analisis wacana tgs akhir

18

Click here to load reader

Upload: heru-setyawan

Post on 28-Jun-2015

137 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Wacana Tgs Akhir

ANALISIS WACANA TEKS BERITA

Disusun untuk memnuhi tugas akhir mata kuliah Wacana

Dosen pembimbing Dr.H.Imam Baihaki,M.Pd.

Disusun oleh:

Nama: Maria Ulfa

NPM:07.1.01.07.0037

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SATRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NUSATARA PGRI KEDIRI

JANUARI 2011

Page 2: Analisis Wacana Tgs Akhir

BAB I

PENGANTAR

Wacana yang dianalisis ini merupakan teks wacana berita. Yang membahas masalah

anatara pemerintah dengan masyarkat Yogja.Dua sistem pemerintahan yang memiliki ciri

berbeda memang tidak bisa disandingkan atau berada dalam satu tempat. Demokrasi

mendahulukan aspirasi rakyat dan suara rakyat.Sistem monarki bergerak sesuai dengan

keputusan raja tanpa mendengarkan pendapat rakyat. Inilah yang dianggap Presiden SBY

sebagai penyebab tidak bolehnya diabaikan serta tidak boleh ada sistem monarki yang bisa

bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi, hal ini bisa menuai kontroversi.

Akan tetapi, justru pernyataan presidenlah yang menimbulkan kontrtovesi. Hal ini karena

masyarakat Yogja tidak bisa menerima pernnyataan tersebut. Masyarakat menganggap bahwa

sistem kerajaan atau kesultanan di Yogja bukanlah sistem politik, namun hanya

mempertahankan budaya dan sejarah.

Perbedaan pendapat antara presiden dengan masyarakat Yogja berlanjut hingga perlu

diadakan sidang rakyat.Para rakyat menolak peranyataan tersebut dan akan tetap

mempertahankan warisan budaya dan sejarah yang dimiliki. Baik dari sistem kerajaan ayng

dimiliki mauupun wariasan budaya lain yang telah dimaklumat sebagai suatu keistimewaan

yang dimiliki.

Page 3: Analisis Wacana Tgs Akhir

BAB II

PEMBAHASAN

TEKS BERITA

Opini

Kontroversi Demokrasi versus Monarki

Selasa, 30 November 2010 - 10:49 wib

PERNYATAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sidang Kabinet,

Jumat (26/11/2010), bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, di

mana nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan serta tidak boleh ada sistem monarki

yang bisa bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi, menuai

kontroversi.

Sehari kemudian, Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang

merangkap Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menanggapi,“DIY

bukanlah monarki. Namun, jika jabatan gubernur yang juga dijabat Sultan Yogyakarta

dianggap pemerintah pusat sebagai penghambat proses penataan DIY, saya bersedia

meninjau kembali jabatan gubernur tersebut.”

Silang pendapat antara Presiden SBY dan Sri Sultan itu terkait dengan pembahasan

Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK

DIY). RUUK DIY sebenarnya sudah disusun oleh Pemerintah Provinsi DIY pada

2000 dan diajukan ke pemerintah pusat agar dibahas di DPR pada 2002. Namun,

karena DIY bukan provinsi yang ada gerakan separatis seperti di Papua dan Aceh,

pembahasan mengenai RUUK DIY tidak mendapatkan tanggapan positif dari

pemerintah dan Dewan saat itu.

Sebenarnya RUUK DIY sepatutnya membahas apa saja keistimewaan DIY. Bukan

hanya persoalan rekrutmen kepala daerah, melainkan lebih dari itu, yakni hak-hak dan

wewenang istimewa apa yang dimiliki Pemprov DIY dalam melaksanakan

pemerintahannya, baik di bidang politik, sosial, budaya, pertanahan, tata ruang, dan

Page 4: Analisis Wacana Tgs Akhir

pendidikan.

Entah mengapa, kontroversi mengenai keistimewaan DIY justru dipersempit menjadi

apakah Raja atau Sultan Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur DIY dan Paku Alam

otomatis menjadi Wakil Gubernur DIY. Jika merujuk pada sejarah, keistimewaan

Yogyakarta diakui sejak masa kolonial Belanda dan Jepang. Sultan Hamengku

Buwono IX adalah penguasa Yogyakarta yang diberi wewenang penuh oleh

Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk mengatur pemerintahan di Yogyakarta.

Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan kolonial dari tangan Belanda pada 1942,

penguasa militer Dai Nippon di Jakarta juga mengangkat Sultan Yogyakarta sebagai

penguasa tunggal di Yogyakarta. Walau Sri Sultan Hamengku Buwono IX

berpendidikan Belanda, saat Belanda kembali ke Indonesia setelah Jepang menyerah

kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, beliau menunjukkan sikap nasionalismenya

yang tinggi sebagai pendukung kemerdekaan Republik Indonesia.

Seperti para pemimpin di Aceh, Sultan Yogyakarta juga mendukung proklamasi

kemerdekaan RI dan menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Tak cuma itu, pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku

Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII membuat Maklumat Politik menegaskan kembali

bergabungnya Yogyakarta sebagai bagian dari NKRI.

Patut diingat bahwa wilayah Republik Indonesia saat itu masih sangat terbatas di

beberapa bagian Sumatera, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di

tengah wilayah-wilayah yang masih dikuasai Belanda yang kemudian menjadi

negara-negara Pasundan, Madura, Negara Indonesia Timur, dan lain sebagainya.

Saat keberadaan Republik Indonesia semakin di ujung tanduk, sesuai dengan

Perjanjian Linggarjati, adalah Sultan Hamengku Buwono IX yang memberi tempat

perlindungan kepada para pemimpin republik dan memberi wilayah Yogyakarta

sebagai ibu kota perjuangan Republik Indonesia. Tidaklah mengherankan jika pada 15

Agustus 1950 pemerintah RI memberikan keistimewaan kepada Aceh dan Yogyakarta

karena dukungan penuh mereka kepada Republik yang masih muda itu.

Page 5: Analisis Wacana Tgs Akhir

Sultan Hamengku Buwono IX adalah juga seorang republikan sejati, walau ia seorang

sultan atau raja. Sumbangsih Kesultanan Ngayogyakarta bukan hanya dukungan

politik semata, melainkan juga dana dan wilayah. Tanah yang digunakan oleh

Universitas Gadjah Mada adalah tanah Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta juga

pernah menjadi ibu kota negara saat Jakarta digempur dan diduduki Belanda.

Adalah Sultan Yogya pula yang memberi inspirasi dan dukungan penuh kepada

tentara di bawah Letnan Kolonel Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI kedua)

untuk melakukan Serangan 1 Maret 1948 sebagai simbol bahwa Republik Indonesia

masih ada. Seperti kata Bung Karno, kita sebagai bangsa, apalagi pimpinan nasional,

“Jangan sekali-sekali melupakan sejarah (Jas Merah)!”

Satu hal penting lainnya, keistimewaan Yogyakarta dan Aceh juga dijamin

keberadaannya oleh konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 Pasal 18B. Karena itu, keistimewaan Yogyakarta dengan segala

bentuk kesultanannya berada di bawah naungan atau berada di bawah payung hukum

konstitusi negara kita. Pertanyaannya, apakah Yogyakarta sebuah monarki? Jika kita

membaca buku Sultan Hamengku Buwono IX, Tahta untuk Rakyat, jelas Yogyakarta

bukanlah suatu monarki absolut, melainkan suatu monarki kultural sebagai akibat dari

bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI.

Buku Tahta untuk Rakyat juga memperlihatkan betapa Yogyakarta bukan lagi

Monarki Politik. Sebagai Ngarso Dalem atau raja, Sultan Hamengku Buwono IX dan

diteruskan oleh Sultan Hamengku Buwono X benar-benar mengabdikan dirinya untuk

kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya. Tengok misalnya saat Sri Sultan Hamengku

Buwono X menyatakan tidak lagi bersedia menjadi Gubernur DIY, rakyat

Yogyakarta, termasuk mereka yang berasal dari luar Jawa, langsung menentang

keputusan tersebut.

Bahkan, pada 28 Maret 2008 ribuan rakyat melakukan Sidang Rakyat di halaman

Gedung DPRD DIY yang intinya tetap mendukung Sultan sebagai Gubernur DIY.

Lalu apakah monarki bertentangan dengan demokrasi? Jawabnya, jika sistem monarki

itu bersifat absolut, jelas itu bertentangan dengan demokrasi. Dengan demikian, bukan

monarkinya yang bertentangan dengan demokrasi, melainkan absolutismenya.

Page 6: Analisis Wacana Tgs Akhir

Tengok misalnya bagaimana perubahan monarki di Inggris dari monarki absolut

menjadi monarki konstitusional yang didahului dengan kontrak sosial antara raja dan

rakyat yang kemudian menumbuhkan sistem monarki konstitusional di mana ada

sistem perwakilan dua kamar: House of Lord untuk kaum bangsawan dan House of

Common untuk wakil rakyat kebanyakan.

Demokrasi juga mengandung kelemahan tersendiri jika tirani mayoritas lebih

dikedepankan ketimbang musyawarah untuk mufakat. Tirani mayoritas yang

mengedepankan sistem voting lebih menjurus pada kemenangan kelompok mayoritas

dan mengesampingkan kelompok-kelompok minoritas dalam sistem politik yang ada.

Sementara musyawarah mufakat atau unonimous decision lebih mengedepankan

kebersamaan atau kepemilikan bersama atas keputusan politik yang diambil.

Ini bukan hanya berlaku di Indonesia dan sesuai dengan sila keempat dari Pancasila,

melainkan juga berlaku di negara-negara barat. Jika tidak, mana mungkin ada

terminologi unonimous decision atau keputusan politik yang didukung oleh semua

kekuatan politik yang ada di parlemen. Demokrasi melalui voting memang sah

asalkan semua kekuatan politik, baik yang menang maupun yang kalah, menghormati

hasil dari democratic bargaining tersebut.

Dalam terminologi Jawa dikenal, bagi yang menang, “Menang tanpa ngasorake” atau

kemenangan tanpa harus menafikan kelompok minoritas atau menyoraki yang kalah.

Bagi yang kalah, terdapat kewajiban untuk menerima kekalahan politik tanpa

membuat keonaran atau “Kalah tanpa banda.” Kelemahan lain dari demokrasi ialah

jika yang berlaku adalah democratic auuthoritarianism, yakni menggunakan sistem

demokrasi untuk menjalankan sistem otoriter seperti yang dilakukan Hitler setelah

terpilih menjadi Kanselir Jerman pada 1933.

Lebih buruk lagi jika democratic authoritarianism juga menciptakan presidential

monarch seperti pada era Orde Baru, yaitu karena kemenangan politiknya, seorang

presiden menjalankan pemerintahannya tanpa adanya pengawasan dari parlemen atau

menjalankan pemerintahan dengan tangan besi sendirian. Sistem presidensial adalah

sistem demokrasi, tetapi bila digabung dengan monarch (gabungan dari kata mono

Page 7: Analisis Wacana Tgs Akhir

dan arch atau satu tangan) bisa menjurus pada sistem pemerintahan yang otoriter.

Sebagai “kawan” yang dulu sama-sama duduk dalam tim reformasi politik yang

dikoordinasi oleh Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono di era pemerintahan

Presiden BJ Habibie, penulis hanya mengingatkan Presiden SBY agar “Jangan sekali-

sekali melupakan Sejarah” bangsa kita. Perseteruan antara Presiden SBY dan Sri

Sultan Hamengku Buwono X, jangan sampai merusak tatanan keistimewaan DIY.

Persoalan negara harus lebih dikedepankan ketimbang persoalan pribadi. Presiden

SBY justru dapat dituduh sebagai pemimpin nasional yang tidak memahami sejarah

bangsa dan mengabaikan konstitusi negara jika memaksakan kehendak politiknya

mengeliminasi kekuasaan Sultan Yogyakarta yang adalah bagian tak terpisahkan dari

keistimewaan DIY.

Jangkauan kekuasaan (range of power), domain kekuasaan (domain of power), dan

lingkup kekuasaan (scope of power) pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di

era reformasi ini, terlebih lagi di daerah yang menurut konstitusi negara dijamin

keistimewaannya dan juga dijamin kekhususan otonominya sesuai dengan UU yang

berlaku memang ada batasnya.

Kita tentunya tidak ingin Presiden SBY terjerembab menerapkan democratic

authoritarianism dan presidential monarch terkait dengan keistimewaan DIY ini.

Sejauh tahta sultan untuk rakyat, apalagi sultan bukanlah seorang raja yang

menjalankan kekuasaannya secara absolut, Kesultanan Yogyakarta bukanlah monarki

politik dan tidak bertentangan dengan demokrasi.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI

Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

file:///H:/net/kontroversi-demokrasi-versus-monarki.htm

Page 8: Analisis Wacana Tgs Akhir

ANALISIS

1. Tema : Sistem Pemerintahan2. Topik : kontrovesi Demokrasi VS Monarki di Yogjakarta3. Sruktur (Pola) : Piramida terbalik

Wacana teks berita diatas memakai pola piramida terbalik. Pola piramida terbalik ini terdiri dari headline(judul) yang ditulis paling atas,kemudian lead(teras berita) ini merupakan hal yang paling penting dari suatu berita. Lead tersebut dikembangkan lagi menjadi body atau tubuh,setelah itu berkembang lagi menjadi kaki berita,yang merupakan penjabaran dari poin berita. Yang berupa penjelasan ringan. Lebih jelasnya bentuk piramida terbalik seperti pada gambar dibawah.

Wacana teks berita diatas berjudul Kontroversi Demokrasi versus Monarki. Judul ini

kemudian dilanjutkan dengan teras berita. Teras berita pada wacana ini yaitu pernyataan

presiden SBY yang menimbulkan kontrovesi. Ini adalah hal yang paling penting dari berita.

Pernyatan presiden yang menjadi teras berita yaitu sebagi berikut.

PERNYATAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sidang Kabinet, Jumat

(26/11/2010), bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, di mana

nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan serta tidak boleh ada sistem monarki

yang bisa bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi, menuai

kontroversi.

Page 9: Analisis Wacana Tgs Akhir

Teras berita diatas kemudian dikembangkan menjadi tubuh berita. Tubuh berita dari

wacana ini yaitu berupa sejarah dan jasa besar daerah Yogjakarta terhadap pemerintah

Indonesia. Jasa ini berupa dukungan saat kemerdekaan serta sumbangsih daerah Yogjakrata

menyumbangkan wilayahnya baik untuk dijadikan ibu kota negara maupun area kampus

Gajah Mada. Tubuh berita ini kemudian dikeembangkan lagi menjadi kaki berita. Kaki berita

dalam wacana ini yaitu berupa pemaparan tentang seharusnya presiden tidak melupakan

sejarah. Dan tentang kekuasaan kesultanan Yogjakarta. Bahwa kekuasaan Sultan Yogjakarta

bukanlah kekuasaan yang absolut. Monarki yang berada dalam Yogja bukanlah suatu sistem

politik.

Sejauh tahta sultan untuk rakyat, apalagi sultan bukanlah seorang raja yang

menjalankan kekuasaannya secara absolut, Kesultanan Yogyakarta bukanlah

monarki politik dan tidak bertentangan dengan demokrasi.

4. Bukti penggunaan benang pengikat wacana berupa kohesi dan koherens

Kohesi yaitu kepaduan atau keutuhan sedangkan koherensi adalah pertalian atau

hubungan. Kohesi juga memiliki pengertian keserasian hubungan antara unsur yang satu

dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang padu atau koheren.

Alat-alat gramatikal yang digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif yaitu:

konjungsi,menggunakan kata ganti,menggunakan elipsis. Selain dengan upaya gramatikal

sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga dibuat dengan bantuan semantik. Yaitu:

menggunakan hubungan pertentangan,menggunakan hubungan generik-spesifik ataupun

sebaliknya,menggunakan hubungan sebab-akibat,menggunakan hubungan

tujuan,menggunakan hubungan rujukan.

Beberapa benang pengikat wacana yang dipakai yaitu:Konjungsi yang digunakan

pada wacana ini diantara:atau,bahwa,karena,agar,dan,serta, namun,,jika,dengan. Misalnya

pada penggalan teks berita berikut.

Silang pendapat antara Presiden SBY dan Sri Sultan itu terkait dengan pembahasan

Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY).

RUUK DIY sebenarnya sudah disusun oleh Pemerintah Provinsi DIY pada 2000 dan

diajukan ke pemerintah pusat agar dibahas di DPR pada 2002. Namun, karena DIY

bukan provinsi yang ada gerakan separatis seperti di Papua dan Aceh, pembahasan

Page 10: Analisis Wacana Tgs Akhir

mengenai RUUK DIY tidak mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah dan Dewan

saat itu.

Lebih buruk lagi jika democratic authoritarianism juga menciptakan presidential

monarch seperti pada era Orde Baru, yaitu karena kemenangan politiknya, seorang

presiden menjalankan pemerintahannya tanpa adanya pengawasan dari parlemen atau

menjalankan pemerintahan dengan tangan besi sendirian.

Kata ganti yang digunakan diantaranya yaitu saya,kita. Hubungan pertentangan pada

kalimat berikut.

Namun, jika jabatan gubernur yang juga dijabat Sultan Yogyakarta dianggap

pemerintah pusat sebagai penghambat proses penataan DIY, saya bersedia meninjau

kembali jabatan gubernur tersebut.”

Sebagai “kawan” yang dulu sama-sama duduk dalam tim reformasi politik yang

dikoordinasi oleh Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono di era pemerintahan Presiden

BJ Habibie, penulis hanya mengingatkan Presiden SBY agar “Jangan sekali-sekali

melupakan Sejarah” bangsa kita.

5. Konteks

A. Situasi

Teks berita ini muncul setelah adanya pernyataan Presiden SBY yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, di mana nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan serta tidak boleh ada sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi, menuai kontroversi. Hal ini menjadikan warga Yogjakarata merasa tersinggung akan keistimewaan yang disandangkgangnya selama ini. Masyarakat Yogja menilai bahwa presiden tidak menghargai jasa serta keistimewaan Yogja. Begitu besar peran Yogja dalam masa penjajahan hingga saat ini,termasuk dipakainya wilayah keraton Yogaj untuk UGM.Tentu mereka tidak setuju dengan rencana penghapusan keistimewaan Yogja dari segi kerajaan. Justru masyarkat Yogja menginginkan kejelasan dari keistimewaan yang dimiliki dari segi apa saja. Masyarakat Yogja akan mempertahankan keistimewaan yang dimiliki. Oleh karena itulah, diadakan sidang rakyat untuk mempertahankan keistimewaan tersebut.

Page 11: Analisis Wacana Tgs Akhir

B.SosialSistem budaya kerajaan di Yogja dianggap bertentangan dengan sistem politik

demokrasi yang dianut oleh Indonesia. meskipun masyarakat Yogja menganut sistem kerajaan namun, itu diannggap sebagai keistimewaan. Yogja bukan menganut sistem monarki secara politik namun hanya memepertahankan budaya,dan Yogja pun tetap mengakui diri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Inilah yang mendasari pendapat Yogja bukanlah pembangkang sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.

6. Fungsi Teksa) Representasi

Pada teks berita ini dikutip pendapat Presiden SBY untuk dikomentari. Selanjutnya pendapat tersebut diuraikan seakan-akan adalalah pendapat yang tidak didukung oleh semua rakyat Yogja. Hal ini karena penghapusan sistem kerajaan Yogja berarti menghapus budaya dan wariasan sejarah.Berita ini juga merepresentasikan kekuasaan yang” memimpin”.

b) RelasiBerita ini menempatkan hubungan dengan rakyat Yogjakarta. Pembaca dihadapkan pada masalah yang sedang dihadapi Yogja serta diajak masuk menyelami masalah tersebut.

c) IdentitasMelalui berita ini penulis memngidentifikasi diri sebagai masyrakat Yogja. Yang telah banyak berjasa pada bangsa Indonesia. Tak ingin keistitmewaan yang dimiliki selama ini dihapuskan begitu saja. Sistem keraton Yogja bukannlah sistem politik,namun ini adlah upaya untuk mempertahankan warisan budaya dan sejarah.

Page 12: Analisis Wacana Tgs Akhir

BAB III

SIMPULAN

Wacana berita diatas disusun dengan pola piramida terbalik. Ini artinnya berita

disajikan dari hal-hal yang terpenting. Baru setelah itu teks berita dikembangkan pada hal-hal

yang kurang penting. Hal terpenting dalam berita disebut dengnan lead. Lead ini kadang juga

disebut dengan teras berita. Yang menjadi teras berita dalam teks ini yaitu pernyataan

presiden yang pada intinya menolak adanya sistem monarki didalam sistem pemerintahan

demokrasi yang dianut Indonesia. Akhirnya hal ini menimbulkan kontrovesi dari pihak

masyarakat Yogja dengan pernyataan tersebut. Berita ini ditulis setelah pernyataan tersebut

muncul. Dengan latar belakang budaya masyarakat Yogja yang menganut sistem budaya

kesultanan.

Wacana berita ini menggambarkan beggitu besarnya jasa yang telah diberikan Yogja

pada bangsa Indonesia. Oleh kerana itulah, seharusnya pemerintah mampu melindungi

budaya dan sejarah tersebut bukan menjadikan urusan pribadi untuk menghapuskakn hal

tersebut.Penulis disini memngidentifikasi diri sebagai masyarakat Yogja. Yang menolak

pernyataan tersebut meskipun datangnya dari presiden.