analisis pendapatan, nilai tambah, dan prospek ... · keragaan industri tapioka di indonesia 10...

80
ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA DI JAWA BARAT Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor NORA ASFIA DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: buihanh

Post on 15-Mar-2019

271 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA

DI JAWA BARAT

Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja

Kabupaten Bogor

NORA ASFIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

Page 2: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan
Page 3: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan,

Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Nora Asfia

NIM H34090060

Page 4: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

2

ABSTRAK

NORA ASFIA. Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek

Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat. Dibimbing oleh

RACHMAT PAMBUDY.

Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di

Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka,

namun monopolisasi harga industri derivatif, inkontinyuitas bahan baku, dan

kurangnya induksi teknologi mengakibatkan penurunan pendapatan para pengrajin

tapioka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat profitabilitas dan

nilai tambah yang diberikan dari industri kecil tapioka, serta mengetahui prospek

pengembangannya dilihat dari adanya ketersediaan input dan peluang pasar. Alat

analisis yang digunakan yaitu R/C ratio, analisis titik impas, dan analisis nilai

tambah dengan menggunakan Metode Hayami. Hasil analisis menunjukkan bahwa

rataan rendemen bahan baku menjadi tapioka yaitu sebesar 21.67% dan ampas

sebesar 6.04% sehingga industri kecil tapioka masih memberikan keuntungan

kepada pengarjin tapioka dengan R/C rasio lebih dari 1. Nilai tambah yang

diberikan oleh industri kecil tapioka yaitu 17.09%. Untuk meningkatkan daya

saingnya, industri kecil tapioka perlu untuk meningkatkan kualitas tapioka hasil

produksi dan memantau kualitas produksi secara konsisten.

Kata Kunci : tapioka, nilai tambah, pendapatan, industri kecil

ABSTRACT

NORA ASFIA. Income Analysis, Added Value and Developing Prospect of

Small-sized Tapioca Industry in West Java. Supervised by RACHMAT

PAMBUDY.

Industry sector which is still surviving and pretty much developed in West

Java is tapioca small-sized industry, but derivative industry prices

monopolization, incontinuity of raw materials, and also less technology

inductions are potensially decrease the revenue of business owner. The purpose of

this study are to gain knowledge on the income and value added given by the

tapioca industry, and to examine the prospect of developing tapioca industry from

the input side and market opportunity. The analyses are separated into income

analysis with R/C Ratio, break even point analysis, value added analysis with

Hayami Method, and statistical descriptive analysis. From the study it can be

conclude that the average business owners produced 100 kg of raw materials

which then will produce 21.67 kg raw tapioca and 6.04 kg waste. Average R/C

ratio of business owner and production factor owner is more than 1 that means

this small-sized tapioca industry still gave them daily income, whereas added

value ratio from the processing is just 17.09%. This tapioca processing needs

more management which can increase their competitivness by upgrading raw

tapioca quality and controlling raw materials continuity

Key words : tapioca, income, value added, small-sized industry

Page 5: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

3

ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA

DI JAWA BARAT

Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja

Kabupaten Bogor

NORA ASFIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

Page 6: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan
Page 7: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

Judul Skripsi: Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat

Nama : Nora Asfia NIM : H34090060

Disetujui oleh

Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS. Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus: 2 0 A G 2013

Page 8: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

1

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan

Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat

Nama : Nora Asfia

NIM : H34090060

Disetujui oleh

Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS.

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS.

Ketua Departemen Agribisnis

Tanggal Lulus:

Page 9: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

2

PRAKATA

Syukur dan puji kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan

kemudahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Tema yang

dipilih dalam penelitian ini yaitu pendapatan dengan judul Analisis Pendapatan,

Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat.

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Juni 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Rachmat Pambudy, MS

selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan

kepada seluruh pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu yang telah memberikan waktu

luangnya serta informasi untuk pengumpulan data, Bu Nunung selaku Ketua

KWT Kenanga Desa Kenanga yang telah menerima dan membantu penulis dalam

melaksanakan pengumpulan data, Bu Khumairah dan suami sebagai Pengurus

Gapoktan Karya Bersama yang telah memberikan perizinan serta informasi

mengenai industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu.

Terima kasih kepada Ahmad Zaki Rahman dan Irva Mavrudah atas

kekompakan dan semangatnya sebagai teman satu bimbingan, Cynthia

Mawarnita, Emilia Huda, Novita Dewi, Tedi Aditia, Rina Fauzah, Puji Mustika,

dan lainnya sebagai sahabat setia di HIPMA dan Agribisnis 46, dan Jauhar

Samudera Nayantakaningtyas S.E atas segala semangat dan dukungannya sebagai

pengingat target penulis. Ungkapan terima kasih tak terhingga terutama penulis

sampaikan kepada kedua orang tua Hisyam Abdullah Seff dan Tutik Sulistiani

serta seluruh keluarga atas perhatian, doa, dan dukungan yang tiada hentinya

dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Nora Asfia

Page 10: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Usahatani Ubi Kayu 6

Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14

Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka 15

KERANGKA PEMIKIRAN 17

Kerangka Pemikiran Teoritis 17

Kerangka Pemikiran Operasional 21

METODOLOGI PENELITIAN 22

Lokasi dan Waktu Penelitian 22

Metode Pengumpulan Data 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis dan Pengolahan Data 23

GAMBARAN UMUM 27

Kondisi Umum Wilayah Penelitian 27

Karakteristik Industri Kecil Tapioka 28

HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Analisis Pendapatan 35

Analisis Nilai Tambah 39

Analisis Titik Impas 42

Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka 44

KESIMPULAN DAN SARAN 51

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 54

Page 11: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

ii

DAFTAR TABEL

1 Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu 8 2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industri 9 3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahan 11 4 Tahapan perhitungan nilai tambah Metode Hayami 26 5 Spesifikasi kelompok tani Karya Bersama Desa Pasir Jambu 27 6 Potensi hasil dan sifat-sifat penting beberapa varietas ubi kayu 32 7 Fasilitas dan peralatan produksi tapioka 32 8 Perbedaan tekonologi pengolahan tapioka 33 9 Arus penerimaan pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu

tahun produksi 36 10 Arus pengeluaran pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu

tahun produksi 37 11 Perbandingan pendapatan usaha pemilik faktor produksi dan pengrajin

penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 39 12 Perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 41 13 Perhitungan titik impas industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 43 14 Perkembangan ekspor tepung dan pati Indonesia tahun 2010 – 2011 47

DAFTAR GAMBAR

1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012 3 2 Skema pembuatan tapioka pada industri skala kecil 13 3 Analisis BEP secara grafis 20 4 Kerangka pemikiran operasional 22 5 Layout produksi rumah penggilingan industri kecil tapioka 30 6 Pencucian bahan baku ubi kayu 34 7 Pemarutan dan pemerasan bahan baku 34

8 Pengeringan tapioka dengan sinar matahari 35 9 Produksi ubi kayu di Indonesia 45

10 Perkembangan harga ubi kayu di tingkat nasional 46 11 Sebaran industri penghasil dan pengguna 48

DAFTAR LAMPIRAN

1 Struktur PDRB Jawa Barat menurut sektor tahun 2012 54 2 Industri pengguna tepung tapioka di Indonesia tahun 2011 54 3 Tabel produksi ubi kayu di Jawa Barat 55 4 Penggunaan tepung tapioka menurut lokasi 56

5 Karaktersitik responden pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu 57 6 Penyusutan alat dan mesin industri kecil tapioka 58 7 Daftar industri pengguna tepung tapioka di Jawa Barat 59

Page 12: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

iii

8 Pohon industri ubi kayu 61 9 Perkembangan haga rata-rata mingguan ubi kayu di beberapa kota di

Indonesia 61 10 Arus pengeluaran usaha pengrajin penggarap 64 11 Arus pengeluaran usaha pemilik faktor produksi 65

Page 13: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan
Page 14: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri kecil menengah merupakan pelaku ekonomi kerakyatan yang

seyogyanya mendapatkan prioritas untuk berperan aktif dalam perekonomian

nasional. Dengan kekuatan ekonomi rakyat yang merupakan pelaku ekonomi

terbesar di masyarakat, diharapkan struktur perekonomian Indonesia akan lebih

mampu dalam menghadapi permasalahan-permasalahan ekonomi, baik persoalan

yang tumbuh di dalam negeri maupun akibat dari pengaruh perekonomian global.

Kemenkop (2012) menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil menegah secara

nasional mencapai 6 764 661 orang dan sekitar 70% di antaranya berada di Pulau

Jawa dan Bali. Secara lebih spesifik, 20 % industri kecil dan menegah (IKM)

Indonesia berada di Jawa Barat1. Dominasi Jawa Barat dalam keberadaan IKM

menunujukkan potensi perekonomian yang besar.

Keberadaan usaha kecil dan menengah di Jawa Barat lebih didominasi

sektor pertanian yang mencapai 48.32% dengan penyerapan tenaga kerja terbesar

berada di pedesaan, namun kontribusinya terhadap struktur perekonomian Jawa

Barat termasuk sektor dominan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan

perdagangan. Hal ini secara umum dapat terjadi karena lemahnya kelembagaan

petani yang menyebabkan minimnya akses terhadap berbagai aspek pertanian,

seperti penyediaan input, penyuluhan, permodalan, dan teknologi yang secara

tidak langsung mempengaruhi pendapatan petani. Keadaan yang sebaliknya justru

terjadi di industri pengolahan. Meski jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor

tersebut tidak sebanyak yang bekerja di sektor pertanian, sektor industri

pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar sebanyak 35.79% pada

PDRB Jawa Barat (BPS, 2012). Data mengenai kontribusi sektor industri terhadap

PDRB Jawa Barat dapat dilihat pada Lampiran 1.

Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di

Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka

Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri agro (Agro-based-industri)

berbahan baku ubi kayu yang banyak tersebar di Indonesia baik skala kecil, skala

menengah, maupun skala besar. Tapioka merupakan salah satu hasil agroindustri

yang potensial untuk dikembangkan, karena ketersediaan bahan baku ubi kayu di

Jawa Barat yang cukup melimpah. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu

produsen ubi kayu di Indonesia dengan total luas panen pada tahun 2012 seluas 100

159 ha, tingkat produktivitas rata-rata sebesar 21.27 ton/ha dan total produksi sebesar

21 311 230 ton (BPS, 2012). Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sendiri

merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki peranan penting

dalam sistem ekonomi daerah.

Pengembangan industri kecil terutama yang mengolah hasil-hasil pertanian

lokal sebagai industri yang tahan terhadap dampak krisis ekonomi serta sifatnya yang

padat karya menjadi salah satu alternatif yang sangat diperhitungkan dalam

membangun kembali sendi perkenomian Indonesia saat ini. Di samping menciptakan

1 Heri Ruslan. 2013. 20 persen Industri Kecil dan Menengah Berada di Jabar. dalam

http://www.republika.com [diakses pada 26 Maret 2013]

Page 15: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

2

nilai tambah bagi produk pertanian, adanya industri kecil tapioka juga menyediakan

lapangan pekerjaan bagi masyarakat pedesaan. Purba (2002) menyebutkan bahwa

selama ini industri rumah tangga mampu memenuhi sebagian kebutuhan konsumsi

maupun produksi masyarakat. Sektor ini juga mampu menciptakan lapangan kerja

dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat desa, sehingga masyarakat

tidak perlu berduyun-duyun pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.

Perubahan gaya hidup masyarakat yang mengakibatkan perubahan selera

dan berkembangnya teknologi akan memacu munculnya beraneka bentuk pangan

baru yang membuat ubi kayu tidak lagi dikonsumsi dalam bentuk aslinya,

melainkan sebagai pangan olahan lain. Salah satu upayanya yaitu mengolah ubi

kayu menjadi tepung tapioka sebagai bahan baku pangan olahan dari ubi kayu.

Hal ini menjadi landasan mengapa industri tapioka menjadi sangat potensial di

masa yang akan datang.

Industri kecil tapioka berkembang karena didukung selain tersedianya bahan

baku, juga sarana dan prasarana produksi seperti mesin giling, tempat

pengeringan, dan tempat pencucian. Selain itu, pekerja sebagai pengolah ubi kayu

menjadi tepung tapioka (pengrajin tapioka) merupakan pekerjaan yang sudah

turun temurun (Rochaeni et al. 2007). Industri tapioka yang termasuk dalam

industri pati ubi kayu mampu berkontribusi sebesar Rp1.21 miliar dalam Nilai

Tambah Bruto nasional (Kemenperin 2012). Hal ini membuktikan bahwa industri

pengolahan tapioka dalam berbagai skala usaha memiliki prospek lebih baik dan

potensial karena permintaannya terus ada dan dimanfaatkan sebagai bahan baku

oleh berbagai industri seperti antara lain industri kembang gula, pengalengan

buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.

Industri pengolahan tepung tapioka tersebar di beberapa daerah sentra

produksi ubi kayu di Jawa Barat, salah satunya adalah di Kabupaten Bogor.

Industri pengolahan tapioka di Kabupaten Bogor terdiri atas pengolah tapioka dan

pabrik penggilingan tapioka kasar untuk diproses menjadi tepung tapioka halus

yang siap dipasarkan. Sebagian besar produsen tepung tapioka di Kabupaten

Bogor merupakan industri tapioka rakyat di pedesaan dengan skala kecil yang

merupakan salah satu motor penggerak perekonomian di daerah tersebut. Melihat

potensialnya tapioka di masa mendatang dan ketersediaan bahan baku ubi kayu di

Jawa Barat, penelitian mengenai kajian finansial usaha dan prospek

pengembangan industri kecil tapioka penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Deshaliman (2003) menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam

pengembangan umbi-umbian adalah produk-produknya yang hingga saat ini

cenderung konvensional, dengan kemampuan dan nilai gizi yang kurang menarik.

Hal ini menyebabkan relatif rendahnya ketertarikan masyarakat untuk

memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat substitutsi terhadap beras. Untuk

meningkatkan nilai tambah dari produk umbi-umbian ini agar bisa sejajar dengan

pangan lain, perlu adanya sentuhan teknologi, sehingga menarik untuk disajikan,

serta enak dan ekonomis untuk dikonsumsi.

Produktivitas ubi kayu di Jawa Barat cukup baik, namun masih lebih rendah

dibandingkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Sukandar 2000). Apalagi

permintaan ubi kayu sebagai makanan pokok atau sampingan terus mengalami

Page 16: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

3

penurunan mengingat semakin naiknya tingkat kesejahteraan masyarkat yang

diikuti dengan pemilihan selera yang semakin baik. Oleh karena itu, untuk

meningkatkan permintaan akan ubi kayu, maka ubi kayu harus diolah terlebih

dahulu ke dalam berbagai bentuk produk olahan yang sesuai dengan kebutuhan

konsumen. Jawa Barat sendiri merupakan salah satu sentra produksi tepung

tapioka di Indonesia dan Bogor adalah salah satu sumber produsen tapioka di

Jawa Barat.

Jawa Barat terus mengalami penurunan luas panen ubi kayu. Hal ini dapat

dilihat pada Gambar 1. Pada tahun 2008, luas panen ubi kayu di Jawa Barat yaitu

109 354 ha, diiringi dengan sedikit peningkatan pada tahun 2009 menjadi 110

827 ha, dan terus menurun hingga pada tahun 2012 menjadi 100 159 ha. Kondisi

yang berbeda terjadi di produktivitas, walaupun luas panen dan produksi

mengalami penuruanan. Adanya peningkatan produktivitas mengindikasikan

bahwa telah adanya adopsi teknologi budidaya di tingkat petani ubi kayu (Darwis

et al. 2009).

Gambar 1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2012

Salah satu industri tapioka yang berada di Jawa Barat yaitu Kabupaten

Bogor. Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari 198 597 ton pada

tahun 2008 menjadi 154 455 ton pada tahun 2009. Luas panen dan produktivitas

ubi kayu di Kabupaten Bogor juga mengalami penurunan. Luas panen ubi kayu di

Kabupaten Bogor pada tahun 2008 adalah 10 073 hektar menurun menjadi 7 680

hektar pada tahun 2011. Produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari

20.55 ton per hektar pada tahun 2009 menjadi 20.11 ton per hektar pada tahun

2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Penurunan produksi, luas panen, dan

produktivitas merupakan ancaman bagi industri kecil tapioka di Kabupaten Bogor.

Salah satu sentra industri kecil tapioka di daerah Bogor yaitu Desa Pasir

Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Pengrajin/pengusaha tapioka

yang sekaligus petani ubi kayu tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Karya

Bersama yang terdiri dari 9 kelompok tani dan 1 kelompok wanita tani. Selain itu

94,000

96,000

98,000

100,000

102,000

104,000

106,000

108,000

110,000

112,000

2008 2009 2010 2011 2012

Luas

Pan

en (

ha)

Page 17: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

4

terdapat pula Koperasi Wanita Tani Karya Bersama yang bekerja sama dengan

Gapoktan Karya Bersama untuk membantu masalah permodalan petani. Teknik

produksi di Desa Pasir Jambu masih bersifat tradisional, yaitu teknik produksi

yang masih belum mengandalkan mesin pengolah tepung tapioka. Padahal,

sebagian besar daerah di Kabupaten Bogor yang juga memproduksi tepung

tapioka telah menginduksi peralatan dan mesin ke arah teknologi yang lebih

canggih. Adanya ketertinggalan dalam aplikasi teknologi ini berpotensi

menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka.

Di samping itu, masalah yang timbul dari aktivitas industri kecil tapioka ini

yaitu meningkatnya alih fungsi lahan penanaman ubi kayu untuk dijadikan

bangunan perumahan oleh pengembang setempat. Kecamatan Sukaraja yang

merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor terus

mengalami penurunan luas panen yang cukup drastis. Luas panen ubi kayu di

Kecamatan Sukaraja pada tahun 2008 adalah sebesar 2 452 hektar menurun

menjadi 612 hektar pada tahun 2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Sehingga

industri kecil tapioka di daerah Sukaraja yang dulu menghasilkan bahan baku ubi

kayu sendiri, sekarang terpaksa untuk mendatangkan bahan baku dari daerah lain,

seperti Ciomas, Leuwiliang, Labuan, Sukabumi, dan Lampung. Perubahan

perolehan input berpotensi menimbulkan ketidakpastian kontinyuitas bahan baku

dan meningkatkan biaya produksi, karena pengrajin tapioka harus membeli bahan

baku yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang

dikeluarkan untuk menghasilkan bahan baku sendiri.

Selain itu, masih terdapat kendala berupa tidak adanya kekuatan tawar

dalam menentukan harga tepung tapioka kasar kepada pabrik pengepul karena

minimnya akses petani terhadap informasi pasar. Monopolisasi pengepul tapioka

kasar mengakibatkan minimnya pemasaran dan semakin menurunnya pendapatan

industri kecil. Ketergantungan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu

terhadap pengepul disebabkan oleh tidak adanya modal untuk menginvestasikan

mesin penggiling tapioka halus.

Lemahnya akses permodalan, monopolisasi harga pabrik pengepul,

inkontinyuitas bahan baku industri, serta minimnya induksi teknologi dapat

berpotensi menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu.

Sehingga perlu dikaji mengenai apakah kegiatan produksi industri kecil tapioka

dalam memberikan keuntungan masih relevan dengan keadaan perekonomian saat

ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pendapatan usaha, nilai tambah, dan

titik impas untuk mengetahui seberapa besar tingkat profitabilitas dari industri

kecil tapioka tersebut dan perlu dilakukan kajian mengenai bagaimana prospek

pengembangan industri kecil tapioka untuk mengetahui seberapa prospektif

industri tersebut sesuai dengan hasil kajian tingkat profitabilitas yang ada.

Berdasarkan masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat pendapatan usaha dan titik impas yang dihasilkan oleh

industri kecil tapioka di Desa Pasir Jambu?

2. Berapa nilai tambah yang diperoleh dari industri kecil tapioka?

3. Bagaimana prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka di Jawa Barat

dilihat dari ketersediaan sisi input dan peluang pasar yang ada?

Page 18: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

5

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk

1. Menganalisis tingkat pendapatan usaha dan titik impas industri kecil tapioka di

Desa Pasir Jambu Kabupaten Bogor

2. Menganalisis besarnya nilai tambah yang diperoleh industri kecil tapioka

beserta kontribusinya terhadap pendapatan usaha.

3. Menganalisis prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka di Jawa

Barat dilihat dari sisi input dan peluang pasar yang ada.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1. Petani sebagai informasi terutama mengenai pendapatan beserta prospek

pengembangan industri kecil tapioka.

2. Pemerintah dan dinas terkait untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan

dalam perencanaan pengembangan industri Tapioka di daerah Bogor.

3. Peneliti lain, sebagai bahan pembanding dan diharapkan dapat bermanfaat

terutama peneliti-peneliti lain yang akan melakukan penelitian lanjutan yang

berkaitan dengan industri kecil tapioka.

4. Peneliti sendiri, untuk menambah pengetahuan mengenai industri kecil tapioka

di Bogor khususnya mengenai aspek nilai tambah dan sebagai penerapan teori

di bangku kuliah.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam lingkup regional, yaitu Desa Pasir Jambu

yang terletak di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Komoditi yang akan diteliti adalah tepung tapioka. Peneliti memfokuskan

penelitian pada analisis pendapatan, analisis titik impas, dan analisis nilai tambah

yang ada di industri kecil tapioka. Informan dalam penelitian ini adalah warga

Desa Pasir Jambu yang masih aktif bekerja sebagai pengrajin tapioka dan dipilih

secara sengaja.

Page 19: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

6

TINJAUAN PUSTAKA

Usahatani Ubi Kayu

Karakteristik Ubi Kayu

Sebagian besar masyarakat Indonesia pasti sudah mengetahui ubi kayu,

namun sedikit yang mengetahui bahwa Manihot esculenta sebetulnya bukan

merupakan tanaman asli Indonesia. Ubi kayu pertama kali dibudidayakan di tanah

air oleh budak-budak asal Afrika yang bekerja pada utusan-utusan Belanda pada

tahun 1835. Umbi hasil panen hanya diolah dengan cara dikukus, dibakar, dan

digoreng. Sejak saat itu, ubi kayu lebih populer sebagai pangan pokok pengganti

nasi. Karena membudidayakan ubi kayu lebih mudah dibandingkan padi, ubi kayu

semakin digemari masyarakat dengan melakukan perluasan penanaman. Pada

jangka tahun 1919 sampai tahun 1941, 98% produksi dunia berasal dari Pulau

Jawa. Olahan ubi kayu semakin beragam dengan semakin bermunculannya

industri penepungan ubi kayu agar lebih tahan lama dan dapat diolah menjadi

berbagai produk.

Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah dikenali karena memiliki ciri

khas, yaitu batangnya berbuku-buku (setiap buku batang terdapat mata tunas),

daunnya menjari, dan umbi berasal dari pembesaran sekunder akar adventif. Umbi

kayu umumnya mengandung 10 – 490 miligram HCN per kilogram umbi basah

tergantung varietasnya. Senyawa HCN (Asam Sianida) berbahaya jika dikonsumsi

lebih dari 1 miligram HCN per kilogram bobot tubuh per hari atau lebih dari 50

miligram per kilogram bobot umbi. Kadar HCN yang lebih dari 100 miligram per

kilogram bobot umbi hanya diperkenankan untuk industri, seperti tepung tapioka.

Persyaratan Iklim

Ubi kayu termasuk tanaman tropis tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh

dengan baik di daerah sub tropis. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik dan

memberikan hasil yang tinggi selama persyaratan iklim sesuai untuk mendukung

pertumbuhan, terutama pada daerah berhawa panas dan banyak turun hujan. Iklim

yang cocok untuk tanaman ubi kayu antara lain dengan jumlah curah hujan antara

750 - 1.500 mm/tahun, ketinggian tempat antara 100 – 800 m dpl, dan suhu

lingkungan antara 25°- 28°C. Semakin tinggi tempat penanaman, maka semakin

lambat pertumbuhannya dan hasilnya akan semakin berkurang.

Ubi kayu menghendaki tanah yang gembur untuk pertumbuhan dan

produksi khususnya pada pembentukan umbi, sehingga didapatkan produktivitas

yang optimal. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu

berkisar antara 4,5 – 8,0 dengan pH ideal 5,8. Umumnya tanah di Indonesia ber-pH

rendah (asam), yaitu berkisar 4,0 – 5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral

bagi suburnya tanaman ubi kayu. Selain itu, tanaman menjadi kerdil karena

pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Sinar matahari yang dibutuhkan bagi

tanaman ubi kayu sekitar 10 jam/hari, terutama untuk kesuburan daun dan

perkembangan umbinya.

Penggunaan Varietas Unggul

Varietas unggul merupakan salah satu komponen utama dalam berbagai

program pembangunan pertanian tanaman pangan, baik dalam usaha peningkatan

Page 20: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

7

produktivitas, produksi, peningkatan kualitas hasil maupun penanggulangan

berbagai kendala seperti serangan hama penyakit serta cekaman lingkungan.

Penggunaan varietas unggul sebaiknya berdasarkan kesesuaian lahan. Hingga

tahun 2011 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

(Balitkabi) telah merilis 10 varietas unggul ubi kayu, beberapa di antaranya yaitu

Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 6, dan UJ3. Pada umumnya, varietas yang

dikembangkan untuk konsumsi langsung berbeda dengan untuk industri. Sebagai

contoh untuk dikonsumsi langsung, rasa tidak pahit dan enak, warna umbi

kuning/putih, kandungan serat rendah dan kadar HCN rendah.

Varietas-varietas ubi kayu yang mempunyai karakteristik di atas lebih

banyak dijumpai pada varietas lokal dan sedikit varietas unggul nasional. Rataan

produktivitas ubi kayu secara nasional selama dasawarsa terakhir masih rendah,

yaitu sekitar 40% dari potensi genetis dengan pengelolaan optimal, padahal

potensi hasil tiap varietas bersifat spesifik lokasi. Oleh karena itu, varietas unggul

seperti Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 wilayah berkembangnya berbeda.

Peningkatan produksi dapat direalisasikan melalui penggunaan varietas unggul

dan pengelolaan optimal. Dengan demikian, pengembangan industri pada

berbagai tipe agroekologi, ketersediaan bakunya berpotensi dapat dijamin.

Pengolahan Tanah

Ubi kayu membutuhkan tanah gembur dan kaya akan humus, agar umbinya

dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Pengolahan paling baik dilakukan

pada saat menjelang musim hujan, karena pada saat ini struktur tanah tetap

terpelihara, mudah dicangkul, dan tetap gembur. Tanah diolah sedalam 25 – 30

cm dan sebaiknya dibuat guludan/bedengan untuk menjaga agar tidak banyak

mengandung air. Untuk tanah miring sebaiknya dibuat teras, agar erosi bisa di

atasi dan struktur tanah tetap terjaga dan menerapkan kaidah konservasi lahan dan

air atau pengolahan tanah secara bijaksana.

Penanaman

Usahatani lahan kering sangat tergantung dari pola curah hujan, pada

tanaman ubi kayu sebagian besar diusahakan di lahan kering. Secara umum waktu

tanam ubi kayu yang dianjurkan sebagai berikut :

i) Pada daerah yang beriklim basah sepanjang tahun (bulan basah lebih dari 4

bulan) dapat ditanam sepanjang tahun

ii) Pada daerah yang bulan keringnya lebih dari 4 bulan berturut-turut dapat

ditanam pada bulan-bulan basah (musim hujan)

iii) waktu tanam disesuaikan dengan ketersediaan air, selama masa pertumbuhan

4-5 bulan memerlukan air yang cukup

iv) Di tanah tegalan penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober-

November) atau akhir musim hujan

v) Di sawah tadah hujan, penanaman dilakukan pada akhir musim hujan (Maret-

April) setelah penanaman padi.

Penggunaan populasi jarak tanaman dan jarak tanam yang tepat dapat

memberikan hasil yang maksimal, oleh karenanya pemilihan populasi dan jarak

tanam pada usahatani ubi kayu sedapat mungkin didasarkan pada sistem tanam

monokultur, tingkat kesuburan tanah, dan kemiringan lahan. Sebagai pedoman,

Page 21: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

8

populasi dan jarak tanam optimal dalam budidaya ubi kayu disajikan pada tabel 1

berikut.

Tabel 1 Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu

Populasi (Jumlah / ha) Jarak Tanam (cm)

Monokultur Tumpangsari

10 000 100 x 100, 125 x 80 200 x 50

8 000 125 x 100 250 x 50

12 500 100 x 80 200 x 40

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman ubi kayu cukup penting, apabila ingin mendapatkan

produktivitas optimal. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Penyulaman tanaman dilakukan 2-3 minggu setalah tanam

b. Pemberian pupuk pada tanaman ubi kayu mutlak harus diberikan termasuk

pupuk organik ke dalam tanah untuk memperbaiki sifat fisik dan ketersediaan

unsur hara.

c. Setelah 2 minggu setelah tanam, maka stek yang tidak tumbuh atau stek yang

pertumbuhannya kurang baik harus segera dicabut dan diganti dengan stek

yang lain

d. Penyiangan dilakukan pada umur 1-1.5 bulan dan penyiangan kedua tanaman

berumur 3-4 bulan sambil dibumbun

e. Tunas yang tumbuh lebih dari dua buah pada setiap stek agar dibuang pada saat

penyiangan pertama

f. Pengairan dilakukan jika tanaman menunjukkan gejala kekeringan

Panen dan Pascapanen

Hasil yang diharapkan dalam pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku

industri tapioka adalah ubi berkadar pati tinggi untuk meningkatkan efisiensi

industri. Oleh karena itu, kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan umur

panen adalah kadar pati optimal. Kadar pati optimal dicapai pada umur yang

bervariasi dan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu umur:

(a) tujuh bulan (genjah), (b) sembilan bulan (sedang), dan (c) 10 bulan (dalam).

Kualitas pati tidak berubah walaupun panennya ditunda, sedangkan bobot ubi

meningkat sejalan dengan umur. Dengan demikian umur panen dapat disesuaikan

dengan kebutuhan industri tanpa mengkhawatirkan adanya penurunan kualitas

pati. Kondisi umur panen yang fleksibel tersebut memberikan gambaran adanya

potensi untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri, sehingga potensial

dikembangkan.

Ubi kayu akan rusak atau busuk dalam 2 – 5 hari sesudah panen apabila

tidak mendapat perlakuan pasca panen yang memadai, sehingga perlu segera

diolah secepat mungkin. Proses kerusakan yang cepat ini menyebabkan masalah

dalam pemasaran maupun penggunaan/pemanfaatan ubi kayu serta menghasilkan

susut lebih dari 25%. Susut yang terjadi pada ubi kayu dapat disebabkan oleh

faktor fisik, fisiologis, hama penyakit, atau kombinasi dari faktor – faktor tersebut.

Page 22: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

9

Susut fisik dapat terjadi akibat kerusakan mekanis selama pemanenan dan

penanganan, dan akibat perubahan suhu.

Tabel 2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industria

Bagian

Tanaman

Bentuk

Produk

Penggunaan

pada

Industri

Lanjutan

Keterangan

Umbi Umbi Segar Berbagai

produk pangan

Pangan tradisional dan aneka

produk pangan olahan

Cassava

Chips/Pellets

Pakan ternak Sebagai bagian ransum pakan ternak

Alkohol Digunakan untuk memproduksi

alkohol pada industri minuman

beralkohol dan desinfektan

Gasohol Digunakan untuk memproduksi

etanol dan dicampur dengan bahan

bakar sebagai sumber energi

terbarukan

Cassava starch

(Tepung

Tapioka)

Makanan dan

Minuman

Dalam bentuk asli atau modifikasi

seperti mie instan, sagu, saus bumbu

dan minuman

Bahan pemanis Glukosa dan fruktosa sebagai bahan

pemanis industri minuman

Industri tekstil Membuat kain menjadi cemerlang

dan awet pada produksi benang

Industri kertas Dicampurkan dengan kertas agar

bubur kertas liat dan kental

Industri lem Untuk memproduksi lem dan

produk campuran lem

Industri kayu

lapis/tripleks

Digunakan dalam bentuk lem dari

tapioka (starch) agar tripleks

berkualitas, tebal, dan awet

Industri obat Digunakan sebagai bahan

pelunak/pencair kapsul dan pil

Monosodium

glutamate

Untuk memproduksi MSG sebagai

bumbu makanan

Bio-

Degradable

Material

Products

Starch diubah ke dalam bentuk

produk sebagai bahan bio

degradable dalam plastik

Daun Pakan Sebagai bahan baku pakan yang

dapat meningkatkan protein dan

warna telur

Batang Bahan bakar Sebagai sumber bahan bakar

(briket) di wilayah perdesaan aSumber : Suwarto (2005)

Page 23: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

10

Susut fisiologis terutama disebabkan oleh air, enzim, dan respirasi. Faktor

hama-penyakit mencakup mikro-organisme (jamur, bakteri, dan virus) serta

serangga, hama, dan lainnya. Susut jumlah lebih mudah diidentifikasi dan

dihitung, akan tetapi susut mutu lebih sulit ditetapkan dan kemungkinan

menghasilkan produk yang tidak dapat digunakan sebagai konsumsi manusia lagi

(Barret dan Damardjati, 1985).

Ubi kayu adalah tanaman dengan banyak kegunaan, terutama bagian umbi

yang merupakan komponen hasil terpenting. Umbi ubi kayu dalam berbagai

bentuk tidak hanya dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan, tetapi dapat

digunakan juga sebagai bahan baku agroindustri, pakan ternak, dan lain-lain. Pada

Tabel 2 disampaikan bagian tanaman ubi kayu dan kegunaannya yang dapat

digunakan sebagai bahan sosialisasi. Selain itu, umbi ubi kayu dapat juga dibakar

menjadi arang yang dapat digunakan sebagai sumber energi tanpa asap.

Keragaan Industri Tapioka di Indonesia

Industri Kecil dan Menengah

Simanjuntak (2010) mengatakan bahwa IKM adalah industri yang

memiliki jumlah tenaga kerja yang terbatas2, bukan hanya dalam kuantitas

melainkan juga dalam kualitasnya. Berdasarkan penggolongannya, maka IKM

dapat digolongkan berdasarkan IKM modern dan IKM tradisional. IKM modern

menggunakan teknologi proses madia dan dilibatkan dalam proses produksi

industri besar. Sedangkan IKM tradisional menggunakan teknologi yang

sederhana dan pemasarannya sangat terbatas. Pembagian IKM juga dapat

dilakukan berdasarkan beberapa kriteria lainnya, misalkan dengan

menggolongkannya berdasarkan modal yang dimilikinya.

Definisi yang didapat sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008

tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) :

a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan

usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha dengan aset maksimal 50 juta

rupiah dan omzet maksimal 300 juta rupiah.

b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau

menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah

atau usaha besar yang memenuhi kriteria. Kriteria Usaha Kecil yaitu memiliki

asset antara 50 juta rupiah sampai 500 juta rupiah dan menghasilkan omzet 300

juta rupiah sampai dengan 2,5 Milliar rupiah.

c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha

besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan

sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kriteria Usaha Menengah yaitu

2 Menurut BPS, Industri kecil adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja antara 5 – 19 orang dan

industri menengah adalah industri yang memiliki tenaga kerja antara 20 – 100 orang.

Page 24: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

11

memiliki asset antara 500 juta rupiah sampai 10 Milliar rupiah dan

menghasilkan omzet 2,5 Milliar sampai 50 Milliar rupiah.

Gambaran Umum Tapioka

Ubi kayu merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri

makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari ubi kayu cukup

beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong,

dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam

industri makanan, pengolahan ubi kayu, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu

hasil fermentasi ubi kayu (tape/peuyem), ubi kayu yang dikeringkan (gaplek) dan

tepung singkong atau tepung tapioka.

“Pati” (bahasa Inggris starch) adalah penyusun (utama) tepung. Tepung bisa

jadi tidak murni hanya mengandung pati, karena tercampur dengan protein,

pengawet, dan sebagainya. Tepung beras mengandung pati beras, protein, vitamin,

dan lain-lain bahan yang terkandung pada butir beras. Kata „tepung‟ lebih

berkaitan dengan komoditas ekonomis. Pati digunakan sebagai bahan yang

digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan sebagainya. Dalam

industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil, dan

pada industri kosmetik.

Penggunaan tapioka pertama kali diduga berasal dari Amerika Selatan. Kata

tapioka berasal dari bahasa Brasil, tipi’oka, yang berarti makanan dari singkong.

Tapioka baru dikenal di kalangan ibu rumah tangga Indonesia pada tahun 1980-

an, ketika pemerintah mulai menggalakkan program penganekaragaman pangan.

Tapioka sering diolah menjadi sirop glukosa dan dekstrin yang sangat diperlukan

sebagai bahan baku oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula,

pengalengan buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.

Tabel 3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahana

Kandungan Unsur Gizi Singkong Putih Singkong Kuning Tepung Tapioka

Kalori (kal) 146.00 157.00 362.00

Protein (g) 1.20 0.80 0.50

Lemak (g) 0.30 0.30 0.30

Karbohidrat (g) 34.70 37.90 86.90

Kalsium (mg) 33.00 33.00 0.00

Fosfor (mg) 40.00 40.00 0.00

Zat Besi (mg) 0.70 0.70 0.00

Vitamin A (SI) 0.00 385.00 0.00

Vitamin B1 (mg) 0.06 0.06 0.00

Vitamin C (mg) 30.00 30.00 0.00

Air (g) 62.50 60.00 12.00 aSumber : Direktorat Gizi RI

Selain itu, tapioka juga digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi,

dan bahan pengikat dalam industri pangan, seperti dalam pembuatan puding, sup,

makanan bayi, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain sebagainya.

Page 25: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

12

Pada industri pangan dan industri tekstil, tapioka banyak digunakan sebagai bahan

baku pewarna putih alami. Pada Tabel 3 disajikan data mengenai kandungan gizi

tepung tapioka. Karena kandungan gizinya yang tidak berbeda jauh dibandingkan

tepung terigu, tapioka sedang giat digalakkan sebagai bahan pengganti tepung

terigu pada pembuatan kue yang tidak memerlukan pengembangan, seperti pada

pembuatan kue kering.

Gambaran Umum Industri Kecil Tapioka

Industri tapioka di Indonesia terbagi menjadi industri berkapasitas kecil,

menengah dan besar yang beroperasi secara nasional. Industri tapioka skala kecil

adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan tradisional

dengan kemampuan produksi sekitar 5 ton bahan baku per hari. Industri tapioka

skala menengah adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan

yang lebih sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai

kemampuan produksi 20 – 200 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala

besar adalah industri yang menggunakan teknologi proses produksi mekanis

penuh dan mempunyai kemampuan produksi di atas 200 ton bahan baku per hari.

Dilihat dari proses pengolahan, industri tapioka digolongkan dalam dua

kelompok. Kelompok pertama industri kecil menggunakan mesin-mesin

sederhana dengan kapasitas produksi rendah, modal kecil dan lebih banyak

menggunakan tenaga kerja, dan kelompok kedua merupakan industri besar yang

menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas produksi besar, modal kuat dan

tenaga kerja sedikit. Industri tapioka skala kecil pada penelitian ini merupakan

industri yang menggunakan teknologi tradisional, yaitu industri pengolahan

tapioka yang menggunakan peralatan produksi teknologi mekanik yang sederhana

dan masih mengandalkan sinar matahari dalam tahap pengeringannya.

Tahapan proses produksi industri tapioka skala kecil adalah tahap proses

pengupasan bahan baku, pencucian bahan baku, pemarutan ubi kayu, proses

ekstraksi bubur ubi kayu, proses pengendapan dalam bak pengendapan, proses

penjemuran menggunakan panas matahari, proses penggilingan tapioka kasar dan

pengayakan hingga diperoleh tapioka halus. Skema proses produksi tepung

tapioka pada industri kecil dapat dilihat pada Gambar 2.

Proses Pembuatan Tapioka

Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat

dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

Tradisional, yaitu industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar

matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim.

Semi Modern yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin

pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan.

Full Otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari

proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan

full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan

tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka

berkualitas.

Pada proses produksi tapioka, selain menghasilkan tepung, pengolahan

tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. limbah

padat seperti kulit ubi kayu dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk,

Page 26: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

13

sedangkan onggok (ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada

industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk dan pakan ternak.

Ubi Kayu

Penjemuran

Pengupasan

Pencucian

Penggilingan

Pengayakan

Tepung Tapioka Kasar

Pemarutan

Ekstraksi /

Penyaringan

Pengendapan

Sisa kulit

Limbah Cair Air

Air Ampas

Tepung Tapioka Halus

Limbah Cair

Gambar 2 Skema pembuatan tapioka pada industri skala kecil Sumber : Supriati (2009)

Page 27: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

14

Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain

itu limbah cair pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de

cassava3. Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri

maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau

Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar

negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas

Tepung tapioka sebagai produk awetan singkong merupakan komoditas

ekspor andalan sejak perang dunia II. Namun, kemudian semakin merosot karena

kualitas yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku. Beberapa hal yang

merupakan dasar penentuan kualitas tepung tapioka adalah tingkat (derajat)

keputihan, tingkat kehalusan (mesh), kadar air tersisa, dan kandungan pati

(rendemen) dari bahan baku ubi kayu.

a. Tingkat Keputihan

Tingkat keputihan tapioka dipengaruhi oleh penentuan/pemilihan bahan

baku, proses pembuatan, kualitas air yang digunakan selama proses pembuatan,

tingkat kebersihan proses produksi, volume pencucian tepung basah (sebaiknya

4-6 kali), pengemasan dan penyimpanan (paling baik di tempat kedap udara

dan air), terbebas dari bau tak sedap, dan penggunaan bahan pemutih (Barium

Sulfat konsentrasi 2%)

b. Tingkat Kehalusan (Mesh)

Tepung tapioka yang dibuat secara manual biasanya agak kasar karena

menggunakan ayakan dengan ukuran yang kurang sesuai (80 mesh). Tingkat

kehalusan tepung ditentukan oleh ukuran ayakan dengan satuan ukuran mesh.

Industri kecil biasanya menggunakan ayakan dari kain sifon.

c. Kadar Air Tersisa

Kadar air yang tersisa umumnya berkisar anatara 12 – 15%. Pengeringan

dengan sinar marahari menghasilkan tepung tapioka dengan tingkat kekeringan

rendah daripada pengeringan dengan mesin (oven atau blower). Setelah

pengeringan, kadar air tepung tapioka dapat berubah karena menyerap air dari

udara, tercemar air, maupun embun. Kadar air di atas 15% menyebabkan

tepung tapioka menjadi lembap sehingga cepat rusak (menjadi asam, ditumbuhi

jamur, menggumpal, dan lain-lain).

d. Rendemen Tepung Tapioka

Pada proses pembuatan tepung tapioka dapat dicapai rendemen 25%,

artinya setiap 100 kg ubi kayu dapat dihasilkan tepung tapioka sebanyak 25 kg.

Beberapa hal yang mempengaruhi pencapaian rendemen tersebut adalah umur

kurang dari 9 bulan; mesin/alat parut kurang baik sehingga parutan kurang

halus, proses pemerasan kurang sempurna sehingga tidak seluruh bagian

tepung terekstraksi, dalam proses pemisahan tepung tapioka dengan airnya

banyak tepung yang terbuang, kualitas bahan baku ubi kayu kurang baik atau

banyak bagian yang rusak dan terbuang, dan terlalu lama menunggu waktu

3 Proses Pengolahan Nata De Cassava. 2011. kabar-agro.blogspot.com. [diakses pada 26 Maret

2013]

Page 28: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

15

pemarutan sehingga singkong yang sudah dikupas menjadi rusak dan berwarna

kecoklatan dengan noda biru, hijau, dan hitam yang dapat meyebabkan warna

tepung tapioka menajdi tidak putih.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Simpan

Daya simpan produk tepung tapioka dipengaruhi oleh kadar air dan

pengemasan. Kadar air tepung tapioka yang diharapkan adalah 8% karena dalam

kondisi ini tepung tapioka lebih tahan lama dalam penyimpanan. Kadar air tepung

tapioka selama penyimpanan sangat berkaitan dengan pengemasan. Pada

umumnya, tepung tapioka hanya dikemas dalam karung goni berlubang-lubang

kecil yang dapat ditembus dengan mudah oleh mikroba, air, debu, dan kotoran,

serta mudah terpengaruh oleh kelembapan udara sekitarnya. Bahan pengemas

yang digunakan sebaiknya kedap air dan kedap udara seperti kantung plastik dan

tertutup rapat.

Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka

Persoalan pokok yang menghambat perkembangan industri berbasis ubi

kayu adalah kesenjangan nilai tambah antara hulu dengan hilir. Petani tidak

mendapatkan insentif yang memadai dari usahatani ubi kayu. Di sisi lain, pasar

dalam negeri masih diisi oleh produk hilir dari luar negeri. Penyelesaian filosofis

adalah bagaimana menekan biaya produksi di hulu dan membentuk nilai tambah

di hilir (Bantacut, 2010). Dengan demikian, petani akan mendapatkan keuntungan

ganda dari penghematan biaya dan “pengembalian” dari nilai tambah.

Purba (2002) menganalisis mengenai pendapatan dan nilai tambah pada

industri kecil tapioka di Desa Ciparigi Kabupaten Bogor. Rendemen tapioka yang

dihasilkan sebesar 22% dan 5% untuk ampas. Penerimaan dari tapioka rata-rata

Rp57 948 000/tahun dan Rp3 733 200/ tahun dari ampas. Sehingga total

penerimaan rata-rata Rp61 681 200/ tahun. R/C pengeluaran total sebesar 1.096,

sedangkan R/C pengeluaran tunai yaitu sebesar 1.26. Industri kecil tapioka

mencapai impas setelah memproduksi 91.64 ton tapioka atau memperoleh

penerimaan sebesar Rp13 718 537. Industri tapioka mampu memberikan nilai

tambah sebesar Rp98 753 per kg ubi kayu, sedangkan rasio nilai tambah yaitu

sebesar 24.15%. Proporsi terbesar dari nilai tambah adalah untuk pendapatan

tenaga kerja. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu analisis pendapatan dihitung

tidak berdasarkan biaya tunai dan biaya diperhitungkan, melainkan biaya tetap

dan biaya variabel.

Pohan (2011) melakukan penelitian mengenai pendapatan usahatani,

pemasaran, dan nilai tambah terhadap ubi kayu di Desa Cikeas, Kabupaten Bogor.

Pendapatan atas biaya tunai pada petani pemilik di Desa Cikeas MT 2009/2010

adalah sebesar Rp 12.932.506 per hektar dan pendapatan atas biaya total adalah

Rp 6.301.356 per hektar, sedangkan pendapatan atas biaya tunai pada petani

penggarap adalah sebesar Rp3.786.722 per hektar dan pendapatan atas biaya total

adalah Rp 1.572.095 per hektar. Nilai R-C rasio atas biaya tunai untuk petani

pemilik adalah 3,81 dan R-C rasio atas biaya total adalah 1,56, sedangkan untuk

petani penggarap R-C rasio atas biaya tunai adalah 1,45 dan R-C rasio atas biaya

total adalah 1,15. Hal tersebut menunjukkan usahatani yang dilakukan oleh petani

Page 29: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

16

pemilik dan penggarap sama-sama menguntungkan dan efisien. Rata-rata nilai

tambah ubi kayu per proses produksi tapioka adalah sebesar Rp359,- per kilogram

bahan baku ubi kayu. Proporsi terbesar dari nilai tambah sebesar 54.25% berasal

dari keuntungan produksi.

Sukandar (2000) menganalisis mengenai nilai tambah industri pengolahan

ubi kayu dengan membandingkan dua metode analisis. Kajian nilai tambah

dilakukan terhadap tiga produk utama olahan ubi kayu di Kabupaten Bondowoso,

yaitu tape, dodol, dan suwar-suwir. Berdasarkan perbandingan analisis nilai

tambah metode M. Dawam Rahardjo dengan metode Hayami didapatkan hasil

bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada hasil nilai tambah dengan

menggunakan kedua metode tersebut. Secara keseluruhan industri pengolahan ubi

kayu di Kecamatan Bondowoso mampu memberikan keuntungan bagi pengusaha.

Adanya tren peningkatan rata-rata nilai tambah menunjukkan nilai yang

cenderung meningkat yang akan berimplikasi pada kemampuan pengusaha untuk

menciptakan iklim usaha yang positif.

Larasati (1986) melakukan penelitian mengenai analisis finansial industri

tapioka di Desa Bojong, Kabupaten Sukabumi. Hasil identifikasi biaya dan

analisis harga pokok menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar pembentuk

harga pokok tapioka halus dan tapioka kasar adalah biaya bahan baku, kemudian

diikuti oleh biaya overhead dan upah tenaga kerja langsung. Dari hasil

penghitungan ternyata dari harga pokok yang ditentukan, perusahaan

mendapatkan laba rata-rata sebesar 9.22% untuk tapioka kasar dan 11.94% untuk

tapioka halus. Pada saat penelitian dilakukan, tingkat produksi perusahaan 3 kali

lipat di atas break-evennya, sehingga meskipun perusahaan bekerja di bawah

kapasitas normal dan penggunaan bahan bakunya belum efisien, perusahaan

masih tetap mendapatkan keuntungan.

Rochaeni et al. (2007) mengkaji mengenai prospek pengembangan industri

kecil tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Dalam kajian pembahasan dilakukan

pembagian skala menjadi tiga, yaitu skala tinggi (5000 kg ubi kayu/hari), skala

sedang (2500 kg ubi kayu/hari), dan skala rendah (300 kg ubi kayu/hari). Skala

tinggi memproduksi 240 000 kg tapioka per tahun dan produk sampingan 66 667

kg per tahun. Skala menengah menghasilkan tapioka 126 000 kg tapioka per tahun

dan ampas 33 333 kg per tahun, sedangkan skala rendah memproduksi 15 840 kg

tapioka per tahun dan ampas 4 000 kg per tahun. R/C ratio industri tapioka skala

tinggi, menengah, dan kecil secara berturut-turut adalah 1.24 , 1.28 , dan 1.07.

Berdasarkan matriks analisis SWOT, industri kecil tapioka saat ini memiliki

tingkat penjualan dan distribusi yang belum kuat. Selain itu, analisis nilai

profitabilitas menunjukkan bahwa industri kecil tapioka tidak memiliki tingkat

pengembalian modal yang baik.

Analisis pendapatan yang dilakukan terhadap industri pengolahan ubi kayu

menghasilkan nilai R/C ratio lebih dari 1 yang berarti usaha pengolahan masih

mendatangkan penerimaan yang positif bagi pelaku usahanya. Selain itu,

rendemen yang dapat dihasilkan oleh industri pengolahan tapioka dari hasil

penelitian sebelumnya masih di atas 20% sehingga industri pengolahan masih

mampu memproduksi tepung tapioka dengan cukup optimal. Analisis nilai tambah

dari industri-industri pengolahan ubi kayu sangat berbeda, baik jumlah rasio nilai

tambah maupun persentase kontribusi margin. Hal tersebut tergantung pada

seberapa besar nilai output yang didapatkan, harga bahan baku, dan keadaan

Page 30: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

17

input-input lain yang ikut mendukung produksi, sehingga pada penelitian ini

diharapkan keadaan positif yang serupa.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Biaya

Hafsah (2003) mengungkapkan bahwa biaya produksi adalah semua

pengeluaran yang digunakan di dalam mengorganisasikan dan melaksanakan

proses produksi (termasuk di dalamnya modal, input-input, dan jasa-jasa yang

digunakan dalam produksi). Klasifikasi biaya usaha menurut Soekartawi yaitu

biaya tetap, biaya tidak tetap, biaya tunai, dan biaya tidak tunai (biaya

diperhitungkan).

Biaya tetap tidak akan berubah pada tingkat di mana dalam jangka pendek

produksi berubah tetapi akan berubah dalam jangka panjang sebagaimana

jumlah dari biaya tetap berubah. Sepanjang tidak dibutuhkan suatu input tetap

dalam jangka panjang, biaya tetap hanya akan berharga untuk jangka pendek

dan bernilai nol dalam jangka panjang.

Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya dipengaruhi

oleh produksi yang diperoleh. Biaya tidak tetap berubah-ubah sesuai dengan

kebutuhan ouput. Contoh biaya tidak tetap yaitu biaya untuk sarana produksi

maupun untuk pembelian bahan baku.

Biaya Tunai didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk

pembelian barang dan jasa bagi keperluan usaha. Contoh biaya tunai dari biaya

tetap dapat berupa pajak tanah dan pajak air. Biaya tunai yang sifatnya variabel

antara lain berupa biaya untuk pemakaian input, sewa mesin, dan tenaga kerja

luar keluarga atau tenaga kerja upahan.

Biaya Tidak Tunai (diperhitungkan) didefinisikan sebagai nilai barang dan jasa

yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. Biaya diperhitungkan yang

termasuk biaya tetap antara lain sewa lahan, penyusutan alat-alat pertanian,

bunga kredit, dan lain-lain, sedangkan yang diperhitungkan dari biaya variabel

antara lain biaya untuk tenaga kerja, biaya pengupasan dan pengolahan tepung

dari keluarga.

Konsep Pendapatan

Pendapatan adalah selisih dari biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan

suatu usaha. Konsep pendapatan ini sama dengan konsep laba menurut Lipsey

yakni selisih antara nilai penjualan perusahaan dengan biaya yang dikeluarkan

perusahaan untuk memproduksi barang yang dijual tersebut. Analisis pendapatan

mempunyai kegunaan bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari

analisa pendapatan, yakni menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha

dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan.

Jadi analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan

usahanya pada saat ini berhasil atau tidak.

Page 31: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

18

Suatu kegiatan usaha dikatakan berhasil apabila situasi pendapatannya

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: cukup untuk membayar semua

pembelian sarana produksi (termasuk biaya angkutan dan administrasi yang

mungkin melekat pada pembelian tersebut), cukup untuk membayar bunga modal

yang ditanamkan (termasuk pembayaran sewa tanah dan dana depresiasi modal),

dan cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk

upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.

Menurut Soekartawi (2002), terdapat beberapa ukuran pendapatan usaha,

antara lain sebagai berikut :

Pendapatan kotor usaha didefinisikan sebagai nilai produk total usaha dalam

jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual atau ukuran

hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usaha. Jangka waktu

pembukuan umumnya setahun dan mencakup semua produk yang dijual,

dikonsumsi rumah tangga pengusaha, digunakan dalam usaha, digunakan untuk

pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun. Untuk

menghindari penghitungan ganda, maka semua produk yang dihasilkan

sebelum tahun pembukuan tetapi dijual atau digunakan pada saat pembukuan,

tidak dimasukkan ke dalam pendapatan kotor. Istilah lain dari pendapatan kotor

ialah nilai produksi (value of production) atau penerimaan kotor usaha (gross

return). Dalam menghitung pendapatan kotor, semua komponen produk yang

tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar.

Pengeluaran total usaha adalah didefinisikan sebagai nilai semua masukan

yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi tetapi tidak termasuk

tenaga kerja keluarga. Seharusnya pengeluaran yang dihitung dalam tahun

pembukuan adalah yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk dalam tahun

pembukuan tersebut. Apabila data tersedia, maka cara yang dapat dilakukan

ialah memisahkan pengeluaran total usaha menjadi pengeluaran tetap dan

pengeluaran tidak tetap.

Apabila dalam suatu usaha digunakan mesin-mesin atau peralatan, harus

dihitung penyusutan yang dianggap sebagai pengeluaran tidak tunai.

Penyusutan merupakan nilai inventaris yang disebabkan oleh pemakaian

selama tahun pembukuan.

Pendapatan bersih usaha adalah selisih antara pendapatan kotor usaha dnegan

pengeluaran total usaha. Pendapatan bersih (net income) mengukur imbalan

yang diperoleh keluarga pengusaha dari penggunaan faktor-faktor produksi

kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang

diinvestasikan. Oleh sebab itu, pendapatan bersih usaha merupakan ukuran

keuntungan usaha yang dapat digunakan untuk membandingkan penampilan

beberapa usaha. Oleh karena bunga modal tidak dihitung sebagai pengeluaran,

maka pembandingan tidak dikacaukan oleh perbedaan hutang.

Penghasilan bersih usaha (net earnings) adalah pendapatan bersih dikurangi

bunga yang dibayarkan atas modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan

penghasilan yang diperoleh dari usaha untuk keperluan keluarga dan

merupakan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai

dalam usaha.

Page 32: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

19

Analisis Rasio Penerimaan - Biaya (R/C)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang

mungkin dihasilkan dari setiap satu rupiah yang dikeluakan. Analisis ini juga

digunakan untuk melihat kelayakan suatu usaha. Bila R/C lebih besar dari 1, maka

usaha tersebut layak untuk dijalankan. Total penerimaan merupakan jumlah

keseluruhan dari penerimaan baik yang berasal dari penjualan maupun

penerimaan diperhitungkan, sedangkan total biaya adalah keseluruhan biaya yang

dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu yang digunakan dalam proses produksi.

Konsep Nilai Tambah

Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena

mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dalam suatu proses

produksi. Menurut Hayami, et. al. (1987) definisi dari nilai tambah adalah

pertambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang

diberlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa

proses pengubahan bentuk (form utility), pemindahan tempat (place utility),

maupun proses penyimpanan (time utility). Nilai tambah menggambarkan imbalan

bagi tenaga kerja, modal dan manajemen.

Konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena

adanya input yang diperlakukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan

terjadinya nilai tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan

perubahan pada komoditas tersebut, yaitu perubahan bentuk, tempat dan waktu.

Analisis Nilai Tambah Metode Hayami

Menurut Hayami et. al. (1987) menyatakan bahwa nilai tambah adalah

selisih antara komoditas yang mendapat perlakuan pada tahap tertentu dengan

nilai korbanan yang digunakan selama proses berlangsung. Sumber-sumber dari

nilai tambah tersebut adalah pemanfaatan faktor-faktor seperti tenaga kerja,

modal, sumberdaya manusia, dan manajemen. Pada kegiatan subsistem

pengolahan alat analisis yang sering digunakan adalah alat analisis nilai tambah.

Alat analisis ini dikemukakan oleh Hayami. Kelebihan dari alat analisis ini adalah

sebagai berikut :

1. Lebih tepat digunakan untuk proses pengolahan produk-produk pertanian

2. Dapat diketahui produktivitas produksinya (rendemen dan efisiensi tenaga

kerjanya)

3. Dapat diketahui balas jasa bagi pemilik-pemilik faktor produksi

4. Dapat dimodifikasi untuk nilai tambah selain subsistem pengolahan

Besaran nilai tambah yang dihasilkan dapat ditaksir besarnya balas jasa

yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses perlakuan

tersebut. Dalam analisis nilai tambah, terdapat tiga komponen pendukung, yaitu

faktor konversi yang menunjukkan banyak output yang dihasilkan dari satu-satuan

input, faktor koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknya tenaga kerja

langsung yang diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk

yang menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu-satuan input.

Analisis Titik Impas (Break Even Point)

BEP adalah cara untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu

usaha tidak menderita rugi tetapi belum memperoleh laba atau laba = 0 (Mulyadi,

Page 33: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

20

1997). Tujuan ditetapkannya BEP adalah untuk mengetahui berapa jumlah produk

minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi dan mengetahui berapa

harga terendah yang harus ditetapkan agar usaha tidak rugi. Analisis ini

merupakan peralatan yang berguna untuk menjelaskan hubungan antara biaya,

penghasilan, dan volume penjualan atau produksi, sehingga banyak digunakan

dalam penganalisaan masalah masalah ekonomi manajerial. Analisa break-even

menunjukkan berapa besar laba perusahaan yang akan diperoleh atau rugi yang

akan diderita pada berbagai tingkat volume yang berbeda-beda di atas dan di

bawah titik impas. Jika angka impas dihubungkan dengan angka pendapatan

penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan tertentu, akan diperoleh

informasi berupa volume penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan

tertentu boleh turun agar perusahaan tidak menderita rugi (Mulyadi 1997).

Menurut Riyanto (1997), dalam mebgadakan analisa break evem digunakan

asumsi-asumsi dasar sebagai berikut :

1. Biaya di dalam perusahaan dibagi dalam golongan biaya variabel dan golongan

biaya tetap.

2. Besarnya biaya variabel secara totalitas berubah-ubah secara proporsionil

volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya variabel per unitnya

adalah tetap sama.

3. Besarnya biaya tetap secara totalitas tidak berubah meskipun ada perubahan

volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya tetap per unitnya

berubah-ubah karena adanya perubahan volume kegiatan.

4. Harga jual per unit tidak berubah selama periode yang dianalisis.

5. Perusahaan hanya memproduksi satu macam produk. Apabila diproduksi lebih

dari satu macam produk atau “sales mix”-nya adalah tetap konstan.

Analisis titik impas secara grafis adalah sebagai berikut :

Gambar 3 Analisis BEP secara grafis Sumber : Mulyadi (1997)

Page 34: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

21

Pada Gambar 3, titik impas terjadi pada perpotongan antara Total Revenue

(TR) dan Total Cost (TC) yang ditunjukkan oleh titik output Y. Apabila tingkat

penjualan lebih kecil dari Y maka perusahaan akan mengalami kerugian, yang

berarti hasil penjualan tidak dapat menutupi biaya total yang telah dikeluarkan.

Perusahaan akan mendapat keuntungan jika penjualan lebih besar dari Y, artinya

hasil penjualan lebih besar dari biaya total yang telah dikeluarkan.

Kerangka Pemikiran Operasional

Industri kecil tapioka memiliki potensi yang cukup baik untuk

dikembangkan sebagai salah satu penyokong perekonomian di Kabupaten Bogor

Jawa Barat. Selain itu, adanya perubahan selera masyarkat membuat permintaan

tapioka sebagai salah satu bahan baku industri makanan meningkat baik secara

nasional maupun internasional. Hal ini jelas merupakan salah satu peluang pasar

yang harus dapat dipenuhi oleh produsen tapioka di Indonesia, khususnya di

daerah Kabupaten Bogor.

Desa Pasir Jambu adalah salah satu wilayah produksi tapioka dari beberapa

sentra produksi di Bogor. Keadaan iklim maupun ketersediaan bahan baku dan

sumberdaya produksi mempertahankan Desa Pasir Jambu sebagai desa yang

sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai pengrajin tapioka bahkan

sejak tahun 1980-an. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya usaha, banyak

permasalahan yang terjadi di industri kecil tapioka tersebut, yaitu minimnya

induksi teknologi, keterbatasan informasi dan akses pasar, inkontinyuitas bahan

baku, serta sumber daya lahan yang semakin sempit. Adanya kendala ini secara

tidak langsung berpotensi menurunkan penerimaan petani, sehingga pendapatan

yang diterima berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.

Selain itu Jawa Barat terus mengalami peningkatan produktivitas ubi kayu,

namun luas panen ubi kayu terus menurun. Adanya peningkatan produktivitas

mengindikasikan bahwa telah adanya adopsi teknologi budidaya di tingkat petani

ubi kayu. Oleh karena itu penting untuk dikaji mengenai seberapa besar tingkat

profitabilitas para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu dan seberapa besar nilai

tambah yang diberikan oleh industri kecil tapioka sesuai dengan kendala yang

ada sekarang serta menganalisis bagaimana prospek pengembangan usaha industri

kecil tapioka Jawa Barat di masa mendatang.

Analisis dilakukan dengan menggunakan dua macam analisis, yaitu analisis

kualitatif untuk membahas mengenai keragaan industri kecil tapioka Desa Pasir

Jambu dan statistik deskriptif untuk membahas prospek pengembangan industri

kecil tapioka. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung analisis

pendapatan, penerimaan, dan pengeluaran usaha, analisis titik impas, dan analisis

nilai tambah. Dari kesemua hasil analisis akan disajikan ulasan mengenai prospek

pengembangan usaha yang sesuai dengan peluang pasar, sehingga didapatkan

saran dan rekomendasi bagi para pengrajin industri kecil tapioka, penyuluh

pertanian, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah setempat. Kerangka

pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Page 35: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

22

Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten

Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013

hingga Juni 2013. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan

pertimbangan bahwa Kecamatan Sukaraja merupakan salah satu daerah sentra

produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor dan Desa Pasir Jambu adalah salah satu

daerah penghasil tepung tapioka di Kecamatan Sukaraja.

Adanya potensi dan peluang usaha yang baik

industri kecil tapioka di Jawa Barat

Kendala industri kecil tapioka saat ini yaitu

minimnya induksi teknologi, keterbatasan

informasi dan akses pasar, inkontinyuitas bahan

baku yang berpotensi mengurangi penerimaan

dan nilai tambah pengrajin tapioka

Keragaan industri kecil tapioka

Desa Pasir Jambu

Desa Pasir Jambu sebagai salah

satu tempat produksi tapioka di

Kab. Bogor

Analisis Pendapatan Usaha

Analisis Titik Impas

Analisis Nilai Tambah

Prospek pengembangan usaha

sesuai dengan peluang pasar

dan ketersediaan input

Saran dan rekomendasi

Page 36: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

23

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan wawancara langsung,

wawancara terstruktur, dan observasi. Teknik mengumpulkan data tersebut

digunakan untuk mengumpulkan data primer. Sedangkan untuk data sekunder,

teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literatur dan sumber

internet. Dari keseluruhan kelompok tani yang ada di Desa Pasir Jambu,

wawancara hanya dilakukan pada 4 kelompok tani yaitu Kelompok Tani Matahari

Terbit 1, Matahari Terbit 2, Matahari Terbit 3, dan Kelompok Wanita Tani Karya

Bersama. Kelompok tani ini dipilih secara sengaja karena seluruh anggota

merupakan pelaku industri kecil tapioka dan sebagian merupakan petani yang

menanam komoditi ubi kayu. Penentuan petani responden dilakukan dengan

mengambil sampel dari petani yang masih aktif melakukan kegiatan pengolahan

tapioka hingga saat penelitian dilakukan. Jumlah responden yaitu 6 orang pemilik

faktor produksi dan 11 orang pengrajin tapioka penggarap. Selain itu, peneliti juga

mengambil data dari informan yang merupakan pihak eksternal dari industri kecil

tapioka tersebut, seperti aparatur pemerintah setempat, penyuluh pertanian,

asosiasi pengusaha tapioka, dan lembaga pemasaran tapioka.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer

diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi), wawancara langsung dan

pengisian kuisioner yang diajukan kepada responden. Data sekunder didapatkan

melalui literatur-literatur yang relevan seperti buku, jurnal penelitian. website,

Badan Pusat Statistika Kota Bogor, perpustakaan, dan instansi yang bersedia

membantu untuk ketersediaan data.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam

penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode

pengamatan langsung (observasi) dan metode wawancara terstruktur melalui

daftar pertanyaan yang diisi langsung oleh peneliti sesuai dengan hasil wawancara

yang diperoleh dari responden. Pengamatan langsung dilakukan dengan

mengamati aktivitas pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang dilakukan

oleh petani setempat di Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten

Bogor. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada data kuantitatif dalam bentuk

tabulasi dengan bantuan aplikasi Microsoft Excel 2007. Analisis data dalam

penelitian ini dibagi atas analisis kuantitatif berupa analisis penerimaan usaha,

pengeluaran usaha, pendapatan usaha, analisis titik impas, dan analisis nilai

tambah, sedangkan analisis kualitatif berupa statistik deskriptif mengenai prospek

pengembangan industri kecil tapioka.

Page 37: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

24

Analisis Pendapatan

Pendapatan industri kecil tapioka dianalisis dengan menggunakan

pendekatan arus pengeluaran dan arus penerimaan. Arus penerimaan terdiri dari

penerimaan dari produk yang dijual dan penerimaan dari produk yang dikonsumsi

sendiri, namun tetap diperhitungkan. Arus pengeluaran terdiri dari pengeluaran

tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan.

Struktur Penerimaan Usaha

Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan

harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TR = Y. Py ………………………………...(1)

yaitu:

TR = Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani

Py = Harga Y (Harga Output)

Struktur Biaya Usaha

Biaya biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Biaya Tetap (fixed

cost) dan Biaya Tidak Tetap. Biaya Tetap (fixed cost) yaitu biaya yang

penggunaanya tidak habis dalam satu masa produksi. Besarnya biaya tetap

tidak tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan tetap harus

dikeluarkan walaupun tidak ada produksi. Komponen biaya tetap antara lain

seperti sewa tanah, pajak, peralatan, dan iuran irigasi. Cara menghitung biaya

tetap adalah :

FC = XiPxi …………………………………(2)

Dimana,

FC = fixed cost (biaya tetap)

Xi = Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap

Pxi = Harga input

n = Macam input

Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya

dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana

produksi. Rumus (2) juga dapat digunakan untuk menghitung biaya variabel.

Karena total biaya (TC) merupakan penjumlahan dari biaya tetap (FC) dan

biaya tidak tetap (VC), yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

TC = FC + VC …………………………….(3)

Dimana,

TC = Total biaya

FC = Biaya tetap

VC = Biaya variabel

Selain itu, terdapat cara untuk menghitung biaya penyusutan yaitu :

Straight Line, yaitu pembagian nilai awal setelah dikurangi nilai akhir oleh

waktu pemakaian (expected life). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa

nilai benda yang digunakan dalam usaha akan menyusut dalam besaran yang

sama setiap tahunnya atau selalu sama sepanjang tahun. Metode ini dianggap

sebagai metode yang termudah, secara matematis penyusutan dirumuskan

sebagai:

D = -

…………………………….(4)

Page 38: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

25

Dimana,

D = Penyusutan (Rp)

HAw = Nilai awal barang (Rp)

HAk = Nilai akhir barang (Rp), diasumsikan bernilai nol

Wp = waktu pakai (tahun)

Pendapatan Usaha

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Jadi :

Pd = TR – TC ……………………………...(5)

Dimana,

Pd = Pendapatan usaha

TR = Total penerimaan

TC = Total biaya

Analisis R/C Ratio

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang

mungkin dihasilkan dari setiap satu rupiah yang dikeluakan. Analisis ini juga

digunakan untuk melihat kelayakan suatu usaha. Bila R/C lebih besar dari 1, maka

usaha tersebut layak untuk dijalankan. Total penerimaan merupakan jumlah

keseluruhan dari penerimaan baik yang berasal dari penjualan maupun

penerimaan diperhitungkan, sedangkan total biaya adalah keseluruhan biaya yang

dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu yang digunakan dalam proses produksi.

R/C rasio =

Analisis Titik Impas (Break Even Point)

BEP adalah cara untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu

usaha tidak menderita rugi tetapi belum memperoleh laba atau laba = 0 (Mulyadi

1997). Tujuan ditetapkannya BEP adalah untuk mengetahui berapa jumlah produk

minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi dan mengetahui berapa

harga terendah yang harus ditetapkan agar usaha tidak rugi.

BEP (Unit) = Total Biaya Tetap / (harga jual per unit – biaya variabel per unit)

BEP (Rp) = Total Biaya Tetap / (1- Total Biaya Variabel/Total Penjualan)

Dalam menentukan harga yang dipakai untuk perhitungan BEP, maka perlu

dibuat harga konversi, karena ada dua jenis output dengan tingkat harga yang

berbeda.

Jumlah tepung tapioka per kuintal bahan baku = A kg

Harga tepung tapioka per kg = Rp B

Jumlah onggok per kuintal bahan baku = C kg

Harga onggok per kg = Rp D

Maka harga konversi yaitu =

Page 39: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

26

Analisis Nilai Tambah

Analisis nilai tambah dipandang sebagai usaha untuk melaksanakan prinsip-

prinsip distribusi dan berfungsi sebagai salah satu indikator dalam keberhasilan

suatu kegiatan produksi. Dalam menganalisis nilai tambah yang diperoleh dari

industri kecil tapioka ini digunakan metode Hayami seperti yang disajikan pada

tabel 4. Metode ini digunakan karena metode ini dapat digunakan dalam

menganalisis nilai tambah pada sub sistem pengolahan atau produksi sekunder.

Tabel 4 Tahapan perhitungan nilai tambah Metode Hayamia

Komponen Perhitungan

Output, Input, dan Harga Jumlah

A. Output (Ku/Th)

Tapioka Kasar

Onggok

B. Input (Ku/Th)

C. Tenaga Kerja (HOK/Th)

D. Faktor Konversi A/B

Tapioka Kasar

Onggok

E. Koefisien Tenaga Kerja C/B

F. Harga Produk (Rp/Ku)

Tapioka Kasar

Onggok

G. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK)

Penerimaan dan Keuntungan

H. Harga Bahan Baku (Rp/Ku)

I. Harga Input Lain (Rp/Ku)

J. Nilai Output (Rp/Ku) DxF

Tapioka Kasar

Onggok

K. Nilai Tambah (Rp/Ku) J-H-I

L. Rasio Nilai Tambah K/J

M. Pendapatan TK (Rp/Ku) ExG

N. Pangsa TK M/K

O. Keuntungan (Rp/Ku) K-M

P. Tingkat Keuntungan O/J

Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Q. Margin (Rp/Ku) J-H

R. Pendapatan TK M/Q

S. Sumbangan Input Lain I/Q

T. Keuntungan O/Q aSumber : Hayami et al. 1993

Page 40: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

27

Distribusi nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan

dalam proses pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan keterampilan,

serta kualitas bahan baku. Apabila penerapan teknologi cenderung padat karya

maka proporsi bagian tenaga kerja yang diberikan lebih besar daripada proporsi

bagian keuntungan bagi perusahaan, sedangkan apabila diterapkan teknologi padat

modal maka besarnya proporsi bagian manajemen lebih besar daripada proporsi

bagian tenaga kerja.

GAMBARAN UMUM

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Kondisi Umum Desa Pasir Jambu

Desa Pasir Jambu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan

Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas wilayah desa ini 215 Ha yang

terdiri dari 60 Ha tanah sawah dan ladang. Wilayah Desa Pasir Jambu sebelah

utara dibatasi oleh Kelurahan Karadenan, Kecamatan Cibinong; sebelah timur

dibatasi oleh Desa Cimandala Kecamatan Sukaraja dan Kelurahan Ciparigi

Kotamadya Bogor; sebelah selatan dibatasi oleh Kelurahan Ciparigi dan

Kelurahan Kedunghalang; dan sebelah barat desa ini dibatasi oleh Sungai

Ciliwung, Desa Cilebut Timur Kecamatan Sukaraja. Ketinggian tanah dari

permukaan laut yaitu 750 m dengan suhu udara rata-rata 20-32°C.

Tabel 5 Spesifikasi kelompok tani Karya Bersama Desa Pasir Jambu

Jumlah penduduk desa ini sebanyak 12 540 jiwa dengan jumlah penduduk

laki-laki sebesar 6 330 jiwa dan perempuan 6 120 jiwa. Dari banyak jumlah

penduduk tersebut, sebagian besar masih bekerja sebagai pegawai swasta.

Meskipun begitu, Desa Pasir Jambu tergolong cukup baik dalam pengelolaan

pertaniannya dilihat dari banyaknya petani yang bergabung dalam Gabungan

Kelompok Tani Bidang Jumlah Orang

Karya Bersama Lele Dumbo dan Kambing 35

Barokah Tanaman pangan dan perkebunan 25

Darussalam Tanaman Hias

Matahari Terbit I

Matahari Terbit II

Matahari Terbit III

Matahari Terbit IV

Matahari Mandiri

Industri kecil tapioka 53

KWT Karya Bersama Budidaya ikan dan hortikultura 10

KWT Kenanga Tanaman Hias

KWT Mawar I dan II Pembuatan kue bagi rumah tangga

olahan dari tapioka

Page 41: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

28

Kelompok Tani Karya Bersama. Adanya hasil pertanian secara kontinyu direspon

oleh sebagian penduduk Desa Pasir Jambu dengan mendirikan industri-industri

kecil pengolahan hasil pertanian sebanyak 7 industri skala menegah ke atas, 14

industri kecil, dan 9 industri skala rumah (home industry). Sebagian besar industri

tersebut bergerak dalam pengolahan tepung tapioka.

Desa Pasir Jambu memiliki sebuah gabungan kelompok tani yang terdiri

dari 11 kelompok tani. Gapoktan tersebut yaitu Gapoktan Karya Bersama yang

telah memiliki LKM-A (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) dan sebuah

Koperasi Wanita Tani Kenanga yang secara bersamaan disahkan pada tahun 2009.

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa di Gapoktan Karya Bersama terdapat

berbagai macam bidang yang diusahakan, yaitu antara lain perikanan berupa

budidaya lele dumbo, peternakan kambing, budidaya tanaman pangan seperti

padi, jagung, dan ubi kayu, budidaya tanaman hias, industri kecil tapioka, dan

pengolahan ampas tapioka. Jumlah keseluruhan dari anggota Gapoktan Karya

Bersama yaitu 123 anggota.

Karakteristik Industri Kecil Tapioka

Sejarah dan Perkembangan

Industri kecil tapioka banyak tersebar di berbagai kecamatan di Kabupaten

Bogor, khususnya daerah yang memiliki curah hujan rendah dan hari hujan yang

sedikit. Salah satu daerah industri kecil tapioka yaitu Desa Pasir Jambu

Kecamatan Sukaraja. Menurut keterangan pengrajin tapioka setempat, industri

kecil tapioka sudah ada pada tahun 1980-an, di mana nenek moyang sudah

mengenal teknik pembuatan aci kasar tersebut. Hal ini disebabkan cuaca setempat

yang mendukung budidaya ubi kayu secara optimal sehingga tersedia bahan baku

yang melimpah untuk diproduksi.

Selain itu pemakaian tapioka yang semakin meningkat di masyarakat

membuat pengrajin tapioka mulai memproduksi dalam jumlah besar. Dalam

melakukan produksi, pada umumnya pengrajin mengikutsertakan anggota

keluarga yang lainnya seperti istri dan anak untuk dapat mempercepat waktu kerja

dan mempermudah pekerjaan. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai pengrajin

tapioka dapat disebut sebagai pekerjaan yang dilakukan secara turun temurun

hingga sekarang.

Pada saat itu permintaan pasar akan tepung tapioka cukup besar seiring

dengan pertumbuhan perekonomian nasional dengan Program Repelita yang

dicanangkan oleh Pemerintah, bahkan permintaan pasar dunia akan tepung

tapioka yang sebagian besar untuk bahan baku industri makanan itu juga

meningkat pesat. Dengan adanya kondisi seperti itu, industri kecil tapioka tumbuh

dengan pesat di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Bogor. Saat ini bahkan telah

menjalar di desa-desa sekitar Desa Pasir Jambu, yaitu Desa Cikeas, Desa Tanah

Sewa, dan lain-lain.

Karaktersitik dan Profil Pengrajin Tapioka

Jumlah responden yang diwawancara yaitu sebanyak 17 orang yang secara

keseluruhan merupakan pengrajin aci yang masih aktif berproduksi hingga

sekarang. Profil pengrajin tapioka secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran

5. Seluruh responden berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 26 hingga 80

Page 42: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

29

tahun, dengan persentase terbesar yaitu usia 50 tahun ke atas sebanyak 47%.

Responden yang berusia 20 tahun sampai 30 tahun memiliki persentase paling

sedikit yaitu hanya sebesar 12% saja karena peneliti sulit menemukan responden

lain yang berusia setara.

Latar belakang pendidikan responden terdiri SD atau tidak tamat SD, SMP

dan SMA. Sebanyak 82.3% responden tidak tamat mengenyam bangku SD,

sedangkan sisanya sebanyak 17% sudah tamat SMP dan SMA. Responden yang

tidak tamat SD merupakan responden yang berusia lebih dari 50 tahun.

Responden yang mampu menamatkan SMP dan SMA merupakan respoden yang

rata-rata berusia 30 tahun. Adanya pekerjaan sebagai pengrajin aci secara turun

temurun mempengaruhi latar belakang pendidikan responden yang sudah terbiasa

melakukan pekerjaan ini sejak usia remaja. Banyaknya jumlah jam kerja dalam

satu hari produksi menjadi pertimbangan untuk tidak melanjutkan pendidikan.

Selain itu, pengalaman bekerja sebagai pengrajin tapioka juga memiliki

rentang waktu yang terpaut cukup jauh dari ke 17 responden tersebut, yaitu antara

5 sampai dengan 40 tahun. Sebanyak 52.94% responden telah memiliki

pengalaman memproduksi tapioka selama 11 sampai dengan 40 tahun, sedangkan

sisanya yaitu sebesar 47.05% memiliki pengalaman bekerja selama 5 sampai

dengan 10 tahun. Responden yang telah memiliki pengalaman bekerja lebih lama

memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih matang,

sedangkan sebagian responden yang memiliki pengalaman bekerja lebih sedikit

memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dan usia yang lebih muda.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan kehidupan sosial ekonomi antar responden.

Dari semua responden, hanya 6 responden yang memiliki investasi berupa

aset produksi dalam melakukan pekerjaannya sebagai pengrajin tapioka. Investasi

ini berupa mesin giling dan lahan jemur. Aset berupa mesin giling berarti sudah

termasuk mesin diesel yanmar, bak penampung, dan rumah penggilingan,

sedangkan aset lahan jemur sudah termasuk gubug/saung bambu, lahan tempat

penjemuran, dan plampang (bambu untuk penjemuran). Terdapat 4 mesin giling

dan 6 lahan jemur dari keseluruhan responden dengan luasan yang berbeda-beda.

Sebagian responden yang memiliki aset tersebut merupakan responden yang

memiliki tingkat pendidikan SMP, SMA, dan tidak menamatkan SD. Sebagian

besar responden mendapatkan aset tersebut dari adanya warisan / hibah dari

kerabat dekat.

Seluruh responden melibatkan tenaga kerja keluarga dalam memproduksi

tapioka, sedangkan yang melibatkan tenaga kerja luar keluarga hanya 35.29%

responden. Pengrajin tapioka biasanya melibatkan istri dan anak sebagai pengupas

dan penjemur dalam proses produksi. Hal ini dilakukan karena pengrajin lebih

memilih untuk tidak membayar kuli kupas dan kuli jemur untuk menghemat biaya

pengeluaran. Responden yang memiliki tenaga kerja luar keluarga ternyata

merupakan responden yang juga memiliki aset berupa mesin giling dan lahan

jemur.

Intinya, tenaga kerja pada industri tapioka tidak memerlukan keahlian

khusus. Jumlah tenaga kerja ditentukan oleh kapasitas produksi dan teknologi

yang digunakan. Besarnya penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan

tapioka ditentukan oleh volume produksi. Semakin tinggi volume produksi

semakin besar jumlah tenaga kerja yang diserap. Tenaga kerja yang dibutuhkan

Page 43: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

30

meliputi seluruh proses produksi dari pengupasan sampai pada pengeringan

produk.

Tata Letak dan Fasilitas Bangunan

Lokasi pengolahan tapioka dipilih wilayah yang memiliki sumber air dan

akses yang baik terhadap panas matahari. Panas matahari merupakan faktor

produksi yang penting bagi industri pengolahan tapioka, dengan demikian, lokasi

usaha yang memiliki akses yang baik terhadap panas matahari akan mendukung

keberhasilan usaha pengolahan tapioka, karena umumnya para pengrajin tapioka

belum mampu menyediakan teknologi pengeringan tapioka. Ketersediaan air juga

sangat penting, terutama untuk pencucian dan penyaringan tepung.

Industri kecil tapioka yang berada di Desa Pasir Jambu masih tergolong

tradisional karena tidak menggunakan peralatan khusus dalam proses produksi

dan lebih banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan tenaga mesin.

Dalam kajian ini, bangunan, fasilitas, dan alat yang diamati hanya dibatasi pada

industri kecil tapioka kasar di Desa Pasir Jambu. Bangunan industri kecil tapioka

hanya berupa bangunan sederhana dengan dinding setengah badan yang terbuat

dari batako, sedangkan bagian atap hanya berbahan bilik bambu dan genteng

tanah yang ringan. Tata letak bangunan industri kecil tapioka secara lebih detail

dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

Gambar 5 Layout produksi rumah penggilingan industri kecil tapioka

Industri kecil tapioka terdiri dari beberapa faktor produksi utama. Faktor

produksi yang paling penting dalam industri kecil tapioka yaitu proses

penggilingan ubi kayu menggunakan mesin. Mesin penggilingan diletakkan pada

rumah penggilingan yang terdiri dari mesin Yanmar atau tenaga penggerak listrik

dari PLN sebesar 82.5 KVA, bak pencucian, dan bak pengendapan. Faktor

produksi penting lainnya yaitu lahan penjemuran untuk proses pengurangan kadar

bak pengendapan

tempat pengupasan

bahan baku

bak penampungan

air bersih

bahan

baku

siap giling ubi kayu giling,

siap diendapkan

mesin penggilingan

Page 44: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

31

air dari tepung tapioka. Lahan penjemuran terdiri dari plampang (bambu), tampir,

dan saung/gubug sebagai ruang penyimpanan tepung yang telah kering.

Permodalan dan Pembiayan Usaha

Salah satu kendala yang dihadapi oleh para pengrajin tapioka di Desa Pasir

Jambu adalah mengenai akses terhadap permodalan. Para pengrajin mengakui

sulitnya mendapatkan permodalan dari lembaga keuangan untuk meningkatkan

produksi tapioka mereka. Hal ini disebabkan kurangnya agunan yang dimiliki oleh

tiap individu. Para pengrajin tapioka membentuk kelompok tani bukan karena

suatu alasan tertentu melainkan untuk mempermudah mendapatkan bantuan dari

pemerintah. Salah satu bantuan yang pernah didapatkan oleh Kelompok Tani

Karya Bersama yaitu adanya program PUAP pada tahun 2009 dengan menerima

dana sebesar Rp50 000 000 dari pemerintah. Selain memberikan bantuan dalam

bentuk modal, program tersebut juga membantu dalam perbaikan saluran irigasi

dari mata air ke rumah-rumah penggilingan sehingga mempermudah para

pengrajin tapioka untuk melakukan proses pemerasan.

Pengadaan Bahan Baku

Pengrajin tapioka tidak memiliki spesifikasi khusus dalam menentukan

bahan baku. Hampir semua jenis ubi kayu dapat digunakan karena semakin

sulitnya mendapatkan bahan baku yang kontinyu. Jenis-jenis ubi kayu yang

digunakan antara lain ; Mentega, Manggu, Prelek, Pengkang, Thailand, dan

Cicurug. Jenis ubi kayu yang paling sering digunakan sebagai bahan baku yaitu

singkong Manggu karena ubi kayu yang berasal dari Sukabumi ini memiliki

produktivitas yang tinggi. Umbi singkong Manggu dipanen pada 8-10 bulan

pascatanam, sehingga memiliki kandungan pati yang cukup banyak. Selain itu

kadar patinya cukup tinggi, yaitu 27%-35%.

Tempat perolehan bahan baku ubi kayu berasal dari berbagai daerah.

Daerah-daerah yang melakukan pengiriman bahan baku kepada pengrajin tapioka

Desa Pasir Jambu antara lain Sukabumi (Cikidang, Jampang Surade), Bogor

(Petaunan, Jasinga, Cilebut, Karadenan, Gunung Sindur), dan daerah Lampung.

Selain melakukan pembelian bahan baku, sebagian pengrajin juga melakukan

budidaya ubi kayu sebagai bahan cadangan apabila sama sekali bahan baku yang

tersedia untuk diproduksi. Salah satu pengrajin tersebut yaitu Pak Bobby yang

memiliki lahan ±9 hektar dengan produktivitas yang tergolong rendah hanya

sebesar 10 ton/hektar.

Tingkat produktivitas ubi kayu selain dipengaruhi oleh sistem budidaya,

juga dipengaruhi oleh jenis/varietas tanaman tersebut (Rukmana, 1997). Potensi

hasil dan sifat penting beberapa varietas ubi kayu disajikan dalam Tabel 6 berikut.

Varietas ubi kayu Mentega adalah varietas yang cukup mudah didapatkan, meski

kandungan pati varietas ini hanya rata-rata 26%. Hal ini akan berpengaruh

terhadap hasil produksi tapioka.

Dalam pemenuhan bahan baku, sebagian pengrajin tapioka mengandalkan

pengiriman secara kolektif oleh salah satu pengrajin tapioka yang memiliki

kemudahan akses informasi terhadap penyedia bahan baku. Salah satunya yaitu

Pak Andi yang setiap harinya mendatangkan bahan baku yang berasal dari luar

desa. Biasanya bahan baku didatangkan pada sore hari setelah dipanen pada hari

itu juga untuk menjaga kualitas tepung tapioka. Selain itu, sebagian pengrajin

Page 45: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

32

tapioka mencari sendiri bahan baku ubi kayu untuk diolah tanpa mengandalkan

bantuan dari informan tersebut. Hal ini disebabkan perbedaan harga yang lebih

murah jika melakukan pembelian secara langsung kepada petani ubi kayu.

Tabel 6 Potensi hasil dan sifat-sifat penting beberapa varietas ubi kayu

Varietas Produksi

(ton/Ha)

Kandungan Pati

(%) HCN (mg) Rasa

Valenca*

Bogor*

SPP*

Muara*

Mentega

Aldira-1

Aldira-2

Malang-1

Malang-2

20

40

20-25

40

20

20-35

20-35

36.5

31.5

-

30.9

27.0

26.9

26.0

45.2

40.8

32-36

32-36

39

100

150

100

32

27.5

123.7

-

-

Enak (manis)

Pahit

Amat pahit

Pahit

Enak (manis)

Enak (manis)

Pahit

Enak (manis)

Enak (manis) Sumber : Rukmana, 1997.

Keterangan: -) tidak ada data, *) varietas lama

Proses Produksi Tapioka

Proses produksi tapioka dilakukan selama 2 hari setiap kali produksi untuk

mengolah ubi kayu hingga benar-benar menjadi tepung tapioka siap kirim ke

pabrik pengepul. Untuk memproduksi tapioka, dengan kapasitas 7 kuintal ubi

kayu per hari dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaimana disajikan

pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Fasilitas dan peralatan produksi tapioka

Nama Alat Satuan Jumlah (Unit) Umur Pakai (Tahun)

Mesin Giling/Generator buah 1 5

Bambu Jemuran (Plampang) buah 250 1

Tampah buah 300 1

Keranjang buah 5 0.5

Ayakan buah 2 0.25

Saringan buah 2 0.25

Gayoran buah 2 0.5

Saung / Gubuk buah 1 2

Plastik buah 25 0.33

Pisau buah 3 0.5

Bak Penampung buah 4 10

Page 46: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

33

Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas fasilitas dan peralatan produksi

yang digunakan. Masing-masing peralatan memiliki fungsi yang bebeda. Mesin

giling merupakan mesin yang menjadi pusat dari seluruh proses produksi. Selain

itu, alat-alat yang digunakan dalam proses awal yaitu pisau, ayakan, saringan,

gayoran, dan bak penampung, sedangkan alat seperti tampah, plampang,

saung/gubug, plastik, dan rak digunakan dalam proses pengeringan saja.

Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan

teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan

full otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 8

berikut ini

Tabel 8 Perbedaan tekonologi pengolahan tapioka

Proses Tradisional Semi Modern Full Otomate

Pengupasan Manual Manual Mesin

Pencucian Manual Manual Mesin

Pemarutan Mesin Mesin Mesin

Pemerasan Manual Mesin Mesin

Pengendapan Manual Manual Mesin

Pengeringan Sinar Matahari Oven Mesin Sumber: Supriati (2009)

Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi

mekanik sederhana atau tradisional. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi

menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan, sedangkan

pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar matahari. Proses semi modern

sudah dapat dijumpai di beberapa industri kecil tapioka lainnya di daerah

Kabupaten Bogor, sedangkan teknologi full otomate hanya terdapat di industri

tapioka skala besar saja. Berikut ini proses produksi tepung tapioka di Desa Pasir

Jambu.

1. Pengupasan

Pengupasan dilakukan dengan cara manual dengan menggunakan pisau

yang bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama

pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi

dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses

menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak kambing.

2. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan dua alternatif cara, yang pertama yaitu

menggunakan alat pencuci singkong berupa kincir berputar dengan dialiri air

yang cukup deras atau dengan cara manual yaitu dengan meremas singkong di

dalam bak yang berisi air mengalir, yang bertujuan memisahkan kotoran pada

singkong.

Page 47: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

34

Gambar 6 Pencucian bahan baku ubi kayu

3. Pemarutan

Proses pemarutan pada industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu dengan

menggunakan tenaga mesin pengiling. Meskipun begitu, pada industri kecil

dengan teknologi yang masih tradisional, parut yang digunakan ada 2 macam

yaitu :

a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga

manusia sepenuhnya.

b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator dengan menggunakan

tenaga listrik dan bahan bakar solar.

4. Pemerasan/Ekstraksi

Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:

a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual

menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di

mana cairan yang diperoleh adalah pati yang ditampung di dalam ember.

b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (gayoran). Bubur

singkong diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada

saat saringan tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan air melalui pipa

berlubang. Pati yang dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.

Gambar 7 Pemarutan dan pemerasan bahan baku

Page 48: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

35

Gam Gamgambar Pme rawns

5. Pengendapan

Hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama

semalam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan

endapan diambil dan dikeringkan.

6. Pengeringan

Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan

cara menjemur tapioka dalam tampah atau tampir yang diletakkan di atas

rak-rak bambu selama 6 jam saja (tergantung dari cuaca) antara jam 6 pagi

sampai dengan jam 12 siang. Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya

mengandung kadar air 8% - 15%.

Gambar 8 Pengeringan tapioka dengan sinar matahari

Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong

yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia

lebih dari 7 bulan. Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas bahan

baku. Namun sulitnya akses terhadap bahan baku membuat pengrajin tapioka

menggunakan bahan baku yang berasal dari ubi kayu berbagai jenis, baik yang

dipanen muda ataupun yang mengandung kadar pati rendah. Sehingga akan

mempengaruhi hasil akhir dari pengolahan itu sendiri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Pendapatan

Penerimaan Usaha

Sumber penerimaan pengrajin tapioka berasal dari hasil produksi berupa

tepung tapioka kasar (aci) dan onggok (ampas). Penerimaan usaha sangat

tergantung kepada harga yang diberikan oleh pengepul karena harga yang

diberikan cukup fluktuatif berdasarkan pertimbangan pengepul. Pada umumnya,

Page 49: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

36

harga rata-rata tapioka kasar yang diberikan oleh pengepul berkisar antara Rp530

000 – Rp570 000/kw, sedangkan harga rata-rata onggok kering yaitu Rp150

000/kw. Penerimaan selain tergantung kepada harga jual yang diberikan oleh

pabrik pengepul, juga dipengaruhi oleh kadar pati yang terkandung di dalam

bahan baku. Rata-rata kadar pati dari ubi kayu yang dijadikan bahan baku oleh

pengrajin tapioka yaitu 21.67%/kw, sedangkan rendemen ampas biasanya

mencapai 6.04%/kw.

Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa pemilik faktor produksi dan

penggarap memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam memperoleh

penerimaan yang disebabkan perbedaan jumlah bahan baku yang diproduksi.

Pemilik faktor produksi rata-rata memproduksi tepung tapioka kasar 300% lebih

banyak daripada pengrajin penggarap yaitu sebanyak 745.45 kw/tahun, sedangkan

penggarap rata-rata sebanyak 231.67 kw/tahun. Jadi rata-rata pengrajin

memproduksi tapioka kasar sebesar 488.56 kw/tahun dengan rata-rata penerimaan

sebesar Rp268 708 000/tahun.

Tabel 9 Arus penerimaan pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu tahun

produksi

Arus Penerimaan Pemilik Penggarap Rata-rata

Produksi Kotor (Kw)

Tapioka Kasar 745.45 231.67 488.56

Onggok 207.78 64.36 136.07

Penerimaan

Tapioka Kasar Rp409 996 400 Rp 127 419 600 Rp 268 708 000

Onggok Rp31 166 400 Rp 9 653 891 Rp 20 410 145

Total Penerimaan Rp 441 162 800 Rp 137 073 491 Rp 289 118 145

Selain itu, penerimaan pengrajin juga didapatkan dari penjualan

onggok/ampas kepada pengepul yang sama. Dalam satu tahun, rata-rata pengrajin

tapioka mampu memproduksi onggok kering sebanyak 136.07 kw dengan jumlah

penerimaan sebesar Rp20 410 145/tahun. Rata-rata total penerimaan dari hasil

produksi tepung tapioka kasar dan onggok kering untuk setiap pengrajin yaitu

sebesar Rp289 118 145/tahun.

Pengeluaran Usaha

Pengeluaran usaha digolongkan menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya

variabel. Biaya tetap produksi adalah biaya yang dikeluarkan selama industri kecil

tapioka berjalan yang besarnya tidak terpengaruh oleh volume produksi yang

berlangsung, mulai dari pengupasan ubi kayu sampai menjadi tapioka kasar.

Biaya tetap terdiri atas biaya sewa lahan dan total biaya penyusutan. Biaya

variabel adalah biaya yang dibayarkan oleh pengrajin tapioka yang jumlahnya

secara proporsional berubah sesuai dengan aktivitas produksi. Biaya variabel ini

terdiri dari biaya pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya

tenaga kerja luar keluarga, biaya solar, biaya listrik, biaya pemeliharaan, biaya

sewa penggilingan, dan biaya pemasaran.

Page 50: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

37

Komponen biaya pengeluaran dari seluruh responden pengrajin tapioka

dapat dilihat pada Tabel 10. Pada tabel tersebut disajikan rataan komponen biaya

dari kedua jenis pengrajin tapioka, namun sebenarnya pemilik faktor produksi dan

pengrajin penggarap memiliki susunan pengeluaran yang berbeda. Pemilik faktor

produksi memiliki komponen biaya yang lebih banyak dibandingkan pengrajin

penggarap disebabkan adanya perbedaan dalam status kepemilikan faktor

produksi. Arus pengeluaran usaha secara lebih lengkap dapat diliat pada Lampiran

9 dan Lampiran 10.

Biaya tetap terdiri dari biaya sewa lahan dan biaya penyusutan. Biaya sewa

lahan bagi pengrajin penggarap dibayarkan dalam bentuk 2 kg tepung tapioka

kasar setiap produksi atau menyewa lahan seharga Rp2 000 000/tahun kepada

pemilik lahan. Dalam penghitungan biaya pengeluaran, pemilik faktor produksi

yang memiliki lahan jemur tetap dikenakan biaya sewa lahan diperhitungkan

dengan jumlah biaya yang sama.

Tabel 10 Arus pengeluaran pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu tahun

produksi

Arus Pengeluaran Rata-rata %

Biaya Tetap

Biaya Sewa Lahan diperhitungkan Rp 2 213 636 0.79

Total Biaya Penyusutan Rp 7 171 970 2.55

Biaya Tetap Total Rp 9 385 606

Biaya Variabel

Biaya Bahan Baku Rp 217 940 145 77.41

Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga Rp 13 865 455 4.92

Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga Rp 27 960 000 9.93

Biaya Solar Rp 5 280 000 1.88

Biaya listrik Rp 200 000 0.07

Biaya Pemeliharaan Rp 400 000 0.14

Biaya Sewa Penggilingan Rp 1 624 006 0.58

Biaya Pemasaran Rp 4 885 600 1.74

Total Biaya Variabel Rp 272 155 206

Biaya Total Rp 281 540 812 100

Biaya penyusutan dihitung berdasarkan inventarisasi mesin dan alat apa saja

yang digunakan dalam proses produksi. Penghitungan dilakukan dengan metode

penyusutan garis lurus dengan nilai sisa yang ditentukan berdasarkan informasi

yang didapatkan dari responden pengrajin tapioka. Pemilik faktor produksi dan

pengrajin penggarap memiliki komponen biaya penyusutan yang berbeda.

Pengrajin penggarap yang berstatus menyewa penggilingan tidak dikenai biaya

penyusutan mesin penggilingan dan rumah penggilingan karena tidak memiliki

secara langsung faktor produksi tersebut. Komponen biaya penyusutan secara

lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

Page 51: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

38

Dalam Tabel 8, terdapat beberapa komponen biaya yang hanya terdapat

pada arus pengeluaran pemilik faktor produksi saja. Biaya variabel yang terdapat

pada komponen biaya semua pengrajin tapioka yaitu biaya bahan baku, biaya

sewa penggilingan, dan biaya pemasaran. Biaya bahan baku dihitung berdasarkan

rata-rata kebutuhan bahan baku pengrajin selama setahun dikali harga bahan baku

sehingga jumlah biaya sebesar Rp217 940 145.

Biaya tenaga kerja diperhitungkan merupakan biaya yang dihitung dari

seberapa banyak jumlah anggota keluarga yang ikut dalam proses produksi

tapioka. Sebagian besar pengrajin tapioka melibatkan keluarganya untuk

menghemat pengeluaran biaya upah tenaga kerja. Upah yang diberikan pada

umumnya Rp24 000/hari untuk kuli peras dan Rp10 000/hari untuk kuli jemur.

Para pengrajin tapioka yang sebagian besar laki-laki mengikutsertakan istri

sebagai pengganti kuli jemur dan anak laki-laki untuk membantu dalam proses

penggilingan. Sehingga rata-rata total biaya tenaga kerja diperhitungkan yakni

cukup besar, yaitu Rp13 865 455/tahun.

Penghitungan biaya tenaga kerja sama seperti penghitungan biaya tenaga

kerja keluarga karena jumlah upah yang setara. Hanya saja, pengrajin penggarap

tidak memiliki tenaga kerja diluar keluarga karena jumlah produksi yang tidak

cukup banyak dan modal yang kurang memadai. Biaya solar, biaya listrik, dan

biaya pemeliharaan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemilik faktor

produksi mesin. Pengrajin penggarap tidak dikenakan biaya ini karena ketiga

komponen tersebut sudah termasuk ke dalam biaya sewa penggilingan. Biaya

sewa penggilingan dibayarkan dalam bentuk bahan baku sebanyak 7 kg ubi kayu

per produksi.

Biaya pemasaran merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman hasil

produksi kepada pabrik pengepul. Seperti yang telah dijabarkan pada Bab

Gambaran Umum, bahwa pengiriman dilakukan dengan sistem kolektif oleh salah

satu pengrajin yang memiliki transportasi untuk mendistribusikan. Setiap kali

pengiriman, pengrajin dikenakan biaya sebesar Rp10 000 untuk setiap satu

kwintal tepung tapioka kasar. Biaya pemasaran rata-rata secara akumulatif dalam

waktu satu tahun yaitu Rp4 885 600.

Dari semua komponen biaya pengeluaran industri tapioka, yang memiliki

persentase terbesar terhadap biaya total yaitu biaya bahan baku sebesar 77.41%.

Selain itu, biaya tenaga kerja baik luar keluarga maupun keluarga juga

menyumbang persentase cukup besar, yakni 15.9%. Hal ini mengindikasikan

bahwa fluktuasi harga dan jumlah bahan baku memiliki peran penting dalam

menentukan pengeluaran dan pendapatan usaha. Secara keseluruhan, total biaya

rata-rata dari setiap pengrajin tapioka selama satu tahun produksi yaitu sebesar

Rp281 540 812.

Pendapatan Usaha

Analisis pendapatan usaha dilakukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas

usaha industri kecil tapioka. Jumlah pendapatan didapatkan dengan mengurangi

total penerimaan usaha dengan total biaya. Setelah itu, tingkat profitabilitas dilihat

dari hasil penghitungan Revenue per Cost (R/C) ratio. R/C ratio merupakan rasio

antara total penerimaan dengan total biaya.

Pada Tabel 11 disajikan data mengenai perbandingan pendapatan usaha

antara pemilik faktor produksi dan pengrajin penggarap. Total penerimaan dari

Page 52: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

39

pemilik faktor produksi yaitu sebesar Rp441 162 800, sedangkan penerimaan

pengrajin penggarap yaitu Rp137 073 491. Total biaya merupakan akumulasi dari

biaya tetap dan biaya variabel industri kecil tapioka. Total biaya pemilik faktor

produksi sebesar Rp 399 451 602 dan total biaya penggarap yaitu sebesar Rp129

790 021. Setelah dilakukan perhitungan pendapatan, didapatkan bahwa besar

pendapatan pemilik faktor produksi yaitu sebesar Rp41 711 198 per tahun,

sedangkan untuk petani penggarap yaitu hanya sebesar Rp7 283 470 per tahun.

Tabel 11 Perbandingan pendapatan usaha pemilik faktor produksi dan pengrajin

penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu

Meski total biaya pemilik lebih besar 300% dibandingkan dengan pengrajin

penggarap, namun total penerimaan dan pendapatannya jauh lebih besar. Pada

tabel 11, R/C ratio kedua jenis pengrajin sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh.

Pemilik faktor produksi memiliki nilai R/C ratio sebesar 1.10 yaitu pengorbanan

tiap satu rupiah dari pengeluaran total dapat memberikan kontribusi Rp1.10 . Nilai

R/C ratio dari analisis pendapatan pengrajin penggarap yaitu sebesar 1.06 yang

artinya tiap satu rupiah pengeluaran total dapat memberikan kontribusi Rp1.06.

Analisis Nilai Tambah

Industri kecil tapioka merupakan salah satu industri yang mampu

memberikan value added bagi salah satu hasil pertanian yaitu ubi kayu. Analisis

nilai tambah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah yang

mampu diberikan dari hasil produksi tapioka tersebut. Analisis yang dilakukan

meliputi analisis output, input, dan harga, analisis penerimaan dan keuntungan,

dan analisis balas jasa faktor produksi dalam jangka waktu satu tahun produksi

dengan menggunakan skala kuintal (100 kg). Skala ini digunakan karena sebagian

besar pengrajin tapioka lebih sering menggunakan skala kuintal dalam

penghitungan bahan baku maupun hasil produksi.

Output, Input, dan Harga

Output yang didapatkan dari hasil industri kecil tapioka yaitu berupa tepung

tapioka kasar dan onggok (ampas kering). Output industri selama satu tahun

menghasilkan 488.56 kuintal tepung tapioka kasar dan 136.07 kuintal onggok.

Penghitungan output telah dilakukan pada analisis penerimaan usaha berupa hasil

Komponen Pemilik Penggarap

A Total Penerimaan Rp 441 162 800 Rp 137 073 491

Biaya Tetap Rp 9 838 636 Rp 8 932 576

Biaya Variabel Rp 389 612 966 Rp 272 155 206

B Total Biaya Rp 399 451 602 Rp 129 790 021

C Pendapatan A-B Rp 41 711 198 Rp 7 283 470

R/C Ratio 1.10 1.06

Page 53: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

40

penghitungan total output produksi dikali dengan jumlah hari aktif produksi

selama 8 bulan (240 hari).

Input merupakan bahan baku ubi kayu yang digunakan dalam proses

produksi. Pada umumnya ubi kayu yang dijadikan bahan baku adalah ubi kayu

yang masih berkulit karena harga beli yang lebih rendah dibandingkan ubi kayu

yang telah dikupas. Jumlah input yang digunakan dalam satu tahun produksi yaitu

2254.55 kuintal. Pembagian tenaga kerja di industri kecil tapioka yaitu meliputi

tenaga kerja untuk pengupasan, pencucian, penggilingan, pengayakan,

pengangkatan pati, penjemuran, dan pengepakan.

Proses produksi tersebut dilakukan selama 12 jam kerja dalam waktu 2 hari.

Pada 6 jam kerja hari pertama dilakukan proses pengupasan, pencucian,

penggilingan dan pengayakan, sedangkan pada 6 jam kerja pada hari berikutnya

dilakukan proses pengangkatan pati, penjemuran, dan pengepakan. Jika 1 HOK

adalah 8 jam kerja, maka HOK yang dibutuhkan dalam satu kali produksi adalah

1.5 HOK. Jadi jumlah HOK dalam waktu satu tahun produksi yaitu 360 HOK.

Koefisien tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja (HOK/tahun) dibagai oleh

bahan baku (ku/tahun). Dari penghitungan diperoleh koefisien tenaga kerja

sebesar 0.16, yang artinya untuk setiap satu kuintal bahan baku ubi kayu yang

diproduksi sampai menghasilkan tepung tapioka kasar dan onggok kering,

dibutuhkan 0.16 HOK

Faktor konversi didapatkan melalui pembagian jumlah output dengan

jumlah input. Jika produk yang dihasilkan dua macam, maka nilai faktor

konversinya juga dua. Dalam kajian ini, faktor konversi dibedakan menjadi dua,

yaitu faktor konversi untuk produk utama adalah jumlah produk utama dibagi

dengan input yang digunakan dan faktor konversi untuk produk sampingan adalah

jumlah produk sampingan dibagi dengan input yang dihasilkan.

Faktor konversi tapioka kasar yaitu 21.67%, yang artinya setiap 1 kuintal

ubi kayu yang digunakan, maka akan menghasilkan 21.67 kg tepung tapioka

kasar. Faktor konversi onggok yaitu 6.04%, yang artinya setiap 1 kuintal ubi kayu

yang digunakan, maka akan menghasilkan 6.04 kg onggok kering. Input yang

digunakan dan output yang dihasilkan memang memiliki selisih yang cukup besar

karena sisa input terbuang sebagai limbah berupa getah singkong yang pada

umumnya diproduksi kembali oleh masyarakat sekitar untuk kebutuhan pangan,

pakan, bahkan sebagai biogas. Rincian perhitungan nilai tambah industri kecil

tapioka dapat dilihat pada Tabel 12.

Penerimaan dan Keuntungan

Harga bahan baku ubi kayu sebenarnya tergantung pada kesepakatan yang

dilakukan antara pihak penjual dan pengrajin tapioka. Pengrajin tapioka di Desa

Pasir Jambu sudah mahir dalam menilai apakah ubi kayu yang akan dijadikan

bahan baku memiliki tingkat pati (faktor konversi) yang tinggi atau tidak. Harga

ubi kayu tidak pernah tetap, namun secara rata-rata berada pasa kisaran harga

Rp966.67/kg atau Rp96 667/kuintal. Harga input lain didapatkan dari

penjumlahan semua biaya kecuali biaya bahan baku dan tenaga kerja, dibagi

dengan jumlah bahan baku yang digunakan selama satu tahun. Biaya input lain

terdiri dari biaya sewa lahan, biaya penyusutan, biaya solar, biaya listrik, biaya

pemeliharaan, biaya sewa penggilingan, dan biaya pemasaran.

Page 54: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

41

Nilai output didapatkan dari hasil perkalian harga produk dengan faktor konversi.

Nilai tepung tapioka kasar yaitu Rp119 185/kuintal yang berarti setiap 1 kuintal

produksi ubi kayu, maka akan menghasilkan sebesar Rp119 185 dari hasil

penjualan tepung tapioka. Nilai onggok kering yaitu Rp9 053/kuintal yang berarti

setiap 1 kuintal produksi ubi kayu, maka akan menghasilkan sebesar Rp90 053

dari hasil penjualan onggok kering. Nilai output sama dengan penerimaan kotor

perusahaan untuk setiap 1 kuintal input yang digunakan.

Tabel 12 Perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu

Komponen Perhitungan

Output, Input, dan Harga Jumlah

A. Output (Ku/Th)

Tapioka Kasar 488.56

Onggok 136.07

B. Input (Ku/Th) 2254.55

C. Tenaga Kerja (HOK/Th) 360

D. Faktor Konversi A/B

Tapioka Kasar 21.67%

Onggok 6.04%

E. Koefisien Tenaga Kerja C/B 0.160

F. Harga Produk (Rp/Ku)

Tapioka Kasar Rp 550 000

Onggok Rp 150 000

G. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK) Rp 24 000

Penerimaan dan Keuntungan

H. Harga Bahan Baku (Rp/Ku) Rp 96 667

I. Harga Input Lain (Rp/Ku) Rp 9 658

J. Nilai Output (Rp/Ku) DxF

Tapioka Kasar Rp 119 185

Onggok Rp 9 053

K. Nilai Tambah (Rp/Ku) J-H-I Rp 21 913

L. Rasio Nilai Tambah K/J 17.09%

M. Pendapatan TK (Rp/Ku) ExG Rp 3 832

N. Pangsa TK M/K 17.49%

O. Keuntungan (Rp/Ku) K-M Rp 18,080

P. Tingkat Keuntungan O/J 14.10%

Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Q. Margin (Rp/Ku) J-H Rp 31 571

R. Pendapatan TK M/Q 12.14%

S. Sumbangan Input Lain I/Q 30.59%

T. Keuntungan O/Q 57.27%

Page 55: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

42

Nilai tambah yang dihasilkan dari proses produksi pada industri kecil

tapioka yaitu sebesar Rp21 913/kuintal input. Nilai tambah didapatkan dari

pengurangan nilai produk dengan harga bahan baku dan harga input lain. Jadi nilai

tambah bukan merupakan nilai tambah bersih karena belum menyertakan imbalan

bagi tenaga kerja sebesar Rp3 832. Rasio nilai tambah merupakan rasio antara

nilai tambah dengan nilai output. Dalam kajian ini, kontribusi nilai tambah

terhadap nilai output sebesar 17.09%, sedangkan kontribusi tenaga kerja terhadap

nilai output yaitu sebesar 17.49%. Keuntungan yang didapatkan oleh pengrajin

tapioka berdasarkan hasil analisis nilai tambah yaitu sebesar Rp18 080/kuintal

bahan baku atau sebesar 14.10% dari nilai output. Hasil keuntungan juga dapat

diartikan sebagai nilai tambah bersih karena sudah memperhitungkan pendapatan

tenaga kerja

Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Berdasarkan analisis nilai tambah, margin didapatkan dari selisih antara

nilai output tapioka kasar dan onggok (Rp128 238) dengan harga bahan baku

(Rp96 667), sehingga total margin yaitu sebesar Rp31 571. Besarnya margin ini

kemudian didistribusikan kepada pendapatan tenaga kerja, sumbangan input lain,

dan keuntungan usaha. Balas jasa terbanyak yang diperoleh perusahaan berasal

dari keuntungan, yaitu sebesar 57.27% yang artinya keuntungan menyumbang

Rp57.27 setiap Rp100 margin perusahaan. Adapun balas jasa terbesar kedua

setelah keuntungan yaitu sumbangan input lain sebesar 30.59% atau sebesar Rp9

657. Hal ini berarti input lain cukup banyak berkontribusi dalam pembentukan

margin. Input lain terdiri dari peralatan pengolahan, mesin penggilingan, solar,

listrik, dan tempat penjemuran. Dengan kata lain, input lain menyumbang

Rp30.59 dalam setiap Rp100 margin. Selain itu, balas jasa pendapatan tenaga

kerja yaitu sebesar 12.14% atau Rp3 832.71 dari total margin.

Besarnya nilai tambah ditentukan oleh besarnya nilai output, harga bahan

baku, dan harga input lain. Proporsi tenaga kerja dan keuntungan terhadap nilai

tambah dapat menunjukkan apakah usaha tersebut padat modal atau padat karya.

Berdasarkan hasil penghitungan balas jasa pemilik faktor produksi, industri kecil

tapioka merupakan industri yang padat karya yang sudah mampu berorientasi

pada pencapaian tingkat keuntungan tertentu, hal ini dapat dilihat dari proporsi

keuntungan yang lebih besar dibandingkan proporsi pendapatan tenaga kerja dan

sumbangan input lain dalam pembentukan margin usaha.

Analisis Titik Impas

Analisis titik impas merupakan suatu cara untuk mengetahui berapa volume

produksi atau penjualan agar industri kecil tidak mengalami kerugian atau pada

saat posisi usaha tidak sedang memperoleh laba. Nilai titik impaas (break event

point) ada dalam dua bentuk, yaitu dalam rupiah dan dalam jumlah unit produksi.

BEP dalam rupiah adalah biaya tetap total dibagi dengan satu dikurangi biaya

variabel per total penjualan. Dengan kata lain, BEP dalam rupiah merupakan hasil

pembagian biaya tetap total dengan rasio kontribusi. Rasio kontibusi (P/V ratio)

merupakan rasio antara margin kontribusi dengan penerimaan penjualan. BEP

dalam jumlah unit produksi adalah biaya tetap usaha dibagi dengan tingkat harga

Page 56: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

43

dikurangi biaya variabel per unit. Dalam menentukan harga yang dipakai untuk

perhitungan BEP, maka perlu dibuat harga konversi sebesar Rp592 413/kuintal,

karena ada dua jenis output dengan tingkat harga yang berbeda.

Tabel 13 Perhitungan titik impas industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu

Berdasarkan Tabel 13, nilai titik impas industri kecil tapioka yaitu sebesar

Rp 159 969 265. Semakin rendah titik impas maka semakin cepat perusahaan

memperoleh laba. Kondisi ini juga dapat tercapai pada saat industri kecil tapioka

telah menghasilkan output tepung tapioka kasar dan onggok sebanyak 270.03

kuintal per tahun. Hal ini berarti pengrajin tapioka harus memproduksi sedikitnya

1.13 kuintal tepung tapioka dan onggok tiap harinya untuk dapat memperoleh

keuntungan.

Melihat data tersebut, maka industri kecil tapioka sudah mampu melebihi

keadaan titik impas, sehingga mampu mendapatkan keuntungan. Adapun

keuntungan industri kecil tapioka dapat dilihat dari profit margin yang besarnya

rata-rata 3% dari nilai penjualan. Nilai titik impas baik dalam bentuk satuan

rupiah maupun kuantitas dapat mengalami fluktuasi tergantung kepada jumlah

nilai penjualan dan besarnya biaya tetap total. Kenaikan biaya tetap total dapat

terjadi apabila adanya penambahan investasi pada industri kecil tersebut. Semakin

meningkat jumlah biaya tetap total, maka nilai titik impas semakin tinggi.

Sebaliknya, semakin meningkat nilai penjualan, maka nilai titik impas akan

semakin rendah sehingga industri kecil tapioka akan semakin mudah memperoleh

laba.

Pendapatan dan R/C rasio memiliki hubungan positif satu sama lain, artinya

semakin besar pendapatan usaha industri kecil tapioka, maka nilai R/C rasio juga

akan semakin besar. Begitu pula dengan titik impas dan nilai tambah berhubungan

secara positif yang mengakibatkan semakin besar nilai tambah, maka titik impas

juga akan semakin cepat dicapai. Hal ini disebabkan karena faktor utama penentu

titik impas dan nilai tambah adalah sama yaitu harga output.

Komponen Perhitungan Jumlah

A. Penerimaan Penjualan Rp 289 118 145

B. Biaya Variabel Total Rp 272 155 206

C. Margin Kontribusi (A-B) Rp 16 962 940

D. Biaya Tetap Total Rp 9 385 606

E. Laba/Rugi (C-D) Rp 7 577 334

F. Rasio Kontribusi (C/A) 0.06

G. Profit Margin (E/A) 3%

Impas (Rp) (D/F) Rp 159 969 265

Impas (Kw) 270.03

Impas Kw Tapioka/Hari 1.13

Page 57: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

44

Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka

Dalam pengembangan sektor industri banyak dihadapi kendala, diantaranya

yaitu keterbatasan di bidang infrastruktur, sumber daya alam, maupun ilmu

pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, sektor industri sendiri juga

menghadapi permasalahan seperti produktivitas dan efisiensi terutama akibat dari

belum kuatnya struktur industri maupun lemahnya keterkaitan sektor industri

dengan sektor perekonomian lainnya. Pemerintah telah mencanangkan Master

Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang

pada dasarnya adalah peningkatan nilai tambah, konektivitas dan peningkatan

SDM dan Iptek. Dalam MP3EI tersebut, sebagian besar tertuju pada

pembangunan sektor industri.

Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan produk-produk pertanian

yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku industri yaitu industri agro.

Oleh karena itu, kelompok industri agro menjadi prioritas yang dikembangkan

untuk mendukung akselerasi industrialisasi Tahun 2012–20144. Industri

pengolahan tapioka, baik dalam berbagai skala usaha turut andil dalam pencapaian

tujuan akselerasi tersebut. Dalam pengembangannya, dibutuhkan berbagai faktor

utama dan penunjang untuk menjaga kestabilan produksi dan harga supaya dapat

memenuhi permintaan yang ada. Beberapa faktor untuk mencapai pengembangan

optimal industri kecil tapioka di daerah Jawa Barat yaitu adanya ketersediaan

input dan faktor produksi, adanya peluang pasar yang terus meningkat, serta

adanya faktor penunjang sistem produksi.

Ketersediaan Bahan Baku

Menurut Austin (1981), pengadaan bahan baku merupakan salah satu

lingkungan internal yang harus ditempuh oleh pengelola agroindustri. Pengadaan

bahan baku yang berasal dari sektor pertanian akan sangat menunjang kegiatan

berikutnya dalam industri, yaitu pengolahan, apabila tersedia pada saat yang

diperlukan sesuai dengan kuantitas dan kualitasnya. Bahan baku sangat erat

kaitannya dengan mutu produk yang dihasilkan, sehingga ketersediaan bahan

baku harus terjamin sehingga tetap ada kontinyuitas usaha

Untuk mesuplai kebutuhan industri olahan yang semakin tumbuh dan

berkembang perlu diiringi dengan penyediaan bahan baku yang

berkesinambungan. Hal ini penting artinya agar industri olahan dapat berproduksi

sesuai kapasitasnya dan menghindari industri yang telah tumbuh tersebut agar

tidak menjadi idle yang pada akhirnya tidak berfungsi. Penyediaan bahan baku

berkaitan dengan produksi ubi kayu dalam negeri maupun ekspor-impor ubi kayu

bagi perusahaan yang membutuhkan ketika tidak ada produksi dalam negeri.

Pada Gambar 9, dapat dilihat bahwa adanya tren peningkatan produksi ubi

kayu di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh produktivitas dalam negeri yang

semakin membaik. Total keseluruhan hasil produksi ubi kayu di Indonesia pada

tahun 2012 adalah 2.4 juta ton dengan produktivitas rata-rata sebesar 25.83

ton/hektar. Adanya tren peningkatan produksi bahan baku tapioka ini merupakan

salah satu jaminan kontinyuitas bahan baku bagi industri tapioka, sehingga

4 Siaran Pers Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perindustrian Februari 2012. [diakses tanggal

20 Mei 2013]

Page 58: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

45

industri pengolahan tapioka terutama skala kecil mampu bertumbuh dengan baik

karena UKM merupakan salah satu penopang kekuatan ekonomi di Indonesia.

Secara lebih spesifik, pada Lampiran 3 disajikan data mengenai luas panen

dan produksi ubi kayu di Jawa Barat. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa

produksi ubi kayu menyebar secara merata di hampir semua wilayah Jawa Barat.

Total produksi ubi kayu di Jawa Barat pada tahun 2012 yaitu 2 058 784 ton

dengan luas total lahan sebesar 103 244 hektar. Produktivitas di provinsi Jawa

Barat masih tergolong rendah, yaitu rata-rata 16.1 ton/hektar, padahal

produktivitas ubi kayu rata-rata secara nasional yaitu sebesar 21.36 ton/hektar.

Permasalahan ketersediaan ubi kayu secara regional merupakan suatu

permasalahan sistem yang cukup kompleks dengan melibatkan berbagai

komponen dan variabel yang saling berinteraksi dan terintegrasi. Secara disengaja

atau tidak, sistem pengembangan ubi kayu tersebut akan berusaha mencapai

tujuan tertentu, seperti pemenuhan bahan baku bagi industri, pemenuhan

kebutuhan/penyediaan pangan, keperluan ekspor, dan lain-lain (Somantri dan

Machfud 2006).

Terkait dengan peranan ubi kayu sebagai penyedia pangan, pakan dan

bahan bakar maka yang diharapkan kedepannya adalah peningkatan produksi ubi

kayu. Namun berdasarkan perhitungan proyeksi penawaran pada penelitian ini,

produksi ubi kayu mengalami penurunan pada tahun 2025 mendatang. Hasil ini

seperti memberikan warning bagi pemerintah untuk mendorong peningkatan

produksi ubi kayu agar kebutuhan di masa yang akan datang dapat terpenuhi

(Puteri 2009)

Prospek pengembangan ubi kayu sebagai agribisnis berbasis ubi kayu masih

terbuka luas sejalan dengan semakin berkembangnya industri pengolahan berbasis

ubi kayu, salah satunya yaitu industri kecil tapioka. Dengan adanya kondisi

produktivitas yang masih rendah ini hendaknya dilakukan upaya untuk

meningkatkan produksi ubi kayu dan minimal mempertahankan luas produksi ubi

kayu di Jawa Barat. Sesuai dengan iklim dan cuaca yang terdapat di Jawa Barat,

terdapat beberapa daerah sentra penghasil ubi kayu. Curah hujan paling sedikit

21

21

22

22

23

23

24

24

25

2008 2009 2010 2011 2012

(Ju

ta T

on

)

(Tahun)

23.9224.0423.92

22.04

21.76

Gambar 9 Produksi ubi kayu di Indonesia Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2012

Page 59: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

46

terdapat pada bulan Juli, Agustus, September, dan Oktober yang merupakan

waktu panen ubi kayu. Musim panen yang mempengaruhi peningkatan jumlah

supply ubi kayu membuat harga ubi kayu menurun drastis.

Harga jual ubi kayu sangat mempengaruhi penerimaan industri kecil

tapioka. Kestabilan harga ubi kayu sangat tergantung pada jumlah suplai yang ada

di pasar yang dipengaruhi oleh musim panen ubi kayu. Berdasarkan pada Gambar

10, perkembangan harga rata-rata ubi kayu di tingkat nasional selama tahun 2010

– Februari 2013 terus mengalami peningkatan. rata-rata peningkatan harga ubi

kayu pada tahun 2010 sebesar 1.43%, tahun 2011 sebesar 1.87%, dan tahun 2012

sebesar 0.91%. Peningkatan harga tertinggi pada periode tersebut terjadi pada

bulan November tahun 2011 hingga mencapai 13.46%. Pada bulan Februari 2013

kembali terjadi tendensi peningkatan pada kisaran harga Rp4 488/kg.

Provinsi Jawa Barat memiliki harga ubi kayu yang cukup stabil apabila

dibandingkan dengan provinsi yang lainnya. Berdasarkan pemantauan harga

eceran yang dilakukan oleh Ditjen PPHP Kementerian Pertanian, tercatat harga

rata-rata ubi kayu selama bulan Februari 2013 di daerah Bandung, Jawa Barat

berkisar antara Rp1 715/kg, selain itu perkembangan harga rata-rata ubi kayu

mingguan mulai dari Februari 2010 hingga Februari 2013 di provinsi Jawa Barat

masih cenderung stabil. Data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini

disebabkan oleh masih tingginya tingkat produksi di daerah Jawa Barat dan

adanya kontinyuitas produksi meski tidak sedang berada dalam masa panen.

Hafsah (2003) menyebutkan bahwa untuk menjaga harga agar tetap stabil

maka diperlukan beberapa hal, yaitu :

petani produsen mengorganisir diri dalam wadah kelompok ekonomi dan

koperasi

mengatur pola tanam agar waktu panen tersebar

membentuk masyarakat ubi kayu dan lembaga penyanggah ubi kayu

melaksanakan kemitraan antara pengolahan dan produsen ubi kayu

meningkatkan produktivitas usahatani

meningkatkan dan menjaga kualitas produksi

Gambar 10. Perkembangan harga ubi kayu di tingkat nasional

2010 – Februari 2013 Sumber : Kementan (2013)

Page 60: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

47

kebijaksanaan makro yang mendukung peningkatan produksi, produktivitas,

dan mengatur tataniaga ekspor maupun impor.

Potensi dan Peluang Pasar

Setiap usaha pasti mengandalkan pasar sebagai sistem utama untuk

memonitor berbagai peluang dan mengembangkan sasaran serta perencanaan

usaha. Meski salah satu kendala utama industri kecil atau UKM adalah

pemasaran, namun sebagai pelaku usaha harus terus dapat mengantisipasi adanya

perubahan selera pasar. Industri kecil tapioka merupakan salah satu UKM yang

sebagian besar tidak terlalu mempermasalahkan manajemen pemasaran, karena

adanya pembeli tetap (pabrik pengepul) yang siap menerima hasil produksi para

pengrajin tapioka.

Tapioka telah masuk sebagai bahan baku paling penting di industri, baik

secara nasional maupun internasional. Peranannya tidak hanya berhenti sebagai

bahan utama pada industri makanan dan minuman, namun juga sebagai bahan

pelengkap pada berbagai macam industri non makanan dan minuman. Di negara

maju, tapioka paling banyak diserap oleh industri HSF (High Fructose Syrup) dan

asam sitrat, yang muaranya ke industri berbagai minuman sintetis. Misalnya

minuman berupa serbuk padat dengan rasa jeruk.

Menurut data BPS, Indonesia telah mengalami kenaikan ekspor tepung

tapioka pada tahun 2010 hingga tahun 2011. Pada tabel 14 dapat dilihat bahwa

terjadi peningkatan kuantitas ekspor pati (tapioka) lebih dari 300%. Selain itu,

nilai ekspor juga meningkat tiap satuan kg, dari yang sebelumnya sebesar Rp5

297/ kg menjadi Rp5 337/kg. Hal ini merupakan salah satu prospek cerah tapioka

Indonesia dalam kancah perdagangan internasional, sehingga tidak menutup

kemungkinan adanya perluasan ekspor tapioka dari Indonesia ke negara-negara

konsumen utama.

Tabel 14 Perkembangan ekspor tepung dan pati Indonesia tahun 2010 – 2011a

aSumber : BPS (2012)

Di Indonesia, tapioka paling banyak diserap oleh industri bakso dan

berbagai kerupuk. Pempek, meskipun berbahan baku tepung tapioka, namun daya

serapnya masih rendah dibanding dengan bakso. Selama ini, ada pergeseran pola

makan bangsa Indonesia dari makan nasi ke makan roti, mi dan bakso. Karenanya,

kebutuhan tepung tapioka dalam negeri pun makin tahun juga makin besar.

Deskripsi 2010 2011

Nilai (US$) Berat (kg) Nilai (US$) Berat (kg)

Irisan ubi kayu kering 31,745,792 143,775,233 27,020,254 98,769,908

Irisan ubi kayu segar 16,369 51,165 239,925 350,169

Bentuk Lain 891,122 1,390,872 2,207,321 6,411,146

Tepung 1,651,905 3,943,707 4,111,779 6,805,306

Pati 12,778,524 23,398,745 49,530,223 90,008,484

Ampas pati 450,024 1,709,340 480,010 978,795

Page 61: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

48

Semakin meningkatnya value ladder pada kalangan menengah ke atas5 akibat

adanya peningkatan daya beli dan selera, membuat permintaan tapioka semakin

meningkat pada industri makanan dan minuman yang terus bermunculan. Daftar

perusahaan di Indonesia yang menggunakan tapioka sebagai bahan baku dapat

dilihat pada Lampiran 7.

Di sisi lain, kebutuhan tepung tapioka di Jawa Barat diperkirakan cukup

tinggi karena terdapat banyak industri makanan skala rumah tangga dengan

sebagian besar konsumen merupakan kalangan menengah ke bawah yang

memerlukan bahan baku berupa tepung tapioka baik sebagai bahan pokok atau

bahan campuran. Pohon industri tapioka secara lebih lengkap dapat dilihat pada

Lampiran 8. Industri tepung tapioka, bisa dilakukan oleh perusahaan raksasa

dengan kebun seluas ribuan hektar yang biasanya sudah merupakan usaha

berskala multinasional. Industri ini bisa pula dilakukan dengan skala rumah

tangga seperti yang dilakukan di Kab. Bogor, Jawa Barat. Industri pati singkong

skala rumah tangga di Kab. Bogor, bisa bertahan selama puluhan tahun karena

pasar aci singkong cukup baik. Terutama pasar lokal untuk bahan kerupuk dan

bakso.

Gambar 11 merupakan sebaran industri penghasil dan pengguna tepung

tapioka di beberapa daerah di Indonesia. Jawa Barat merupakan provinsi dengan

jumlah industri pengguna tepung tapioka terbanyak di Indonesia, yaitu sejumlah

145 industri, namun hanya memiliki 50 industri penghasil tepung tapioka saja.

Selain itu Jawa Timur juga memiliki industri pengguna yang cukup banyak yaitu

139 industri dengan jumlah industri penghasil hanya 39 industri. Yang

5 Menurut survey yang dilakukan Susenas tahun 2009, konsumsi ubi kayu menurun pada tahun

2009 dari 0.55% menjadi 0.49% pada tahun 2010. Hal yang sebaliknya terjadi pada konsumsi

makanan dan minuman jadi yang persentasenya naik dari tahun 2009 sebesar 12.36% menjadi

12.79%.

0

6

7

3

0

11

34

50

27

11

0

0

19

70

32

30

24

35

145

105

139

23

22

19

0 50 100 150

NAD

Sumatera Utara

Sumatera Barat

Lampung

Bangka Belitung

DKI Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah

Jawa Timur

Banten

Kalimantan Selatan

Gorontalo

Jumlah Pabrik

Pro

vin

si

Industri Pengguna

Industri Penghasil

Gambar 11 Sebaran industri penghasil dan pengguna tepung tapioka

di Indonesia Sumber : Kemenperin (2012)

Page 62: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

49

mengejutkan bahwa ada 4 provinsi yang tidak memiliki industri penghasil tepung

tapioka namun memiliki industri pengguna yang cukup banyak, provinsi terebut

yaitu Gorontalo, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, dan Nangroe Aceh

Darussalam. Hal ini merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi produsen

tapioka di Indonesia, khususnya di daerah Kabupaten Bogor yang sudah sejak

lama merupakan tempat industri kecil tapioka berada.

Kendala dan Kelemahan

Suwarto (2005) menyebutkan bahwa sebagian besar pengrajin tapioka

dalam industri kecil memiliki posisi tawar yang lemah. Mereka diperlakukan

hanya sebagai pemasok bahan baku industri besar. Sistem pemasaran dengan

harga yang sangat tergantung kepada industri besar seperti ini tentu saja

merugikan para pengrajin. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh rendahnya tingkat

pendidikan dan minimnya akses terhadap modal, sehingga para pengrajin tapioka

hanya bisa menerima monopolisasi harga dari pabrik pengepul. Pabrik pengepul

pada umumnya berupa industri derivatif yang hanya melakukan beberapa kali

proses pengolahan tapioka kasar sebelum dilakukan pengemasan dan pemberian

merek tertentu. Sehingga margin yang didapatkan biasanya jauh lebih besar

dibandingkan dengan nilai tambah yang didapatkan oleh para pengrajin itu

sendiri.

Bantacut (2010) menyebutkan bahwa permasalahan di pihak petani dan

industri kecil tapioka ditentukan oleh keuntungan berbanding (comparative

advantages) dari ubi kayu terhadap tanaman lainnya. Bagi industri, permasalahan

yang sama dapat terjadi yakni tersedianya bahan baku substitusi yang memberikan

keuntungan yang lebih baik. Akibatnya, terjadi senjang pemisah yang lebar antara

keinginan petani sebagai produsen dan industri sebagai konsumen. Mereka tidak

mungkin dipertemukan pada satu titik keseimbangan, karena pada titik itu

keduanya mengalami kerugian ekonomi. Teknologi harus dikembangkan untuk

menekan biaya produksi kedua belah pihak sehingga ruang singgung mereka

semakin luas. Selain itu, industri tapioka skala kecil di kota Bogor secara

keseluruhan masih belum efisien. Hal ini terlihat dari efisiensi yang berbeda antara

industri yang satu dengan yang lain dan masih ada industri yang belum efisien.

Secara lebih spesifik, terdapat beberapa kelemahan industri kecil tapioka,

salah satunya yaitu produksi industri kecil tapioka belum optimal hingga saat ini.

Pemanfaatan kapasitas produksi terpasang belum bisa dilakukan dengan baik,

karena penggunaan mesin penggiling belum optimal (tidak aktif), sehingga

industri sering tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Faktor modal juga

mempengaruhi proses produksi tapioka. Seluruh kegiatan produksi yang

dilakukan sarat dengan biaya, maka sudah dipastikan untuk memproduksi tepung

dengan jumlah yang banyak diperlukan modal yang tidak sedikit. Kurangnya

modal bagi industri kecil tapioka dapat berdampak pada terbatasnya kemampuan

industri kecil tapioka untuk meningkatkan kapasitas produksi (Rochaeni et al.

2007)

Biaya produksi yang tinggi juga merupakan salah satu kelemahan industri

kecil tapioka. Volume produksi yang sedikit pada kapasitas yang besar

meyebabkan biaya per satuan produk menjadi tinggi. Faktor lain yang memicu

semakin tingginya biaya produksi adalah karena naiknya harga bahan baku dan

biaya tenaga kerja. Selain itu, belum ada kegiatan pemasaran yang cukup optimal.

Page 63: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

50

Promosi masih belum dioptimalkan untuk meraih pangsa pasar yang masih luas

meski secara mutu produk tapioka kasar yang dihasilkan sudah cukup baik. Usaha

untuk menghasilkan produk yang semula tepung kasar menjadi tepung halus

merupakan suatu terobosan yang harus diikuti dengan pemasaran yang memadai.

Selama ini industri kecil tapioka yang ada di wilayah Bogor masih tergolong

tradisional dan semi teknis. Industri kecil tapioka tidak menggunakan teknologi

yang maju dalam proses produksinya, hal ini disebabkan industri kecil tapioka ini

termasuk usaha padat karya dan tenaga kerja di wilayah Sukaraja cukup banyak

dan berpotensi untuk menjalankan produksi dengan profesional. Berkaitan dengan

hal tersebut, kemampuan manajerial yang dimiliki oleh pengusaha industri kecil

tapioka khususnya di Desa Pasir jambu dikatakan sangat minim. Keputusan-

keputusan manajerial ditentukan oleh satu orang, yaitu pemilik faktor produksi.

Kendala yang dapat terjadi dalam pengembangan industri kecil tapioka yaitu

salah satunya kontinyuitas bahan baku. Berkurangnya lahan pertanian setiap

tahunnya dan kecenderungan berkurangnya minat masyarakat di wilayah Bogor

untuk membudidayakan ubi kayu menjadi sebuah ancaman kontinyuitas bahan

baku industri kecil tapioka. Disamping menghadapi persaingan dengan industri

kecil lainnya, industri ini juga harus bersaing dengan pesaing besar yang berasal

dari daerah lain yang lebih maju dalam teknologi maupun pangsa pasar. Salah satu

pesaing yang perlu menjadi perhatian adalah industri tepung tapioka yang berada

di wilayah Lampung.

Prospek Pengembangan

Petani dan industri kecil tapioka termasuk UMKM, yang memiliki peran

penting dalam pembangunan pereknomian nasional. Tentu mesti diikuti perbaikan

harga singkong di tingkat petani yang selama ini sangat fluktuatif. Akses

informasi pasar baik domestik atau internasional secara lebih cepat perlu

diberikan melalui kemajuaan teknologi informasi dan komunikasi. Kelembagaan

petani dan industri kecil tapioka penting diciptakan dan diberdayakan melalui

penyuluhan bterpadu, sehingga posisi tawar terhadap pelaku bisnis lain lebih kuat.

Pengembangan industri kecil tapioka di Jawa Barat cukup difokuskan pada

produk tapioka yang sesuai dengan pasar lokal, yaitu kualitas sedang melalui

pengembangan unsur-unsur penunjang untuk menciptakan kepastian usaha bagi

pengrajin tapioka skala rumah tangga. Dengan menghidupkan dan

mengembangkan secara horizontal pengrajin tapioka yang telah ada dengan

tingkat kapasitas olah sesuai dengan titik impas produksi yaitu ± 100 kg/hari ,

sehingga dapat memberikan manfaat berupa :

a. Sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru

Program pengembangan agroindustri di wilayah pedesaan memiliki

landasan yang kuat berupa basis bahan baku dan tenaga kerja murah, sehingga

ketahanannya terhadap krisis akibat perubahan lingkungan global dapat

diandalkan. Industri kecil tapioka telah dijalankan oleh sebagian masyarakat

Kabupaten Bogor dalam skala rumahtangga, sehingga telah menjadi bagian

dari kehidupan masyarakat dan memiliki kontribusi terhadap pendapatan

sebagian rumah tangga di pedesaan. Untuk meningkatkan

produktivitas/rendemen tapioka yang dihasilkan, maka upaya pengembangan

budidaya ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi perlu mendapat prioritas.

Page 64: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

51

b. Membuka peluang usaha, menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan

Menghidupkan dan mengembangkan secara horizontal industri kecil

tapioka yang telah ada membuka peluang usaha bagi masyarakat di pedesaan

dan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam membangun daerahnya.

Berkembangnya industri kecil tapioka akan menciptakan lapangan kerja dan

sumber pendapatan bagi masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa

a. Rendemen satu kuintal bahan baku tapioka kasar, secara rata-rata

menghasilkan 21.67% tapioka kasar dan 6.04% onggok (ampas kering),

dengan rata-rata produksi tapioka per orang yaitu 48.87 ton/tahun dan

ampas kering 13.60 ton/tahun

b. Penerimaan pemilik faktor produksi atas tepung tapioka yaitu sebesar

Rp409 996 400 dan ampas kering yaitu sebesar Rp31 166 400, sehingga

total pendapatan per tahun per orang yaitu Rp41 711 198 dengan R/C ratio

rata-rata yaitu sebesar 1.10

c. Penerimaan pengrajin penggarap atas tepung tapioka yaitu sebesar Rp127

419 600 dan dari ampas kering yaitu sebesar Rp9 653 891, sehingga total

pendapatan per tahun per orang yaitu Rp7 283 470 dengan R/C ratio rata-

rata yaitu sebesar 1.06

d. Titik Impas dari pengolahan tapioka yaitu Rp159 969 265 per tahun atau

sebanyak 270.03 kuintal tapioka dan onggok / pengrajin

2. Nilai tambah yang diperoleh dari adanya kegiatan industri kecil tapioka yaitu

Rp21 913/kuintal bahan baku dengan rasio nilai tambah dari pengolahan yaitu

17.09%. Balas jasa terbanyak didapatkan dari keuntungan yaitu sebesar

57.27%, selanjutnya diikuti oleh sumbangan input lain sebesar 30.59%, dan

pendapatan tenaga kerja sebesar 12.14%.

3. Potensi dan prospek pasar tepung tapioka bagi industri kecil di masa depan

akan sangat cerah, mengingat semakin berkembangnya industri-industri olahan

makanan di daerah Jawa Barat dan di Indonesia, serta tidak menutup

kemungkinan adanya perluasan ekspor dari komoditi tepung tapioka.

Saran

1. Industri kecil tapioka di Desa Pasir Jambu memiliki potensi dan prospek yang

besar untuk dikembangkan, maka dalam rangka pengembangan skala

usahanya, diperlukan pembinaan manajemen dan kelembagaan, peningkatan

efisiensi usaha, khususnya bagi pengrajin yang memiliki koefisien tenaga kerja

yang lebih dari 0.16.

Page 65: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

52

2. Mendorong pengembangan agroindustri berbasis ubi kayu agar pemilik modal

menanamkan investasinya dalam industri tapioka. Langkah ini akan lebih

efektif jika didukung dengan penerapan teknologi yang lebih canggih sehingga

dapat menghasilkan produk dengan mutu dan rendemen yang tinggi.

3. Perlunya pembenahan manajemen usaha dan peningkatan skala usaha sehingga

pengrajin tapioka lebih dapat mengingkatkan nilai tambah dan pendapatan

yang diterima, disamping membangun sistem kelembagaan untuk

pengembangan rantai pasokan industri kecil tapioka antara penyedia bahan

baku dan perusahaan pengguna tepung tapioka.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2012. Kondisi Umum dan Potensi Desa Pasir Jambu Kecamatan

Sukaraja Kabupaten Bogor Tahun.

[Anonim]. 2009. Profil Gapoktan PUAP Karya Bersama Desa Pasir Jambu

Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor

Austin, James E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. The John Hopkins press.

London.

Bantacut, T. 2010. Penelitian dan Pengembangan Untuk Industri Berbasis

Cassava. Jurnal Teknik Industri Pertanian. Vol. 19(3), 191-202

Barret, D. M dan Damardjati, D. S. 1985. Peningkatan Mutu Hasil Ubi Kayu di

Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.

BPS. Kabupaten Bogor dalam Angka 2012. BPS Kabupaten Bogor.

BPS. Buku Saku Statistik Jawa Barat 2012. BPS Provinsi Jawa Barat.

Darwis V, Muslim C, Askin A. 2009. Usahatani dan Pemasaran Ubi Kayu serta

Teknologi Pengolahan Tapioka di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.

Bogor: PSEKP

Deshaliman. 2003. Memperkuat Ketahanan Pangan dengan Umbi-umbian. Pusat

Pengembangan Ketersediaan Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan.

Jakarta : Kementan

[Kemenkop] Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. 2012. Sandingan

Data UMKM 2006-2010. Jakarta: Kemenkop

[Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2012. Indeks Nilai Tambah Bruto

Nasional 2012. Jakarta: Kemenperin

[Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2012. Sistem Informasi Grafis Industri

Tepung Indonesia 2012. Jakarta : Kemenperin

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Buletin Analisis Perkembangan Harga

Komoditas Pertanian Maret 2013. Jakarta : Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian Kementerian Pertanian.

Hafsah, M. J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Hayami Y, Kawagoe T, Morooka Y, Siregar M. 1987. Agricultural Marketing and

Processing in Upland Java A Perspective From A Sunda Village. Bogor :

CGPRT Centre.

Page 66: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

53

Larasati, N. 1986. Analisis Finansial Industri Tapioka (Studi Kasus Perusahaan

Tapioka di Desa Bojong, Kabupaten Sukabumi. [Skripsi]. Bogor : Fakultas

Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Mulyadi. 1997. Akuntansi Manajemen : Konsep, Manfaat, dan Rekayasa.

Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Pohan RR. 2011. Analisis Pendapatan Usahatani, Pemasaran dan Nilai Tambah

Ubi Kayu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi. Institut Pertanian Bogor

Purba R. 2002. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah pada Industri Kecil

Tapioka (Kasus Industri Kecil tapioka di Desa Ciparigi Bogor Utara, Bogor)

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Puteri, A.G. 2009. Analisis Respon dan Proyeksi Penawaran Ubi Kayu di

Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut

Pertanian Bogor.

Riyanto, B. 1997. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi ke-4. Yogyakarta :

BPFE.

Rochaeni, Soewarno S, dan Zakaria FR. 2007. Kajian Propsek Pengembangan

Industri Kecil Tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. J MPI 2 (2 September

2007).

Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu Budi Daya dan PascaPanen. Yogyakarta : Kanisius

Simanjuntak, Parulian. 2010. Pemberdayaan UKM dengan Menggunakan

Pendekatan Model Ekonomi di Sumatera Utara. VISI (2010) 18 (1) 77 – 87

Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta : Universitas Indonesia.

Somantri, A.S dan Machfud. 2006. Analisis Sistem Dinamik Untuk Kebijakan

Penyediaan Ubi Kayu (Studi Kasus di Kabupaten Bogor). Buletin Teknologi

Pascapanen Pertanian. Vol 2. Bogor : Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Supriati, M. Lies. 2009. Tepung Tapioka : Pembuatan dan Pemanfaatannya.

Yogyakarta : Kanisius

Sukandar, N.W. 2000. Analisis Nilai Tambah dan Prospek Pengembangan

Industri Pengolahan Ubi Kayu (Perbandingan Metode M. Dawam Rahardjo

dan Hayami) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) . Pengeluaran untuk Konsumsi

Penduduk Indonesia 2010.

Survei Industri Mikro dan Kecil (VMIK 10). Profil Industri Mikro dan Kecil

2010. BPS.

Suwarto. 2005. Menjadikan Ubi Kayu Sebagai Sumber Ketahanan Pangan dan

Energi di Indonesia. Bogor : Prosiding Simposium dan Seminar Bersama

PERAGI – PERHORTI – PERIPI – HIGI.

Trubus Cipta Usaha. 2013. My Potential Business : Cara Jitu Jadi Raja Singkong.

Jakarta : Trubus Swadaya

Page 67: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

54

Lampiran 1 Struktur PDRB Jawa Barat menurut sektor tahun 2012a

aSumber : BPS Jawa Barat 2012

Lampiran 2 Industri pengguna tepung tapioka di Indonesia tahun 2011a

Jenis Industri Volume Penggunaan

(MT)

Industri Bumbu Masak Dan Penyedap Masakan 5.59

Industri Glukosa Dan Sejenisnya 7200.00

Industri Kerupuk, Keripik, Peyek Dan Sejenisnya 24503.48

Industri Konsentrat Makanan Hewan 399.40

Industri Kue Basah 308.16

Industri Makanan Dan Masakan Olahan 13.25

Industri Makanan Dari Kedele Dan Kacang-

Kacangan

31102.50

Industri Makaroni, Mie Dan Produk Sejenisnya 8531.10

Industri Pengolahan Es Krim 3.53

Industri Produk Roti Dan Kue 4792.14

Industri Ransum Makanan Hewan 1157.53

Total 78016.68 aSumber : Kemenperin 2012

Kelompok Sektor/Sektor 2010 2011 2012

I Primer 14.61 13.99 13.38

1. Pertanian 12.60 11.98 11.52

2. Pertambangan dan Penggalian 2.01 2.02 1.86

II Sekunder 44.33 43.70 42.59

3. Industri Pengolahan 37.80 37.16 35.79

4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 2.76 2.55 2.51

5. Bangunan 3.76 3.99 4.29

III Tersier 41.06 42.30 44.04

6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 22.38 22.58 23.90

7. Pengangkutan dan Komunikasi 7.08 7.70 7.79

8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa

Perusahaan 2.74 2.84 2.95

9. Jasa-jasa 8.85 9.17 9.40

PDRB Jawa Barat 100.00 100.00 100.00

Page 68: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

55

Lampiran 3 Tabel produksi ubi kayu di Jawa Barata

Kabupaten Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

Bogor 7718 167295 21.68

Sukabumi 10268 167636 16.33

Cianjur 7592 141101 18.59

Bandung 57232 7566 0.13

G a r u t 23006 534217 23.22

Tasikmalaya 14673 309514 21.09

Ciamis 4841 90141 18.62

Kuningan 2338 40468 17.31

Cirebon 141 2229 15.81

Majalengka 1169 20930 17.90

Sumedang 10516 179753 17.09

Indramayu 142 1834 12.92

Subang 1493 27341 18.31

Purwakarta 5404 112687 20.85

Karawang 278 5024 18.07

Bekasi 200 2968 14.84

Bandung Barat 4169 78097 18.73

Kota

Bogor 377 5690 15.09

Sukabumi 45 672 14.93

Bandung 52 564 10.85

Cirebon 22 313 14.23

Bekasi 66 815 12.35

Depok 305 4277 14.02

Cimahi 51 768 15.06

Tasikmalaya 488 6905 14.15

Banjar 324 5330 16.45

Jawa Barat 103244 2058784 16.10 aSumber : Buku Saku Jawa Barat 2012

Page 69: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

56

Lampiran 4 Penggunaan tepung tapioka menurut lokasi

industri pengguna Tahun 2011a

Provinsi Volume Penggunaan

(MT)

Banten 1,159.20

DI Yogyakarta 390.00

DKI Jakarta 2,403.00

Jawa Barat 7,860.51

Jawa Tengah 49,849.65

Jawa Timur 10,960.03

Kalimantan Selatan 16.80

Kepulauan Bangka Belitung 308.20

Lampung 3,342.34

Nanggroe Aceh Darussalam 7.15

Nusa Tenggara Barat 218.15

Sulawesi Selatan 0.10

Sumatera Barat 20.16

Sumatera Selatan 112.65

Sumatera Utara 1,368.74

Total 78,016.68 aSumber : Kemenperin 2012

Page 70: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

57

NO Nama Usia

(Tahun) Pendidikan

Pekerjaan

Utama Pekerjaan Sampingan

Jumlah

Anggota

Keluarga

Pengalaman

Berproduksi

(Tahun)

Sumber Daya /

Aset yang

Dimiliki

TK Luar

Keluarga

TK

Keluarga

1 Nunung 36 SMP Pengrajin Tapioka

5 5

Mesin Giling

dan Lahan

Jemur 4 2

2 Suhadi 71 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 6 9

1

3 Ncep 65 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 5 10

2

4 Gugun 28 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 3 5

1

5 Adji 50 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 3 20

2

6 Syahroni 32 SMP Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 4 10

2

7 Khomarudin 32 SD Pengrajin Tapioka

Petani Singkong,

Peternak Kambing 6 5

2

8 Andi 42 SD Pengrajin Tapioka

5 25

Mesin Giling

dan Lahan

Jemur 6 1

9 Ramdhoni 26 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 4 11

1

10 Ndang 49 SD Pengrajin Tapioka

Kuli Bangunan, Peternak

Kambing 3 25

2

11 Ming 62 SD Pengrajin Tapioka

Produsen Opak Ampas

dan Opak Gelang 6 40 Lahan Jemur 1 3

12 Ani 52 SD Pengrajin Tapioka Warung Kelontong 3 30 Lahan Jemur 1 1

13 Bobi 35 SMA Pengrajin Tapioka

Petani Singkong,

Peternak Ayam dan

Kambing 5 10

Mesin Giling

dan Lahan

Jemur 8 2

14 Tedi 36 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 5 5

3

15 Nurdi 50 SD Pengrajin Tapioka Kuli Bangunan 7 30

1

16 Unin 80 SD Pengrajin Tapioka

6 40

Mesin Giling

dan Lahan

Jemur 6

1

17 Rusdi 55 SD Pengrajin Tapioka Peternak Kambing 11 20

2

Lampiran 5 Karaktersitik responden pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu

57

Page 71: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

58

Nama Alat Harga Satuan (Rp) Jumlah (Unit) Nilai (Rp) Umur Pakai (Tahun) Biaya Penyusutan Per Tahun (Rp) Nilai Sisa (Rp)

Mesin Giling Rp 2,500,000 1 Rp 2,500,000 5 Rp 500,000

Bambu Jemuran (Plampang) Rp 10,000 250 Rp 2,500,000 1 Rp 2,500,000

Tampah Rp 5,000 300 Rp 1,500,000 1 Rp 1,500,000

Keranjang Rp 25,000 5 Rp 125,000 0.5 Rp 250,000

Ayakan Rp 35,000 2 Rp 70,000 0.25 Rp 280,000

Saringan Rp 20,000 2 Rp 40,000 0.25 Rp 160,000

Gayoran Rp 25,000 2 Rp 50,000 0.5 Rp 100,000

Saung / Gubuk Rp 3,000,000 1 Rp 3,000,000 2 Rp 1,125,000 Rp 750,000

Plastik Rp 7,000 25 Rp 175,000 0.33 Rp 530,303

Pisau Rp 10,000 3 Rp 30,000 0.5 Rp 60,000

Rumah Penggilingan Rp 20,000,000 1 Rp20,000,000 10 Rp 1,500,000 Rp 5,000,000

Total Biaya Penyusutan Rp 8,505,303

Lampiran 6 Penyusutan alat dan mesin industri kecil tapioka

58

Page 72: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

59

Nama Perusahaan Alamat Perusahaan Kabupaten/Kota

PT. RADIANCE JL KH ASHARI NO 50-50A Kodya Jakarta Barat

KWETIAW GEDUNG PANJANG JL SEPAT BLOK E2 NO 14 A Kodya Jakarta Utara

SUKA ASIH JL H KOMANG BAWAH NO.16 CILANDAK Kodya Jakarta Selatan

PT. SENTRAFOOD INDONUSA DESA ANGGITA KLARI KARAWANG TIMUR Kabupaten Karawang

SARI IKAN JL RAWA SARI 3 RT 04/05 CIPAYUNG DEPOK Kota Depok

KERUPUK IKAN SARI JL. TANAH BARU GG. DAMAI I NO.37 PANCORAN MAS Kota Depok

KUE NOVA GG. PONDOK PUTRI NURUL HUDA PRINGSEWU SELATAN, KEC.PRINGSEWU Kabupaten Pringsewu

KUE SEMANIS MADU JL. KH DEWANTORO 68 PRINGSEWU Kabupaten Pringsewu

IKM Sumiyah Kp. Panguseupan Ds. Carita Kec. Carita Kabupaten Pandeglang

Tanjung Sari Jl Rotan IX RT. 4/7 Kel. Rorotan Kec. Cilincing Kodya Jakarta Utara

Pabrik Kerupuk Sinar Jl. Kampung Kelapa Dua Rt.04 Rw.09 No.148 Kota Depok

SUM Jl. Kramat Asem Kamp. Vitara Rt.03 / XIV Pancoran Mas Depok Kota Depok

UD. Anugerah Jl Galunggung No. 89 Rt 03 / 02 Klatakan Tanggul Kabupaten Jember

Asli Jl. Citeureup No. 44 Rt. 01 Rw. 03 Kel. Citeureup Kec. Cimahi Kota Cimahi

PD. Sari Sedap Jl. Madesa 1 No.71 Kelurahan Kopo Kecamatan Bojong Loa Kaler Kota Bandung

Hurip Jl. Babakan Radio,GG. Madsuhi No.33 Kel. Sukaraja Kec. Cicendo Kabupaten Bandung

Sari Udang Kp. Kelapa Dua Gg. Inpres No.64 Rt. 001 / 011 Kel. Tugu Kec. Cimanggis Kota Depok

Dua Putra Kp. Arman Rt. 08 / 08 No. 125 Kel. Tugu Kec. Cimanggis Kota Depok

Kerupuk Suharto Gedangan , Karangnangka Kabupaten Klaten

A99N JL. NAROGONG K II GG. RAWA MAYAR, RT.02 / 10 KEC. BANTAR GEBANG Kota Bekasi

DANI JAYA JL. ABDUL WAHAB GG. RAALIH NO. 1 RT 03/03 Kota Depok

PK. Sumber Jaya Jl. Raya Narogong KM. 12.5 Cikiwul, Bantar Gebang Kabupaten Bekasi

MANDIRI JL H MANSYUR RT 03/03 Kota Tangerang Selatan

PD. Harum Sari Dusun Cikalapa Desa Pamakolan Rt 03/02 Kabupaten Ciamis

SRI TANJUNG JL PERINDUSTRIAN RT 18/06 DESA KENANGA Kabupaten Indramayu

Lampiran 7 Daftar industri pengguna tepung tapioka di Jawa Barata

59

Page 73: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

60

PADI KAPAS DS KENANGA BLOK DUKU RT 25/06 KEC. SINDANG Kabupaten Indramayu

DUA MAWAR DESA KENANGA BLOK DUKU KEC SINDANG Kabupaten Indramayu

DUA GAJAH JL PERINDUSTRIAN RT 14/04 Kabupaten Indramayu

UDM JL RAYA KALIJAYA NO.69 KEC RENGASDENGKLOK Kabupaten Karawang

GAPURA KIKI JL SEIMULANG NO. 71 RENGASDENGKLOK UTARA Kabupaten Karawang

GUCI EMAS JL PERINDUSTRIAN RT 17/06 KEC.SINDANG Kabupaten Indramayu

RUBY JL TENTARA PELAJAR NO 63 Kota Cirebon

DUA EMPAT DESA BATTEMBAT KEC. TENGAH TANI RT 04/04 Kabupaten Cirebon

CV. Wisesan Jaya Makmur Jalan Yos Sudarso no. 1 Jurimudi Baru Kota Tangerang

PD. Fajar Kampung Tonggan Desa Junti Kecamatan Jawilan Kabupaten Serang

Sikumpay Jl Ciampea Kp Gedong Rt 03/01 No. 45 Desa Ciampea Kec Ciampea Kabupaten Bogor aSumber : Kemenperin (2012)

60

Page 74: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

61

Lampiran 8 Pohon industri ubi kayu Sumber : Trubus (2012)

Lampiran 9 Perkembangan haga rata-rata mingguan ubi kayu di

beberapa kota di Indonesiaa

aSumber : Kementan (2013)

Page 75: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

62

Proses pengupasan ubi kayu

Proses pencucian dan pembersihan bahan baku

Proses penggilingan ubi kayu

Page 76: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

63

Proses penyaringan pati dengan menggunakan tenaga manual dan

tenaga mesin pengayak

Proses pengendapan pati

Proses pengangkatan pati dan

persiapan penjemuran

Saung/gubug dan

peralatan penjemuran

Areal lahan penjemuran tepung

tapioka kasar dan onggok

Page 77: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

64

Arus Pengeluaran 9 10 14 15 17 RATA-RATA

Biaya Tetap

Biaya Sewa Lahan Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 600,000 Rp 2,610,000 Rp 20,510,250 Rp 4,054,568

Total Biaya Penyusutan Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303

Biaya Tetap Total Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 7,105,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 8,932,576

Biaya Variabel

Tenaga Kerja diperhitungkan Rp 5,760,000 Rp 8,160,000 Rp 13,920,000 Rp 5,760,000 Rp 8,364,000 Rp 7,611,273

Biaya Bahan Baku Rp116,000,400 Rp 116,000,400 Rp 116,000,400 Rp 92,800,320 Rp 118,900,410 Rp 103,609,448

Biaya Sewa Penggilingan Rp 8,120,028 Rp 8,120,028 Rp 8,120,028 Rp 6,496,022 Rp 8,323,029 Rp 7,252,661

Biaya Pemasaran Rp 2,665,410 Rp 2,665,410 Rp 1,950,300 Rp 2,132,328 Rp 2,665,410 Rp 2,352,180

Total Biaya Variabel Rp 125,984,806 Rp 136,544,806 Rp 159,104,806 Rp 102,264,646 Rp 136,544,806 Rp 120,857,446

Biaya Total Rp 135,100,109 Rp 145,660,109 Rp 166,210,109 Rp 111,379,949 Rp 145,660,109 Rp 129,790,021

Arus Pengeluaran 2 3 4 5 6 7

Biaya Tetap

Biaya Sewa Lahan Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000 Rp 2,610,000

Total Biaya Penyusutan Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303 Rp 6,505,303

Biaya Tetap Total Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303 Rp 9,115,303

Biaya Variabel

Tenaga Kerja diperhitungkan Rp 5,760,000 Rp 8,160,000 Rp 5,760,000 Rp 5,760,000 Rp 8,160,000 Rp 8,160,000

Biaya Bahan Baku Rp 92,800,320 Rp 116,000,400 Rp 92,800,320 Rp 92,800,320 Rp 92,800,320 Rp 92,800,320

Biaya Sewa Penggilingan Rp 6,496,022 Rp 8,120,028 Rp 6,496,022 Rp 6,496,022 Rp 6,496,022 Rp 6,496,022

Biaya Pemasaran Rp 2,132,328 Rp 2,665,410 Rp 2,132,328 Rp 2,132,328 Rp 2,132,328 Rp 2,600,400

Total Biaya Variabel Rp 102,264,646 Rp 136,544,806 Rp 102,264,646 Rp 102,264,646 Rp 112,824,646 Rp 112,824,646

Biaya Total Rp 111,379,949 Rp 145,660,109 Rp 111,379,949 Rp 111,379,949 Rp 121,939,949 Rp 121,939,949

Lampiran 10 Arus pengeluaran usaha pengrajin penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 64

Page 78: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

65

Lampiran 11 Arus pengeluaran usaha pemilik faktor produksi industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu

Arus Pengeluaran 1 8 11 12 13 16 RATA-RATA

Biaya Tetap

Biaya Sewa Lahan

diperhitungkan Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000

Total Biaya Penyusutan Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303

Biaya Tetap Total Rp 10,505,303 Rp 10,505,303 Rp 8,505,303 Rp 8,505,303 Rp 10,505,303 Rp 10,505,303 Rp 9,838,636

Biaya Variabel

Biaya Bahan Baku Rp 348,001,200 Rp 464,001,600 Rp 116,000,400 Rp 92,800,320 Rp 464,001,600 Rp 301,601,040 Rp 297,734,360

Tenaga Kerja diperhitungkan Rp 8,364,000 Rp 5,904,000 Rp 14,268,000 Rp 8,364,000 Rp 10,200,000 Rp 5,904,000 Rp 8,834,000

Biaya Upah Rp23,040,000 Rp50,400,000 Rp 5,760,000 Rp 6,000,000 Rp 48,000,000 Rp34,560,000 Rp 27,960,000

Biaya Solar Rp 5,280,000 Rp 5,280,000

Rp 5,280,000 Rp 5,280,000

Biaya listrik Rp 200,000 Rp 200,000 - - Rp 200,000 Rp 200,000

Biaya Pemeliharaan Rp 400,000 Rp 400,000 - - Rp 400,000 Rp 400,000

Biaya Sewa Penggilingan

Rp 8,120,028 Rp 6,496,022

Rp 14,616,050

Biaya Pemasaran Rp 7,801,200 Rp 10,401,600 Rp 2,600,400 Rp 2,080,320 Rp 10,401,600 Rp 6,761,040 Rp 6,674,360

Total Biaya Variabel Rp 401,042,400 Rp536,443,200 Rp269,065,606 Rp213,705,286

Rp544,603,200 Rp 354,562,080 Rp 389,612,966

Biaya Total Rp 411,547,703 Rp546,948,503 Rp277,570,909 Rp222,210,589

Rp555,108,503 Rp 365,067,383 Rp 399,451,602

64

Page 79: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

66

Page 80: ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK ... · Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan

67

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang, pada 1 Juli 1991 dari ayah Hisyam Abdullah

Seff dan Tutik Sulistiani. Penulis merupakan putri ke-2 dari 4 bersaudara. Penulis

mengenyam bangku pendidikan di SMP Negeri 1 Singosari dan melanjutkan ke

SMA Negeri 1 Lawang, Malang. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3

Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Insitut Pertanian

Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di

Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen angkatan 46.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa kegiatan dan

organisasi kampus yaitu di HIPMA (Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat

Agribisnis) pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Biro Hubungan Eksternal pada

tahun 2011 – 2012 dan sebagai sekretaris Divisi Biro Hubungan Eksternal pada

tahhun 2010 – 2011. Selain itu penulis juga menjabat sebagai Staff Bidang

Keprofesian POPMASEPI (Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Peminat

Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia) pada tahun 2010 – 2012. Penulis sering

berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kepanitiaan kampus, beberapa diantaranya

yaitu sebagai Ketua Panitia dalam Seminar Pembiayaan Agribisnis Nasional

(AFFECTION 2011) yang diselenggarakan oleh HIPMA, sebagai Sekretaris

Utama dalam The 4th

Esspresso 2010 dan Agrination 2011, sebagai Ketua Divisi

Konsumsi pada One Day No Rice 2011 dan The 9th

Economics Contest, dan

lainnya.

Penulis pernah mendapatkan Juara 1 dalam Lomba Diversifikasi Pangan

Lokal tahun 2012 dan Juara 1 dalam Lomba Film Dokumenter Pertanian Nasional

tahun 2012. Penulis juga telah mengikuti berbagai workshop dan pelatihan baik

yang diselenggarakan dalam maupun luar kampus seperti Workshop IT Today

IPB tahun 2009, Agribusiness Management, Leadership, and Entrepreneurship

Training (AGRIMEET) 2011 dan 2012 di Universitas Muhammadiyah Sukabumi

dan Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta, dan lainnya. Selain itu,

penulis menerima beasiswa PPA IPB pada tingkat kuliah ketiga hingga keempat.