anestesi

Upload: maspipissembarangan

Post on 15-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

anestesiologi

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PUASA PRE-OPERATIVE PADA PASIEN CRUSH INJURY YANG DILAKUKAN TINDAKAN DEBRIDEMENT + EXPLORE + REPAIR DAN K-WIRE (EXTERNAL FIKSASI) DENGAN REGIONAL ANESTESI (SUBARACHNOID BLOCK)

Oleh:Sri Ratna Widyanti

0910710120

Pembimbing:

dr. Ristiawan Muji L,Sp.An

LABORATORIUM SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG2014

BAB I

PENDAHULUAN

Kata anestesi berarti pembiusan yang merupakan kata berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local / infiltrasi, blok / regional, umum / general. Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan relaksasi otot.

Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya kecelakaan anestesia. Tujuan utama kunjungan pra anestesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter spesialis anestesiologi seharusnya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah untuk menyiapkan pasien agar pasien dalam keadaan bugar pada waktu pasien dibedah. Berbagai penilaian harus dibuat termasuk anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sehingga kebugaran fisik pasien dapat diklasifikasi. Klasifikasi lazim yang digunakan berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Anestesi pada pembedahan darurat menghadapkan ahli anestesi dengan sejumlah tantangan tersendiri. Dengan tingkat aspirasi yang tinggi dalam kasus-kasus darurat dan pasien dengan gangguan kesadaran. Antasida dan obat-obatan prokinetic belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam menurunkan kejadian aspirasi. Sebuah anestesi datang di beberapa unik.

Tindakan dalam penanganan anestesi dalam keadaan darurat merupakan masalah tersendiri. Masalah yang paling sering ditemui adalah pencegahan aspirasi isi lambung dalam beberapa tipe operasi darurat. Anastesi untuk pasien dengan kondisi emergensi terutama pasien trauma, pasien dengan cedera kepala, pasien kebidanan untuk operasi sesar darurat yang perlu penanganan khusus.

Durante operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu hingga dua jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Setelah itu, dilakukan induksi anestesia yaitu membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan cepat dan baik. Setelah itu rumatan anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi dan biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama bedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi Amerika Serikat (ASA) pada 1986 menentukan monitoring standar untuk oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu badan perianestesia untuk semua kasus termasuk anestesia umum, analgesia regional dan pasien dalam keadaan diberikan sedativa sehingga informasi organ vital selama peri anestesia dapat dimonitoring.Setelah pembedahan, pemulihan dari anestesia umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesia secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Sering ditemukan hal-hal tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Crush InjuryCrush injury merupakan suatu kondisi yang jarang ditemukan dalam perawatan trauma namun menjadi sebuah kecelakaan yang penting dalam situasi bencana. Kecelakaan tersebut umumnya ditemukan pada korban keruntuhan bangunan yang diakibatkan oleh gempa bumi, badai, angin topan, pemboman, dan kejadian dalam skala besar yang lain (Sever, 2006). Hal ini penting bahwa personil penolong dan petugas kesehatan saling berkoordinasi dalam menangani korban crush injury karena morbiditas serius dan mortalitas dapat terjadi jika korban tidak mendapat terapi medis yang tepat. Mortalitas lanjut biasanya disebabkan oleh rhabdomyolysis karena adanya crush syndrome, yang merupakan penyebab kematian tersering setelah gempa bumi, bagian dari trauma (Vanholder, 2000). Kecelakaan yang berkaitan dengan gagal ginjal merupakan salah satu komplikasi mengancam jiwa dari crush injury yang dapat dicegah.

Crush injury didefinisikan sebagai kompresi pada ekstremitas atau bagian lain dari tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan neurologis pada area tubuh yang terkena. Biasanya area tubuh yang terkena meliputi ekstremitas bawah (74%), ekstremitas atas (10%), dan badan (9%). Crush syndrome adalah crush injury yang terlokalisir dengan gejala sistemik. Efek gejala sistemik tersebut disebabkan oleh traumatic rhabdomyolysis (pemecahan otot) dan pelepasan komponen sel otot toksik serta elektrolit ke dalam sistem sirkulasi. Crush syndrome dapat menyebabkan luka jaringan lokal, disfungsi organ, dan abnormalitas metabolik meliputi asidosis, hiperkalemia, dan hipokalsemia (CDC, 2009)2.2 FASTING MANAGEMENT

Puasa pre-operasi didefinisikan sebagai waktu yang ditetapkan sebelum operasi dimana pasien tidak diperbolehkan mendapat asupan oral cairan atau makanan padat. Manajemen puasa pra-operasi bertujuan untuk meminimalkan volume residual lambung dan keasaman lambung sebelum operasi atau prosedur lainnya. Hal Ini membantu untuk mencegah regurgitasi, inhalasi dan aspirasi isi lambung yang dapat terjadi selama anestesi umum, anastesi lokal atau sedasi intravena. Namun, jangka waktu puasa yang berkepanjangan dan tidak perlu dapat menyebabkan distress, dehidrasi, ketidakseimbangan biokimia dan hipoglikemia, terutama pada anak-anak. Terdapat juga kecenderungan untuk peningkatan volume lambung setelah puasa yang berkepanjangan.

2.2.1 Pre-operative Assessment

Para konsultan dan anggota ASA (American Society of Anesthesiologist) sangat setuju bahwa review catatan medis pasien yang bersangkutan, pemeriksaan fisik, dan survei pasien atau wawancara harus dilakukan sebagai bagian evaluasi praoperasi. Mereka juga sangat setuju bahwa pasien harus diberitahu tentang persyaratan puasa, dan alasan bagi mereka, sebelum prosedur dilakukan. Selain itu, konsultan dan anggota ASA kuat setuju bahwa verifikasi kepatuhan pasien dengan persyaratan puasa harus dinilai pada saat prosedur.

Ulasan rekam medis yang bersangkutan, pemeriksaan fisik, dan survei pasien atau anamnesa harus dilakukan sebagai bagian evaluasi pra operasi. Riwayat penyakit, pemeriksaan, dan anamnesa harus mencakup penilaian gastroesophageal reflux disease, gejala disfagia, atau gangguan motilitas gastrointestinal lainnya, potensi kesulitan manajemen jalan nafas, dan gangguan metabolisme (misalnya, diabetes mellitus) yang dapat meningkatkan risiko regurgitasi dan aspirasi paru. Ketika rekomendasi puasa tidak diikuti, praktisi harus menjelaskan resiko yang dapat terjadi pada pasien.2.2.2 Pre-operative Fasting Status

Clear Liquid

Untuk bayi yang sehat (kurang dari 2 tahun), anak-anak (2-16 tahun) dan dewasa, dipuasakan dari asupan cairan jernih setidaknya 2 jam sebelum prosedur operasi dengan anastesi general, anastesi regional atau sedasi/analgesik.

Yang termasuk cairan jernih adalah air, jus buah tanpa ampas, minuman berkarbonasi, teh jernih, kopi hitam, dan tidak termasuk alkohol. Dalam hal ini volume cairan yang masuk tidak sepenting jenis cairannya.

Breast milk

Untuk bayi yang sehat (kurang dari 44 minggu) dan anak (kurang dari 2 tahun), dipuasakan dari ASI setidaknya 4 jam sebelum prosedur operasi dengan anastesi general, anastesi regional atau sedasi/analgesik.

Infant formula

Untuk neonatus dan anak (kurang dari 2 tahun), dipuasakan dari susu formula setidaknya 6 jam sebelum prosedur operasi dengan anastesi general, anastesi regional atau sedasi/analgesik.

Solid and nonhuman milk

Pasien dipuasakan dari asupan makanan ringan seperti toast, sereal selama 6 jam atau lebih sebelum prosedur operasi. Pasien harus dipuasakan dari makanan yang digoreng atau berlemak atau daging selama 8 jam atau lebih sebelum prosedur operasi dengan anastesi general, anastesi regional atau sedasi/analgesik. Hal ini dikarenakan makanan yang digoreng, makanan berlemak atau daging membutuhkan waktu pengosongan di lambung yang lebih lama.

Alkohol

Minuman yang mengandung alkohol sebaiknya tidak dikonsumsi pada 24 jam sebelum prosedur operasi karena dapat meningkatkan waktu pengosongan lambung.

Prescribed medication and pre-medication

Premedikaasi dapat diberikan 2 jam sebelum dilakukan operasi dengan air 40) mempunyai peningkatan resio terjadinya regurgitasi dan aspirasi isi lambung selama di bawah general anastesi atau sedasi intravena. Pada kasus ini, harus dilakukan peningkatan PH lambung dan menurunkan volume lambung dengan menggunakan antacid, H-2 antagonist atau PPI. Ranitidine 150mg dapat diberikan 1 malam sebelum operasi dan pada pagi hari sebelum operasi (ASA, 2011).BAB III

LAPORAN KASUS

3.1Identitas Pasien

Nama: Sdr. Yudha Febri LesmanaUsia: 18 tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki

Alamat: Jalan Melon RT1/1 kedopok PasuruanBerat Badan: 55 kg

Register: 11157223Dirawat di: R. 17Tanggal dilakukan Anestesi : 15 Januari 2014Lama anestesi: 3 jam 30 menit (22.00 - 01.30)

Diagnosis pra bedah: Crush Injury Pedis sinistraJenis pembedahan: Debridement + Explore + repair dan k-wire (External Fiksasi)Jenis anestesi: Subarachnoid blok

3.2Pre-Operasi (15 januari 2014)

3.2.1Anamnesa Pre-Operasi

A (Alergy) :Tidak didapatkan Alergi terhadap obat. M (Medication) : tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu

P (Past History of Medication) : riwayat DM (-), HT (-), icterus (-), asma (-) pasien tidak pernah mengecek riwayat penyakitnya.

L (Last Meal) : Pasien terakhir makan dan terakhir minum jam 10.00 (15 Januari 2014). E (Elicit History) : Pasien terjatuh dari sepeda motor karena pasien menabrak pohon. Pingsan (-), muntah (-) 3.2.2Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi

B1: Airway paten, nafas spontan, RR 18x/mnt, Rh (-), Wh(-), mallampati 1, leher ektensi bebas, jarak tiromental lebih dari 6 cm, buka mulut lebih dari 3 jari,

B2: akral hangat, kering, merah, nadi 88x/mnt, TD 116/65, CRT < 2", S1S2 single regular, murmur (-)

B3: GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+

B4: BAK spontan (+), urin warna kuning (+), produksi urine 500cc (dibuang) B5: BU (+) N, mual (-), muntah (-)

B6: Crush Injury Pedis sinistra3.2.3Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi

Darah Lengkap

Hb

:12,70 gr/dl

(N : 11 - 16,5 gr/dl)

Leukosit: 19.720 /l

(N : 3.500 - 10.000 /l)

Trombosit: 260.000 /l

(N : 150.000 - 390.000 /l)

PCV

: 37,20 %

(N : 35,0 - 50,0 %)

Serum Elektrolit

Natrium: 137 mmol/l

(N : 136 - 145 mmol/l)

Kalium

: 3.96 mmol/l

(N : 3,5 - 5,0 mmol/l)

Chlorida: 106 mmol/l

(N : 98 - 106 mmol/l)

Faal Hemostasis

PPT

: 12,8 detik

(Kontrol 10,6 detik)

APTT

: 25,2 detik

(Kontrol 25,4 detik)

Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka pasien ini dikategorikan ke dalam ASA 2 + leukositosis

Rencana tindakan anestesi= Subarachnoid blok

3.3Durante Operasi

3.3.1Laporan Anestesi Durante Operatif

Jenis anestesi

: anestesi regional

Teknik anestesi: Subarachnoid blok

Lama anestesi: 22.00 - 01.30

Lama operasi

: 22.25 - 01.30 Premedikasi

: 1. Ranitidin 50 mg iv (diberikan 1 jam preoperatif)3.3.2 Teknik Operasi Subarachnoid blok

Teknik Anestesi Sub-Arachnoid:

1. Menempatkan pasien di atas meja operasi dengan posisi duduk dan agak membungkuk dengan merangkul bantal.

2. Menentukan tempat tusukan yaitu di sekitar Vertebra Lumbal 4-5.

3. Mensterilkan tempat tusukan dengan betadin dan memasang doek steril.

4. Memberikan infiltrasi lokal pada tempat tusukan, yaitu dengan lidokain 2% secukupnya.

5. Insersi spinocanh no.27 ke dalam ruang sub-arachnoid, dengan cara mendorong spinocanh sampai menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang kemudian dilanjutkan dengan memasukkan Bupivakain 0.5 % heavy + morfin 0.1 mg .

6. Tempat penusukan di bersihkan kembali kemudian di tutup dengan kassa.

7. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan.

8. Pasien diposisikan pada posisi supine, head up 15.

9. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.

3.3.3Pemberian Cairan

Cairan masuk:

Pre operatif: RL 1000 cc

Durante operatif : RL 2000 cc

Cairan keluar:

Perdarahan: + 300 cc

Produksi urin: Preoperatf : 500 cc (dibuang)

Durante operatif : 300 cc

EBV: 3500 cc

ABL: 1200

M: 90 cc/jam

O2: 100cc

3.4Postoperatif

3.4.1Laporan Anestesi Postoperatif di RR jam 01.30

Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik:B1: airway paten, nafas spontan dengan O2 nasal canul 3 lpm, RR 20x/menit RH(-),Wh(-).

B2: akral hangat, kulit merah, nadi 75x/menit, TD 122/59 mmHg

B3: GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+B4: DC(+) PU 500ccB5: BU (+), soefl, mual (-), muntah (-)

B6: mobilitas terbatas Terapi Pasca Bedah

IVFD RL 20 tpm+Tramadol 100 mg

IVFD RL/NS 90 cc/jam Inj. Metoclopramide 3x10 mg Inj. Ketorolac 3x30mg iv3.4.2 R. 1716/1/2014

B1: airway paten, RR 20x/menit, RH(-), Wh(-)B2: akral hangat, Nadi 80 x/menit, TD 120/60 mmHgB3: GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+

B4: DC(+) PU: 25-50 cc/jam

B5: BU (+), soefl, mual (-), muntah (-)

B6: mobilitas terbatasTerapi: IVFD RL 20 tpm Inj. Ceftriaxon 2x I gr Inj. Gentamicin 2x 80 mg Inj. Ranitidin 2x50 mg iv Inj. Ketorolac 3x10 mg iv.BAB IV

PEMBAHASAN

Pada tanggal 15 januari 2014, pasien Sdr.yudha , laki-laki berusia 18 tahun datang ke Instalasi Rawat Darurat RSSA Malang setelah sebelumnya dari Rumah sakit Probolinggo dengan keluhan utama patah tulang kaki kiri setelah jatuh sendiri dari sepeda motor yang dikendarainya di siang hari karena menhindari mobil disepannya sehingga menabrak pohon.

Dari anamnesis didapatkan pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan, pemakaian obat jangka panjang disangkal, juga tidak memiliki riwayat DM, hipertensi maupun asma sebelumnya. Pasien terakhir makan pukul 20.00 (14 januari 2014), terakhir minum jam 10.00 (15 Januari 2014). Dari pemeriksaan fisik didapatkan :

B1: Airway paten, nafas spontan, RR 18x/mnt, Rh (-), Wh(-), mallampati 1, leher ektensi bebas, jarak tiromental lebih dari 6 cm, buka mulut lebih dari 3 jari,

B2: akral hangat, kering, merah, nadi 88x/mnt, TD 116/65, CRT < 2", S1S2 single regular, murmur (-)

B3: GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+

B4: BAK spontan (+), urin warna kuning (+), produksi urine 500cc (dibuang)

B5: BU (+) N, mual (-), muntah (-)

B6: Crush Injury Pedis sinistra

Dari pemeriksaan fisik di atas, pasien tidak dalam kondisi shock. Dan dari hasil laboratorium didapatkan kelainan berupa leukositosis senilai 19.720 /l, Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 2 dengan leukositosis.

Operasi Debridement + Explore + repair dan k-wire (External Fiksasi) akan dilakukan segera pada tanggal 15 Januari 2014, telah dilakukan visite pre-operasi pada pasien, dengan diagnosis crush injury pedis sinistra. Pada pasien direncanakan untuk dilakukan anestesi regional dengan teknik subarachnoid block.

Dari anamnesis didapatkan pasien terakhir mengkonsumsi makanan padat pukul 10.00 pagi (15 januari 2014). Dari kasus, didapatkan bahwa pasien sudah berpuasa dari makanan padat 12 jam sebelum tindakan operasi dilakukan. Hal ini sesuai dengan pedoman American Society of Anesthesiologists (ASA) bahwa pasien harus berpuasa dari makanan padat minimal 8 jam sebelum dilakukan tindakan operasi. Pedoman puasa preoperative ini harus disertai pengawasan secara ketat karena dikhawatirkan adanya hipoglikemia.

Tubuh akan merespon keadaan hipogilkmia dengan mengaktifkan proses gluconeogenesis dan glikolisiis sehingga akan memecah cadangan glukosa otot. Efek samping dari metabolism ini adalah badan keton yang akan memperparah terjadinya iskemia otot. Adanya iskemia akan menyebabkan otot melepaskan myoglobin sehingga menjadi myogobinuria yang berakibat terjadinya kerusakan ginjal.

Dari anamnesis juga didapatkan pasien terakhir minum pukul 10.00 pagi. Dari kasus, didapatkan bahwa pasien sudah berpuasa dari minuman (clear fluid) selama 12 jam. Hal ini sesuai dengan pedoman American Society of Anesthesiologists (ASA) bahwa pasien harus berpuasa selama minimal 2 jam sebelum dilakukan tindakan operasi. Namun perlu diwaspadai adanya tanda-tanda dehidrasi pada pasien ini karena dari kasus pasien sudah berpuasa dari cairan selama 12 jam. Untuk mengatasi hal itu maka pasien bisa mulai diberikan cairan secara intravena. Pada crush injury, keadaan dehidrasi akan memperparah terjadinya kerusakan ginjal yang diakibatkan adanya mioglobinuria yang muncul akibat adanya iskemia pada otot. Kerusakan ginjal ini dapat berakibat menjadi aritmia jantung. Selain itu dehidrasi juga akan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit yang juga akan memperparah terjadinya aritmia jantung.Setelah operasi pasien bisa langsung diberikan makanan atau cairan agar tidak terjadi dehidrasi maupun hipoglikemia. Selain itu pemberian nutrisi yang adekuat diperlukan tubuh untuk mempercepat pemulihan setelah operasi. Pada kasus ini pasien diberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein setelah operasi selesai dilaksanakan dan pasien berada dalam kondisi stabil. BAB V

PENUTUP

Pasien Sdr.yudha , laki-laki berusia 18 tahun datang ke Instalasi Rawat Darurat RSSA Malang setelah sebelumnya dari Rumah sakit Probolinggo dengan keluhan utama patah tulang kaki kiri setelah jatuh sendiri dari sepeda motor yang dikendarainya di siang hari karena menhindari mobil disepannya sehingga menabrak pohon.Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 2 dengan leukositosis. Operasi Debridement + Explore + repair dan k-wire (External Fiksasi) akan dilakukan segera pada tanggal 15 Januari 2014, telah dilakukan visite pre-operasi pada pasien, dengan diagnosis crush injury pedis sinistra. Pada pasien direncanakan untuk dilakukan anestesi regional dengan teknik subarachnoid block.

Pasien terakhir makan pukul 20.00 (14 januari 2014), terakhir minum jam 10.00 (15 Januari 2014). Setelah kecelakaan terjadi pasien dibawa kerumah sakit probolinggo, dan pasien diminta untuk berpuasa untuk disiapkan operasi di RSSA. Pasien bias dikatakan sudah berpuasa dari makan lebih dari 6 jam dan berpuasa minuman lebih dari 2 jam. Hal ini sesuai dengan pedoman dari ASA sehingga resiko aspirasi isi lambung dapat menjadi minimal.

DAFTAR PUSTAKAAmerican Society of Anesthesiologists(ASA): Practice guideline for preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patient undergoing elective procedures - an updated report by the American society of anethesiologists committee on standards and practice parameters. Anesthesiology 2011;114:495-511.

Barbera J, Kunkle RF. Shattering the myths about crush syndrome. Jounal of English Medicines: 1992;52-62.

Better OS. Rescue and salvage of casualties suffering from the crush syndrome after mass disasters. Mil Med 1999;164(5):366-369.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2009. Blast Injuries: Crush Injury and Crush Syndrome. U.S Department of Health and Human Service, June 2009. www.emergency.cdc.gov/BlastInjuriesDernus komba, 2013. Crush Injury Regio Cruris Sinistra. Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih RSU DOK II Jayapura. Papua

Hasbullah Kasim J, Bethari Pusponing Fadli, 2013. Manajemen Terbaru Fraktur Terbuka Ekstremitas Bawah. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Malinoski DJ, Slater MS, Mullins RJ. 2004. Crush injury and rhabdomyolysis. Crit Care Clin 20 (2004) 171 192

Sever MS, Vanholder R, Lameire N. 2006. Management of Crush-Related Injuries after Disasters. The new england journal of medicine; march 9, 2006: 354:10.

Vanholder R, Sever MS, Erek E, Lameire N. Acute renal failure related to

crush syndrome: towards an era of seismo-nephrology? Nephrol Dial Transplant 2000;15:1517-21.