gelatinisasi tapioka
TRANSCRIPT
SKRIPSI
MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG
TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI
PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT
Oleh:
ADIE MUHAMMAD RAHMAN
F24103077
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
34
Adie Muhammad Rahman. F24103077. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan FisikTepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang PadaProduk Kacang Salut. Di bawah Bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Feri Kusnandar.2007.
Ringkasan
Tepung tapioka merupakan salah satu bahan baku dalam pembuatan penyalut padaproduk kacang salut. Mutu kacang salut yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat ataukarakteritik tepung tapioka yang digunakan, namun belum ada penelitian yangmemberikan informasi tentang sifat atau karakteristik tepung tapioka yang berkaitandengan mutu kacang salut. Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakanMOCAL (Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepungsingkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian,Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ).
Penelitian bertujuan untuk mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampeltepung tapioka dan MOCAL, kemudian mengkorelasikan karakteritik tersebut dengantingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut.Kemudian menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalutserta menentukan sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut padaproduk kacang salut.
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu analisis sifatkimia dan fisik, yang meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa,nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan,serta sifat amilografi, kemudian juga dilakukan analisis tingkat pengembangan papatantepung tapioka (tapioka A, B, C, D, E, dan F) serta MOCAL. Tahap berikutnya yaituaplikasi tepung tapioka dan MOCAL sebagai penyalut pada produk kacang salut.Selanjutnya dilakukan analisis tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salutyang dihasilkan dari tiap sampel dan mengkorelasikan sifat kimia dan fisik dari sampelyang relevan terhadap kerenyahan penyalut pada kacang salut tersebut.
Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda antar sampeltepung tapioka, begitu pula dengan MOCAL. Berdasarkan hasil analisis korelasi,karakteristik yang paling relevan terhadap tingkat pengembangan papatan dankerenyahan penyalut pada kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Sementaraitu, karakteristik lainnya seperti kadar air, kadar abu, kadar pati, nilai pH, bentuk danukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan, serta sifat amilografitidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahanpenyalut pada produk kacang salut.
Korelasi negatif dan nyata terjadi antara tingkat pengembangan papatan maupunkerenyahan rasio amilosa dan amilopektin (P<0.05). Maka dapat disimpulkan bahwasemakin rendah rasio amilosa dan amilopektin, tingkat pengembangan papatan dankerenyahan penyalut akan semakin besar. Tingkat pengembangan papatan dankerenyahan tertinggi dimiliki oleh penyalut yang dihasilkan dari tapioka F, sedangkanyang terendah yaitu pada sample MOCAL. Oleh karena itu MOCAL tidak cocok untukdigunakan sebagai penyalut pada produk kacang salut.
35
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
MEMPELAJARI KARAKTERISTIK KIMIA DAN FISIK TEPUNG
TAPIOKA DAN MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR) SEBAGAI
PENYALUT KACANG PADA PRODUK KACANG SALUT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
ADIE MUHAMMAD RAHMAN
F24103077
Dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1985
di Jakarta
Tanggal Lulus: 30 November 2007
Menyetujui,
Bogor, Januari 2008
Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dr.Ir. Feri Kusnandar, Msc Rahadi Kusuma, STPDosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Pembimbing Lapang
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Ketua Departemen ITP
36
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember
1985 sebagai anak ke lima dari delapan bersaudara pasangan
Salamah dan Sunaryo. Penulis mengawali masa pendidikannya
pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Karet 05 Pagi Jakarta
hingga tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan
menengah pertama di SLTP Negeri 58 Jakarta hingga tahun
2000, dan melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 3 Jakarta
hingga tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi
kemahasiswaan, diantaranya adalah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu
dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) serta kepanitiaan lainnya seperti Masa
Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR 2004), Pelatihan
Web dan Graphic Design HIMITEPA, dan MC dalam acara Focus Group
Discussion ”Formalin: Kebutuhan Yang Tidak Dibutuhkan” HIMITEPA. Penulis
juga pernah menjadi asisten Praktikum Kimia Dasar TPB-IPB pada tahun 2005
dan 2006.
Sebagai tugas akhir, penulis melakukan kegiatan penelitian di Perusahaan
pengolahan kacang. Penulis mengambil penelitian dengan judul Mempelajari
Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan MOCAL (Modified Cassava
Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut, di bawah bimbingan
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc.
37
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik Tepung Tapioka Dan
Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk
Kacang Salut, sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi
Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.
Selama melaksanakan penelitian dan penyelesaian skripsi ini penulis telah
mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Ayah dan Mama tercinta, Kak’Wi, Ka’Na, Bang’De, Ima, Lely, Ita dan Ois,
Abank, ka’Dety, serta Adinda, Nuha, Aulia, Ayu, Delila dan Zaky, yang
senantiasa memberikan kasih sayang dan cinta kepada penulis untuk terus
berjuang dan bersemangat!!!
2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-hariyadi, Msc., selaku dosen pembimbing pertama yang
banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.
3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, Msc., selaku dosen pembimbing kedua yang juga
banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.
4. Ir. Betty Silalahi selaku general manager yang telah mengizinkan penulis
untuk melaksanakan tugas akhir di Perusahan pengolahan kacang.
5. Mba Vivi dan Mas Rahadi selaku pembimbing lapang yang telah memberikan
arahan dan bimbingan kepada penulis. You are the best!
6. Wati, Maya, dan Reza, selaku teman seperjuangan penulis selama
menyelesaikan tugas akhir. Thank you so much for all the moments that we
share!!!
7. Rekan-rekan kerja di perusahaan, Mba Suzan, mba Tri, mba Ratih, Willy,
Ranto, Mas’No, Haris, Nita, Christin, Deni, mba Sundari, Nizar, Putri, Nani,
Lidya, Susi, Mba Titin, serta rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, semangat, keceriaan, dan
kehangatannya kepada penulis selama melakukan tugas akhir.
38
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Mitoel, Chusni, Indah, Fitri, Tylo, Arie,
Pa’de, Ujo, RT, Arga, Sarwo, Ados, Yoga, Lichan, dan Oneth. You guys are
like a star..Not aways seen but always there..
9. Irmawati, terima kasih untuk semangatnya! Be strong and tough girl!!!
10. Teman-teman ITP 40, Jeng’ye, Lasty, Tatan, Ade, Aca, Widhi, Iin, Vina,
Nooy, Nana, Ina, Dion, Agnes, Gadink, hendy, Aan, Dhea, Rahmat, dan yang
lainnya, serta teman-teman ITP 41 yang telah banyak memberikan bantuan
dan semangat kepada penulis.
11. Teknisi dan laboran, pak Iyas, bu Rub, pak Koko, teh Ida, mba Ari, pak Rojak,
pak Wahid, serta pak Sobirin.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, pemulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk
memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini selanjutnya.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat benrmanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan
pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, Januari 2007
Penulis
39
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN.............................................................................................. i
RIWAYAT HIDUP..................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1
B. TUJUAN .......................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TEPUNG TAPIOKA........................................................................ 3
B. TEPUNG SINGKONG..................................................................... 6
C. MOCAL............................................................................................ 7
D. PATI.................................................................................................. 9
1. Granula Pati................................................................................. 9
2. Amilosa dan Amilopektin............................................................ 10
3. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................ 12
4. Gelatinisasi Pati........................................................................... 13
5. Retrogradasi Pati.......................................................................... 15
E. KACANG SALUT............................................................................ 16
F. ANALISIS KORELASI..................................................................... 17
III.BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT ...................................................................... 19
B. METODE PENELITIAN ................................................................. 19
1. Analisis Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL........... 20
40
2. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan................................... 20
3. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut................................ 22
C. METODE ANALISIS....................................................................... 23
1. Kadar Air..................................................................................... 23
2. Kadar Abu................................................................................... 23
3. Kadar Pati.................................................................................... 24
4. Kadar Amilosa dan Amilopektin................................................. 25
5. Nilai pH....................................................................................... 27
6. Bentuk dan Ukuran Pati............................................................... 27
7. Kehalusan.................................................................................... 27
8. Derajat Putih................................................................................ 28
9. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................ 29
10. Pola Gelatinisasi.......................................................................... 30
11. Analisis Tekstur........................................................................... 30
12. Uji Organoleptik.......................................................................... 31
13. Analisis Korelasi.......................................................................... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. SIFAT KIMIA TEPUNG TAPIOKA............................................... 33
1. Kadar Air..................................................................................... 33
2. Kadar Abu.................................................................................... 33
3. Nilai pH........................................................................................ 34
4. Kadar Pati..................................................................................... 35
5. Kadar Amilosa dan Amilopektin.................................................. 37
B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA................................................... 38
1. Bentuk dan Ukuran Pati................................................................ 38
2. Kehalusan...................................................................................... 39
3. Derajat Putih................................................................................. 40
4. Daya Kembang Pati (Swelling Power) dan Kelarutan................. 41
5. Pola Gelatinisasi........................................................................... 44
C. ANALISIS TINGKAT PENGEMBANGAN PAPATAN................... 50
D. ANALISIS KERENYAHAN TEKSUR KACANG SALUT............. 52
41
E. KARAKTERISTIK TAPIOKA F YANG MENGHASILKAN
KERENYAHAN PENYALUT TERTINGGI.................................... 55
F. MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLUOR)........................................ 58
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN.................................................................................. 63
B. SARAN.............................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 66
42
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapioka................................................... 3
Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994............. 4
Tabel 3. Standar kehalusan tepung tapioka................................................. 4
Tabel 4. Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992........... 6
Tabel 5. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh Jinawi
Trenggalek..................................................................................... 8
Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989
(Rev.1–1995)................................................................................... 9
Tabel 7. Penilaian mutu sensoris kacang salut............................................ 31
Tabel 8. Kadar air sampel............................................................................ 33
Tabel 9. Kadar abu sampel.......................................................................... 34
Tabel 10. Nilai pH sampel............................................................................. 35
Tabel 11. Kadar pati sampel.......................................................................... 36
Tabel 12. Kadar amilosa dan amilopektin sampel......................................... 37
Tabel 13. Ukuran granula sampel.................................................................. 38
Tabel 14. Hasil pengukuran kehalusan sampel............................................. 40
Tabel 15. Derajat putih sampel...................................................................... 41
Tabel 16. Sifat amilografi sampel.................................................................. 45
Tabel 17. Tingkat pengembangan papatan sampel....................................... 51
Tabel 18. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skor
kerenyahan sampel penyalut pada produk kacang salut................ 53
Tabel 19. Rekapitulasi data karakteristik kimia dan fisik tapioka F.............. 57
Tabel 20. Sifat kimia dan fisik MOCAL...................................................... 59
Tabel 21. Tingkat pengembangan papatan, hasil pengukuran gaya (gf)
dan skor kerenyahan MOCAL....................................................... 62
43
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka.................................. 5
Gambar 2. Diagram alir pembuatan MOCAL........................................... 8
Gambar 3. Struktur amilosa....................................................................... 11
Gambar 4. Struktur amilopektin................................................................ 11
Gambar 5. Grafik hubungan antara gaya (force) dan jarak (distance)...... 17
Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian............................................... 20
Gambar 7. Diagram alir pembuatan larutan bumbu.................................. 21
Gambar 8. Diagram alir pembuatan papatan............................................ 21
Gambar 9. Diagram alir pembuatan kacang salut...................................... 22
Gambar 10. Granula Pati Tepung Tapioka (A, B, C, D, E, dan F).............. 39
Gambar 11. Pola swelling power tepung tapioka ........................................ 42
Gambar 12. Pola kelarutan tepung tapioka................................................... 43
Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka..................................... 46
Gambar 14. Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan rasio
amilosa dan amilopektin........................................................... 51
Gambar 15. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa
dan amilopektin......................................................................... 54
Gambar 16. Granula MOCAL...................................................................... 60
44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rekapitulasi karakteristik fisikokimia sampel
tepung tapioka dan MOCAL................................................. 69
Lampiran 2. Hasil pengukuran kadar pati.................................................. 70
Lmapiran 3. Pembuatan kurva standar amilosa dan pengukuran kadarAmilosa.................................................................................. 71
Lampiran 4. Hasil uji rating kerenyahan.................................................... 72
Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, pH.......................... 73
Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajat
Putih...................................................................................... 74
Lampiran 5c. Hasil uji Duncan : kehalusan................................................. 75
Lampiran 6a. Hasil uji Duncan terhadap kerenyahan (gf)........................... 76
Lampiran 6b. Hasil uji Duncan terhadap skor kerenyahan.......................... 77
Lampiran 7a. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap swelling power
dan kelarutan pati................................................................... 78
Lampiran 7b. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap sifat
amilografi .............................................................................. 78
Lampiran 7c. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan
terhadap rasio amilosa dan amilopektin................................ 79
Lampiran 7d. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan
terhadap swelling power dan kelarutan................................. 79
Lampiran 7e. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan
terhadap pH........................................................................... 79
Lampiran 7f. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan
terhadap sifat amilografi........................................................ 80
Lampiran 7g. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap rasio amilosa
dan amilopektin..................................................................... 80
Lampiran 7h. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap swelling
power dan kelarutan............................................................... 81
Lampiran 7i. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap pH..................... 81
45
Lampiran 7j. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap sifat
amilografi................................................................................ 81
Lampiran 7k. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan,
kerenyahan (gf), dan skor kerenyahan.................................... 82
Lampiran 8. Setting alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.... 82
46
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tepung tapioka merupakan salah satu produk hasil olahan singkong
yang banyak digunakan sebagai bahan baku utama maupun bahan penolong
dalam beberapa produk pangan baik di rumah tangga maupun industri. Salah
satu penggunaan tepung tapioka dalam industri pangan adalah sebagai
penyalut pada produk kacang salut. Penyalut pada produk tersebut diharapkan
memiliki tingkat pengembangan dan kerenyahan yang baik, namun dalam
aplikasinya penggunaan jenis tepung tapioka yang berbeda akan menghasilkan
mutu penyalut yang berbeda pula. Perbedaan mutu produk kacang salut yang
dihasilkan dapat dipengaruhi oleh sifat atau karakteritik tepung tapioka yang
digunakan, namun belum ada penelitian yang memberikan informasi tentang
sifat atau karakteristik tepung tapioka yang diperlukan bagi suatu penyalut
kacang.
Menurut Radley (1976), fungsionalitas pati pada produk pangan
ataupun nonpangan tergantung dari sifat fisik pati. Sifat fisik pati tersebut
dipengaruhi oleh dua komponen utama dalam pati yaitu amilosa dan
amilopektin. Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari
makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio dari amilosa dan amilopektin.
Menurut Balagopalan et al. (1988), tekstur pada produk berbahan dasar pati
diperoleh dari hasil perubahan pati selama dan setelah pemasakan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi tekstur produk antara lain gelatinisasi, daya
kembang, viskositas, dan retrogradasi. Faktor pH pada pati juga dapat
mempengaruhi mutu produk berbahan dasar pati. Menurut Taggart (2004),
asam dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga
menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang.
Dalam penelitian ini, selain tepung tapioka juga digunakan MOCAL
(Modified Cassava Flour). MOCAL merupakan produk turunan dari tepung
singkong hasil pengembangan Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-
UNEJ), yang memiliki potensi menjadi bahan baku utama dalam pembuatan
47
produk kacang salut. Berdasarkan hasil uji coba oleh Subagio (2006),
MOCAL dapat digunakan sebagai bahan baku dari berbagai jenis produk
pangan, mulai dari produk rerotian, biskuit, b aha n pe nsu b t itusi pada
mie, hingga p roduk pangan semi basah. MOCAL mempunyai spektrum
aplikasi yang mirip dengan tepung terigu, tepung beras, dan tepung-
tepung lainnya, maka MOCAL mempunyai potensi untuk digunakan dalam
penelitian ini.
B. TUJUAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka
dan MOCAL.
2. Mempelajari korelasi antara karakteristik kimia dan fisik sampel tersebut
dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada
produk kacang salut.
3. Menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap kerenyahan
penyalut pada produk kacang salut.
4. Mempelajari karakteristik sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi
terhadap penyalut pada produk kacang salut.
48
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TEPUNG TAPIOKA
Tepung tapioka merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Dalam
memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus dipertimbangkan usia
atau kematangan dari tanaman singkong. Usia optimum yang telah ditemukan
dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas singkong yang berasal dari
jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika
umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada
titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu, sehingga
umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Komposisi kimia tepung
tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia tepung tapiokaKomposisi Jumlah
Serat (%) 0.5Air (%) 15Karbohidrat (%) 85Protein (%) 0.5-0.7Lemak (%) 0.2Energi (kalori/100 gram) 307
Sumber: Grace (1977)
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tepung tapioka tidak
dipersyaratkan. Namun demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH
untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan dengan proses pengolahan.
Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang berkaitan dengan pH
adalah pada proses pembentukan pasta. Menurut Winarno (2002),
pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi,
pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Sebaliknya,
bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya
akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. The Tapioca Institute of
America (TIA) menetapkan standar pH tepung tapioka sekitar 4.5-6.5 (Radley,
1976). Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.
49
Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994PersyaratanNo. Jenis uji Satuan Mutu I Mutu II Mutu III
1. Kadar air % Maks.15.0 Maks.15.0 Maks.15.0
2. Kadar abu % Maks.0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60
3. Serat dan bendaasing % Maks.
0.60 Maks. 0.60 Maks. 0.60
4. Derajat putih(BaSO4=100%) % Min. 94.5 Min. 92.0 <92
5. Derajat asamVolumeNaOH
1N/100gMaks. 3 Maks. 3 Maks. 3
6. Cemaran logam- Timbal- Tembaga- Seng- Raksa- Arsen
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Maks. 1.0Maks.10.0
Maks.40.0
Maks.0.05
Maks. 0,5
Maks. 1.0Maks. 10.0Maks. 40.0Maks. 0.05Maks. 0,5
Maks. 1.0Maks. 10.0Maks. 40.0Maks. 0.05Maks. 0,5
7. Cemaranmikroba- Angkalempeng total- E. coli- Kapang
Koloni/g
Koloni/gKoloni/g
Maks. 1.0x 106
-Maks. 1.0
x 104
Maks. 1.0x 106
-Maks. 1.0
x 104
Maks. 1.0 x106
-Maks. 1.0 x
104
Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tepung tapioka.
Tepung tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan
memiliki kehalusan yang baik. Dalam SNI tidak dipersyaratkan mengenai
kehalusan tepung tapioka. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan
sebagai syarat mutu tepung tapioka adalah The Tapioca Institute of America
(TIA), yang membagi tepung tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan
kehalusannya. Standar kehalusan tepung tapioka menurut TIA disajikan dalam
Tabel 3.
50
Tabel 3. Standar kehalusan tepung tapiokaGrade % Lolos ayak Ukuran
ayakanA 99 140B 99 80C 95 60
Sumber : Radley (1976)
Tepung tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi singkong.
Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan
lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati
yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Berdasarkan
derajat keputihan, maka semakin putih tepung tapioka mutunya juga semakin
baik. Hal ini terdapat di dalam SNI 01-3451-1994 yang membagi tepung
tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan derajat keputihan, seperti tercantum
pada Tabel 2 di atas.
Pada pembuatan produk pangan juga demikian, tepung tapioka yang
lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku. Contohnya pada
produk kacang salut, penyalut pada produk diharapkan dapat menghasilkan
warna putih yang baik (tidak kusam), sehingga produk lebih dapat diterima
oleh konsumen dari segi organoleptik.
Dalam hal teknologi, ada perbedaan proses pembuatan tepung tapioka
antara industri besar dan industri rumah tangga. Pada industri besar, proses
pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat
atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan pada industri rumah tangga
pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan secara tradisional dengan
menggunakan alat-alat yang sederhana. Secara umum, diagram alir pembuatan
tepung tapioka disajikan dalam Gambar 1.
51
Umbi singkong
Pengupasan dan pencucian
Pemarutan
Penyaringan
Pengendapan
Pencucian pati
Pengeringan
Pati singkong (tepung tapioka)
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung tapioka (Holleman dan Aten,1956)
B. TEPUNG SINGKONG
Ubi kayu atau singkong merupakan sumber karbohidrat yang penting
setelah padi, jagung, dan sagu. Singkong memiliki nama botani Manihot
esculenta Crantz tapi lebih dikenal dengan nama Manihot utilissima. Singkong
dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan pangan pokok ataupun
diolah menjadi produk setengah jadi berupa pati singkong (tepung
tapioka), gaplek, dan tepung singkong.
Menurut SNI 01-2997-1992, tepung singkong adalah tepung yang
dibuat dari bagian umbi singkong yang dapat dimakan, melalui penepungan
singkong iris, parut, ataupun bubur kering dengan mengindahkan ketentuan-
ketentuan kebersihan. Syarat mutu tepung singkong sesuai SNI dapat dilihat
pada Tabel 4.
Ampas
52
Tabel 4. Syarat mutu tepung singkong menurut SNI 01-2997-1992No. Jenis uji Satuan Persyaratan1. Keadaan
- Bau- Rasa- Warna
---
Khas singkongKhas singkong
Putih2. Benda asing - Tidak boleh ada3. Derajat putih % Min. 854. Kadar abu % b/b Maks. 1.55. Kadar air % b/b Maks. 126. Derajat asam ml N NaOH/100g Maks. 37. Asam sianida mg/kg Maks. 408. Kehalusan % lolos (80 mesh) Min. 909. Kadar pati % b/b Min. 75
10. Bahan TambahanPangan
Sesuai SNI 01-0222-1995
11. Cemaran logam- Timbal- Tembaga- Seng- Raksa- Arsen
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Maks. 1.0Maks. 10.0Maks. 40.0Maks. 0.05Maks. 0,5
12. Cemaran mikroba- Angka lempeng total- E. coli- Kapang
Koloni/g
APM/gKoloni/g
Maks. 1.0 x 106
<3Maks. 1.0 x 104
Tepung singkong telah banyak digunakan dalam pembuatan produk-
produk pangan, antara lain seperti roti, biskuit, mie instan, dan lain-lain.
Tepung singkong dapat dimodifikasi untuk memperoleh mutu produk yang
lebih baik dan sesuai dengan keinginan. Modifikasi tepung singkong telah
dilakukan oleh peneliti terdahulu seperti Muharram (1992), yang
memodifikasi tepung singkong dengan pengukusan, penyangraian, dan
penambahan GMS (Glyceril Mono Stearat).
Selain itu, modifikasi tepung singkong juga telah dilakukan oleh
Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Jember (LAB KBHP-UNEJ). Modifikasi tepung
singkong tersebut dilakukan melalui proses fermentasi, sehingga dihasilkan
produk baru yang merupakan turunan dari tepung singkong yang diberi nama
MOCAL (Modified Cassava Flour).
53
C. MOCAL
MOCAL atau Modified Cassava Flour merupakan produk turunan dari
tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara
fermentasi (Subagio, 2006). Secara teknis, cara pengolahan MOCAL sangat
sederhana, mirip dengan cara pengolahan tepung singkong biasa, namun
disertai dengan proses fermentasi. Singkong dibuang kulitnya, dikerok
lendirnya, dan dicuci sampai bersih. Kemudian dilakukan pengecilan ukuran
singkong dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah
fermentasi, singkong tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga
dihasilkan produk MOCAL (Gambar 2).
Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh pada
singkong akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi
pembebasan granula pati. Proses pembebasan granula pati ini akan
menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa
naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan
melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis
menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-
asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dalam tepung, sehingga
ketika tepung tersebut diolah akan menghasilkan aroma dan cita rasa yang
khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak
disukai konsumen. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh
Jinawi Trenggalek disajikan dalam Tabel 5.
54
Gambar 2. Diagram alir pembuatan MOCAL
Tabel 5. Spesifikasi MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi Loh JinawiTrenggalek
No. Parameter Satuan Hasil1. Keadaan
- Warna- Aroma- Rasa
---
PutihNetralNetral
2. Kadar Air % Max. 133. Kadar protein % Max. 1,04. Kadar abu % Max. 0,25. Kadar pati % 82 - 876. Kadar serat % 1,9 - 3,47. Kadar lemak % 0,4 - 0,88. Kadar HCN mg/kg tidak terdeteksi9. Derajat keputihan % 88 – 91
Sumber: Subagio (2007)
Singkong
Pengupasan
Pencucian
Pengecilan ukuran
Perendaman
Larutan Garam
Senyawaaktif A dan
B
Pengeringanmatahari
Pengayakan
MOCAL
Penggaraman
Penepungan
55
MOCAL merupakan produk hasil olahan dari singkong yang dapat
dimakan (edible cassava). Oleh karena itu, syarat mutu MOCAL dapat
mengacu kepada CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) tentang edible
cassava flour (Tabel 6)
Tabel 6. Syarat mutu edible cassava four dalam CODEX STAN 176-1989(Rev.1–1995)
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu1. Kadar air % Max. 132. Kadar abu % Max. 33. Kadar Serat Kasar % Max. 24. Kadar HCN mg/kg Max. 105. Residu pestisida - Sesuai dengan aturan yang berlaku6. Logam berat - Tidak terdeteksi7. Bahan Tambahan - Tidak terdeteksi
MOCAL mempunyai karakteristik yang khas, sangat berbeda dengan
tepung singkong dan tepung tapioka. Dibandingkan dengan tepung tapioka,
viskositas MOCAL lebih rendah. Hal ini disebabkan o l e h komponen pati
t e p u n g tapioka mencakup hampir seluruh bahan kering, sedangkan pada
MOCAL komponen selain pati masih dalam jumlah yang signifikan. Namun
demikian, dengan fermentasi s e l a m a 72 jam akan didapatkan produk
MOCAL yang mempunyai viskositas mendekati t epu ng tapioka (data tidak
ditunjukkan). Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lama waktu fermentasi
maka akan semakin banyak sel singkong yang pecah, sehingga pembebasan
granula pati menjadi semakin meningkat (Subagio, 2007).
D. PATI
1. Granula Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik.
Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno
(2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan
cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam
putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai
pecah, sifat birefringent ini akan menghilang.
56
Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda
tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy (2004), ukuran granula
tapioka menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan
bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman
singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang berbeda.
2. Amilosa dan Amilopektin
Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air
panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut
amilopektin (Winarno, 2002). Pola difraksi sinar-x granula pati adalah
bukti bahwa terdapat daerah kristalinitas atau misela pada granula pati
(Swinkels, 1985). Misela merupakan bagian molekul linier yang berikatan
dengan rantai molekul terluar molekul cabang (Pomeranz, 1991). Ikatan
ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada paralel satu
sama lain, sehingga gaya ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu
(Swinkels, 1985). Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau
amorf (Pomeranz, 1991). Daerah amorf ini kurang padat, sehingga mudah
dimasuki air. Pada pati kentang dan tapioka, misela terbentuk oleh
amilopektin, sedangkan daerah amorf dibentuk oleh amilosa.
Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-molekul
glukosa yang berikatan -(1,4)-D-glukosa. Panjang polimer dipengaruhi
oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Pada
umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul yang
lebih besar dibandingkan dengan berat molekul amilosa serealia, dengan
rantai polimer lebih panjang daripada rantai polimer amilosa serealia
(Moorthy, 2004)
Menurut Taggart (2004), amilosa memilki kemampuan membentuk
kristal karena struktur rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya
yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekular yang kuat.
Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan
ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada
amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3.
57
Gambar 3. Struktur amilosa (Chaplin, 2006)
Jumlah atau kadar amilosa pati pada singkong berada pada kisaran
20-27% mirip dengan pati tanaman lain. Pada dasarnya, struktur
amilopektin sama seperti amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek -(1,4)-
D-glukosa dalam jumlah yang besar. Perbedaannya ada pada tingkat
percabangan yang tinggi dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa dan bobot
molekul yang besar. Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi
tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan
yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004). Struktur
amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur amilopektin (Chaplin, 2006)
58
3. Daya Kembang Pati (swelling power) dan Kelarutan
Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai
pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air
(Balagopalan et al., 1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena
adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati
dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan
membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika
granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang
(swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan
hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus
saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati
akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume
hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati (Swinkels, 1985).
Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul
dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya
menentukan swelling power dan kelarutan (Moorthy, 2004). Swelling
merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001).
Proporsi yang tinggi pada rantai cabang amilopektin memiliki kontribusi
dalam peningkatan nilai swelling. Selain itu, terdapat korelasi yang negatif
antara swelling power dengan kadar amilosa, swelling power menurun
seiring dengan peningkatan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998
dalam Li dan Yeh, 2001). Amilosa dapat membentuk kompleks dengan
lipida pada pati sehingga dapat menghambat swelling (Charles et al.,
2005).
Swinkels (1985) menyatakan bahwa nilai swelling power dapat
diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-95°C
dengan interval 5°C. Menurut Pomeranz (1991), swelling power dapat
diukur pada interval suhu 5°C pada kisaran suhu gelatinisasi sampai
100°C. Sementara itu, Li dan Yeh (2001) mengukur swelling power dan
kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu pada suhu 55°C, 65°C, 75°C,
85°C, dan 95°C. Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan
59
membuat suspensi pati dalam botol sentrifusa lalu dipanaskan selama 30
menit pada suhu yang telah ditentukan. Kemudian bagian yang cair
(supernatan) dipisahkan dari endapan. Swelling power diukur sebagai
berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Tepung
tapioka memiliki swelling power yang besar (Balagopalan et al., 1988).
Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan
keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut
dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang
dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985), ketika
molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai
menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah
molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi
suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula
pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga
pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak
mengeluarkan amilosa.
Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan
meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas
untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur
berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling
power. Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan
pati dari umbi-umbi yang lain.
4. Gelatinisasi Pati
Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses
pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula
pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat mengembang
dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan
pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan
terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula
pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali ke bentuk
awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan granula
60
pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali). Kondisi pembengkakan
granula pati yang bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi,
sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut dengan suhu gelatinisasi.
Menurut Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tepung
tapioka berada pada kisaran 52-64°C. Menurut Swinkels (1985), suhu
gelatinisasi tepung tapioka berkisar antara 65-70°C.
Moorthy (2004) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan
fenomena kompleks yang bergantung dari ukuran granula, persentase
amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam
granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat
sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula
yang besar. Makin besar bobot molekul dan derajat kristalisasi dari
granula pati, pembentukkan gel semakin lambat. Menurut Pomeranz
(1991), tidak semua granula pati tergelatinisasi pada titik yang sama,
tetapi terjadi pada suatu kisaran suhu tertentu. Menurut Olkku dan Rha
(1978) dalam Pomeranz (1991), proses gelatinisasi melibatkan peristiwa-
peristiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling (pengembangan)
granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4)
peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan
molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah.
Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi dan pH larutan pati.
Makin kental larutan, suhu gelatinisasi makin sulit tercapai. Bila pH
terlalu tinggi, pembentukan gel semakin cepat tercapai tetapi cepat turun
lagi. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Selain itu, penambahan gula
juga berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan
menurunkan kekentalan, hal ini disebabkan karena gula dapat mengikat
air, sehingga pembengkakan butir-butir pati menjadi lebih lambat,
akibatnya suhu gelatinisasi akan lebih tinggi. Adanya gula akan
menyebabkan gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno,
2002).
Pati singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat
rendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal.
61
Menurut Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 52-
64°C.
5. Retrogradasi Pati
Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah
mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa yang
dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang
membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh
karena itu, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari
granula-granula yang membengkak yang tersuspensi ke dalam air panas
dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi ke dalam air. Molekul-
molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut
dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki
kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati
tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk
melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali.
Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan
dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan
demikian mereka menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut
menjadi semcam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap
(Winarno, 2002).
Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah benar-benar
terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di
luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang
memiliki rantai pendek. Keluarnya molekul-molekul amilosa ini
menyebabkan terjadinya presipitasi (jika konsentrasi pati rendah) atau
membentuk gel (jika konsentrasi pati tinggi).
Menurut Swinkels (1985), retrogradasi pasta pati atau larutan pati
memiliki beberapa efek sebagai berikut: (1) peningkatan viskositas; (2)
terbentuknya kekeruhan; (3) terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta
panas; (4) terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut; (5)
terbentuknya gel; dan (6) terjadinya sineresis pada pasta pati. Retrogradasi
62
adalah proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain jenis dan konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu
peyimpanan, prosedur pendinginan, pH, dan keberadaan komponen lain.
E. KACANG SALUT
Kacang salut adalah kacang yang disalut dengan tepung dan bumbu-
bumbu kemudian digoreng hingga matang. Dalam pembuatan kacang salut,
tepung yang digunakan biasanya adalah tepung tapioka ataupun tepung-
tepungan lain seperti tepung terigu maupun tepung telur yang dapt
memberikan tekstur sesuai dengan keinginan.
Tepung yang digunakan diharapkan akan menghasilkan penyalut yang
mengembang dan memiliki kerenyahan yang baik. Oleh karena itu, untuk
memperkirakan pengembangan tepung biasanya dilakukan analisis tingkat
pengembangan tepung dengan membuat produk berupa papatan. Papatan
merupakan adonan tepung tanpa kacang yang dibentuk bulat-bulat kecil, baik
dalam keadaan sebelum digoreng maupun setelah digoreng.
Salah satu kriteria mutu terpenting dari kacang salut adalah kerenyahan.
Kerenyahan kacang salut dapat dianalisis dengan menggunakan alat texture
analyzer. Gaya (force) yang dinilai untuk kerenyahan adalah pada puncak
pertama di mana sampel mulai berubah bentuk (deformasi). Menurut Anonim
(2005), untuk mengukur kerenyahan (fracturability) tidak hanya dilihat dari
gaya (force) untuk mendeformasi sampel tetapi juga dilihat jarak saat gaya
mulai menekan sampel (distance). Anonim (2005) menambahkan, jika hasil
pengukuran sampel memiliki gaya (force) yang sama dengan jarak (distance)
yang berbeda-beda, maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan
jarak (distance) yang terdekat. Sebaliknya, jika hasil pengukuran sampel
memiliki jarak (distance) yang sama, dengan gaya (force) yang berbeda-beda,
maka sampel yang paling renyah adalah sampel dengan gaya (force) terendah.
Pada Gambar 4 dapat dilihat contoh grafik hasil pengukuran tekstur dengan
Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer.
63
Gambar 4. Grafik hubungan antara gaya (force) dan jarak
(distance)
Anonim (2005) menambahkan, untuk membandingkan kerenyahan
antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak (distance) yang
berbeda, dapat digunakan uji organoleptik untuk mengetahui sampel yang
memiliki kerenyahan lebih tinggi.
F. ANALISIS KORELASI
Analisis korelasi mencoba mengukur kekuatan hubungan antara dua
peubah (X dan Y) melalui sebuah bilangan yang disebut koefisien korelasi (r).
Jadi, r mengukur sejauh mana titik-titik menggerombol di sekitar sebuah garis
lurus. Bila titik-titk bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan
kemiringan positif, maka ada korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah.
Akan tetapi, bila titik-titik bergerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan
kemiringan negatif, maka antara kedua peubah tersebut terdapt korelasi
negatif. Hubungan linier sempurna antara kedua peubah terdapat bila nilai r =
1 atau r = -1. Koefisien korelasi antara dua peubah adalah suatu ukuran
hubungan linier antara kedua peubah tersebut. (Walpole, 1995).
Menururt Nugroho (2005), korelasi dapat dilakukan untuk dua variabel
yang berkaitan. Fungsi analisis korelasi yaitu untuk mengukur hubungan antar
variabel dan meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang
64
variabel bebas tersebut. Sifat korelasi menentukan arah dari korelasi.
Keeratannya dapat dikelompokan sebagai berikut: (1) bila r = 0.00-0.20
berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah; (2) bila r = 0.21-0.40 berarti
korelasi memiliki keeratan lemah; (3) bila r = 0.41-0.70 berarti korelasi
memiliki keeratan kuat; (4) bila r = 0.71-0.90 berarti korelasi memiliki
keeratan sangat kuat; (5) bila r = 0.91-0.99 berarti korelasi memiliki keeratan
sangat kuat sekali; (6) bila r = 1 berarti korelasi sempurna.
65
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam jenis
tepung tapioka dengan kode tapioka A, tapioka B, tapioka C, tapioka D,
tapioka E, dan tapioka F, yang diperoleh dari dua jenis pemasok (industri
rumah tangga dan industri besar) serta MOCAL (Modified Cassava Fluor)
yang diperoleh dari Koperasi Loh Jinawi Trenggalek. Bahan-bahan kimia
yang digunakan adalah alkohol 95%, HCl 3%, H2SO4 25%, KI 20%, larutan
Luff-Schoorl, NaOH 3%, indikator fenolftalen, indikator amilum 0.5%,
Na2S2O3 0.1N, amilosa kentang, NaOH 1N, asam asetat 1N, KOH 0.2N,
larutan Iod 0.01N, serta akuades.
Alat-alat yang digunakan antara lain cawan alumunium, oven, neraca
analitik, desikator, ruang asap, pendingin tegak, erlenmeyer asah, buret, cawan
porselen, tanur, Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer, waterbath,
labu takar, kertas saring, Mettler Toledo MP220 pH-meter, kaca preparat dan
gelas penutup, Olympus BH-2 Polarized Light Microscope, Kett Electric
Laboratory C-100-3 Whitenessmeter, Stable Micro System TAXT2 Texture
Analyzer, Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121,
sentrifusa, Digital sieve shaker, serta alat-alat gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu
analisis sifat kimia dan fisik serta tingkat pengembangan tepung tapioka dan
MOCAL. Tahap berikutnya yaitu aplikasi tepung tapioka dan MOCAL
sebagai penyalut pada produk kacang salut. Selanjutnya dilakukan analisis
tekstur (kerenyahan) pada semua produk kacang salut yang dihasilkan dari
tiap sampel. Diagram alir tahapan penelitian ini disajikan dalam Gambar 6.
66
Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian
1. Analisis Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL
Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis sifat kimia dan fisik dari
tepung tapioka dan MOCAL. Sifat kimia dan fisik yang diuji meliputi
kadar air, kadar abu, kadar pati, kadar amilosa, nilai pH, bentuk dan
ukuran pati, kehalusan, derajat putih, swelling power dan kelarutan pati,
serta pola amilografi. Semua analisis dilakukan sebanyak dua kali
pengukuran (dulplo), kecuali pada analisis kelarutan pati dan sifat
amilografi hanya dilakukan sekali pengukuran (simplo). Pembahasan sifat
fisik dan kimia antara tepung tapioka dan MOCAL dibedakan karena
kedua produk tersebut berbeda.
2. Analisis Tingkat Pengembangan Papatan
Tingkat pengembangan papatan dipelajari dengan mengukur
volume papatan saat sebelum digoreng maupun setelah digoreng. Terlebih
dahulu dibuat larutan bumbu, yang kemudian diuleni bersama sampel
sampai kalis sehingga terbentuk adonan tepung. Diagram alir pembuatan
Sampel tepung tapioka atau MOCAL
Analisis sifat kimia dan fisik Analisis tingkat pengembangan papatan
Analisis tekstur dan uji organoleptik
Aplikasi tepung sebagai penyalutkacang (kacang salut)
Analisis korelasi
67
larutan bumbu dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan diagram alir
pembuatan papatan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 7. Diagram alir pembuatan larutan bumbu
Gambar 8. Diagram alir pembuatan papatan
Diukur diameternya (D2)
Larutan bumbuSampel tepung
tapioka atau MOCAL
Adonan
Dicampur
Diuleni sampai kalis
Ditimbang 0.5 gram
Dibentuk bulat dan diukurdiameternya (D1)
Digoreng
Papatan
Premix tepungdan bumbu
Larutan bumbu
Dicampur
Dipanaskan
Air
68
Pembuatan papatan dilakukan sebanyak 30 kali agar data yang
diperoleh lebih beragam dan dapat mewakili sampel. Diameter papatan
diukur menggunakan jangka sorong, baik pada saat sebelum digoreng
(D1) maupun sesudah digoreng (D2). Volume papatan dihitung dengan
asumsi bahwa papatan berbentuk lingkaran sempurna. Tingkat
pengembangan sampel diukur dengan cara sebagai berikut:
Tingkat pengembangan (%) = V2 x 100% V1
Keterangan :
V1 = Volume papatan sebelum digoreng (mm3)
V2 = Volume papatan setelah digoreng (mm3)
3. Analisis Kerenyahan Produk Kacang Salut
Larutan bumbu yang telah dicampur dengan tepung tapioka atau
MOCAL dimasukkan ke dalam coating pan bersama kacang, kemudian
kacang yang telah disalut oleh campuran larutan bumbu dan tepung
tersebut digoreng. Diagram pembuatan kacang salut dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9. Diagram alir pembuatan kacang salut
Larutan bumbudicampur tepung
tapioka atauMOCAL
Digoreng
Kacang Salut
Dicampur
Coatingpan
Kacang
Kacang yangtelah disalut
69
Analisis kerenyahan secara objektif terhadap kacang salut
dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System TAXT2 Texture
Analyzer. Analisis kerenyahan secara subjektif dilakukan dengan uji
organoleptik menggunakan uji rating.
C. METODE ANALISIS
1. Kadar Air (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
selama 15 menit, lalu didinginkan di dalam desikator selama 10 menit.
Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 5
gram (W) dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel
ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam
oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah itu, cawan
berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu
ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan
(selisih bobot ≤ 0.0003 gram). Kadar air diukur dengan cara sebagai
berikut:
Kadar air = W – (Y – A ) x 100% W
Keterangan :
W = bobot sampel awal (g)
Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)
A = bobot cawan kosong (g)
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan pengabuan dibakar dalam tanur (5500C) selama 15 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (A). Sampel
sebanyak 2-3 gram (W) ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan
yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau
sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan pada suhu 5500C selama
70
6 jam. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian
ditimbang dengan neraca analitik (X). Kadar abu diukur dengan cara
sebagai berikut:
Kadar abu (%) = (X - A) x 100% W
Keterangan :
W = bobot sampel awal (g)
X = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)
A = bobot cawan kosong (g)
3. Kadar Pati (SNI 01-2892-1992)
• Pembuatan Larutan Luff Schrool
Sebanyak 71.9 g Na2CO3 anhidrat dilarutkan dalam 300 mL
akuades yang dipanaskan. Setelah larut,kemudian ditambahkan 25 g
asam sitrat yang telah dilarutkan dengan 25 mL akuades sedikit demi
sedikit. Kemudian di tambahkan 8 g CuSO4.5H2O dalam 100 mL
akuades sedikit demi sedikit. Setelah semua bercampur, kemudian
penangas diturunkan suhunya dan dibiarkan selama 30 menit, setelah
itu larutan ditera sampai 500 mL dan dibiarkan selama satu malam
didalam tempat gelap.
• Analisis sampel
Sebanyak 1 gram sampel tepung dilarutkan dalam 40 mL HCl
3%, dan di refluks selama 3 jam dengan suhu sekitar 200-250°C.
kemudian sampel didinginkan dan kemudian dinetralkan dengan
menambahkan beberapa tetes NaOH 3% dengan bantuan indikator PP
sampai berwarna merah muda dan diasamkan sedikit dengan
menggunakan HCl 3% sampai pH nya sedikit asam yaitu sekitar 6,
kemudian ditera dalam labu takar 100 mL dengan menggunakan
akuades, kemudian disaring. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet ke dalam
erlenmeyer asah dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schrool dan 20
mL akuades dan direfluks kembali selama 10 menit (dihitung pada
71
saat mulai mendidih). Setelah mendidih, kemudian didinginkan dalam
boks es selama beberapa menit. Kemudian sampel yang telah dingin
ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 15 mL larutan KI 20% lalu
segera dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandarisasi.
Penambahan indikator kanji 0.5% dilakukan pada saat titrasi
berlangsung, titrasi dihentikan pada saat larutan berubah warna dari
ungu menjadi putih keruh.
Penentuan blanko dilakukan dengan mencampurkan 25 mL
larutan Luff Schrool dan 25 mL akuades (tanpa sampel). Kemudian
direfluks selama 10 menit (dihitung pada saat mulai mendidih ), lalu
didinginkan dalam boks es selama beberapa menit. Kemudian
ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 10 mL larutan KI 20%, dan
segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1N yang telah distandarisasi.
Penambahan indikator kanji 0.5% di lakukan pada saat titrasi
berlangsung, titrasi dilakukan pada saat larutan berubah warna dari
ungu menjadi putih keruh. Kadar pati diukur dengan cara sebagai
berikut:
Kadar Pati = G x Fp x 0.9 x 100% W
Keterangan :
G = mg glukosa dari tabel (Vol Na2S2O3 Blanko - Vol Na2S2O3
contoh)
Fp = faktor pengenceran
W = bobot contoh (mg)
4. Kadar Amilosa (Apriyantono et al., 1998) dan Amilopektin
• Pembuatan kurva standar
Sebanyak 40 mg amilosa kentang dilarutkan dalam 10 ml NaOH
alkoholik (1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N). Lalu campuran ini
dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit sampai
semua bahan terlarut, lalu didinginkan. Kemudian campuran tadi
(larutan amilosa) dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan
72
ditambahkan air suling sampai tanda tera. Setelah itu, dipipet masing-
masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan amilosa, masing-masing
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Larutan diasamkan dengan
asam asetat 1 N masing-masing sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml.
Lalu ditambahkan 2.0 ml larutan iodine (0.2 gram iod dan 2 gram KI
dalam 100 ml air). kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda
tera, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan dianalisa dengan
Spectronic Instrumen 20D+ Spektrofotometer pada panjang
gelombang 610 nm. Lalu data yang diperoleh digunakan untuk
membuat kurva standar hubungan antara konsentrasi amilosa dengan
absorbansi.
• Analisis sampel
Sebanyak 100 mg sampel ditimbang dan dimasukkan dalam labu
ukur 100 ml, kemudian 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N
ditambahkan ke dalam sampel. Larutan dipanaskan dalam water bath
(air mendidih) selama 10 menit (sampai pati tergelatinisasi. Setelah
itu, labu ukur yang berisi sampel didinginkan selama 1 jam dan
ditambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian dikocok.
Sebanyak 5 ml larutan sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 ml yang telah diisi 40 ml akuades. Sebanyak 1 ml asam
asetet 1 N dan 2 ml larutan, kemudian ditambahkan air sampai tanda
tera. Larutan sampel dikocok dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan
sampel diambil untuk dianalisa dengan Spectronic Instrumen 20D+
Spektrofotometer. Selain itu, dibuat juga larutan blanko dengan cara
mencampurkan semua bahan kecuali sampel. Kadar amilosa diukur
dengan cara sebagai berikut:
Kadar amilosa (%) = A x Fp x V x 100% W
73
Keterangan:
A = konsentrasi amilosa dari kurva standar (mg/ml)
Fp = faktor pengenceran
V = volume awal (ml)
W = bobot awal (mg)
Kadar amilopektin diperoleh dari selisih antara kadar pati dengan
kadar amilosa sampel.
5. Nilai pH
Nilai pH diukur dengan menggunakan Mettler Toledo MP220 pH-
meter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi dengan menggunakan
buffer pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi baru dilakukan pengukuran sampel
dengan membuat suspensi sampel sebesar 10%.
6. Bentuk dan Ukuran Pati
Bentuk dan ukuran pati diamati dengan menggunakan Olympus
BH-2 Polarized Light Microscope. Sejumlah sampel ditambahkan dengan
aquades kemudian diteteskan dalam gelas objek dan ditutup dengan kaca
penutup. Sampel diamati dibawah lensa mikroskop kemudian difoto
dengan menggunakan kamera Olympus C-33AD-4 yang telah terpasang
pada mikroskop.
7. Kehalusan
Kehalusan diukur dengan menggunakan alat Digital Sieve Shaker.
Alat ini bekerja dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau
saringan, serta menggunakan getaran berupa gelombang dengan satuan
amplitude. Ayakan yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun
dari ukuran lubang terkecil sampai terbesar, lalu dipaling bawah diberi
wadah untuk menampung sisa sampel. Setting pengayakan yang
digunakan adalah dengan getaran sebesar 60 amplitudo dan selama 15
74
menit, sedangkan ayakan yang digunakan yaitu ayakan no.50 (300µm),
no.100 (150µm), dan no. 140 (106µm). Nomor ayakan yang digunakan
berbeda dengan yang ditetapkan oleh TIA (The Tapioca Institute of
America) karena adanya keterbatasan alat. Namun, karena nilai kehalusan
mengacu pada TIA, maka perbedaan nomor ayakan ini diasumsikan sama
dengan nomor ayakan yang ditetapkan oleh TIA.
Pengukuran dilakukan dengan menimbang sejumlah sampel lalu
ditaburkan secara merata pada ayakan paling atas. Kemudian ayakan
ditutup dan alat dihidupkan. Lalu kehalusan diketahui dengan menghitung
persentase jumlah sampel yang lolos ayakan. Kehalusan diukur dengan
cara sebagai berikut:
% Kehalusan = 100% - (% sampel yang tidak lolos ayakan)
= 100% - ((D:W) x 100%)
Keterangan :
D = bobot sampel yang tertinggal di ayakan (g)
W = bobot sampel (g)
8. Derajat Putih
Derajat putih tepung tapioka diukur dengan menggunakan alat
Kett Electric Laboratory C-100-3 Whitenessmeter. Sebelum digunakan
alat dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu BaSO4 yang memiliki
derajat putih 100% (110.8). Setelah dikalibrasi, derajat putih sampel dapat
diukur dengan memasukkan sejumlah sampel dalam wadah sampel yang
tersedia sampai benar-benar padat, kemudian wadah ditutup. Wadah yang
telah berisi sampel dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai
derajat putih akan keluar pada layar (A). Derajat putih diukur dengan cara
sebagai berikut:
75
DP (%) = A x 100% Nilai Standar BaSO4 (110.8)
Keterangan :
DP = derajat putih (%)
A = nilai terbaca pada alat
9. Daya Kembang Pati (Swelling power) dan Kelarutan Pati (Modifikasi
Swinkels, 1985, serta Li dan Yeh, 2001)
Swinkels (1985) mengatakan bahwa nilai swelling power dan
kelarutan pati bisa diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pada pati,
yaitu sekitar 50°C-95°C dengan interval 5°C. Sementara itu, Li dan Yeh
(2001) mengukur swelling dan kelarutan pati dengan interval 10°C yaitu
pada suhu 55°C, 65°C, 75°C, 85°C, dan 95°C. Namun, dalam penelitian
ini suhu yang digunakan yaitu 60°C-90°C dengan interval 10°C,
kemudian juga dilakukan untuk suhu 95°C. Perbedaan suhu pengukuran
ini dilakukan karena berkaitan dengan suhu pemasakan larutan bumbu
pada produk kacang salut. Pati dengan konsentrasi 1% dipanaskan pada
waterbath dengan suhu 60°C, 70°C, 80°C, 90°C, dan 95°C selama 30
menit, kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30
menit, lalu supernatan dipisahkan dari endapan. Nilai swelling power
diukur dengan membagi berat endapan dengan berat pati kering sebelum
dipanaskan (g/g).
Kelarutan diukur dengan mengeringkan supernatan hasil
pemisahan sampai beratnya konstan. Kelarutan dinyatakan sebagai persen
berat pati yang larut dalam air. Swelling power dan kelarutan diukur
dengan cara sebagai berikut:
WYXSP −=
76
Keterangan :
SP = swelling power
W = berat sampel (g)
X = berat tabung kosong (g)
Y = berat tabung dan endapan (g)
Kelarutan (%) %100xW
YX −=
Keterangan :
W = berat sampel (g)
X = berat cawan kosong (g)
Y = berat cawan dan endapan (g)
10. Pola Gelatinisasi
Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan
mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat
Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Sampel
ditimbang sebanyak 45 gram, lalu dimasukkan ke dalam botol gelas yang
volumenya 500 ml dan ditambah akuades sebanyak 450 ml. Kemudian
campuran air dan pati tersebut dipindahkan ke dalam mangkuk amilograf
yang telah terpasang pada alat.
Mangkuk amilograf yang berisi sampel diputar pada kecepatan 75
rpm sambil suhunya dinaikkan dengan cara mengatur switch pada
termoregulator dari 30ºC menjadi 90ºC dengan kenaikan 1.5ºC per menit.
Setelah itu, suhu dipertahankan pada suhu 95ºC selama 20 menit,
kemudian suhu diturunkan dengan mengatur switch pada suhu 50ºC
dengan laju penurunan yang sama. Kemudian suhu juga dipertahankan
selama pada 50ºC selama 20 menit. Perubahan viskositas pasta dicatat
secara otomatis pada kertas grafik dalam satuan BU (Brabender Unit).
77
11. Analisis Tekstur
Tekstur dianalisis dengan menggunakan Stable Micro System
TAXT2 Texture Analyzer. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya
tekan pada sampel, kemudian akan dihasilkan profil tekstur berupa grafik
yang menghubungkan antara gaya (force) dengan jarak (distance).
Pertama-tama dilakukan pemasangan probe dan kalibrasi ketinggian
probe. Sebelum pengukuran dilakukan setting alat sesuai dengan sampel
yang akan dianalisis.
Sampel diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian
pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel. Pada
layar komputer akan ditampilkan profil tekstur dari sampel yang dianalisis.
12. Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan terhadap 23 orang panelis tidak terlatih
dengan menggunakan uji rating. Parameter yang diuji adalah tekstur
(kerenyahan). Sampel disajikan secara acak dengan kode tertentu dan
panelis diminta untuk memberikan penilaian sesuai dengan tingkat
kerenyahan sampel yaitu pada skala 1 sampai 7. Kemudian data skor
tekstur yang diperoleh diolah secara statistik dengan software SPSS,
menggunakan uji Duncan dan uji Post Hoc. Penilaian kriteria mutu
sensoris (tekstur) kacang salut mengacu pada Tabel 7.
Tabel 7. Penilaian mutu sensoris kacang salutSkala Tekstur (kerenyahan)
1 amat sangat tidak renyah2 sangat tidak renyah3 tidak renyah4 netral (biasa)5 renyah6 sangat renyah7 amat sangat renyah
13. Analisis Korelasi
Analsis korelasi dilakukan dengan menggunakan software SPSS.
Kekuatan hubungan antara dua variabel yang diukur dinyatakan dengan
78
koefisien korelasi atau r. Analisis korelasi dilakukan baik antara sifat
kimia dan fisik itu sendiri maupun dengan tingkat pengembangan papatan
dan kerenyahan. Namun, analisis korelasi hanya dilakukan antara sifat atau
parameter yang diperkirakan memiliki kaitan. Analisis korelasi antara sifat
kimia dan fisik dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan
dilakukan hanya pada sampel tepung tapioka, tanpa MOCAL. Hal ini
dilakukan agar dapat dilakukan perbandingan tingkat pengembangan
papatan dan kerenyahan yang terjadi antar tepung tapioka, karena
MOCAL berbeda dengan tepung tapioka.
Analisis korelasi yang berkaitan dengan parameter swelling power
dan kelarutan, misalnya kerenyahan, dilakukan dengan mengkorelasikan
parameter kerenyahan dengan slope atau kemiringan yang terjadi pada
swelling power dan kelarutan. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa
suhu yang dilakukan dalam pengukuran swelling power maupun kelarutan
bersifat kontinu sehingga korelasi yang terjadi lebih mudah untuk diamati.
79
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
TEPUNG TAPIOKA
A. SIFAT KIMIA TEPUNG TAPIOKA
1. Kadar Air
Kadar air tepung tapioka menunjukan nilai yang bervariasi (Tabel
8). Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B (12.94 %), sedangkan
kadar air terendah dimiliki oleh tapioka C (9.51%). Kadar air untuk
beberapa sampel tidak berbeda nyata (P>0.05), yaitu antara tapioka D,
E, dan F (Lampiran 5a).
Tabel 8. Kadar air sampelNo. Sampel Kadar air (%)1. Tapioka A 11.75a
2. Tapioka B 12.94b
3. Tapioka C 9.51c
4. Tapioka D 11.00d
5. Tapioka E 10.64d
6. Tapioka F 10.54d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Perbedaan kadar air sampel dapat dipengaruhi oleh proses
pengolahan, khususnya pada saat pengeringan. Pada industri rumah
tangga, biasanya pengeringan dilakukan secara tradisional yaitu dengan
penjemuran di bawah sinar matahari, sedangkan pada industri besar,
pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pengering
(dryer). Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung
Tapioka, kadar air keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi
standar yang ditetapkan yaitu maksimal 15%, baik tepung tapioka mutu
I, mutu II maupun mutu III.
2. Kadar Abu
Kadar abu tepung tapioka yang diuji ternyata menunjukan nilai
yang bervariasi. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda
80
nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, dan E, tidak
berbeda nyata (Lampiran 5a). Kadar abu sampel disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Kadar abu sampelNo. Sampel Kadar abu (%)1. Tapioka A 0.01a
2. Tapioka B 0.01a
3. Tapioka C 0.03c
4. Tapioka D 0.04d
5. Tapioka E 0.04d
6. Tapioka F 0.02a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Salah satu proses pengolahan tepung tapioka yang dapat
menyebabkan perbedaan nilai kadar abu adalah pada tahap ekstraksi
pati. Pada industri besar, ekstraksi pati dilakukan dengan menggunakan
alat canggih seperti ekstraktor, sedangkan pada industri rumah tangga
ekstraksi dilakukan secara manual dengan menggunakan saringan
bertingkat yang terbuat dari bak kayu. Mineral yang terkandung dalam
umbi singkong dapat ikut terbuang bersama ampas hasil proses
ekstraksi, sehingga kadar abu yang terukur menjadi lebih rendah.
Menurut Asaoka et al. (1992) dalam Sriroth et al. (1999), sifat-
sifat fungsional pati singkong juga sangat dipengaruhi oleh keadaan
genetik dan kondidi lingkungan penanaman singkong. Sriroth et al.
(1999) melaporkan adanya perbedaan nilai kadar abu tepung tapioka
yang dihasilkan dari empat jenis varietas singkong di Thailand (Rayong
1, Rayong 60, Rayong 90, dan Rayong 50) yang ditanam di lokasi yang
berbeda. Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung
Tapioka, kadar abu keenam sampel tepung tapioka telah memenuhi
standar yang ditetapkan yaitu maksimal 0.6%, baik tepung tapioka mutu
I, mutu II maupun mutu III.
81
3. Nilai pH
Berdasarkan hasil pengukuran, nilai pH sampel berada pada
kisaran 4.0-7.0, dengan pH terendah pada tapioka C yaitu 4.12 dan
tertinggi pada tapioka E yaitu 6.52. Nilai pH keenam sampel berbeda
nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Nilai pH keenam tepung
tapioka telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh The Tapioca
Institute of America (TIA). Hasil pengukuran pH sampel dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai pH sampelNo. Sampel pH1 Tapioka A 5.18a
2 Tapioka B 5.42b
3 Tapioka C 4.12c
4 Tapioka D 5.02d
5 Tapioka E 6.52e
6 Tapioka F 4.19f
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Perbedaan nilai pH pada tiap sampel dapat dipengaruhi oleh
proses pengolahan, terutama pada saat proses ekstraksi, yaitu pada tahap
pemisahan antara air dengan pati. Pada industri rumah tangga, proses
pemisahan pati dengan air dilakukan melalui pengendapan berjam-jam,
sehingga memungkinkan terjadinya proses fermentasi alami oleh
mikroba. Semakin lama pengendapan, asam-asam organik yang
dihasilkan akibat fermentasi akan semakin banyak sehingga pH tepung
tapioka yang dihasilkan menjadi semakin rendah. Berbeda dengan
industri rakyat, pada industri besar ekstraksi pati dilakukan dengan alat-
alat atau mesin canggih, sehingga proses pemisahan pati dengan air
menjadi lebih cepat. Proses pemisahan yang cepat ini dapat
menghambat terjadinya proses fermentasi alami oleh mikroba.
82
4. Kadar Pati
Kadar pati tertinggi pada tapioka D yaitu 81.00% dan terendah
pada tapioka B, yaitu 72.49%. Kadar pati tapioka A, B, E, dan F tidak
berbeda nyata (Lampiran 5b), begitu pula dengan tapioka C dan D tidak
berbeda nyata (P>0.05). Kadar pati tepung tapioka tidak dipersyaratkan
dalam SNI. Beberapa studi melaporkan kandungan pati yang berbeda-
beda pada tepung tapioka. Menurut Grace (1977), kadar pati tepung
tapioka sekitar 85%. Sementara itu, Abera dan Rakshit (2003)
melaporkan jumlah kadar pati dari tiga varietas singkong (CMR, KU50,
dan R5) yang diolah dengan cara yang berbeda (penggilingan basah dan
penggilingan kering) yaitu sekitar 96-98%. Kadar pati sampel tepung
tapioka disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Kadar pati sampelNo. Sampel Kadar Pati (%)1. Tapioka A 75.96a
2. Tapioka B 72.49a
3. Tapioka C 81.00b
4. Tapioka D 80.67b
5. Tapioka E 73.05a
6. Tapioka F 73.59a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Kadar pati tepung tapioka hasil pengukuran lebih rendah dari
penelitian yang telah ada sebelumnya. Perbedaan kadar pati pada
keenam sampel tepung tapioka ini dapat terjadi karena perbedaan
varietas singkong dan waktu panen singkong. Radley (1976)
menyatakan bahwa kandungan pati singkong meningkat seiring dengan
waktu pemanenan. Waktu yang dibutuhkan umbi singkong untuk
mencapai kematangan berbeda tergantung iklim dan lokasi
penanamannya. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Grace (1977),
bahwa dalam memperoleh pati dari singkong (tepung tapioka) harus
dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman singkong. Ketika
umbi singkong dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat sampai
83
pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan menyerupai kayu,
sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah.
Perbedaan kadar pati juga dapat terjadi karena proses pengolahan.
Abera dan Rakshit (2003) melaporkan bahwa proses penggilingan
kering pada pembuatan tepung tapioka dapat menghilangkan kadar pati
sebesar 13-20%. Selain itu, kadar pati juga dapat berkurang karena
partikel-partikel pati yang berukuran kecil ikut terbuang bersama
partikel serat halus selama proses pencucian pati. Pada proses
penyaringan basah, kehilangan jumlah pati juga dapat terjadi karena
adanya partikel-partikel pati yang lebih besar yang tidak lolos saringan,
sehingga jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit.
5. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Hasil pengukuran kadar amilosa dikonversi berdasarkan bobot
pati yang terukur. Kadar amilosa terbesar dimiliki oleh tapioka A yaitu
24.01% dan yang terendah adalah tapioka C yaitu 15.47%. Kadar
amilosa antara tapioka A dan B tidak berbeda nyata (Lampiran 5b),
Begitu pula antara tapioka C dan F (P>0.05). Kadar amilosa dan
amilopektin tepung tapioka disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12. Kadar amilosa dan amilopektin sampelNo. Sampel Kadar amilosa (%) Kadar amilopektin
(%)1 Tapioka A 24.01a 75.99a
2 Tapioka B 23.87a 76.13a
3 Tapioka C 15.47c 84.53c
4 Tapioka D 21.30d 78.70d
5 Tapioka E 20.33d 79.67d
6 Tapioka F 17.39c 82.61c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Banyak studi yang telah dilakukan dalam menentukan kadar
amilosa tepung tapioka. Umumnya, studi-studi tersebut melaporkan
kadar amilosa yang berbeda-beda. Perbedaan kadar amilosa ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan varietas singkong. Charles et al. (2005)
84
melaporkan kadar amilosa tepung tapioka dari lima varietas singkong
(Rayong 2, Rayong 5, KU50, Hanatee, dan YOO2) yaitu sekitar 15.9-
22.4%. Menurut Moorthy (2004), kadar amilosa tepung tapioka berada
pada kisaran 20-27% mirip dengan pati tanaman lain, sedangkan kadar
amilosa pada singkong sekitar 18-25%. Variasi kadar amilosa
tergantung dari varietas singkong. Sementara itu, menurut Pomeranz
(1991), kadar amilosa tepung tapioka yaitu sekitar 17%. Kadar amilosa
juga dipengaruhi oleh waktu panen singkong. Sriroth et al. (1999)
menyatakan bahwa kadar amilosa singkong dan pati pada umumnya
akan lebih rendah pada tanaman yang masih dalam fase pertumbuhan
(belum siap panen).
B. SIFAT FISIK TEPUNG TAPIOKA
1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati
Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop
cahaya terpolarisasi, dapat dilihat bahwa bentuk granula dari semua
sampel tepung tapioka dengan ukuran granula yang tidak jauh berbeda
untuk tiap sampel (Tabel 13). Hasil pengamatan bentuk granula tepung
tapioka dapat dilihat pada Gambar 10.
Menurut Moorthy (2004), granula tepung tapioka menunjukan
variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval.
Febriyanti (1990) mendapati ukuran granula pati dari beberapa varietas
tepung singkong berada pada kisaran 3-25 µm.
Rata-rata ukuran granula tepung tapioka dalam penelititan ini
menunjukan nilai yang tidak berbeda dengan studi terdahulu, yaitu
sekitar 3-40 µm. Sriroth et al., (1999) melaporkan bahwa ukuran
granula pati dari singkong yaitu sekitar 8-22 µm, dengan rata-rata
ukuran granula yaitu 15 µm (14 bulan masa panen) dan 12 µm (16 bulan
masa panen). Perbedaan ukuran granula dapat dipengaruhi oleh kondisi
dan waktu panen singkong.
85
100 µm
100 µm 100 µm
100 µm
100 µm
100 µm
Tabel 13. Ukuran granula sampelNo. Sampel Ukuran Granula (µm)1. Tapioka A 3-402. Tapioka B 3-403. Tapioka C 3-304. Tapioka D 3-305. Tapioka E 3-306. Tapioka F 3-40
Gambar 10. Granula Pati Tepung Tapioka (A, B, C, D, E, dan F)
2. Kehalusan (lolos ayak)
Kehalusan tepung tapioka berbeda nyata pada taraf signifikansi
0.05 (P<0.05), baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan
86
no.50, no.100, maupun no.140 (Lampiran 5c). Hasil pengukuran
kehalusan (lolos ayak) dapat dilihat pada Tabel 14.
Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata pada
semua sampel tepung tapioka (P>0.05). Kehalusan sampel pada ayakan
no.100 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F (P>0.05).
Kehalusan sampel pada ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara
tapioka B, C, D, dan F (P>0.05).
Tabel 14. Hasil pengukuran kehalusan sampelKehalusan sample (%)
No. Sampel No.50 (300µm) No.100 (150µm) No. 140(106µm)
1. Tapioka A 98.90a 91.81a 87.72a
2. Tapioka B 99.83a 96.81b 92.10b
3. Tapioka C 99.65a 98.23b 93.83b
4. Tapioka D 99.83a 98.65b 93.55b
5. Tapioka E 99.78a 98.95b 96.98c
6. Tapioka F 99.63a 95.69b 92.43b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Kehalusan tepung tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, namun
mengacu pada TIA (The Tapioca Institute of America), maka kualitas
tepung tapioka yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan
kehalusannya, termasuk ke dalam kategori grade C karena kehalusan
semua sampel tepung tapioka telah memenuhi standar lolos ayak pada
ayakan no.60 yaitu 95%. Sementara itu, kehalusan semua sampel tepung
tapioka yang diayak dengan ayakan no.80 dan no.140 tidak memenuhi
standar yang ditetapkan oleh TIA karena tidak memenuhi standar lolos
ayak pada ayakan no.80 dan no.140 yaitu sebesar 99%.
3. Derajat Putih
Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu
juga derajat putih antara tapioka B dan F tidak berbeda nyata, serta
derajat putih antara tapioka C dan E tidak berbeda nyata (P>0.05).
87
Derajat putih terbesar dimiliki oleh tapioka D dan terendah dimiliki oleh
tapioka F.
Menurut Meyer (1960) dalam Mulyandari (1992), derajat putih
sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses
ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika
proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak
komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati.
Secara umum, nilai derajat putih keenam sampel tepung tapioka telah
memenuhi SNI 01-3451-94 baik pada kategori mutu I yaitu minimal
94.5%, maupun mutu II yaitu minimal 92%, dan mutu III yaitu kurang
dari 92%. Derajat putih tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Derajat putih sampelNo. Sampel Derajat putih (%)1. Tapioka A 99.91a
2. Tapioka B 95.62b
3. Tapioka C 97.79c
4. Tapioka D 100.00a
5. Tapioka E 97.90c
6. Tapioka F 95.22b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan
bahwa nilainya tidak berbeda nyata (P>0.05)
4. Daya Kembang (Swelling power) dan Kelarutan
Secara umum, swelling power akan meningkat dengan
bertambahnya suhu pengukuran. Namun, peningkatan swelling power
berbeda untuk masing-masing sampel (Gambar 11)
Perbedaan nilai swelling power pada tepung tapioka dan MOCAL
dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin.
Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan
amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda,
antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki (1998)
dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa proporsi yang tinggi pada
rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai
swelling. Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) juga
88
0.005.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.0050.00
60 70 80 90 95Suhu (oC)
Sw
ellin
g Po
wer
(g/g
)
Tapioka ATapioka BTapiokaCTapiokaDTapioka ETapioka F
melaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara swelling power
dengan kadar amilosa. Hal ini terjadi karena amilosa dapat membentuk
kompleks dengan lipida dalam pati, sehingga dapat menghambat
swelling. Hasil analisis swelling power dan kelarutan disajikan dalam
Lampiran 1.
Gambar 11. Pola swelling power sampel tepung tapioka
Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang positif antara kadar
amilosa yang terdapat pada sampel dengan swelling power tetapi
korelasinya sangat rendah dan tidak signifikan (Lampiran 7a). Hal ini
sesuai dengan hasil studi yang dilaporkan oleh Charles et al. (2005),
bahwa terdapat korelasi positif antara swelling power dengan kadar
amilosa. Hal ini dapat dijelaskan dengan rendahnya kandungan lipida
dalam tepung tapioka, sehingga kompleks antara amilosa dengan lipida
tidak terlalu berpengaruh dalam menghambat swelling. Charles et al.
(2005), juga melaporkan dalam studinya bahwa kadar lipida dalam lima
jenis tepung tapioka yang berasal dari varietas singkong yang berbeda
(Rayong 2, Rayong 5, KU50, Hanatee, dan YOO2) menunjukan nilai
yang sama yaitu 0.1%.
89
0
510
1520
2530
3540
45
60 70 80 90 95
Suhu (oC)
Kela
ruta
n (%
)
Tapioka ATapiokaBTapiokaCTapiokaDTapioka ETapioka F
Secara umum, kelarutan pati tepung tapioka meningkat seiring
dengan peningkatan suhu pengukuran (Gambar 12). Menurut Pomeranz
(1991), kelarutan pati akan meningkat dengan meningkatnya suhu, dan
kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati.
Gambar 12. Pola kelarutan tepung tapioka
Perbedaan kelarutan pati antar sampel dapat terjadi karena
perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin. Charles et al. (2005)
melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa dan
amilopektin yang berbeda, menunjukan nilai swelling power dan
kelarutan pati yang berbeda pula. Menurut Fleche (1985), ketika
molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekul tersebut
mulai menyebar ke media yang ada di luarnya. Molekul yang pertama
keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek.
Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan
keluar dari granula pati. Mulyandari (1992) melaporkan selama
pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan
kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan
amilosa. Korelasi positif terjadi antara amilosa dengan kelarutan pati
(Lampiran 10a)
90
5. Pola Gelatinisasi
Pola gelatinisasi tepung tapioka dan MOCAL dipelajari dengan
mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat
Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Pengamatan
dilakukan terhadap suhu gelatinisasi (SG), viskositas maksimum (VM),
suhu saat viskositas maksimum (SVM), stabilitas pasta (breakdown),
viskositas balik (setback), dan stabiltas pendinginan. Pola gelatinisasi
yang berbeda antar masing-masing sampel dapat terjadi karena
perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati
yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat
fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi, dan viskositas.
Oleh karena itu pada penelitian ini, pola gelatinisasi sampel tepung
tapioka dikorelasikan dengan kadar amilosa yang dikandungnya. Hasil
pengukuran sifat amilografi tepung tapioka disajikan pada Tabel 16,
sedangkan pola gelatinisasi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar
13.
a. Suhu gelatinisasi (SG)
Suhu gelatinisasi terendah dimiliki oleh tapioka D yaitu
62.25ºC, sedangkan suhu gelatinisasi yang tertinggi ada pada tapioka
B yaitu 67.50ºC. Suhu gelatinisasi yang lebih rendah pada tapioka D
menunjukan bahwa hidrasi atau pengikatan air pada tapioka D lebih
mudah terjadi, sehingga pada suhu yang lebih rendah, granula pati
pada tapioka D sudah mulai tergelatinisasi. Menurut Swinkels (1985),
suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 65-70°C. Sedangkan menurut
Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka
berada pada kisaran 52-64°C.
Perbedaan suhu gelatinisasi antar sampel tepung tapioka dapat
terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005)
melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa.
Tabel 16. Sifat amilografi sampelSampel Suhu
gelatinisasi
(°C)
Suhu
Viskositas
maksimum
(°C)
Viskositas
Maksimum
(BU)
Viskositas
95°C
(BU)
Viskositas
95°C/20
(BU)
Viskositas
50°C
(BU)
Viskositas
50°C/20
(BU)
Breakdown
(BU)
Setback
(BU)
Stabilitas
fase
pendinginan
(BU)
Tapioka A 65.25 75.75 1620 640 465 710 820 1155 245 110
Tapioka B 67.50 76.50 1520 630 455 580 680 1065 125 100
Tapioka C 63.75 74.25 1430 530 340 420 490 1090 80 70
Tapioka D 62.25 72.90 1700 700 495 720 810 1205 225 90
Tapioka E 64.50 74.25 1720 650 500 750 900 1220 250 150
Tapioka F 63.75 73.50 950 440 300 340 390 650 40 50
45
45
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
62.25
65.25 95 95 50 50
Suhu (oC)
Visk
osita
s (B
U) Tapioka A
Tapioka BTapioka CTapioka DTapioka ETapioka F
Gambar 13. Grafik pola gelatinisasi tepung tapioka
46
46
Struktur amilosa yang sederhana ini dapat membentuk interaksi
molekular yang kuat dengan air, sehingga pembentukan ikatan
hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa (Taggart, 2004).
Namun, berdasarkan uji korelasi diperoleh korelasi yang lemah antara
suhu gelatinisasi dengan kadar amilosa (r=0.558).
b. Viskositas maksimum (VM) dan suhu pencapaiannya (SVM)
Viskositas maksimum yang dapat dicapai oleh pati disebut juga
viskositas puncak. Sedangkan suhu viskositas maksimum (SVM)
adalah suhu saat pati mencapai viskositas maksimum. Viskositas
maksimum (VM) terbesar dimiliki oleh tapioka E yaitu 1720 BU
(Tabel 16), yang berarti kemampuan granula patinya dalam
menghidrasi air lebih besar dibandingkan sampel lainnya. Pemecahan
granula pati pada E juga lebih cepat dibandingkan sampel lainnya.
Hal ini dapat dilihat dari kisaran suhu sampel mulai tergelatinisasi
(SG) sampai mencapai viskositas maksimum (SVM) yaitu 64.5-
74.25°C. Sementara itu, viskositas maksimum (VM) terendah pada
tapioka F yaitu 950 BU
Perbedaan viskositas maksimum antar sampel tepung tapioka
dapat terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005)
melaporkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas
maksimum pati akan semakin tinggi. Pada penelitian ini diperoleh
adanya korelasi antara kadar amilosa dan viskositas maksimum
(r=0.541), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(P>0.05). Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa korelasi antara
viskositas maksimum dengan swelling power sangat rendah. Hal ini
ditandai dengan kecilnya nilai koefisien korelasi antar keduanya yaitu
0.032. Hal ini dapat terjadi karena suhu viskositas maksimum yang
dicapai oleh sampel masih berada di kisaran 70°C, sedangkan
pengukuran swelling power mencapai suhu 95°C dan pengukurannya
tidak kontinu.
47
Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati
dalam menyerap air semakin besar dan daya thickening-nya
(kelengketan) semakin besar. Sehingga hal ini memungkinkan
penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih sedikit untuk mencapai
viskositas tertentu, dan akhirnya dapat mengurangi biaya produksi.
c. Stabilitas pasta panas (breakdown)
Stabilitas pasta panas diukur berdasarkan perubahan viskositas
dari viskositas maksimum (VM) sampai viskositas selama pemanasan
pada suhu konstan (95°C). Stabilitas pasta panas juga dikenal sebagai
breakdown. Stabilitas pasta panas bernilai positif jika terjadi
peningkatan viskositas dan bernilai negatif jika terjadi penurunan
viskositas. Pada Gambar 12, viskositas tiap sampel selama penahanan
terus mengalami penurunan. Hal ini berarti stabilitas pasta panas
untuk semua sampel bernilai negatif.
Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16), dapat dilihat bahwa
pasta panas tapioka F cenderung lebih stabil dibandingkan sampel
lainnya karena memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Hal ini ditunjukan
dengan rendahnya nilai breakdown sampel tersebut yaitu 390 BU.
Stabilitas pasta panas terendah pada sampel E yaitu dengan nilai
breakdown sebesar 1220 BU. Nilai breakdown yang besar selama
pemasakan menunjukan bahwa granula pati yang telah membengkak
secara keseluruhan memiliki sifat yang rapuh. Selain itu, pengadukan
yang kontinu juga menyebabkan granula pati yang rapuh akan pecah
sehingga viskositas turun secara tajam (Pomeranz, 1991).
Stabilitas pasta panas pada tepung tapioka juga dapat
dipengaruhi oleh pH. Menurut Winarno (2002), bila pH terlalu tinggi,
pembentukan pasta makin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi,
sedangkan bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat
dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan.
Berdasarkan uji korelasi terdapat korelasi yang kuat antara stabilitas
48
pasta panas dengan pH (r=0.607), tetapi tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Selain pH, perbedaan stabilitas pasta
panas (breakdown) antara tepung tapioka juga dapat dipengaruhi oleh
kadar amilosa. Pada penelitian ini diperoleh adanya korelasi antara
kadar amilosa dan breakdown (r=0.429), tetapi tidak berbeda nyata
pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Semakin tinggi kadar amilosa
pati maka viskositas breakdown akan semakin tinggi (Charles et al.,
2005)
d. Viskositas balik (setback)
Viskositas balik (setback) merupakan selisih antara viskositas
pada akhir pemasakan pada suhu konstan (95°C) dengan viskositas
pada akhir pendinginan (50°C). Nilai setback ini menunjukan
kecenderungan pati dalam beretrogradasi.
Semakin tinggi viskositas setback berarti semakin tinggi pula
kemampuan pati dalam beretrogradasi (Li dan Yeh, 2001).
Berdasarkan hasil pengukuran (Tabel 16) diperoleh bahwa tapioka E
memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini
ditunjukan dengan tingginya nilai viskositas setback tapioka E yaitu
250 BU. Hal ini menunjukan bahwa molekul-molekul amilosa dalam
tapioka E memiliki kecenderungan yang besar untuk kembali
berikatan satu sama lain saat proses pendinginan (cooling). Berbeda
dengan tapioka E, kemampuan tapioka F dalam beretrogradasi paling
kecil dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
nilai viskositas setback tapioka F yang sangat kecil yaitu 40 BU.
Perbedaan nilai setback antar sampel tepung tapioka juga dapat
terjadi karena perbedaan kadar amilosa, seperti yang telah dilaporkan
oleh Charles et al. (2005) bahwa semakin tinggi kadar amilosa pati
maka viskositas setback akan semakin tinggi. Berdasarkan uji
korelasi, terdapat korelasi yang kuat antara kadar amilosa dengan
viskositas setback (r=0.633), tetapi tidak berbeda nyata pada taraf
signifikansi 0.05 (P>0.05).
49
e. Stabilitas pasta selama fase pendinginan
Stabilitas pasta dingin diperoleh dari selisih viskositas selama
pendinginan pada suhu konstan (50°C). Stabilitas pasta dingin
digunakan untuk mengetahui kestabilan pasta pati terhadap proses
pengadukan selama pendinginan setelah pemasakan. Viskositas yang
tinggi menunjukan stabilitas pasta dingin yang lebih rendah, karena
perubahan viskositasnya selama pendinginan konstan sangat besar.
Tapioka F memiliki nilai stabilitas pasta dingin paling tinggi yaitu 50
BU dan 40 BU. Hal ini menunjukan kemampuan ikatan antara
molekul tapioka F terhadap air cenderung tinggi selama pendinginan
dan tidak terlalu terpengaruh oleh proses pengadukan, sehingga
stabilitasnya selama fase pendinginan pada suhu konstan (50°C) lebih
stabil. Nilai stabilitas pasta dingin yang terendah dimiliki oleh tapioka
E yaitu 150 BU. Hal ini menunjukan bahwa stabilitas pasta dingin
pada tapioka E cenderung kurang stabil akibat pengadukan, sehingga
peningkatan viskositasnya selama pendinginan pada suhu konstan
(50°C) cukup tinggi.
Berdasarkan uji korelasi, terdapat korelasi antara kadar amilosa
dengan stabilitas pasta pada fase pendinginan (r=0.542), tetapi
korelasi antara keduanya tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi
0.05 (P>0.05).
C. ANALISIS TINGKAT PENGEMBANGAN PAPATAN
Dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa tingkat pengembangan
papatan dari tiap sampel berbeda (Tabel 17). Tingkat pengembangan
papatan tertinggi dimiliki oleh tapioka F yaitu 596.93%, sedangkan tingkat
pengembangan papatan yang terendah dimiliki oleh tapioka B yaitu
279.45%.
50
Tabel 17. Tingkat pengembangan papatan sampelNo. Sampel Tingkat pengembangan
(%)1. Tapioka A 366.532. Tapioka B 279.453. Tapioka C 482.544. Tapioka D 309.605. Tapioka E 527.126. Tapioka F 596.93
Menurut Matz (1992), tingkat pengembangan dan tekstur dari makanan
ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin. Pati yang
memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung memberikan karakter
produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa akan memberikan
tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah. Berdasarkan uji
korelasi, diperoleh korelasi yang sangat kuat antara rasio amilosa dan
amilopektin dengan tingkat pengembangan papatan (r=-0.846), dan berbeda
nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Hal ini menunjukan bahwa
semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin maka papatan yang dihasilkan
akan semakin mengembang (Gambar 14).
Gambar 14. Korelasi antara tingkat pengembangan papatan denganrasio amilosa dan amilopektin
r2 = 0.7154
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
700.00
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30Rasio amilosa:amilopektin
tingk
at p
enge
mba
ngan
(%)
51
Berdasarkan hasil analisi uji korelasi ternyata diperoleh korelasi yang
rendah antara tingkat pengembangan papatan dengan swelling power
maupun kelarutan (Lampiran 7d). Hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai
koefisien korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan swelling
power (r=0.264) maupun dengan kelarutan (r=0.337). Hal ini dapat terjadi
karena proses yang berbeda antara analisis swelling power dan kelarutan
dengan analisis pengembangan papatan. Kemampuan pati dalam menyerap
air (swelling power) dan kelarutannya tidak dapat menunjukan kemampuan
pati untuk mengembang ketika dipanaskan dalam media minyak
(penggorengan).
Menurut Fleche (1985), pati yang memiliki pH lebih rendah adalah pati
yang lebih cepat untuk terhidrolisis pada ikatan α (1,4). Asam dapat
mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga
menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang (Taggart, 2004).
Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang sangat lemah antara pH dengan
tingkat pengembangan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0.194
(Lampiran 7e). Korelasi antara tingkat pengembangan papatan dengan sifat
amilografi sampel menunjukan korelasi yang negatif. Koefisien korelasi
antara tingkat pengembangan papatan dengan viskositas puncak (r=-0.597),
setback (r=-0.403), breakdown (r=-0.559) dan stabilitas pasta fase
pendinginan (r=-0.209) menunjukan korelasi yang negatif. Korelasi antara
tingkat pengembangan papatan dengan sifat amilografi sampel cukup erat
tetapi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Maka dapat
disimpulkan bahwa tingkat pengembangan papatan tidak secara langsung
dipengaruhi swelling power dan kelarutan, pH maupun sifat amilografi
sampel tepung tapioka (Lampiran 7f).
D. ANALISIS KERENYAHAN TEKSTUR KACANG SALUT
Pengukuran kerenyahan secara objektif dilakukan dengan alat Stable
Micro System TAXT2 Texture Analyzer. Kerenyahan dinyatakan dengan
besarnya gaya pada puncak pertama saat sampel mulai mengalami perubahan
bentuk (deformasi), dengan satuan gram force (gf). Berdasarkan hasil
52
pengukuran diperoleh gaya (gf) yang berbeda-beda untuk masing-masing
penyalut pada produk kacang salut. Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa gaya
dan jarak paling rendah dihasilkan pada penyalut yang dibuat dari tapioka F,
sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalut yang dibuat dari tapioka F
memiliki kerenyahan yang paling tinggi.
Tabel 18. Hasil pengukuran gaya (gf) dan jarak (mm), serta skorkerenyahan sampel penyalut pada produk kacang salut
No. Penyalut Gaya (gf) Jarak (mm) Skorkerenyahan
1. Tapioka A 4064.04a 0.496 4.043a
2. Tapioka B 6089.26b 0.637 3.435b
3. Tapioka C 3587.02a 0.448 4.587a
4. Tapioka D 5793.90b 0.781 3.391b
5. Tapioka E 5449.04b 0.775 4.087a
6. Tapioka F 1162.58c 0.407 5.391c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang samamenunjukan
nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Berdasarkan uji lanjutan Duncan, gaya (gf) yang dibutuhkan untuk
mendeformasi penyalut tidak berbeda nyata antara penyalut yang dibuat
dengan tapioka A dan C, begitu pula antara gaya (gf) yang dibutuhkan untuk
mendeformasi penyalut tidak berbeda nyata antara penyalut yang dibuat dari
tapioka B, D, dan E, maupun MOCAL (P>0.05). Oleh karena itu, untuk
membandingkan kerenyahan penyalut yang dihasilkan dari sampel lainnya
dilakukan uji organoleptik terhadap kerenyahan penyalut pada produk
kacang salut. Anonim (2005) menyatakan, dalam membandingkan
kerenyahan antara dua sampel yang memiliki gaya (force) dan jarak
(distance) yang berbeda dapat dilakukan dengan uji organoleptik untuk
mengetahui sampel yang memiliki kerenyahan lebih tinggi. Skor kerenyahan
yang dihasilkan dari uji organoleptik dapat dilihat juga pada Tabel 18 di atas.
Berdasarkan uji Duncan disimpulkan bahwa skor kerenyahan penyalut
pada produk kacang salut berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05
(P<0.05). Selanjutnya, hasil uji lanjutan Duncan menunjukan bahwa
kerenyahan tertinggi penyalut pada produk kacang salut tetap dimiliki oleh
penyalut yang dibuat dari tapioka F, sedangkan penyalut yang memiliki
53
r2 = 0.6847
0
1
2
3
4
5
6
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30Rasio amilosa: amilopektin
Skor
ker
enya
han
kerenyahan terendah adalah yang dibuat dari MOCAL. Sementara itu,
kerenyahan penyalut yang dibuat dari tapioka B dan D tidak berbeda nyata,
begitu juga dengan kerenyahan penyalut yang dibuat dari tapioka A, C, dan E
tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (P>0.05). Berdasarkan uji
organoleptik, urutan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut dimulai
dari penyalut yang dihasilkan dari tapioka F, lalu penyalut dari tapioka C,
penyalut dari tapioka E, penyalut dari tapioka A, penyalut dari tapioka B, dan
yang terakhir penyalut yang dihasilkan dari tapioka D.
Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa dan amilopektin
menunjukan hubungan yang erat antar keduanya dan signifikan (P<0.05).
Hal ini ditunjukan dengan tingginya koefisien korelasi (r) antara kerenyahan
dengan rasio amilosa dan amilopektin yaitu -0.827 (Lampiran 7g)). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Matz (1992) yaitu tingkat pengembangan dan
tekstur dari makanan ringan (snack) dipengaruhi oleh rasio amilosa dan
amilopektin. Pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi cenderung
memberikan karakter produk yang fragile (mudah pecah), sedangkan amilosa
akan memberikan tekstur yang lebih tahan terhadap kemudahan untuk pecah.
Sehingga berdasarkan hasil analisis korelasi dapat disimpulkan bahwa
semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin pada tepung tapioka maka
kerenyahan penyalut yang dihasilkan akan semakin tinggi (Gambar 15).
Gambar 15. Korelasi antara skor kerenyahan dengan rasio amilosa danamilopektin
54
Korelasi antara kerenyahan dengan swelling power dan kelarutan, pH
serta sifat amilografi juga menunjukan hubungan yang sangat lemah.
Koefisien korelasi antara skor kerenyahan dengan swelling power dan
kelarutan yaitu -0.061 dan 0.449, kemudian koefisien korelasinya dengan pH
yaitu -0.547. Korelasi antara skor kerenyahan dengan sifat amilografi yaitu
dengan viskositas puncak (r=-0.640), dan setback (r=-0.650) breakdown (r=-
0.789) dan stabilitas pasta fase pendinginan (r=-0.552), menunjukan korelasi
yang negatif. Korelasinya cukup erat tetapi tidak signifikan (P>0.05). Maka
dapat disimpulkan bahwa skor kerenyahan tidak secara langsung dipengaruhi
oleh swelling power dan kelarutan, pH, maupun sifat amilografi sampel
tepung tapioka (Lampiran 7h, 7i, dan 7j).
Korelasi antara kerenyahan dan tingkat pengembangan papatan juga
menunjukan hubungan yang sangat erat. Hal ini ditunjukan dengan besarnya
koefisien korelasi (r) antar keduanya pada taraf signifikansi 0.05 yaitu
sebesar 0.748. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat
pengembangan papatan, penyalut yang dihasilkan akan semakin renyah
(Lampiran 7k).
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik
tepung tapioka yang secara nyata berpengaruh terhadap tingkat
pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut
adalah rasio amilosa dan amilopektin, karena korelasinya berbeda nyata pada
taraf signifikansi 0.05 (P<0.05). Karakteristik tepung tapioka dan MOCAL
yang lainnya, seperti pH, swelling power dan kelarutan, sifat amilografi
(viskositas puncak, setback, stabilitas pasta panas (breakdown), dan stabilitas
pasta dingin) masih memiliki korelasi dengan tingkat pengembangan
papatan dan kerenyahan penyalut produk kacang salut, tetapi tidak
berpengaruh secara langsung kepada produk karena tidak berbeda nyata pada
taraf signifikansi 0.05 (P>0.05).
55
E. KARAKTERISTIK TAPIOKA F YANG MENGHASILKAN
KERENYAHAN PENYALUT TERTINGGI
Berdasarkan hasil analisis tekstur (kerenyahan), baik secara objektif
menggunakan alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer, maupun
secara subjektif dengan uji organoleptik, disimpulkan bahwa penyalut pada
produk kacang salut yang memiliki kerenyahan tertinggi adalah penyalut
yang menggunakan tapioka F.
Tapioka F adalah tepung tapioka yang memiliki mutu awal yang baik.
Kadar air, kadar abu, dan derajat keputihan tepungnya telah memenuhi SNI
01-3451-94 tentang syarat mutu tepung tapioka. Kehalusan sampel tepung
tapioka tidak dipersyaratkan dalam SNI, tetapi bila mengacu pada standar
kehalusan yang ditetapkan oleh TIA (The Tapioca Institute of America),
maka kehalusan tepung tapioka F. Karakteristik kimia dan fisik tapioka F
disajikan dalam Tabel 19.
Nilai pH tapioka F sangat rendah yaitu 4.19. Menurut Fleche (1985),
pati yang memiliki pH lebih rendah adalah pati yang lebih cepat untuk
terhidrolisis pada ikatan α (1,4). Taggart (2004) melaporkan bahwa asam
dapat mengganggu ikatan hidrogen yang terdapat dalam pati, sehingga
menyebabkan granula pati lebih mudah untuk mengembang. Hasil analisis
tingkat pengembangan papatan menunjukan tingkat pengembangan papatan
tapioka F lebih besar dibandingkan sampel lainnya yaitu 596.93%. Namun
demikian, korelasi antara pH semua sampel dengan tingkat pengembangan
papatan sampel sangat rendah.
Tapioka F yang memiliki rasio amilosa dan amilopektin terendah yaitu
sebesar 17.39 % dan 82.53%, memberikan tingkat pengembangan papatan
dan kerenyahan tertinggi pada produk kacang salut. Hal ini juga ditunjukan
dengan tingginya koefisien korelasi antara rasio amilosa dan amilopektin
dengan tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan.
Swelling power dan kelarutan tapioka F cenderung lebih besar
dibandingkan dengan tepung tapioka lainnya, tetapi korelasinya lemah
terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan.
56
Tabel 19. Rekapitulasi data karakteristik kimia dan fisik tapioka FNo. Karakteristik Nilai1. Kadar air (%) 10.542. Kadar abu (%) 0.023. pH 4.194. Kadar pati (%) 73.595. Kadar amilosa (%) 17.396. Kadar amilopektin (%) 82.617. Ukuran granula (µm) 3-40
Kehalusan (%)- No.50 99.63- No.100 95.69
8.
- No.140 92.439. Derajat putih (%) 95.22
Swelling power (g/g)- 60ºC 9.38- 70ºC 24.41- 80ºC 26.84- 90ºC 29.61
10.
- 95ºC 43.41Kelarutan (%)
- 60ºC 9.13- 70ºC 19.21- 80ºC 34.25- 90ºC 37.91
11.
- 95ºC 38.73Sifat amilografi
- Suhu gelatinisasi (°C) 63.75- Suhu viskositas maksimum (°C) 73.50- Viskositas maksimum (BU) 950- Breakdown (BU) 650- Setback (BU) 40
12.
- stabilitas fase pendinginan (BU) 50
Berdasarkan sifat amilografi, tapioka F memiliki viskositas puncak
yang paling rendah (950 BU), tetapi tingkat pengembangan papatan dan
kerenyahan penyalut yang dibuat dari sampel F paling tinggi. Hal ini dapat
dijelaskan dengan hasil uji korelasi, yaitu terdapat korelasi yang negatif
antara viskositas maksimum dengan tingkat pengembangan papatan dan
kerenyahan penyalut pada produk kacang salut, tetapi tidak berbeda nyata
(P<0.05). Stabilitas pasta panas (breakdown) tapioka F lebih stabil
57
dibandingkan sampel lainnya, hal ini ditunjukan dengan rendahnya nilai
breakdown tapioka F yaitu 650 BU. Kemampuan tapioka F dalam
beretrogradasi juga rendah, hal ini ditunjukan dengan paling rendahnya nilai
setback tapioka F dibandingkan dengan sampel lainnya, yaitu 40 BU.
Stablititas pasta dingin tapioka F juga lebih stabil (50 BU). Namun demikian,
sifat amilografi sampel tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan
tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk
kacang salut. Berdasarkan hasil uji korelasi juga diperoleh tidak adanya
korelasi yang nyata antara sifat amilografi sampel (viskositas puncak,
setback, breakdown, dan stabilitas pasta dingin) dengan tingkat
pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada produk kacang salut
(P>0.05).
F. MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLUOR)
Sifat kimia dan fisik MOCAL berbeda jika dibandingkan dengan
tepung tapioka. Data lengkap sifat kimia dan fisik MOCAL disajikan dalam
Tabel 20.
Kadar air MOCAL sebesar 10.91%. Kadar air MOCAL telah
memenuhi SNI 01-2997-1992 dan CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995).
Kadar abu MOCAL lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung tapioka,
yaitu sebesar 0.05%. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembuatan
MOCAL ada proses penggaraman, sehingga kadar abu yang terukur lebih
tinggi. Kadar abu MOCAL telah memenuhi SNI 01-2997-1992 tentang
syarat mutu tepung singkong, dengan kadar abu maksimal 1.5% serta
CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) tentang Syarat Mutu Edible Cassava
Flour, dengan kadar abu maksimal 3%.
Nilai pH MOCAL cenderung rendah yaitu 4.33. Hal ini dapat
dipahami bahwa pada proses pembuatan MOCAL proses fermentasi memang
sengaja dilakukan. Subagio (2006) melaporkan bahwa mikroba yang tumbuh
pada singkong selama proses fermentasi akan menghasilkan enzim
pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel umbi
singkong sedemikian rupa sehingga terjadi pembebasan granula pati yang
58
selanjutnya akan terhidrolisis dan menghasilkan monosakarida yang akan
digunakan oleh mikroba untuk membentuk asam-asam organik. Nilai pH
MOCAL tidak dipersyaratkan dalam SNI mengenai Syarat Mutu Tepung
Singkong, maupun CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995) mengenai Syarat
Mutu Edible Cassava Flour.
Tabel 20. Sifat kimia dan fisik MOCALNo. Karakteristik Nilai1. Kadar air (%) 10.912. Kadar abu (%) 0.053. pH 4.334. Kadar pati (%) 73.295. Kadar amilosa (%) 11.076. Kadar amilopektin (%) 88.937. Ukuran granula (µm) 3-308. Kehalusan (%)
- No.50 74.84 - No.100 12.21 - No.140 3.97
9. Derajat putih (%) 77.7510. Swelling power (g/g)
- 60ºC 7.71 - 70ºC 12.13 - 80ºC 14.10 - 90ºC 21.05 - 95ºC 28.07
11. Kelarutan (%) - 60ºC 3.22 - 70ºC 5.41 - 80ºC 9.72 - 90ºC 19.63 - 95ºC 29.19
12. Sifat amilografi - Suhu gelatinisasi (°C) 65.25 - Suhu viskositas maksimum (°C) 81.75 - Viskositas maksimum (BU) 1030 - Breakdown (BU) 570 - Setback (BU) 60 - Stabilitas fase pendinginan (BU) 40
Kadar pati pada MOCAL yaitu sebesar 73.29%. Nilai ini lebih rendah
dari standar yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2997-1992, yaitu minimal
75%. Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995), tidak
59
disyaratkan mengenai kadar pati. Kadar pati MOCAL dipengaruhi oleh
proses fermentasi. Menurut Subagio (2007), granula pati yang dibebaskan
akibat fermentasi akan dihidrolisis oleh mikroba menghasilkan asam-asam
organik. Proses hidrolisis ini menyebabkan kadar pati pada MOCAL menjadi
lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan oleh SNI.
Kadar amilosa pada MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah
yaitu 11.07%. Kadar amilosa yang rendah ini dapat terjadi karena adanya
proses fermentasi. Selama fermentasi, granula pati singkong yang digunakan
dalam pembuatan MOCAL akan mengalami hidrolisis oleh mikroba yang
menghasilkan monosakarida yang kemudian digunakan oleh mikroba untuk
menghasilkan asam-asam organik. Subagio (2007) melaporkan bahwa
terdapat aktivitas enzim amilase selama proses fermentasi MOCAL. Hal ini
menunjukkan bahwa mikroba yang tumbuh pada singkong dapat
menghasilkan enzim amilase yang dapat mendegradasi amilosa pada
singkong, sehingga kadar amilosanya lebih rendah dibandingkan tepung
tapioka. Masih adanya komponen lain pada MOCAL juga menyebabkan
kandungan amilosa yang terukur menjadi lebih kecil.
Bentuk dan ukuran granula MOCAL tidak berbeda dengan tepung
tapioka. Ukuran granula MOCAL berada dikisaran 3-30 µm dengan bentuk
bulat dan oval (Gambar 16).
Gambar 16. Granula MOCAL
Kehalusan MOCAL mengacu pada SNI 01-2997-1992 yang
mensyaratkan persentase lolos ayak tepung singkong pada ayakan no.80
yaitu minimal 90%. Kehalusan MOCAL tidak memenuhi SNI, persentase
100 µm
60
lolos ayak pada ayakan no.100 kurang dari 90% yaitu hanya 12.21%.
Sementara itu, di dalam CODEX STAN 176-1989 (Rev.1–1995), tidak
disyaratkan mengenai kehalusan edible cassava fluor. Nilai derajat putih
MOCAL juga tidak memenuhi SNI 01-2997-1992 yang mensyaratkan derajat
putih untuk tepung singkong yaitu minimal 85%.
Nilai swelling power MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah
bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena masih
adanya komponen lain pada MOCAL yang dapat menghambat terjadinya
swelling. Komponen lipida dapat membentuk kompleks dengan amilosa
sehingga menghambat terjadinya hidrasi air (pengembangan). Dalam
penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar lipida sampel, tetapi
berdasarkan data spesifikasi produk MOCAL yang diproduksi oleh Koperasi
Loh Jinawi Trenggalek, dilaporkan bahwa kadar lipida MOCAL yaitu sekitar
0.4-0.8%. Kadar lipida MOCAL yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kadar lipida tepung tapioka dapat menyebabkan swelling power pada
MOCAL menjadi lebih rendah daripada tepung tapioka.
Pola amilografi MOCAL menunjukan nilai yang berbeda pula dengan
tepung tapioka. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya kadar amilosa
MOCAL bila dibandingkan dengan tepung tapioka. Suhu gelatinisasi
MOCAL yaitu 65ºC dengan viskositas maksimum sebesar 1030 BU dan suhu
viskositas maksimum 81.75ºC. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan
MOCAL dalam mengikat air selama pemanasan sangat rendah, sehingga
jumlah air yang dapat dihidrasi sedikit dan suhu untuk mencapainya lebih
tinggi. Stabilitas pasta panas MOCAL cukup stabil karena memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan viskositasnya selama
pemanasan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas breakdown
MOCAL yaitu 570 BU. Kemampuan MOCAL dalam beretrogradasi juga
rendah, hal ini ditunjukan dengan rendahnya viskositas setback MOCAl yaitu
60 BU. Stabilitas pasta MOCAL selama pengadukan pun cukup stabil. Hal
ini ditandai dengan rendahnya viskositas selama fase pendinginan dengan
pengadukan yaitu 40 BU.
61
Tingkat pengembangan papatan dan uji kerenyahan penyalut yang
dihasilkan oleh MOCAL menunjukan nilai yang paling rendah bila
dibandingkan dengan tepung tapioka (Tabel 21).
Tabel 21.Tingkat pengembangan papatan, hasil pengukuran gaya (gf) dan skor kerenyahan MOCAL
No. Karakteristik Nilai1. Tingkat pengembangan papatan (%) 153.412. Kerenyahan (gf) 6283.223. Skor kerenyahan 2.609
Tingkat pengembangan papatan MOCAL yaitu sebesar 153.41%. Hal
ini menunjukan bahwa papatan yang dihasilkan oleh MOCAL cenderung
tidak mengembang dan keras. Gaya yang dibutuhkan untuk mendeformasi
penyalut dari MOCAL pun sangat tinggi yaitu 6283.22 gf, hal ini
menunjukan bahwa penyalut dari MOCAL sangat keras bila dibandingkan
dengan penyalut yang dihasilkan. Skor kerenyahan secara organoleptik juga
menunjukan nilai yang sangat rendah. Hal ini mungkin dapat terjadi karena
rendahnya rasio amilosa dan amilopektin MOCAL serta adanya komponen
lain pada MOCAL yang menyebabkan MOCAL sulit untuk mengembang
dan menghasilkan tekstur yang cenderung lebih keras. Berdasarkan hasil
tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan, maka dapat disimpulkan
bahwa MOCAL tidak dapat digunakan sebagai penyalut pada produk kacang
salut karena sifat yang dihasilkan tidak sesuai dengan karakter utama yang
diinginkan dari suatu produk kacang salut yaitu mengembang dan renyah.
62
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan karakteristik kimia dan fisik yang berbeda
antar sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Kadar air sampel tidak
berbeda nyata antara tapioka D, E, dan F, demikian pula dengan MOCAL.
Kadar air tertinggi dimiliki oleh tapioka B, sedangkan kadar air terendah
dimiliki oleh tapioka C. Kadar abu antara tapioka A, B, dan F tidak berbeda
nyata, begitu pula dengan kadar abu antara tapioka D, E. Kadar abu MOCAL
paling tinggi dibandingkan dengan tepugn tapioka. Nilai pH ketujuh sampel
berbeda. Nilai pH terendah pada tapioka C dan tertinggi pada tapioka E. Kadar
pati tapioka A, B, E, dan F, tidak berbeda nyata, begitu pula dengan tapioka C
dan D tidak berbeda nyata. Kadar pati tertinggi pada tapioka D dan terendah
pada tapioka B. Kadar amilosa antara tapioka A dan B tidak berbeda nyata,
begitu pula antara tapioka C dan F. Kadar amilosa terbesar dimiliki oleh
tapioka A dan yang terendah adalah MOCAL.
Bentuk granula semua sampel yaitu bulat dan oval dengan ukuran yang
hampir seragam. Kehalusan sampel pada ayakan no.50 tidak berbeda nyata
pada semua sampel tepung tapioka. Kehalusan sampel pada ayakan no.100
tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, E, dan F. Kehalusan sampel pada
ayakan no.150 tidak berbeda nyata antara tapioka B, C, D, dan F. MOCAL
memiliki kehalusan yang paling rendah dibandingkandengan tepung tapioka.
Derajat putih antara tapioka A dan D tidak berbeda nyata, begitu juga derajat
putih antara tapioka B dan F, maupun antara tapioka C dan E. Nilai swelling
power dan kelarutan pati meningkat dengan bertambahnya suhu pengukuran.
Suhu gelatinisasi terendah pada tapioka D, sedangkan yang tertinggi
pada tapioka B. Terdapat korelasi positif antara suhu gelatinisasi, viskositas
maksimum, viskositas setback, stabilitas pasta panas (breakdown), stabilitas
pasta dingin, dengan amilosa, tetapi tidak berbeda nyata. Viskositas
maksimum (VM) tertinggi pada tapioka E, sedangkan terendah pada tapioka
F. Suhu viskositas maksimum (SVM) tertinggi pada MOCAL, sedangkan
terendah pada tapioka D. Pasta panas tapioka F dan MOCAL cenderung lebih
63
stabil, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya viskositas breakdown, sedangkan
yang paling tidak stabil yaitu tapioka E . Terdapat korelasi positif antara
stabilitas pasta panas dengan pH tetapi tidak berbeda nyata. Tapioka E
memiliki kecenderungan yang besar untuk beretrogradasi, hal ini ditunjukan
dengan tingginya viskositas setback, sedangkan yang terendah yaitu tapioka F.
Pasta dingin tapioka F dan MOCAL cenderung lebih stabil, hal ini
ditunjukkan dengan rendahnya viskositas pasta, sedangkan yang paling tidak
stabil yaitu tapioka E.
Tingkat pengembangan papatan tertinggi dimiliki oleh tapioka F,
sedangkan tingkat pengembangan papatan terendah dimiliki oleh MOCAL.
Hasil analisis kerenyahan juga menunjukan hal yang sama yaitu kerenyahan
tertinggi dimiliki olah kacang salut yang dibuat dari tapioka F, sedangkan
kerenyahan terendah dimiliki oleh kacang salut yang terbuat dari sampel
MOCAL. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif dan nyata antara
tingkat pengembangan papatan dengan skor kerenyahan penyalut produk
kacang salut, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat
pengembangan papatan, maka kerenyahan penyalut pada produk kacang salut
akan semakin tinggi.
Korelasi negatif dan nyata terjadi antara tingkat pengembangan papatan
maupun kerenyahan rasio amilosa dan amilopketin. Maka semakin rendah
rasio amilosa dan amilopektin, tingkat pengembangan papatan dan
kerenyahan penyalut akan semakin besar. Berdasarkan uji korelasi,
karakteristik atau sifat yang paling relevan terhadap kerenyahan penyalut pada
produk kacang salut adalah rasio amilosa dan amilopektin. Sementara itu,
karakteristik fisikokimia lainnya dari tepung tapioka seperti pH, swelling
power dan kelarutan, sifat amilografi (viskositas puncak, setback, stabilitas
pasta panas (breakdown), dan stabilitas pasta dingin) kurang relevan karena
korelasinya terhadap tingkat pengembangan papatan maupun kerenyahan
penyalut sangat rendah.
Karakteristik fisikokimia tapioka F seperti pH yang rendah yaitu 4.19
dengan kadar amilosa dan amilopektin sebesar 17.39 % dan 82.53%, serta
sifat amilografi (viskositas puncak (950 BU), breakdown (650 BU), setback
64
(40 BU), dan stablititas pasta dingin (50 BU)) yang berbeda dengan sampel
lainnya memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk
kacang salut. Sementara itu, MOCAL tidak dapat digunakan sebagai penyalut
pada produk kacang salut karena memiliki tingkat pengembangan papatan dan
kerenyahan penyalut yang sangat rendah pada produk kacang salut.
B. SARAN
Penelitian ini memberikan hasil karakteristik kimia dan fisik yang
berbeda-beda untuk tiap sampel tepung tapioka maupun MOCAL. Namun
demikian, dalam memperoleh informasi yang lebih baik lagi mengenai tepung
tapioka dan MOCAL yang berkaitan dengan kerenyahan penyalut pada
produk kacang salut, maka penelitian lanjutan yang dapat dilakukan antara
lain :
1. Mempelajari sifat kimia ataupun fisik yang lain pada tepung tapioka dan
MOCAL, seperti sifat termal pati.
2. Karakteristik seperti rasio amilosa dan amilopektin merupakan
karakteristik yang paling relevan untuk memperkirakan kerenyahan
penyalut pada produk kacang salut.
3. Menganalisis lebih lanjut kerenyahan penyalut pada produk kacang salut
yang dibuat dengan tepung tapioka maupun MOCAL secara organoleptik
untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap kerenyahan yang
berbeda pada produk kacang salut.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abera, S. dan Rakshit, K. 2003. Comparison of physicochemical and functionalproperties of cassava starch extracted from fresh root and dry chips.Starch/Starke Vol. 55 : 287-296.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto.1998. Petunjuk Laboratorium Anlisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB,Bogor.
Anonim a. 2004. Puffed Food Starch Product. www.patentstorm.us/patents/6676983/ htm [16 Agustus 2007]
Anonim b. 2005. Quantify Brittleness and Crispiness. www.texturetechnologies.com / brittle.htm [3 Agustus 2007]
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods ofAnalysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC.
Asaoka, M., Blanshard, J.M.V., dan Rickard, J.E. 1992. Effects of cultivar andgrowth season on the gelatinization properties of cassava starch. Di dalam :Sriroth, K., et al. 1999. Cassava starch granule structure function properties:influences of time and conditions at harvest on cultivars of cassava starch.Carbohydrates Polymer Vol.38 : 161-170.
Balagopalan, C., Padmaja, G., Nanda, S.K., dan Moorthy, S.N. 1988. Cassava inFood, Feed, and Industry. CRC Press, Baco Raton, Florida.
[CAC] Codex Alimentarius Commision. 1995. Edible Cassava Flour (CODEXSTAN 176-1989 (Rev.1–1995)). Codex Alimentarius Commision, USA.
Chaplin, M. 2006. Starch. www.lsbu.ac.uk/starch.htm [6 Maret 2007]
Charles, A.L., Chang, Y.H, Ko, W.C., Sriroth, K., dan Huang, T.C. 2005.Influence of amylopectin structure and amylose content on gellingproperties of five cultivars of cassava starches. J. Agric. Food ChemistryVol53 : 2717-2725.
[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Gula (SNI 01-2892-1992).Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Tepung Singkong (SNI 01-2997-1992). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
[DSN] Dewan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka (SNI 01-3451-1994). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
66
Fleche, G. 1985. Chemical modification and degradation of starch. Di dalam :G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology.Marcel Dekker, Inc., New York.
Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional BeberapaVarietas Tepung Singkong. Skripsi. IPB, Bogor.
Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization ofUnited Nations, Roma.
Holleman, L.W.Y. dan Aten, A. 1956. Processing of Cassava and CassavaProduct in Feelet Industries. FAO, Roma.
Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between thermal, rheologicalcharacteristics, and swelling power for various starches. J. FoodEngineering Vol.50 : 141-148.
Matz, S.A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-techInternational Inc., Texas.
Moorthy, S.N. 2004. Tropical sources of starch. Di dalam: Ann CharlotteEliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRCPress, Baco Raton, Florida.
Mulyandari, S.H. 1992. Kajian Perbandingan Sifat-Sifat Pati Umbi-Umbian danPati Biji-Bijian. Skripsi. IPB, Bogor.
Muharam, S. 1992. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional TepungSingkong (Manihot esculanta Crantz.) dengan Modifikasi Pengukusan,Penyangraian, dan Penambahan GMS, serta Aplikasinya Dalam PembuatanRoti Tawar. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.
Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian DenganSPSS. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Olkku, J. dan Rha, C. 1978. Gelatinization of starch and wheat flour starch. Didalam: Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components.Academic Press Inc., San Diego, California.
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic PressInc., San Diego, California.
Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers,London.
Sasaki, T., dan Matsuki, J. 1998. Effect of wheat starch structure on swellingpower. Di dalam: Li, J.Y., dan Yeh, A.I. 2001. Relationship between
67
thermal, rheological characteristics, and swelling power for various starches.J. Food Engineering Vol.50 : 141-148.
Sriroth, K., Santisopari, V., Petchalanuwat, C., Kurotjanawong, K.,Piyachomkwan, K., dan Oates, C.G. 1999. Cassava starch granule structurefunction properties: influences of time and conditions at harvest on cultivarsof cassava starch. Carbohydrates Polymer Vol.38 : 161-170.
Subagio, A. 2006. Ubi Kayu : Subtitusi Berbagai Tepung-Tepungan. FoodReview, April 2006 : 18-22.
Subagio, A. 2007. Industrialisasi Modified Cassava Flour (MOCALl) SebagaiBahan Baku Industri Pangan Untuk Menunjang Diversifikasi Pangan PokokNasional. Tidak Diterbitkan. Fakultas Teknologi Pertanian, UniversitasJember, Jember.
Swinkels, J.J.M. 1985. Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam :G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology.Marcel Dekker, Inc., New York.
Taggart, P. 2004. Starch as an ingredients : manufacture and applications. Didalam: Ann Charlotte Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function,and Application. CRC Press, Baco Raton, Florida.
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika Edisi Ke-3. PT Gramedia, Jakarta.
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan. PT Gramedia, Jakarta.
68
Lampiran 1. Rekapitulasi karakteristik fisikokimia sampel tepung tapioka danMOCAL
KarakteristikKimia danfisik
TapiokaA
TapiokaB
TapiokaC
TapiokaD
TapiokaE
TapiokaF
MOCAL
Kadar air (%) 11.75 12.94 9.51 11.00 10.64 10.54 10.91
Kadar abu(%)
0.01 0.01 0.03 0.04 0.04 0.02 0.005
pH 5.18 5.42 4.12 5.02 6.52 4.19 4.33
Kadar pati(%)
75.96 72.49 81.00 80.67 73.05 73.59 73.29
Kadar amilosa(%)
24.01 23.87 15.47 21.30 20.33 17.39 11.07
Kadaramilopektin(%)
75.99 76.13 84.53 78.70 79.67 82.61 88.93
Ukurangranula (µm)
3-40 3-40 3-30 3-30 3-30 3-40 3-30
Kehalusan(%)
- No.50 98.90 99.83 99.65 99.83 99.78 99.63 74.84- No.100 91.81 96.81 98.23 98.65 98.95 95.69 12.21- No.140 87.72 92.10 93.83 93.55 96.98 92.43 3.97
Derajat putih(%)
99.91 95.62 97.79 100.00 97.90 95.22 77.75
Swellingpower (g/g)
- 60ºC 7.12 5.84 9.73 3.85 6.30 9.38 7.71- 70ºC 24.73 21.95 22.58 24.27 24.97 24.11 12.13- 80ºC 27.59 25.74 23.08 29.06 29.67 26.84 14.10- 90ºC 30.41 30.28 25.70 31.01 32.27 29.61 21.05- 95ºC 31.67 38.58 36.77 35.10 45.73 43.41 28.07
Kelarutan Pati(%)
- 60ºC 10.39 2.85 13.70 5.87 2.41 9.13 3.22- 70ºC 15.27 15.36 14.22 12.67 14.15 19.21 5.41- 80ºC 20.10 23.12 22.18 19.11 22.89 34.25 9.72- 90ºC 35.74 23.69 27.08 23.67 24.08 37.91 19.63- 95ºC 37.36 28.72 36.49 30.60 29.42 38.73 29.19
69
Lampiran 2. Hasil pengukuran kadar pati
No. Sampel Ulangan Bobotsampel(mg)
VNa2S2O3
blanko(ml)
VNa2S2O3Sampel
(ml)
KadarPati(%)
Rata-rata(%)
1 1009.3 26.7 9.95 72.54541 Tapioka A2 1002.4 26.7 9.70 79.3695
75.96
1 1001.5 26.2 9.60 72.32352 Tapioka B2 1004.2 26.2 9.50 72.6489
72.49
1 1009.4 26.7 9.20 81.40483 Tapioka C2 1006.6 26.3 9.00 80.5941
81.00
1 1004.7 27.2 9.95 80.48674 Tapioka D2 1003.4 26.7 9.40 80.8511
80.67
1 1002.0 24.0 7.45 72.02695 Tapioka E2 1004.7 24.0 7.60 71.0540
73.05
1 1002.2 26.3 9.50 73.31476 Tapioka F2 1001.9 26.3 9.40 73.8577
73.59
1 1002.2 24.0 8.15 73.42257 MOCAL2 1002.3 24.0 8.20 73.1637
73.29
70
y = 0.0311x - 0.0056R2 = 0.9999
00.1
0.20.3
0.40.50.60.7
0 5 10 15 20 25
Bobot amilosa standar (x 10-3 mg/ml)
Abs
orba
n
Lampiran 3. Pembuatan kurva standar amilosa dan pengukuran kadaramilosa
Hasil Pengukuran AbsorbansiNo. Bobot standar (x 10-3
mg/ml)Absorban
1 4 0.1202 8 0.2403 12 0.3704 16 0.4925 20 0.616
Grafik Hubungan Absorban Dengan Bobot Amilosa Standar
Rekapitulasi Hasil Pengukuran Kadar AmilosaNo. Sampel Ulangan Bobot
sampel(mg)
Absorban Bobotamilosa (x
10-3 mg/ml)
KadarAmilosa
(%)
Rata-rata(%)
1 100.3 0.275 9.0025 17.99601 TapiokaA 2 100.4 0.283 9.2797 18.4854
18.24
1 100.5 0.271 8.8939 17.69932 TapiokaB 2 100.3 0.258 8.4759 16.9011
17.30
1 100.9 0.199 6.5788 13.04023 TapiokaC 2 101.4 0.184 6.0965 12.0247
12.53
1 100.1 0.262 8.6045 17.19184 TapiokaD 2 1003 0.262 8.6045 17.1575
17.18
1 100.5 0.217 7.1576 14.24405 TapiokaE 2 100.5 0.236 7.7685 15.4597
14.85
1 100.3 0.196 6.4823 12.92586 TapiokaF 2 100.7 0.193 6.3859 12.6830
12.80
1 101.9 0.118 3.9743 7.80047 MOCAL2 101.3 0.127 4.2637 8.4180
8.11
71
Lampiran 4. Hasil uji rating kerenyahan
Skor kerenyahanPanelis Tapioka
ATapioka
BTapioka
CTapioka
DTapioka
ETapioka
FMOCAL
1 3 3 4 3 3 7 22 5 3 4 2 3 5 23 5 4 6 3 5 6 24 5 4 6.5 5 5 5 55 5 2 5 3 4.5 3 36 5 4 6 4.5 3 5 3.57 6 5 5.5 4.5 5.5 5 38 4 3 2 3 3 2 29 3 4 4 5 4.5 6 3
10 4 3.5 5 3 3 3 211 2 4 2 3 4 6 412 4 3 4 3 4 6 213 5 3 6 3.5 3.5 4 2.514 4 3 4 1 5 5 215 4.5 3 5 2.5 5 6 316 3 5 4 4 3.5 5 317 4 4.5 5 4.5 4 7 318 4 3.5 5 3 4 7 219 3 4 4 4 5 6 320 3.5 3 4.5 2 3.5 6 221 2 2 4 3 3 6 222 4 2 5 5 4 7 323 5 3.5 5 3.5 6 6 1
72
Lampiran 5a. Hasil uji Duncan : kadar air, kadar abu, dan pH
KAIR
DuncanSubset
SAMPEL N 1 2 3 4C 2 9.503550F 2 10.543500E 2 10.633800D 2 10.994450A 2 11.753950B 2 12.937150Sig. 1.000 .084 1.000 1.000
KABU
DuncanSubset
SAMPEL N 1 2 3 4A 2 .009900B 2 .014900 .014900F 2 .019800C 2 .029400E 2 .039100D 2 .044600Sig. .224 .232 1.000 .187
PH
DuncanSubset
SAMPEL N 1 2 3 4 5 6C 2 4.120000F 2 4.190000D 2 5.020000A 2 5.180000B 2 5.420000E 2 6.520000Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares Theerror term is Mean Square(Error) = .000.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.b Alpha = .05.
73
Lampiran 5b. Hasil uji Duncan : kadar pati, kadar amilosa, dan derajatputih
PATI
DuncanSubset
SAMPEL N 1 2E 2 71.540450B 2 72.486200F 2 73.586200A 2 75.957450 75.957450D 2 80.668900C 2 80.999450Sig. .094 .063
AMILOSA
DuncanSubset
SAMPEL N 1 2 3C 2 12.532450F 2 12.804400E 2 14.851850D 2 17.174650B 2 17.300200A 2 18.240700Sig. .662 1.000 .137
Derajat PutihDuncan
Subset
SAMPEL N 1 2 3F 2 95.216600B 2 95.636250C 2 97.788800E 2 97.924150A 2 99.909750D 2 100.00000
0Sig. .061 .486 .638
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares Theerror term is Mean Square(Error) = .033.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.b Alpha = .05.
74
Lampiran 5c. Hasil uji Duncan : kehalusan
Kehalusan50Duncan
SubsetSAMPEL N 1A 2 98.900000F 2 99.630000C 2 99.650000E 2 99.775000B 2 99.825000D 2 99.825000Sig. .248
Kehalusan100Duncan
SubsetSAMPEL N 1 2 3A 2 91.805000F 2 96.590000B 2 96.810000C 2 98.230000D 2 98.650000E 2 98.950000Sig. 1.000 1.000 .153
Kehalusan140Duncan
Subset
SAMPEL N 1 2 3A 2 87.720000B 2 92.095000F 2 92.430000D 2 93.545000C 2 93.825000E 2 96.980000Sig. 1.000 .215 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares Theerror term is Mean Square(Error) = 1.418.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.b Alpha = .05.
75
Lampiran 6a. Hasil uji Duncan terhadap kerenyahan (gf)
Univariate Analysis of VarianceTests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kerenyahan (gf)
SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
Model 854484793.377(a) 11 77680435.762 195.676 .000
PANELIS 1714888.847 4 428722.212 1.080 .388SAMPEL 101595667.0
42 6 16932611.174 42.653 .000
Error 9527655.513 24 396985.646Total 864012448.8
90 35
a R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .984)
DuncanSAMPEL N Subset
1 2 3F 5 1162.5800C 5 3587.0200A 5 4064.0400E 5 5449.0400D 5 5793.9000B 5 6089.2600Sig. 1.000 .243 .065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 396985.646.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.b Alpha = .05.
76
Lampiran 6b. Hasil uji Duncan terhadap skor kerenyahan
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor kerenyahan
SourceType III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
Model 2655.120(a) 29 91.556 105.429 .000PANELIS 50.065 22 2.276 2.621 .000SAMPEL 112.370 6 18.728 21.566 .000Error 114.630 132 .868Total 2769.750 161
a R Squared = .959 (Adjusted R Squared = .950)
Duncan
SAMPEL NSubset
1 2 3D 23 3.391B 23 3.435A 23 4.043E 23 4.087C 23 4.587F 23 5.391Sig. .875 .063 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .868.a Uses Harmonic Mean Sample Size = 23.000.b Alpha = .05.
77
Lampiran 7a. Hasil analisis korelasi : Amilosa terhadap swelling power dankelarutan pati
AMILOSAPearsonCorrelation 1
Sig. (2-tailed) .
AMILOSA
N 6PearsonCorrelation .044
Sig. (2-tailed) .934
SLOPESP
N 6PearsonCorrelation .221
Sig. (2-tailed) .674
SLOPEKEL
N 6
Lampiran 7b. Hasil analisis korelasi : amilosa terhadap sifat amilografi
AMILOSAPearsonCorrelation 1
Sig. (2-tailed) .
AMILOSA
N 6PearsonCorrelation .633
Sig. (2-tailed) .177
SETBACK
N 6PearsonCorrelation .541
Sig. (2-tailed) .267
VISKOSITASMAKS.
N 6PearsonCorrelation .429
Sig. (2-tailed) .396
BREAKDOWN
N 6PearsonCorrelation .542
Sig. (2-tailed) .267
STABILITASFASEPENDINGINAN
N 6PearsonCorrelation .558
Sig. (2-tailed) .220
T.GELATINISASI
N 6
78
Lampiran 7c. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap rasio amilosa dan amilopektin
RATIOAA KEMBANGPearsonCorrelation 1 -.846(*)
Sig. (2-tailed) . .034
RATIOAA
N 6 6PearsonCorrelation -.846(*) 1
Sig. (2-tailed) .034 .
KEMBANG
N 6 6* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 7d. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap swelling power dan kelarutan
KEMBANGPearsonCorrelation 1
Sig. (2-tailed) .
KEMBANG
N 6PearsonCorrelation .264
Sig. (2-tailed) .614
SLOPESP
N 6PearsonCorrelation .337
Sig. (2-tailed) .514
SLOPEKEL
N 6
Lampiran 7e. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap pH
PH KEMBANGPearsonCorrelation 1 -.194
Sig. (2-tailed) . .712
PH
N 6 6PearsonCorrelation -.194 1
Sig. (2-tailed) .712 .
KEMBANG
N 6 6
79
Lampiran 7f. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatanterhadap sifat amilografi
KEMBANGPearsonCorrelation 1
Sig. (2-tailed) .
KEMBANG
N 6PearsonCorrelation -.403
Sig. (2-tailed) .428
SETBACK
N 6PearsonCorrelation -.597
Sig. (2-tailed) .210
VISKOSITASMAKS.
N 6PearsonCorrelation -.559
Sig. (2-tailed) .249
BREAKDOWN
N 6PearsonCorrelation -.209
Sig. (2-tailed) .692
STABILITASFASEPENDINGINAN
N 6
Lampiran 7g. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap rasio amilosadan amilopektin
RATIOAA SKORPearsonCorrelation 1 -.827(*)
Sig. (2-tailed) . .042
RATIOAA
N 6 6PearsonCorrelation -.827(*) 1
Sig. (2-tailed) .042 .
SKOR
N 6 6* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
80
Lampiran 7h. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap swelling powerdan kelarutan
SKORPearsonCorrelation 1
Sig. (2-tailed) .
SKOR
N 6PearsonCorrelation -.061
Sig. (2-tailed) .908
SLOPESP
N 6PearsonCorrelation .449
Sig. (2-tailed) .372
SLOPEKEL
N 6
Lampiran 7i. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap pH
SKOR PHPearsonCorrelation 1 -.547
Sig. (2-tailed) . .261
SKOR
N 6 6PearsonCorrelation -.547 1
Sig. (2-tailed) .261 .
PH
N 6 6
Lampiran 7j. Hasil analisis korelasi : kerenyahan terhadap sifat amilografi
SKORPearsonCorrelation 1
Sig. (2-tailed) .
SKOR
N 6PearsonCorrelation -.650
Sig. (2-tailed) .163
SETBACK
N 6PearsonCorrelation -.640
Sig. (2-tailed) .056
VISKOSITASMAKS.
N 6PearsonCorrelation -.789
Sig. (2-tailed) .062
BREAKDOWN
N 6PearsonCorrelation -.552
Sig. (2-tailed) .257
STABILITASFASEPENDINGINAN
N 6
81
Lampiran 7k. Hasil analisis korelasi : tingkat pengembangan papatan,kerenyahan (gf), dan skor kerenyahan
KEMBANG RENYAH SKORPearsonCorrelation 1 -.748(*) .896(*)
Sig. (2-tailed) . .047 .016
KEMBANG
N 6 6 6PearsonCorrelation -.748(*) 1 -.957(**)
Sig. (2-tailed) .047 . .003
RENYAH
N 6 6 6PearsonCorrelation .896(*) -.957(**) 1
Sig. (2-tailed) .016 .003 .
SKOR
N 6 6 6* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 8. Setting alat Stable Micro System TAXT2 Texture Analyzer
Probe yang digunakan adalah probe silinder dengan diameter 6mm, dengansetting pemakaian alat yaitu :
Pre test speed = 2.00 mm/sTest speed = 0.50 mm/sPost test speed = 10.00 mm/sRupture test distance = 1.0 mmDistance = 4.0 mmForce = 100 gTime = 5.00 sec.Count = 2