angkatan 66

10
D I S U S U N Oleh : GROUP A LEO SIDABUTAR 09110076 IKA JUANITA PURBA 09110040 NURLELA DILITONGA 09110029 HOTMARIA 09110048 KOLWAN BUTAR-BUTAR 09110003 PRODI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA MATA KULIAH : SEJARAH SASTRA DOSEN : Dra. R. NAINGGOLAN

Upload: armada12

Post on 24-Jun-2015

7.110 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANGKATAN 66

D

I

S

U

S

U

N

Oleh :

GROUP A

LEO SIDABUTAR 09110076IKA JUANITA PURBA 09110040NURLELA DILITONGA 09110029HOTMARIA 09110048KOLWAN BUTAR-BUTAR 09110003PRODI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIAMATA KULIAH : SEJARAH SASTRADOSEN : Dra. R. NAINGGOLAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

PEMATANGSIANTAR

2010

Page 2: ANGKATAN 66

ANGKATAN 66

Angkatan 66 meliputi kurun waktu tahun 1963 hingga tahun 1970-an.

Pelopor Angkatan 66 dalam bidang puisi adalah Taufiq Ismail yang dikenal dengan

puisi-puisi demonstrasi. Jika Angkatan 45 mempunyai konsepsi “Surat Kepercayaan

Gelanggang”, maka Angkatan 66 mempunyai konsepsi “Manifest Kebudayaan”. Jika

angkatan 45 berbicara lantang tentang martabat manusia Indonesia yang sama dengan

manusia lain di dunia, maka Angkatan 66 berbicara tentang tegaknya kembali

Pancasila dan UUD 1945.

MANIFESTASI KEBUDAYAAN Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini

mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.

PANCASILA adalah falsafah kabudayaan kami.Jakarta, 17 Agustus 1963

Seperti kita ketahui, manifest ini dilarang oleh Bung Karno dalam pidato

kenegaraan 17 Agustus 1964.

Berikut ini dikemukakan beberapa tokoh penyair yang oleh H.B. Jassin

diklasifikasikan sebagai penyair Angkatan 66 dan disini dinyatakan sebagai penyair

periode 1936 – 1970. Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad diikuti oleh penyair-

penyair yang lebih muda, seperti Abdul Hadi W.M., Linus Suriadi A.G., Slamet

Sukirnanto, Hartojo, Andangdjaya, dan sebagainya.

Page 3: ANGKATAN 66

1. Taufiq Ismail

Taufiq Ismail adalah pelopor puisi-puisi demonstrasi. Puisi-puisinya adalah

puisi demonstrasi yang mengungkapkan tuntutan membela keadilan dan kebenaran.

Puisinya adalah protes sosial menentang tirani dan rezim seratus mentri. Puisi Taufiq

Ismail menandakan suatu kebangkitan Angkatan 66 dalam dunia perpuisian di

Indonesia.

Taufiq Ismail dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 25 Juni 1937. Ia

menamatkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia

(sekarang IPB) di Bogor. Pernah menjadi Ketua Federasi Teater Bogor, anggota

Dewan Kesenian Jakarta (1968 - …) dan Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian

Jakarta (sejak 1973). Kini bekerja di Unilever Jakarta, disamping menjadi Redaktur

Majalah Horison (sejak 1966). Taufiq Ismail pernah mengikuti Kompensasi PEN

Asia di Taipei (1970) dan Seoul (1970), Festival Penyair Internasional di Rotterdam

(1971), International Writing Program di Universitas Lowa (1971 – 1972), dan

Kongres Penyair Sedunia di Taipei (1973). Ia menerima Anugerah Seni dari

Pemerintah RI pada tahun 1970. Kumpulan sajak-sajaknya berjudul Tirani (1966).

Puisi-puisinya kebanyakan bersifat naratif dan prosais. Puisi-puisi

demontrasi kebanyakan sangat prosais dan diafan. Puisi-puisinya tidak semuanya

puisi demontrasi, lebih banyak puisi-puisinya yang bukan demonstrasi dari pada

puisi-puisi demonstrasi. Tirani dan Benteng adalah kumpulan puisi demonstrasi.

Sajak-sajak Ladang Jagung berlatar belakang suasana Lowa City Amerika Serikat

karena ditulis Taufiq pada saat berada di Lowa. Berikut ini akan dikutip sebuah sajak

demonstrasi dan sebuah sajak yang bukan saja demonstrasi .

Kamis Pagi

Hari ini kita tangkap tangan-tangan KebatilanYang selama ini mengenakan seragam kebesaranDan menaiki kereta-kereta kencanaDan menggunakan materai kerajaanDengan suara lantang mengatasnamakanKawula dukana yang berpuluh juta.

Page 4: ANGKATAN 66

Hari ini kita serahkan merekaUntuk digantung di tiang keadilanPenyebar bisa fitnah dan dusta durjanaBertahun-tahun lamanya.

Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasaMembeli benda-benda tanpa harga di manca negaraDan memperoleh uang emas beratus jutaBagi diri sendiri, di bank-bank luar negeriMerekalah penganjur zina secara terbukaDan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita.

Hari ini kita tangkap tangan-tangan KebatilanKebanyakan anak-anak muda berumus belasanYang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapanTelah kita naiki gedung-gedung ituMereka semua pucat, tiada lagi berdayaSeorang ketika digiring, terseduMembuka sendiri tanda kebesaran di pundaknyaDan berjalan perlahan dengan lemahnya.

Benteng, 1966

2. Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad lahir di Batang pada 29 Juli 1942. Pernah kuliah di

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. kemudian melanjutkan ke jurusan Timur

Politik College d’Europe, Brugge, Belgia (1965 – 1966), tidak tamat. Pernah menjadi

wartawan harian KAMI (1966-1970), pemimpin redaksi Majalah Ekspress (1969-

1970), redaksi Majalah Horison (1967-1972), sampai sekarang adalah pemimpin

redaksi majalah Tempo (sejak 1971) dan Zaman (sejak 1979), serta anggota Dewan

Penasehat majalah Horison (sejak 1972). Tahun 1973, Goenawan Mohamad

mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Ia adalah seorang

penandatangan Manifest Kebudayaan (1963). Pada tahun 1972, Goenawan Mohamad

mendapatkan Anugerah Seni.

Karya-karya Goenawan Mohamad dikumpulkan dalam buku : Pariksit

(1972), Interlude (1973).

Page 5: ANGKATAN 66

Senjapun Jadi KecilKotapun jadi Putih

Senja pun jadi kecilKotapun jadi putihDi SubwayAku tak tahu saat pun sampai

Ketika berayun musimDari sayap langit yang bekuKetika burung-burung di rumput dinginterhenti mempermainkan waktu

ketika kita berdisi sunyipada dinding biru inimenghitung ketidakpastian dan bahagiamenunggu seluruh usia

(Pariksit, 1971)

Goenawan Mohamad dipandang sebagai eseis dan kritikus sastra yang cukup

berwibawa, karena wawasannya yang luas dan mendalam tentang sastra. Kritiknya

tentang puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dipuji oleh Budi Darma sebagai kritik

yang baik dan berbobot (1984).

Berikut ini dikutip sebuah lagi puisi Goenawan Mohamad yang

menunjukkan sisi lain dari puisinya :

Siapakah Laki-laki yang Rebah di Taman ini

Siapakah laki-laki yang rebah di taman iniYang hanya bertanda di matahariYang tak bercerita tentang rumah dan anak-anaknyaYang berwasiat kepada lapar semesta kita?

Siapakah laki-laki yang rebah di taman iniTiada akan aku mengertiKetika kita, seratus jutaMengertinya tanpa makna

3. Mansur Samin

Penyair Mansur Samin dapat dikategorikan sebagai penyair demonstrasi

karena ada sebagian puisi-puisinya yang merupakan puisi demonstrasi.

Page 6: ANGKATAN 66

Kumpulan sajak demonstrasinya berjudul Perlawanan. Karya-karya lainnya

adalah Tanah Air (kumpulan sajak, 1969), “Kebinasaan Negeri Senja” (drama, 1968)

dan beberapa buku kumpulan puisi yang akan terbit.

Berikut ini dikutip beberapa sajaknya,

Pidato Seorang Demonstran

Mereka telak tembak teman kitaKetika mendobrak sekretariat negaraSekarang jelas bagi saudaraBagaimana kebenaran hukum di Indonesia.

Ketika kesukaran tambah menjadiPara mentri sibuk ke luar negeriTapi korupsi makin merajalelaSebab percaya keadaan berubahRakyat diam saja.

Ketika produksi negara kosongPara pemimpin asyik ngomongTapi harga-harga terus menajakSebab percaya diatasi dengan mufakatRakyat masih diam saja

Di masa gestok rakyat dibunuhPara menteri saling menuduhKaum penijilat mulai beraksiMaka fitnah makin berjangkitToh rakyat masih diam saja

Mereka diupah oleh jerih payah orang tua kitaTapi tak tahu cara terima kasih, bahkan memfitnah :Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negaraApakah kita masih terus diam saja?

(Perlawanan, 1966)

4. Hartojo Andangjaya

Di depan banyak kali dikutip sajaknya yang terkenal, yakni “Perempuan-

perempuan Perkasa”. Puisi ini melukiskan kegigihan perjuangan wanita-wanita di

daerah Walikukun dekat Ngawi yang setiap sebelum subuh sudah harus berjuang

melawan kantuknya berebutan naik kereta untuk menjual barang dagangannya ke

Page 7: ANGKATAN 66

kota Solo. Mereka harus merebut pasar kota, dalam sebuah pesta kerja, agar orang-

orang yang dicintainya di daerah perbukitan Walikukun dapar terus hidup. Karena

kekaguman penyair kepada para wanita perkasa itu, maka para wanita itu dianggap

sebagai “akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota”; mereka cinta

kasih yang menghidupi desa demi desa”. Puisinya ini merupakan puisi terbaik

Hartojo Andangdjaja.

Kumpulan sajaknya berjudul : Simponi Puisi (kumpulan sajak, D.S.

Moeljanto, 1954) dan Buku Puisi (1973)

Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya

Apakah yang kupunya, anak-anakkuSelain buku-buku dan sedikit ilmuSumber pengabdian kepadamu.

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahkuAku takut, anak-anakkuKursi-kursi tua yang disanaDan meja tulis sederhanaDan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnyaSemua padamua akan berceritaTentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku berceritaDepan kelas, sedang menatap sejauh wajahmu remaja- Barisan yang selalu biru bagiku -Karena kutahu, anak-anakkuEngkau terlalu mudaEngkau terlalu bersih dari dosaUntuk mengenal ini semua.

(Cerpen Th. I No. 7, 1967 : Solo, 1985)

5. Piek Ardijanto Suprijadi

Penyair ini lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 12 Agustus 1929.

Berpendidikan SMA Negeri Yogyakarta (1952), B-1 Bahasa Indonesia (1960), dan

hingga kini mengajar di SMA Negeri Tegal, Jawa Tengah.

Sajaknya memperoleh hadiah dari majalah Sastra tahun 1962 dan sajak-

sajaknya dimuat di majalah Indonesia, Sastra, Horison dan juga di buku angkatan 66

H.B. Jassin (1968). Kumpulan puisinya berjudul Burung-burung di Ladang.