analisis konsep dan starategi implementasi upaya...
TRANSCRIPT
1
ANALISIS KONSEP DAN STARATEGI IMPLEMENTASI UPAYA KHUSUS SAPI INDUKAN WAJIB BUNTING
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permintaan terhadap daging sapi terus meningkat. Produksi dalam negeri
baru mampu memenuhi sekitar 65%. Selebihnya dipenuhi dari produk impor
berupa daging sapi beku 20% dan sapi bakalan yang digemukkan di dalam negeri
15% (Ilham et al. 2015). Lonjakan tajam terhadap permintaan daging sapi di
berbagai wilayah terjadi menjelang bulan puasa dan hari raya Idul Fitri, yang
menyebabkan kenaikan harga daging sapi dan bereskalasi terhadap kenaikan
harga pangan lain sehingga mempengaruhi inflasi.
Untuk memenuhi kekurangan pasokan, upaya peningkatan populasi dan
produktivitas telah dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Pertanian, yaitu
Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau (PSDSK). Berdasarkan 13 kegiatan
pada Program PSDSK, kegiatan optimasi inseminasi buatan (IB) dan intensifikasi
kawin alam (INKA), penyediaan dan pengembangan pakan dan air,
penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan
hewan, dan penyelamatan sapi betina produktif berpengaruh langsung dan
berpotensi memiliki dampak kuat untuk meningkatkan pasokan daging sapi
(Ashari et al. 2012).
Untuk mempercepat target pemenuhan populasi sapi potong dalam negeri,
Kementerian Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 48/Permentan
/OT.010/12/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi
dan Kerbau Bunting. Upaya ini dilakukan sebagai wujud komitmen Pemerintah
dalam mencapai swasembada daging sapi yang ditargetkan Presiden Joko Widodo
pada tahun 2026 serta mewujudkan Indonesia yang mandiri dalam pemenuhan
bahan pangan asal hewan, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak
rakyat. Target tersebut dituangkan dalam Grand Design Lumbung Pangan Dunia
(Kementerian Pertanian, 2016).
Permasalahannya, tidak semua konsep yang mendasari suatu program
didukung dasar teori dan data yang baik. Disamping itu program yang ada,
cenderung dilengkapi dengan pedoman yang bersifat umum, padahal dalam
2
implementasi suatu program dipengaruhi juga oleh kondisi lapangan yang berbeda
menurut daerah. Untuk kasus Program Upsus Siwab yang tersebar di seluruh
provinsi di Indonesia diduga akan menghadapi kondisi yang berbeda, sehingga
implementasi program akan menghadapi berbagai masalah dan kendala.
Berdasarkan itu, kajian yang bersifat evaluasi ini perlu dilakukan. Hasil kajian
diharapkan dapat menjadi umpan balik untuk perbaikan program agar output dan
outcome yang diharapkan dapat dicapai.
1.2. Tujuan
Berdasarkan uraian di atas, tujuan kajian ini ialah merumuskan alternatif
perbaikan konsepsi dan implementasi Program UPSUS SIWAB yang efisien dan
efektif. Secara lebih rinci, tujuan kajian ini ialah:
1. Menelaah secara kritis konsep program upaya khusus sapi indukan wajib
bunting,
2. Mengkaji kinerja implementasi program upaya khusus sapi indukan wajib
bunting,
3. Mengevaluasi perkiraan dampak program upaya khusus sapi induk wajib
bunting.
4. Merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan program upaya khusus
sapi induk wajib bunting ke depan, baik dari sisi konsep maupun strategi
implementasinya.
1.3. Keluaran
Keluaran umum dari kajian ini adalah rumusan kosep perbaikan Program
Upaya Khusus Sapi Induk Wajib Bunting, secara rinci keluaran yang diharapkan
adalah:
1. Informasi tentang tinjauan kritis konsep Program Upaya Khusus Sapi Induk
Wajib Bunting.
2. Informasi tentang implementasi Program Upaya Khusus Sapi Induk Wajib
Bunting.
3. Informasi tentang perkiraan dampak ekonomi Program Upaya Khusus Sapi
Induk Wajib Bunting.
3
4. Rekomendasi kebijakan pengembangan program upaya khusus sapi induk
wajib bunting ke depan baik dari sisi konsep maupun strategi
implementasinya.
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Ada tiga faktor utama yang menentukan keberhasilan tingkat kebuntingan
seekor ternak ruminansia besar, baik sapi potong, sapi perah dan kerbau yang
dikembangbiakkan menggunakan teknologi inseminasi buatan, yaitu: (i) kondisi
tubuh (BCS-Body Condition Score) dan kesehatan sistem reproduksi calon
induk/induk, (ii) ketersediaan dan kualitas semen beku, tenaga pendukung, dan
peralatan serta fasilitas pendukung, dan (iii) kemampuan peternak/petugas
pemelihara ternak mendeteksi berahi dan waktu kawin optimal induk sapi (Parera
et al. 2011) . Pada perkembangbiakan menggunakan cara kawin alam dengan
ternak jantan, kualitas dan ketersediaan sapi/kerbau pejantan menentukan
keberhasilan kebuntingan (Efendy dan Mariyono, 2013).
Berdasarkan tiga faktor tersebut, dituangkan konsep operasional dalam
bentuk pedoman ataupun petunjuk. Hal ini perlu dilakukan, sehingga apa yang
diimplementasikan di lapangan sudah dalam satu persepsi yang sama bagi para
pihak yang terlibat program. Petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis bisa saja
dilakukan oleh Tim Upsus Siwab di daerah dalam upaya memperkecil kendala
akibat variasi kondisi lapangan yang ada. Agar terjadi persepsi yang sama
diperlukan kegiatan sosialisasi dan pendampingan yang efektif.
Upaya perbaikan tahap berikutnya adalah sistem pelaporan dan kegiatan
evaluasi. Hasil kedua kegiatan ini dapat dijadikan bahan masukan untuk terus
memperbaiki konsep dan pedoman Program Upsus Siwab kearah pencapaian
output dan outcome yang sudah ditetapkan. Alur pikir kajian ini dijasikan pada
Gambar 2.1.
2.2. Lokasi dan Resonden
Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan pola pemeliharaan, dan ternak
yang diusahakan. Provinsi Jawa Tengah mewakili provinsi pola pemeliharaan sapi
intensif. Provinsi Aceh mewakili provinsi pola pemeliharaan sapi ekstensif. Provinsi
4
Jawa Barat mewakili pola pemeliharaan sapi perah intensif, dan Banten mewakili
provinsi pola pemeliharaan kerbau ekstensif.
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Siklus Kerja dan Faktor-faktor yang Menentukan
Keberhasilan Program Upsus Siwab 2017
Penentuan lokasi kabupaten contoh didiskusikan dengan pihak dinas yang
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di provinsi contoh dengan
pola pemeliharaan di atas. Untuk lokasi Jawa Barat di Kabupaten Bandung Barat,
KONSEP PROGRAM UPSUS
SIWAB
IMPLEMENTASI PROGRAM
KELUARAN & DAMPAK
PROGRAM Langsung:
Produksi 2,1 juta
ekor pedet
umur 2 bulan
senilai Rp8,4 T
Tak Langsung:
-Pola kerja terukur
-Sistem pelaporan membaik
-Organisasi Pel. IB membaik
-Mengedukasi peternak
-Pemetaan distribusi semen
-Kesempatan kerja petugas
Grand Design:
1. Operasionalisasi Upsus Siwab
2. Penetapan Status Reproduksi
& Penanganan Gangrep
3. Penyediaan semen beku,
tenaga teknis, sarana IB dan
Pelaksanaan IB
4. Distr & ketersediaan semen
beku, N2Cair dan kontainer
5. Pemenuhan HPT & konsentrat
6. Pengendalian pemotongan
betina produktif
7. Sistem Monev & Pelaporan
KONSEP OPERASIONAL
1. Pedoman Pelaksana
2. Pedoman Teknis
3. Petunjuk Pelaksana
4. Petunjuk Teknis
POKJA PUSAT
KONSEP TEORITIS
1. Kondisi Ternak
Betina sasaran
2. Kondisi Ternak
Pejantan atau
Petugas dan
fasilitas Inseminasi
Buatan
3. Kemampuan
Peternak
5
Di Jawa Tengah Kabupaten Semarang, lokasi Aceh di Kabupaten Aceh Besar, dan
lokasi Banten di Kabupaten Lebak. Jenis dan jumlah responden yang
diwawancarai pada kajian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Jenis dan Jumlah Responden pada Kajian ini
No Jenis Responden Pusat Daerah Jumlah
Aceh Jateng Jabar Banten
1 Pokja UPSUS SIWAB 2 - - - - 2
2 Dinas Provinsi - 4 6 1 5 16
3 BIB/BPTP/BPTU/UPTD - 5 3 3 1 12
4 Dinas Kabupaten - 4 5 4 4 17
5 Puskeswan/Inseminator/PKB - 5 3 3 3 14
6 Peternak - 6 3 2 5 16
7 KPSBU Lembang - - - 2 - 2
Jumlah 2 24 20 15 18 79
2.3. Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara kepada pejabat dan petugas terkait lingkup pusat,
provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Selain itu data primer diperoleh juga melalui
wawancara terhadap pengurus kelompok tani ternak (KTT).
Data sekunder yang digunakan bersumber dari dokumen terkait pada
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, dinas yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan di provinsi dan kabupaten contoh. Untuk
mendalami konsep Program UPSUS SIWAB akan lakukan tinjau ulang terhadap
dokumen: (i) Pedoman Pelaksanaan UPSUS SIWAB Januari 2017 (Revisi I); (ii)
Rencana Kerja Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting, 06 Januari 2017; dan
(iii) Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan, Kebuntingan dan Kelahiran 2017.
Dokumen lain yang akan dijadikan sumber informasi adalah: (i) Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/OT.010/12/2016 tentang Upaya Khusus
Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting; (ii) Kepmentan Nomor
656/Kpts/OT.050/10/2016, tentang Kelompok Kerja Upaya Khusus Percepatan
Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting; (iii) Keputusan Menteri Pertanian
6
Nomor 8932/Kpts/OT.050/F/12/2016, tentang Sekretariat Kelompok Kerja Upus
Siwab; (iv) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 8933/Kpts/OT.050/F/12/2016,
tentang Tim Supervisi Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan
Kerbau Bunting; dan (v) Surat Edaran Menteri Pertanian
No.185/PK.210/M/12/2016 kepada para Gubernur dan Bupati tentang Dukungan
Upsus Siwab 2017. 2.4. Metode Analisis
Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu “menelaah secara kritis berbagai
konsep pada program upaya khusus sapi indukan wajib bunting” dilakukan
kegiatan: (i) menginventarisasi konsep-konsep dan data dukung yang digunakan
dalam Program Upsus Siwab, (ii) melakukan telaah kritis atas konsep yang
digunakan dikaitkan dengan output dan outcome yang ingin dicapai. Data dan
informsi dianalisis dengan pendekatan deskriptif.
Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu “mengkaji implementasi upaya khusus
sapi indukan wajib bunting” dilakukan kegiatan: (i) menginventarisasi dokumen
yang mendukung Program Upsus Siwab, seperti grand design dan arahan kerja
Upsus Siwab; (ii) memilah faktor-faktor kritis untuk dijadikan bahan evaluasi
implementasi di lapangan, (iii) melakukan evaluasi implementasi faktor-faktor
kritis di lapangan. Data dan informasi dikumpulkan melalui telaah dokumen,
wawancara dan observasi lapangan, kemudian diolah dengan cara mengkomparasi
antara pedoman yang ada dengan implementasi di lapang. Sebagai contoh untuk
mengevaluasi 15 kegiatan yang disajikan pada dokumen rencana kerja, Tim
Kajian akan melihat enam kegiatan yang dinilai merupakan titik-titik yang dianggap
kritis mendukung keberhasilan program. Instrumen yang diperlukan menggunakan
Tabel 2.2.
Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu: “memperkirakan dampak program
upaya khusus sapi induk wajib bunting’”, kegiatan yang dilakukan: (i)
mengevaluasi laporan harian dan laporan dari lokasi kajian tentang realisasi
akseptor, tingkat kebuntingan, tingkat kelahiran, dan angka kematian hingga
umur pedet 2 bulan hasil Upsus (ii) berdasarkan angka tersebut diperkirakan
potensi nilai ekonomi dari program.
7
Selain itu akan dilihat juga manfaat non ekonomi atas keberadaan Program
Upsus Siwab 2017. Diduga dengan adanya program ini, akan diperoleh berbagai
manfaat non ekonomi yang positif.
Tabel 2.2. Instrumen Evaluasi Implementasi Rencana Kerja Upsus Siwab di Lokasi Kajian, 2017
No No. Kegtn.
Nama Kegiatan Volume Jadwal (bulan) Ket
Target Realisasi Target Realisasi
1 3 Pendistribusian Semen Beku, N2 Cair
1-4 Cek Vol ?
1-4?
2 4 Bimtek Pelaporan Inseminator Upsus Siwab
4.800 orang di 16 provinsi
cek 1-2 Cek -
3 5 Pelatihan Petugas Baru Inseminator
di 11 UPT Bitpro jumlah peserta 1.392
org: calon PKB, ATR,
Insenminator)
cek 2-4 Cek -
4 8 Pembentukan Tim Upsus Siwab Prop,Kab/Kota
- - 1 Cek SK Tim
-
5 9 Sosialisasi Upsus Siwab Provinsi
- - 1 Cek: lokasi dan frekuensi,
pelaku sosialisasi
-
6 10 Sosialisasi Upsus Siwab tingkat Kabupaten
- - 1 Cek: lokasi dan frekuensi,
pelaku sosialisasi
-
8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Telaah Konsep Program Upsus Siwab
3.1.1. Konsep Teoritis
Dalam kajian ini konsep dibagi dua, yaitu konsep teoritis dan konsep
operasional. Secara konsep teoritis, kebuntingan adalah suatu periode sejak
terjadinya fertilisasi sampai terjadi kelahiran (Frandson, 1992). Fertilisasi adalah
peleburan antara sperma dan ovum (Wonokerto D. 2013). Artinya, keberhasilan
kebuntingan sangat ditentukan oleh fertilitas sperma dan ovum serta saluran
reproduksi yang mendukung meleburnya dan melekat pada dinding uterus.
Kurang berhasilnya IB yang ditunjukkan oleh jumlah kali kawin untuk
menjadi bunting (S/C) masih tinggi disebabkan oleh: (1) petani terlambat
mendeteksi saat berahi atau terlambat melaporkan berahi sapinya ke petugas IB,
(2) adanya gangguan pada alat reproduksi induk sapi, (3) inseminator kurang
terampil, (4) fasilitas pelayanan inseminasi terbatas, dan (5) kurang lancarnya
transportasi (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2006). Hingga saat ini masih
sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan
rendahnya fertilitas induk, dan berakibat penurunan angka kebuntingan dan
jumlah kelahiran pedet (Balai Veteriner Bukit Tinggi, 2014).
Gangguan reproduksi pada sapi potong dan kerbau secara garis besar
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) cacat anatomi saluran
reproduksi, (2) gangguan fungsional, (3) infeksi organ reproduksi, dan (4)
kesalahan manajemen (Ratnawati et al. 2007). Secara umum gangguan
reproduksi dapat disembukan dengan perbaikan pakan, pengobatan dengan
antibiotik, pemberian hormon, pemberian vitamin dan mineral, vaksinasi, sanitasi
dan kombinasi diantaranya. Khususnya gangguan reproduksi yang disebabkan
cacat anatomi karena bawaan, cenderung menyebabkan sapi infertil.
Fakta emprik menunjukkan bahwa sapi-sapi induk yang diberi pakan baik
hanya membutuhkan 1,5 kali kawin (S/C) untuk menjadi bunting, sedangkan sapi-
9
sapi yang diberi pakan kurang baik membutuhkan 4,1 kali kawin untuk menjadi
bunting (Talib et al. 2001). Yusran et al. (2001), permasalahan yang menekan
kinerja hasil IB sapi potong di Jatim antara lain kondisi sapi-sapi induk yang kurus
atau skor kondisi tubuhnya rendah. Nurjanah et al. (2014), faktor-faktor yang
memengaruhi dan berasosiasi positif antara lain adalah frekuensi pemberian
hijauan, jumlah pemberian hijauan, dan pemberian konsentrat. Untuk menaikkan
angka kebuntingan disarankan memberikan hijauan 4 kali sehari dengan jumlah
pemberian 35 kg/ekor/hari dan melakukan pemberian konsentrat.
Keberhasilan kebuntingan sapi ditentukan oleh ketersediaan sapi pejantan
untuk mengawini sapi induk secara alami atau sebagai donor semen untuk
inseminasi buatan. Pada kasus kawin alam, seekor sapi pejantan diharapkan dapat
melayani kawanan sapi induk hingga 60 ekor atau lebih, sedangkan jika digunakan
untuk IB bisa lebih banyak (Ball and Peters, 2004). Kesuburan atau kapasitas
reproduksi sapi pejantan merupakan faktor penting dalam menentukan kinerja
reproduksi, yaitu persediaan spermatozoa normal sangat penting dan hasrat
seksual (libido). Di Indonesia, sapi pejantan yang dihasilkan pusat pembibitan dan
memiliki sertifikat masih terbatas. Oleh karena itu, sapi-sapi yang dipelihara
secara ekstensif dan sebagian semi intensif menggunakan kawin alam umumnya
terjadi inbreeding, sehingga sapi-sapi turunan semakin kecil bentuk tubuhnya.
Sapi-sapi jantan yang secara eksterior baik banyak digunakan untuk sapi bakalan
pada usaha penggemukan untuk kemudian dipotong.
Sementara itu, produksi semen bersertifikat sudah cukup tersedia, bahkan
Indonesia sudah melakukan ekspor semen beku. Semen beku yang diproduksi
oleh Balai Inseminasi Buatan (BIB) Nasional dan beberapa Balai Inseminasi Buatan
Daerah (BIBD) sudah memiliki sertifikasi standar mutu ISO 12075 menyangkut
laboratorium mutu dan ISO 9001 mencakup laboratorium, Sumberdaya Manusia,
manajemen, fasilitas, dll. Dalam program Siwab, pengadaan semen beku sudah
menggunakan e-katalog. Saat ini dua BIB Nasional dan satu BIBD sudah
mengaplikasikan cara tersebut. Keharusan menggunakan e-katalog mendorong
BIBD untuk meningkatkan mutu produknya dan melengkapi syarat untuk dapat e-
katalog.
10
Perkawinan menggunakan IB membutuhkan persiapan yang lebih
kompleks. Setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan: (1) ketersediaan dan
kualitas semen; (2) penanganan semen saat distribusi dan penggunaan; (3)
keterampilan petugas; (4) kemampuan petani mendeteksi sapi berahi dan
melaporkannya ke petugas; dan (5) kondisi induk sapi.
Sebagai suatu upaya khusus, jika kemampuan petani mendeteksi berahi
masih kurang, diharapkan petugas teknis dapat melakukan kegiatan proaktif
membantu petani menjelaskan tanda-tanda sapi induk yang sedang berahi.
Kegiatan sinkronisasi berahi merupakan salah satu upaya khusus yang dilakukan
dalam Program UPSUS Siwab. Pada daerah-daerah terpencil, umumnya pada pola
pemeliharaan sapi masih semi intensif dan ekstensif fasilitas transportasi petugas
sangat menetukan keberhasilan UPSUS Siwab.
Pelaksanaan UPSUS SIWAB 2017 dilengkapi dengan satu pedoman
pelaksanaan dan enam pedoman teknis. Berdasarkan konsep teoritis dan
dukungan data empirik yang telah diutarakan di atas, semua aspek yang
mendukung terjadinya proses kebuntingan sapi sudah dielaborasi dengan baik
pada empat dari enam pedoman teknis yang dibuat, yaitu: (1) Penetapan Status
Reproduksi dan Penanganan Gangguan Reproduksi; (2) Penyediaan Semen Beku,
Tenaga Teknis, dan Sarana IB serta Pelaksanaan IB; (3) Distribusi dan
Ketersediaan Semen Beku, N2 Cair, dan Kontainer; dan (4) Pemenuhan Hijauan
Pakan Ternak dan Pakan Konsentrat.
3.1.2. Konsep Operasional
Pada kajian ini yang dimaksud konsep operasional adalah konsep-konsep
dasar yang digunakan dan dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Upsus Siwab
2017. Berdasarkan konsep-kosep tersebut dituangkan kegiatan-kegiatan teknis
yang ditulis dalam enam pedoman teknis.
Hasil evaluasi pada Pedoman Operasionalisasi Upsus Siwab, ada beberapa
hal yang perlu dikritisi, yaitu: (1) perhitungan struktur populasi sapi dan kerbau;
(2) pengelompokan target akseptor berdasarkan pola pemeliharaan intensif, semi
intensif dan ekstensif; (3) penetapan target akseptor dan target bunting tiap
daerah; (4) target penanganan gangrep dan pemberian pakan konsentrat dan
pakan hijauan.
11
3.1.2.1. Struktur Populasi Sapi dan Kerbau
Perhitungan perkiraan populasi berbasis hasil Sensus Pertanian 2013. Umur
sapi/kerbau betina dewasa berkisar antara 2 – 8 tahun. Jumlahnya dapat dilihat
pada Tabel 3.1. Pada Pedoman Upsus Siawab, potensi akseptor sebanyak 4 juta
ekor berbasis pada populasi sapi potong dan sapi perah betina dewasa, yaitu 5,9
juta ekor atau 70% dari populasi betina dewasa.
Tabel 3.1. Perkiraan Populasi dan Akseptor Program Siwab di Indonesia, 2017
Jenis Ternak Populasi (ekor)
Total Betina Dewasa Target Akseptor
1. Sapi potong 13.597.154 5.622.835 -
2. Sapi perah 472.000 296.086 -
3. Kerbau 1.127.000 452.622 -
Jumlah potensi akseptor (1 + 2) 5.918.921 4.000.000 (70%)
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017
Potensi akseptor tersebut belum memasukkan populasi kerbau betina
dewasa. Itu berarti ada cadangan akseptor sebanyak 452 ribu ekor lagi. Di
lapangan (Aceh, Banten dan Jateng) terlihat bahwa kerbau juga dilibatkan dalam
program Upsus Siwab. Walaupun pada banyak daerah pemeliharaan kerbau
umumnya masih semi intensif dan ekstensif, akan tetapi potensi ini dapat
dijadikan bahan untuk mencapai target keluaran program dan sekaligus
melakukan introduksi teknologi IB pada peternak kerbau.
3.1.2.2. Pengelompokan Akseptor berdasarkan Pola Pemeliharaan
Pada buku Pedoman Pelaksana Upsus Siwab Ditjen PKH Kementerian
Pertanian, jumlah akseptor dikelompokkan menurut pola pemeliharaan.
Berdasarkan pola pemeliharaan, jumlah akseptor sebanyak 4 juta dipilah menjadi:
(1) pola pemeliharaan intensif sebanyak 2,9 juta ekor di Jawa, Bali dan Lampung;
(2) pola pemeliharaan semi intensif sebanyak 0,8 juta ekor di Sulsel, Sumatera
dan Kalimantan; pola pemeliharaan ekstensif sebanyak 0,3 juta ekor di NTT, NTB,
Papua, Maluku, Sulawesi, Aceh dan Kaltara.
Teknik perkawinan yang dilakukan untuk pola intensif menggunakan IB,
semi intensif IB dan intensifikasi kawin alam (INKA), serta untuk pola ekstensif
menggunakan INKA. Pola demikian dianggap wajar, karena terkait dengan mudah
tidaknya melakukan kegiatan IB. Pada pola ekstensif sangat sulit melakukan
12
perkawinan sapi dengan teknik IB. Namun dalam operasionalnya perkawinan sapi
pada berbagai pola tersebut menggunakan teknik IB. Hal ini tentu akan
menghadapi kesulitan. Ternak sapi dan kerbau yang dipelihara secara ekstensif
tidak memiliki tali dan sangat jarang pulang ke kandang.
Di Aceh, sekitar 70% sapi dan kerbau dipelihara secara ekstensif. Sekitar
50% dari jumlah itu, sapi dilepas pagi hari ke padang gembala dan sore masuk
kandang paddock dan 50% lainya dilepas diperbukitan siang dan malam. Sapi
pada pola ekstensif mencari makan di sekitar pemukiman atau persawahan saat
lahan sawah tidak ditanami (bera), dalam istilah setempat disebut “luah blang”.
Pada saat lahan sawah ditanami padi, ternak sapi dan kerbau di lepas kembali di
perbukitan hingga kaki gunung. Pola yang sama dijumpai juga di NTT dan P.
Sumbawa-NTB dan beberapa bagian daerah lain di berbagai provinsi di luar Jawa.
Jika tidak ada upaya khusus, sapi diusahakan pola ekstensif sulit mencapai target
kebuntingan jika dikawinkan dengan cara IB, karena waktu bera hanya sekitar 3
bulan. Salah satu upaya khusus yang dilakukan adalah melakukan penyerentakan
berahi dengan bantuan hormon.
3.1.2.3. Penetapan Target Akseptor dan Persentase Kebuntingan
Secara nasional ditetapkan jumlah sapi bunting sekitar 73% dari jumlah
akseptor. Kemudian angka tersebut ditetapkan menurut provinsi dan
kabupaten/kota. Menurut pihak dinas di lokasi kajian, angka tersebut ditetapkan
dari unsur Ditjen PKH. Hal yang tidak relevan adalah menyamakan target tingkat
kebuntingan provinsi sama dengan semua kabupaten/kota. Padahal potensi SDM,
fasilitas, kondisi geografis, pola pengusahaan sapi antar kabupaten/kota
beragam.
Penentuan target tersebut perlu ditinjau ulang dan sebaiknya melibatkan
berbagai pihak terkait serta memperhatikan kondisi sebelumnya. Target antar
kabupaten dalam satu provinsi sangat memungkinkan bervariasi. Bahkan pada
kondisi tertentu, pada kabupaten yang berada di daerah dengan pola
pengusahaan intensif memungkinkan memberikan target yang lebih tinggi dari
yang dicantumkan dalam pedoman, dimana Jawa Timur target angka kebuntingan
84% dan Jawa Tengah 83%. Menurut Dyer (2012), Untuk memenuhi biaya
produksi maka rata-rata calf crop harus lebih dari 85%, karenanya pada daerah
13
yang sudah baik, target sapi induk yang bunting dari akseptor yang ada
seharusnya lebih 85%.
3.1.2.4. Penetapan Target Pelayanan Gangrep dan Pakan Konsentrat
Kegiatan penanganan gangguan reproduksi sebelum ada UPSUS SIWAB
2017 di beberapa daerah merupakan kegiatan rutin pada Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi. Pada UPSUS SIWAB 2017 target penanganan gangrep
nasional hanya 300 ribu ekor dibandingkan jumlah akseptor 4 juta ekor. Ternak
yang terkena gangrep selanjutnya mendapat perlakuan pemberian pakan
konsentrat. Rincian jumlah akseptor, target penanganan gangrep dan pemberian
pakan konsentrat secara nasional dan lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Proporsi Target Akseptor yang Mendapat Penanganan Ganguan Repoduksi dan Pemberian Pakan Konsentrat
Provinsi dan
Kabupaten
Target
Akseptor
(ekor)
Penanganan Gangguan
Reproduksi
Pemberian Pakan Konsentrat
(ekor) (%) (ekor) (%)
Indonesia 4.000.000 300.000 7,50 22.500 7,50
Aceh 105.867 6.509 6,15 0,00 0,00
Aceh Besar 16.226 909 5,60 0,00 0,00
Banten 8.208 456 5,56 0,00 0,00
Lebak 644 126 19,57 0,00 0,00
Jawa Barat 166.094 4.362 2,63 300 6,88
Bandung Barat 17.834 403 2,26 0,00 0,00
Jawa Tengah 514.984 47.010 9,13 3.200 15,50
Semarang 27.354 3.180 11,63 0,0 0,00
Sumber: Ditjen PKH (2017) dan data primer
Berdasarkan Tabel 3.2. proporsi target jumlah sapi yang mendapat
penanganan gangrep tidak ada rujukannya dan besarannya juga bervariasi.
Demikian juga, dari daerah yang ada penanganan gangrepnya tidak semua
mendapat pakan konsentrat, seperti Provinsi Aceh dan Banten serta Kabupaten
Bandung Barat dan Kabupaten Semarang.
3.1.2.5. Perkiraan Dampak Ekonomi
Pada Rakernas UPSUS SIWAB yang diselenggarakan 6 Januari 2017
dikatakan bahwa dari 3 juta ekor bunting akan lahir 70% atau 2,1 juta ekor.
Setelah pedet berumur 2 bulan nilai pedet Rp8,4 T atau Rp4 juta per ekor. Pada
kenyataannya di lapang, peternak paling cepat menjual pedet setelah lepas sapih
14
yaitu berumur 5 – 7 bulan. Kalaupun dijual saat berumur dua bulan sekaligus
dijual dengan induknya.
Pada umur sekitar 6 bulan, harga jual pedet lebih besar dari Rp4 juta per
ekor. Jika asumsi angka kematian 3%, biaya produksi pedet sampai umur 6 bulan
juga nol. Maka nilai pedet yang dihasilkan jauh lebih besar dari Rp8,4 T. Jika rata-
rata harga jual pedet pada umur 6 bulan Rp5,5 juta maka nilai pedet menjadi
Rp11,2 T.
3.2. Kinerja Implementasi Upsus Siwab
Kinerja implementasi Upsus Siwab ditelaah dari kegiatan-kegiatan untuk
mencapai outcome program, yaitu terlayani perkawinan sapi/kerbau dengan
teknik IB pada 4 juta ekor dan terjadi kebuntingan 3 juta ekor selama tahun 2017.
Enam kegiatan yang akan ditelaah adalah: (1) Penetapan Status Reproduksi &
Penanganan Gangrep; (2) Penyediaan semen beku dan Pelaksanaan IB; (3)
Distribusi & ketersediaan semen beku, N2Cair dan kontainer; (4) Pemenuhan HPT
& konsentrat; (5) Pengendalian pemotongan betina produktif; dan (6) Sistem
Monev & Pelaporan. Pada masing-masing kegiatan terdiri dari beberapa sub
kegiatan. Selain itu ditelaah juga adakah pengaruh faktor lain terhadap
pencapaian outcome.
3.2.1. Penetapan Status Reproduksi & Penanganan Gangrep
3.2.1.1. Organisasi dan SDM
Menurut Pedoman kegiatan penanganan gangrep dilakukan oleh Tim
Operasional Teknis terdiri dari petugas teknis provinsi, kabupaten/kota dan
Puskeswan yang mencakup profesi dokter hewan, ATR, dan PKb. Fakta pada
empat lokasi kajian ada tiga pola pelaksanaan kegiatan: (1) pihak Dinas
Peternakan Kabupaten harus turun bersama dengan pihak B/BVet sumber dana
dari B/BVet; (2) dilakukan secara series yaitu awalnya B/BVet melaksanakan
setelah itu pihak Dinas Peternakan Kabupaten melakukan secara terpisah, sumber
dana dari masing-masing pihak; dan (3) dilakukan oleh pihak Dinas Peternakan
Kabupaten, pihak B/Bvet hanya memantau, sumber dana dari B/BVet. Pola (3)
kegiatan dapat dilaksanakan dengan cepat dibandingkan pola (2) dan pola (1).
Pada pola (1) Tim gangrep Kabupaten harus turun bersama dengan B/BVET, jika
15
tidak maka tidak bisa dilaporkan ke Isikhnas sehingga tidak ada penggantian obat
dan insentif.
Dalam melaksanakan semua kegiatan UPSUS SIWAB di kabupaten/kota
dikoordinasi oleh penanggung jawab UPSUS SIWAB. Namun faktanya untuk kasus
penerbitan Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR) dilakukan oleh dua bidang
yang berbeda. Bahkan tidak dilakukan diagnosa karena tidak melibatkan tenaga
dokter hewan. Selain itu dijumpai pengisian SKSR tidak dilakukan dengan benar.
Hal itu dapat dilihat dari: (1) SKSR diterbitkan ditandatangani petugas pemeriksa
dan diketahui oleh medis reproduksi, namun tidak ditetapkan statusnya, kasus
pada 5 Januari 2017; (2) SKSR diterbitkan ditandatangani petugas pemeriksa dan
diketahui oleh medis reproduksi, namun petunjuk pengisian harus memilih salah
satu pilihan, nyatanya dipilih dua, kasus 1 Maret 2017; dan (3) SKSR diterbitkan
ditandatangani petugas pemeriksa, diketahui oleh medis reproduksi dan distempel
resmi, namun isinya satu ekor sapi yang diperiksa memiliki BCS atau Skor Kondisi
Tubuh-SKT dua sekaligus yaitu ≥ 2 dan < 2, kasus 20 April 2017.
Padahal tahap awal kegiatan gangrep adalah memeriksa induk sapi kondisi
tubuhnya (BCS) < 2 atau ≥ 2. Sapi yang memiliki BCS < 2 harus diperbaiki
dengan pemberian pakan berkualitas hingga mencapai BCS ≥ 2 baru dilakukan
penanganan gangrep. Untuk sapi yang memiliki BCS ≥ 2, diperiksa dan diterbitkan
SKSR dengan kemungkinan hasilnya: (1) bunting, (2) tidak bunting status normal,
(3) tidak bunting terkena kasus gangrep, dan (4) tidak bunting status gangrep
permanen.
3.2.1.2. Kasus Gangrep
Pada empat lokasi kajian, kasus hypofungsi ovary relatif tinggi, yaitu
Kabupaten Aceh Besar, Lebak dan Semarang. Di Aceh Besar dan Banten sebagian
besar sapi dan kerbau diusahakan dengan pola semi intensif dan ekstensif (Tabel
3.3.). Ternak menghandalkan pakan dari padang gembala. Kondisi padang
gembala dengan kuantitas dan kualitas hijauan terbatas menyebabkan peluang
hypofungsi ovary tinggi. Fakta ini menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas
pakan baik hijauan pakan ternak dan konsentrat pada pola semi intensif dan
ekstensif perlu ditingkatkan.
16
Di Kabupaten Bandung Barat, sebagian besar sapi yang diusahakan adalah
sapi perah dengan pola intensif. Kasus gangrep hypofungsi ovari tidak dijumpai,
karena pada sapi perah pakan yang diberikan sudah cukup baik. Namun kasus
yang dijumpai (retensio plasenta dan endometritis) lebih disebabkan oleh karena
sapi yang kurang bergerak karena terus dikurung di kandang. Kepemilikan lahan
peternak yang terbatas menyebabkan tidak ada area untuk melakukan exercise
pada sapi.
Tabel 3.3. Tiga Urutan Tertinggi Kasus Gangguan Reproduksi pada Lokasi Kajian,
2017
Daerah Tiga Urutan Kasus Tertinggi
1 2 3
Aceh Hypofungsi Ovari (60%)
CLP-Corpus Luteum Persistent (40%)
-
Aceh Besar Hypofungsi Ovari CLP Pyometra
Bandung Barat Retensio Plasenta (35%)
Endometritis (23%) Abortus (17%)
Jawa Tengah Hypofungsi Ovari Silent Heat CLP
Kab. Semarang Silent Heat (42%) Hypofungsi Ovari (36%)
Kawin berulang (8%)
Lebak Hypofungsi Ovari (59%)
Silent Heat (16%) CLP (4%)
3.2.1.3. Masalah lain
Untuk dapat melaksanakan kegiatan penanangan gangguan reproduksi
diperlukan tenaga petugas PKb. Petugas PKb merupakan salah satu tenaga teknis
di lapangan selain tenaga inseminator dan asisten teknik reproduksi (ATR).
Seorang tenaga PKb umumnya juga tenaga inseminator. Tetapi tidak semua
tenaga inseminator merupakan petugas PKb. Saat ini, jumlah tenaga PKb di
berbagai daerah masih terbatas. Kondisi ini tentunya mempengaruhi kegiatan
pemeriksaan kebuntingan sapi saat identifikasi status reproduksi awal dan
pemeriksaan kebuntingan setelah 3 bulan di IB, terutama pada wilayah kerja yang
memiliki akseptor yang banyak dan luas.
Pada saat sebelum ada UPSUS SIWAB, pada beberapa daerah, kegiatan
mengumpulkan ternak milik peternak didukung dana stimulan. Pada UPSUS
SIWAB, tidak ada stimulan bagi peternak atau pamong desa dalam kegiatan
pengumpulan sapi milik peternak, maka petugas harus melayani peternak dengan
cara door to door, itupun belum tentu berjumpa peternak.
17
Kasus di Aceh, obat-batan untuk penaganan gangrep tidak sesuai dengan
kasus penyakit yang ditemui. Oleh karena itu, untuk menanganinya digunakan
obat yang bersumber dari dana APBD. Namun obat-obatan yang ada tersebut
belum diregristrasi di iSIKHNAS, sehingga tidak bisa dicatat dalam iSIKHNAS.
Harapannya agar sistem obat hewan yang ada semua terdaftar dalam iSIKHNAS.
3.2.2. Penyediaan Semen Beku dan Pelaksanaan IB
3.2.2.1. Penyediaan Semen Beku
Tahun 2017 produsen semen beku untuk mendukung kegiatan UPSUS
SIWAB sudah mampu dipenuhi yaitu sekitar 8 juta dosis. BIB Lembang
berkontribusi 5,15 juta dosis dan selebihnyua bersumber dari BBIB Singosari dan
BIBD Kalimantan Selatan. Masalahnya pada tahun 2018, sapi pejantan yang ada di
BIB Lembang 70% sudah berumur tua. BIB Lembang sudah mengajukan
pengadaan sapi pejantan untuk tahun 2018. Jika semua pengadaan sapi pejantan
dipenuhi, produksi semen pertama baru ada bulan Juni 2018. Selama Januari
sampai Mei ada senjang waktu belum menghasilkan produksi. Oleh katena itu,
diperlukan penguatan BIBD baik melalui ISO, Sertifikasi dan e-katalog. Saat studi
ini dilakukan Juni 2017, BIBD Ungaran sudah mengusulkan untuk bisa ikut e-
katalog dan sudah memiliki dua jenis ISO, dan SNI.
Pemintan peternak terhadap semen sapi exotic untuk dikawinkan pada sapi
indukan sangat tinggi. Untuk sapi lokal, hanya semen sapi Bali yang diminati
peternak. Selama ini produsen semen sapi Bali hanya BBIB Singosari dan BIBD
Kalimantan Selatan yang telah terlibat dalam penyediaan semen untuk UPSUS
SIWAB. Solusi yang dapat dilakukan adalah memberdayakan BIBD lokal seperti
BIBD Baturiti Bali dan jika memungkinkan secara kesehatan ternak, memberi
amanah kepada BIB Lembang untuk memproduksi semen beku sapi Bali.
Di Kabupaten Semarang Jawa Tengah, realisasi distribusi semen beku yang
menggunakan dana APBN dilakukan pada Bulan April dan masih sesuai rencana,
hanya saja saat kajian dilakukan, semen beku yang digunakan masih
menggunakan semen beku pinjaman dari pihak tertentu. Hingga bulan September
2017, di Kabupaten Lebak realisasi semen beku dan N2 Cair dari TP Provinsi
belum ada. Kerbau banyak yang bunting dari kawin alam, dari sekitar 20 kali PKb,
sekitar 10 ekor kerbau yang bunting akibat kawin alam. Walaupun di Banten ada 3
18
ras kerbau, yaitu Majapahit, Rajagaluh dan Brahma, saat kerbaunya akan di IB
peternak tidak memilih semen beku apa yang digunakan. Justeru menurut
peternak, anak kerbau hasil IB menggunakan semen kerbau dari Lembang
hasilnya lebih baik dari kerbau lokal yang ada. Selama ini tidak dijumpai masalah
terkait penyediaan semen beku.
Dalam Upsus Siwab, pengadaan semen beku sudah menggunakan e-
katalog. Saat ini dua BIB Nasional dan satu BIBD sudah mengaplikasikan cara
tersebut. Keharusan menggunakan e-katalog mendorong BIBD untuk
meningkatkan mutu produknya dan melengkapi syarat untuk dapat e-katalog.
3.2.2.2. Pelaksanaan IB
Salah satu klaster UPSUS SIWAB di lokasi dengan pengusahaan sapi secara
ekstensif. Peternak di daerah ini memelihara sapi dengan cara dilepas di lahan
penggembalaan. Oleh karena itu, kegiatan IB di daerah ekstensif harus terencana,
terjadwal dan memperhatikan kondisi sosial budaya setempat.
Teknologi sinkronisasi berahi diperlukan untuk kawasan ekstensif. Hal itu
disebabkan sapi hanya sewaktu-waktu saja berkumpul dekat pada pemukiman
masyarakat. Kasus di Aceh, sapi yang digembala di kawasan hutan dan perbukitan
akan kembali ke persawahan dekat pemukiman saat sawah di kawasan tersebut
masa bera atau dalam istilah lokal disebut luah blang. Masa luah blang hanya
sekitar 3 bulan, setelah itu sapi akan digiring kembali oleh peternak ke kawasan
penggembalan di kawasan. Jika waktu seperti ini dapat dimanfaatkan, dapat
terjadi percepatan pencapaian output dan outcome UPSUS SIWAB dengan tetap
menggarap pola semi intensif dan intensif berjalan seperti biasa. Kasus yang
hampir sama terjadi juga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten untuk ternak
kerbau.
Kendala pelaksanaan IB di Kabupaten Lebak Banten: (1) adanya trauma
peternak di masa lalu akibat saat petugas melakukan PKb hasilnya negatif,
padahal sebenarnya bunting muda kurang satu bulan melalui kawin alam, saat
petugas melakukan sinkronisasi, kebuntingan yang sudah terjadi akibat kawin
alam tersebut mengalami keguguran; (2) peternak belum sadar lapor saat
ternaknya mengalami berahi, sehingga laporan IB sering telat; dan (3) banyak
peternak kerbau memelihara milik orang lain (penggaduh) dengan pola bagi hasil
19
anak yang lahir, karenanya keputusan melakukan IB atau hal lain harus izin
pemilik, untuk menghindari risiko peternak mengandalkan kawin alam, apalagi ada
mithos kerbau bisa bunting tanpa proses kawin.
Adanya syarat skor kondisi tubuh (SKT/BCS) harus baik, baru bisa
dilakukan inseminasi buatan, tidak selalu benar. Jika pada musim penghujan
kondisi baik, pada musim kemarau (Mei-September) saat kualitas penggembalaan
dan hijauan pakan terbatas maka kondisi BCS menjadi kurang. Jika mengikuti
syarat BCS maka target yang diharapkan tidak tercapai. Nyatanya saat musim
kemarau dan nilai BCS < 2 sapi bisa dikawinkan. Artinya BCS < 2 tidak selalu
menyebabkan gangguan reproduksi.
Eforia kegiatan UPSUS SIWAB menyebabkan pencapaian target IB dan
kebuntingan sapi menjadi hal utama. Akibatnya Program UPSUS SIWAB bisa
berbenturan dengan program kawasan perbibitan yang dilakukan sebelumnya.
Pemeritah sudah mengembangkan sapi Jawa Brebes (Jabres) di sekitar Brebes,
dan sapi PO Kebumen di Kebumen, sapi Angus di Sragen, dan kerbau Simeuleu
sebagai plasma nutfah di Simeuleu Aceh. Namun saat ini sapi Jabres dan sapi
Angus Sragen belum ada semen bekunya. Sapi PO Kebumen belum cukup semen
bekunya karena selama ini sebagian peternak melakukan kawin alam pada sapi
indukannya. Adanya UPSUS SIWAB dengan keharusan menggunakan kawin IB
memungkinkan sapi-sapi dan kerbau tadi tidak di IB menggunakan semen sesuai
rasnya. Akibatnya kegiatan kawasan sapi bibit yang sudah dilakukan bisa menjadi
terganggu. Sisi positifnya, adanya UPSUS SIWAB kegiatan IB gratis telah
mendorong 6 kabupaten di Jawa Tengah mengusulkan ikut Siwab kerbau yaitu:
Purbalingga, Purworejo, Brebes, Jepara, Semarang dan Temanggung.
3.2.3. Distribusi & Ketersediaan Semen Beku, N2Cair dan Kontainer
Di Jawa Barat, semua pengadaan semen beku sudah selesai dilakukan.
Sebagian sudah didistribusikan dan sisanya akan diistribusikan hingga akhir tahun
sesuai permintaan masing-masing kabupaten/kota. Semen beku tersebut disimpan
di Depo milik Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat.
Kegiatan pengadaan dan distribusi N2 Cair membutuhkan biaya tinggi
karena saat transportasi banyak terjadi penguapan. Keberadaan distributor N2
Cair terbatas, sehingga pembeli harus mengikuti kemauan penjual. Pihak
20
distributor tidak menyediakan depo di kabupaten/kota karena konsumennya
terbatas. Pembeli yang membutuhkan N2 Cair harus membeli ke provinsi. Selain
itu keberadaan kontainer di provinsi kapasitasnya hanya 300 liter, sedangkan
kontainer di kabupaten dengan kapasitas sekitar 35 liter fungsinya sebagai tempat
penyimpanan semen dan juga digunakan saat pendistribusian semen kepada
petugas lapangan. Proses pengiriman dengan ukuran kontainer kecil
menyebabkan banyak susut.
Dinas di Kabupaten/kota tidak bisa mengakomodir fasilitas kontainer atau
depo untuk kebutuhan selama setahun. Kontainer yang ada dengan kapasitas 35
liter jumlahnya terbatas, sehingga frekuensi pengambilan ke provinsi relatif tinggi.
Anggaran APBD kabupaten tidak mendukung, dana yang ada dari APBN atau
APBD provinsi. Jadi pihak kabupaten/kota mengharapkan dana dari provinsi, pada
sisi lain pihak provinsi tidak bisa membantu semua kabupaten/kota selama
setahun.
Di Kabupaten Semarang Jawa Tengah, N2 Cair yang dibutuhkan pada bulan
Maret pengadaannya dilakukan dengan membeli sendiri, sedangkan pengadaan
dengan dana UPSUS SIWAB baru direalisasikan bulan April 2017. Target volume
pengadaan N2 cair selama setahun 7.500 liter. Pada Bulan April dan Mei realisasi
masing-masing 650 liter. Jika rata-rata realisasi 650 liter/bulan maka akhir tahun
hanya tergunakan 6.050 liter. Ini berarti pada akhir tahun ada sisa dana setara
dengan 1.450 liter N2 cair.
Kebutuhan semen beku Provinsi Aceh diperkirakan 210.000 dosis dari
target akseptor 105.000 ekor dengan asumsi S/C = 2. Pengadaan semen beku
melalui anggaran UPSUS SIWAB baru akan datang tanggal 19 Juli 2017 sekitar
48.000 straw dari pengadaan 111.000 straw sapi melalui e-katalog dari BBIB
Lembang dan 15.000 straw sapi bali dari BBIB Singosari. Pengadaan semen beku
dengan anggaran APBD (A) sekitar 24.000 straw dan APBD(K) sekitar 3.000 straw.
Straw yang sudah dan sedang diadakan berjumlah 153.900 straw atau 73,29%
untuk mencapai akseptor sasaran 105.000 ekor dengan S/C =2.
Di Aceh Besar, pengadaan barang termasuk semen beku belum seluruhnya
berjalan, maka kegiatan dan laporan UPSUS SIWAB yang ada merupakan hasil
kegiatan dari dukungan anggaran APBD(K), kecuali pengadaan N2 cairnya. Di
21
Aceh untuk mendapatkan N2 Cair harus membeli ke Medan Sumatera Utara.
Keterbatasan pemilikan kontainer, sehingga saat melakukan pembelian ke Medan
harus menggunakan kontainer yang ada yang berfungsi untuk membeli ke Medan
dan juga digunakan saat distribusi ke kabupaten/kota. Akibatnya kontainer
menjadi cepat bocor dan rusak.
Hingga 13 Juli 2013, di Kabupaten Aceh Besar belum ada pengadaan
kontainer, sementara ini hanya mengguakan kontainer lama. Jumlah yang ada
masih sangat minim, walaupun setiap tahun melakukan pengadaan. Harusnya tiap
Pos IB ada dua unit kontainer satu unuk cadangan N2 Cair satu untuk depo straw.
Rencana ini belum tercapai, akibatnya banyak N2 Cair yang menguap dan
biayanya menjadi mahal. Bahkan ada kecamatan yang tidak memiliki kontainer
sendiri, sehingga harus menggunakan dari wilayah lain.
Di Banten, semen sapi bersumber dari BIB Lembang dan semen kerbau
bersumber dari BIBD Kalimantan Selatan. Sejauh ini selalu tersedia dan tidak
menghadapi masalah. Ketersediaan kontainer dan N2 Cair untuk mendukung
kegiatan IB pada UPSUS SIWAB cukup.
3.2.4. Pemenuhan HPT & Konsentrat
Ketersediaan pakan dari sisi kuantitas dan kualitas sangat diperlukan dalam
usaha peternakan sapi dan kerbau karena mempengaruhi kinerja produksi dan
reproduksi. Hal ini disadari dan sudah dilakukan berbagai upaya agar setidaknya
peternak memiliki sumber HPT untuk usaha ternaknya. Pemerintah telah
melakukan penyebaran bibit HPT untuk peternak baik secara gratis maupun
menjual kepada yang membutuhkan. Instansi terkait dalam penyediaan bibit dan
benih HPT adalah UPT pusat BPTU-HPT dan UPTD yang ada di berbagai provinsi.
Sementara itu, untuk pakan konsentrat peternak melakukan penyediaan secara
mandiri baik melalui koperasi ataupun perorangan. Pemerintah hanya
mendampingi jika peternak membutuhkan formla pakan konsentrat sesuai dengan
potensi bahan baku pakan yang ada di sekitar peternak.
3.2.4.1. Hijauan Pakan Ternak
Dalam UPSUS SIWAB pemenuhan HPT dinilai tidak efektif. Di Aceh bibit
HPT sudah disiapkan oleh BPTU-HPT Aceh, namun hingga per 14 Juli 2017 belum
ada permintaan dari pihak kabupaten/kota di seluruh wilayah Aceh. Di Kabupaten
22
Bandung Barat Jwa Barat, hingga per 9 Mei 2017 belum ada realisasi pengadaan
HPT. Faktor penghambat penanaman HPT di Jabar adalah lahan untuk HPT
bersaing dengan tanaman pangan.
Di Kabupaten Semarang Jawa Tengah, sebagai cotnoh pada 1 kecamatan
hanya 4 KTT yang dapat HPT dari 110 KTT yang ada di kecamatan itu. Empat
KTT yang mendapat bibit HPT adalah KTT yang berada di daerah yang padat
populasi sapi. Secara umum, lahan untuk tanam HPT sangat terbatas, karena
terdesak dengan lahan untuk tanam jagung, akibatnya banyak menggunakan
lahan tidak produktif dan bukan merupakan lahan hamparan. Tiap KTT mendapat
bibit untuk ditanam pada 1 Ha lahan berupa rumput odot (gajah mini), king grass,
dan indegovera (leguminosa pohon). Pada April 2017 telah dilakukan identifikasi
KTT yang akan mendapat bantuan HPT, namun hingga awal Juni 2017 belum ada
KTT sudah melakukan penanaman.
Di Kabupaten Lebak Banten, realisasi pengadaan bibit HPT sudah dilakukan
hingga Juni 2017. Hanya saja sering tidak sinkron antara kegiatan pengadaan bibit
dan benih HPT dengan musim hujan, sehingga hasilnya kurang efektif. Permintaan
peternak terhadap bibit HPT ada, namun dana olah tanah yang diberikan hanya
stimulan dan tidak ada dukungan biaya pompanisasi untuk air dan pupuk.
Pengadaan pompa dan alat olah tanah tidak bisa dilakukan, terkait belanja modal.
Padahal pada kasus pajale hal itu dapat dilakukan. Umumya peternak meminta
bibit odot (gajah mini) dalam luasan besar karena palatabilitas (daya suka) tinggi,
tetapi yang ada rumput Taiwan Grass dan Indegovera dari kegiatan Gerbang
Patas (gerakan mengembangkan pakan ternak berkualitas) untuk mendukung
UPSUS SIWAB. Pihak Perhutani dan PTPN 8 bersedia bekerja sama untuk
menyediakan lahan tempat penanaman HPT dengan peternak tanpa biaya
(pernyataan Menteri BUMN), namun unuk landclearing lahan diperlukan
keberadaan alat olah tanah/traktor.
3.2.4.2. Pakan Konsentrat
Seperti diutarakan sebelumnya pada subbab gangguan reproduksi, ada
ketidakkonsistenan dalam pemberian konsentrat. Konsentrat diberikan pada sapi
yang mengalami gangguan reproduksi akibat kekurangan nutrisi dengan bukti
23
SKSR BCS < 2. Namun tidak semua daerah dimana ada kasus sapi mengalami
gangguan reproduksi mendapat pakan konsentrat.
Selain itu, ada perbedaan yang sangat prinsip, terkait unit layanannya yang
dapat diberikan konsentrat dan dapat layanan gangguan reproduksi dalam UPSUS
SIWAB. Sapi indukan yang mendapatkan bantuan pakan konsentrat berbasis
kelompok tani ternak (KTT), karena sebagai syarat suatu hibah dari pemerintah
kepada petani berupa pakan. Sementara itu, layanan gangrep unit layanannya
adalah ternak yang terkena gangrep. Akibatnya, jika kasus gangrep terjadi pada
sapi peternak bukan anggota KTT, maka sapi tersebut tidak bisa mendapat
bantuan pakan konsentrat. Kalaupun bisa, harus berbasis KTT lain, yang belum
tentu diijinkan oleh pengurus dan anggota KTT tersebut. Hal ini, sangat sulit
dilakukan karena: (1) lokasi yang berjauhan sehingga sulit melakukan
pengendalian apakah jumlah pakan konsentrat yang diberikan ditujukan untuk
ternak sasaran; (2) menimbulkan kecemburuan antar anggota dalam KTT yang
tidak mendapat, apalagi terhadap peternak yang bukan anggota KTT tetapi
dititipkan administrasi pada KTT yang ditunjuk.
Pada usaha pembiakan/pembibitan sapi yang sudah biasa memberikan
pakan konsentrat pada sapi indukannya, tanpa dibantupun pakan konsentrat
secara rutin atau berkala saat-saat tertentu tetap diberikan. Sementara itu, pada
peternak yang tidak biasa memberikan pakan konsentrat karena alasan ekonomi
lemah, pemberian konsentrat tidak akan sinambung. Jika bantuan berakhir
pemberian pakan konsentrat menjadi terhenti dan kasus kekurangan gizi akan
berulang.
3.2.4.3. Titik Kritis Kegiatan Pengadaan dan Distribusi Pakan
Hasil kajian di lapang ditemukan beberapa titik kritis dalam kegiatan dan
pengadaan pakan dalam rangka mendukung Kegiatan UPSUS SIWAB:
1. Keterlambatan penyusunan dokumen perencanaan, seperti penyusunan TOR,
RAB, Pedoman Teknis. Hasil diskusi dengan Direktorat Pakan Ditjen PKH
diperoleh informasi bahwa penyusunan dokumen perencanaan baru
dilaksanakan pada riwulan-4 tahun 2016 atau sudah pada akhir tahun 2016.
24
2. Keterlambatan pelaksanaan sosialisasi Pedoman Kegiatan, sosialisasi yang
semestinya dilaksanakan pada awal tahun anggaran mengalami
keterlambatan.
3. Keterlambatan identifikasi ternak yang mengalami gangrep hypofungsi ovari
akibat mal-nutrisi dan keterlambatan keluarnya SKSR oleh Tim Kesehatan
Hewan, Kesmavet, Bibit dan Produksi. Hal ini disebabkan keterlambatan Tim
Teknis Pakan dalam berkoordinasi dengan Tim Keswan, Kesmavet, Bibit dan
Produksi dalam melakukan identifikasi status reproduksi, kondisi ini ditemukan
baik di Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan Aceh.
4. Keterlambatan penetapan lokasi penerima bantuan bibit HPT, meskipun sudah
dilakukan komunikasi intensif (via telpon dan surat) antara Direktorat Pakan
kepada 33 Satker dalam alokasi penetapan lokasi. Keterlambatan ini
menyebabkan beberapa kabupaten, seperti Pati, Wonogiri, dan wilayah
selatan lainnya di Jawa Tengah tidak mau menerima bantuan bibit HPT karena
menganggap sudah memasuki musim kemarau.
5. Kegagalan proses pengadaan pengadaan benih/bibit HPT dan sarana produksi
lainnya, sehingga diperlukan Pengawalan oleh Tim teknis Pakan agar Tim
pengadaan di Satker Kabupaten dapat melakukan tugasnya dengan cepat dan
cermat. Pada lokasi-lokasi tertentu, penyerahan/distribusi benih/bibit HPT dan
agroinput lainnya tidak sesuai dengan jumlah, waktu, dan sasaran yang di
rencanakan. Kondisi ini terutama disebabkan ketatnya persyaratan yang
ditetapkan dari pusat, tingkat kesiapan Satker di kabupaten/kota, serta
kurang memenuhi kaidah kepraktisan dan keefektifan.
6. Proses distribusi pakan konsentrat tidak diatur bertahap dan disesuaikan
dengan ketersediaan gudang penyimpanan, sehingga dapat mengurangi
terjadinya kerusakan pakan pada saat penyimpanan. Bantuan pengadaan
pakan dan distribusi pakan tidak memenuhi kaidah kepraktisan dan
keefektifan.
7. Terlambatnya penyediaan benih/bibit HPT sehingga berimplikasi pada
penanaman HPT tidak tepat waktu sesuai dengan kondisi musim. Hal ini
disebabkan keterlambatan dalam penandatanganan kontrak, penyedia
benih/bibit HPT yang ditunjuk tidak semua dapat melaksanakan kewajibannya
25
sesuai kontrak, jenis dan kualitas bibit HPT tidak sepenuhnya memenuhi
persyaratan teknis, dan terjadinya kesalahan teknis dalam penanaman HPT.
Seperti ketentuan sebelum penanaman HPT harus dilakukan pengolahan lahan
dan pemupukan dasar.
8. Pemberian air minum tidak dilakukan secara ad libitum, karena terbatasnya
sumber air. Langkah yang dapat dilakukan adalah mencari sumber air
potensial dan melakukan tatakelola air yang baik, sehingga air bisa diakses
ternak dan kebun HPT. Untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan program
perlu adanya pendampingan dari Perguruan Tinggi di masing-masing
kabupaten.
3.2.5. Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif
Kegiatan ini sudah mulai dilakukan sejak Program PSDS/K 2010-2014.
Namun secara umum, walaupun dalam UPSUS SIWAB merupakan salah satu
kegiatan, pengendalian pemotongan sapi betina produkstif masih sulit dilakukan.
Di Aceh Besar dan Provinsi Aceh umumnya, belum ada upaya khusus untuk
melakukan kegiatan ini, sifatnya masih pada taraf himbauan. Di Kabupaten Gayo
Lues, umumnya ternak betina produkif dipotong di RPH 2-3 hari sekali. Jumlah
sapi jantan sedikit, jika tidak boleh potong betina apakah pemerintah bisa
mengganti dengan ternak jantan.
Di Banten sekitar 95% sapi yang dipotong merupakan produksi feedlot
yang menggunakan bakalan impor. Kerbau hanya dipotong di Lebak, Pandegelang
dan Malimping jumlahnya sangat kecil. Di Kota Serang Kerjasama dengan
kepolisian sudah berjalan rutin, sebelum UPSUS SIWAB pun kegiatan ini sudah
dilakukan, namun di Rangkasbitung kabupaten Lebak sosialisasi larangan
pemotongan ternak betina produktif ke pejagal belum melibatkan TNI dan Polri. Di
RPH Pemerintah dipasang spanduk himbauan dan larangan untuk tidak memotong
sapi/kerbau betina produktif. Oleh karenanya pemotongan betina produktif tidak
ada masalah. Kalaupun ada pemotongan kerbau betina (sangat jarang), dilakukan
saat ada anggota masyarakat melakukan hajatan atau hari taya dilakukan di
lingkungan pemukiman.
Di Jabar kegiatan ini sudah melibatkan TNI/Polri tapi belum berjalan massif,
sedangkan di Jateng umumnya masih sulit dilakukan, kecuali di Kabupaten
26
Semarang. Kegiatan pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten
Semarang sudah dilakukan sebelum ada UPSUS SIWAB. Para pejagal berhasil
diajak melalui proses panjang (2009-2015). Tahap awal dimulai dari sosialisasi
dan himbauan terus menerus ke pejagal, pemasangan spanduk di RPH, terakhir
dilakukan pendekatan hukum dengan menurunkan Tim Yustisia melibatkan Polres
dan Polsek serta Satpol PP Kabupaten Semarang.
3.2.6. Sistem Monev & Pelaporan
Pelaporan pelaksanaan SIWAB utamanya dilakukan oleh pelaksana SIWAB
di lapangan bersama dengan para petugas teknis, seperti: inseminator, PKb, ATR
dan paramedik. Sistem pelaporan perkembangan ternak sapi perah, sudah
berjalan dengan baik, sebelum ada progam UPSUS SIWAB. Pada sapi perah data
tentang perkembangan ternak sangat dibutuhkan untuk perencanaan terkait
dengan pengembangan IB, Kebuntingan, kelahiran, penyakit, pakan dan obat-
obatan dll.
Pelaporan Program Siwab menggunakan iSKHNAS bertujuan untuk
memastikan tingkat keberhasilan program. Sistem yang dianut dalam iSIKHNAS
adalah : (a) menempatkan orang-orang yang bekerja paling dekat dengan hewan
dan para pemiliknya - mereka yang terlibat dalam pelaporan data - pada inti
sistem - dan mereka selayaknya dihargai karena partisipasinya dalam system, (b)
menyempurnakan, mendukung, dan mempermudah pekerjaan orang-orang yang
melaporkan dan bekerja bagi sistem, (c) tidak menambah beban p ekerjaan
normal pengguna manapun, dan sebaliknya, membawa manfaat langsung dan
nyata bagi pekerjaan mereka. (d) memberikan lebih dari yang diambilnya dari
pengguna untuk memastikan setiap pengguna memperoleh manfaat dari sistem
dan (e) memberikan layanan setiap saat kepada berbagai penggunanya dan
layanan ini haruslah tanggap terhadap berubahnya kebutuhan pengguna (WIKI-
iSIKHNAS, 2016).
Setelah ada Program SIWAB, selain digunakan seperti sebelumnya,
iSIKHNAS digunakan untuk memonitoring dan evaluasi UPSUS SIWAB. Oleh
karenanya, ada beberapa perubahan dan tambahan yang dimasukan ke dalam
program iSIKHNAS. Pada UPSUS SIWAB informasi dari iSIKHNAS ini bukan saja
27
untuk memantau kegiatan, tetapi juga digunakan untuk alat yang syah dalam
pembayaran kegiatan di lapangan, seperti upah layanan IB, PKb, Gangrep.
Gambar 3.1. Alur Data dan Informasi dalam Sistem iSIKHNAS, sebelum SIWAB
Setelah ada UPSUS SIWAB 2017, di dalam dokumen Sistem Monev dan
Pelaporan iSIKHNAS lebih dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan
penggunaan data dan informasi. Pada prinsipnya monev dan pelaporan meliputi
unsur-unsur : (a) terpantaunya perkembangan program dan kegiatan secara real
time disetiap jenjang, (b) diupayakan kendala dan permasalahan lapangan dapat
diselesaikan di lapangan dan atau sesuai dengan jenjang pada saat permaslahan
teridentifikasi, dan (c) hasil monev Upsus Siwab ini dipastikan harus diketahui oleh
personil dan/atau penanggungjawab di setiap jenjang sesuai tanggungjawab
penugasan dan wilayah kerja di simpul-simpul operasional kelembagaan Upsus
Siwab secara real time.
Pada garis besarnya kegiatan monev ini ada dua yakni : (a) Monitoring dan
Evaluasi dan (b) pelaporan. Monitoring, evaluasi dan pelaporan sebenarnya ada
28
pada setiap jenis kegiatan yang tertuang dalan Pedum UPSUS SIWAB, misalnya
pada kegiatan pelaksanaan IB, PKb, Ganrep, pengadaan Semen beku dan N2cair,
serta pengadaan pakan konsentrat dan HPT. Untuk kegiatan monitoring dan
evaluasi lebih diarahkan untuk memonitor kegiatan yang sifatnya harian, sehingga
dapat dicapai prinsip monev tersebut yakni: terpantaunya perkembangan program
dan kegiatan secara real time di setiap jenjang, diupayakan agar kendala dan
permasalahan lapangan dapat diselesaikan di lapangan dan atau sesuai dengan
jenjang pada saat permasalahan teridentifikasi, dan tersampaikannya hasil monev
Upsus Siwab kepada para pemangku dan personil dan/atau penanggungjawab di
setiap jenjang. Arus informasi dari hasil monev dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Alur Informasi Kinerja psus Siwab, 2017
Waktu pelaporan dilaksanakan secara bulanan dan dikoordinasikan oleh
penanggunjawab Upsus Siwab di kabupaten/kota. Laporan bulanan yang dikirim
oleh Kabupaten/Kota sebagai bahan analisis tingkat perkembangan atau capaian
Upsus Siwab di kabupaten, provinsi dan nasional untuk mencari bahan
rekomendasi perbaikan Upsus Siwab dalam peningkatan kebuntingan hewan,
dengan menggunakan indikator-indikator kegiatan teknis untuk mengukur
keberhasilan Upsus Siwab. Dengan demikian alur data dan informasi sistem
pelaporan adalah seperti tertera pada Gambar 3.3.
Sistem SIWAB
081290090009
Inseminator
Jmlh akseptor di IB
Jmlh kebuntingan
Jumlh kelahiran
Tim Pokja Pusat
PUSDATIN
Tim Supervisi &
Pendampingan
Tim Pokja Prov.
Tim Pokja
Kab./Kota
29
Gambar 3.3. Alur Pelaporan Capaian Kinerja Kegiatan Upsus Siwab (Sumber: Pedum SIWAB, 2017)
Hasil penelitian di di Provinsi Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten
menunjukkan bahwa penerapan sistem monev dan pelaporan Upsus Siwab bukan
merupakan kegiatan mudah, sehingga pedoman umum sistem monev dan
pelaporan memerlukan penyesuaian-penyesuaian. Penggunaan alat bantu berupa
iSIKHNAS juga tidak dengan serta merta dapat langsung digunakan, diperlukan
tambahan menu yang adapat mengakomodir kebutuhan informasi yang
dibutuhkan pada program Upsus Siwab, yang terkait dengan jenis informasi atau
data, maupun menyangkut kegunaan iSIKHANS itu sendiri. Para pelaksana Upsus
Siwab di daerah menggunakan iSIKHNAS sebagai alat untuk menyampaikan
informasi dalam rangka akselerasi pencapaian target Upsus Siwab dan
perbaikannya, juga data yang dilaporkan melalui iSIKHNAS digunakan untuk dasar
pembayaran kegiatan yang dilakukan di daerah, misalnya untuk pembayaran jasa
Ketua
Pelaksana
Direktur
Jenderal PKH
Provinsi
Petugas
Kab./Kota
Sekretariat Pojka
Dir.
BITPRO
Dir.
Pakan Dir.
Keswan
Dir.
Kesmavet
Dir.
PPHNA
SET.
DITJEN
30
layanan kegiatan IB, PKb dan Ganrep. Semua kegiatan ini bukan merupakan
belanja barang dan jasa akan tetapi biaya operasional kegiatan.
Keberhasilan dan kecepatan sistem monev dan pelaporan antar provinsi
lokasi penelitian sangat beragam. Keberagaman kecepatan penerapan sistem
monev dan pelaporan dipengaruhi oleh: (a) tingkat perkembangan sistem
pemeliharaan ternak sapi itu sendiri, semakin modern sistem pemeliharaan ternak
semakin baik dan cepat penerapan sistem monev dan pelaporan, (b) aksesibilitas
provinsi terhadap pusat sebagai pusat informasi dan berjenjang ke bawahnya;
artinya semakin dekat ibukota provinsi dengan pusat, atau ibukota kabupaten
dengan pusat provinsi, atau kecamatan dengan pusat kabupaten, maka semakin
lancar penerapan sistem monev dan pelaporan.
Sebagai salah satu contoh, di Provinsi Jawa Barat, karena sistem
pemeliharaan ternak sapi lebih didominasi oleh sapi perah yang dikelola secara
profesional oleh koperasi susu, maka sistem monev dan pelaporan menggunakan
iSIKHNAS jauh lebih cepat, karena data dan infomasi dari laporan ini juga sangat
dibutuhkan oleh koperasi untuk perencanaan sistem pengembangan ternak sapi,
mulai dari IB, PKb, Gangrep, kebutuhan pakan dll. Pada provinsi yang
pengembangan ternak masih cenderung ekstensif sistem pemeliharaannya dan
wilayahnya didominasi oleh wilayah yang remote, maka kendala sistem pelaporan
sangat merat. Di Provinsi Aceh dan provinsi lain yang relatif remote, pelaporan
pada awalnya yaitu bulan Januari, Februari, dan Maret masih dilakukan secara
manual (tidak menggunakan sistem ISIKHNAS). Informasi yang dilaporkan adalah
jumlah ternak yang di IB berikut atributnya, dan kegiatan PKb. Laporan ini
disampaikan dalam bentuk hard copy yang diinput dengan menggunakan excel.
Alur laporan manual ini dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Seperti diutarakan di awal, sistem pelaporan Upsus SIWAB juga berfungsi
untuk mengkalkulasi pembayaran jasa tenaga petugas lapang oleh KPA TP di
tingkat provinsi, seperti petugas IB, PKb, ATR, medik dan paramedik (untuk
kegiatan Gangrep). Pelaporan dengan cara manual ini membutuhkan waktu relatif
lama, karena harus mencermati dan merekap satu persatu. Cara ini dilakukan
karena para petugas belum menerima arahan atau sosialisasi tentang sistem
pelaporan yang menggunakan elektronik seperti iSIKHNAS. Pada pertengahan
31
Laporan Petugas Lapang
Rekap Di Kabupaten
Rekap Provinsi NAD
REKAP Pusat
Pembayaran petugas berdasarkan laporan
Penyerahan uang petugas berdasarkan
laporan yg masuk
Keterangan : _______ = Informasi = Pembayaran
Maret 2017, baru dilakukan sosialisasi aplikasi ISIKHNAS kepada mereka, dan
mulai bulan April 2017 sistem laporan baru menggunakan ISIKHNAS.
Gambar 3.4. Arus Informasi pada Sistem Pelaporan dengan Cara Manual, 2017
Penggunaan iSIKHNAS berbeda dengan sistem manual, terutama dalam hal
: (a) kecepatan sampainya informasi tidak secara berjenjang, begitu dientry oleh
para petugas di lapangan informasi tersebut langsung sampai di kangtor pusat
Jakarta (Ditjen PKH), (b) setiap pemangku kepentingan pada level daerah
kabupaten dan provinsi dapat secara langsung mengetahui informasi tersebut,
dan (c) instnasi level kabupaten dapat merekap informasi ini untuk kepentingan
evaluasi perkembangan kagiatan, dan level provinsi dapat langsung merekap
untuk kepentingan pembayaran tenaga lapang dan level nasional dapat merekap
untuk mengetahui perkembangan nasional. Jenis informasi yang dilaporkan pada
ISIKHNAS terkait dengan kegiatan SIWAB hampir sama yakni: jumlah sapi diIB,
jumlah sapi yang bunting, jum lah sapi yang diperiksa kebuntingannya (PKB),
jumlah sapi yang mendapat layanan Gangrep dan jumlah sapi yang melahirkanr.
Arus informasi dari pelapor sampai dengan di Pusat dengan iSIKHNAS dapat
dilihat pada Gambar 3.5.
Di balik kecepatan dan kecanggihan sistem pelaporan dengan
menggunakan iSIKHNAS, pada awalnya mengalami hambatan-hambatan yang
kerap terjadi, seperti : (a) jaringan/sinyal internet dan atau telpon celuler
32
Laporan Petugas Lapang
Rekap Di Kabupaten
Rekap Provinsi
REKAP Pusat
Pembayaran petugas berdasarkan laporan
Penyerahan uang petugas berdasarkan
laporan yg masuk
Keterangan : _______ = Informasi = Pembayaran
terhambat, (b) terbatasnya akses saluran di pusat sehingga tidak ada kejelasan
notifikasi diterima atau ditolaknya upload, kemudian petugas biasanya melakukan
upload ulang sehingga terjadi penumpukan, (c) ketersediaan fasilitas Hand Phone
(HP) para petugas masih terbatas, (d) penguasaan dan adaptasi terhadap
higthtech rendah karena usia para petugas, dan (e) dukungan biaya puklsa tidak
ada. Akibatnya sesekali menyebabkan terjadi dispute data yang berimplikasi
terhadap sistem pembayaran honor para petugas yang tidak sesuai dengan
volume fisik yang dikerjakan.
Gambar 3.5. Arus Informasi pada Sistem Pelaporan dengan iSIKHNAS, 2017
Namun dalam waktu berjalan, ada beberapa perbaikan dan peningkatan
performa internet dan programnya, seperti : (a) pihak pusat melakukan kerjasama
dengan berbagai provider, sehingga tidak tergantung kepada satu provider pada
wilayah yang tidak terjangkau oleh provider tertentu, (b) pihak pusat menambah
saluran akses untuk Upload, dan menambah kapasitas internet, sehingga tidak
terjadi penumpukan Upload, (c) pihak pusat menyediakan alternatf aplikasi bagi
yang tidak memiliki fasilitas android yakni dengan SMS atau dengan aplikasi Hang
Out. Namun ada beberapa yang patut dipikirkan oleh pihak pusat yakni adalah
keseragaman kapasitas infrastruktur (HP) yang berbasis ANDROID, di daerah hal
ini masih menjadi permasalahan yang dihadapi, di samping peningkatan
33
ketrampilan para petugas yang sudah usia lanjut dalam penggunaan High Tech
ini.
3.2.7. Faktor lain
3.2.7.1. Petunjuk Pelaksana dan Petunjuk Teknis
Untuk mendapatkan persepsi yang sama pada kegiatan Upsus Siwab
diterbitkan Buku Pedoman Pelaksana Upsus Siwab. Umumnya buku pedoman
yang diterbitkan pihak pusat masih bersifat umum. Implementasi program di
lapangan sering menghadapi kondisi-kondisi lokal yang perlu modifikasi. Oleh
karenanya, pedoman yang masih bersifat umum dapat dimodifikasi sesuai kondisi
lapangan dengan tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Untuk itu, pihak dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan
hewan di provinsi, sebagai penanggung jawab kegiatan dengan pola pendanaan
TP Provinsi, dapat membuat Petunjuk Pelaksana demi kelancaran dan
keberhasilan Program Upsus Siwab di berbagai daerah. Bahkan jika antar
kabupaten/kota memiliki variasi yang besar, memungkinkan pihak kabupaten/kota
menerbitkan Petunjuk Teknis untuk memudahkan implementasi Program Upsus
Siwab.
Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh telah membuat Buku
Juklak. Namun isinya belum mengakomodir kondisi spesifik Aceh, lebih cenderung
menuangkan apa yang ada dalam pedoman umum menjadi Juklak. Hal itu
dilakukan, karena pihak provinsi beharap kegiatan berjalan dulu. Jika sudah
berjalan baik, kemungkinan akan ada kontens Juklak yang spesifik Aceh. Di
Kabupaten Aceh Besar, sampai 13 Juli 2017 pihak Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Aceh Besar belum memuat Juknis Siwab. Untuk membuat itu perlu
data dukung dari kondisi lapangan di kecamatan. Seharusnya hal itu dilakukan,
namun belum ada respon dari provinsi. Sementara itu, juklak dari provinsi masih
bersifat umum sehingga masih mengambang.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten telah membuat Buku
Juklak UPSUS SIWAB. Berdasarkan Juklak provinsi, Pihak Dinas Peternakan
Kabulaten Lebak membuat Buku Petunjuk Tekis (Juknis) yang dirinci menjadi lebih
detail dibandingkan Juklak yang ada. Juknis yang ada didukung oleh dokumen-
dokumen terkait revisi kegiatan yang terjadi.
34
Di Jawa Barat, Juklak sudah dibuat, namun adanya perubahan-perubahan
berimplikasi terjadi juga revisi Juklak. Secara umum, isi juklah sama dengan
pedoman dari pusat. Ada beberapa pengaturan lebih lanjut sesuai kondisi Jawa
Barat. Pihak pusat menetapkan target akseptor berdasarkan hasil data sensus,
sehingga lokasi Upsus Siwab pada 18 kabupaten/kota. Namun setelah sensus
terjadi pengembangan kabupaten/kota di Jawa Barat, akan tetapi lokasi Upsus
Siwab hanya dilakukan pada 23 kabupaten/kota. Pihak Dinas Perikanan dan
Peternakan Kabupaten Bandung Barat selama ini melakukan kegiatan Upsus Siwab
berpedoman pada Pedoman Umumn dari Ditjen PKH. Disebabkan adanya revisi,
Pihak Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan belum menerbitkan Juklak,
sehingga Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bandung Barat juga belum
menerbitkan juknis.
Untuk mendukung kegiatan Upsus Siwab di daerah Jawa Tengah, pihak
Dinas PKH Jateng sudah membuat Juklak bahkan sudah mengalami dua kali revisi.
Juklak dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: (1) SDM, sarana dan prasarana;
Monev; dan Optimalisasi reproduksi; (2) Gangrep dan Pakan ; dan (3)
Pengendalian pemotongan sapi betina produktif.
Untuk mengimplementasikan Program Upsus Siwab, Pihak Dinas Pertanian,
Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang telah menerbitkan Buku Petunjuk
Teknis pada tahap awal. Namun Pedoman dari pusat sudah mengalami revisi
pertama dan kedua. Sejalan dengan revisi pusat, Juknis di Kabupaten Semarang
belum dilakukan revisi. Isi Juknis relatif sama dengan Juklak Provinsi Jateng dan
Pedoman dari pusat. Beberapa perubahan yang dilakukan terkait kegiatan IB.
Pihak Kabupaten menetapkan jika seekor sapi yang ikut Program Siwab dilakukan
IB hingga dua kali tidak dikenakan biaya, namun untuk IB yang ketiga dikenakan
biaya. Kebijakan ini dilakukan mengingat jatah semen di Kabupaten Semarang
hanya 1,6 unit per ekor (S/C: 1,6). Jika seandainya kinerja S/C bernilai 2, maka
jatah semen menjadi tidak cukup, namun karena kegiatan IB baru dimulai 1 Maret
hingga 15 Desember 2017 maka diperkirakan akan cukup. Walaupun IB dimulai
Maret, laporan untuk Bulan Januari dan Februari tetap ada dari kegiatan yang
sudah ada selama ini dengan biaya petani.
3.2.7.2. Permasalahan Sarana dan Prasarana mendukung UPSUS SIWAB
35
Pada implementasi Program Upsus SIWAB, keberadaan sarana dan
prasarana sangat memegang peran penting dalam pencapaian outcome program
upsus SIWAB. Ada beberapa responden mengungkapkan bahwa keterbasan
sarana sangat menghambat tercapainya target Program Upsus SIWAB.
Keberadaan sarana yang dibutuhkan pada program ini dinilai belum terakomodir
dalam pengadaan DIPAnya.
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan bervariasi dan berbesa antar lokasi,
namun pada intinya sarana tersebut bervariasi terkait dengan kegiatan SIWAB,
seperti :
1. Sarana yang terkait dengan kegiatan IB adalah: kontainer, N2Cair, kandang
jepit, alat transportasi. Untuk kontainer, N2Cair dan kandang jepit terlihat
sudah ada komponen pengadaan dalam DIPA TP Provinsi, namun untuk
beberapa provinsi masih dikeluhkan akan kekurangannya. Sementara itu,
untuk alat transportasi para petugas IB berupa sepeda motor, terutama pada
provinsi yang wilayahnya cukup luas dan kabupatennya remote tidak ada
komponen pengadaan barang pada DIPA TP provinsi.
2. Sarana yang terkait dengan pengadaan dan pengolahan pakan. Pada kegiatan
SIWAB ada komponen pengadaan HPT karena pakan merupakan komponen
penting dalam pengembangan ternak, sehingga ada alokasi komponen
pengadaan pakan baik konsentrat maupun HPT. Dalam pelaksanaannya,
terutama untuk HPT banyak terkendala, terutama terkait dengan
kompatibilitas musim dengan turunnya anggaran DIPA, disisi lain lain
komponen anggarannya boleh dikatakan kurang lengkap atau sasarannya
hanya sampai pengadaan bibit HPT, bukan sampai keberadaan HPT ditingkat
petani. Semestinya karena risiko inkompatibilitas musim dengan turunnya
anggaran sangat tinggi, maka perlu dilengkapi dengan komponen pendukung,
seperti pengadaan irigasi pompa (pompa air) untuk menjamin
keberlangsungan atau keberhasilan pegadaan hijauan pakan ternak. Disi lain,
bagi daerah yang sudah tumbuh kesadaran untuk menanam HPT dan atau
ada daerah yang memiliki limbah industri pertanian, mereka kesulitan untuk
melakukan pengolahan karena ketrampilan dan alat pengolah yang tidak
tersedia. Oleh karena itu, sarana dan prasaran serta kegiatan yang dibutuhkan
36
terkait degnan pengadaan pakan ternak adalah: irigasi pompa (pompa), alat
pengolah pakan (chopper, mixer,dll) serta bimtek tentang cara pengolahan
pakan.
3. Sarana yang terkait dengan sistem pelaporan, dalam pelaksanaan SIWAB
sistem pelaporan merupakan bagian kegiatan penting juga, karena dari hari ke
hari senantiasa dipantau tentang keberhasilan kegiatan SIWAB. Faktanya di
lapangan, terkadang hal ini menjadi hambatan. Ada empat faktor yang
menjadi hambatan dalam sistem pelaporan yakni : (a) ketersedaian sarana
handphone, (c) sinyal internet, dan (d) technological literate para petugas
yang sebagian masih rendah atau isitilah awamnya adalah “Gaptek”, dan (d)
insentif untuk petugas pelapor/atau perekap laporan (disebut “admin”) masih
belum memadai.
Salah satu informasi penting yang diperoleh dari kajian ini adalah adanya
persepsi bahwa pengadaan barang melalui belanja modal tidak mungkin
dilaksanakan dan dipergunakan oleh peternak dan petugas non PNS di lapangan,
sehingga harapan untuk memperoleh fasilitas sarana untuk mendukung
keberhasilan SIWAB menjadi sirna. Namun, hasil review legislasi mengenai
kemungkinan pengadaan sarana dan prasana yang penggunanya dilakukan oleh
petani/peternak dan petugas non PNS dalam mencapai tujuan program SIWAB
sangat memungkinkan untuk diadakan. Pada PP No. 27 Tahun 2014, adalah
memungkinkan Barang Milik Negara (BMN) digunakan dan atau dihibahkan
kepada masyarakat/kelompok masyarakat/lembaga swasta/pendidikan dll. Diduga
hal ini yang menjadi landasan pada penyerahan bantuan hibah traktor/pompa
kepada petani/kelompok tani pada program UPSUS PAJALE.
Pada Bab IX, PP No.27 Tahun 2014, tentang “Pemindahtangan” Barang
Milik Negara. Pada bagian kesatu Umum Pasal 54 ayat 1 dan 2 menyebutkan
bahwa barang negara/daerah yang tidak diperlukan bagi penyelenggaraan tugas
pemerintah negara/daerah dapat dipindahtangankan dengan cara: penjualan,
tukar-menukar, hibah dan penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.
Selanjutnya pada bagian kelima tentang “hibah” Pasal 68 ayat 1 dan 2
menyatakan hibah barang milik negara bisa dilakukan untuk kepentingan sosial,
budaya, keagamaan, kemanusiaan, pendidikan non komersial dan penyelenggaran
37
pemerintahan pusat/daerah. Dan pada Pasal 69 barang yang dipindahtangankan
dapat berupa: (a) tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengelola barang.
(b) tanah dan/atau bangunan dan yang ada pada pengguna barang, dan (c)
selain tanah dan/atau bangunan.
Menurut Pasal 69 ayat 5 bahwa yang melaksanakan hibah adalah: (a)
pengelola barang, untuk barang milik negara yang berada pada pengelola parang,
(b) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang, untuk
barang milik negara yang berada pada pengguna barang dan (c) pengguna
barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk barang
Milik Daerah.
Cara menyerahkan barang, sesuai dengan Pasal 70 ayat 2 bahwa hibah
barang milik Negara dilaksanakan dengan cara: (a) pengguna barang mengajukan
usul Hibah kepada pengelola barang disertai dengan pertimbangan, kelengkapan
data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang, (b) pengelola
barang meneliti dan mengkaji usul hibah barang milik Negara berdasarkan
pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, (c) apabila
memenuhui syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui usul hibah yang
diajukan oleh pengguna barang sesuai batas kewenangannya, (d) pengguna
barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola
barang, dan (e) pelaksanaan serah terima yang dihibahkan harus dituangkan
dalam berita acara serah terima barang.
3.2.7.3. Pengaruh Peleburan Satker di Daerah
a. Tinjauan Legislasi Terkait SOTK
Sejalan dengan perubahan lingkungan strategis yang menyebabkan posisi
Negara Indonesia tidak beranjak dengan cepat dalam pencapaian pembangunan
ekonomi, maka Indonesia bertekad untuk melakukan perubahan mendasar dalam
pengelolaan dan penyelenggaraan Negara. Harapannya, sumberdaya yang ada,
kondisi lingkungan strategis yang dinamis dengan perubahan mendasar tersebut
dapat dicapai suatu output pembangunan dan kondisi Negara Indonesia yang
melompat dari bussines as usual ke hasil pembangunan yang spektakuler agar
dapat mencapai kesejajaran dengan negara-negara lain di dunia. Perubahan
38
mendasar tersebut di canangkan dalam PERPRES No. 18 Tahun 2010 yaitu
mencanangkan tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Di dalam Perpres tersebut, perubahan terjadi pada bidang politik, hukum,
ekonomi dan birokrasi. Proses perubahan birokrasi harus dilaksanakan secara
cermat dengan terobosan baru (innovation breakthrough), berpikir di luar
kebiasaan (out of the boxes), perubahan paradigm (a new paradigm shift) dan di
luar kebiasaan (business not as usual). Perubahan ini akan terkait erat dengan
masalah menyelenggaran pemerintahan yang overlapping antar fungsi-fungsi
pemerintah, terkait dengan masalah jutaan pegawai, sehingga langkah-langkah
birokrasi harus bertahap, konkrit, dan sungguh-sungguh.
Tujuan utama dari perubahan birokrasi adalah terciptanya penyelenggaraan
Negara yang efisien, pemerintah yang baik baik, bersih dan bebas korupsi serta
SDM yang professional yang berbasis kompetensi, transparansi. Untuk mencapai
tujuan tersebut, sejalan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014,
mengamanatkan terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dan Daerah
untuk melakukan perubahan Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK). Dalam
pelaksanaannya perubahan SOTK menjadi beragam antar daerah, karena
disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah terkait dengan masalah urusan
pemerintah yang bersifat wajib dan urusan yang bersifat pilihan. Bagi Pemerintah
Daerah Urusan Pilihan bisa menjadi wajib manakala memiliki potensi sektor
tertentu, maka penyelenggaran sektor tertentu tersebut bisa menjadi urusan
Pemerintah Daerah yang wajib.
Namun dalam Pasal Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014 bahwa urusan wajib
bagi pemerintah daerah yang tidak terkait pelayanan dasar adalah “Pangan”,
sementara dalam berdasarkan UU tersebut di atur bahwa dalam pemberian
nomenklatur Dinas dan Badan salah satu bidang yang ditetapkan adalah Bidang
“Pertanian” yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan darat, kelautan
dan perikanan, perkebunan dan kehutanan. Perumpunan urusan yang di bawahi
dalam bentuk badan, kantor, inspektorat dan rumah sakit salah satunya adalah
urusan “bidang ketahanan pangan”.
Dengan demikian pakta di daerah, pemberian dan penggabungan
nomenklatur perkantoran/dinas menjadi rancu dan beragam antar daerah. Ada
39
yang menggabungkan Dinas Pertanian dan Peternakan, ada juga yang
menggabungkan Dinas Pangan dan Peternakan, disisi lain ada juga Dinas
Perikanan terpisah atau bergabung dengan Ketahanan Pangan.
b. Pelaksanaan SIWAB dalam Kondisi Perubahan SOTK
Perubahan SOTK adalah suatu perubahan yang sudah menjadi
keniscayaan, sesuai dengan Perpres 18 Tahun 2010 Tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi dan UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Namun demikian program-program teknis yang dirancang dari pusat memiliki
format yang sama (Uniform) untuk semua daerah, kecuali sasaran yang
disesuaikan dengan kondisi daerah. Di sisi lain implikasi dari peraturan perubahan
SOTK di daerah berbeda-beda antar daerah, sangat terngantung kepada : (a)
share terhadap pendapatan daerah, semakin tinggi suatu sektor atau subsektor
terhadap share pendapatan daerah maka akan semakin memiliki posisi tawar
untuk lembaganya tetap eksis, (b) eksperties kepala lembaga atau satker,
misalnya jika pimpinan Dinas Pertanian dan Peternakan dipimpin oleh ekpsperties
peternakan, maka paling tidak subsektor peternakan di daerah tersebut masih
diperhatikan.
Perubahan satker yang terkait dengan peternakan di daerah sangat
beragam ada yang masih memiliki Dinas Peternakan, ada yang bergabung di
bawah tanaman Pangan dan ada juga yang bergabung dengan Badan Ketahan
Pangan. Masalahnya bagainama mensikapi hal tersebut, ditengah-tengah beban
pekerjaan yang semakin berat disatu sisi kapasitas dan jumlah SDM semakin
terbatas dengan adanya SOTK. Pelajaran yang dapat diambil dari kasus hasil
kunjungan ke Ogan Komering Ilir yang merupakan kegiatan monev dari Ditjen
PKH bahwa untuk mensiasati permasalahan SOTK adalah mengoptimalkan peran
kelembagaan non struktural yang terkait dengan kegiatan struktural.
Misalnya sebagai pelajaran (Leason Learn) hasil evalusi SIWAB di Sumatera
Selatan adalah sebagai berikut :
“Evaluasi kegiatan SIWAB di Sumatera Selatan dilaksanakan dengan cara
dialog dan diskusi antara tim dengan para pemangku kegiatan SIWAB di Provinsi
Sumatera Selatan dan dua contoh kabupaten yang mewakili pelaksanaan SIWAB
relatif berhasil (proporsi realisasinya lebih tinggi, bisa mencapai 100%) dan
40
kabupaten yang kurang berhasil (proporsi realisasinya relatif rendah, kurang dari
20%).
Fakta yang dihadapi oleh provinsi Sumatera Selatan adalah bahwa realisasi
IB antar kabupaten cukup variasi antara 5 -113%, kegiatan PKb dan penyerapan
anggaran juga masih rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah :
a. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan SOTK menyebabkan terjadinya down
grade eselon dari Kepala Dinas menjadi Kepala Bidang, sehingga menyebabkan
tertumpuknya beban kerja, karena beban kerja sebelumnya ditangani oleh
sekitar 3-4 Bidang menjadi hanya oleh 2 bidang, dengan demikian beban kerja
Kepala Bidang menjadi sebagai: Kepala Adminsitratur, sebagai PPK dan
bertanggungjawab pengawasan kegiatan.
b. Lambatnya penyerapan anggaran, tampak lebih banyak disebabkan oleh
pertama terpusatnya mekanisme pengadaan barang dan jasa oleh lembaga
pengadaan daerah (ULP Pemerintah Daerah) dan kedua diduga adanya “gagal
paham” tentang penerapan peraturan bahwa pihak ketiga dari pengadaan
barang harus memiliki ISO tertentu, padahal di dalam aturan Perpres tidak
disebutkan secara ekplisit tentang persyaratan tersebut. Hanya saja adanya ISO
tertentu adalah menjadi syarat kualitas untuk masuk ke dalam e-katalog produk
tertentu, misalnya: semen beku atau produk barang dan jasa lainnya.
c. Adanya ketimpangan SDM pelaksana SIWAB seperti untuk petugas IB, PKb dan
ATR dengan jumlah akseptor IB dan luas wilayah, sehingga terjadi variasi yang
tinggi dalam pencapaian realisasi IB, PKb dan ATR,
Rekomendasi penanganan dan pemecahan masalah level Provinsi tersebut
adalah :
a. Perubahan SOTK adalah keniscayaan (given), maka disarankan upaya yang
dilakukan adalah mengoptimalkan SDM yang ada dengan cara melakukan
delegasi dan pembagian tugas kepada staf yang lebih rendah dengan
melakukan memberian arahan-arahan dan membuat petunjuk pelaksanaan
(guidances) yang lebih rinci dan jelas. Sebagai salah satu contoh sistem
delegasi dan pembagian tugas yang efektif di Kabupaten OKI adalah
membentuk dan memanfaatkan organisasi “Paguyuban Inseminator” yang
digerakan secara prinsip KOPERASI, sehingga pelaksanaan tugas-tugas yang
41
terkait dengan SIWAB, khususnya adalah pelaksanaan IB. PKb dan ATR sangat
membantu para pelaksana Dinas Kabupaten OKI dan hasilnya untuk di OKI
sangat nyata baik.
b. Melakukan rechecking terhadap peraturan-peraturan yang diterapkan di ULP
tentang pensyaratan harus adanya ISO tertentu pada calon peserta lelang
dengan cross-cheking terhadap Perpres terbaru No. 4 Tahun 2015 sebagai
Revisi dari Perpres 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa dan
juga disandingkan dengan pencermatan peraturan yang mengatur tentang
persyaratan untuk masuk e-kalatog.
c. Melakukan optimalisasi pelatihan SDM sesuai dengan kebutuhan dan lokasi dan
melakukan akselerasi pemberian sertifikat teknis melalui bimtek terutama
kepada para calon teknisi yang mandiri atau non PNS di wilayah masing-
masing, di samping itu juga menyeimbangkan fokus kegiatan antara PAJALE
dan SIWAB melalui koordinasi dan rapat teknis terutama pada level
manajemen, untuk level teknis diyakini akan berbeda petugas PAJALE dan
SIWAB.
d. Penyebaran jumlah SDM dan kapasitasnya yang tidak merata antar daerah
tingkat Kabupaten, maka disarankan untuk melaksanakan langkah-langkah
praktis dan strategis yakni dengan cara mengalokasikan kesempatan dan
anggaran untuk rekruitmen dan peningkatan kapasitas SDM melalui BIMTEK
tidak hanya berdasarkan sebaran akseptor sapi/kerbau akan tetapi juga
dipertimbangkan kondisi geografis masing-masing kabupaten, dan juga
mempertimbangkan variasi kelemahan atau kebutuhan jenis BIMTEK menurut
variasi permasalahan di Kabupaten.
3.2.8. Perkiraan Dampak Ekonomi Program Upsus Siwab
Program Upsus Siwab tentu diharapkan memberikan dampak positif
terhadap perekonomian nasional. Dampak tersebut dapat berupa dampak
langsung dan tidak langsung. Selain itu, program ini juga dapat memberikan
dampak positif dari aspek non ekonomi.
3.2.8.1. Dampak Ekonomi Langsung
Kegiatan Upsus Siwab diharapkan mampu mengefektifkan mesin produksi
biologis berupa induk sapi untuk menghasilkan anak sapi (pedet). Perbaikan mesin
42
biologis yang dilakukan secara teknis dan manajemen dapat meningkatkan
produktivitas sapi induk, antara lain dengan mengurangi gangguan reproduksi,
mengurangi S/C, meningkatkan angka kebuntingan, meningkatkan angka
kelahiran sapi hidup dan memperpendek jarak melahirkan induk sapi. Dampak
ekonomi dari perbaikan tersebut adalah produksi pedet per tahun akan
meningkat. Berdasarkan informasi dari peternak dan pedagang sapi dapat
diketahui pada umur berapa sapi yang dimilikinya dijual dan berapa harga pasar
pada saat umur jual tersebut.
Berdasarkan data real time tentang jumlah sapi yang dikawinkan, jumlah
sapi bunting dan jumlah sapi melahirkan dapat diketahui produksi pedet akibat
Program Upsus Siwab. Untuk mendekati fakta yang ada, data tersebut perlu
dikoreksi, karena sebagian sapi yang lahir dimana kebuntingannya sudah terjadi
sebelum dicanangkan Upsus Siwab berajalan dan ada ada juga sapi induk yang
melahirkan bukan merupakan sapi yang tersentuh kegiatan Upsus Siwab.
Di Provinsi Aceh, sejauh ini keberadaan program Upsus Siwab belum
terlihat dampaknya tehadap perekonomian pedesaan. Namun secara perhitungan
akan berdampak positif bagi peternak peserta kegiatan Upsus Siwab dari nilai jual
sapi yang dihasilkan. Dalam jangka panjang jika populasi meningkat maka
permintaan terhadap pakan konsentrat meningkat maka akan membangkitkan
industri pakan. Petugas IB sejak tahun 2016 ke awal 2017 hingga akhir 2017
diperkirakan jumlahnya akan meningkat. Petugas baru tersebut awalnya berlatih
dari teman inseminator, ada juga yang dilatih melalui program pemerintah namun
jumlahnya terbatas. Profesi inseminator dapat dijadikan peluang lapangan kerja.
Di Provinsi Banten dan beberapa daerah lain, sebelum Upsus Swab untuk
jasa layanan IB sebesar Rp100.000 – Rp150.000. Setelah ada Upsus Siwab
menjadi Rp30.000 per kali layanan. Hal ini tentu mengurangi pendapatan petugas
IB. Di kabupaten Lebak, sampai saat ini kegiatan Upsus Siwab belum memberikan
dampak ekonomi. Hal itu dapat terjadi karena masih rendahnya kegiatan IB akibat
populasi sapi dan kerbau yang rendah dan pola pengusahaan yang ekstensif.
Di Jawa Barat kegiatan IB sudah merupakan kegiatan rutin. Sebelum ada
Upsus Siwab, sapi sudah dikawinkan dengan IB dan akan bunting juga. Hanya
saja dengan Upsus Siwab diyakini akan menambah dan mempercepat akseptor
43
yang belum teridentifikasi menjadi teridentifikasi. Secara logika dengan
percepatan tersebut ada peningkatan pelayanan IB sehingga angka kebuntingan
dan kelahiran meningkat dan memberi dampak ekonomi bagi peternak serta
daerah. Adanya kegiatan Upsus Siwab dapat menyebabkan jarak beranak makin
pendek dan angka kebuntingan lebih tinggi. Kondisi demikian memberikan
dampak ekonomi pada usaha peternakan. Namun hal itu saat ini belum dapat
terlihat, kesempata kerja bagi petugas teknis baru juga tidak ada, karena kegiatan
Bimtek dilakukan untuk tenaga yang sudah ada.
Di Provinsi Jawa Tengah, minat peternak mengikuti kegiatan Upsus Siwab
sangat tinggi karena kegiatan IB, PKb, penanganan gangrep dan pakan diberikan
secara gratis. Bahkan ternak kerbau yang biasanya menggunakan kawin alam,
peternak meninginkan kerbau miliknya untuk di kawinkan dengan cara IB.
Dampaknya, sebelum ada Upsus Siwab jumlah inseminator di Jawa Tengah 830
orang, setelah ada program meningkat menjadi 907 orang. Ini berati ada
peningkatan kesempatan kerja baru.
Penerimaan petugas IB di Jawa Tengah saat swadaya sebesar
Rp50.000/aplikasi, setelah dikurangi biaya straw dan operasional lainya diperkiran
penerimaan bersih Rp35.000/aplikasi. Saat program Siwab petugas diberi insetif
Rp30.000/aplikasi. Bagi tenaga inseminator yang tidak dapat izin, dengan kegiatan
IB kepada sapi peternak, maka peternak mengalihkan mengawinkan sapi melalui
IB ke kegiatan Siwab. Akibatnya ruang gerak petugas yang tidak terdaftar makin
terbatas. Pada mereka diberikan kesempatan untuk bergabung ke petugas yang
mendapat legalitas dari pemerintah kabupaten/kota.
3.2.8.2. Dampak Ekonomi Tak Langsung
Program Upsus Siwab berpotensi menciptakan bisnis baru atau setidaknya
meningkatkan pergerakan ekonomi mendukung kegiatan yang terkait dengan
program. Selain itu, Upsus Siwab memberi manfaat non ekonomi. Diduga dengan
adanya program ini, manfaat yang dapat diperoleh adalah: (i) membangun pola
kerja maksimal dan terukur pada kegiatan IB, PKb, penanganan gangrep dan
tingkat kelahiran serta pertumbuhan populasi ternak sapi dan kerbau; (ii)
memperbaiki sistem pelaporan pelaksanaan IB, PKb, gangrep, kelahiran dan
pertumbuhan serta sebaran populasi; (iii) memperbaiki unit organisasi pelaksana
44
teknis di lapangan baik dalam wadah Puskeswan; (iv) mengedukasi peternak
terkait kegiatan IB: pengamatan sapi berahi, pelaporan kepada petugas,
pemberian pakan pada induk sapi, dan pencatatan; dan (v) pemetaan distribusi
semen berdasarkan ras sapi.
Keberadaan Upsus Siwab di Aceh dan daerah lain membutuhkan banyak
input dibandingkan kondisi sebelumnya. Namun di Aceh, penyedia jasa dan
barang baru tidak terlihat muncul, hanya saja terjadi peningatan volume kegiatan
dari penyedia jasa dan barang tersebut. Seperti distribusi barang dilakukan melalui
jasa ekspedisi yang sudah ada, namun kegiatannya meningkat. Di Jawa Barat,
sebagai daerah pola pengusahaan intensif dengan ketersediaan lahan untuk HPT
terbatas, belum muncul usaha baru seperti bisnis pakan hijauan dan konsentrat.
Apalagi pakan konsentrat yang diberikan pada sapi yang mengalami gangrep
hanya ditargetkan untuk 300 ekor masih relatif kecil.
Seperti di lokasi lain, di Jawa Tengah dan khususnya di Kabupaten
Semarang, bisnis baru di pedesaan belum terlihat muncul, namun dengan adanya
berbagai pengadaan barang mendukung program Upsus Siwab melibatkan banyak
pihak ketiga. Produk utama yang banyak diperdagangkan melalui pihak ketiga
adalah pengadaan semen, N2 cair, pakan, sarana dan prasarana inseminasi
buatan.
45
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Berdasarkan uraian yang telah diutarakan sebelumnya, dapat ditarik
beberapa butir kesimpulan dan implikasi kebijakan sebagai berikut.
4.1. Kesimpulan
4.1.1. Konsep Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting
Pedoman Pelaksanaan kegiatan UPSUS SIWAB 2017 telah dilakukan
berdasarkan konsep teoritis untuk mendukung terjadinya proses kebuntingan sapi
melalui kegiatan: (1) Penetapan Status Reproduksi dan Penanganan Gangguan
Reproduksi; (2) Penyediaan Semen Beku, Tenaga Teknis, dan Sarana IB serta
Pelaksanaan IB; (3) Distribusi dan Ketersediaan Semen Beku, N2 Cair, dan
Kontainer; dan (4) Pemenuhan Hijauan Pakan Ternak dan Pakan Konsentrat.
Konsep operasional yang merupakan pedoman kerja di lapangan dengan
beragam variasi dinilai masih belum sepenuhnya didukung dengan kondisi nyata.
Akibatnya beberapa pedoman dan petunjuk mengalami revisi di tingkat pusat dan
berimplikasi pada revisi di berbagai daerah yang menyebabkan beberapa kegiatan
mengalami keterlambatan.
4.1.2. Kinerja Implementasi Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting
Implementasi Kegiatan Upsus Siwab berbasis konsep operasional yang
belum sepenuhnya didukung kondisi lapangan menyebabkan beberapa kegiatan
mengalami ketidaksesuaian dan memerlukan revisi. Hal itu hampir terjadi pada
semua kegiatan. Namun demikian, dinamika kegiatan yang dicirikan dengan
berbagai revisi terus mendorong pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana
pencapaian output dan outcome Upsus Siwab 2017.
Kinerja implementasi Upsus Siwab tidak hanya dipengaruhi faktor teknis,
tetapi juga faktor administrasi keuangan dan organisasi. Dalam pembuatan Juklak
dan Juknis di tingkat provinsi dan kabupaten masih ada juklah yang hanya
merujuk pada pedoman umum dan masih ada yang belum membuat Juknis.
Pertimbangan itu dilakukan karena masih terjadi perubahan (revisi) dan
mempelajari kegiatan sambil berjalan untuk mendapatkan hal-hal yang
menggambarkan spesifik lokasi. Pada sisi lain, ada lokasi sudah membuat Juklak
dan Juknis dengan memasukkan kondisi spesifik lokasi.
46
Keberadaan sarana yang dibutuhkan pada Upsus Siwab dinilai belum
terakomodir dalam pengadaan DIPA. Hal ini diduga disebabkan masih ada
persepsi bahwa pengadaan barang melalui belanja modal tidak mungkin
dilaksanakan dan dipergunakan oleh peternak dan petugas non PNS di lapangan.
Padahal hal itu secara peraturan masih memungkinkan seperti yang dilakukan
pada UPSUS PAJALE.
Pelaksanaan Upsus Siwab dalam Kondisi Perubahan SOTK dampak berbeda
sesuai perubahan yang terjadi. Namun pada dasarnya, Program-program teknis
yang dirancang dari pusat memiliki format yang sama (Uniform) untuk semua
daerah, kecuali sasaran yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Perubahan
satker yang terkait dengan peternakan di daerah sangat beragam ada yang masih
memiliki Dinas Peternakan, dan ada yang bergabung. Akibatnya beban pekerjaan
yang semakin berat disatu sisi kapasitas dan jumlah SDM semakin terbatas,
sehingga akan berdampak pada kecepatan pelaksanaan Upsus Siwab.
4.1.3. Perkiraan Dampak Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting
Kegiatan Upsus Siwab diharapkan dapat meningkatkan kinerja reproduksi
sapi indukan sehingga produktivitasnya meningkat dan secara ekonomi akan
menguntungkan petani, namun dalam kajian ini belum dapat dilihat secara nyata.
Sejauh ini, keberadaan Upsus Siwab juga memperlihatkan dampaknya terhadap
perekonomian pedesaan.
Pada beberapa daerah, dampak yang sudah terlihat adalah meningkatkan
kesempatan kerja bagi petugas inseminator. Namun pada daerah tertentu, tidak
melibatkan petugas baru tetapi hanya melakukan kegiatan Bimtek untuk tenaga
yang sudah ada. Selain itu, terjadi peningkatan kegiatan dari penyedia jasa dan
sara mendukung Upsus Siwab, seperti: distribusi barang dilakukan melalui jasa
ekspedisi yang sudah ada, namun kegiatannya meningkat.
Bagi petugas teknis Upsus Siwab memberi dampak yang bervariasi untuk
tiap daerah terhadap pendapatan. Ada petugas yang mengalami penurunan,
tetap, dan ada juga yang mengalami peningkatan pendapatan.
Selain dampak ekonomi, dampak non ekonomi Upsus Siwab adalah: (i)
membangun pola kerja maksimal dan terukur pada kegiatan IB, PKb, penanganan
gangrep dan tingkat kelahiran serta pertumbuhan populasi ternak sapi dan
47
kerbau; (ii) memperbaiki sistem pelaporan pelaksanaan IB, PKb, gangrep,
kelahiran dan pertumbuhan serta sebaran populasi; (iii) memperbaiki unit
organisasi pelaksana teknis di lapangan baik dalam wadah Puskeswan; (iv)
mengedukasi peternak terkait kegiatan IB: pengamatan sapi berahi, pelaporan
kepada petugas, pemberian pakan pada induk sapi, dan pencatatan; dan (v)
pemetaan distribusi semen berdasarkan ras sapi.
4.2. Implikasi Kebijakan
4.2.1. Konsep Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting
Selama ini peningkatan populasi kerbau di Indonesia relatif lambat.
Kegiatan UPSUS SIWAB yang dimulai tahun 2017 dapat dijadikan peluang bagi
Ditjen PKH dan Dinas yang wilayahnya masih berpotensi, seperti Aceh dan banten,
meningkatkan populasi kerbau untuk melakukan akselerasi introduksi kegiatan IB
pada ternak kerbau. Selain itu, keterlibatan ternak kerbau dalam kegiatan UPSUS
SIWAB dapat mendukung capaian target output dan outcome UPSUS SIWAB.
Penetapan sapi indukan yang bunting dari akseptor yang dikawinkan
dengan cara iseminasi buatan sebaiknya tidak dilakukan secara top down dan
seragam antar kabupaten dalam satu provinsi seperti yang dilakukan pada Pedum.
Faktanya, tiap kabupaten memiliki potensi SDM dan kondisi geografis yang
beragam. Oleh karenanya target pencapaian outcome berupa sapi bunting pada
tiap kabupaten/kota dalam satu provinsi, disesuaikan dengan potensi SDM dan
geografis masing-masing daerah. Disamping itu, perlu juga arah kebijakan untuk
mempercepat pencapaian kebuntingan yang tinggi.
Selama ini kelembagaan petugas IB berupa paguyuban atau asosiasi
inseminator sudah terbentuk di berbagai daerah. Sebaiknya dalam merancang
konsep operasional kegiatan UPSUS SIWAB melibatkan dan memberdayaan
kelembagaan ini, karena pada berbagai daerah dimana tenaga inseminator
merupakan tenaga swadaya (private) profesional. Kebijakan-kebijakan dalam
kegiatan UPSUS SIWAB, seperti penentuan besaran insentif IB dan PKb pada
berbagai pola pengusahaan (daerah intensif, semi intensif dan ekstensif)
menjaring informasi dari paguyuban atau asosiasi inseminator.
Pendanaan kegiatan UPSUS SIWAB 2017 merupakan dana APBN TP-
Provinsi. Karena kegiatan ini dilakukan pada seluruh kabupaten/kota maka
48
administrasi keuangan terkonsentrasi di provinsi. Hal itu dikeluhkan pihak Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan (yang membidangi) provinsi sangat
memberatkan. Jika memungkin sebagian dana, utamanya dana operasional
petugas yang merupakan petugas kabupaten/kota direlokasi ke Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan (yang membidangi) kabupaten/kota.
4.2.2. Kinerja Implementasi Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting
Kegiatan penanganan gangguan reproduksi, inseminasi buatan dan
pemeriksaan kebuntingan pada sapi indukan membutuhkan layanan jasa tenaga
ahli dari inseminator, pemeriksa kebuntingan, paramedik reproduksi dan medik
reproduksi. Sejauh ini, kegiatan tersebut belum bisa dilakukan secara langsung
oleh peternak. Kalaupun ada, seperti kasus di Kabupaten Lebak Provinsi Banten,
ketua kelompok tani ternak sudah dilatih melakukan inseminasi buatan, namun
dalam prakteknya masih didampingi oleh petugas inseminator ahli. Berdasarkan
fakta itu, dua kegiatan ini masih merupakan kegiatan utama dalam UPSUS SIWAB
dan sebaiknya terus dilanjutkan dengan meningkatkan dukungan fasilitas teknis,
Bimtek SDM dan kelembagaan petugas teknis, serta insentif petugas.
Penyediaan dan distribusi pakan HPT dan konsentrat tidak membutuhkan
keahlian khusus seperti halnya kegiatan penanganan gangguan reproduksi, IB dan
PKb. Petugas dapat memberikan bimbingan teknis tentang cara penanaman HPT
atau formula pakan konsentrat. Berbekal bimbingan petugas dan pengetahuan
yang ada selama ini, peternak dapat menyediakan sendiri secara langsung, sesuai
kebutuhan. Selain petugas teknis di lapangan, UPT, UPTD dan BPTP dapat
mendukung peternak dalam pendampingan dan penyediaan benih/bibit HPT dan
teknologi.
Pada kondisi normal, kegiatan Bimtek IB, PKb, dan ATR dilakukan pada UPT
yang memiliki tupoksi tersebut, seperti B/BIB Nasional dan BIBD. Pada kondisi
khusus untuk mendukung UPSUS SIWAB, percepatan Bimtek kegiatan IB, PKb dan
ATR secara teknis dapat dilakukan oleh UPT non-tupoksi, seperti BPTU-HPT. UPT
non-tupoksi tersebut memiliki tenaga dan fasilitas yang mendukung. Untuk
mendukung aspek legalitasnya, kegiatan Bimtek di lokasi UPT non-tupoksi tetap
melibatkan pengawasan dari UPT yang memiliki tupoksi Bimtek.
49
Pada berbagai daerah dimana pemotongan sapi betina produktif sudah
berlangsung lama dengan berbagai alasan sangat sulit dikendalikan. Dinas
Peternakan Kabupaten Semarang Jawa Tengah saat ini sudah berhasil melakukan
pengendalian pemotongan sapi betina produktif. Upaya tersebut dilakukan sudah
sejak lama sebelum UPSUS SIWAB dan dilakukan secara bertahap dengan cara
persuasif dengan minimal sentuhan aparat telah dapat menurunkan pemotongan
sapi betina produktif. Namun demikian perlu pengamatan lebih jauh, apakah
keberhasilan tersebut hanya mengalihkan pemotongan dari rumah potong hewan
(RPH) yang diawasi petugas ke tempat pemotongan hewan (TPH)m yang tidak
diawasi petugas. Berarti syarat harus keberhasilan pengendalian pemotongan sapi
betina produktif adalah melarang keberadaan TPH.
Perlu perbaikan mendukung sistem iSIKHNAS, yakni adalah keseragaman
kapasitas infrastruktur (HP) yang berbasis ANDROID, peningkatan ketrampilan
para petugas yang sudah usia lanjut dalam penggunaan High Tech ini, perbaikan
tampilan iSKHNAS sehingga mudah pemanfaatannya misal untuk melihat nilai S/C
dan data real time tiap saat tanpa tambahan olah data secara manual dan
menambah kapasitas.
Untuk mendukung pengadaan sarana dan prasarana Upsus Siwab yang
selama ini belum diakomodasi dana DIPA, perlu melakukan pendalaman
pemahaman terkait pengadaan barang melalui belanja modal yang dapat
digunakan oleh peternak dan petugas non PNS di lapangan. Hal itu dapat
dipelajari dari UPSUS PAJALE.
Perubahan SOTK diikuti dengan mengoptimalkan SDM yang ada dengan
cara melakukan delegasi dan pembagian tugas kepada staf di lapangan
(Puskeswan) dan melibatkan Asosiasi Inseminator. Selanjutnya kepada mereka
diberikan arahan dan petunjuk pelaksanaan (guidances) yang lebih rinci dan jelas.
4.2.3. Perkiraan Dampak Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting
Sebelum UPSUS SIWAB dideklarasi tahun 2017, Ditjen PKH memiliki
berbagai kegiatan, diantaranya pengembangan ternak lokal. Agar upaya yang
sudah dilakukan tersebut sinergis dengan UPSUS SIWAB yang menggunakan
perkawinan cara IB dengan semen beku dari ras tertentu, maka sebaiknya instansi
yang memproduksi semen beku dapat memanfaatkan peluang pasar ini dengan
50
memproduksi semen sapi dan kerbau lolal tersebut untuk kebutuhan daerah
sumber bibit ternak lokal.
Demikian juga dengan kegiatan penjaringan sapi bibit dan calon pejantan
melalui uji performans, sebaiknya disinergiskan dengan hasil kelahiran pedet dari
UPSUS SIWAB. Diharapkan calon induk dan calon pejantan yang terjaring secara
teknis dapat dijadikan bibit dasar untuk dikembangkan pada kelompok tani ternak
dan balai pembibitan yang berada pada UPT pusat dan daerah.
Beberapa BIBD sudah memiliki ISO dan e-katalog. Momen UPSUS SIWAB
ini hendaknya dijadikan dorongan bagi BIBD meningkatkan kualitas semen beku
yang diproduksi sesuai SNI, ISO dan didaftarkan pada e-katalog sehingga bisa
berkontribusi sebagai penyedia semen beku yang dibutuhkan oleh berbagai
daerah dan daerah-daerah khusus utamanya untuk memproduksi semen sapi dan
kerbau lokal.
51
DAFTAR PUSTAKA Ashari, N Ilham, S Nuryanti. 2012. Dinamika Program Swasembada Daging Sapi:
Reorientasi Konsepsi dan Implementasi. AKP, 10(2): 181-198.
Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Laporan Pelaksanaan Kegiatan. Balai Veteriner Bukittinggi, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Bukit
Tinggi.
Ball PJH, AR Peters. 2004. Reproduction in Cattle. Third Edition. Balckwell Publishing, United Kingdom.
Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Laporan Pelaksanaan Kegiatan. Balai Veteriner Bukittinggi, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Bukit
Tinggi.
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. 2006. Profil Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah Jawa Timur. Kerjasama Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
dengan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Surabaya.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2017. Operasionalisasi Upsus Siwab. Ditjen PKH, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2017. Sistem Monev dan
Pelaporan UPSUS SIWAB 2017. Jakarta.
Dyer TG. 2012. Reproductive Management of Commercial Beef Cows. UGA Cooperative Extension Bulletin 864: 1-7. http://
extension.uga.edu/publiccations/files/pdf. (Diunduh 22 Maret 2017).
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ilham N, Saptana, A Purwoto, Y Supriyatna, T Nurasa. 2015. Kajian Pengembangan Industri Peternakan Mendukung Peningkatan Produksi Daging. Pusat Sosial ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang
Pertanian Kementerian Pertanian, Bogor.
Kementerian Pertanian. 2016. Grand Design Lumbung Pangan Dunia (Roadmap Pengembangan Komoditas Strategis 2016-2045). Kementerian Pertanian,
Jakarta.
Nurjanah T, M Hartono, S Suharyati. 2014. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Angka Kebuntingan (Conception Rate) pada Sapi Potong setelah Dilakukan Sinkronisasi Estrus di Kabupaten Pringsewu. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu (JIPT), 2 (1): 12-18.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 2014. WWW.djpb.kemenkumham.go.id
Ratnawati D, WC Pratiwi, L Affandy S. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan
Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengmbangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
52
Roceyana. 2011. Produktivitas Indukan Sapi Simmental pada Umur yang Berbeda dengan Pemeliharaan Intensif (Studi Kasus di Peternakan Roni, Harau Kabupaten 50 Kota. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Talib C, A Bamualim, A Pohan. 2001. Pengaruh Perbaikan Pakan pada Pola Sekresi Hormon Progesteron Induk Sapi Bali Bibit dalam Periode Postpartum. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner di Bogor 17-
18 September 2001. Puslitbang Peternakan Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Wonokerto D. 2013. Pengertian Fertilisasi.
http://istilaharti.blogspot.co.id/2013/07/pengertian-fertilisasi.html. Diunduh 09 Agustus 2017
WIKI-iSIKHNAS. 2016. http://wiki.isikhnas.com/w/What_makes_it_special%3F/id
(Diunduh 23 Oktober 2017).
Yusran MA, L Affandy, Suyamto. 2001. Pengkajian Keragaan, Permasalahan dan Alternatif Solusi Program IB Sapi Potong di Jawa Timur. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner di Bogor 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.