anestesi laparoskopi.doc

12
Anestesi pada Bedah Laparoskopi Bedah laparoskopi adalah teknik operasi perut dengan prinsip invasif minimal, dan secara luas telah digunakan dalam ilmu bedah. Keuntungan dari laparoskopi dibandingkan dengan operasi perut terbuka antara lain trauma bedah berkurang, nyeri berkurang, komplikasi paru pasca operasi lebih sedikit, dan waktu pemulihan lebih pendek. Kerugian laparoskopi ini meliputi waktu operasi yang lebih lama dan memerlukan peralatan yang lebih mahal dan canggih Operasi laparoskopi rutin dilakukan dengan anestesi umum. Kemudian dilanjutkan dengan dekompresi dari saluran gastrointestinal (GI), relaksasi otot yang memadai, pneumoperitoneum, dan posisi Trendelenburg. Kondisi-kondisi ini secara meningkatkan eksposur dari organ-organ perut dan mengurangi risiko cedera mekanik operasi pada pasien. Namun, hal-hal ini dapat menyebabkan perubahan patofisiologis spesifik dan berpotensi membahayakan pasien. Tujuan dari ahli bedah adalah untuk beroperasi dengan aman dan tepat, sedangkan tujuan dari anestesi adalah untuk membantu memperbaiki kondisi bedah bila mungkin, mencegah efek samping, serta menjaga fungsi organ vital. Selama operasi, tujuan ini harus dicapai secara bersamaan. Dengan demikian, sangat penting bagi ahli bedah dan ahli anestesi untuk memahami konsekuensi fisiologis laparoskopi dan bekerja sama untuk mencapai hasil bedah yang baik. Pembentukan Kondisi Pembedahan Untuk memberikan kondisi yang optimal untuk bedah laparoskopi, organ-organ perut harus cukup terbuka, port laparascopic dan instrumen harus dimasukkan dengan aman dan dalam posisi yang tepat . Hal ini dicapai dengan dekompresi saluran pencernaan, anestesi umum, relaksasi otot, pneumoperitoneum, dan posisi Trendelenburg .

Upload: kyle-winchesters

Post on 29-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anestesi Laparoskopi.doc

Anestesi pada Bedah Laparoskopi

Bedah laparoskopi adalah teknik operasi perut dengan prinsip invasif minimal, dan secara luas telah digunakan dalam ilmu bedah. Keuntungan dari laparoskopi dibandingkan dengan operasi perut terbuka antara lain trauma bedah berkurang, nyeri berkurang, komplikasi paru pasca operasi lebih sedikit, dan waktu pemulihan lebih pendek. Kerugian laparoskopi ini meliputi waktu operasi yang lebih lama dan memerlukan peralatan yang lebih mahal dan canggih

Operasi laparoskopi rutin dilakukan dengan anestesi umum. Kemudian dilanjutkan dengan dekompresi dari saluran gastrointestinal (GI), relaksasi otot yang memadai, pneumoperitoneum, dan posisi Trendelenburg. Kondisi-kondisi ini secara meningkatkan eksposur dari organ-organ perut dan mengurangi risiko cedera mekanik operasi pada pasien. Namun, hal-hal ini dapat menyebabkan perubahan patofisiologis spesifik dan berpotensi membahayakan pasien. Tujuan dari ahli bedah adalah untuk beroperasi dengan aman dan tepat, sedangkan tujuan dari anestesi adalah untuk membantu memperbaiki kondisi bedah bila mungkin, mencegah efek samping, serta menjaga fungsi organ vital. Selama operasi, tujuan ini harus dicapai secara bersamaan. Dengan demikian, sangat penting bagi ahli bedah dan ahli anestesi untuk memahami konsekuensi fisiologis laparoskopi dan bekerja sama untuk mencapai hasil bedah yang baik.

Pembentukan Kondisi Pembedahan

Untuk memberikan kondisi yang optimal untuk bedah laparoskopi, organ-organ perut harus cukup terbuka, port laparascopic dan instrumen harus dimasukkan dengan aman dan dalam posisi yang tepat . Hal ini dicapai dengan dekompresi saluran pencernaan, anestesi umum, relaksasi otot, pneumoperitoneum, dan posisi Trendelenburg .

Dekompresi saluran Gastrointestinal dimulai pre-operatif dengan persiapan usus dan intraoperatif dengan orofaring tube atau nasogastric tube setelah induksi anestesi. Tindakan ini dapat mengurangi volume intraabdominal. Tindakan ini juga diperlukan untuk dekompresi udara yang mungkin masuk dari ventilasi masker selama induksi anestesi dan penting untuk mengurangi risiko cedera lambung dari penyisipan jarum Veress (jarum yang digunakan untuk menciptakan kondisi pneumoperitonium).

Dengan induksi anestesi, blokade neuromuskular bertujuan untuk mengendurkan otot-otot dinding perut, sehingga memfasilitasi penempatan port laparascopic dan induksi pneumoperitoneum. Blokade neuromuskular juga mencegah gerakan pasien tiba-tiba yang dapat menyebabkan cedera struktur intra-abdominal oleh instrumen laparaskopik. Pneumoperitoneum dilakukan dengan insuflasi perut, umumnya dengan karbon dioksida (CO2) . Selanjutnya, pasien diposisikan di Trendelenburg, sehingga isi perut jatuh dari perut bagian bawah dan memperlihatkan organ panggul. Tindakan ini menyebabkan sejumlah efek patofisiologis klinis relevan selama operasi.

Page 2: Anestesi Laparoskopi.doc

Efek Fisiologis Bedah Laparoskopi

I. Sistem Kardiovaskular

Efek Hemodinamik Pneumoperitoneum

Gangguan hemodinamik selama laparoskopi secara umum disebabkan oleh pneumoperitoneum. Pneumoperitoneum dilakukan dengan insuflasi perut dengan tekanan 15-20 mmHg. Tekanan intra-abdomen (IAP) normal adalah 0-5 mmHg . Peningkatan IAP di atas 10 mmHg secara klinis signifikan, dan IAP >15mmHg dapat mengakibatkan sindrom kompartemen abdominal, yang mempengaruhi beberapa sistem organ. Manifestasi kardiovaskular dapat dipahami melalui hubungan sederhana berikut, yang menyatakan faktor-faktor penentu tekanan darah :

Mean Arterial Pressure (MAP) = Cardiac Output (CO) x Systemic Vascular Resistance (SVR)

Pneumoperitoneum menyebabkan peningkatan SVR dan penurunan CO. Namun, MAP meningkat secara keseluruhan karena peningkatan SVR melebihi penurunan CO. Efek ini sebanding dengan peningkatan IAP . Mekanisme untuk meningkatkan SVR adalah kompresi dari organ-organ perut dan pembuluh darah. Resistensi pada arteri meningkat karena faktor mekanis dan neurohumoral (pelepasan katekolamin dan vasopressin dan aktivasi sistem renin -angiotensin). Penurunan di CO disebabkan oleh penurunan venous return (penurunan preload jantung) dari kompresi vena cava inferior, dari peningkatan resistensi dalam sirkulasi vena , dan dari hipovolemia karena persiapan pra operasi usus. CO biasanya menurun dari 10-30 %. Namun, meskipun terdapat penurunan volume darah intrakardia, tekanan pengisian intrakardia mungkin meningkat karena tekanan melalui diafragma ke jantung. Terdapat efek analag dalam sirkulasi paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan resistensi vaskuler paru (PVR) dan penurunan CO ke paru-paru.

Pasien sehat memiliki toleransi terhadap efek hemodinamik ini dengan baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa perfusi organ akhir dapat dipertahankan dengan baik meskipun CO menurun. Namun, pasien dengan penyakit jantung mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi. Pasien dengan penurunan volume intravaskular memiliki toleransi yang paling buruk. Untuk meminimalkan efek ini, digunakan tekanan insuflasi terendah untuk mencapai paparan bedah yang adekuat. Idealnya, tekanan insuflasi harus kurang dari 15 mmHg . Peningkatan SVR dapat diatasi dengan vasodilator, alpha-2 agonis sentral, atau opioid. Penurunan venous return dan CO dapat dicegah dengan loading cairan intravena sebelum induksi pneumoperitoneum.

Page 3: Anestesi Laparoskopi.doc

Efek Hemodinamik Posisi

Pada posisi terlentang dan kondisi tidak adanya pneumoperitoneum, posisi Trendelenburg umumnya meningkatkan venous return dan CO. Namun, dengan adanya pneumoperitoneum, venous return dan CO menurun secara keseluruhan. Jika pasien diposisikan Trendelenburg yang ekstrim dapat menyebabkan penurunan venous return dari kepala, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan intraokuler. Jika posisi ini dipertahankan dalam durasi yang lama dapat menyebabkan edema serebral dan ablasi retina. Karena stagnasi vena, mungkin terjadi sianosis dan edema pada wajah dan leher. Posisi head-up (reverse Trendelendburg) mengurangi venous return, yang dapat menyebabkan penurunan CO dan tekanan arteri. Posisi litotomi akan menginduksi auto-transfusi dengan mendistribusikan darah dari pembuluh darah ekstremitas bawah ke dalam kompartemen tubuh sentral, yang akan meningkatkan preload jantung.

Komplikasi Kardiovaskular

Bradiaritmia, disritmia, dan bahkan asistole dapat terjadi selama penyisipan port laparoskopi atau selama insuflasi perut. Peregangan peritoneum mendadak dapat memicu peningkatan tonus vagal yang mendadak, refleksif, dan dalam. Insuflasi CO2 secara lambat dapat mengurangi risiko aritmia. Pemberian obat antikolinergik dianjurkan pada kasus bradiaritmia. Jika aritmia berlanjut, operasi dapat dihentikan dan penumoperitonium dihilangkan.

II . Paru dan Sistem Pernapasan

Pneumoperitoneum

Pneumoperitoneum menyebabkan tekanan pada rongga thorax. Tekanan ke atas mengangkat diafragma, kompresi paru-paru, dan menghambat ekspansi paru-paru dan rongga dada (mengurangi compliance thoracopulmonar). Terdapat 2 implikasi paru dari efek mekanik ini.

Pertama, kompresi paru-paru menyebabkan penurunan kapasitas residual fungsional (FRC), yaitu, volume gas yang tersisa di paru-paru setelah pernafasan normal. Kondisi ini memperparah penurunan FRC yang biasanya terjadi di bawah anestesi umum. Penurunan End-expiratory Lung Volume ini tidak cukup untuk mempertahankan patensi alveoli sehingga menyebabkan atelektasis. Atelektasis mengubah kondisi normal ventilasi dan perfusi. Area paru yang atelektasis memiliki ventilasi yang rendah sehingga menyebabkan hipoksemia. Pasien yang lebih tua sangat beresiko atelektasis, karena End-expiratory Lung Volume minimum yang diperlukan untuk mencegah atelektasis (closing capacity) meningkat seiring dengan usia. Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dapat mengurangi penurunan FRC dengan membuka alveoli yang stenting pada akhir ekspirasi.

Page 4: Anestesi Laparoskopi.doc

Kedua, pneumoperitoneum menyebabkan ventilasi mekanis yang terkontrol lebih sulit karena penurunan compliance thoracopulmonary. Tekanan udara yang lebih besar diperlukan untuk menghasilkan volume tidal yang cukup. Sebaliknya, semakin besar volume tidal mekanik yang diberikan akan menghasilkan tekanan udara yang lebih tinggi. Tekanan ini memberikan efek hemodinamik yang sebanding dengan peningkatan IAP. Kondisi ini mungkin akan diperburuk oleh posisi Trendelenburg dan kondisi yang mengakibatkan penyakit paru restriktif (obesitas). Compliance thoracopulmonary mungkin akan menurun hingga 50 % selama pneumoperitoneum.

Pneumoperitoneum selanjutnya menyebabkan hiperkapnea dari penyerapan sistemik CO2. CO2 adalah gas yang paling sering dipilih untuk insuflasi peritoneal. CO2 adalah pilihan yang nyaman karena mudah diserap ke dalam darah, di-buffer oleh buffer fisiologis (bikarbonat), dan mudah dihilangkan melalui sistem pernapasan. Pada laparoskopi, tekanan parsial CO2 arteri (PaCO2) meningkat pada induksi pneumoperitoneum 15-30 menit kemudiandan mencapai keseimbangan. Derajat hiperkapnea tergantung pada tekanan CO2

insuflasi, tetapi dalam kasus rutin dengan anestesi umum dan ventilasi mekanik yang dikontrol, hiperkapnea mudah dikelola dengan meningkatkan ventilasi alveolar sebesar 10-25 %. Dalam kasus di mana tingkat hiperkapnea menjadi tidak terkendali dengan hiperventilasi saja, pneumoperitoneum dapat dilepas sementara untuk memungkinkan eliminasi CO2.

Posisi

Posisi kepala di bawah umumnya menurunkan FRC, volume paru-paru secara keseluruhan, dan compliance paru-paru. Pasien morbidly obese akan memiliki tekanan udara puncak yang lebih besar dan sering tidak dapat mempertahankan posisi Trendelenburg dalam waktu lama. Meskipun operasi laparoskopi dapat dilakukan pada pasien morbidly obese, setiap operasi harus dievaluasi secara hati-hati untuk kelayakan keberhasilan dan potensi risiko.

C. Komplikasi Paru dan Respiratorik

Emfisema Subkutan CO2

Emfisema subkutan adalah komplikasi pernapasan yang paling umum selama laparoskopi. Hal ini disebabkan oleh peningkatan End-tidal CO2 (EtCO2) >25% atau peningkatan yang terjadi > 30 menit setelah insuflasi. Emfisema subkutan sering dapat teraba. Penyebabnya adalah insuflasi ekstraperitoneal dari CO2. Meskipun dalam beberapa kasus hal ini tidak disengaja, dalam kasus lain emfisema ini diperlukan untuk operasi struktur. Ekstraperitoneal. Kondisi hiperkapnea yang mungkin terjadi dikelola dengan meningkatkan ventilasi mekanis. Emfisema subkutan CO2 bukan merupakan kontraindikasi ekstubasi pada akhir operasi asalkan kriteria ekstubasi lain tercapai.

Pneumotoraks

Page 5: Anestesi Laparoskopi.doc

Gerakan gas dari peritoneum ke dada dapat terjadi melalui locus minoris diafragma. Pneumotoraks ini mungkin asimtomatik, atau bermanifestasi sebagai peningkatan peak airway pressure, penurunan saturasi O2, dan hipotensi. Dalam kasus yang parah, dapat terjadi hipotensi mendalam dan cardiac arrest.

Diagnosis dini dan pengobatan dapat menyelamatkan jiwa. Operasi harus dihentikan dan pneumoperitoneum dilepaskan. Tindakan suportif harus dilakukan sambil mengkonfirmasikan diagnosis, baik secara klinis atau dengan foto thorax. Pneumotoraks dapat diatasi dengan kanula interkostal atau thoracostomy tube. Setelah pasien stabil, pertimbangkan untuk beralih ke teknik pembedahan terbuka.

Intubasi Endobronkial

Elevasi diafragma oleh pneumoperitoneum dapat mengubah posisi ETT dalam trakea. Dalam beberapa kasus, paru-paru didorong ke arah kepala sehingga ETT terdorong melebihi karina dan bronkus. Jika hal ini terjadi, hanya satu paru-paru yang berventilasi. Paru-paru yang tidak berventilasi masih tetap mendapatkan perfusi, dan menjadi sumber shunt intrapulmonar. Intubasi endobronkial dicurigai bila ada penurunan saturasi O2 dan compliance paru. Penurunan compliance terjadi karena volume udara pernapasan normal hanya mencapai 1 paru. Diagnosis dikonfirmasi dengan auskultasi nafas yang tidak simetris. ETT harus sedikit ditarik mengembalikan ventilasi ke 2 sisi paru.

Emboli Gas CO2

Emboli gas, meskipun jarang, memiliki tingkat kematian hampir 30% . Hipotensi berat, aritmia, atau asistole dapat terjadi akibat sumbatan gas di vena kava atau ventrikel kanan yang mengganggu sirkulasi. Penyebab utama adalah insuflasi intravaskular gas akibat penempatan jarum Veress atau Trocar yang tidak tepat ke dalam pembuluh darah maupun parenkim organ. Faktor risiko meliputi histeroskopi, hipovolemia, dan riwayat operasi perut sebelumnya. Emboli gas yang paling sering terjadi pada induksi pneumoperitoneum namun dapat terjadi setiap saat selama operasi.

Manajemen Anestesi

Page 6: Anestesi Laparoskopi.doc

Monitoring Pasien

Pemantauan standar pasien untuk laparoskopi meliputi EKG, monitor tekanan darah non-invasif, pulse oximetry , kapnografi , dan termometer. Monitor neuromuscular junction dapat digunakan untuk memastikan relaksasi otot yang memadai. Airway Pressure Monitor secara rutin digunakan selama ventilasi mekanikal, dan dapat membantu deteksi IAP, intubasi endobronkial, atau bahkan anestesi tidak memadai. Pemantauan tekanan darah invasif dan analisis gas darah harus dipertimbangkan pada pasien dengan usia lanjut atau dengan komorbid kardiopulmonar.

Teknik Anestesi

Berbagai macam teknik anestesi telah digunakan untuk prosedur laparoskopi. Meskipun anestesi umum dengan intubasi endotrakeal paling rutin digunakan dan dianggap teknik anestesi paling aman, anestesi lokal dan regional juga telah digunakan secara aman untuk operasi laparoskopi.

Pilihan agen maintenance lebih pada short-acting seperti Sevofluran, Desfluran, dan Propofol . Karena operasi laparoskopi umumnya telah dilakukan dengan intubasi trakea dan ventilasi terkontrol, maka short atau intermediate-acting neuromuscular blocker harus diberikan berdasarkan durasi operasi. Anestesi umum dapat dilakukan tanpa intubasi dengan aman dan efektif dengan Laryingeal Mask Airway pada pasien non-obesitas. Perhatian harus diberikan pada pasien dengan airway pressure tinggi (>30 cmH2O) atau bila pasien direncanakan head-down ekstrim. Obat reversal seperti Neostigmin dan Glycopyrrolate belum terlibat dalam PONV. Anestesi regional (spinal, epidural) dapat digunakan dalam prosedur laparoskopi (diagnostik, infertilitas, dan sterilisasi tuba).

Pemulihan Pasca Operasi

Monitoring Post Operasi

Perawatan pascaoperasi rutin harus terdiri dari pemantauan yang memadai fungsi organ vital, saturasi oksigen perifer, laju pernapasan, EKG, pengukuran tekanan darah, denyut jantung dan irama. Pemantauan pasca operasi lanjutan mungkin diperlukan pada pasien ASA III dan IV dengan kardiovaskular yang lemah.

Post- Operative Nausea and Vomiting

Post-Operative Nausea and Vomiting (PONV) sering terjadi setelah operasi laparoskopi, meskipun etiologinya tidak cukup jelas. Ondansetron diberikan pada akhir operasi memiliki efek anti emetik secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan pre-induksi. Obat antagonis 5-HT3 lain juga efektif. Selain itu, Deksametason profilaksis dosis tunggal mengurangi insiden mual dan muntah pasca kolesistektomi laparoskopi dan dapat menurunkan tingkat keparahan nyeri tanpa efek samping.

Page 7: Anestesi Laparoskopi.doc

Nyeri Pasca Operasi

Nyeri pasca operasi pada operasi laparoskopi lebih rendah dibandingkan dengan prosedur operasi terbuka, namun nyeri ini masih cukup besar. Penurun nyeri yang paling efektif dapat diperoleh dengan menggabungkan opioid, anestetik lokal, dan NSAIDS dengan analgesia seimbang. Pendekatan ini setidaknya memungkinkan dosis opioid dikurangi dengan menggunakan modalitas lain, sehingga membatasi efek samping, mengurangi nyeri pasca operasi dan analgesiknya, dan memfasilitasi pemulihan kondisi untuk aktivitas normal. Rectus sheath block, infiltrasi lokal pada portal laparoskopi, dan anestesi lokal intraperitoneal dapat digunakan sebagai teknik regional untuk mengurangi nyeri.

Page 8: Anestesi Laparoskopi.doc

Daftar Pustaka

Smith I. Anesthesia for laparoscopy with emphasis on outpatient laparoscopy. Anesthesiol Clin North Am. 2001;19:21-41.

O’Malley C, Cunningham A. Physiology changes during laparoscopy.Anesthesiol Clin North Am. 2001;19:1-19.

Gutt CN, Oniu T, Mehrabi M et al. Circulatory and respiratory complications of carbon dioxide insuflation. Dig Surg. 2004;21:95-105.

Gerges FJ, Kanazi G, Jabbour-khoury S. Anesthesia for laparoscopy: a review. J Clin Anesth. 2006;18:67-78.

Barker L. Positioning on the operating table. Update Anaesth. 2002;15:1-6.

Hirvonen EA, Nuutinen LS, Kauko M. Ventilator effects on blood gas changes and oxygen consumption during laparoscopic hysterectomy. Anesth Analg. 1995;80:961-966.

Rauh R, Hemmerling TM, Rist M et al. Influence of pneumoperitoneum and patient positioning on respiratory system compliance. J Clin Anesth.2001;13:361-365.

Oehler, MK. Robot-assisted surgery in gynaecology. Aust N Z J Obstet Gynaecol. 2009 Apr;49(2):124-9.

Joshi G. Complications of laparoscopy. Anesthesiol Clin North Am. 2001;19:89-105.

Henny CP, Hofland J. Laparoscopic surgery. Surg Endosc. 2005;19:1163-1171.

Karanicolas P, Smith SE, Kanbur, et al. The impact of prophylactic dexamethasone on nausea and vomiting after laparoscopic cholecystectomy. A systematic review and meta-analysis. Ann Surg. 2008;248:751-762.