analisis kebijakan pengelolaan mangrove di indonesia

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove sering disebutkan sebagai hutan payau atau hutan bakau. Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai atau muara sungai di daerah tropis dan sub tropis yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Bila dibandingkan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi (Huda, 2008). Pertambahan penduduk yang cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, termasuk hutan mangrove yang keberadaannya semakin berkurang dan rusak di seluruh daerah tropis. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dari segi pengelolaan, hutan mangrove berada pada zona peralihan antara ekosistem darat dan laut sehingga kewenangan pengelolaannya melibatkan banyak sector (multi sektoral) dan juga instansi. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama dalam pemanfaatan hutan mangrove, memicu ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA

Upload: aldila-rahma

Post on 25-Jul-2015

1.306 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove sering disebutkan sebagai hutan payau atau hutan bakau. Mangrove

merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai atau muara sungai di

daerah tropis dan sub tropis yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem

mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Bila

dibandingkan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan

fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi (Huda, 2008).

Pertambahan penduduk yang cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya

perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, termasuk

hutan mangrove yang keberadaannya semakin berkurang dan rusak di seluruh daerah tropis.

Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari

keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan

perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya

permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan

mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang

memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove.

Dari segi pengelolaan, hutan mangrove berada pada zona peralihan antara ekosistem darat

dan laut sehingga kewenangan pengelolaannya melibatkan banyak sector (multi sektoral) dan

juga instansi. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama dalam

pemanfaatan hutan mangrove, memicu munculnya konflik yang berkepanjangan. Sektor-sektor

yang terlibat antara lain sektor perikanan, perhubungan, industri dan perdagangan,

pertambangan, kehutanan, permukiman dan pariwisata (Saparinto, 2007). Dengan banyaknya

instansi yang terlibat dalam mengelola hutan mangrove juga menimbulkan masalah baru yaitu

terjadinya tumpang tindih kebijakan. Konflik sektoral pun semakin tajam karena adanya

kecenderungan saling lempar tanggung jawab.

Dampaknya adalah rusaknya hutan mangrove hampir di seluruh pesisir Indonesia. Beberapa

data menunjukkan bahwa kerusakan dan penyusutan luas hutan mangrove Indonesia terus

terjadi. Pada tahun 1982 Indonesia masih memiliki 5.209.543 ha hutan mangrove, namun di tahun

1992 jumlahnya telah menjadi 2.496.185 ha. Pada tahun 1985, pulau Jawa telah kehilangan 70%

hutan mangrovenya. Luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan berkurang dari 110.000 ha pada

tahun 1965 menjadi 30.000 ha pada tahun1985. Sedangkan Teluk Bintuni (Papua) masih terdapat

Page 2: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

300.000 ha mangrove, namun kini terus menerus mengalami tekanan, sebagaimana terjadi pula di

delta Sungai Mahakam dan pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (desakuhijau, 2011).

Dalam makalah ini akan menganalisis berbagai permasalahan yang terkait dengan

pengelolaan hutan mangrove termasuk kebijakan-kebijakan yang terlibat didalamnya.

Berdasarkan analisis permasalahan tersebut selanjutnya akan direkomendasikan rencana strategi

atau kebijakan lain yang perlu ditempuh dalam rangka mendukung pengelolaan hutan mangrove

berkelanjutan.

1.2 Hutan Mangrove Sebagai Sebuah Ekosistem

Hutan mangrove merupakan vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang

baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove terletak di pesisir dan berfungsi sebagai daerah

penyambung antara darat dan laut. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang

sangat bermanfaat bagi ummat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai

daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis

ikan dan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun,

ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan

unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih

jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia,

mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan

keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi

sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta

kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang,

tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya (Haq, dkk. 2009) .

Selain bermanfaat secara ekologis, bagi manusia manfaat mangrove sangat terasa jika

ditinjau dari segi kepentingan ekonomi. Diantaranya adalah:

Peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, serta penahan lumpur dan sedimen,

Menghasilkan serat untuk keset dan bahan bangunan (kayu),

Menyediakan bahan baku untuk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

Menghasilkan bahan kimia: arang dan coal tar, bahan pewarna kain, rotenone (bahan

semacam racun yang digunakan untuk membunuh ikan hama atau ikan lain yang tidak

dikehendaki), tanin, flavonoid (senyawa yang dapat mencegah serangan jantung dan kanker),

gula alkohol, asam asetat, dll.

Page 3: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

Menghasilkan madu, kepiting, udang, tiram, kerang- kerangan dan ikan serta makanan bagi

binatang. Mangrove juga merupakan tempat terbaik bagi budidaya ikan air payau dalam

keramba.

Memberikan tempat tumbuh untuk udang dan ikan yang bermigrasi ke area mangrove ketika

muda, dan kembali ke laut ketika mendekati usia matang seksual. Selain itu udang karang

dan ikan yang bereproduksi di hulu sungai (freshwater upstream) dan bermigrasi pada masa

mudanya karena makanan berlimpah di daerah mangrove.

Sebagai tempat wisata (Rochana,____).

Gambar Ekosistem Hutan Mangrove. Tiga gambar diatas merupakan kawasan hutan mangrove yang terjaga kelestariannnya, sedangkan dua gambar dibawah merupakan kawasan mangrove yang mengalami kerusakan. Sumber: google images dan

Bappenas, 2011.

BAB IIKAJIAN HUKUM PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI INDONESIA

2.1 Enabling Environment Dalam Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Page 4: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

Enabling environment merupakan konsep pelibatan semua komponen terkait dengan

pengelolaan mangrove. Dalam konsep ini dikajilah konsep kebijakan yang terkait dengan

pengelolaan mangrove sehingga kita mengetahui komponen yang terlibat dan bagaimana bentuk

kebijakan yang selama ini mendasari upaya pengelolaan mangrove (Huda, 2008).

2.1.1 Peraturan Mengenai Pengelolaan Hutan Mangrove

Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove

yang telah diterbitkan, diantaranya adalah :

a. UUD 1945 Pasal 33 ayat 3

b. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria

c. UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

d. UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan

e. UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan

f. UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

g. UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan

h. UU No. 32 Tahun 2009 Tentang PPLH

i. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

j. UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

k. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

l. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah

m. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, dan

n. UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan.

Dalam rentang waktu (1965 –1999), ada 6 instansi yang berwenang dalam pengelolaan

hutan mangrove, yaitu:

a. Badan Pertanahan

b. Departemen Kehutanan

c. Departemen Dalam Negeri

d. Kantor Menteri Lingkungan Hidup

e. Departemen Pekerjaan Umum dan

f. Departemen Pariwisata.

Page 5: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

Sedangkan dalam implementasinya pengelolaan hutan mangrove berada di bawah

wewenang Departemen Kehutanan UU No. 5 tahun 1967; UU No. 5 tahun 1990; UU No. 41 tahun

1999; UU No. 19 tahun 2004; PP No. 28 Tahun 1985. Terbitnya UU No. 31 tahun 2004 dan UU No.

27 tahun 2007 menambah daftar jumlah undang-undang yang memuat tentang pengelolaan

hutan mangrove dan menambah daftar panjang instansi yang berwenang mengelola wilayah

pesisir khususnya hutan mangrove (Huda, 2008; Irawan dan Sari, 2008).

2.1.2 Kebijakan (Policy) Pengelolaan Hutan Mangrove Di Indonesia

Karena mangrove digolongkan sebagai ekosistem hutan pesisir, Departemen Kehutanan

berperan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan. Kebijakan

yang dikeluarkan adalah (Anonim,____):

A. Pengelolaan Hutan Lestari

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa mangrove

merupakan ekosistem hutan, oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam

pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Sedangkan sasaran Departemen Kehutanan dalam

pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan

negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen

Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada

pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang

pantai.

B. Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun

2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka kewenangan Pemerintah

(pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk hutan mangrove) hanya terbatas

menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan

kriteria, standar, norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan

dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada hutan

produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah daerah,

terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi

kewenangan Pemerintah (pusat).

C. Konservasi dan Rehabilitasi Secara Partisipatif

Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan

sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan),

Page 6: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif. Berdasarkan UU No.

25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah disebutkan bahwa

penggunaan dana reboisasi sebesar 40% dialokasikan kepada daerah penghasil untuk kegiatan

reboisasi-penghijauan dan sebesar 60% dikelola Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi.

Berdasarkan PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa Dana

Reboisasi sebesar 40% dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan

dan lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk untuk rehabilitasi hutan mangrove.

D. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove

Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah,

yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) dlam kewenangan pengelolaan hutan mangrove, namun

operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan terutama

Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan). Adapun untuk mengarahkan

pencapaian tujuan sesuai dengan otonomi daerah, Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola

Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan

No.20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman

penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan

Kabupaten/Kota) serta masyarakat. Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk

menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2)

Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana dari berbagai sumber.

E. Pokok Kegiatan Pengelolaan Hutan Mangrove

Dalam upaya pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan melakukan kegiatan-

kegiatan sebagai berikut:

1. Operasional Teknis. Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001,

kegiatan operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT

(sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen

Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan dan di dalam

kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit percontohan

empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18 Propinsi.

2. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove

3. Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi)

4. Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove

5. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten

2.2 Permasalahan Utama Mangrove di Indonesia

Page 7: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

Data –data tentang mangrove masih belum ter-update dan tersebar di beberapa institusi.

Konflik pemanfaatan ruang kawasan mangrove diantaranya konversi mangrove untuk

peruntukan lainnya (permukiman, tambak perikanan, industri, perkebunan dan sawah)

Pemanfaatan mangrove yang tidak terkontrol misalnya pembalakan liar oleh masyarakat

sekitar untuk pemanfaatan kayu yang disebabkan oleh kurang kesadaran masyarakat

(Kementerian PPN/ BAPPENAS, 2011)

2.3 Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan

Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove memberikan manfaat ganda yaitu manfaat

ekologis dan ekonomis. Masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah

menentukan tingkat pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi

dan ekologi tersebut). Jika dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove

memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya

dalam ekosistem SDA, yaitu (Mangrove Information Center, 2009):

a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas

pula.

b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran

ekosistem hutan lainnya.

c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.

Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam

memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan

manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah

sebagai berikut :

a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan

menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi

ekosistem yang bersangkutan.

b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.

c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi

penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.

2.4. Kendala Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Aspek Kelembagaan

Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya

adalah (Mangrove Information Centre, 2003):

Page 8: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

1) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang

belum sama sekali.

2) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.

3) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove, namun

wewenang dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait belum jelas. Koordinasi di

antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove juga masih lemah.

4) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada.

Diterbitkannya banyak peraturan perundangan-udangan pada dasarnya bertujuan agar

pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukan secara terpadu. Namun dalam implementasinya

sering terjadi pelanggaran. Pelanggaran ini tidak dijatuhi sanksi maupun hukuman yang tegas

yang telah dinyatakan secara eksplisit dalam aturan. Hal ini karena pengawasan oleh pihak

berwenang (pemerintah) tidak dilakukan.

5) Praktek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum

banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan

tersebut.

6) Peran institusi dan masyarakat sering tidak sinkron.

2.5 Pelaksanaan Pengelolaan Kawasan mangrove di Berbagai Daerah di Indonesia

2.5.1 Pengelolaan Mangrove Di Wilayah Pesisir Jambi

Permasalahan utama pengelolaan Mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung

Timur Jambi, pengelolaannya masih dilakukan secara sektoral dan tidak terpadu. Institusi yang

terlibat pada pengelolaan wilayah pesisir ini adalah pengelola wilayah sungai, dinas kehutanan,

dinas pesisir dan kelautan, serta Bappeda. Bappeda mengeluarkan kebijakan RTRW yang

menunjukkan bahwa Kawasan Pantai Timur Jambi diperuntukan sebagai lahan pertanian, namun

dari dinas kehutanan membuat peta peruntukan dimana daerah tersebut digunakan untuk

perlindungan hutan. Berbeda halnya dengan DPU yang mengeluarkan kebijakan bahwa daerah

pesisir menjadi daerah perlindungan dan pengamanan pantai. Renstra Pesisir menjelaskan

tentang perlindungan pesisir dan ekologi padahal jelas di RTRW bahwa peruntukan pesisir untuk

budidaya pertanian masyarakat. Hal tersebut membuktikan beberapa kebijakan yang tumpang

tindih antara beberapa instansi dimana peraturan yang dibuat tidak sinkron satu sama lain.

Banyaknya kebijakan namun tumpang tindih antara instansi yang ada, hanya akan menimbulkan

ambiguitas bagi masyarakat tentang kebijakan mana yang harus diikuti. Padahal pelibatan

masyarakat diperlukan untuk kepentingan pengelolaan secara berkelanjutan pada suatu sumber

daya, sebagai strategi yang koprehensif yang dilakukan untuk menangani isu-isu yang

Page 9: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

mempengaruhi lingkungan pesisir melalui partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat pesisir

(Huda, 2008). Bagan berikut ini dapat menjelaskan dinamika pengelolaan hutan mangrove di

Pesisir Jambi.

2.5.2 Pengelolaan Hutan Mangrove di Pancer Cengkrong dan Damas Kabupaten Trenggalek

Ditinjau dari perspektif hukum pengelolaan hutan mangrove, semestinya pengelolaan harus

dilakukan secara berkala dan konsisten antara Pemerintah Kabupaten Trenggalek beserta seluruh

komponen masyarakat. Namun kenyataannya stigma pengelolaan dalam perspektif hukum

tersebut masih belum sepenuhnya efektif dijalankan oleh pemerintah maupun masyarakat. Faktor

yang mempengaruhi adalah aparat penegak hukum yang sejauh ini kurang memberikan kontribusi

pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan kawasan hutan mangrove di pesisir desa

Karanggandu. Dilain pihak keasadaran dari masyarakat akan pentingnya

hutan mangrove terhadap kelestarian lingkungan perairan di pesisir pantai masih sangat kurang.

Selain itu tingkat kepatuhan masyrakat terhdap Undang-Undang yang berlaku sangatlah kurang.

Hal mendasar yang menyebabkan berbagai permasalahan diatas adalah terjadinya

inefektivitas UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang disebabkan oleh benturan

kepentingan antara pemerintah dan masyarakat seperti yang terjadi pada lokasi tata ruang

keberadaan Pos Pengawas Hutan Bakau (PPHB) yang ada di pesisir Desa Karanggandu dimana

lokasi tersebut oleh pemerintah telah dirancang berada disuatu tempat yang jauh dari kawasan

hutan mangrove. Hal ini menyebabkan ketidak optimalan aparatur pemerintah dalam melakukan

pengawasan. Kendala yang sama juga dialami dalam penerapan UU No. 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau terkecil, dimana ketentuan mengenai sanksi denda

terhadap pengrusakan hutan mangrove sesuai pasal 35 dan 73 Undang-Undang tersebut masih

disesuaikan oleh pemerintah daerah berdasarkan tingakat kemampuan ekonomi masyarakat

sehingga perlu ada revisi terhadap nominal jumlah sanksi denda yang dikenakan. Dalam hal

Page 10: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek No. 10 Tahun 2004 juga masih ditemui

inkonsistensi terhadap pelaksanaannya.

Melihat berbagai kebijakan yang ada, konsepsi perlindungan dan pengelolaan secara

efektif dan efisien terhadap pelestarian sumber daya alam merupakan instrumen yang vital dalam

upaya konservasi hutan mangrove di Kabupaten Trenggalek. Adanya Peraturan Daerah Kabupaten

Trenggalek Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, serta Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sampai saat ini masih belum mampu megantisipasi berbagai

persoalan yang ada. Sehingga merupakan sebuah keharusan bagi pemerintah daerah untuk

mengevaluasi kebijakan yang ada dan menetapkan kebijakan baru yang lebih baik (Supriatna,

2010).

Page 11: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

BAB IIIREKOMENDASI STRATEGI PENGELOLAAN MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT

3.1 Rekomendasi Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Dengan Menggunakan Analisis

SWOT

Berdasarkan permasalahan pengelolaan ekosistem mangrove yang telah dipaparkan

sebelumnya, ditambah lagi dengan contoh kasus pengelolaan mangrove di daerah, maka penulis

mencoba merumuskan strategi pengelolaan baru ekosistem mangrove yang komprehensif dan

integral.

Usulan formulasi strategi dan penentuan prioritas kebijakan pengelolaan masing-masing

menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT yaitu analisis yang mengidentifikasi berbagai faktor

secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan

dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Dengan demikian

perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan,

kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini (Budhiati, 2009).

3.2 Matriks Analisis SWOT

Adanya peraturan tentang otonomi daerah.

Di beberapa tempat masih dilakukan hukum adat

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove

Kepedulian LSM dalam peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan dan perlindungan ekosistem mangrove.

Belum ada kebijakan pemberlakuan konservasi pantai.

Ego sektoral, konflik kepentingan karena banyak stakeholder yang terlibat.

Kebijkan tidak sinkron dan tumpang-tindih

Ketergantungan masyarakat akan sumber daya yang menempati pesisir sangat tinggi sehingga menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas pesisir

Perangkat hukum (peraturan perundang-undangan dan instansi) terkait pengelolaan mangrove sudah cukup banyak

Potensi yang besar dari

SO. 1. kewajiban dan kewenangan pengelolaan mangrove diserahkan pada pemerintah daerah masing-masing, sesuai dengankondisi dan strategi lokal serta sesuai dengan strategi nasional.

ST. 1. menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

INTERNAL

EKSTERNAL

Opportunity (O) Threat (T)

Stre

nght

(S)

Stre

nght

(S)

Stre

nght

(S)

Page 12: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

ekosistem mangrove yang belum dimanfaatkan secara optimal

SO.2. Implementasi penegakan hukum dan pemberian sesuai undang-undang yang berlaku dan mengangkat kembali hukum adat yang sesuai dengan karakteristik daerah setempat

SO.3. Kerjasama dengan LSM dan NGO setempat

ST.2. mengembangkan ekowisata yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat, namun usaha konservasi terus berjalan.

ST. 3. diperlukan kolaborasi yang baik antarainstitusi penentu kuantitas dan kualitas ekosistem pesisir dengan institusi penegakan hukum.

Belum ada pengelolaan yang baik secara terstruktur dari kelembagaan ataupun dari kebijakan.

Lemahnya pengawasan dari instansi terkait

Instansi bekerja masih secara sektoral (tidak terpadu)

Lemahnya penegakkan hukum (law enforcement)

rendahnya pendidikan dan kesadaran masyarakat pesisir terhadap kebijakan pengembangan konservasi hutan mengrove.

Kebijakan tata ruang yang tidak jelas sehingga masih terjadi alih fungsi lahan

WO. 1 pemerintah daerah yang mengatur penenerimaan dan pengalihan hak atas lahan dari pemegang hak.

WO.2. Meningkatkan peran LSM untuk meningkatkanpengetahuan dan kesadaranmasyarakat dalampengelolaan mangrove.

WO.3. mengembangkan pengelolaan dan pengawasan mangrove secara partisipatif.

WO.4. Meningkatkan pengawasan, pengendalian dan pengamanan terhadap pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan secara kolektif dan terpadu (integrated).

WT.1. Meningkatkan peran pemerintah melalui kegiatan sosialisasi, pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat.

WT.2. Memberikan pendidikan lingkungan, pemahaman arti pentingnya lingkungan dan sosialisasi peraturan perundangan diharapkan masyarakat akan dapat mengelola hutan mangrove secara bijaksana.

WT.3. Penyusunan/ penyempurnaan kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangkapenguatan kemitraan, partisipasi, dan demokratisasi Manajemen Kawasan Pantai

WT.4. Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup.

Keterangan:

SO. : Strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

ST. : Strategi menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman

WO. : Strategi atasi kelemahan dan memanfaatkan peluang

WT. : Strategi meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman

Wea

kn

ess

(W)

Page 13: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

BAB IVPENUTUP

4.1 Kesimpulan

Ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang memiliki keunikan dan

kekhasan, serta memiliki fungsi ekologis dan ekonomis. Ekosistem mangrove memiliki

sumberdaya hayati yang kaya dan beragam. Namun ekosistem mangrove mengalami degradasi

yang ditandai semakin banyaknya luasan mangrove yang rusak di Indonesia. Hal ini disebabakan

tingginya tekanan penduduk dan ekonomi yang tinggi di kawasan pantai. Banyak penduduk yang

kehidupannya sangat bergantung dengan sumber daya alam di kawasan mangrove.

Jika ditinjau dari segi hukum, sudah banyak petraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pengelolaan mangrove. Ditambah lagi dengan banyaknya instansi yang

berwenang mengelola kawasan mangrove. Hasilnya adalah kebijakan yang ada saling tumpang

tindih. Selain itu, instansi-instansi tersebut bekerja secara sektoral dan tidak terkoordinasi.

Akibatnya, terjadi inkonsistensi peraturan dan konflik kepentingan diantara stakeholder.

Masyarakatlah yang akhirnya menjadi korban. Mereka tidak tahu peraturan mana yang harus

dijadikan pedoman. Selain itu juga pengetahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan ini

sangat minim karena tingkat pendidikan, kurangnya sosialisasi, masyarakat tidak dilibatkan dalam

pengelolaan dan juga kurangnya kesadaran dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Peraturan yang

ada juga tidak dapat mencegah kerusakan kawasan mangrove karena lemahnya pengawasan dan

penegakan hukum.

Atas dasar itulah perlu disusun rencana strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang

komprehensif dan integral, yang menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan

mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove. Dengan

demikian, strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat

selain tujuan konservasi hutan mangrove tercapai.

4.2 Saran

Langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pengelolaan ekosistem mangrove adalah

dengan melakukan strategi seperti yang telah dijelaskan dalam matriks SWOT pada bab 3. Dengan

memprioritaskan strategi pada masing-masing program yang dilakukan oleh pemerintah daerah

setempat. Hal yang perlu dilakukan berkaitan dengan banyaknya kebijakan yang ada seperti:

Page 14: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada

semua stakeholders. Peraturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya

dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.

Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan sanksi, denda, atau hukuman

maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan

mau mentaati aturan yang berlaku.

Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi

pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal.

Identifikasi hukum adat serta revitalisasi lembaga adat (Nagari) dan lokal yang

berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

Perlunya membangun suatu konsep pengelolaan mangrove yang berkelanjutan yang dapat

mengintegrasikan kepentingan ekologi dan ekonomi melalui pelibatan masyarakat.

Perlunya koordinasi yang intensif antar pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan

perhatian terhadap keberlanjutan mangrove.

Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir untuk pengoptimalan fungsi produksi dan

fungsi lindung mangrove yang berkelanjutan

Pengembangan organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir seperti (Huda, 2008):

1. PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)

2. COFISH (Coastal Fisheries)

3. Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)

4. Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat)

Page 15: Analisis Kebijakan Pengelolaan Mangrove Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Anonim,_____. Kebijakan Hutan Mangrove Di Indonesia. www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm. Diakses tanngal 28 Mei 2011.

Budhiati, R. 2009. Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. http://www.perpus.upstegal.ac.id/home/v2/index.php?mod=katalog.karya_ilmiyah.show_detail&barcode=PSP09001. Diakses tanggal 27 Mei 2011.

Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/ BAPPENAS. 2011. Kebijakan Nasional Perencanaan Pengelolaan Mangrove. Seminar Nasional Save Mangrove for Our Earth. Bogor.

Desakuhijau, 2011. Mangrove di Indonesia. Penanaman Mangrove. http://desakuhijau.org/. Diakses tanggal 27 Mei 2011.

Haq, Z dkk. 2009. Sekilas Tentang Mangrove. http://muislife.com/. Diakses tanggal 28 Mei 2011.

Huda, N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. TESIS. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Irawan, A dan N. Sari. 2008. Kajian Implikasi Terbitnya UU RI. No. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 5 No. 3, Desember 2008 : 131 – 141.

Mangrove Information Center, 2003. Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003.

Rochana, E.____. Ekosistem Mangrove Dan Pengelolaannya Di Indonesia. http: // repository.ipb.ac.id / bitstream/ handle/ 123456789/ 30654/ www. freewebs.com%20irwantomangrove%20mangrove_kelola.pdf?sequence=1. Diakses tanggal 30 Mei 2011.

Supriatna, R. 2010. Prospek Pengelolaan Hutan Mangrove dalam Perspektif Hukum dan Sosial masyarakat Pesisir Trenggalek. http://rimbasupriatna.wordpress.com/. Diakses tanggal 27 Mei 2011.

Suparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Penerbit: Dahara Prize. Semarang