan menanggapi perubahan besar dalam tempat hidup mereka. Perkembangan besaran otak memang terjadi, tetapi tidak terlalu berarti dibandingkan dengan diferensiasi tangan dari kaki.

 

 

Spesialisasi Fungsi Tangan dan Munculnya Kerja

 

Dengan hidup bipedal di permukaan tanah dan bebasnya tangan dari ‘kewajiban’ menopang tubuh, hominid mungkin untuk mencapai kelenturan dan keterampilan tangan lebih lanjut yang menjadi jalan ke arah pembuatan dan penggunaan perkakas.

 

Di dalam Anteil der Arbeit an der Menschwedung des Affen, Engels menyatakan, “tetapi langkah menentukan telah diambil: tangan telah menjadi bebas dan dengan demikian bisa lebih lanjut mencapai kelenturan dan keterampilan lebih besar lagi” (Engels, 1876/1962: 81).

 

Pada hominid, fungsi tangan untuk memanjat tidak serta merta lenyap. Ditemukan bahwa afarensis dan kerabat-kerabat hominidnya sesekali tidur di pepohonan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih memfungsikan tangan untuk memanjat. Tetapi semenjak hidup dan menghidupi diri lebih banyak di permukaan tanah, fungsi tangan dikembangkan lagi untuk memungut dari pemukaan, menggali dari dalam tanah, dan memetik makanan dari pepohonan yang pendek. Jutaan tahun pengalaman untuk mengembangkan tangan melebihi fungsinya untuk

Page 8: antropology

memanjat kemudian memicu perkembangan pada struktur tangan dan jemari. Perkembangan berupa kemampuan menggenggam kuat dan kelenturan jemari pada tahap berikutnya memungkinkan evolusi hominid yang mampu menggunakan perkakas.

 

Di situs-situs penemuan hominid pertama keluarga australopithecus, belum diketemukan perkakas batu. Perkakas batu pertama baru ditemukan pada masa hidupnya hominid yang lebih kemudian, yaitu yang hidup sekitar 2,5 juta tyl yang dikenal sebagai Homo habilis (Tobias, 1992; Leakey, Tobias, dan Napier, 1964: 9). Meski tidak ditemukan perkakas bersama fosil-fosil hominid pra-habilis, ada kemungkinan besar hominid awal juga menggunakan perkakas. Hal ini bisa dilihat dari membandingkan struktur tangan mereka. Tangan australopithecus hanya mungkin dipahami kecuali mereka secara rutin menggunakan perkakas. Hanya saja mungkin bahan baku perkakas hominid pertama tidak terbuat dari bahan yang mudah terfosilkan. Paleoantropolog Melissa Panger dkk., (2002: 243), misalnya, meyakinkan bahwa ukuran dan morfologi otak hominid awal yang sedikit lebih besar dari kera modern, serta morfologi tangannya memungkinkan penggunaan perkakas setidaknya pada mereka yang hidup sekitar 3,2 juta tyl. Penggabungan pengetahuan baru dari primatologi, filogenetik, dan bukti-bukti fosil malah menjorokkan masa penggunaan perkakas lebih jauh. Secara longgar Panger dkk. menyimpulkan bahwa hominid yang hidup antara 8 hingga 5 juta tyl mungkin menggunakan perkakas. Perkakas yang digunakan tidak hanya dari bahan-bahan yang mudah hancur dan sulit terfosilkan, tetapi juga perkakas yang berbahan batu. Temuan-temuan di situs Olduvai (situsnya Homo habilis) menunjukkan bahwa penggunaan dan pembuatan perkakas pada 2,5 juta tyl itu mengandaikan adanya pengalaman hominid selama jutaan tahun sebelumnya dalam memodifikasi batu untuk perkakas. Apa yang ditemukan di Olduvai, menurut Panger dkk., merupakan hasil intensifikasi atau reorganisasi spasial perilaku-perilaku yang berhubungan dengan perkakas dari hominid-hominid sebelumnya.

 

Terkait dengan penggunaan perkakas, kehidupan di permukaan bumi yang berubah memunculkan jenis-jenis makanan baru. Kegiatan mengumpul makanan di permukaan bumi yang mengikuti perubahan musim mengandaikan adanya pengangkutan makanan dari wilayah pengumpulan ke wilayah tinggal. Seiring dengan kian efektifnya pemanfaatan jenis-jenis makanan baru ini, diperlukan upaya pemindahan hasil kumpulan makanan. Kehidupan hominid pertama yang masih bergantung pada hutan atau pepohonan untuk melindungi diri dari pemangsa sekaligus ketergantungan kepada sumber-sumber makanan baru yang ada di permukaan tanah sulit dibayangkan tanpa diferensiasi antara kegiatan pengumpulan dan konsumsi. Diferensiasi ini tidak mungkin berlangsung tanpa adanya sarana pengangkut. Jadi, amat mungkin australopithecus juga membuat kantong-kantong dan tongkat-tongkat penggali. Paleoantropolog Gordon W. Hewes menegaskan bahwa:

 

 

Page 9: antropology

“Penggunaan efektif sumber-sumber baru makanan memerlukan pemindahannya dari jarak-jarak tertentu yang terjangkau, dan hanya pergerakan bipedal, yaitu dengan bebasnya lengan dan tangan untuk membawa-bawa, bisa mencapai efisiensi memaksimalkan transportasi.” (Hewes, 1961: 689)

 

 

Di sini Hewes menegaskan kaitan erat antara bipedalisme pada hominid, perubahan ekologi yang melenyapkan sebagian sumber makanan lama dan memunculkan sumber-sumber makanan potensial baru di permukaan bumi, dan kemungkinan besar munculnya perkakas pengangkut hasil pengumpulan makanan dalam kehidupan hominid pertama. Selain tangan yang lebih bebas, kemampuan mengangkut makanan dengan tangan pada hominid mungkin terkait juga dengan lebih kecil dan lemahnya gigi taring mereka. Tidak seperti primata lain yang banyak menggunakan mulut sebagai pengangkut, struktur geligi hominid menyulitkan pengangkutan dengan mulut (bdk. Hewes, 1961: 697; Holloway, 1967).

 

Dengan semakin biasanya kegiatan pengangkutan makanan dengan tangan, bersamaan dengan kemungkinan penggunaan perkakas penggali dan pengangkut, spesialisasi tangan meningkat dalam kehidupan hominid. Evolusi spesialisasi tangan ini, pada tahap berikutnya, memungkinkan hominid lebih maju mengembangkan kemampuan menggunakan dan membuat perkakas seperti ditegaskan Engels bahwa:

 

 

“Spesialisasi tangan—hal ini berdampak pada [penggunaan] perkakas, dan perkakas berdampak secara khusus terhadap kegiatan manusia, tanggapan pengubahan manusia atas alam, [yakni] produksi.” (Engels, 1875-6/1962: 74)

 

 

Terspesialisasinya tangan hingga memungkinkan pembuatan dan penggunaan perkakas secara efektif memungkinkan munculnya kerja; sebentuk interaksi aktif manusia dengan alam. Beberapa kera tingkat tinggi juga menggunakan perkakas. Simpanse modern, misalnya, diketahui membuat dan menggunakan perkakas dari ranting atau batu-batu untuk mendapatkan makanan tertentu. Tetapi, leluhur hominid manusia jauh lebih maju. Mereka tidak sekadar membuat dan menggunakan perkakas. Mereka juga membuat perkakas yang digunakan untuk membuat perkakas lain atau dalam pengertian Engels, mereka juga memproduksi. Selain itu, evolusi tangan hominid memungkinkan munculnya kegiatan produksi perkakas dan

Page 10: antropology

pengangkutannya dari satu tempat ke tempat lain. Sementara itu, tangan simpanse modern tidak berkembang ke arah efisiensi pengangkutan perkakas (Boyd dan Silk, 2003: 309). Itulah mengapa perkakas kera tidak pernah berkembang meskipun terjadi evolusi fisiologis dari kera purba hingga munculnya kera modern. “Binatang... juga punya perkakas, tetapi hanya sebagai bagian dari tubuhnya”, kata Engels (1875-6/1962: 74). Tidak ada diferensiasi antara perkakas dari organ tubuh pada kera.

 

 

Kerja, Penggunaan Perkakas, dan Organisasi Sosial

 

Di dalam Anteil der Arbeit an der Menschwedung des Affen, Engels lebih lanjut menyatakan:

 

 

“Perkembangan tangan, bersama dengan kerja, memperluas cakrawala manusia terhadap kemajuan-kemajuan baru. Manusia terus-menerus menemukan sifat-sifat objek alamiah yang baru, yakni yang sebelumnya belum diketahui. (Engels, 1876/1962: 82-3)

 

 

Tangan yang berkembang memungkinkan munculnya kerja. Berkembangnya kerja atau interaksi manusia secara sadar dan bertujuan terhadap perubahan alam sekitarnya melalui sarana tertentu, pada akhirnya memunculkan temuan-temuan baru yang berguna bagi kehidupan manusia. Salah satu kemajuan terpenting ialah pembuatan dan penggunaan perkakas batu yang telah “memperluas cakrawala manusia”.

 

Situs industri perkakas batu ditemukan di Olduvai. Para ahli paleoantropologi kontemporer belum sepakat sepenuhnya siapakah yang sesungguhnya, di antara jenis-jenis hominid, yang pertama kali menggunakan perkakas batu. Menurut Boyd dan Silk (2003: 296), misalnya, pemilik perkakas batu di Olduvai itu bisa jadi salah satu di antara banyak spesies australopithecus dan kerabat-kerabat dekatnya yang hidup di masa yang sama. Malah bisa jadi perkakas itu milik Homo ergaster, spesies homo tertua yang hidup sekitar 2 juta tyl, yang tertinggal di situs yang kemudian ditinggali australopithecus.

 

Page 11: antropology

Meski belum ada kesepakatan siapa hominid pertama yang menggunakan perkakas, ahli-ahli paleoantropologi sepakat bahwa hominid sudah menggunakan perkakas.

 

Perkakas batu ditemukan di banyak situs penemuan hominid. Situs Koobi-Fora di Kenya dan Olduvai di Tanzania tidak hanya berisi fosil-fosil belulang hominid, tetapi juga belulang binatang yang jelas merupakan sisa hasil buruan. Situs tersebut juga mencirikan sebuah tempat pembuatan perkakas batu sekaligus tempat pemotongan hewan buruan. Meski jelas bahwa perkakas batu di sana dibuat juga di sana, situs tersebut sama sekali tidak memiliki ciri sebagai sumber bahan baku perkakasnya. Artinya, bahan baku pembuatan perkakas tampaknya ada di tempat lain. Kenyataannya memang ada beberapa situs sekitar 3 sampai 4 kilometer jauhnya yang diperkirakan sebagai sumber bahan baku perkakas batu (Boyd dan Silk, 2003: 327).

 

Tanpa bukti lanjutan, penggunaan dan pembuatan perkakas batu dan memakan hasil buruan hewan besar mengandaikan adanya bentuk-bentuk kerjasama dan pembagian kerja tertentu. Setidaknya, dari situs-situs tempat ditemukannya industri perkakas batu Olduvai dan Koobi-Fora, dapat dikatakan adanya kegiatan pengumpulan batu, pemilahan, penyiapan, pengangkutan, penggunaan, dan pengasahan ulang. Semua kegiatan ini sulit dibayangkan tanpa adanya kerjasama dan pembagian kerja, atau setidaknya adanya perilaku-perilaku sosial. Selain itu, situs industri batu Olduvai, misalnya, menunjukkan bahwa hominid mengkonsumsi daging buruan besar seperti babi, kuda, gajah, kuda nil, badak, dan sebagainya (Boyd dan Silk, 2003: 327). Konsumsi daging hewan besar sulit dibayangkan tanpa adanya kerjasama dalam perburuan atau setidaknya dalam pengangkutan hasil buruan, tetapi juga sulit dibayangkan tanpa adanya kebiasaan berbagi makanan (Boyd dan Silk, 2003: 322).

 

Kerjasama dan pembagian kerja di dalam kelompok hominid berbasiskan penggunaan perkakas juga ditunjukkan oleh anatomi mereka. Sudah sejak afarensis, tulang pinggul hominid berkembang. Perkembangan pinggul terkait dengan adaptasi terhadap pembesaran otak bayi yang relatif lebih besar. Pembesaran otak memunculkan masalah dalam melahirkan anak. Secara evolusioner, masalah ini diselesaikan dengan menunda perkembangan otak anak hingga setelah kelahiran. Otak bayi hominid tidak utuh. Unsur-unsurnya tidaklah lengkap saat lahir. Otak bayi hominid jauh lebih tidak lengkap ketika lahir dibandingkan dengan primata-primata lain. Misalnya, otak bayi monyet mencapai 65% dari total kelengkapan penuhnya ketika lahir, bayi simpanse mengandung 40%, dan bayi hominid hanya 23% saja. Artinya, dibandingkan primata lainnya, bayi hominid memiliki masa lebih lama untuk mencapai penyempurnaan otak setelah kelahiran. Lamanya masa penyempurnaan otak berarti bayi hominid memerlukan masa perlindungan dan pengasuhan lebih lama untuk bisa mandiri. Kehamilan dan penyusuannya sendiri merupakan “kegiatan yang menyita waktu dan mahal energi bagi betina primata” (Boyd dan Silk, 2003: 178).

 

Page 12: antropology

Masa pengasuhan panjang dan organisasi sosial yang menyokongnya merupakan satu-satunya cara untuk memberi waktu bagi anak-anak hominid menyerap semua tradisi, terutama dalam memperkenalkan sumber-sumber makanan dan keterampilan kerja. Lamanya masa penyempurnaan otak anak setelah melahirkan tidak mungkin dibayangkan tanpa adanya mekanisme sosial yang menyediakan perlindungan dan pengasuhan. Organisasi sosial diperlukan untuk memungkinkan bekerjanya mekanisme tersebut.

 

 

Kerja, Otak, dan Bahasa

 

Engels, dalam Dialektik der Natur, menegaskan bahwa:

 

 

“Seiring langkah dengan perkembangan tangan, berkembang pula otak; [lalu] muncullah kesadaran, pertama-tama terkait dengan kondisi produksi pemisahan hasil-hasil yang berguna secara praktis, dan kemudian, di antara mereka yang lebih tinggi kemampuannya dan muncul dari yang sebelumnya, pengetahuan atas hukum-hukum alamiah yang menata kehidupan mereka.” (Engels, 1875-6/1962: 74)

 

 

Perkembangan fungsi dan penggunaan efektif tangan membuka cakrawala baru interaksi hominid dengan alamnya. Kegiatan dengan tangan, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup, pertama-tama memerlukan koodinasi sekaligus mengembangkan sistem koordinasi semua indra. Jutaan tahun pengalaman ini selanjutnya merangsang perubahan organ otak yang mengendalikan gerak motorik.

 

Gagasan Engels bahwa berdiri tegak dan bipedalisme mendahului perkembang otak didukung oleh paleoantropologi modern. Washburn dan Howell, misalnya, menegaskan bahwa:

 

 

Page 13: antropology

“Ukuran besar otak hominid tertentu secara relatif berkembang kemudian dan bahwa otak muncul terkait dengan tekanan selektif baru setelah bipedalisme dan merupakan konsekuensi dari penggunaan perkakas.” (dikutip Ruyle, 1976: 137)

 

 

Bipedalisme dan penggunaan perkakas memunculkan tekanan selektif baru. Tekanan-tekanan inilah yang kemudian secara perlahan mengubah susunan dan komposisi otak hominid sebagai sebentuk tanggapan biologis atas tekanan tersebut.

 

Dengan berkembangnya otak sebagai koordinator hubungan dialektik antara manusia dengan alam melalui kerja, munculnya bahasa manusia menjadi mungkin. Di dalam Anteil der Arbeit an der Menschwedung des Affen, Engels menegaskan bahwa:

 

 

“Perkembangan kerja tak terhindarkan membantu menyatukan anggota-anggota masyarakat lebih dekat bersama lewat berlipatgandanya kejadian-kejadian saling bantu, kegiatan bersama, dan lewat jelasnya keuntungan kegiatan bersama ini bagi masing-masing individu. Ringkasnya, manusia sedang dalam perjalanan ke titik ketika mereka punya sesuatu untuk dikatakan satu sama lain.” (Engels, 1876/1962: 82-3).

 

 

Evolusi biologis hominid, seperti susunan dan bentuk tubuh, susunan dan komposisi otak, yang memberikan keuntungan selektif bagi spesies diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui gen. Sementara itu evolusi budaya hominid seperti penggunaan dan pembuatan perkakas, keterampilan, pengetahuan, keahlian, kerjasama, dan pembagian kerja, yang menguntungkan secara selektif bagi spesies terakumulasi dari generasi ke generasi melalui pengajaran dari kelompok kepada anggota-anggota kelompok lebih muda melalui bahasa.

 

Kerja atau penggunaan perkakas efektif, terkait dengan perkembangan otak dan bahasa dalam dua cara. Pertama, kerja memunculkan tekanan-tekanan selektif baru yang mendorong berkembangnya kemampuan-kemampuan mental tertentu. Kedua, kerja memerlukan lebih lanjut sistem komunikasi yang efektif dan lebih kompleks. Sistem komunikasi ini tidak hanya

Page 14: antropology

memerlukan perkembangan otak secara kuantitatif (perbesaran ukuran otak relatif terhadap tubuh), tetapi juga secara kualitatif (perubahan susunan dan komposisi otak).

 

Ukuran otak hominid meningkat sepanjang jaman Pleistosen, antara 2 juta hingga 300.000 tyl (Boyd dan Silk, 2003). Otak hominid mulai membesar secara berarti dibandingkan dengan ukuran tubuhnya pada 2 juta tyl bersama munculnya Homo habilis (2,5-1,6 juta tyl). Habilis memiliki ukuran otak lebih besar 50 persen dari ukuran otak Australopithecus afarensis. Susunan dan komposisi otak habilis juga berkembang. Salah satu wilayah yang berkembang ialah Borca; organ otak yang bertanggung jawab atas pergerakan otot-otot mulut, lidah, dan tenggorokan yang penting untuk perkembangan bahasa manusia (Tobias, 1998).

 

Ilmuwan lain berkeyakinan bahwa baru pada masanya Homo erectus (1,8 juta tyl) saja kemampuan komunikatif yang dekat dengan bahasa manusia baru muncul. Erectus tidak hanya memiliki otak yang lebih besar ukurannya daripada hominid sebelumnya, tetapi juga menggunakan perkakas lebih intensif dan tersebar secara geografis. Wynn (1998: 81) berpandangan bahwa penggunaan perkakas oleh erectus beriringan dengan vokalisasi dan gestur terkait dengan pembagian kerja antarindividu dan pembagian waktu. Artinya, erectus sudah memiliki kemampuan yang amat dekat dengan bahasa manusia modern. Susunan otak erectus juga menunjukkan berkembangnya wilayah Borca dan Wernicke mereka.

 

Terlepas dari ketidaksepakatan antarilmuwan tentang spesies hominid mana yang pertama kali memperkembangkan kemampuan komunikatif melampaui kemampuan kerabat-kerabat primata mereka, yang jelas bahwa perkembangan otak dan proto-bahasa muncul setelah jutaan tahun berdiri tegak, bipedalisme, kerja, dan penggunaan perkakas oleh hominid. Alur ini sejalan dengan alur evolusi yang diajukan Engels. Dalam pemahaman Engels, semakin besarnya kebiasaan hominid dalam menggunakan perkakas dan munculnya direfensiasi antara produksi dan konsumsi menunjukkan peran penting kerja dalam membentuk ukuran dan komposisi otak hominid dan kemudian sistem komunikasi.

 

Paleoantropolog Ben Marwick (2005) menunjukkan bahwa diferensiasi produksi dan konsumsi dibuktikan oleh adanya situs-situs khusus untuk bahan baku, industri, dan pengolahan hasil buruan  yang menunjukkan adanya kegiatan pemindahan bahan baku pembuatan perkakas dan makanan dari satu tempat ke tempat lain. Direfensiasi ini telah mengubah kemampuan komunikasi antarindividu hominid yang memungkinkan munculnya bahasa. Meningkatnya kebiasaan pengangkutan jarak jauh dihasilkan oleh kemampuan untuk mengumpulkan informasi sosial dan lingkungan menggunakan protobahasa. Operasi jaringan pertukaran ini memerlukan kemampuan komunikasi antarindividu seperti penggunaan lambang-lambang, ekspresi pembedaan ruang dan waktu, ekspresi kebertujuannya tindakan dalam konteks sosial, dan

Page 15: antropology

sebagainya, atau dalam perkataan Engels, manusia akhirnya “punya sesuatu untuk dikatakan satu sama lain” (Engels, 1876/1962: 83, penekanan oleh Engels).

 

Seiring dengan meningkatnya operasi bersama-sama antara tangan, organ wicara, dan otak, “tidak hanya setiap individu tetapi juga di dalam masyarakat, manusia menjadi sanggup menjalankan operasi-operasi yang lebih rumit” (Engels, 1876/1962: 87).

 

Secara dialektis, berkembangnya otak dan sistem komunikasi yang efektif mendorong perkembangan lebih lanjut pada kemampuan manusia mencerap pengalaman dari lingkungan sekitar dan tantangan-tantangannya. “Seiring sejalan dengan perkembangan otak, berkembang pula sarana paling penting [interaksi manusia dan alam]—organ indra. Ketika perkembangan bertahap wicara perlu ditemani oleh penyempurnaan yang terkait dari indra pendengar, begitu pula perkembangan otak sebagai keseluruhan ditemani oleh penyempurnaan semua indra”, kata Engels (1876/1962: 84). Penyempurnaan indra pencerap yang berkelindan dengan penyempurnaan otak memungkinkan lagi manusia untuk mencerap hal-hal yang tidak tercerap oleh binatang lainnya. Bukan hanya sumber-sumber makanan, tetapi juga teknik dan perkakas serta bentuk-bentuk organisasi sosial baru terbuka dari kotak alam, siap digunakan manusia dalam perjalanan evolusi berikutnya.

 

 

Kerja dan Diferensiasi Geografis

 

Di dalam Anteil der Arbeit an der Menschwedung des Affen, Engels meyakini bahwa:

 

 

“Ketika manusia belajar untuk memakan apa saja yang bisa dimakan, dia juga belajar untuk hidup di semua iklim. Manusia menyebar ke seluruh dunia yang bisa ditinggali, menjadi satu-satunya binatang yang secara lengkap mempunyai kemampuan untuk melakukan hal itu karena dirinya sendiri... dan perpindahan dari iklim panas secara seragam di tempat asal manusia ke wilayah yang dingin, menciptakan keperluan baru: tempat berteduh dan pakaian sebagai perlindungan dari dingin dan basah, wilayah baru dari kerja dan dengan demikian kegiatan-kegiatan baru yang lebih lanjut memisahkan manusia dari binatang.” (Engels, 1876/1962: 86)

 

Page 16: antropology

 

Jutaan tahun hidup di permukaan tanah, terdiferensiasinya tangan dari kaki, kebiasaan penggunaan dan pembuatan perkakas, dan hidup dalam organisasi sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup, membuka terus cakrawala pandang hominid atas alam dan dirinya. Umbi-umbi yang sebelumnya tidak terlihat sebagai makanan, dengan perkakas penggali, ia menjadi makanan. Daging gajah purba atau ikan-ikan di laut yang sebelumnya dengan perkakas sederhana ‘bukan makanan’, dengan perkakas baru dan kerjasama bisa menjadi makanan.

 

Di tengah-tengah konteks kurangnya bukti fosil yang ada pada masanya, Engels yakin bahwa manusia muncul pertama di daerah tropis dengan makanan yang terbatas ada di wilayah tersebut pula. Namun perkiraan Engels bahwa tempat itu ialah suatu benua yang sekarang telah lenyap, terbukti keliru. Para ahli paleoantropologi sekarang yakin sepenuhnya bahwa manusia pertama muncul di Afrika tropis. Keyakinan ini dibenarkan oleh bukti-bukti temuan fosil hominid dan peta genetika manusia. Hominid-hominid pertama muncul muncul di Afrika. Sejak Sahelanthropus tchadensis (7-6 juta tyl) hingga Homo rudolfensis (2,4-1,8 juta tyl), hominid belum meninggalkan kampung halaman Afrika mereka. Baru kemudian pada spesies Homo erectus (1,8 juta tyl) hominid ditemukan telah meninggalkan Afrika dan menyebar ke Eropa dan Asia. Erectus pertama yang dikenal keluar dari Afrika ialah Pithecanthropus paleojavanicus. Mereka keluar sekitar 1,9 juta tyl. Gelombang kedua dilakukan Homo ergaster sekitar 1,7 juta tyl, dan gelombang ketiga ialah Homo heidelbergensis dan Homo neanderthal pada 600.000 tyl.

 

Langkah keluar dari Afrika merupakan langkah berikutnya di dalam evolusi manusia setelah kerja berperan penting dalam kehidupan hominid. Dari hasil penyelidikannya, Aguirre dan Carbonell (2001: 14) menyimpulkan bahwa telah terjadi ekspansi dan menyebarnya kelompok-kelompok hominid ke Eurasia sekitar antara 1 juta hingga 700.000 tyl. Fosil-fosil yang diketemukan di Eurasia menunjukkan kemiripan sekaligus perbedaan dengan fosil-fosil kontemporer dari Afrika atau yang masa itu hidup di Afrika, termasuk dengan ergaster, dengan geligi yang sepenuhnya modern. Hominid yang hidup di Eurasia pada akhir dan pertengahan Pleistosen merupakan pemakan daging dengan teknologi perkakas yang lebih maju karena perubahan ekologis yang berpengaruh juga pada populasi mamalia pada umumnya.

 

Apa yang memungkinkan hominid mengembangkan diferensiasi tempat hidup? Kerja memungkinkan manusia untuk bisa tinggal di dalam kondisi lingkungan yang beragam. Selama di suatu tempat ada sumber makanan, manusia akan sanggup hidup di dalamnya dengan secara sadar mengubah lingkungan dan dirinya secara budaya. Evolusi kerja melalui “mutasi” perkakas dan organisasi sosial, tidak seperti mutasi organ tubuh, merupakan ongkos murah adaptasi hominid terhadap lingkungan baru.

 

Page 17: antropology

Diferensiasi tempat hidup yang dimungkinkan oleh adanya kerja, pada akhirnya memunculkan tekanan selektif baru bagi manusia untuk kemudian mengembangkan kerja lebih lanjut. Bidang-bidang kegiatan yang ditangani oleh kerja bertambah secara kuantitatif. Penambahan wilayah pencurahan kerja secara kuantitatif ini, pada tahap selanjutnya, mengubah kerja dan otak manusia secara kualitatif seiring dengan munculnya kesadaran reflektif yang menjadi landasan muncul dan berkembangnya agama, seni, dan semua pranata-pranata suprastruktural lainnya.

 

 

Paleoantropologi Materialis: sebuah catatan sementara

 

 

“Di dalam hayat dan karya setiap pribadi luar biasa dan banyak-bakat, selalu saja mungkin ditemukan sejumlah besar pernyataan dan pandangan-pandangan belum matang, kurang tepat, atau bahkan keliru. Di dalam pandangan kita, tempat seorang pribadi di dalam sejarah mestilah ditakar oleh keseluruhan tindakan-tindakannya di dalam konteks masanya dan peran yang telah dimainkan kepribadian serta karyanya dalam menggugah dan menolong orang sejaman dan generasi berikutnya di dalam kegiatan-kegiatan kreatif emansipatoris.” (Kircz dan Löwy, 1998: 6)

 

 

Pernyataan Kircz dan Löwy di atas ditujukan kepada Engels. Dalam konteks tulisan ini, pernyataan di atas ada benarnya. Sebagai pemikir abad ke-19, banyak pandangan dan pendapat Engels amat dipengaruhi oleh kondisi jamannya. Engels keliru dalam beberapa hal rincian teori dan data pendukungnya. Pandangan-pandangannya belum matang karena memang bidang yang diselidikinya, evolusi manusia, pun belum matang. Paleoantropologi masihlah kanak-kanak ketika itu. Tidak hanya karena masih sedikitnya temua fosil, tetapi juga ilmu pendukung terpentingnya, genetika, belumlah secanggih sekarang. Di tengah-tengah kelemahan teknis tersebutlah Engels mengancang alur evolusi manusia berdasarkan teori kerjanya. Namun, Engels benar dalam banyak hal lainnya. Seperti diulas sepanjang tulisan ini, Engels benar dalam alur evolusi manusia dari dunia kera. Berikut ini beberapa hikmah yang bisa diambil dari teori Engels.

 

 

Kerja sebagai Sosioenergi

Page 18: antropology

 

Pertama-tama, Engels memahami manusia yang berbeda dari binatang lainnya karena kemampuannya untuk menyelesaikan masalah melalui kerja dan tindakan-tindakan sosial. Manusia adalah binatang penyelesai-masalah. Masalah yang pertama mereka selesaikan ialah masalah paling mendasar bagi kehidupan manusia, yaitu mengamankan kelangsungan hidup spesies senyaman dan seaman mungkin melalui kegiatan yang disebut kerja atau produksi.

 

Engels juga melihat manusia sebagai produk dunia alamiah, dan sejarah manusia adalah bagian dari sejarah alam. Meski demikian Engels juga melihat ciri khusus manusia seperti yang tersimpan di dalam kemampuan mereka untuk menanggapi lingkungan yang telah menciptakan mereka sehingga mengubah baik lingkungan maupun diri mereka sendiri di dalam proses dialektis.

 

Sumbangsih Engels terhadap pemahaman hakikat manusia ialah penekanannya pada arti penting kerja. Di dalam kepustakaan antropologi evolusioner kontemporer, gagasan yang diajukan Engels termasuk ke dalam energetika. Energetika ialah “dinamika energi antara organisme-organisme dan lingkungan mereka—pengeluaran energi dalam kaitan dengan perolehan energi—serta konsekuensi adaptif penting untuk kelangsungan hidup dan reproduksi” (Leonard dan Ulijaszek, 2002: 547).

 

Antropolog Eugene Ruyle (1976) memilah struktur energi populasi dalam termodinamika hubungan manusia dengan alam ke dalam dua aliran besar, yakni bioenergi dan etnoenergi. Bioenergi mencakup sumber-sumber asupan energi bagi populasi seperti sinar matahari, tumbuhan, hewan buruan, dan sebagainya. Etnoenergi mencakup kegiatan populasi dalam mengambil, mengelola, dan mengkonsumsi energi. Dalam skema termodinamika ini, kerja dalam pemahaman Engels merupakan sosioenergi yang melaluinya populasi manusia berinteraksi dengan alam (termasuk aspek alamiah manusia seperti tubuh dan populasinya) melalui pengambilan dan konsumsi energi secara aktif dan sadar. Berbeda dengan bentuk-bentuk etnoenergi lainnya: bermain, leha-leha, seks, dan sebagainya, kerja menjadi motor perubahan dan perkembangan asupan dan pengeluaran energi populasi. Efektivitas kerja tidak hanya bersumbangsih pada reproduksi populasi, tetapi juga pada pertumbuhannya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (bandingkan Leonard dan Ulijaszek, 2002: 548).

 

Di dalam etnoenergi, kerja bukan sekadar perantara teknis hubungan manusia dan alam dalam mengelola perolehan dan pengeluaran energi. Kerja merupakan proses eksistensial yang tanpanya manusia tidak akan ada. Kerja tidak hanya mengubah alam, tetapi juga mengubah manusia itu sendiri pada waktu bersamaan. Sifat hubungan antara manusia dan alam tidaklah

Page 19: antropology

mekanis seperti dalam pandangan kaum sosiobiologis. Tidak pula searah seperti dalam pandangan kaum materialis pra-Marx. Kerja merupakan dialektika antara alam dan manusia. Setiap perubahan di dalam cara manusia menggali dan memanfaatkan energi dari alam senantiasa diikuti oleh perubahan di dalam kehidupan manusia itu sendiri, termasuk cara pandangnya terhadap alam dan diri sendiri. Sekali produksi menjadi cara manusia berhubungan dengan alam, maka berbagai kemungkinan perkembangan muncul. Itulah sebabnya evolusi manusia berlari jauh meninggalkan evolusi sepupu kera mereka. Sementara kera dan binatang lain mengandalkan mutasi biologis dalam penyesuaian dirinya terhadap alam, manusia mengandalkan mutasi kebudayaan karena kerja menjadi unsur eksistensialnya semenjak leluhur hominid.

 

Charles Darwin dan sarjana evolusi yang ketika itu dipengaruhi oleh pemikiran idealistik keagamaan dan metafisika, menekankan arti penting kemampuan berpikir rasional sebagai motor penggerak evolusi. Oleh karena itu, ketika mendiskusikan evolusi manusia, perkembangan otaklah yang menempati kedudukan utama dalam evolusi manusia. Perkembangan otaklah yang mendorong munculnya penggunaan dan pembuatan perkakas. Sebaliknya, Engels berpandangan bahwa kehidupan di permukaan tanah karena dorongan perubahan lingkungan global merupakan pendorong penggunaan perkakas oleh manusia. Kehidupan di permukaan tanah ini memunculkan tekanan selektif ke arah berkembangnya bipedalisme dan diferensiasi tangan dari kaki. Direferensiasi tangan dari kaki, lebih lanjut, meningkatkan tekanan selektif untuk berkembangnya struktur dan fungsi tangan serta pembagian kerja dalam memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup. Penggunaan perkakas dan pencurahan kerja sebagai bentuk interaksi aktif terhadap alam, kemudian mendorong pelebaran cakrawala tindakan dan bentuk-bentuk organisasi kegiatan-kegiatan yang berujung pada perkembangan otak dan bahasa (Trigger, 1992: 275).

 

Dalam peristilahan Hegelian, perubahan alam, termasuk perubahan unsur badani hominid (susunan tubuh, tangan, sistem syaraf otak, dan indra) yang merupakan bagian dari alam, merupakan perubahan kuantitatif. Perubahan-perubahan kuantitatif yang diperantarai oleh kerja ini berujung pada perubahan kualitatif pada spesies dengan munculnya kesadaran. Jadi, perkembangan otak dengan segala kemampuan kualitatifnya, merupakan hasil, bukan sebab dari langkah-lengkah evolutif dari simian ke hominid, dan dari hominid terdahulu ke Homo sapiens. Setiap langkah evolusi menuju manusia ini diperantarai oleh kerja dan tindakan-tindakan sosial lainnya. Kerja, dengan demikian, telah menciptakan manusia dengan segala kualitasnya, termasuk kemampuan berpikir. Bagaimanapun, penyelidikan kontemporer, menunjukkan bahwa perkembangan badani hominid tidak bisa secara langsung digunakan untuk melangsungkan hidup di semua lingkungan alam tanpa kerja. Manusia tidak memiliki bulu tebal untuk bisa hidup di wilayah bersuhu dingin. Manusia juga tidak mempunyai tenaga individual yang memadai untuk berburu binatang besar. Manusia pun tidak mempunyai taring yang cukup tajam untuk bisa mengoyak daging buruan besar dan memecah belulangnya. Tetapi, manusia memiliki kerja dan organisasi sosial yang memungkinkan perkembangan syaraf otak dan memungkinkan manusia memanfaatkan perkembangan badani ini. Piranti hidup non-biologis ini tidak hanya

Page 20: antropology

memungkinkan manusia melangsungkan hidup di berbagai lingkungan alam yang senantiasa berubah, tetapi juga turut serta mengubahnya demi kemanfaatan manusia (lihat juga Leakey, 2003).

 

 

Pelajaran dari Evolusi Manusia

 

Pelajaran yang diambil Engels dari alur evolusi manusia ini berbeda dari pelajaran yang dimanfaatkan para sarjana pengikut Darwinisme Sosial. Para sarjana Darwinis Sosial semacam Herbert Spencer, misalnya, mengambil hikmah dan memperlakukan evolusi manusia secara mekanistik, sebagai suatu hukum alam yang bekerja dengan sendirinya; suatu hukum buta yang menempatkan manusia sekadar bidak-bidak pergerakannya. Sementara itu Engels dengan humanismenya dan dialektika dalam metoda penyelidikannya, melihat evolusi manusia sebagai suatu gerak dialektika alam. Manusia adalah bagian dari alam. Meski demikian, manusia muncul dari dialektika alam sebagai negasi, sebagai bagian alam yang melampauinya melalui kerja, tindakan sadar mengubah alam yang senantiasa mengubah dirinya juga.

Engels juga menegaskan bahwa bukan perang antarsesama yang menjembatani keberhasilan evolusi hominid sebagaimana diyakini para sarjana Darwinis Sosial, tetapi kerjasamalah yang membantu membangun manusia dan memisahkan manusia dari dunia binatang. Penjelasan ini memberi bekal dan batu penjuru bagi pembangunan teori sosialisme yang digagas dalam karya-karyanya yang lain.

 

 

14 Juli 2011.

 

Daftar Pustaka:

Aguirre, Emiliano, dan Eudald Carbonell. 2001. Early Human Expansion into Eurasia: the Atapuerca evidence, Quaternary International, Vol. 75, hlm. 11-18.

Boyd, Robert, dan Joan B. Silk. 2003. How Humans Evolved. New York: W.W. Norton & Company Inc.

Page 21: antropology

Carneiro, Robert L. 2000. The Transition from Quantity to Quality: a causal mechanism in accounting for social evolution, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, Vol. 97, No. 23, pp. 12926-12931.

Carver, Terrell. 2003. Engels: very short introduction, Oxford: Oxford University Press.

Engels, Frederick. 1875-6/1962. Introduction to Dialectics of Nature, MESW Vol. II, hlm. 62-79, Moscow: Foreign Language Publishing House.

Engels, Frederick. 1876/1962. The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man, MESW Vol. II, hlm. 80-92, Moscow: Foreign Language Publishing House.

Engels, Frederick. 1981. The Origin of the Family, Private Property, and the State; in the light of the researches of Lewis H. Morgan, London: Lawrence & Wishart.

Green, John. 2009. Engels: a revolutionary life. London: Artery Publications.

Harman, Chris. 1994. Engels and the Origin of Human Society, International Socialism Journal, Vol. 65, hlm. 83-142.

Hewes, Gordon W. 1961. Food Transport and the Origin of Hominid Bipedalism, American Anthropologist, Vol. 63, hlm.  687-710.

Holloway, Ralph L. 1967. Tools and Teeth, some speculations regarding canine reduction, American Anthropologist, Vol. 69, No. 1, hlm. 63-67.

Hunley, J.D. 1991. The Life and Thought of Friedrich Engels: a reinterpretations. New Haven: Yale University Press.

Kircz, Joost, dan Michael Löwy. 1998. Friedrich Engels: a critical centenary appreciation, Science & Society, Vol, 62, No. 1, hlm. 4-12.

Leakey, L.S.B., P.V. Tobias, dan J.R. Napier. 1964. A New Species of the Genus Homo From Olduvai Gorge, Nature, Vol. 202, pp. 7-9.

Leakey, Richard. 2003. Asal-usul Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Leonard, William R., dan Stanley J. Ulijaszek. 2002. Energetics and Evolution: an emerging research domain, American Journal of Human Biology, Vol. 14, hlm. 547-550.

Marwick, Ben. 2005. The Interpersonal Origins of Language: social and linguistic implications of an archaeological approach to language evolution, Linguistics and Human Sciences, Vol. 1.2, hlm. 197-224.

Meyer, Alfred G. 1989. Engels as Sociologist, International Journal of Comparative Sociology, Vol. 30, No. 1-2, hlm. 5-19.

Page 22: antropology

Panger, Melissa A. et.al., 2002. Older than the Oldowan? rethinking the emergence of hominin tool use, Evolutionary Anthropology, Vol. 11, hlm. 235-245.

Patterson, Thomas C. 2009. Karl Marx Anthropologist. Oxford: Berg Publishers.

Ruyle, Eugene E. 1976. Labor, People, Culture: a labor theory of human origins, Yearbook of Physical Anthropology, Vol. 20, pp. 136-163.

Tobias, Philip V. 1992. The Species Homo Habilis: example of a premature discovery, Annual Zoological Fennici, Vol. 28, pp. 371-380.

Tobias, Philip V. 1998. Evidence for the Early Beginning of Spoken Language, Cambridge Archaeological Journal, Vol. 8, No. 1, hlm. 72-78.

Trigger, Bruce. 1992. Comment on Tobias, ‘Piltdown, the Case against Keith’, Current Anthropology, Vol. 33, No. 3.

Wengke, Robert J. 1999. Patterns in Prehistory: humankinds first three million years. Oxford: Oxford University Press.

Wynn, T. 1998. Did Homo erectus Speak?, Cambridge Archaeological Journal, Vol. 8, No. 1, hlm. 78-81.