analisis kebijakan pengelolaan mangrove di indonesia
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ekosistem mangrove sering disebutkan sebagai hutan payau atau hutan bakau. Mangrove
merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai atau muara sungai di
daerah tropis dan sub tropis yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem
mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Bila
dibandingkan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan
fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi (Huda, 2008).
Pertambahan penduduk yang cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya
perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, termasuk
hutan mangrove yang keberadaannya semakin berkurang dan rusak di seluruh daerah tropis.
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari
keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan
perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya
permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan
mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang
memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove.
Dari segi pengelolaan, hutan mangrove berada pada zona peralihan antara ekosistem darat
dan laut sehingga kewenangan pengelolaannya melibatkan banyak sector (multi sektoral) dan
juga instansi. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama dalam
pemanfaatan hutan mangrove, memicu munculnya konflik yang berkepanjangan. Sektor-sektor
yang terlibat antara lain sektor perikanan, perhubungan, industri dan perdagangan,
pertambangan, kehutanan, permukiman dan pariwisata (Saparinto, 2007). Dengan banyaknya
instansi yang terlibat dalam mengelola hutan mangrove juga menimbulkan masalah baru yaitu
terjadinya tumpang tindih kebijakan. Konflik sektoral pun semakin tajam karena adanya
kecenderungan saling lempar tanggung jawab.
Dampaknya adalah rusaknya hutan mangrove hampir di seluruh pesisir Indonesia. Beberapa
data menunjukkan bahwa kerusakan dan penyusutan luas hutan mangrove Indonesia terus
terjadi. Pada tahun 1982 Indonesia masih memiliki 5.209.543 ha hutan mangrove, namun di tahun
1992 jumlahnya telah menjadi 2.496.185 ha. Pada tahun 1985, pulau Jawa telah kehilangan 70%
hutan mangrovenya. Luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan berkurang dari 110.000 ha pada
tahun 1965 menjadi 30.000 ha pada tahun1985. Sedangkan Teluk Bintuni (Papua) masih terdapat
300.000 ha mangrove, namun kini terus menerus mengalami tekanan, sebagaimana terjadi pula di
delta Sungai Mahakam dan pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (desakuhijau, 2011).
Dalam makalah ini akan menganalisis berbagai permasalahan yang terkait dengan
pengelolaan hutan mangrove termasuk kebijakan-kebijakan yang terlibat didalamnya.
Berdasarkan analisis permasalahan tersebut selanjutnya akan direkomendasikan rencana strategi
atau kebijakan lain yang perlu ditempuh dalam rangka mendukung pengelolaan hutan mangrove
berkelanjutan.
1.2 Hutan Mangrove Sebagai Sebuah Ekosistem
Hutan mangrove merupakan vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang
baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove terletak di pesisir dan berfungsi sebagai daerah
penyambung antara darat dan laut. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang
sangat bermanfaat bagi ummat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai
daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis
ikan dan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun,
ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan
unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih
jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia,
mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan
keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi
sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta
kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang,
tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya (Haq, dkk. 2009) .
Selain bermanfaat secara ekologis, bagi manusia manfaat mangrove sangat terasa jika
ditinjau dari segi kepentingan ekonomi. Diantaranya adalah:
Peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, serta penahan lumpur dan sedimen,
Menghasilkan serat untuk keset dan bahan bangunan (kayu),
Menyediakan bahan baku untuk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.
Menghasilkan bahan kimia: arang dan coal tar, bahan pewarna kain, rotenone (bahan
semacam racun yang digunakan untuk membunuh ikan hama atau ikan lain yang tidak
dikehendaki), tanin, flavonoid (senyawa yang dapat mencegah serangan jantung dan kanker),
gula alkohol, asam asetat, dll.
Menghasilkan madu, kepiting, udang, tiram, kerang- kerangan dan ikan serta makanan bagi
binatang. Mangrove juga merupakan tempat terbaik bagi budidaya ikan air payau dalam
keramba.
Memberikan tempat tumbuh untuk udang dan ikan yang bermigrasi ke area mangrove ketika
muda, dan kembali ke laut ketika mendekati usia matang seksual. Selain itu udang karang
dan ikan yang bereproduksi di hulu sungai (freshwater upstream) dan bermigrasi pada masa
mudanya karena makanan berlimpah di daerah mangrove.
Sebagai tempat wisata (Rochana,____).
Gambar Ekosistem Hutan Mangrove. Tiga gambar diatas merupakan kawasan hutan mangrove yang terjaga kelestariannnya, sedangkan dua gambar dibawah merupakan kawasan mangrove yang mengalami kerusakan. Sumber: google images dan
Bappenas, 2011.
BAB IIKAJIAN HUKUM PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI INDONESIA
2.1 Enabling Environment Dalam Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Enabling environment merupakan konsep pelibatan semua komponen terkait dengan
pengelolaan mangrove. Dalam konsep ini dikajilah konsep kebijakan yang terkait dengan
pengelolaan mangrove sehingga kita mengetahui komponen yang terlibat dan bagaimana bentuk
kebijakan yang selama ini mendasari upaya pengelolaan mangrove (Huda, 2008).
2.1.1 Peraturan Mengenai Pengelolaan Hutan Mangrove
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove
yang telah diterbitkan, diantaranya adalah :
a. UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
b. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria
c. UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
d. UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan
e. UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
f. UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
g. UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
h. UU No. 32 Tahun 2009 Tentang PPLH
i. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
j. UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
k. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
l. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
m. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, dan
n. UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan.
Dalam rentang waktu (1965 –1999), ada 6 instansi yang berwenang dalam pengelolaan
hutan mangrove, yaitu:
a. Badan Pertanahan
b. Departemen Kehutanan
c. Departemen Dalam Negeri
d. Kantor Menteri Lingkungan Hidup
e. Departemen Pekerjaan Umum dan
f. Departemen Pariwisata.
Sedangkan dalam implementasinya pengelolaan hutan mangrove berada di bawah
wewenang Departemen Kehutanan UU No. 5 tahun 1967; UU No. 5 tahun 1990; UU No. 41 tahun
1999; UU No. 19 tahun 2004; PP No. 28 Tahun 1985. Terbitnya UU No. 31 tahun 2004 dan UU No.
27 tahun 2007 menambah daftar jumlah undang-undang yang memuat tentang pengelolaan
hutan mangrove dan menambah daftar panjang instansi yang berwenang mengelola wilayah
pesisir khususnya hutan mangrove (Huda, 2008; Irawan dan Sari, 2008).
2.1.2 Kebijakan (Policy) Pengelolaan Hutan Mangrove Di Indonesia
Karena mangrove digolongkan sebagai ekosistem hutan pesisir, Departemen Kehutanan
berperan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan. Kebijakan
yang dikeluarkan adalah (Anonim,____):
A. Pengelolaan Hutan Lestari
Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa mangrove
merupakan ekosistem hutan, oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam
pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Sedangkan sasaran Departemen Kehutanan dalam
pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan
negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen
Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada
pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang
pantai.
B. Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun
2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka kewenangan Pemerintah
(pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk hutan mangrove) hanya terbatas
menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan
kriteria, standar, norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan
dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada hutan
produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah daerah,
terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi
kewenangan Pemerintah (pusat).
C. Konservasi dan Rehabilitasi Secara Partisipatif
Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan
sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan),
sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif. Berdasarkan UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah disebutkan bahwa
penggunaan dana reboisasi sebesar 40% dialokasikan kepada daerah penghasil untuk kegiatan
reboisasi-penghijauan dan sebesar 60% dikelola Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi.
Berdasarkan PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa Dana
Reboisasi sebesar 40% dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan
dan lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk untuk rehabilitasi hutan mangrove.
D. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove
Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah,
yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) dlam kewenangan pengelolaan hutan mangrove, namun
operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan terutama
Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan). Adapun untuk mengarahkan
pencapaian tujuan sesuai dengan otonomi daerah, Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola
Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan
No.20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman
penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan
Kabupaten/Kota) serta masyarakat. Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk
menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2)
Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana dari berbagai sumber.
E. Pokok Kegiatan Pengelolaan Hutan Mangrove
Dalam upaya pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan melakukan kegiatan-
kegiatan sebagai berikut:
1. Operasional Teknis. Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001,
kegiatan operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT
(sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen
Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan dan di dalam
kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit percontohan
empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18 Propinsi.
2. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove
3. Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi)
4. Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove
5. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten
2.2 Permasalahan Utama Mangrove di Indonesia
Data –data tentang mangrove masih belum ter-update dan tersebar di beberapa institusi.
Konflik pemanfaatan ruang kawasan mangrove diantaranya konversi mangrove untuk
peruntukan lainnya (permukiman, tambak perikanan, industri, perkebunan dan sawah)
Pemanfaatan mangrove yang tidak terkontrol misalnya pembalakan liar oleh masyarakat
sekitar untuk pemanfaatan kayu yang disebabkan oleh kurang kesadaran masyarakat
(Kementerian PPN/ BAPPENAS, 2011)
2.3 Permasalahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan
Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove memberikan manfaat ganda yaitu manfaat
ekologis dan ekonomis. Masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah
menentukan tingkat pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi
dan ekologi tersebut). Jika dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove
memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya
dalam ekosistem SDA, yaitu (Mangrove Information Center, 2009):
a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas
pula.
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran
ekosistem hutan lainnya.
c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam
memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan
manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah
sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan
menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi
ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi
penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.
2.4. Kendala Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Aspek Kelembagaan
Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya
adalah (Mangrove Information Centre, 2003):
1) Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang
belum sama sekali.
2) Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.
3) Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove, namun
wewenang dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait belum jelas. Koordinasi di
antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove juga masih lemah.
4) Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada.
Diterbitkannya banyak peraturan perundangan-udangan pada dasarnya bertujuan agar
pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukan secara terpadu. Namun dalam implementasinya
sering terjadi pelanggaran. Pelanggaran ini tidak dijatuhi sanksi maupun hukuman yang tegas
yang telah dinyatakan secara eksplisit dalam aturan. Hal ini karena pengawasan oleh pihak
berwenang (pemerintah) tidak dilakukan.
5) Praktek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum
banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan
tersebut.
6) Peran institusi dan masyarakat sering tidak sinkron.
2.5 Pelaksanaan Pengelolaan Kawasan mangrove di Berbagai Daerah di Indonesia
2.5.1 Pengelolaan Mangrove Di Wilayah Pesisir Jambi
Permasalahan utama pengelolaan Mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung
Timur Jambi, pengelolaannya masih dilakukan secara sektoral dan tidak terpadu. Institusi yang
terlibat pada pengelolaan wilayah pesisir ini adalah pengelola wilayah sungai, dinas kehutanan,
dinas pesisir dan kelautan, serta Bappeda. Bappeda mengeluarkan kebijakan RTRW yang
menunjukkan bahwa Kawasan Pantai Timur Jambi diperuntukan sebagai lahan pertanian, namun
dari dinas kehutanan membuat peta peruntukan dimana daerah tersebut digunakan untuk
perlindungan hutan. Berbeda halnya dengan DPU yang mengeluarkan kebijakan bahwa daerah
pesisir menjadi daerah perlindungan dan pengamanan pantai. Renstra Pesisir menjelaskan
tentang perlindungan pesisir dan ekologi padahal jelas di RTRW bahwa peruntukan pesisir untuk
budidaya pertanian masyarakat. Hal tersebut membuktikan beberapa kebijakan yang tumpang
tindih antara beberapa instansi dimana peraturan yang dibuat tidak sinkron satu sama lain.
Banyaknya kebijakan namun tumpang tindih antara instansi yang ada, hanya akan menimbulkan
ambiguitas bagi masyarakat tentang kebijakan mana yang harus diikuti. Padahal pelibatan
masyarakat diperlukan untuk kepentingan pengelolaan secara berkelanjutan pada suatu sumber
daya, sebagai strategi yang koprehensif yang dilakukan untuk menangani isu-isu yang
mempengaruhi lingkungan pesisir melalui partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat pesisir
(Huda, 2008). Bagan berikut ini dapat menjelaskan dinamika pengelolaan hutan mangrove di
Pesisir Jambi.
2.5.2 Pengelolaan Hutan Mangrove di Pancer Cengkrong dan Damas Kabupaten Trenggalek
Ditinjau dari perspektif hukum pengelolaan hutan mangrove, semestinya pengelolaan harus
dilakukan secara berkala dan konsisten antara Pemerintah Kabupaten Trenggalek beserta seluruh
komponen masyarakat. Namun kenyataannya stigma pengelolaan dalam perspektif hukum
tersebut masih belum sepenuhnya efektif dijalankan oleh pemerintah maupun masyarakat. Faktor
yang mempengaruhi adalah aparat penegak hukum yang sejauh ini kurang memberikan kontribusi
pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan kawasan hutan mangrove di pesisir desa
Karanggandu. Dilain pihak keasadaran dari masyarakat akan pentingnya
hutan mangrove terhadap kelestarian lingkungan perairan di pesisir pantai masih sangat kurang.
Selain itu tingkat kepatuhan masyrakat terhdap Undang-Undang yang berlaku sangatlah kurang.
Hal mendasar yang menyebabkan berbagai permasalahan diatas adalah terjadinya
inefektivitas UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang disebabkan oleh benturan
kepentingan antara pemerintah dan masyarakat seperti yang terjadi pada lokasi tata ruang
keberadaan Pos Pengawas Hutan Bakau (PPHB) yang ada di pesisir Desa Karanggandu dimana
lokasi tersebut oleh pemerintah telah dirancang berada disuatu tempat yang jauh dari kawasan
hutan mangrove. Hal ini menyebabkan ketidak optimalan aparatur pemerintah dalam melakukan
pengawasan. Kendala yang sama juga dialami dalam penerapan UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau terkecil, dimana ketentuan mengenai sanksi denda
terhadap pengrusakan hutan mangrove sesuai pasal 35 dan 73 Undang-Undang tersebut masih
disesuaikan oleh pemerintah daerah berdasarkan tingakat kemampuan ekonomi masyarakat
sehingga perlu ada revisi terhadap nominal jumlah sanksi denda yang dikenakan. Dalam hal
penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek No. 10 Tahun 2004 juga masih ditemui
inkonsistensi terhadap pelaksanaannya.
Melihat berbagai kebijakan yang ada, konsepsi perlindungan dan pengelolaan secara
efektif dan efisien terhadap pelestarian sumber daya alam merupakan instrumen yang vital dalam
upaya konservasi hutan mangrove di Kabupaten Trenggalek. Adanya Peraturan Daerah Kabupaten
Trenggalek Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, serta Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sampai saat ini masih belum mampu megantisipasi berbagai
persoalan yang ada. Sehingga merupakan sebuah keharusan bagi pemerintah daerah untuk
mengevaluasi kebijakan yang ada dan menetapkan kebijakan baru yang lebih baik (Supriatna,
2010).
BAB IIIREKOMENDASI STRATEGI PENGELOLAAN MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT
3.1 Rekomendasi Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Dengan Menggunakan Analisis
SWOT
Berdasarkan permasalahan pengelolaan ekosistem mangrove yang telah dipaparkan
sebelumnya, ditambah lagi dengan contoh kasus pengelolaan mangrove di daerah, maka penulis
mencoba merumuskan strategi pengelolaan baru ekosistem mangrove yang komprehensif dan
integral.
Usulan formulasi strategi dan penentuan prioritas kebijakan pengelolaan masing-masing
menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT yaitu analisis yang mengidentifikasi berbagai faktor
secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Dengan demikian
perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini (Budhiati, 2009).
3.2 Matriks Analisis SWOT
Adanya peraturan tentang otonomi daerah.
Di beberapa tempat masih dilakukan hukum adat
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove
Kepedulian LSM dalam peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan dan perlindungan ekosistem mangrove.
Belum ada kebijakan pemberlakuan konservasi pantai.
Ego sektoral, konflik kepentingan karena banyak stakeholder yang terlibat.
Kebijkan tidak sinkron dan tumpang-tindih
Ketergantungan masyarakat akan sumber daya yang menempati pesisir sangat tinggi sehingga menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas pesisir
Perangkat hukum (peraturan perundang-undangan dan instansi) terkait pengelolaan mangrove sudah cukup banyak
Potensi yang besar dari
SO. 1. kewajiban dan kewenangan pengelolaan mangrove diserahkan pada pemerintah daerah masing-masing, sesuai dengankondisi dan strategi lokal serta sesuai dengan strategi nasional.
ST. 1. menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
INTERNAL
EKSTERNAL
Opportunity (O) Threat (T)
Stre
nght
(S)
Stre
nght
(S)
Stre
nght
(S)
ekosistem mangrove yang belum dimanfaatkan secara optimal
SO.2. Implementasi penegakan hukum dan pemberian sesuai undang-undang yang berlaku dan mengangkat kembali hukum adat yang sesuai dengan karakteristik daerah setempat
SO.3. Kerjasama dengan LSM dan NGO setempat
ST.2. mengembangkan ekowisata yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat, namun usaha konservasi terus berjalan.
ST. 3. diperlukan kolaborasi yang baik antarainstitusi penentu kuantitas dan kualitas ekosistem pesisir dengan institusi penegakan hukum.
Belum ada pengelolaan yang baik secara terstruktur dari kelembagaan ataupun dari kebijakan.
Lemahnya pengawasan dari instansi terkait
Instansi bekerja masih secara sektoral (tidak terpadu)
Lemahnya penegakkan hukum (law enforcement)
rendahnya pendidikan dan kesadaran masyarakat pesisir terhadap kebijakan pengembangan konservasi hutan mengrove.
Kebijakan tata ruang yang tidak jelas sehingga masih terjadi alih fungsi lahan
WO. 1 pemerintah daerah yang mengatur penenerimaan dan pengalihan hak atas lahan dari pemegang hak.
WO.2. Meningkatkan peran LSM untuk meningkatkanpengetahuan dan kesadaranmasyarakat dalampengelolaan mangrove.
WO.3. mengembangkan pengelolaan dan pengawasan mangrove secara partisipatif.
WO.4. Meningkatkan pengawasan, pengendalian dan pengamanan terhadap pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan secara kolektif dan terpadu (integrated).
WT.1. Meningkatkan peran pemerintah melalui kegiatan sosialisasi, pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat.
WT.2. Memberikan pendidikan lingkungan, pemahaman arti pentingnya lingkungan dan sosialisasi peraturan perundangan diharapkan masyarakat akan dapat mengelola hutan mangrove secara bijaksana.
WT.3. Penyusunan/ penyempurnaan kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangkapenguatan kemitraan, partisipasi, dan demokratisasi Manajemen Kawasan Pantai
WT.4. Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup.
Keterangan:
SO. : Strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
ST. : Strategi menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
WO. : Strategi atasi kelemahan dan memanfaatkan peluang
WT. : Strategi meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman
Wea
kn
ess
(W)
BAB IVPENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang memiliki keunikan dan
kekhasan, serta memiliki fungsi ekologis dan ekonomis. Ekosistem mangrove memiliki
sumberdaya hayati yang kaya dan beragam. Namun ekosistem mangrove mengalami degradasi
yang ditandai semakin banyaknya luasan mangrove yang rusak di Indonesia. Hal ini disebabakan
tingginya tekanan penduduk dan ekonomi yang tinggi di kawasan pantai. Banyak penduduk yang
kehidupannya sangat bergantung dengan sumber daya alam di kawasan mangrove.
Jika ditinjau dari segi hukum, sudah banyak petraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pengelolaan mangrove. Ditambah lagi dengan banyaknya instansi yang
berwenang mengelola kawasan mangrove. Hasilnya adalah kebijakan yang ada saling tumpang
tindih. Selain itu, instansi-instansi tersebut bekerja secara sektoral dan tidak terkoordinasi.
Akibatnya, terjadi inkonsistensi peraturan dan konflik kepentingan diantara stakeholder.
Masyarakatlah yang akhirnya menjadi korban. Mereka tidak tahu peraturan mana yang harus
dijadikan pedoman. Selain itu juga pengetahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan ini
sangat minim karena tingkat pendidikan, kurangnya sosialisasi, masyarakat tidak dilibatkan dalam
pengelolaan dan juga kurangnya kesadaran dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Peraturan yang
ada juga tidak dapat mencegah kerusakan kawasan mangrove karena lemahnya pengawasan dan
penegakan hukum.
Atas dasar itulah perlu disusun rencana strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang
komprehensif dan integral, yang menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan
mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove. Dengan
demikian, strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat
selain tujuan konservasi hutan mangrove tercapai.
4.2 Saran
Langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pengelolaan ekosistem mangrove adalah
dengan melakukan strategi seperti yang telah dijelaskan dalam matriks SWOT pada bab 3. Dengan
memprioritaskan strategi pada masing-masing program yang dilakukan oleh pemerintah daerah
setempat. Hal yang perlu dilakukan berkaitan dengan banyaknya kebijakan yang ada seperti:
Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada
semua stakeholders. Peraturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya
dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.
Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan sanksi, denda, atau hukuman
maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan
mau mentaati aturan yang berlaku.
Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi
pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal.
Identifikasi hukum adat serta revitalisasi lembaga adat (Nagari) dan lokal yang
berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Perlunya membangun suatu konsep pengelolaan mangrove yang berkelanjutan yang dapat
mengintegrasikan kepentingan ekologi dan ekonomi melalui pelibatan masyarakat.
Perlunya koordinasi yang intensif antar pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan
perhatian terhadap keberlanjutan mangrove.
Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir untuk pengoptimalan fungsi produksi dan
fungsi lindung mangrove yang berkelanjutan
Pengembangan organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir seperti (Huda, 2008):
1. PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)
2. COFISH (Coastal Fisheries)
3. Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)
4. Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,_____. Kebijakan Hutan Mangrove Di Indonesia. www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm. Diakses tanngal 28 Mei 2011.
Budhiati, R. 2009. Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. http://www.perpus.upstegal.ac.id/home/v2/index.php?mod=katalog.karya_ilmiyah.show_detail&barcode=PSP09001. Diakses tanggal 27 Mei 2011.
Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/ BAPPENAS. 2011. Kebijakan Nasional Perencanaan Pengelolaan Mangrove. Seminar Nasional Save Mangrove for Our Earth. Bogor.
Desakuhijau, 2011. Mangrove di Indonesia. Penanaman Mangrove. http://desakuhijau.org/. Diakses tanggal 27 Mei 2011.
Haq, Z dkk. 2009. Sekilas Tentang Mangrove. http://muislife.com/. Diakses tanggal 28 Mei 2011.
Huda, N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. TESIS. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Irawan, A dan N. Sari. 2008. Kajian Implikasi Terbitnya UU RI. No. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 5 No. 3, Desember 2008 : 131 – 141.
Mangrove Information Center, 2003. Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003.
Rochana, E.____. Ekosistem Mangrove Dan Pengelolaannya Di Indonesia. http: // repository.ipb.ac.id / bitstream/ handle/ 123456789/ 30654/ www. freewebs.com%20irwantomangrove%20mangrove_kelola.pdf?sequence=1. Diakses tanggal 30 Mei 2011.
Supriatna, R. 2010. Prospek Pengelolaan Hutan Mangrove dalam Perspektif Hukum dan Sosial masyarakat Pesisir Trenggalek. http://rimbasupriatna.wordpress.com/. Diakses tanggal 27 Mei 2011.
Suparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Penerbit: Dahara Prize. Semarang