anestetik inhalasi dan intravena
DESCRIPTION
anastetikTRANSCRIPT
1. Anestetik Inhalasi
a. Farmakokinetika
Kedalaman anestesi ditentukan dari kadar anestetik di dalam sistem syaraf pusat.
Kecepatan mencapai kadar di dalam jaringan otak yang efektif (kecepatan induksi
anestesi) tergantung pada berbagai faktor farmakokinetika yang mempengaruhi ambilan
dan distribusi anestetika. Faktor – faktor ini menetukan perbedaan kecepatan transfer
anestetika inhalasi dari paru – paru ke dalam darah dan dari darah ke otak serta jaringan –
jaringan lain. Faktor ini pula nantinya akan mempengaruhi kecepatan pemulihan dari
keadaan anestesia. Kecepatan suatu anestetika mencapai otak tergantung pada sifat
kelarutan dari anestetika tersebut, kadarnya dalam udara yang dihirup, kecepatan ventilasi
paru, aliran darah ke paru, dan perbedaan konsentrasi anestetika antara darah arteri dan
campuran darah vena (tekanan parsial) (Trevor, 2002).
b. Farmakodinamika
Anestetika inhalasi secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas neuron
berbagai area di dalam otak. Sasaran utama dari berbagai anestetika umum ini adalah
reseptor GABAA-kanal klorida, yaitu suatu mediator utama dari transmisi sinaps
inhibitorik. Reseptor tersebut merupakan susunan pentametrik dari lima protein yang
berasal dari beberapa subkelas polipeptida (Trevor, 2002).
c. Anastetik Gas
Anastesi gas umumnya dapat memiliki potensi yang rendah sehingga hanya
digunakan untuk induksi dan operasi yang ringan. Anastesi gas tidaklah mudah larut di
dalam darah sehingga tekanan parsial dalam darah cepat meningkat. Batas keamanan
antara efek anastesia dan efek letal cukup besar. Obat anastetik gas ini dapat dibagi
menjadi nitrogen monoksida dan siklopropan (S & Elysabeth, 2007).
1) Nitrogen monoksida
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa dan lebih berat dari udara. Nitrogen monoksida biasanya disimpan dalam
bentuk cairan bertekanan tinggi dalam tabung baja. Tekanan penguapan pada suhu
kamar yaitu kerang lebih 50 atmosfer. Anestetik ini selalu digunakan dalam
campuran dengan oksigen. Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah, diekskresi
dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil melalui kulit. Gas ini tidak
mudah terbakar tetapi dapat dikombinasikan dengan zat anastetik yang mudah
terbakar akan memudahkan terjadinya ledakan misalnya campuran eter dan nitrogen
monoksida (S & Elysabeth, 2007).
Potensi anatetik nitrogen monoksida kurang kuat tetapi stadium induksi dilewati
dengan cepat karena kelarutannya yang buruk dalam darah. Perbandingan nitrogen
monoksida dan oksigen yaitu 85:15 pada stadium induksi dapat dilewati dengan
cepat. Untuk mempertahankan anatesia biasanya digunakan perbandingan nitrogen
monoksida dan oksigen sebesar 70:30 tetapi bila digunakan nitrogen monoksida 65%
tanpa medikasi preanastetik penderita tidak dapat mencapai stadium eksitasi.
Relaksasi otot kurang baik sehingga untuk mendapatkan relaksasi yang cukup sering
ditambahkan obat pelumpuh otot (S & Elysabeth, 2007).
Nitrogen monoksida mempunyai efek analgesic yang baik dengan inhalasi 20%
nitrogen monoksida dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar
optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum yaitu kurang lebih 35%. Gas
ini sering digunakan pada partus yaitu dengan pemberian 100%. Nitrogen monoksida
pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan
kontraksi dan 100% oksigen pada waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya
hipoksia (S & Elysabeth, 2007).
Kadar nitrogen monoksida 80% hanya sedikit mendepresi kontraktilitas otot
jantung sehingga peredaran darah tidak terganggu. Efek pada pernapasan belum
diselidiki secara mendalam, dikatakan induksi dengan pentotal dan inhalasi nitrogen
monoksida menyebabkan berkurangnya responspernapasan terhadap karbon dioksda.
Pada anastesia yang lama, nitrogen monoksidadapat menyebabkan mual, muntah dan
lambat sadar. Gejala sisa hanya terjadi bila ada hipoksia atau alkalosis karena
hiperventilasi (S & Elysabeth, 2007).
2)Siklopropan
Siklopropan merupakan anastetik gas yang kuat, berbau spesifik, tidak berwarna,
lebih berat daripada udara dan disimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi. Gas
ini mudah terbakar dan meledak sehingga digunakan dengan close method.
Siklopropan relative tidak larut dalam darah sehingga menginduksi dengan cepat
yaitu sekitar 2-3 menit. Stadium pembedahan tingkat 1 dapat dicapai dengan kadar 7-
10% volume, tingkat 2 dicapai dengan kadar 10-20% volume, tingkat 3 dicapai
dengan kadar 20-35% volume dan tingkat 4 dicapai dengan kadar 35-50% volume.
Sedangkan pemberian dengan kadar 1% volume dapat menimbulkan analgesia tanpa
hilangnya kesadaran. Untuk mencegah delirium yang terkadang timbul maka
diberikan pentotal secara intravena sebelum inhalasi siklopropan (S & Elysabeth,
2007).
Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas otot jantung, curah jantung dan
tekanan arteri tetap atau sedikit meningkat sehingga siklopropan merupakan anastetik
terpilih pada penderita syok. Siklopropan dapat menimbulkan aritmia jantung yaitu
fibrilasi atrium, bradikardi sinus, ekstrasistol atrium, ritme atrioventrikular dan ritme
begimi. Pemberian atropine IV dapat menimbulkan ekstrasistol ventrikel karena efek
katekolamin menjadi lebih dominan (S & Elysabeth, 2007).
Aliran darah kulit ditinggikan oleh siklopropan sehingga mudah terjadi
perdarahan waktu operasi. Siklopropan tidak menimbulkan hambatan terhadap
sambungan saraf otot. Setelah waktu pemulihan sering timbul rasa mual, muntah dan
delirium. Absorpsi dan ekskresi siklopropan melali paru. Hanya 0,5%
dimetabolisme dalam badan dan diekskresi dalam bentuk karbon dioksida dan air.
Siklopropan dapat digunakan pada setiap macam operasi. Untuk mendapatkan efek
analgesic digunakan 1-2% siklopropan dengan oksigen. Untuk mencapai induksi
siklopropan digunakan 25-50% dengan oksigen sedangkan untuk dosis penunjang
digunakan 10-20% (S & Elysabeth, 2007).
d. Obat Anestesia yang mudah menguap
1) Dietil Eter
Diketahui selama beabad-abad karena penggunannya dahulu sebagai anestesi
pembedahan. Hal tersebut diketahui pada abad ke-8 oleh filsafat Arab, Jabri Ibnu
Hayyam atau mungkin oleh Raymond Lully, pada abad ke 13, seorang ahli kimia Eropa.
Tetapi, dietil eter baru pertama kali diketahui pada abad ke-16 oleh Valerius Cordus dan
Paracelcius (Anonim, 2009).
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
yang bersifat reversibel. Status anestesi umum pada dasarnya mencakup analgesia,
amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya refleks sensoris dan otonomik, serta dalam
banyak kasus relaksasi otot. Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus
otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Hanya eter yang memiliki trias
anestesia (analgesia, hipnosis, dan relaksasi otot). Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan
perbagai macam obat. Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu.
Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant) (Trevor,
2002).
Eter yang terpenting adalah etil eter yang dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam perdagangan disebut eter. Kegunaan utama eter adalah sebagai pelarut dan obat
bius (anestesi) pada operasi. Etil eter adalah obat bius yang diberikan melalui pernapasan,
seperti halnya kloroform atau siklopropana. Eter merupakan cairan tidak berwarna,
mudah menguap, berbau khas mengiritasi saluran napas, mudah terbakar/meledak, dan
dapat terurai oleh udara serta cahaya. Salah satu sifat eter mudah terurai oleh udara dan
cahaya hal tersebut berkaitan dengan konsentrasi anestesi dalam udara. Konsentrasi
anestesika inhalasi yang dihirup mempunyai efek langsung pada tekanan di dalam darah
arteri. Menurut hukum fick, meningkatnya konsentrasi anestesi yang dihirup akan
meningkatkan kecepatan induksi anestesi dengan jalan meningkatkan kecepatan transfer
di dalam darah (Trevor, 2002).
Eter bisa menimbulkan efek samping diantaranya menyebabkan iritasi saluran napas,
merangsang sekresi kelenjar bronkus, menekan krontraktilitas otot jantung, mual dan
muntah. Penggunaan eter pada sistem semi tertutup dalam kombinasi dengan oksigen
atau N2O tidak dianjurkan pada pembedahan dengan tindakan kauriterisasi sebab ada
bahaya timbul ledakan, dan bila api mencapai paru pasien akan mati akibat jaringan yang
terbakar atau paru-parunya pecah (S & Elysabeth, 2007).
2) Chloroform
Nama lainnya yaitu trichloromathane, methane tricloride, tricloroform, methy
trichloride, dan formyl trichloride atau dengan formula molekulnya adalah CHCl3.
Chloroform sanagt baik dan cepat diabsorbsi, dimetabolis, dan dieliminasi oleh hewan
mamalia ataupun manusia baik melalui oral, inhalation, atau dermal exposure. Pada
manusia dosis tunggal cloroform secara oral adalah 0,5 dan 50-52% dapat diserap oleh
tubuh dan melalui proses metabolisme diubah menjadi karbondioksida. Level puncak
dalam darah adalah hingga 1,5 jam dan memiliki waktu paruh 13 sampai dengan 90
menit. Chloroform dosis tunggal secara inhalasi adalah 5mg dan terserap dlaam tubuh
hingga 80% (Watts, 2004).
Secara umum, kloroform memunculkan gejala-gejala yang sama keracunan pada
manusia seperti di laboratorium hewan. Kloroform digunakan di masa lalu untuk
menginduksi (besar exposure 24-73 g/m3 udara) dan pada anstesi medis (besar exposure
12-48 g/m3 udara). Namun, praktek ini dihentikan karena menyebabkan kematian karena
pernapasan, aritmia jantung, dan gagal jantung. Pemberian chloroform dapat
menyebabkan anestesi, mual, histeris, muntah, ikterik, koma hepatikum, dan kerusakan
hati. Pada autopsi ditemukan hati nekrosis dan degenari sel. Selain itu ditemukan juga
renal tubular necrosisi hingga menimbulkan gagal ginjal (Watts, 2004).
3) Alkohol
Merupakan preparat yang paling cepat menimbulkan efek anestesi pada
praktikum dibandingkan dengan kloroform dan eter. Alkohol merupakan depresan
sistem saraf pusat. Pada kadar dalam darah yang tinggi alkohol menyebabkan koma,
depresi pernapasan dan kematian. Alkohol mempengaruhi sejumlah besar protein
membran yang berperan dalam tranduksi sinyal, termasuk reseptor-reseptor
neurotransmiter berbagai amine, asam amino dan opioid, enzim-enzim seperti Na/k
ATPase dan beberapa kanal ion Ca2+. Pada jantung akan mempengaruhi
kontraktilitas miolkard, sedangkan pada otot polos akan menyebabkan vasodilatasi
dan relaksasi langsung otot polos yang disebabkan oleh metabolitnya, yaitu
asetildehid. Efek farmakodinamik tersebutlah yang kemungkinan menyebabkan
alkohol lebih cepat menimbulkan efek anestesi (Watts, 2004).
Penggunaan alkohol akan berpengaruh pada sistem saraf pusat, kardiovaskuler
dan gastrointestinal terutama pada penggunaan kronik. Pengaruh alkohol pada sistem
gastrointestinal yaitu dapat menyebabkan kerusakan hati, dapat meningkatkan sekresi
lambung dan pankreas serta merubah rintangan mukosa, sehingga akan meningkatkan
risiko terjadinya gastritis dan pankreatitis. Pengaruh pada sistem saraf yaitu akan
menyebabkan neurotoksisitas dan dapat terjadi defisit neurologi dan merusak
ketajaman visus. Pada sistem kardiovaskuler alkohol akan menyebabkan
kardiomiopati dan menghambat proliferasi semua elemen seluler di dalam sumsum
tulang, serta mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit (Watts, 2004).
2. Anestetik intravena
Anestetik intravena banyak digunakan sebagai adjuvant bagi anestetik inhalasi maupun
sebagai anestetik tunggal karena tidak diperlukan peralatan yang rumit dalam
penggunaannya. Tujuan pemberian anestesi intravena adalah : (1) induksi anesthesia, (2)
induksi dan pemeliharaan anestesia pada tindak bedah singkat, (3) menambah efek
hipnosis pada anesthesia atau analgesia lokal, dan (4) menimbulkan sedasi pada tindak
medik (S & Elysabeth, 2007).
Anestesia intravena ideal adalah yang (1) cepat menghasilkan hipnosis, (2) memiliki efek
analgesia, (3) menimbulkan amnesia pasca-anestesia, (4) dampak buruknya mudah
dihilangkan oleh antagonisnya, (5) cepat dieliminasi oleh tubuh, (6) tidak atau sedikit
mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskular, dan (7) pengaruh farmakokinetiknya
tidak bergantung pada disfungsi organ (S & Elysabeth, 2007).
a. Barbiturat
Seperti anestesi inhalasi, barbiturat dapat menghilangkan kesadaran dengan cara
memfasilitasi pengikatan GABA-mimetik dengan langsung merangsang kanal
klorida. Barbiturat yang digunakan untuk anestesia ialah yang termasuk barbiturat
kerja sangat singkat, yaitu tiopental, metoheksital, dan tiamilal yang diberikan secara
infus (S & Elysabeth, 2007).
Pada penyuntika tiopental, mula-mula timbul hiperalgesia diikuti analgesia bila
dosis terus ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan merupakan analgesik yang kuat.
Pasien yang mendapatkan tiopental kadang menggigil pascabedah karena pemulihan
suhu tubuh setelah anestesia. Hipotensi postural juga kadang terjadi (S & Elysabeth,
2007).
b. Ketamin
Ketamin adalah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif
aman. Ketamin mempunyai sifat anestetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat
anelgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral.
Tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonus sedikit
meninggi (S & Elysabeth, 2007).
Anestesia dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15
detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesia
disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil,
salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot.
Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahap sampai 40 menit,
sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam. Pada masa pemulihan, dapat terjadi
emergence phenomenon yang merupakan kelainan psikis berupa disorientasi, ilusi
sensoris, ilusi perseptif dan mimpi buruk. Kejadian fenomena ini dapat dikurangi
dengan pemberian diazepam 0,2-0,3 mg/kgBB 5 menitsebelum pemberian ketamin
(S & Elysabeth, 2007).
Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-5 mg/kgBB IM. Stadium
depresi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anatesia dapat diberikan
dosis 25-100 mg/kgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit (S &
Elysabeth, 2007).
c. Droperidol dan Fentanil
Fentanil dan droperidol tersedia dalam kombinasi tetap yang mengantuk fentanil
sitrat 0,05 mg per mL, untuk digunakan untuk menimbulkan analgesia neuroleptik
dan anestesia neuroleptik. Doperidol dan fentanil dapat diberikan dengan aman pada
pasien yang dengan anastesia umum lainnya mengalami hiperpireksia maligna (S &
Elysabeth, 2007).
Droperidol mula kerjanya lambat (10-15 menit) dengan masa kerja panjang,
sebaliknya fentanil mula kerjanya cepat (2 menit) dan masa kerjanya pendek, maka
sebenarnya dapat dilakukan pemberian secara terpisah. Caranya, induksi dimulai
dengan dosis tunggal properidol (0,15 mg/kgBB), 6-8 menit kemudian diberi fentanil
(0,002-0,003 mg/kgBB) yang dapat diulang setiap 6-8 menit (S & Elysabeth, 2007).
Efek samping droperidol berupa perangsangan ekstrapiramidal dan gerak otot
spontan dapat terjadi walaupun lama setelas anatesia di hentikan, tetapi efek samping
ini bersifat swasirna dan dapat diatasi dengan atropin (S & Elysabeth, 2007).
d. Diazepam
Obat ini dapat menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai
nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik. Obat ini juga tidak
menimbulkan potensiasi terhadap efek penghambat neuromuskular dan efek
analgesik obat narkotik. Diazepam digunakan untuk menimbulkan sedasi basal pada
anestesia regional, endoskopi, dan prosedur dental, serta untuk induksi anestesia pada
penderita penyakit kardiovaskular (S & Elysabeth, 2007).
Diazepam IV segera didistribusikan ke otak tetapi efeknya baru tampak setelah
beberapa menit. Kadarnya segera turun karena ada redistribusi, tetapi sedasi sering
muncul lagi setelah 6-8 jam akibat adanya penyerapan ulang diazepam yang dibuang
melalui empedu. Masa paruh diazepam memanjang dengan meningkatnya usia, kira-
kira 20 jam pada usia 20 tahun, dan kira-kira pada 90 jam pada usian 80 tahun (S &
Elysabeth, 2007).
Dosis diazepam untuk induksi ialah 0,1-0,5 mg/kgBB. Pada orang sehat dosis
diazepam 0,2 mg/kgBB sebagai medikasi pra-anastetik yang dibiarkan bersama
narkotik analgesik sudah menyebabkan tidur. Pada pasien dengan resiko tinggi hanya
dibutuhkan 0,1-0,2 mg/kgBB. Untuk menimbulkan sedasi, penambahan 2,5 mg
diazepam tiap 30 detik diberikan sampai pasien tidur ringan atau terjadi nistagmus,
ptosis, atau gangguan bicara. Umumnya diburuhkan 5-30 mg untuk sedasi ini (S &
Elysabeth, 2007).
Anonim. 2009. History of Anesthesia. http://www.docstoc.com/docs/7804135/History-of-
anesthesia/ . Diakses tanggal : 2 1 Maret 2011.
S, Z. D., & Elysabeth. 2007. Anastetik Umum. In Farmakologi dan Terapi (pp. 122-138).
Jakarta: FK UI.
Trevor, Anthony J & Paul F. White. 2002. Dalam : Farmakologi Dasar dan Klinik Bertram G.
Katzung Buku 2. Edisi delapan. Jakarta : Salemba Medika.
Watts, Petter. 2004. Chloroform. United Nations Environment Programme, the International
Labour Organization, and the World Health Organization, and produced within the
framework of the Inter-Organization Programme for the Sound Management of Chemicals.
WHO: Geneva